Menyimak Curhatan Pelaku Startup Soal Pembuatan Hak Paten

Dalam presentasi laporan yang disusun oleh INDEF (Institute for Development of Economics & Finance) disampaikan, ketika semakin banyak perusahaan dan penelitian yang mendaftarkan hak paten, maka akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Hak paten sangat lekat dengan inovasi dan perlindungan karya.

Berbicara soal inovasi dan industri startup di Indonesia –khususnya yang sarat dengan teknologi, saat ini belum banyak startup dan entrepreneur yang mendaftarkan hak paten mereka. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia peringkatnya masih di bawah Malaysia dan Vietnam soal hak paten.

Kurangnya sosialisasi pembuatan hak paten

Diskusi yang digelar oleh Qualcomm hari ini (09/11) menghadirkan CEO eFishery Gibran Huzaifah dan VP of Growth Amartha Fadilla Tourizqua Zain. Kedua pelaku startup tersebut mengungkapkan beberapa kendala hingga keluhan yang masih kerap dirasakan oleh startup saat mendaftarkan hak paten produk mereka.

“Untuk eFishery sendiri model bisnis kita berbeda dengan Tokopedia atau layanan e-commerce lainnya. Ketika melakukan fundraising, memiliki hak paten terhadap produk, akan membantu kami mendapatkan pendanaan,” kata Gibran.

Namun demikian fakta yang terjadi adalah masih minimnya sosialisasi, edukasi hingga layanan yang bisa dimanfaatkan oleh entrepreneur untuk membuat hak paten mereka saat ini. Belum lagi dengan durasi yang memakan waktu cukup lama hingga biaya besar yang harus dikeluarkan.

“Karena selama ini kami di eFishery fokus kepada inovasi dan membuat produk secara cepat, sehingga jarang sekali berpikir untuk mematenkan produk kami, ketika kami ingin melakukan prosedur tersebut banyak sekali kendala yang kami hadapi,” kata Gibran.

Ditambahkan oleh Gibran, banyaknya “biro jasa” yang melayani pembuatan hak paten masih menyulitkan startup seperti eFishery untuk mengetahui lebih detail, bagaimana prosedur dan cara yang tepat untuk membuat hak paten. Di sisi lain pihak perguruan tinggi yang menawarkan layanan gratis untuk entrepreneur membuat hak paten, menetapkan peraturan bahwa nantinya jika hak paten tersebut diterbitkan akan menjadi milik dari perguruan tinggi tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Fadilla dari Amartha yang sejak 24 bulan terakhir masih menunggu hasil dari pembuatan hak paten produk Amartha, setelah melalui prosedur dan proses yang sulit dan panjang.

Peran pemerintah membantu industri membuat hak paten

Meskipun sudah banyak kalangan startup yang memahami pentingnya mematenkan sebuah produk agar kemudian tidak dijiplak oleh orang lain, namun jika tidak didukung dengan regulasi yang seamless dari pemerintah maka akan makin berkurang minat mereka mematenkan produk tersebut. Dari sisi pemerintah baiknya untuk bisa membedakan ketika industri dan peneliti masing-masing berniat untuk mematenkan produk.

Meskipun saat ini berdasarkan informasi dari Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Rahasia Dagang (RD), Kementerian Hukum dan HAM, undang-undang terkait hak paten sudah direvisi sejak tahun 2016 lalu yang memudahkan industri untuk mendaftarkan hak paten, namun masih minimnya sosialisasi hingga alternatif layanan yang lebih cepat dengan harga terjangkau, masih menyulitkan berbagai industri termasuk startup untuk melakukan proses tersebut.

Amartha Jalin Kerja Sama Strategis dengan Jamkrindo

Amartha mengumumkan telah bekerja sama dengan BUMN penjamin kredit mikro Perum Jamkrindo. Jamkrindo sendiri diberi mandat oleh pemerintah untuk menjamin kredit dan pembiayaan termasuk transaksi finansial khususnya untuk segmen UMKM dan mikro, segmen yang sama dengan fokus pembiayaan Amartha. Kerja sama ini akan dijalin untuk memberi keamanan lebih bagi investor Amartha, termasuk di dalamnya untuk meningkatkan kepercayaan publik untuk bisa memanfaatkan layanan atau platform peer to peer lending (P2P) di Indonesia.

Menanggapi kerja sama yang terjalin ini Direktur Bisnis Jamkrindo yang diwakili oleh Direktur Bisnis Baki Prasetyo menyampaikan bahwa kerja sama dengan Amartha adalah salah satu bukti bahwa Jamkrindo turut serta dan mengikuti perkembangan teknologi.

“Kerja sama dengan Amartha merupakan peluang yang sangat bagus karena Jamkrindo ingin senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, khususnya teknologi yang dapat memberi manfaat pada masyarakat unbanked,” terang Bakti.

Amrtha sendiri mengklaim diri sebagai satu-satunya platform P2P di Indonesia yang menyalurkan pendanaannya pada masyarakat pra-sejahtera dan unbanked di pelosok Indonesia. Hal ini disebut mampu menciptakan inklusi dan literasi keuangan. Dengan menggunakan pendekatan dan pendampingan dan pembiayaan berbasis kelompok yang dilengkapi dengan sistem tanggung rentang Amartha disebut mampu menjaga tingkat gagal bayar hingga 0% sepanjang beroperasi.

Dengan kerja sama dengan Jamkrindo Amartha ingin memastikan bahwa risiko investasi di Amartha telah dikelola dengan sangat baik dengan proteksi yang berlapis, mulai dari ikatan sosial hingga penjaminan kredit jika terjadi gagal bayar.

“Bagi Amartha, kerja sama ini merupakan milestone yang akan memacu Amartha untuk tumbuh dan melayani lebih banyak masyarakat unbanked di Indonesia. Selama ini kita tahu, mereka sulit mendapatkan pinjaman karena tidak memiliki kelayakan kredit. Dan untuk itulah Amartha hadir mempertemukan mereka dengan investor yang mau berinvestasi sekaligus memberikan dampak sosial. Dengan penjaminan kredit ini maka investor akan semakin percaya dan tidak khawatir untuk menyalurkan dananya melalui Amartha,” terang Founder sekaligus CEO Amartha Andi Taufan menanggapi kerja sama ini.

Dengan strategi dan langkah kerja sama yang diambil Amartha mengungkapkan pihaknya ingin turut mendorong suburnya ekosistem teknologi finansial di Indonesia. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan minat publik dalam berinvestasi pada UMKM dan mikro melalui layanan teknologi finansial peminjaman.

“Saat ini masyarakat sudah tidak perlu khawatir lagi berinvestasi melalui platform fintech lending. Dengan skema penjaminan seperti ini, Jamkrindo dan Amartha telah menciptakan sebuah standar baru bagi industri fintech lending di Indonesia. Menciptakan ekosistem yang aman dan terpercaya, didukung BUMN terbesar di bidangnya, untuk mencapai inklusi keuangan dan kesejahteraan yang lebih merata” tutup Taufan.

DStour #24: Amartha, Mengubah Gudang Furnitur Menjadi Kantor Startup Fintech

Lokasinya yang cukup strategis di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, menjadikan kantor layanan peer-to-peer lending Amartha mudah untuk dijangkau. Gedung yang sebelumnya berfungsi sebagai gudang furnitur dimanfaatkan tim Amartha menjadi ruangan kantor berbasis open space dengan gaya khas industrial.

Dilengkapi ruangan nursery atau menyusui, mushola hingga mini golf, kantor Amartha bisa menjadi contoh transformasi yang menarik. Mari kita simak seperti apa keseruan kantor layanan fintech tersebut di DStour kali ini.

#SelasaStartup Episode 1, Menyelami Lingkup Pendanaan Seri A

Berbicara soal membangun bisnis startup jelas tidak bisa lepas dari urusan pendanaan. Lingkup perusahaan teknologi sangat akrab dengan beberapa fase bisnis perihal urusan pendanaan; fase seed, Seri A, Seri B, Seri C, dan seri-seri berikutnya hingga saham perusahaan siap dijual di pasar saham, atau tahap IPO (Initial Public Offering).

Sebelum terlalu jauh mengenal ronde-ronde dalam pendanaan tersebut, mereka yang berencana mendirikan startup, maupun yang telah mengenyam aliran dana di fase seed, umumnya punya satu pertanyaan sama: bagaimana kita mendapatkan pendanaan untuk tahap Seri A?

“Saat product dan market sudah fit, barulah waktunya pendanaan seri A,” terang Co-Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra dalam event #SelasaStartup.

#SelasaStartup adalah acara bulanan yang membahas seputar industri teknologi dari perspektif, yang mencakup di antaranya seperti startup, investasi, pendanaan, inovasi teknologi, dan sejenisnya, dan diselenggarakan oleh DailySocial.

Pada Selasa (21/03) malam kemarin, #SelasaStartup memulai edisi perdananya menyoal satu topik yang menjadi buah bibir bagi tengah mencari sumber dana untuk bisnis teknologi rintisannya. Andi mengisi sharing session ditemani Wiku Baskoro, Co-Founder dan Editor-in-Chief DailySocial.

Andi, yang baru saja menerima dana segar tahap Seri A dari sebuah venture capital milik Bank BUMN bersama Amartha, menceritakan pengalamannya mengembangkan produk sampai teknis menyusun proposal ke investor.

“Ungkapan ‘we are here to change the world’ itu bukan hal yang ambisius,” ujar Andi, menyentil sedikit tentang dorongan dalam berinovasi.

Inovasi inilah yang kemudian berkaitan erat dengan bagaimana perspektif pemodal kala memutuskan untuk berinvestasi di sebuah startup. Berdasarkan apa yang dirasakannya, Andi menjelaskan bagaimana harapan investor yang ingin startup yang didanainya menjadi the next big things di Indonesia.

“Enggak perlu jadi the next Facebook di dunia deh, paling enggak jadi the next Facebook di regional.”

Memulai dengan bootstrapping maupun pendanaan dari angel investor menjadi keuntungan tersendiri bagi Andi. “Waktu seed itu masih leluasa untuk trial-error ke produk,” ujarnya.

Semakin besar skala perusahaan, semakin tinggi pula tanggung jawab yang mesti diemban. Menginjak tahapan Seri A, ruang untuk “coba-coba”sedikit menyempit dan valuasi bisnis pun kemudian menjadi satu pekerjaan rumah sendiri.

Pertanyaan yang muncul mengenai valuasi adalah tentang memulainya. “Bagaimana menghitung valuasi? Ceritakan saja dengan jujur apa yang menjadi strength dan weakness,” terang Andi.

“Di Indonesia itu lebih generik penentuan valuasinya. Bukan jumlah user berapa banyak, tapi produknya fit ke market enggak?”

Dibutuhkan nilai tambah produk untuk memenangkan hati investor dan mendapat valuasi yang tepat. Andi merasa Amartha telah melakukan hal itu dan ia sepenuhnya sadar bahwa investor berupaya mengeruk untung sebesar-besarnya di tengah peer-to-peer lending platform-nya yang dekat dengan kegiatan sosial.

“Bisnis dan sosial bukan hal yang harus dipisahkan dan harusnya bisa paralel. Amartha melihat bahwa para UKM ini bukan memposisikan tangan di bawah, tapi mereka mencari mitra kerja. Makin ke sini orang mulai berpikir bukan how much product you can make, tapi how much value you can bring to community,” jelas Andi.

Menarik di Mata Investor untuk Pendanaan Seri A

Jika startup Anda telah memberikan pembuktian performa baik pasca seed funding –salah satunya ditunjukkan dengan traksi konsumen yang terus meningkat—sehingga membuat investor dan dewan direksi merasa lega, maka babak selanjutnya kini bisa dimulai persiapkan. Yakni mencari pendanaan seri A, dengan tujuan untuk mengakselerasi laju bisnis lebih kencang.

Dalam menemukan investor untuk pendanaan seri A, rekam jejak serta apa yang telah ditorehkan sebelumnya akan berpengaruh besar pada penilaian konsumen.

Nah sekarang apakah Anda benar-benar siap meraup pendanaan $2 juta-$15 juta (estimasi secara umum total pendanaan seri A)? Investor akan melirik jika Anda sebagai founder telah memahami apa yang mereka dambakan, dan berikut ini penjelasannya.

Daya tarik produk

Para pemodal ventura jelas tidak ingin uangnya terbakar sia-sia. Salah satu yang mereka nilai adalah bagaimana akselerasi dari pertumbuhan pengguna produk. Investor juga menginginkan data yang jelas mengenai besaran user engagement terhadap produk Anda. Meski skala perusahaan Anda kecil, namun mereka menginginkan pertumbuhan produk yang besar.

Kualitas dan solidaritas tim

When your team is all-stars, no one behaves like a rockstar,” kata seseorang di dunia maya.

Investor juga ingin mengetahui dapur startup Anda. Mereka akan berpikir dua kali jika Anda tidak memiliki tim yang siap membuat produk berkualitas, meski mungkin tim Anda berisi individu-individu dengan pencapaian mentereng di CV. Kuncinya, mereka dengan senang hati mendanai Anda jika SDM di startup Anda siap beradaptasi, dinamis dan memiliki skill-set yang sesuai dengan kebutuhan bisnis.

Jejaring kuat (di bidangnya)

Jika sudah menjajaki satu kolam bisnis, jangan ragu untuk menyelam di dalamnya. Jejaring yang kuat di dalam sebuah kolam komunitas nyatanya adalah modal besar untuk menarik pendanaan.

Amartha, startup pengembang platform peer-to-peer landing, baru saja mendapat pendanaan seri A dari Mandiri Capital Indonesia (MCI) sebesar US$ 2 juta. Diakui pihak MCI, penilaian mereka salah satunya dikarenakan Amartha memiliki jaringan kuat untuk menyentuh masyarakat unbanked—berkaitan erat dengan model bisnis yang dijalankan.

Selain itu, apakah Amartha punya cara lain untuk mengundang kerja sama dengan venture capitalist di seri A?

Lebih lanjut, Co-founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra akan menjelaskan soal ini di acara #SelasaStartup bertajuk “How to Get Series A Funding?” yang diselenggarakan oleh DailySocial pada hari Selasa, 21 Maret 2017 bertempat di kantor DailySocial.

Talkshow santai ini akan mengajak Anda untuk berbincang dan berdiskusi dengan para pegiat industri startup, dengan sesi networking dan coffee time yang hangat di dalamnya. Dan perlu diingat, acara ini gratis, hanya untuk Anda para tech and startup enthusiast!

Anda dapat langsung mendaftarkan diri Anda untuk #SelasaStartup di sini.

Mandiri Capital Pimpin Pendanaan Seri A Untuk Platform P2P Lending Amartha

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengumumkan pendanaan seri A untuk platform P2P lending Amartha dengan nilai sekitar US$2 juta (sekitar lebih dari 26 miliar Rupiah). Investor baru yang turut bergabung dalam pendanaan kali ini adalah Lynx Asia Partners. Dua investor lainnya yang telah bergabung dalam pendanaan sebelumnya, yakni Beenext dan Midplaza Holding.

Sejauh ini, MCI telah mengumumkan dua kali pendanaan yakni Moka sebesar Rp26 miliar dan Amartha sekitar US$2 juta. Bulan depan pihak MCI akan kembali mengumumkan pendanaan lainnya, kali ini untuk startup fintech di sektor sistem pembayaran.

Dalam pipeline, MCI berencana untuk menambah tiga hingga empat startup fintech masuk ke dalam portofolio investasi sepanjang semester I dan II 2017. Diharapkan total perusahaan baru yang mendapat investasi dari MCI sepanjang tahun ini menjadi 8-10 perusahaan.

Adapun segmen startup yang bakal diincar MCI bergerak di sistem pembayaran, lending, dan SME solution. Ketiga segmen ini diharapkan dapat menopang proses bisins Bank Mandiri beserta anak usaha Grup Bank Mandiri lainnya.

“Model bisnis Amartha sangat penting bagi perekonomian kita karena mampu memberikan solusi untuk menyentuh masyarakat unbanked. Dengan pengalaman lebih dari tujuh tahun di segmen pembiayaan mikro, jaringan yang kuat di pelosok daerah, dan tim leadership yang tangguh, Amartha mendukung visi Bank Mandiri untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Tanah Air,” kata Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, Selasa (7/3).

CEO dan Co-Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan Amartha dapat memberi tambahan value sebagai salah satu portofolio investasi MCI. Mengingat, Amartha telah memodernisasikan segmen mikro sehingga menciptakan segmen pasar baru yang memungkinkan masyarakat di lapisan piramida terbawah untuk memperoleh alternatif sumber permodalan bagi bisnis mereka.

Bentuk sinergi dengan Bank Mandiri

Dengan adanya sinergi dengan Bank Mandiri, Amartha bakal menggunakan kesempatan tersebut untuk pengembangan produk, mulai dari peningkatan kapabilitas credit scoring, mempelajari karakter kredit macet seperti apa, penanganannya seperti apa, dan lain sebagainya.

Rencananya Amartha ingin menambah jumlah agen sebagai perpanjangan tangan perusahaan bisa bertambah antara dua hingga tiga kali lipat dari saat ini sekitar 100 orang. Tak hanya itu, apabila kondisi memungkinkan Amartha dapat ekspansi ke luar Pulau Jawa.

“Kami juga sedang memikirkan dengan Bank Mandiri, bagaimana bisa membuat peminjam yang masih unbanked menjadi bankable. Sebab, selama ini seluruh proses penyaluran dan pembayaran masih dilakukan secara tunai karena mereka belum memiliki rekening bank. Itu yang sedang kami coba pecahkan solusinya,” ucap Taufan.

Sistem pembayaran yang masih tunai membuat Amartha melakukan resep tersendiri untuk mencegah terjadinya kredit macet. Amartha memiliki agen tersendiri yang tersebar di Pulau Jawa. Mereka bertugas untuk membantu para peminjam saat ingin mengajukan aplikasi pinjaman, menyalurkan pinjaman, dan menerima pembayaran angsuran.

Setiap agen memiliki tugas untuk bertemu setiap peminjam yang terbagi-bagi menjadi kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 20 peminjam. Lewat resep ini, Amartha mengklaim berhasil menekan laju kredit macet tetap berada di angka 0%.

Hingga kini, total pinjaman yang sudah disalurkan Amartha telah menembus di angka Rp68 miliar kepada 30 ribu pengusahan mikro perempuan dengan tingkat kredit macet 0% selama tujuh tahun berturut turut.

“Percaya enggak percaya, kredit macet kami masih 0%. Ini membuktikan segmen mikro itu tidak seburuk yang dibayangkan, mereka itu credit worthy bila pendekatannya tepat mereka akan tanggung jawab dengan pinjamannya. Sistem pinjaman per kelompok terbukti berhasil minimalisir kredit macet. Kalau ada masalah NPL, bukan agen Amartha saja yang turun, tapi berbarengan cari solusinya.”

Mengingat Amartha masih memiliki agen untuk pendekatan, makanya perusahaan menerapkan sistem komisi yang ditarik dalam setiap transaksinya, untuk peminjam maupun pemilik dana. Untuk peminjam (borrower) komisi yang ditarik sebesar 5%-10% per transaksi tergantung risiko dan besaran pinjaman, sementara untuk pemilik dana (lender) sebesar 1%-3%.

Adapun besaran dana yang bisa diberikan untuk peminjam mulai dari Rp3 juta hingga Rp10 juta, dengan tenor 3/6/12 bulan. Untuk imbal hasil yang ditawarkan kepada pemilik dana mulai dari 10% hingga 15% per tahun.

Dukungan Layanan P2P Lending untuk Permodalan UMKM

Solusi berbasis teknologi untuk sektor finansial (fintech) saat ini cukup menjadi perhatian industri. Berbagai jenis layanan hadir mulai menggantikan sistem transaksi tradisional yang sebelumnya ada, salah satu yang paling gencar dikembangkan adalah platform berbasis Peer-to-Peer (P2P) Lending. Pemainnya mulai berkembang, beberapa di antaranya adalah Amartha dan Modalku. Dari berbagai inisiatif fintech tersebut, UMKM menjadi salah satu pangsa pasar yang banyak menjadi sasaran.

Dalam sebuah diskusi panel bertajuk “Inovasi Microlending untuk Mewujudkan Keuangan Inklusif” yang digagas oleh Amartha dan CodeMargonda, keterkaitan platfrom P2P Lending dibahas tentang bagaimana marketplace tersebut (umumnya layanan P2P Lending berupa marketplace) menghubungkan pengusaha UMKM dengan penyedia modal beserta penjamin keamanannya.

UMKM, fintech, regulasi, dan akses permodalan melalui jagat maya

Diskusi diawali perwakilan pengusaha yang dibawakan Didi Diarsa. Apa yang ia sampaikan mencoba mendefinisikan ulang bagaimana sektor UMKM bertumbuh di era teknologi saat ini. Sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional yang didominasi oleh kalangan pemuda, UMKM memiliki potensi signifikan untuk bertumbuh. Dengan kapabilitas community-sharing yang dimiliki, bersama dukungan teknologi seperti media sosial dan layanan fintech, tak diragukan lagi bahwa UMKM akan segera beranjak pangsa pasarnya ke level regional.

Salah satu dukungan yang dinilai menjadi pendorong utama UMKM untuk berkembang adalah akses permodalan. Menurut Lead Economist World Bank Vivi Alatas, modal tersebut akan menjadi sangat berarti ketika dibungkus dengan yang namanya “growth mindest”. Bukan sekedar memberikan dana, tapi juga memberikan edukasi untuk menyelesaikan berbagai isu pengembangan bisnis seperti proses memulai yang rumit, kendala perizinan, hingga pengalaman bisnis yang terbatas.

Dua hal tersebut di atas menjadi sebuah titik poin yang sebenarnya bisa dimasuki pemain P2P Lending untuk memberikan fasilitas kepada UMKM. Nilai plus yang dihadirkan adalah membantu akselerasi bisnis UMKM yang sedang dirintis tersebut.

Fintech menawarkan beragam solusi bisnis siap terap, membantu UMKM memulai proses transaksi (baik untuk kebutuhan bisnis internal ataupun hubungannya dengan pembayaran oleh konsumen). Fintech tumbuh di Indonesia untuk memberi jasa keuangan, tidak hanya sebagai sebuah bisnis, tapi ada kepedulian di dalamnya. Dipaparkan Head of Bank Indonesia Fintech Office Junanto Herdiawan, BI sendiri kini sedang membahas terkait perlindungan konsumen, investor hingga memonitor kondisi fintech yang berkembang saat ini.

Adanya regulasi yang disusun antar lembaga diharapkan meminimalkan kemungkinan penyelewengan proses keuangan dengan teknologi tersebut. Disinggung juga bahwa potensi fintech di Indonesia kisarannya akan segera menyentuh angka $14,5 miliar.

Jaminan keamanan dan pengawasan oleh OJK untuk transparansi fintech

Sisi keamanan menjadi sorotan penting dari proses bekerjanya layanan fintech, terlebih yang memberikan dukungan kepada UMKM. Menjawab hal ini, pihak BI menjawab bahwa bank masih akan dijadikan pertahanan karena fintech dinilai belum bisa sepenuhnya menjadi platform (untuk pemberian modal penuh pada UMKM), sehingga kolaborasi dengan bank perlu dilakukan. Hal ini dinilai turut akan memberikan jaminan keamanan. BI dan OJK sendiri masih berdiskusi intensif terkait hal ini.

Teknisnya Junanto mengatakan bahwa untuk pemrosesan kebutuhan tersebut sistem harus jelas, seperti data dan tempat penyimpanan data yang jelas. BI dan OJK pun sudah mengatur terkait dengan hal tersebut. Hal tersebut dirasa penting, karena hasil akhir fintech adalah perubahan perilaku dalam bertransaksi.

Transformasi Menjadi Peer to Peer Lending Marketplace, Amartha Beri Pendekatan Offline to Online

Geliat bisnis peer to peer (P2P) lending terus terlihat berkat mulai diliriknya sektor financial technology (fintech) oleh beberapa kalangan, termasuk pemerintah. Amartha, sebuah lembaga keuangan mikro yang berdiri sejak tahun 2010 silam, tahun lalu secara resmi bertransformasi menjadi layanan P2P lending marketplace. Transformasi tersebut memungkinkan individu atau kelompok berinvestasi untuk UKM-UKM yang mencari pinjaman.

Amartha didirikan oleh seorang alumnus Harvard University Andi Taufan Garuda Putera. Ia dibantu oleh beberapa tim profesional di belakangnya dan juga didukung oleh technical assistance lembaga keuangan, baik dari dalam maupun luar negeri untuk pendekatan pembiyaan bagi masyarakat piramida. Beberapa di antaranya adalah Grameen Foundation, Microsave, dan mitra riset Bank Indonesia.

Andi mengatakan, “Kami percaya kemampuan individu dan UMKM untuk mendapatkan pembiayaan itu penting untuk menstimulasi dan mewujudkan keberlanjutan ekonomi yang sehat, diverse, dan inovatif. Sehingga di tahun 2015 kami berupaya memperluas jangkauan dengan bertransformasi menjadi penyedia layanan fintech melalui Peer-to-Peer Lending marketplace.”

Lebih jauh Andi menjelaskan bahwa tujuan transformasi tersebut adalah untuk memberdayakan bisnis di sektor informal economies, dengan memungkinkan masyarakat bisa berinvestasi langsung ke UKM. Dengan demikian, sumber pendanaan akan menjadi lebih terversifikasi mulai dari perbankan, institusi investor, investor pribadi, hingga kalangan masyarakat umum (retail investor). Dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih inklusif.

Sebagai lembaga keuangan mikro, pendanaan Amartha didukung oleh berbagai pihak bank seperti Bank Muamalat, Bank Sampoerna, BJB, Bank Woori Saudara, dan BNI. Semenjak bertransformasi menjadi P2P lending marketplace kini Amartha juga didukung oleh beberapa investor, baik perorangan ataupun venture capital. Sayangnya tidak ada nilai pasti yang disebut Andi untuk jumlah investasi tersebut.

Hingga hari ini Amartha mencatat sudah melayani lebih dari 20.000 orang dengan total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 37 miliar dan total kredit macet 0%. Fakta itu menjadi salah satu menjadi pertimbangan Amartha untuk terus mempercayai UKM-UKM yang mengajukan pinjaman.

“Kami telah berada di bisnis pembiayaan mikro selama lebih dari lima tahun. Selama itu pula kami membuktikan bahwa kalangan pebisnis UMKM yang terbatas terhadap layanan perbankan adalah peminjam yang baik, dengan tingkat gagal bayar 0% hingga hari ini. Kami berupaya untuk meningkatkan pengusaha mikro menjadi credity-worthy borrowers,” terang Andi.

Pun begitu, Andi juga tidak memungkiri risiko gagal bayar akan tetap ada. Tapi dengan pendekatan yang tepat dan disiplin yang dibangun, baik dari sisi peminjam atau tim di lapangan, risiko tersebut bisa dikelola dengan baik. Selain itu Amartha juga menerapkan skorsing kredit untuk memastikan risiko dapat dikelola dengan baik.

Amartha dan keunikannya

Diterangkan Andi, sebagai sebuah bisnis Amartha memiliki sejumlah keunikan jika dibanding dengan P2P lending marketplace yang ada di Indonesia. Pertama, adalah pendekatan offline to online. Kedua, adalah automated dan Dynamic Credit Intelligence System yang dibangun.

Dengan pendekatan offline to online, Amartha dapat membantu memfasilitasi pengajuan proposal dan pembiayaan ke dalam marketplace bagi peminjam yang memiliki keterbatasan akses internet. Kemudian data pembayaran angsuran diproses secara real time masuk ke akun peminjam atau investor. Ada tim lapangan yang dilengkapi perangkat Android untuk pendekatan ini.

Sementara itu melalui automated dan Dynamic Credit Intelligence System yang dibangun, marketplace Amartha memiliki proprietary risk algorithm. Ini memungkinkan Amartha membuat credit scoring berdasarkan behavioral data dan data transaksi untuk melakukan penilaian terhadap risk profile calon peminjam.

Andi mengatakan, “Kami terus berfokus di proprietary technology platform untuk membangun analytical tools sehingga memastikan lenders / investors untuk memiliki informasi yang lengkap dalam membuat keputusan dan menilai portofolio.”

Tanggapan pihak Amartha mengenai bisnis P2P lending di Indonesia

Menurut Andi hadirnya para pemain P2P lending marketplace seperti sekarang ini dapat melengkapi sistem perbankan untuk menjangkau para investor perorangan maupun peminjam dari UKM. Andi percaya dengan adanya transparansi dan keterbukaan pasar yang memungkinkan peminjam dan investor memiliki akses terhadap informasi yang dilengkapi dengan teknologi dan perangkat analisis dapat membuat pembiayaan menjadi lebih terjangkau, redirecting aset yang selama ini dipendam dalam bank, dan menarik sumber-sumber modal baru untuk asset class baru seperti usaha mikro dan kecil.

“Kami percaya lending marketplace memiliki kekuatan untuk memfasilitasi penyebaran pendanaan yang lebih efisien, meningkatkan daya saing UMKM, dan menjembatani pemerataan ekonomi di Indonesia,” imbuh Andi.

Salah satu hal yang harus dihadapi para pemain P2P lending adalah regulasi. Mengenai hal ini Andi optimis mereka akan mendapat dukungan, termasuk juga dari para pemain konvensional, seperti pihak bank.

“Kami telah berbicara dengan para pemain perbankan konvensional dan juga regulator. Secara umum mereka antusias terhadap kehadiran P2P. Beberapa bank rekanan Amartha bahkan telah menyatakan komitmen mereka untuk bekerja sama di platform P2P ini,” ujar Andi.

“Sementara itu bagi OJK sebagai regulator, dukungan mereka terlihat dari dibentuknya Focus Group Discussion dan desk khusus untuk membahas kehadiran P2P ini. Sementara aturan yang baku masih dalam proses penyusunan. Amartha senantiasa berkomitmen untuk mematuhi ketentuan regulator dan memantau perkembangan arah kebijakan P2P di Indonesia,” tutup Andi.