Aplikasi Sephora Bantu Anda Menjajal Makeup Secara Virtual

Augmented reality dipadankan menjadi “realitas tertambah” dalam Bahasa Indonesia. Maknanya secara harfiah adalah menambahkan objek virtual ke objek di dunia nyata; bisa meja dan kursi, bisa juga wajah Anda sendiri.

Potensi teknologi AR tentu saja sangat luas, akan tetapi salah satu pihak yang paling diuntungkan adalah industri fesyen atau produk kecantikan, seperti yang dibuktikan oleh Sephora melalui update aplikasi iOS-nya. Dalam versi terbarunya, Sephora telah menambahkan fitur berbasis AR yang dinamai “Virtual Artist”.

Fitur yang dikembangkan bersama perusahaan AR bernama ModiFace ini memungkinkan aplikasi untuk memindai wajah pengguna, memastikan letak mata dan bibirnya, sehingga kemudian pengguna dapat langsung mencoba beragam produk makeup secara virtual. Untuk sekarang, jenis kosmetik yang bisa dicoba baru terbatas pada lipstik, eyeshadow dan bulu mata palsu.

Sephora Virtual Artist pada dasarnya ingin memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mengetahui apakah gaya dandanan yang dicoba cocok dengan wajahnya atau tidak, tanpa mengharuskan sang konsumen untuk datang langsung ke department store. Kalau benar cocok, konsumen pun bisa langsung melakukan pembelian dari dalam aplikasi – meski fitur ini sepertinya baru tersedia untuk negara-negara tertentu saja.

Namun penerapan AR dalam aplikasi Sephora tidak berhenti sampai di situ saja. Pengguna juga dapat mengikuti tutorial dimana panduan-panduannya akan langsung diberikan di atas wajah pengguna yang telah dipindai itu tadi. Cara seperti ini jelas lebih mudah diikuti ketimbang menonton video di YouTube.

Kedua fitur berbasis AR ini sekarang sudah tersedia di versi terbaru aplikasi Sephora untuk iOS. Sayangnya aplikasi Sephora sendiri belum masuk ke App Store Indonesia, jadi Anda harus mengubah settingan negara menjadi Amerika Serikat terlebih dulu untuk bisa mengunduhnya.

Sumber: The Verge.

Avegant Kembangkan Prototipe Perangkat Mirip HoloLens dengan Teknologi Light Field

Meskipun belum dirilis untuk publik, Microsoft HoloLens telah menuai banyak pujian karena berhasil melebur objek-objek virtual dengan dunia nyata. Tidak hanya itu, kita pun dapat berinteraksi dengan objek-objek tersebut, seperti yang didemonstrasikan oleh Microsoft pada pertengahan tahun 2015 lalu.

Terlepas dari kecanggihannya, HoloLens masih menuai sejumlah kritik. Utamanya adalah field of view yang sempit serta hilangnya objek virtual saat pengguna berada terlalu dekat dengannya. Ini jelas bertolak belakang dengan cara kerja indera penglihatan kita.

Apakah versi final HoloLens nantinya masih mengalami kendala seperti ini? Tidak ada yang tahu, akan tetapi sekarang setidaknya sudah ada perusahaan lain yang mencoba mencarikan solusinya. Perusahaan itu adalah Avegant, yang sebelum ini sudah meluncurkan sebuah HMD (head-mounted display) unik bernama Glyph.

Setelah cukup sukses dengan Glyph, Avegant kini memutuskan untuk mengembangkan mixed reality headset-nya sendiri. Fungsi perangkat ini sejatinya sangat mirip seperti HoloLens, akan tetapi berdasarkan demonstrasi prototipenya, racikan Avegant ini lebih superior dalam hal visual.

Visual yang dimaksud bukan desain perangkat, melainkan konten yang disajikannya. Merujuk pada problem HoloLens tadi dimana objek akan sirna ketika pengguna berada terlalu dekat, masalah itu tidak berlaku pada prototipe Avegant. Rahasianya terletak pada penerapan teknologi light field.

Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant
Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant

Light field sederhananya mampu menyimulasikan mekanisme fokus indera penglihatan manusia secara realistis. Jadi ketika headset menampilkan konten berupa sistem tata surya, planet yang ada di kejauhan akan tampak kabur ketika kita menatap planet yang berada di dekat kita, demikian pula sebaliknya.

Menurut pendapat The Verge, grafik yang disuguhkan juga lebih tajam sekaligus realistis ketimbang HoloLens. Prototipe Avegant bahkan tidak menjumpai masalah ketika harus me-render sebuah objek di atas telapak tangan, dan penggunanya tetap bisa melihatnya secara jelas.

Kekurangannya? Prototipe Avegant Light Field ini harus disambungkan ke PC via kabel, tidak seperti HoloLens yang benar-benar wireless. Lebih lanjut, prototipe Avegant juga masih mengandalkan tracker eksternal seperti yang dilakukan HTC dengan Vive. Ke depannya, Avegant berharap produk finalnya bisa menyuguhkan sistem tracking terintegrasi seperti HoloLens.

Pengguna pun juga tidak dapat berinteraksi dengan objek virtual yang ditampilkan. Ini semua merupakan tantangan-tantangan terbesar yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh Avegant. Mereka berharap bisa menyajikan produk final paling tidak dalam 12 atau 18 bulan ke depan.

Sumber: The Verge dan ZDNet.

Shazam Luncurkan Platform Augmented Reality untuk Brand

Mendengar nama Shazam, Anda mungkin langsung teringat dengan musik (atau superhero). Maklum, selama bertahun-tahun Shazam telah menjadi aplikasi penebak judul lagu andalan jutaan konsumen. Akan tetapi di tahun 2017 ini, Shazam resmi melebarkan sayapnya ke ranah augmented reality (AR).

Keputusan ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari teknologi visual image recognition yang Shazam rilis di tahun 2015. Mereka sekarang telah menggandeng perusahaan yang sangat berpengalaman di bidang pengembangan konten AR, Zappar, guna mematangkan platform AR ini beserta teknologi di baliknya.

Apa yang Shazam tawarkan sejatinya merupakan media pemasaran baru bagi pemilik brand. Salah satu brand yang sudah meneken kontrak dengan Shazam adalah Beam Suntory Inc., yang tidak lain merupakan produsen minuman keras ternama, Jim Beam.

Shazam AR bisa menjadi pengganti "Cereal Box Syndrome" untuk generasi mendatang / Shazam
Shazam AR bisa menjadi pengganti “Cereal Box Syndrome” untuk generasi mendatang / Shazam

Platform AR ini dirancang untuk ‘menghidupkan’ materi promosi apa saja hanya dengan memindai Shazam Codes. Shazam Codes ini nantinya akan disebar ke berbagai produk, contohnya pada kemasan botol tequila produksi Beam Suntory itu tadi, dimana setelah memindai konsumen dapat memainkan memory game interaktif berbasis AR.

Semuanya berjalan langsung dari aplikasi Shazam di Android maupun iOS, tanpa membutuhkan aplikasi terpisah. Inilah yang membuat platform Shazam AR terdengar menarik; mereka sudah punya pengguna dalam jumlah besar, dan hampir semuanya sudah terbiasa memanfaatkan Shazam sebagai alat bantu untuk menemukan informasi baru.

Saya membayangkan Shazam Codes dan konten AR ini nantinya akan menjadi pengganti “Cereal Box Syndrome”, sindrom dimana kita terbiasa membaca informasi yang terpampang pada kotak kemasan sereal, susu dan lain sebagainya. AR pada dasarnya dapat mengubah informasi apapun menjadi interaktif, dan boks sereal pun juga layak menjadi salah satu targetnya.

Sumber: Shazam.

Rangkuman Acara XR Meetup v7.0 ‘VR-AR & Brands’

Dilangsungkan di kantor Kaskus pada tanggal 8 Maret kemarin, XR Meetup ke-7 difokuskan membahas aspek pemanfaatan teknologi immersive seperti virtual dan augmted reality di sisi branding. Acara tersebut menghadirkan Nico Alyus (OmniVR), Dimas Setyo (Acer), Anvid Erdian (Lenovo), dan Mohamad Ario Adimas (Indosat Ooredoo) sebagai narasumbernya.

Dahulu dikenal sebagai ‘VR Meetup’, XR Meetup mengundang semua orang pihak yang mempunyai ketertarikan di bidang virtual reality buat saling berbagi ilmu dan bertemu. Selain sharing informasi, peserta bisa menjajal langsung perangkat-perangkat seperti HTC Vive, Google Daydream View, Oculus Rift, 3Glasses sampai Nokia Ozo. Dan lewat artikel ini, saya mencoba merangkum segala informasi yang diungkap di acara tersebut.

XR Meetup 7 5

 

Nico Alyus – OmniVR

XR Meetup 7 9

OmniVR merupakan pihak pencetus XR Meetup, dan sebagai Head of Business Development-nya, Nico Alyus secara singkat menjelaskan apa yang jadi bidang bisnis perusahaan tersebut. OmniVR fokus pada pengembangan hardware dan konten virtual reality, di antaranya ada game, mixed reality, video 360, hingga penyediaan simulator.

Menurut Nico, ada tiga aspek penting penunjang VR: head-mounted display, unit controller, serta konten. Dan berdasarkan penyajiannya, perangkat juga terbagi lagi dalam beberapa kategori, ada mobile VR (Samsung Gear VR, Google Daydream View), tethered VR (device yang tersambung ke PC, contohnya OSVR, Rift, PSVR), serta ‘advancedtethered VR – maksudnya adalah HMD yang menyediakan satu solusi lengkap, seperti HTC Vive.

XR Meetup 7 1

Aspek kreasi konten VR sebetulnya telah tumbuh dengan subur. Saat ini tersaji banyak pilihan platform, misalnya SteamVR, Viveport yang dikhususkan untuk software non-game, Oculus Store serta Google Daydream; dan sudah banyak engine siap mendukungnya – Unity, Unreal, dan Autodesk Stingray.

XR Meetup 7 15

Angka pertumbuhan VR memang menunjukkan kurva positif di tahun 2016, namun Nico sendiri berpendapat bahwa di tahun inilah virtual reality betul-betul bangkit. Berdasarkan data yang ia tunjukkan, umumnya adopsi teknologi-teknologi baru berjalan lebih cepat dan saat ini konsumen sedang sangat tertarik pada VR.

XR Meetup 7 6

Dari analisis OmniVR, virtual reality bisa jadi sangat berguna untuk kegiatan offline activation, di mana khalayak target bisa menjajal dan mengagumi teknologinya secara langsung.

Dimas Setyo – Acer

XR Meetup 7 10

Di ranah ini, Acer memegang dua peran: penyedia perangkat ‘VR ready‘ serta pengembang head-mounted device. Anda mungkin sudah tidak asing dengan keluarga Predator. Berkat kehadiran Nvidia GeForce GTX seri 10, semakin banyak PC dan laptop yang sanggup menangani virtual reality. Tapi manuver paling menarik Acer di industri ini adalah pegembangan StarVR.

XR Meetup 7 8

Digarap bersama-sama oleh Acer dan Starbreeze (developer The Chronicles of Riddick: Escape from Butcher Bay), StarVR boleh dikatakan sebagai headset virtual reality berspesifikasi tertinggi. Ketika device kompetitor beradu di level resolusi 2160x1200p dan FoV 110 derajat, StarVR menghidangkan field of view horisontal 210 derajat dan vertikal 130 derajat dengan resolusi 5K (5120x1440p). Menariknya lagi, HMD ini tidak diracik buat jadi rival langsung bagi Vive ataupun Rift. StarVR dispesialisasikan untuk menyajikan pengalaman sinematik, bisa dinikmati di IMAX VR Centre, Los Angeles.

XR Meetup 7 2

Acer kabarnya juga sedang menggodok headset mixed reality baru untuk mendukung platform Windows Mixed Reality (dulu dikenal sebagai Windows Holographic).

Mohamad Ario Adimas – Indosat Ooredoo

XR Meetup 7 11

Bagi Indosat Ooredo, augmented serta virtual reality merupakan salah satu tren teknologi dengan kenaikan tertinggi, dan saat ini merupakan waktu yang tepat buat mengadopsinya. Alasannya? Konektivitas 4G LTE kian handal, banyak pemain besar berpartisipasi dan menyediakan fasilitas, konten ciptaan developer lokal bertambah banyak, dan masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang baru.

XR Meetup 7 12

Ario selaku perwakilan dari Indosat Ooredoo menyampaikan bahwa mereka telah mulai memanfaatkan VR untuk online dan event marketing, corporate social responsibility (CSR), dan juga mempersilakan konsumen mencobanya di gerai-gerai Indosat Ooredoo. Tapi ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan buat turut bermain di sana. Kita perlu ingat bahwa di Indonesia, belum banyak orang menggunakan perangkat VR, kreator kontennya sedikit, lalu banyak pihak masih lebih memilih menyalurkan anggaran ke teknologi yang ‘sudah lebih terbukti’.

Ario juga bilang bahwa inisasi sebuah teknologi baru harus tepat. Jika terlalu cepat dan khalayak belum siap, bahkan konten menarik pun sulit diserap – contohnya seperti prakarsa Indosat MonstAR.

Anvid Erdian – Lenovo

XR Meetup 7 13

Perangkat bergerak adalah ujung tombak penetrasi VR di kalangan end-user, dan berdasarkan penuturan Anvid Erdian dari Lenovo Indonesia, alasannya sangat sederhana: mereka minim kabel, mudah dipasang, ringkas, serta cukup kuat buat menunjang mobile computing. Dan untuk sekarang, ekosistemnya telah tercipta dengan mantap.

XR Meetup 7 3

Memang belum ada konfirmasi mengenai apakah Google akan menghadirkan Daydream View secara resmi ke Indonesia, namun dengan meresmikan Motorola Moto Z di nusantara, Lenovo menunjukkan kesiapannya untuk menyuguhkan VR via HMD baru tersebut. Lenovo sudah lama memperlihatkan ketertarikannya pada virtual reality, dahulu dibuktikan lewat penyajian smartphone-smartphone berteknologi TheaterMax, seperti Vibe K4 Note, Vibe K5 Plus, serta A7000 SE buat dinikmati bersama AntVR.

XR Meetup 7 7

Untuk memicu faktor kreasi kontennya, Lenovo juga turut mengadakan VR Challange. Tiga app terpilih jadi pemenangnya, yaitu Terkunci: VR Game, Virtual Stellarity: VR Edugame dan Crazy Ojek 3D VR.

Samsung C-Lab Akan Pamerkan 4 Proyek VR dan AR Inovatif di MWC 2017

Event tahunan Mobile World Congress selalu dimanfaatkan oleh pabrikan-pabrikan seperti Samsung untuk memperkenalkan produk-produk terbarunya. Tahun ini, Samsung rupanya juga berencana untuk memamerkan sejumlah proyek inovatif karya divisi inkubatornya, Samsung C-Lab.

Sebelum ini, tepatnya di ajang CES 2016, C-Lab telah memamerkan tiga perangkat wearable berkonsep menarik, serta perangkat VR empat dimensi di kesempatan lain. Kali ini fokus mereka benar-benar diarahkan ke ranah virtual dan augmented reality lewat empat proyek sekaligus: Relúmĭno, Monitorless, VuildUs dan traVRer.

Relúmĭno

Relúmĭno / Samsung C-Lab
Relúmĭno / Samsung C-Lab

Relúmĭno merupakan sebuah aplikasi VR yang dirancang untuk membantu pengguna yang memiliki gangguan penglihatan dari berbagai tingkatan. Saat disandingkan dengan headset Gear VR, aplikasi ini diklaim sanggup mempertajam tampilan teks dan elemen visual lain sehingga pada akhirnya bisa kelihatan lebih jelas.

Singkat cerita, Relúmĭno memungkinkan pengguna yang memiliki gangguan penglihatan untuk bisa menonton video atau membaca e-book tanpa harus mengandalkan alat bantu khusus yang umumnya berharga cukup mahal.

Monitorless

Monitorless / Samsung C-Lab
Monitorless / Samsung C-Lab

Nama Monitorless mengacu pada fungsi dari perangkat ini sendiri. Perangkat berwujud menyerupai kacamata hitam biasa ini pada dasarnya memiliki peran untuk menggantikan layar smartphone maupun PC dengan memanfaatkan konektivitas nirkabel.

Yang menarik, Monitorless dapat digunakan untuk menikmati konten VR maupun AR berkat penggunaan lensa electro chromic. Perangkat ini pada dasarnya menyimpan semua komponen elektroniknya di bagian tangkai, termasuk prosesor, modul Wi-Fi, proyektor, speaker dan baterai.

VuildUs

VuildUs / Samsung C-Lab
VuildUs / Samsung C-Lab

VuildUs merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk mempermudah pemilik rumah atau apartemen dalam memilih berbagai macam perabot dengan memanfaatkan teknologi VR. VuildUs terdiri dari sebuah kamera 3D dengan cakupan 360 derajat dan sebuah aplikasi untuk VR headset.

Kamera tersebut bertugas untuk memindai ruangan di dalam kediaman secara penuh, yang kemudian akan diterjemahkan menjadi versi virtual untuk ditinjau menggunakan VR headset. Dari situ pengguna dapat menempatkan beragam perabot dan mendapat gambaran yang sangat mirip seperti versi aslinya, bahkan sampai detail pengukurannya.

traVRer

traVRer / Samsung C-Lab
traVRer / Samsung C-Lab

traVRer dirancang sebagai sebuah platform video 360 derajat yang bisa memberikan tur virtual serealistis mungkin, lengkap beserta mood, suara maupun event di berbagai lokasi terkenal di dunia. Yang unik dari traVRer adalah kemudahan untuk melihat suatu lokasi pada jam-jam tertentu, dan semuanya tanpa perlu menavigasikan menu yang rumit.

Sumber: Samsung.

Bos Facebook Pamerkan Sarung Tangan VR Canggih Karya Tim Oculus Research

Berangkat dari sebuah proyek Kickstarter, Oculus akhirnya diakuisisi oleh Facebook pada bulan Maret 2014 senilai 2,3 miliar dolar. Dampak dari akuisisi Facebook tersebut salah satunya adalah sumber daya dan dana yang sangat melimpah buat Oculus, dan itu mereka buktikan lewat sebuah laboratorium R&D khusus bernama Oculus Research.

Berpusat di kota Redmond, Oculus Research dipimpin oleh Michael Abrash, yang sebelumnya merupakan karyawan Valve Software, yang kita tahu merupakan rival utama Oculus lewat teknologi yang mereka kembangkan untuk VR headset HTC Vive. Michael bersama timnya diberi tanggung jawab untuk menciptakan terobosan-terobosan baru di ranah VR sekaligus AR.

Bos Facebook, Mark Zuckerberg, belum lama ini mengunggah sejumlah foto terkait apa saja yang tim Oculus Research sedang kerjakan. Salah satu yang sangat menarik adalah sebuah prototipe sarung tangan dengan kemampuan hand tracking yang amat responsif sekaligus akurat.

Begitu hebatnya perangkat ini dalam mendeteksi pergerakan tangan sekaligus jari-jari penggunanya, Mark mengatakan bahwa ia bisa mengetik di atas sebuah virtual keyboard atau malah menembakkan proyektil jaring laba-laba layaknya Spiderman, bahkan dengan gerakan yang sama seperti di beberapa filmnya.

Menurut pengamatan UploadVR, sistem tracking yang disandingkan dengan sarung tangan tersebut rupanya bukan garapan Oculus, melainkan kamera-kamera besutan Optitrack yang dikenal mahal. Hal ini bisa menjadi bukti kalau tim Oculus Research benar-benar berkomitmen untuk menyempurnakan teknologi VR dan AR secara menyeluruh, bukan cuma produk-produk keluaran Oculus saja.

Mark Zuckerberg di dalam ruangan super-steril milik Oculus Research / Mark Zuckerberg (Facebook)
Mark Zuckerberg di dalam ruangan super-steril milik Oculus Research / Mark Zuckerberg (Facebook)

Zuckerberg tidak lupa memamerkan sejumlah fasilitas canggih yang dimiliki Oculus Research, salah satunya ruang steril yang dapat memfilter partikel udara yang ukuran seribu kali lebih kecil dari debu (gambar atas). Kemungkinan besar di area inilah Oculus memproduksi komponen optik mereka.

Ruang anechoic kedua Oculus Research sedang dalam tahap pembangunan / Mark Zuckerberg (Facebook)
Ruang anechoic kedua Oculus Research sedang dalam tahap pembangunan / Mark Zuckerberg (Facebook)

Dalam foto lainnya, semakin terbukti kalau VR itu bukan cuma mementingkan aspek visual saja, tetapi juga aural. Di sini bisa kita melihat pembangunan sebuah ruang anechoic (bebas gema) yang akan dimanfaatkan tim Oculus Research untuk bereksperimen dengan suara. Ruangan ini diklaim amat senyap – saking senyapnya, Anda bisa mendengar bunyi detak jantung Anda sendiri ketika berada di dalamnya.

Komitmen dan kecanggihan fasilitas yang dimiliki Oculus Research, tidak ketinggalan juga bergabungnya Hugo Barra sebagai salah satu pimpinan di Oculus, membuat perkembangan ke depan di ranah virtual reality terdengar semakin menarik.

Sumber: UploadVR dan Mark Zuckerberg (Facebook).

Jakarta XR Meetup 6.0, Mengedukasi VR/AR untuk Sistem Edukasi

Kehadiran VR/AR di dunia digital di tahun 2016 menyajikan poros baru bagi sebagian aspek industri. Paska ledakan tersebut, ranah hiburan boleh jadi terlihat paling menonjol dalam hal penerapan VR/AR, meski di sisi lain, adopsi teknologi visualisasi ini dapat dinikmati untuk bidang lain seperti pemasaran, periklanan, hingga kemiliteran.

Lingkup pendidikan juga turut mencicipi teknologi VR/AR dalam pengembangannya, seperti dalam metode pengajaran yang dilakukan tenaga pendidik. Nah, untuk menyelaraskan dan mengkaji VR/AR bagi dunia edukasi, OmniVR kembali mengadakan meetup bernama Jakarta XR Meetup 6.0 yang bertajuk “VR/AR and Tech Education”, di Binus fX Campus, fX Sudirman lantai 6.

Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial
Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial

“Kenapa bukan VR tapi XR? Karena ‘X’ itu artinya extended. Jadi meetup ini enggak akan cuma membahas dunia virtual reality, tapi juga augmented reality dan mixed reality,” jelas Nico Alyus, Co-founder OmniVR yang secara sederhana menjelaskan perubahan nama dari Jakarta VR Meetup menjadi Jakarta XR Meetup.

Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial
Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial

Dan seperti judulnya, Jakarta XR Meetup keenam ini secara menyeluruh bercerita mengenai pengembangan VR/AR yang dijahit dalam cakupan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari daftar empat pembicara malam itu yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda namun masing-masing memiliki keahlian dan ketertarikan yang besar dalam dunia VR/AR.

Setelah dibuka oleh Nico, Head of Program of Games Application & Technology Binus University Michael Yoseph menjadi pembicara pertama malam itu. Sebagai seorang dosen, Yoseph tentunya menerangkan dari sudut pandang pendidikan, di mana ia berpendapat bahwa VR/AR secara nyata dapat menawarkan metode lain dalam mempelajari sesuatu. “Contohnya saat belajar sejarah atau ekosistem bawah laut. Kita tidak perlu ada di sana namun bisa merasakan pengalaman yang nyata untuk mempelajarinya,” ujarnya.

Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial
Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial

Poin tersebut juga diamini oleh pembicara kedua Irving Hutagalung, Audience Evangelism Manager Microsoft Indonesia. Lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini beranggapan bahwa AR kini, misalnya, dapat membantu mempelajari organ tubuh dengan real-time interaction.

Membawa perspektif baru bagi VR/AR dalam dunia pendidikan, Dosen dari Telkom University Fat’hah Noor Prawita menjelaskan seputar virtual reality untuk disabilitas. “4,7% dari masyarakat Indonesia adalah penyandang tuna daksa,” ujar Fat’hah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, para penyandang tuna daksa dan jenis difabel lainnya seringkali lebih memilih untuk beraktivitas dan bermain di dalam rumah.

Untuk itu, Fat’hah dan mahasiswanya kerap kali berkesempatan membuat proyek akhir studi dan bekerja sama dengan beberapa komunitas difabel dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk membuat produk VR/AR yang membantu kaum difabel untuk merasakan pengalaman akan banyak hal. “Seperti misalnya, kami membuat proyek virtual reality mengenai flying fox untuk mereka yang tuna daksa,” terangnya.

Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial
Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial

Pembicara keempat ialah Sidiq Permana, seorang Google Developer Expert for Android yang malam itu menjelaskan Project Tango dari Google. Menurut Sidiq, saat mengembangkan produk AR, salah satu tantangan yang seringkali dihadapi ialah ketika pengguna melihat suatu objek, kemudian ia mengubah sudut pandangnya, objeknya seringkali hilang atau berpindah (drifting). “Nah, kemampuan ini yang dimiliki Google Tango; kemampuan mengingat dan merekam,” tutur Sidiq.

Sesi terakhir di acara bulanan keenam Jakarta XR Meetup ini merupakan sesi yang biasanya ditunggu-tunggu oleh para peserta meetup ini, yakni mencoba virtual reality device. Malam itu, tiga device tersedia untuk dicoba secara bebas oleh pengunjung Jakarta XR Meetup, antara lain Google Daydream, HTC Vive, dan Lenovo Phab 2 Pro Google Tango.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari event Jakarta XR Meetup 6.0.

Vuzix Blade 3000, Seperti Kacamata Biasa tapi Sepintar Google Glass

Konsep kacamata pintar yang diperkenalkan Google Glass beberapa tahun lalu adalah proyeksi augmented reality langsung di hadapan mata. Namun ternyata Glass gagal mendapat tempat di hati konsumen. Salah satu alasannya adalah, orang-orang enggan dianggap aneh oleh sekitarnya hanya karena ada sebuah gadget di wajahnya.

Memang, ketika membicarakan mengenai sesuatu yang kita pakai di wajah, desain selalu menjadi prioritas. Itulah mengapa penting bagi sebuah kacamata pintar untuk tampil low profile – sebisa mungkin lebih kelihatan seperti kacamata biasa, dan tidak terdeteksi sebagai gadget oleh orang-orang di sekitar.

Vuzix, perusahaan yang sudah cukup berpengalaman di bidang VR dan AR, sangat memperhatikan aspek ini ketika merancang kacamata pintar terbarunya. Sempat dipamerkan di ajang CES 2017 lalu, perangkat bernama Blade 3000 ini sepintas memang kelihatan seperti kacamata biasa.

Satu-satunya bagian yang cukup aneh hanyalah tangkai yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Hal ini dikarenakan semua komponen elektronik Blade 3000 tersimpan di sana, termasuk yang pada dasarnya merupakan proyektor DLP berukuran sangat kecil yang akan memproyeksikan konten langsung ke lensa kacamata.

Vuzix Blade 3000 saat didemonstrasikan di ajang CES 2017 bulan Januari kemarin / Vuzix (Facebook)
Vuzix Blade 3000 saat didemonstrasikan di ajang CES 2017 bulan Januari kemarin / Vuzix (Facebook)

Vuzix mengklaim Blade 3000 hanya memiliki bobot sekitar 80 gram. Mereka cukup percaya diri kalau konsumen tidak akan merasa malu untuk mengenakannya, dan mereka juga bakal tetap merasa nyaman dalam durasi yang cukup lama.

Kinerja Blade 3000 ditopang oleh prosesor quad-core besutan Marvell Technology dan sistem operasi Android 5.0. Memory sebesar 32 GB turut melengkapi, begitu juga dengan sederet sensor ambient dan mikrofon. Vuzix juga telah mengintegrasikan Google Assistant supaya pengguna dapat memakai perintah suara.

Vuzix Blade 3000 rencananya akan dipasarkan mulai pertengahan tahun ini. Harganya belum ditentukan, tapi dipastikan masih berada di bawah $1.000 – tahun depan, Vuzix mengira malah harganya bisa diturunkan lagi hingga menjadi $500.

Sumber: VentureBeat dan Vuzix.

Hands-On Smartphone Tango Asus ZenFone AR di CES 2017

Eksistensi dari perangkat Tango kedua dikonfirmasi di bulan November 2016 silam. Lewat laporan Digitimes, Asus diketahui mempunyai rencana untuk menggarap smartphone berkemampuan computer vision dan 3D mapping. Meski CEO Jerry Shen tidak segan menyebutkan namanya, baru di CES 2017-lah sang produsen resmi menyingkap wujud serta fitur-fiturnya.

ZenFone AR 1

ZenFone AR 6

ZenFone AR sengaja difokuskan pada penyajian konten augmented reality serta diklaim sebagai device Tango pertama yang kompatibel dengan platform Google Daydream. Kombinasi keduanya menghasilkan pengalaman AR serta VR berkualitas tinggi berbekal smartphone dan unit head-mounted display (Asus merekomendasikan Daydream View).

ZenFone AR 2

ZenFone AR 7

Lewat rangkaian sensor dan dukungan software computer vision-nya, ZenFone AR mampu mengetahui ruang dan gerakan seperti manusia. Handset ini bisa melacak perubahan posisi sebuah objek, mendeteksi kedalaman, hingga membedakan lantai, tembok serta barang-barang yang bergeletakan di sana – melihat layaknya mata orang melalui sistem TriCam berisi tiga kamera.

ZenFone AR 8

ZenFone AR 9

Masing-masing kamera belakang mempunyai tugas berbeda: untuk fungsi motion tracking, depth sensing dengan proyektor inframerah, serta kamera beresolusi 23-megapixel; semuanya memungkinkan ZenFone AR membaca benda secara tiga dimensi. Kamera 23Mp-nya sendiri dirancang agar sanggup melihat dunia secara detail. ZenFone AR dirancang sebagai sebuah tool canggih, fleksibel dan serbaguna dalam berkreasi, contohnya buat mempermudah visualisasi saat mendekorasi ulang ruang keluarga hingga buat bermain game.

ZenFone AR 4

ZenFone AR 5

ZenFone AR mempunyai spesifikasi yang cukup high-end dan didesain agar tampil lebih premium, mempunyai dimensi 158,67×77,7×4,6~8,95mm berbobot 170-gram. Tak seperti perangkat ZenFone lain, Asus sedikit memodifikasi penampilan tombol navigasi – ada sensor sidik jari sekaligus tombol home di sana. Pendekatan ini membuat rasio layar ke tubuhnya jadi lebih besar, yaitu 79 persen. Saat dibalik, Anda dapat melihat punggung berlapis kulit sintetis hitam dan modul kamera yang cukup besar.

ZenFone AR 10

Karena memang dirancang untuk dipergunakan dekat dengan mata Anda, Asus tidak main-main dalam meracik layarnya. Sang produsen memanfaatkan panel seluas 5,7-inci Super AMOLED beresolusi 256×1440, lalu membekalinya bersama teknologi Tru2life dan filter Bluelight, dan memastikan device menyajikan kontras 3.000.000 banding 1. Layar tersebut mampu membaca 10 titik sentuhan serta tak lupa diproteksi Corning Gorilla Glass 4.

ZenFone AR 11

Perwakilan dari Asus belum menginformasikan kapan tepatnya ZenFone AR akan dirilis, hanya bilang bahwa harganya sudah pasti lebih mahal dari ZenFone 3 Zoom. Spesifikasi lengkap dari ZenFone AR bisa Anda lihat di tautan ini.

Peronio Adalah Buku Pop-Up Interaktif yang Bisa Dinikmati dengan Teknologi AR atau VR

Di era serba digital ini, mendapatkan buku pop-up untuk anak-anak semakin mudah. Pun begitu, elemen interaksi yang ditawarkan tidak seutuh yang bisa didapat dengan buku pop-up fisik. Menurut developer asal Brasil, Ovni Studios, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan teknologi augmented reality dan virtual reality.

Mereka pun memperkenalkan Peronio, sebuah buku pop-up interaktif yang bisa dinikmati dalam berbagai cara. Yang pertama dan yang paling biasa, anak-anak bisa membacanya langsung di tablet sebagai buku pop-up digital.

Cara kedua adalah dengan mengandalkan teknologi AR: anak-anak dapat mencetak gambar ini lalu menempatkannya di atas meja. Saat dilihat menggunakan tablet atau ponsel, seketika itu pula tampak gambar hologram di atas kertas yang bisa diajak berinteraksi. Metode ini mirip seperti yang diterapkan startup lokal Octagon Studio pada produk AR Flashcard-nya.

Dalam mode AR, gambar hologram akan muncul di atas gambar yang telah dicetak saat dilihat menggunakan ponsel atau tablet / Ovni Studios
Dalam mode AR, gambar hologram akan muncul di atas gambar yang telah dicetak saat dilihat menggunakan ponsel atau tablet / Ovni Studios

Terakhir, Peronio juga bisa dinikmati lewat VR headset macam Google Cardboard atau Samsung Gear VR. Peronio bahkan bisa memadukan elemen AR dan VR secara bersamaan, dengan catatan headset Cardboard yang digunakan punya lubang untuk kamera ponsel sehingga pandangan dapat diarahkan ke kertas fisik di atas meja tadi.

Secara konten, Peronio ingin mengajak anak-anak mengembangkan imajinasinya. Buku ini mengisahkan seorang bocah yang sedang galau hendak jadi apa ia saat sudah dewasa nanti. Aspek edukasi turut disajikan dengan baik, dimana anak-anak akan sedikit belajar soal komponen-komponen mobil saat Peronio mencoba menjadi mekanik, atau belajar tentang fosil di setting arkeologi.

Kalau Anda ingin menghadiahi anak Anda dengan lebih dari sekadar buku pop-up digital biasa, Peronio saat ini sudah bisa diunduh dari App Store maupun Google Play secara cuma-cuma. Namun untuk mendapatkan versi penuhnya, Anda harus menebus in-app purchase seharga $3.

Sumber: UploadVR.

Application Information Will Show Up Here