Amartha Kantongi Pendanaan 107 Miliar Rupiah, Perdalam Akses Permodalan untuk Pengusaha Perempuan

Startup p2p lending Amartha mengumumkan perolehan pendanaan senilai $7,5 juta (setara 107 miliar Rupiah) dari Norfund, dana investasi dari pemerintah Norwegia untuk negara berkembang. Dana ini akan disalurkan kembali dalam bentuk modal usaha untuk memberdayakan lebih banyak perempuan pengusaha mikro di pedesaan dan mendorong kegiatan usaha yang ramah lingkungan.

Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Duta Besar Norwegia Vegard Kaale dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra di Kedutaan Norwegia di Jakarta, hari ini (04/6).

Investment Director Norfund & Head of Asia Regional Office Fay Chetnakarnkul menyampaikan, Norfund bekerja sama dan mendanai di institusi keuangan untuk mendukung mereka agar lebih kuat lagi dalam menyediakan akses permodalan dan layanan keuangan kepada ekonomi mikro dan segmen unbankable. “Kami sangat menghargai kerja sama ini dengan Amartha dan upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan perempuan pengusaha mikro di Indonesia.”

Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menambahkan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat baik, namun inklusi keuangan masih menjadi isu yang besar di segmen masyarakat prasejahtera, terutama bagi perempuan pengusaha mikro.

“Norfund menjadi alat penting bagi Pemerintah Norwegia untuk menguatkan lembaga swasta di negara-negara berkembang, serta menurunkan angka kemiskinan. Pendanaan ini merupakan investasi pertama Norfund di institusi finansial di Indonesia dan saya harap upaya ini akan membantu pertumbuhan serta keberhasilan untuk Amartha.”

Chetnakarnkul pun sependapat dengan pernyataan Kaale. Ia menyampaikan bahwa diharapkan kerja sama dengan Amartha akan menjadi permulaan baik untuk komitmen jangka panjang Norfund di Indonesia.

Sementara Taufan menyampaikan, dukungan Norfund menandai kepercayaan mereka kepada usaha Amartha untuk kembali pulih di masa sulit selama pandemi ini. “Dengan bimbingan dari negara Norwegia sebagai pemimpin dunia dalam sektor energi terbarukan, Amartha berharap mendapatkan ilmu dan pengalaman dari yang terbaik.”

Masuknya Norfund, sebenarnya sejalan dengan inisiasi yang dimulai oleh Amartha sejak 2018 yang mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan ramah lingkungan dengan mempromosikan manajemen lingkungan, sosial dan korporat atau ESG dengan meluncurkan laporan tahunan dampak dan keberlanjutan. Akibatnya pada setahun berikutnya, Amartha meraih penghargaan GIIRS (Global Impact Investing Rating System) dari B-Corp dengan peringkat Platinum.

Kemudian, pada tahun lalu, perusahaan menginisiasi program Plastic Waste Womenpreneur (PWW) dengan memberikan pembiayaan kepada perempuan pengusaha mikro yang bergerak dibidang pengurangan limbah plastik di desa.

Hingga kini Amartha berhasil menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,7 triliun untuk 678.502 perempuan di lebih 18.900 desa yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Sebagai perusahaan teknologi, Amartha meluncurkan layanan keuangan dan produk-produk inovatif seperti tabungan, asuransi mikro, serta belanja borongan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ekonomi informal. Dengan pendekatan ini, Amartha ingin menjadi pemain terdepan untuk platform keuangan digital bagi segmen desa.

Sebelumnnya pada awal bulan lalu, Amartha juga mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan YOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Bags 450 Billion Rupiah Funding Led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures

The p2p lending startup Amartha officially secured funding of $28 million or around 450 billion Rupiah. The funding was led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures, also the two previous investors, Mandiri Capital Indonesia and YOB Venture Management.

Amartha’s Founder & CEO, Andi Taufan Garuda Putra said the new investment will be used to strengthen the business, accelerate product innovation development, and introduce additional services for borrowers and lenders. Some of them include shop loans, crowdfunding, and direct funding to borrowers.

So far, the company has developed solutions for three user segments, namely disbursing funding through the p2p lending platform (Amartha for Lenders), a field team to process business capital loans as a whole (Amartha for Business Partners), and other financial services in addition to distributing business capital ( Amartha for Partners)

Amartha is WWB’s first portfolio in Southeast Asia. It is known, WWB Capital Partners II is a gender lens investment founded by WWB, a global non-profit organization that focuses on women’s financial inclusion for the last 40 years.

WWB’s representative, Yrenilsa Lopez said the investment aims to close the gender gap by entering into financial service providers that focus on serving the low-income segment of women. That way, Amartha can expand the gender diversity in their management and take advantage of innovative solutions to reach more markets.

Previously, Amartha obtained debt funding of $50 million or equivalent to 704.4 billion Rupiah in February from Lendable. Currently, Amartha has channeled IDR3.55 trillion loan to more than 661,369 ultra-micro women entrepreneurs in more than 18,900 villages in Java, Sumatra and Sulawesi.

In addition, Amartha has improved the quality of credit scoring with the ratio of non-performing loans (NPL) at 0.07% for all funding in the period after June 2020.

Synergy with Telkom

Furthermore, MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja added that this investment will create opportunities to work together with the Telkom Group. This synergy is none other than to digitize and increase financial inclusion in rural areas in Indonesia.

“We see promising potential to increase financial inclusiveness. We hope this investment can continue Amartha’s business transformation to serve the lower pyramid communities in Indonesia,” he said.

Previously, Donald had mentioned that MDI Ventures received a new mandate with a new managed fund of $500 million from Telkom. It is to expand collaboration or synergy, not only with the Telkom Group but with all SOEs.

Donald said, this new assignment was given after MDI’s success in managing $100 million in funds since 2015. MDI succeeded in multiplying the fund, not only on paper valuations, but also in the form of liquidity in several exits, private and IPOs. He said, MDI had provided IDR 1.6 trillion synergy/revenue to the Telkom Group.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Amartha Kantongi Pendanaan 450 Miliar Rupiah Dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures

Startup p2p lending Amartha resmi memperoleh pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia dan YOB Venture Management.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, investasi baru ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis, mengakselerasi pengembangan inovasi produk, dan memperkenalkan layanan tambahan bagi peminjam dan pendana. Beberapa di antaranya adalah pinjaman warung, crowdfunding, hingga penyaluran pendanaan langsung ke peminjam.

Sejauh ini, perusahaan telah mengembangkan solusi untuk tiga segmen pengguna, yaitu penyaluran pendanaan lewat platform p2p lending (Amartha untuk Pendana), tim lapangan untuk memproses pinjaman modal usaha secara menyeluruh (Amartha untuk Business Partner), dan layanan keuangan lain selain penyaluran modal usaha (Amartha untuk Mitra)

Amartha merupakan portofolio pertama WWB di Asia Tenggara. Diketahui, WWB Capital Partners II adalah investasi lensa gender yang didirikan WWB, organisasi nirlaba global yang fokus terhadap inklusi keuangan wanita selama 40 tahun terakhir.

Representatif WWB Yrenilsa Lopez mengatakan, investasi ini bertujuan untuk menutup kesenjangan gender dengan masuk pada penyedia layanan keuangan yang fokus melayani segmen perempuan berpenghasilan rendah. Dengan begitu, Amartha dapat memperluas keragaman gender dalam manajemen mereka dan memanfaatkan solusi inovatif untuk menjangkau lebih banyak pasar.

Sebelumnya, Amartha memperoleh pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah pada Februari lalu dari Lendable. Saat ini, Amartha mencatat telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp3,55 triliun ke lebih dari 661.369 pengusaha ultra mikro perempuan di lebih dari 18.900 desa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Selain itu, Amartha juga telah meningkatkan kualitas credit scoring dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di 0,07% untuk seluruh pendanaan di periode setelah Juni 2020.

Bersinergi dengan Telkom

Lebih lanjut, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa masuknya investasi ini akan membuka peluang bersinergi dengan Telkom Group. Sinergi ini tak lain untuk mendigitalisasi dan meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan yang belum terlayani perbankan di Indonesia.

“Kami melihat ada potensi menjanjikan untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Kami harap investasi ini dapat melanjutkan transformasi bisnis Amartha untuk melayani masyarakat piramida bawah di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya, Donald sempat menyebutkan bahwa MDI Ventures mendapat mandat baru dengan dana kelolaan baru sebesar $500 juta dari Telkom. Mandat tersebut tak lain adalah memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN.

Menurut Donald, tugas baru ini diberikan usai keberhasilan MDI mengelola dana $100 juta sejak 2015. MDI berhasil melipatgandakan fund tersebut, tak hanya valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuiditas di beberapa exit, private maupun IPO. Ia menyebut, MDI telah memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here

Debt Funding Scheme Is Thriving, Amartha Scored 704 Billion Rupiah from Lendable

The p2p lending startup Amartha today (24/2) announced the debt funding of $50 million or the equivalent of 704.4 billion Rupiah (exchange rate USD to IDR per 14.00 WIB) from Lendable. It is to focus on providing capital and financial access to small entrepreneurs empowered by women in Indonesia, in conjunction with the “2X Challenge” initiative.

Through this collaboration, Amartha is also the first company in Indonesia to receive 2X Challenge funds. Particularly in the Asia Pacific, this funding initiative for women micro-merchants has disbursed up to $747 million.

Amartha does have further concern for women entrepreneurs. As Andi Taufan Garuda Putra said as Founder & CEO, women are the drivers of the micro economy which plays an important role in the recovery of the national economy.

The women micro-entrepreneurs segment with limited access to banking and financial institutions in Indonesia is estimated to reach more than 22 million people. By providing access to capital and entrepreneurship education for women, Amartha noticed that Mitra Amartha can increase income 2 to 7 times in one year.

“We are grateful for Lendable’s trust in realizing the 2X Challenge in Indonesia, therefore, women can increase their role in the Indonesian economy, especially in the context of post-pandemic recovery,” Taufan said.

The combination of retail and institutions

In a separate interview, Taufan said that they currently had channeled funds of up to 3.22 trillion to 616 thousand partners in Java, Sulawesi, and Sumatra. The combination of retail (community) funding and institutions also encourage the performance and penetration of Amartha’s services.

“On a year-on-year basis, the comparison is 55 percent for institutions and 45 percent for retail. For retail lenders, 68% is dominated by the millennial generation, followed by 19% by generation X, 10% by generation Z, and 3% by baby boomers. Based on the amount of funding value, 44% is dominated by generation X, then 40% by the millennial generation, 10% by baby boomers, and 3% by generation Z,” Taufan explained.

Regarding institutional partners, Amartha has also collaborated with banks and financial institutions to distribute funding with channeling schemes including Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, and so on.

Targeting female micro-entrepreneurs certainly provides a higher level of risk (return). It becomes interesting to know Amartha’s strategy in increasing the percentage of TKB90 on the platform.

“Amartha has tightened monitoring of portfolios, operations, risks, and audits. This aims to screen the best quality Partners while maintaining the quality of ongoing loans. In addition, Amartha has updated the credit scoring system and combines the ability and willingness assessments, and a history of payment returns before the Covid-19 pandemic,” Taufan added.

Amartha also provides direct business assistance by the field team, including providing training on business alternatives for partners whose businesses have been affected by the pandemic, therefore, they can start new businesses or expand their businesses. It is said that these efforts are able to make the business climate in Amartha’s partner ecosystem return to the way before.

Debt funding in Indonesia

Previously last year Lendable also joined as an institutional lender for KoinWorks, channeling $10 million in funds. Apart from Lendable, there are several other institutions that also provide similar funds for fintech lending in Indonesia, such as Accial Capital for Pintek, Cash Cloud, and Investree. In addition, there are GMO Payment Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), etc.

In fact, there are two schemes widely applied to channel funds from institutions, loan channeling and venture debt. The first scheme is intended for institutions such as banks to channel their credit funds to MSMEs through fintech lending. Many local banks have started announcing entrance into the fintech ecosystem through this partnership. The latest is BCA which distributes funds through iGrow.

Meanwhile, venture debt/debt funding is actually more strategic in nature, such as to finance operations and growth – generally entered along with equity funding from venture investors. However, some have also used the funds to be distributed.

Apart from those already mentioned, other fintechs that have received debt funding are Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, and People’s Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Skema Pendanaan Debt Terus Berkembang, Amartha Bukukan Dana 704 Miliar Rupiah dari Lendable

Startup p2p lending Amartha hari ini (24/2) mengumumkan perolehan pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah (kurs USD ke IDR per 14.00 WIB) dari Lendable. Fokusnya untuk memberikan permodalan dan akses keuangan kepada pengusaha kecil yang diberdayakan oleh perempuan di Indonesia, bersamaan dengan inisiatif “2X Challenge”.

Melalui kerja sama ini, Amartha juga menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menerima dana 2X Challenge. Sejauh ini di Asia Pasifik, inisiatif pendanaan untuk pengusaha mikro perempuan itu sudah menyalurkan dana hingga $747 juta.

Amartha memang memiliki concern lebih kepada pengusaha perempuan. Disampaikan oleh Andi Taufan Garuda Putra selaku Founder & CEO, perempuan adalah penggerak ekonomi mikro yang memiliki peran penting dalam pemulihan ekonomi nasional.

Segmen perempuan pengusaha mikro yang tidak memiliki akses ke perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 22 juta jiwa. Dengan memberikan akses permodalan dan pendidikan kewirausahaan kepada perempuan, Amartha mencatat bahwa Mitra Amartha dapat meningkatkan pendapatan 2 hingga 7 kali lipat dalam satu tahun.

“Kami bersyukur diberikan kepercayaan dari Lendable untuk mewujudkan 2X Challenge di Indonesia agar perempuan dapat meningkatkan perannya dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam konteks pemulihan pasca pandemi,” ujar Taufan.

Kombinasi pendana ritel dan institusi

Dalam wawancara terpisah, Taufan menyampaikan, hingga saat ini mereka telah menyalurkan dana hingga 3,22 triliun kepada 616 ribu mitra di Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Kombinasi antara pendana ritel (masyarakat) dengan institusi turut mendorong kinerja dan penetrasi layanan Amartha.

“Secara year on year perbandingannya 55% institusi dan 45% ritel. Untuk pendana ritel, 68% didominasi oleh generasi milenial, kemudian disusul 19% oleh generasi X, 10% oleh generasi Z, dan 3% oleh baby boomers. Berdasarkan besaran nilai pendanaan, 44% didominasi oleh generasi X, kemudian 40% oleh generasi milenial, 10% baby boomers, dan 3% generasi Z,” jelas Taufan.

Terkait mitra institusi, Amartha juga telah bekerja sama dengan perbankan dan lembaga keuangan untuk menyalurkan pendanaan dengan skema channeling di antaranya Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, dan lain sebagainya.

Menyasar pengusaha mikro perempuan tentu memberikan tingkat risiko (pengembalian) yang lebih tinggi. Menjadi menarik untuk mengetahui strategi Amartha dalam meningkatkan persentase TKB90 di platformnya.

“Amartha telah memperketat monitoring portofolio, operasional, risiko, dan audit. Hal ini bertujuan untuk menyaring Mitra dengan kualitas terbaik, sekaligus mempertahankan kualitas pinjaman yang sedang berjalan. Selain itu, Amartha telah memperbarui sistem credit scoring dan menggabungkan penilaian kemampuan (ability), kemauan (willingness), dan histori pengembalian pembayaran sebelum adanya pandemi Covid-19,” imbuh Taufan.

Amartha juga memberikan pendampingan usaha secara langsung oleh tim lapangan, termasuk memberikan pelatihan alternatif usaha bagi mitra yang usahanya terdampak pandemi, sehingga mereka bisa memulai usaha baru atau mengembangkan usahanya. Diklaim, upaya tersebut mampu membuat iklim bisnis di ekosistem mitra Amartha kembali normal seperti sedia kala.

Pendanaan debt di Indonesia

Sebelumnya tahun lalu Lendable juga bergabung sebagai lender institusi KoinWorks, menggelontorkan dana $10 juta. Selain Lendable, ada beberapa lembaga lainnya yang juga memberikan dana serupa bagi fintech lending di Indonesia, misalnya Accial Capital untuk Pintek, Awan Tunai, dan Investree. Selain itu ada GMO Payament Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), dll.

Sebenarnya ada dua skema yang banyak diaplikasikan untuk menyalurkan dana dari institusi, yakni loan channeling dan venture debt. Skema pertama memang ditujukan bagi institusi seperti perbankan untuk menyalurkan dana kreditnya kepada UMKM melalui fintech lending. Banyak perbankan lokal yang mulai mengumumkan masuk ke ekosistem fintech lewat kerja sama ini. Terbaru ada BCA yang salurkan dana lewat iGrow.

Sementara venture debt/pendanaan debt sebenarnya sifatnya lebih strategis seperti untuk membiayai operasional dan growth – umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura. Tapi tidak sedikit yang menggunakan dana yang diberikan untuk kembali disalurkan.

Selain yang sudah disebutkan, fintech lain yang sudah menerima pendanaan debt adalah Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, dan Modal Rakyat.

Application Information Will Show Up Here

Mengukur Kinerja CVC yang Didanai Korporasi

Pertumbuhan corporate venture capital (CVC) menggambarkan adanya fenomena inovasi terbuka (open innovation) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. CVC menjadi salah satu opsi strategis korporasi dalam menghadapi era digitalisasi dan disrupsi, dengan harapan startup yang didanai dapat me-leverage teknologinya ke dalam bisnis perusahaan.

CVC punya peran spesifik di luar bisnis utama perusahaan. Ia menjalankan fungsi investasi ke startup sehingga entitasnya harus terpisah. Selain itu, CVC juga memiliki tim untuk melakukan analisis terhadap calon startup yang dapat memenuhi visi strategis perusahaan.

Saat ini, lebih dari tujuh perusahaan di Indonesia dari berbagai vertikal bisnis telah membentuk CVC. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi, perbankan, media, hingga grup konglomerasi. Bahkan ada beberapa portofolio startup perusahaan yang sudah exit.

Sebetulnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapapun dapat mengembangkan inovasi. Namun, dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi baru tidak bisa langsung direalisasikan begitu saja.

Ada beberapa kemungkinan, yaitu korporasi tidak memiliki kapabilitas di bidang teknologi dan digital, SDM terbatas, atau terhalang regulasi sehingga tidak bisa begitu saja mengembangkan inovasi. Di sinilah CVC berperan untuk menjadi kendaraan eksplorasi ide bisnis perusahaan yang bersifat disruptif.

Pada kasus Bank BRI, kehadiran BRI Ventures menjadi kendaraan inovasi eksternal perusahaan. Selama ini, bank lambat dalam men-deliver produk ke pasar karena pergerakannya sangat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Menurut VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman, sektor perbankan harus mengajukan laporan satu tahun sebelumnya untuk mengembangkan produk atau ide bisnis baru. Untuk mengatasi isu tersebut, BRI Ventures hadir untuk membantu mengakselerasi pengembangan inovasi tanpa keluar dari jalur corporate strategy perusahaan.

At some point, pengembangan di internal pasti terbatas karena ada inovasi yang tidak bisa dilakukan oleh bank. Mentoknya pada proses compliance karena harus lapor ke OJK dan BI, risk management, dan mengikuti SoP. Kalau produk gagal, kami akan kehilangan trust, dan ini yang kita ingin hindari,” papar Markus kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik

Lalu, bagaimana CVC dapat menjadi opsi strategis terhadap pengembangan inovasi dan bisnis perusahaan?

Menurut Senior Partner & Managing Director The Boston Consulting Group Middle East Markus Massi, motivasi pembentukan CVC dapat bervariasi. Tetapi, sebagian besar perusahaan memang berfokus pada inovasi yang memberikan Return on Investment (ROI). Jadi, ketimbang membangun perusahaan R&D dari nol, mendanai startup atau mengakuisisinya jauh lebih masuk akal.

Beberapa alasan tersebut juga diamini beberapa CVC yang telah kami wawancarai. Dari informasi yang dihimpun, semua sepakat bahwa aksi korporasi ini memiliki dua objektif utama, yakni me-leverage teknologi yang dimiliki startup untuk memperkuat lini bisnis atau operasional bisnis serta meraup keuntungan modal dari investasi (capital gain).

Untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan, ada beberapa metrik yang dapat digunakan. Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li menyebutkan bahwa metrik ini berbeda-beda, tergantung dari tahap pendanaan, model bisnis, hingga vertikal bisnis.

Misalnya, pengukuran berdasarkan tahap pendanaan. Metrik kinerja portofolio startup di tahapan early stage dan seri A ke atas, tentu akan berbeda. Startup di tahap awal mungkin masih berkisar tentang bagaimana mencari traction, sedangkan seri A harus bicara tentang bagaimana cara untuk scale up bisnisnya.

Kemudian, metrik profitabilitas. Mengingat bisnis MDI Ventures sudah tumbuh signifikan dan tak lagi bermain di early stage, Kenneth menyebut bahwa objektif utamanya saat ini adalah bottom line atau keuntungan. Ia mengungkap portofolio yang sudah exit kini sudah untung. Portofolio yang tersisa juga sudah mengarah ke profitabilitas.

“Contoh lainnya Wavecell. Dengan me-leverage ekosistem Telkom, mereka sekarang sudah mengantongi pertumbuhan signifikan. Wavecell sekaligus membawa bisnis baru ke Telkom,” kata Kenneth kepada DailySocial.

Namun, keuntungan dinilai bukan menjadi satu-satunya metrik yang mutlak. CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan bahwa kinerja startup juga dapat terlihat dari bagaimana teknologinya dapat me-leverage perusahaan, baik dari sisi bisnis maupun operasional.

Contoh lainnya adalah PrivyID. Startup yang mengembangkan platform tanda tangan digital ini sama-sama mengantongi pendanaan dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan Mandiri Capital Indonesia.

Menurut Eddi, solusi yang dikembangkan PrivyID sangat efektif dalam mempercepat proses bisnis layanan di Bank Mandiri. Solusi PrivyID diterapkan pada proses pembukaan rekening kartu kredit baru. Karena sudah bisa dilakukan secara online, perusahaan tak lagi memerlukan tanda tangan basah.

“Nah, metrik ini dapat diukur dari berapa nasabah yang mendapatkan approval Bank Mandiri pada proses pengajuan kartu kredit,” ujar Eddi dalam wawancaranya dengan DailySocial.

Eddi menilai bahwa kinerja startup jangan langsung dilihat dari profitabilitasnya saja. Untuk mencapai profitabilitas, startup tidak harus langsung mengejar keuntungan. Sebaliknya, profitabilitasnya ini dapat terlihat dari sejauh mana startup melakukan strategi “bakar uang” secara terus-menerus.

Pada kasus Amartha, metrik yang digunakan tentu berbeda dengan PrivyID mengingat keduanya memiliki model bisnis yang berbeda juga. Sebagai penyalur pinjaman untuk segmen mikro, kinerja Amartha dapat dinilai dari jumlah dana yang telah disalurkan (loan disbursement).

“Di 2019, penyaluran dana mereka telah mencapai Rp1,5 triliun dengan jumlah peminjam mencapai 250.000. Kami mengukur kinerja Amartha berdasarkan penyaluran pinjaman di sejumlah titik per kuartal dan per tahun dan dampaknya terhadap penambahan jumlah peminjam kami,” tutur Eddi.

Menyelaraskan mindset startup dan korporasi

Berbeda dengan VC, CVC dituntut untuk dapat mencapai target perusahaan, baik secara bisnis maupun keuangan. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah mengingat startup dan korporasi memiliki kultur kerja dan perspektif yang bertolak belakang terhadap pengembangan sebuah produk.

Ada yang menyebut bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menghalangi kelincahan kerja startup agar tidak menghancurkan semangat kreatifnya. Poin ini dinilai patut dipahami perusahaan sejak awal ketika memutuskan untuk mendanai startup.

Secara umum, Kenneth menilai bahwa perbedaan mindset menjadi tantangan terbesar perusahaan dan startupuntuk mencapai target yang diinginkan. Korporasi memiliki kultur kerja dan pola kerja yang berbanding terbalik dengan startup.

“Di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. Di sini, kami bisa berkontribusi untuk me-leverage mindset startup supaya korporasi besar bisa beradaptasi,” paparnya.

Menurutnya, baik korporasi dan startup perlu saling menyeimbangkan antara pengembangan inovasi dan pengelolaan bisnis existing. Hal ini untuk menyelaraskan cara kerja mereka agar tidak terjadi benturan.

Ia mengungkap bahwa saat ini adaptasi mindset dan kultur kerja antara Telkom dan portofolio sudah mulai terlihat perubahannya. Malahan, ungkap Kenneth, Telkom telah berkolaborasi dengan banyak startup di mana nilai sinergi keduanya sudah jauh dari nilai yang kita investasikan di awal.

Andi Taufan Meyakini bahwa Ketekunan Akan Berbuah Keberhasilan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai seorang pendiri solo, adalah perjuangan menguras darah, peluh dan air mata bagi Andi Taufan Garuda Putra dalam membangun Amartha. Berbagai kisah mewarnai mulai dari satu per satu Co-founder pergi serta dilema antara pendidikan dan perusahaan. Semua itu membawanya pada sebuah peer-to-peer lending yang telah sukses menyalurkan Rp1,25 triliun pinjaman kepada lebih dari 200 juta pengusaha mikro di daerah-daerah terpencil.

Ia memulai perjalanan ini dengan mimpi untuk mewujudkan inklusi finansial di seluruh Indonesia. Memang tidak mudah, mengingat bisnis pinjaman yang penuh celah dan potensi penipuan. Namun dengan dasar ketekunan, ia berhasil mendaki tebing tinggi dimana bisnis mikro bisa berkontribusi lebih pada ekonomi Indonesia saat ini.

Adapun, belum lama ini ia dipercaya menjadi salah satu anggota staf ahli kepresidenan pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.

Berikut kisah lebih lengkap mengenai perjalanan Andi Taufan Garuda Putra dalam sesi tanya jawab dengan tim DailySocial.

Sebagai permulaan, dengan latar belakang akademis dalam bidang bisnis. Bagaimana bisa Anda berfikiran untuk memulai Amartha? Apa yang menjadi dasar untuk membangun sesuatu yang memiliki dampak sosial?

Pada awalnya, saya mengampu pendidikan tinggi di bidang bisnis tanpa aspirasi untuk menjadi seorang pengusaha. Orangtua sendiri meniti karir sebagai profesional, saya pun berencana untuk mengikuti jejak mereka. Begitu pula dengan gelar master, semata-mata untuk mendukung karir profesional yang mendukung kesejahteraan. Ketika sudah sukses, bisa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Definisi sukses saya amatlah sederhana, menginjak umur 50 tahun tanpa khawatir akan masa depan suram.

Setelah menyelesaikan strata satu, saya sempat bekerja di IBM selama dua tahun sebagai konsultan bisnis. Pekerjaan ini melibatkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengimplementasi sistem IT di daerah terpencil. Ketika mengelilingi sudut-sudut pedesaan, saya menemukan gap yang cukup lebar antara daerah pinggiran dan perkotaan, seperti di Jakarta. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengambil tindakan, bagaimana saya bisa berkontribusi dalam hal ini. Pada masa itu, saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang memiliki target. Daripada sekedar membantu konglomerat semakin kaya, lebih baik membuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk bisnis-bisnis kecil agar lebih bertumbuh.

Saat itu masih di awal tahun 2000, belum ada yang berbicara mengenai fintech atau platform aplikasi. Setelah menggali ide, akhirnya saya menetapkan hati pada microfinance. Sektor ini memiliki target yang jelas, ketika menyuntik dana pertama, cashflow akan langsung terlihat, demikian juga nilai keuntungannya. Hal ini juga menimbulkan multiplayer effect dalam keluarga, selain membangun bisnis, anak-anak mereka pun bisa bertumbuh seiring mendapat pendidikan layak.

Pada awalnya, Amartha hanya berbentuk sebuah koperasi. Bisa dijelaskan detail perjalanan membangun bisnis ini menjadi sebuah platform peer-to-peer lending?

Pada suatu hari, saya mengunjungi daerah di kabupaten Bogor bernama Ciseeng. Saat berkeliling desa, saya bertemu banyak orang dan berbincang mengenai masalah-masalah yang kerap muncul di daerah tersebut. Kebanyakan yang tersisa adalah ibu-ibu, suami mereka sedang bekerja di tempat lain, ada juga yang di kota. Sebagaimana kepala keluarga yang memiliki penghasilan pas-pas an, para istri pun harus ikut bekerja paruh waktu demi kesejahteraan keluarga.

Didasari dengan fenomena ini, saya rasa mereka akan sangat membutuhkan bantuan. Saya mulai menawarkan pinjaman kecil-kecilan, mulai dari 500 ribu untuk 100 orang pada tahun pertama. Berbicara tentang produktifitas, mereka menggunakan uang pinjaman tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membeli mesin jahit dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka cukup bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman tepat waktu. Kami pun bertumbuh dengan menyediakan pinjaman bagi seribu orang di tahun selanjutnya.

Setelah lima tahun melayani lebih dari 7000 orang di pedesaan, kami menemukan tantangan tersendiri pada bisnis ini. Pada akhirnya, pinjaman mikro bukan hanya sekedar uang, namun menciptakan harapan. Mereka mulai membuat rencana untuk bisnis dan keluarga, lalu ingin pinjaman yang lebih banyak. Dengan kredit macet serta isu lainnya, kami pun nyaris kehabisan uang sementara pertanyaan mengenai “Amartha mau bankrut ya?” menyerang dari berbagai sisi. Ini sangat sulit, bahkan untuk saya.

Lalu saya menemukan bahwa microfinance saja tidak cukup dalam era internet ini. Kami pun kembali dengan sebuah inovasi untuk menggalang dana dari masyarakat, bisa dibilang sebagai peer-to-peer lending marketplace. Dengan partner serta oinjaman berkualitas, saya melakukan pitching dengan investor tahap awal kami [BEENEXT dan MidPlaza]. Mereka nampaknya menyukai ide ini dan melalui berbagai macam rintangan, Amartha akhirnya resmi beroperasi sebagia platform online di tahun 2016.

Momentumnya ada, kemudian beberapa platform p2p ikut meramaikan pasar Indonesia. Industri fintech mulai masuk masa kejayaannya. Dalam hal ini, kamu turut mendorong OJK untuk membentuk regulasi mengenai industri p2p yang masih seumur jagung ini. Amartha pun masuk menjadi salah satu punggawa awal dalam industri p2p ini yang mendapatkan izin resmi dari OJK di awal tahun 2019.

Tim Amartha saat ini
Tim Amartha saat ini

Berbicara mengenai masa-masa krusial, bagaimana Anda menyikapi situasi ini dan bisa bangkit kembali?

Saya rasa sekitar tahun 2014-2015. Masyarakat mulai krisis kepercayaan pada Amartha, saya sendiri juga ragu bisa melanjutkan bisnis ini. Saya pun berfikir untuk menciptakan inovasi baru, lalu datanglah kabar baik dari Harvard. Di tahun yang sama, para investor mulai berdatangan ketika masa-masa sulit menghampiri Amartha.

Hal ini menjadi dilema, ketika harus memilih antara pendidikan atau perusahaan. Lalu saya berinisiatif untuk berbicara dengan investor dan mereka memperkenankan saya untuk melanjutkan studi dengan syarat platform ini harus segera rilis. Terjadilah di tahun 2016, ketika itu saya bekerja secara remote di US dengan bantuan Aria serta tim developer. Adalah sebuah anugrah memiliki tim yang selalu mendukung serta lingkungan yang positif.

Menjadi pendiri solo menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Di tahun 2009, saya pernah memiliki partner, hinga satu per satu pergi menyusul keadaan saat itu. Saya pun mencoba lagi di tahun 2014 dengan beberapa partner baru sampai akhirnya dua orang gugur dan satu lainnya memiliki prioritas lain. Saya menyadari bahwa selalu ada Co-founder di setiap tahapan bisnis Amartha, ini menjadi poin penting. Sementara itu, para C-level yang ada sekarang menjadi sangat penting dalam menopang bisnis ini ke jenjang yang lebih tinggi.

Apa yang menjadi target Amartha di jenjang yang lebih lanjut?

Hal itu adalah ketika kami bisa melampaui batas pinjaman peer-to-peer. Kami sangat baik dalam memberikan pinjaman mikro untuk perempuan di daerah pedesaan. Tetap setia pada misi kami untuk memberikan kesejahteraan yang setara bagi orang-orang pada piramida terbawah. Jika harus menentukan definisi kesejahteraan, hal itu adalah mengurangi biaya hidup mereka, menyediakan produk-produk yang terjangkau, sehingga mereka dapat menyisihkan uang untuk ditabung, dan mulai berinvestasi. Bagaimana Amartha dapat berkembang melampaui pinjaman p2p? Ini tidak hanya tentang dukungan modal awal tetapi juga demi menyediakan produk lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap setia pada komitmen saat ini?

Kuncinya adalah memahami ragam masalah yang terjadi. Sebagai bisnis pinjaman, pasti akan ada permasalahan mengenai pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, celah dalam peraturan, serta potensi penipuan. Jika kita tidak mencoba memahami, kita tidak akan pernah menjadi lebih baik. Apa yang saya pelajari sampai saat ini karyawan kami mencapai 2.500, adalah bagaimana membangun tim dengan misi. Semangat mereka harus diselaraskan dengan misi keseluruhan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada setiap karyawan. Setelah itu terpenuhi, mereka dapat mulai mengeksplorasi dan bergerak pada satu tujuan. Hal ini cukup menantang tetapi layak diperjuangkan.

Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial
Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial

Sebagai salah satu pelopor platform peer-to-peer lending di Indonesia, siapa/apa yang menjadi role model bagi Amartha?

Saya mengacu pada pasar AS dan Eropa. Mereka sudah terlebih dahulu memiliki unicorn LendingClub di AS, dan pasar Eropa dengan Funding Circle dan Prosper. Belum pernah ada yang seperti ini di Asia. Karena itu, dengan basis pelanggan yang berbeda, saya mulai bekerja dengan apa yang kita punya. Dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada di piramida kelas bawah, Amartha menciptakan model bisnis yang menargetkan pasar massal dan peminjam berkualitas tinggi.

Dalam lanskap p2p lending ini, apakah pernah ada isu dengan perbankan atau departemen lain terkait inklusi finansial?

Sejak awal, kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing divisi. Semua yang dilakukan perusahaan pun tak luput dari infrastruktur perbankan. Di sisi lain, untuk perbankan bisa masuk ke segmen ini, akan sangat menguras tenaga. Amartha punya kapasitas untuk memberi pelayanan dan sebaliknya. Semua ini kembali lagi pada kepercayaan dan kami pun akan lebih menjunjung tinggi kolaborasi dibandingkan kompetisi.

Sejak tren ini mulai berkembang di tahun 2016 dan semakin banyak pemain bermunculan di tahun 2017. Pada tahun 2018, masalah ilegal muncul, meskipun bukan kami, tetap hal ini berpengaruh. OJK disebut akan mengatasi semua masalah di tahun ini dan asosiasi pun punya tanggung jawab sendiri. Saya melihat kedepannya akan penuh dengan kolaborasi, tidak hanya pendanaan dengan perbankan tetapi sesuatu yang lebih solid dan intens. Lalu, akan ada perusahaan-perusahaan baru menawarkan produk yang lebih canggih untuk menjalankan inklusi keuangan. Bagaimanapun, saya selalu melihat semua pendiri baru dengan sudut pandang positif, karena itulah yang kami butuhkan, orang-orang yang lebih agresif dan positif.

Selama lebih dari 10 tahun Anda bekerja keras menguras tenaga, peluh dan air mata dalam membangun perusahaan ini. Apakah pernah berniat untuk membuat sesuatu yang baru?

Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan hal itu. Amartha masih dalam masa pertumbuhan, kami pun memiliki skala bisnis yang berbeda dengan Google atau perusahaan elit lainnya. Terlebih dengan tanggung jawab baru sebagai staf ahli kepresidenan. Saat ini load saya sudah sangat banyak.

Para penggiat startup seringkali disebut buta politik, namun Anda bisa mengubah itu. Apa yang membuat anda tertarik untuk menerima ‘amanah’ ini?

Kita memiliki presiden yang tulus dan saya dengan senang hati bisa turut mendukungnya. Kami berdiskusi tentang usaha-usaha kecil di Indonesia. Dia ingin melakukan perubahan, agar mesin birokrasi dapat bergerak lebih cepat menuju tren masa depan. Ini adalah sebuah mandat bagi Indonesia untuk menempati posisi 4 negara teratas di dunia dengan ekonomi terkuat. Hal ini harus dibangun dengan energi positif dan orang-orang optimis. Saya, bersama dengan staf lainnya, percaya bahwa ini adalah langkah kecil untuk menciptakan kepercayaan diri demi membawa Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi.

Taufan sebagai salah satu staf kepresidenan
Taufan sebagai salah satu staf ahli kepresidenan

Dengan kerangka berfikir startup yang pace nya cepat, apakah ada clash of culture yang terjadi dalam interaksi dengan birokrasi?

Adalah tugas kami sebagai staf ahli kepresidenan untuk memberikan pemikiran dan terobosan inovatif saat presiden menjalankan kereta birokrasi dengan teknologi dan pendekatan digital. Pertama-tama lihat tujuannya, saat ini saya belum menghadapi bentrokan apa pun. Beruntung, saya masih diberi kesempatan untuk bekerja dua kaki di Amartha, oleh karena itu, saya bisa menyeimbangkan startup dengan hal-hal birokrasi untuk saat ini. Mari kita lihat apa yang akan terjadi enam bulan dari sekarang.

Menilik masa-masa membangun startup hingga pencapaian saat ini, apa yang bisa Anda katakan untuk para pengusaha tahap awal yang mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu Anda alami?

Jika saya bisa mengatakan sesuatu, cobalah untuk tetap teguh pada tujuan jangka panjang Anda, karena ketekunan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Bagi mereka yang baru memulai, ini bukan tentang individu, atau uang, atau teknologi. Justru ketika Anda menemukan satu hal sebagai fokus dan tidak memberikan celah untuk distraksi. Hambatan adalah bagian dari perjalanan. Kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita berhenti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Kiat Menyiapkan Diri Menjadi Pemimpin Startup ala Hadi Wenas

#SelasaStartup edisi pertama tahun 2020 cukup spesial. Hadi Wenas hadir sebagai pemateri, menceritakan pengalamannya saat memimpin bisnis digital di Indonesia. Sejak Mei 2019 ia menjabat sebagai COO Amartha, dengan track record kepemimpinan di Zalora, aCommerce, hingga Mataharimall.

Dalam pemaparannya ada banyak aspek penting yang disorot Wenas, sebagai landasan dalam memimpin sebuah bisnis digital. Berikut ulasannya:

Menentukan prioritas

Menurut Wenas, salah satu pekerjaan krusial di kepemimpinan startup adalah menentukan prioritas pekerjaan. Di dalamnya termasuk proses memahami isu, mencarikan solusi dan melakukan kalkulasi untuk setiap pengarahan yang akan diberikan kepada timnya.

Bagi Wenas, cara cepat untuk menentukan prioritas adalah sesegera mungkin mengeksekusi pekerjaan yang telah dibebankan. Setelah dijalankan nantinya akan terlihat proses dan perkembangan.

“Intinya langsung saja mulai bekerja dan pada akhirnya prioritas atau urutan yang sesuai akan segera terlihat. Jangan terlalu lama memikirkan planning, langsung saja mulai bekerja,” kata Wenas.

Jangan takut gagal

Kegagalan tentunya kerap menghantui semua pendiri startup. Apakah itu saat mulai membangun startup hingga startup sudah berjalan selama 2-3 tahun. Ketika startup pada akhirnya mengalami kegagalan, ada baiknya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Wenas, faktor keberuntungan terkadang menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan sebuah bisnis. Jika bisnis berjalan dengan baik, menurutnya faktor mujur tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu ketika gagal lakukan introspeksi dan mulai mencari inspirasi hingga cara untuk mulai lagi dengan bisnis atau usaha yang baru.

Ketika Wenas dipercaya untuk menjabat sebagai CEO MatahariMall, terdapat tugas cukup berat yang wajib diselesaikan oleh timnya. Untuk itu penting bagi pimpinan untuk bisa mengenali terlebih dulu kepribadian diri dan timnya, sehingga ketika beban kerja mulai dirasakan, semua tantangan dan permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan secara tuntas.

Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce
Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce

Temukan jati diri

Poin penting lainnya yang kemudian disampaikan oleh Wenas adalah menemukan jati diri. Sebagai seorang introvert, ia terkadang merasa kesulitan untuk melakukan sosialisasi, namun di sisi lain sifat tersebut menjadikan dirinya menjadi lebih teratur dan haus akan detail. Sifat kurang sabar yang sebelumnya menjadi kendala ternyata saat ini justru dianggap sifat yang mendukung kinerja Wenas, karena semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat dan membantu dirinya hingga tim untuk bekerja lebih baik lagi.

“Bagi saya yang seorang introvert justru menyukai segala hal serba teratur. Dengan demikian semua permasalahan dan bagaimana cara tepat untuk bisa mengatasinya bisa dengan mudah diselesaikan secara bertahap. Secara otomatis jika ritme kerja sudah ditemukan, pekerjaan tersebut akan selesai lebih cepat,” kata Wenas.

Meditasi mendukung produktivitas

Salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan oleh Wenas sejak tahun 2008 lalu adalah secara rutin melakukan meditasi. Meskipun pada awalnya lebih kepada proses penyembuhan tubuh, namun meditasi yang dilakukan olehnya secara rutin justru kini mampu melatih kesabaran hingga meningkatkan produktivitas kerja. Intinya adalah temukan work-life balance, yang akan memberikan pengaruh positif untuk kesehatan tubuh dan karir.

“Meditasi mampu membantu saya melatih kesabaran dan menemukan keseimbangan tersebut. Apakah Anda seorang introvert, extrovert, gemar melakukan secara teratur atau peduli dengan detail. Jika sudah ditemukan jati diri tersebut, pada akhirnya semua pekerjaan akan bisa diselesaikan lebih santai dan tentunya lebih mudah,” tutup Wenas.

Andi Taufan Believes Perseverance Will Eventually Pay Off

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As the sole founder of Amartha, Andi Taufan Garuda Putra has poured blood, sweat, and tears in building the company. With the story of being left by co-founders, the dilemma of choosing study over its own company. It’s all lead to the current situation where the peer-to-peer lending platform has delivered Rp1.25 trillion successful loans to over 200 thousand micro-entrepreneurs in the rural area.

He began the journey with a dream to enable financial inclusion throughout Indonesia. It’s a challenging one, considering the loan business is full of loophole and fraud potential. However, with perseverance as the foundation, he works his way up to the point where micro-businesses can contribute more to Indonesia’s economy.

In fact, he was recently appointed as one of the presidential expert staff by Jokowi. It’s definitely creating more pile of work on his desk. However, he’s eager to accept the challenge, it’s because he believes this country is moving towards a better economy and it’ll be incredibly great to be part of the change.

Let’s hear more of Andi Taufan Garuda Putra’s story through the excerpt from his interview with DailySocial’s team.

To begin with, you are one with an academic background in business. What’s your first thought on starting Amartha? What encouraged you to create such a thing with social impact?

I was getting my business degree without any aspirations to become an entrepreneur. My parents are struggling with their professional career, so I was just planning to follow their path. I was also planning to get my master’s degree and build a professional career worth living. Once I become successful, I would spare some for those less fortunate people. I used to have a simple definition of success, it’s when I turn 50 and have nothing to worry about on my plate.

After graduating from college, I was working at IBM for two years as a business consultant. My job is basically involving palm oil companies to implement the IT system in rural areas. While circling around the less-urban spots, I found out a significant gap between the rural and urban areas, such as Jakarta. It encourages me to make a move, how to contribute more to this issue. In my exploration days, I decided to create something more targeted. Instead of helping conglomerates bulking up their organizations, I need to make something more impactful for small businesses to grow.

It was in the early ’00s, nobody thought of fintech or application platform. After digging into some ideas, I finally settled with microfinance. It has a clear view, once you inject the first capital, cashflow will work out, it also comes with a significant increase in income. It also creates a multiplayer effect in the family, aside from growing business, their children can grow along and have a proper education.

You started Amartha in a cooperative form. Can you spare me the detail on your journey in building the leading peer-to-peer lending platform?

One afternoon, I was visiting a rural area in Bogor named Ciseeng. While exploring the village, I met some people and talked about the issues that often come up in the area. Most of them who stayed at home are women, their husbands were at someplace working informal jobs. As the head of the household didn’t earn much, the wives have to work part-time to improve the family’s welfare.

Based on this phenomenon, I thought they need some additional support. I started to provide small loans, starts from 500 thousand for 100 people in the first year. Talking about productivity, they take the loan seriously and use it for something useful, such as sewing machines and many more. Most of them are responsible enough to return the money on time. We grew by providing a thousand people the next year.

After five years serving over 7000 people in the rural, we’ve found the business quite challenging. At the end of the day, micro-loan has become more than just money, it is a hope for them. They started to make plans for the business and the family, and expect for more loans. With some bad credits and stuff, we were so close to run out of money and the “Amartha went bankrupt?” question has been thrown almost at every corner. It’s just hard, even for me too.

I then discovered that in this internet era, microfinance alone was not enough. We then come up with an idea to gain money from the public, such thing called marketplace peer-to-peer lending. With high-quality partners and the impactful loans, I had my pitch to the seed investors [BEENEXT and MidPlaza]. They turned out to love the idea and through ups and downs, Amartha finally launched its online platform in 2016.

The momentum is there, and more peer-to-peer lending platforms are to launch. Fintech industry is getting alive than ever. We also advised OJK to issue the regulations for the newborn p2p lending industry. Amartha then becomes one of the first batch p2p lending platforms to acquire the license from OJK in early 2019.

Amartha's current team
Amartha’s current team

Talking about the crucial season, how did you cope with the situation and rise up?

It was around the year 2014-2015. People have turned their backs on Amartha, I, too, have doubt in surviving this company. I’ve thought about something new, and the good news from Harvard arrived. In the same year, investors are coming to the Amartha-near-falling-town.

It’s a dilemma, whether to take the school or take care of the company. I finally talked to the investors and they decided to let me continue with my study, under one condition, the platform must be launched as soon. It did happen in 2016. I was working remotely in the US with lots of help from Aria and the developer team. It’s a blessing to have a supportive team and a positive environment around you.

Being a sole founder is a different challenge for me. In 2009, I used to have partners, until one by one left because of the current situation back then. I tried again in 2014 with some partners before eventually two were left and the last one departed with another priority. I then realized that we have co-founders for every stage of Amartha, it is indeed important. In fact, today’s C-levels are very critical to help us moving to the next stage.

What is the next stage for Amartha?

It is when we go beyond peer-to-peer lending. We’ve been very good at providing micro-loan for women in rural areas. Stay true to our mission to deliver equal welfare for people in the last pyramid. If we’re to define the welfare it would be to reduce their cost of living, provide them with affordable products, therefore, they can spare money for savings, and start investing. How Amartha can evolve beyond p2p lending? It’s not only about supporting the initial capital but also to provide other products that can improve the quality of their lives.

How can you make sure the company stays true to the commitment?

The key is to embrace the problem. As the loan business, there are always people with payment past the due date, a loophole in regulations, potential for fraud. If we’re not to embrace, we’ll never improve. What I learned until now the employee has reached 2500, is how to build team with a mission. Their spirit should be aligned with the company’s overall mission. It’s to plant a sense of belonging in each employee. Once done, they can start to explore and move towards the goal. It’s quite challenging but worth fighting for.

Taufan as the first speaker at #SelasaStartup
Taufan as the first speaker at #SelasaStartup

As one of the first-batch peer-to-peer lending platforms in Indonesia, who/what is your role model for Amartha?

I was looking up to the US and Europe markets. They already have unicorn LendingClub in the US, and Europe market with its Funding Circle and Prosper. I’ve never seen one in Asia. Therefore, with a different customer base, I worked with what we have. As most of the Indonesian population is in the low-end pyramid, Amartha created a business model targeting mass-market and high-quality borrowers.

In the p2p lending landscape, do you have any issue with banking or any other departments towards financial inclusion?

Since the beginning, we have a clear division of roles. Everything we’ve done will not happen without banking infrastructure. On the other hand, banking is not likely to serve this segment, it’ll cost them a grand. Amartha knows the way to serve them and vice versa. This is all about trust issues and we’re fancy collaboration over competition.

Since the trend emerged in 2016 and more players arise in 2017. In 2018, the illegal issue comes up, and even though it’s not us, we’re still affected. OJK is said to take care of the issues this year and association is doing its homework. I see the future will be filled with collaboration, not only funding with banking but something more solid and intense. Also, there will be new ones offering more sophisticated products to run financial inclusion. And I’m always positive with the new founders, because that is what we need, more aggressive and positive people.

In over 10 years, you have poured blood, sweat, and tears into this company. Have you ever thought of creating something new?

It’s still a long way to go for me to get there. Amartha is still in the growth stage, it’s also a different business scale with Google or others. Especially with my recent appointment as the presidential expert staff. I currently have a lot on my plate these days.

Startup players might have known to have “innocent” political views, but you’ve changed it. What makes you so eager to achieve the challenge?

We have a president who is sincere and I’m more than happy to support him. We had a discussion on Indonesia’s small businesses. He wants to make a change, for bureaucracy’s engine can move faster towards future trends. A mandate for Indonesia to be the world’s top 4 of the country with economic power. This is to be built with positive energy and optimistic people. I, along with the other staff, believe that this is a small step to create the confidence to bring Indonesia to the next level.

Taufan as one of the presidential expert staff
Taufan as one of the presidential expert staff

With the current framework thinking in startup companies, which is fast. Do you happen to experience a clash of culture with the bureaucracy?

It is our duty as the presidential expert staff to provide innovative thoughts and breakthroughs as the president move bureaucracy’s trains with technology and digital approach. First look at the goal, I have yet to face the clash of anything. It’s a good thing that I still get the chance to work in Amartha, therefore, I can balance the startup with bureaucracy stuff for now. Let’s see what’ll happen six months from now.

Looking back at where you start and how it turns out today, what can you say to the early entrepreneurs facing near-failure situations like yourself back then?

If I were to say something, it would be to stay true to your long term goal, because perseverance will eventually pay off.  For those who just started, it’s not about the people, or the money, or the technology. It’s when you find the one thing to focus on and let no distractions come in the middle. Failure is part of the journey. We fail when we stop.

Amartha Announces Series B Funding Led by Line Ventures

The p2p lending service, Amartha announced series B funding led by Line Ventures with undisclosed amount. Participated also other investors, such as Bamboo Capital Partners, UOB Ventures Management, PT Teladan Utama, and PT Medco Intidinamika.

Line Ventures, has some startup portfolios in Indonesia, including HappyFresh, IDN Media, and Warung Pintar.

Meanwhile, UOB Ventures invests in Amartha through its entity, Asia Impact Investment Fund I. The fund is specifically raised for Southeast Asia and China’s startup growth. To date, there are nine startups in its portfolios, including Halodoc and Ruangguru.

Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said, the fresh money will be distributed for business expansion across Indonesia, in order to empower more women and families in the rural area.

“By expanding coverage throughout Indonesia, Amartha also expects to accelerate financial inclusion through digital financial innovation, also to stay true to their vision, equal welfare across Indonesia,” he said in an official statement.

Line Ventures’ Director of Investment, James Lim added, he was eager to join Amartha’s mission in bringing social impact and financial inclusion throughout Indonesia.

“With Amartha’s solid management team and always striving to meet the highest standards of authority regulations, also in its capacity with technology and operations, Amartha is in a good position to maintain and promote more healthy socio-economic welfare,” Lim said.

amartha

Amartha has distributed Rp1.6 trillion funding to more than 343 thousand partners in 5,200 villages in Java and Sulawesi. The company develops technology platforms and algorithms to automate operational aspects, services, and safe and accurate credit assessment systems.

The company also implements a joint responsibility system for partners to build social cohesion and reduce the default rate. All the methods used by Amartha, are said to have proven to reduce the poverty level of their partners, even in the 2019 CFDS report, which significantly increased the income of micro-entrepreneurs women.

The last time, Amartha announced Series A funding in 2017 led by Mandiri Capital Indonesia worth $2 million (over 26 billion Rupiah). Lynx Asia Partners, Beenext and Midplaza Holding also participated in this round.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian