Jaguar Land Rover Kembangkan Teknologi Contactless Touchscreen untuk Mengurangi Risiko Kecelakaan

Layar sentuh yang tidak perlu disentuh sepintas terdengar aneh sekali, tapi itulah teknologi yang baru-baru ini dikembangkan oleh Jaguar Land Rover (JLR) bersama dengan University of Cambridge. Dinamai “predictive touch“, teknologi ini mereka rancang supaya pengemudi tidak terlalu banyak menghabiskan waktunya melihat layar ketimbang jalanan.

Problemnya, kalau menurut JLR, adalah sering kali getaran yang diakibatkan permukaan jalan yang tidak rata bisa menyulitkan pengemudi untuk mengklik tombol yang tepat pada sebuah layar sentuh. Ujung-ujungnya pengemudi harus mengalihkan perhatiannya ke layar, dan tentu saja ini berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Nah, ketika sistem bisa tahu lebih dulu bagian mana yang akan kita klik sebelum jari kita menyentuh layar, pandangan kita pasti tetap akan lebih banyak tertuju ke jalanan. Itulah premis dari teknologi berbasis gesture semacam ini. Konsepnya sendiri bukanlah hal baru, akan tetapi di sini tim peneliti JLR dan Cambridge sudah memanfaatkan artificial intelligence guna mempercepat kinerja sistemnya.

Namun ternyata para peneliti di baliknya punya visi yang lebih besar dari sekadar mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Mereka percaya teknologi predictive touch juga bisa bermanfaat untuk mengurangi penyebaran bakteri dan virus – topik yang demikian penting di masa pandemi seperti sekarang – mengingat tidak ada kontak fisik antara jari dan permukaan layar.

Jadi ketimbang hanya diimplementasikan di dashboard mobil, teknologi predictive touch ini sebenarnya juga dapat diaplikasikan ke banyak perangkat di tempat umum yang memang dilengkapi layar sentuh. Contoh yang paling gampang tentu saja adalah mesin ATM, mesin check-in mandiri di bandara, mesin ticketing di stasiun kereta api maupun bioskop, dan masih banyak lagi.

Dalam beberapa kasus, predictive touch juga bisa membantu kaum difabel yang memiliki keterbatasan motorik. Tim riset JLR dan Cambridge bilang teknologinya sudah benar-benar matang dan siap diintegrasikan ke berbagai perangkat dengan mudah, sebab predictive touch tidak memerlukan hardware tambahan seandainya suatu perangkat sudah memiliki akses ke berbagai data sensori yang tepat untuk mendukung algoritma machine learning-nya.

Sumber: Engadget dan Jaguar Land Rover.

Platform Jejak.in Bantu Bisnis FMCG Rencanakan Sistem Produksi yang Ramah Lingkungan

Sebagai negara dengan jumlah populasi keempat terpadat serta masuk ke dalam sepuluh besar penghasil emisi karbon di dunia, Indonesia cukup memiliki andil dalam perubahan iklim. Pemerintah sedang berupaya mengurangi dampaknya dengan komitmen yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.

Beberapa perusahaan mulai menyadari bahwa emisi karbon yang dihasilkan oleh industri memiliki dampak negatif, tidak hanya lingkungan, namun juga terhadap kelangsungan bisnis serta dampak sosial. Berangkat dari hal ini, Arfan Arlanda selaku Founder dan CEO Jejak.in, menginisiasi platform yang memanfaatkan teknologi guna membantu dunia usaha untuk terlibat dalam penurunan laju perubahan iklim.

Model bisnis dan target pasar

Platform yang mulai beroperasi sejak akhir 2018 ini menargetkan konsumen awal dari industri FMCG. Solusi yang mereka kembangkan berhasil membantu industri FMCG yang kerap mengalami isu dalam perencanaan, implementasi, dan pemantauan program konservasi dengan metode MRV (Measurable, Report-able, dan Verifiable). Sebagai contoh, bagaimana cuaca ekstrem dapat mengganggu rantai pasok mereka atau peraturan iklim yang lebih ketat nantinya dapat merusak nilai investasi dan bisnis mereka.

Jejak.in memiliki misi untuk mempercepat aksi iklim melalui solusi berbasis AI dan IoT. Salah satu produk andalan mereka adalah Tree and Carbon Storage Monitoring Platform, sebuah platform yang memanfaatkan teknologi seluler, drone, sensor IoT, LiDAR, dan satelit untuk mengumpulkan dan menganalisis data ekologis lingkungan. Selain itu, terdapat fitur lain yang berfungsi untuk mengukur dampak penyerapan karbon, infiltrasi air, kondisi tanah dan udara, serta keanekaragaman hayati.

“Tujuan jangka panjang kami adalah untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan, salah satunya dengan secara aktif membantu dunia usaha dan konsumen untuk lebih memahami jejak karbon mereka, dan memungkinkan mereka dengan mudah mengakses teknologi kami untuk mengimbanginya,” tambah Arfan.

Dalam misinya untuk menciptakan dampak sosial skala besar, Jejak.in telah resmi bergabung dengan program Gojek Xcelerate batch keempat bersama sepuluh startup lainnya. Arfan turut menyampaikan harapannya untuk bisa terus berkembang di luar dari program yang telah diikuti.

Saat ini, pihaknya mengaku sedang melakukan fundraising. Tanpa menyebutkan detail angka yang ditargetkan, perusahaan juga sedang dalam tahap penjajakan peluang kerja sama dengan industri, baik di sektor B2B maupun B2C.

“Kami cukup optimis dalam mengembangkan perusahaan ini ke depan. Saat ini juga sudah ada beberapa peluang kerja sama yang datang dari luar negeri,” tutupnya.

YouTuber Kini Bisa Pakai Fitur Smart Reply untuk Membalas Komentar

Sekitar lima tahun yang lalu, Google meluncurkan fitur Smart Reply pertama kalinya untuk aplikasi Inbox by Gmail (yang sekarang sudah almarhum). Sejak itu fitur berbasis AI tersebut sudah menyebar ke produk-produk Google lainnya, mulai dari Gmail sampai Wear OS. Smart Reply bahkan juga dipakai oleh developer aplikasi untuk membantu mereka merespon review pengguna di Google Play Store.

Sekarang, giliran kreator YouTube yang kebagian jatah Smart Reply. Fitur ini sudah bisa mereka gunakan melalui YouTube Studio, dan diharapkan dapat membantu kreator jadi lebih aktif berinteraksi dengan para penontonnya. Jadi ketimbang harus mengetik balasan komentar satu per satu, kreator dapat mengklik anjuran balasan yang AI berikan, lalu menambahkannya lagi secara manual jika dirasa perlu.

Smart Reply di YouTube sejauh ini baru mendukung bahasa Inggris dan Spanyol saja, akan tetapi Google tentu sudah berencana untuk menambahnya lebih banyak lagi. Rencana ini juga didukung oleh model AI yang mereka rancang, yang ternyata cuma satu model saja tapi dengan tipe cross-lingual, bukan merupakan model yang terpisah untuk tiap-tiap bahasa.

Ini penting mengingat YouTube merupakan produk berskala global, dan komentar dari seorang penonton terkadang bisa terdiri dari dua bahasa yang berbeda. Belum lagi bahasa yang digunakan juga sering kali bukan bahasa baku, melainkan yang kerap kita jumpai pada konteks percakapan sehari-hari. Alhasil, Google harus merombak cara kerja Smart Reply secara drastis di YouTube, sebab fitur ini awalnya terlahir dari lingkup email yang didominasi perbincangan formal.

Juga menjadi tantangan lebih lanjut adalah bagaimana komentar-komentar di YouTube kerap menggunakan singkatan, slang, emoji, maupun tanda baca yang tidak konsisten. Google bilang bahwa model cross-lingual memungkinkan AI-nya untuk mempelajari sendiri sejumlah elemen percakapan – macam konteks pemakaian emoji misalnya – dalam suatu bahasa untuk memahami penggunaannya di bahasa lain.

Lalu apakah Smart Reply akan aktif di seluruh komentar yang ada pada suatu video? Tidak. Google turut melatih sistemnya untuk mengidentifikasi komentar-komentar yang sekiranya akan dibalas oleh sang pemilik channel. Idealnya, kalau kata Google, Smart Reply hanya akan aktif ketika AI-nya bisa menganjurkan balasan yang spesifik dan masuk akal.

Sumber: VentureBeat dan Google. Gambar header: Hello I’m Nik via Unsplash.

GetGo to Boost AI Technology for Retail Transaction

The development of artificial intelligence technology for retail consumers in Indonesia has not been as massive as in more developed countries. The implementation is quite intended for the corporations or governments, for example by making chatbot or CCTV detectors. This opportunity was used by GetGo as an AI startup focused on retail consumer transaction solutions.

“We focus on the daily issues in retail transactions, although there are many challenges to be solved with AI. AI for retail is quite small [its players], even in the region it is still not big enough,” GetGo’s Co-Founder and CEO, Erdian Tomy told DailySocial.

Erdian, along with Andika Rachman as Chief AI Officer in developing GetGo since July last year. Both are strong in their respective backgrounds, for example, Erdian has experience in advertising and Andika is strong in the AI-based innovation.

The journey begins when there are problems shopping at offline stores, sellers can not know the character and habits of buyers to do upselling. Even buyers cannot feel a seamless shopping experience.

“Starts from there we began to enter the offline realm by creating a GetGo Mini Cashier-less Store product, in collaboration with co-working space at seven locations earlier this year.”

In this first product, employees of coworking space can shop from products sold in the box and pay without cashiers. The payment process is done online. Nearly three months of running, GetGo managed to get 761 unique users.

This mid-March must stop because there is an obligation to quarantine at home because of the pandemic in Indonesia. “Finally from March until now our first product had to stop temporarily because of all the WFH offices, so there were no employees leaving.”

Erdian and the team finally racked their brains to continue to innovate, finally releasing a second product targeting online consumers called GetGo Visual Search. This product is an API that is integrated with e-commerce platform owners to be used by consumers when searching for goods online.

In the initial stages, GetGo can only be able to detect fashion products. The way for consumers is to simply take pictures that they can through the camera features in e-commerce applications. Product results will be immediately listed based on what they are looking for.

“This product is B2B. So we have an API that can be used by e-commerce partners. Consumers don’t need to install additional applications because AI GetGo has already been embedded in the e-commerce application.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
A location of GetGo Mini Cashier-less Store

Future business plans

Armed with the knowledge following the Gojek Xcelerate accelerator program, GetGo is more determined to get these two products mature. Erdian said that his team currently in the process of an agreement with two e-commerce platforms. Also, an additional AI’s ability to detect furniture products.

“Later, for the monetization model, we will charge per month to e-commerce. Meanwhile, Mini Cashier-less products use advertisements in each store. ”

Erdian believes that these two products will be widely accepted in the future and feel the impact of everyday transactions. Moreover, this product is built by local people, so there is more value offered, apart from pricing that is much cheaper.

“The technology is a commodity that cannot actually be used by certain countries. In the US and China, AI has become a part of life, they used to shop offline without cashiers. We have value, from the price is much cheaper and the approach is done locally. ”

Towards a new normal, he expects GetGo to be more expansive in developing business, including seeking funding. So far the company is still using its own funds, aka bootstrapping. The total GetGo team currently consists of six people and mostly are engineers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GetGo Ingin Populerkan AI untuk Permudah Transaksi Ritel

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan untuk konsumer ritel di Indonesia belum semasif seperti negara-negara yang lebih maju. Implementasinya sejauh ini masih diarahkan untuk kebutuhan korporasi atau pemerintah, misalnya dengan membuat chatbot atau CCTV pendeteksi. Kekosongan ini dimanfaatkan GetGo sebagai startup AI yang fokus untuk solusi transaksi konsumer ritel.

“Kita fokus ke masalah transaksi sehari-hari di ritel, padahal di sini ada banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan AI. AI for retail ini masih kecil [pemainnya], bahkan di regional saja masih sedikit,” ucap Co-Founder dan CEO GetGo Erdian Tomy kepada DailySocial.

Selain Erdian, ia ditemani Andika Rachman sebagai Chief AI Officer dalam merintis GetGo sejak Juli tahun lalu. Keduanya kuat di latar belakang masing-masing, misalnya Erdian yang punya pengalaman di bidang periklanan dan Andika kuat di bidang AI.

Perjalanan dimulai ketika ditemukan masalah belanja di toko offline, penjual tidak bisa mengetahui karakter dan kebiasaan pembeli untuk melakukan upselling. Pembeli pun tidak bisa merasakan pengalaman belanja yang seamless.

“Dari situ kita mulai masuk ke ranah offline dengan membuat produk GetGo Mini Cashier-less Store, bekerja sama dengan coworking space ada di tujuh lokasi pada awal tahun ini.”

Pada produk pertama ini, karyawan dari coworking space tersebut bisa berbelanja dari produk-produk yang dijual di dalam kotak dan membayarnya tanpa kasir. Proses pembayaran dilakukan secara online. Hampir tiga bulan berjalan, GetGo berhasil mendapat 761 unique user.

Pertengahan Maret ini harus terhenti karena ada kewajiban untuk karantina di rumah karena pandemi merebak di Indonesia. “Akhirnya dari Maret sampai sekarang produk pertama kita harus berhenti sementara karena semua kantor WFH, jadi tidak ada karyawan yang keluar.”

Erdian dan tim akhirnya putar otak untuk terus berinovasi, akhirnya merilis produk kedua yang menyasar konsumen online bernama GetGo Visual Search. Produk ini berupa API yang dintegrasikan ke pemilik platform e-commerce agar bisa digunakan oleh konsumennya saat mencari barang secara online.

Pada tahap awal, GetGo baru bisa mampu mendeteksi produk fesyen. Caranya konsumen cukup mengambil gambar yang mereka dapat melalui fitur kamera di dalam aplikasi e-commerce. Hasil produk akan langsung tertera berdasarkan yang mereka cari.

“Produk ini b2b. Jadi kita punya API yang bisa dipakai oleh mitra e-commerce. Konsumen jadi tidak perlu install tambahan aplikasi karena AI GetGo sudah ditanamkan di dalam aplikasi e-commerce tersebut.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo

Rencana bisnis berikutnya

Berbekal ilmu yang didapat mengikuti program akselerator Gojek Xcelerate, GetGo semakin mantap untuk mematangkan produk keduanya tersebut. Erdian mengatakan saat ini pihaknya sedang dalam proses kesepakatan dengan dua platform e-commerce. Juga menambah kemampuan AI untuk mendeteksi produk furnitur.

“Nanti model monetisasinya, kita akan charge per bulan ke e-commerce-nya. Sementara untuk produk Mini Cashier-less menggunakan iklan di tiap store-nya.”

Erdian meyakini, kedua produk ini ke depannya dapat diterima secara luas dan merasakan dampaknya dalam transaksi sehari-hari. Terlebih produk ini dibangun oleh orang-orang lokal, sehingga ada nilai lebih yang ditawarkan, selain dari pricing yang jauh lebih murah.

“Teknologi itu adalah komoditas yang sebenarnya tidak bisa dipakai oleh negara tertentu saja. Di AS dan Tiongkok, AI sudah jadi bagian kehidupan, mereka biasa belanja offline tanpa kasir. Kita punya value, dari harga jauh lebih murah dan approach-nya dengan cara lokal.”

Menuju kondisi normal baru, dia berharap GetGo lebih ekspansif untuk mengembangkan bisnis, termasuk mencari pendanaan. Sejauh ini perusahaan masih memanfaatkan dana sendiri alias bootstrapping. Adapun total tim GetGo saat ini berjumlah enam orang dan mayoritas adalah engineer.

Google Meet Kedatangan Fitur Noise Cancelling Berbasis AI

Bekerja dari rumah itu tidak mudah. Saya berani bilang demikian setelah merasakannya sendiri selama lebih dari 5 tahun, dan yang paling sulit adalah ketika hendak mengikuti sesi video conference.

Anak saya ada dua, dan mengikuti sesi video conference tanpa ada suara dari mereka (teriakan dan tangisan) yang bocor nyaris mustahil, kecuali mic saya mute atau sesi berlangsung di saat mereka sedang tidur. Beruntung selama menjalani meeting, saya memang tidak perlu banyak berbicara, sehingga mikrofon bisa selalu saya mute.

Buat yang perlu banyak berbicara, ini bisa menjadi problem. Suara-suara di sekitar mereka, entah itu suara TV, suara vacuum cleaner, suara bor, atau mungkin suara kantong jajanan yang diremas-remas, semuanya akan ikut terdengar oleh seluruh partisipan meeting. Solusi yang dibutuhkan adalah fitur noise cancelling atau denoiser, dan ini yang tengah Google persiapkan untuk layanan video conference mereka, Google Meet.

Teaser fitur ini sempat Google tunjukkan di bulan April, namun sekarang, seiring dengan peluncurannya yang dilakukan secara bertahap, Google sudah siap untuk mendemonstrasikannya. Berikut adalah demonstrasi dari Serge Lachapelle selaku pimpinan tim yang mengembangkan fiturnya, saat diwawancara oleh VentureBeat.

Seperti yang bisa kita lihat, fitur berbasis AI ini sangat efektif dalam meredam berbagai macam suara yang bukan omongan. Pasca peluncurannya, fitur noise cancelling ini akan aktif secara default, akan tetapi pengguna bebas menonaktifkannya jika memang perlu.

Dalam wawancaranya, Serge lanjut menjelaskan bahwa fitur ini sebenarnya sudah mereka kembangkan sejak tahun 2017. AI yang bersangkutan mereka latih dengan segudang rekaman sesi video conference mereka sendiri, ditambah deretan video YouTube di mana terdapat banyak orang berbicara.

Tujuannya adalah supaya AI bisa membedakan mana suara yang mengganggu, mana yang berasal dari mulut manusia. Sejauh ini fiturnya terbilang sudah cukup efektif, namun beberapa jenis suara masih sulit untuk dikategorikan sebagai pengganggu, seperti misalnya teriakan seseorang. Seperti halnya fitur berbasis AI lain, fitur denoiser ini bakal semakin sempurna seiring berjalannya waktu.

Fitur ini kabarnya sekarang sudah tersedia di Google Meet versi web, tapi belum diketahui kapan bakal menyusul ke versi Android dan iOS-nya. Google bukan satu-satunya yang menerapkan fitur noise cancelling berbasis AI pada layanan video conference. Microsoft pun turut mengimplementasikan langkah yang serupa pada Microsoft Teams.

Sumber: VentureBeat.

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

Berbincang dengan Managing Director Samsung Research Indonesia Alfred Boediman tentang “Deep Tech”

Terminologi deep tech dewasa ini mengemuka berkat penggunaan layanan digital yang semakin masif. Salah satunya disebutkan dalam hasil riset CompassList mengenai agritech di Indonesia sepanjang kuartal pertama 2020. Inovasi yang menerapkan produk deep tech sangat diperlukan untuk mentransformasi sektor ini. Teknologi seperti kecerdasan buatan, analisis data, hingga robotika dinilai penting untuk menjadi bagian dari masa depan pertanian di Indonesia.

Lebih dari itu, deep-tech yang semakin matang idealnya dapat diimplementasikan di berbagai sektor lainnya, dengan mendukung sistem teknologi yang sudah ada. Untuk memahami lebih dalam mengenai deep tech, termasuk penerapan dan proyeksinya, DailySocial berkesempatan mewawancarai Managing Director Samsung Research Indonesia (SRIN) Alfred Boediman. Berikut ini hasil wawancara kami.

Alfred Boediman
Managing Director Samsung Research Indonesia Alfred Boediman di acara #SelasaStartup / DailySocial

DailySocial: Bagaimana Anda menggambarkan deep tech, terkait penerapannya dalam sebuah aplikasi? Sejauh ini banyak kalangan masyarakat yang menghubungkan term tersebut dengan produk seperti kecerdasan buatan dan analitik; apa yang bisa dioptimalkan dari teknologi tersebut?

Alfred Boediman: Ya, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), pengeditan genom, analitik data, pengenalan wajah, dan robotika memang dianggap sebagai terapan dari terminologi solusi “deep tech“. Karena didasarkan pada penelitian ilmiah dan sering kali didukung paten. Secara umum, saya bisa mengidentifikasi tiga atribut dasar yang menjadi karakter solusi deep tech dalam konteks bisnis, terutama pada penerapannya di suatu aplikasi/sistem yang ada.

Atribut pertama adalah dampak. Inovasi yang didasarkan pada deep tech seharusnya dapat memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sehari-hari, jauh melampaui batas nilai ekonomi yang dihasilkan. Seperti halnya di Indonesia, beberapa kota besar di negara kita sudah mulai mengalami masalah kelebihan populasi penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, AI dianggap sebagai salah satu teknologi kunci yang akan diterapkan.

Kemudian kedua adalah waktu. Pengembangan solusi deep tech membutuhkan waktu untuk beralih dari sains dasar ke teknologi yang dapat diterapkan untuk hasil yang nyata. Lamanya waktu untuk penerapan teknologi tersebut akan bervariasi secara substansial, dan membutuhkan waktu lebih lama dari inovasi yang didasarkan pada teknologi yang sudah umum.

Contohnya, berdasarkan analisis lembaga riset internasional, sekiranya dibutuhkan rata-rata 4 tahun untuk mengembangkan teknologi di biotek; dipecah menjadi 1,8 tahun dari penggabungan ke prototipe pertama dan 2,2 tahun berikutnya untuk mencapai produk yang siap dipasarkan. Lalu, dibandingkan dengan startup blockchain, angka yang sebanding adalah 2,4 tahun, di mana 1,4 tahun untuk prototipe pertama dan 1 tahun berikutnya produk yang siap pasar.

Sementara atribut yang ketiga adalah investasi. Kebutuhan pendanaan perusahaan deep tech berbeda secara signifikan dengan yang lainnya. Sesuai dengan contoh di atas, di mana rata-rata pembuatan prototipe pertama untuk solusi biotek bisa menelan biaya sekitar US$1,3 juta, sementara biaya solusi blockchain hanya sekitar US$200 ribu.

Selain itu, risiko pasar adalah salah satu faktor pertimbangan bagi para investor, di mana startup deep tech biasanya mencari pendanaan pada tahap penelitian awal, artinya akan sulit untuk mengevaluasi daya tarik dan potensi pasar secara menyeluruh. Faktor lainnya adalah risiko teknologi yang ada, karena banyak investor tidak memiliki keahlian khusus untuk secara akurat menilai potensi teknologi yang muncul dalam jangka waktu yang singkat.

Karena kita akan menghadapi tantangan: kurangnya bakat, pendidikan, dan pengertian menyeluruh tentang solusi deep tech tersebut. Maka untuk mengatasi dan mengoptimalkan masalah ini adalah dengan adanya kolaborasi antara perusahaan teknologi, pemerintah, dan universitas; yang akan menjadi gerakan kunci untuk melatih dan meningkatkan keterampilan generasi profesional yang ada.

DailySocial: Sepengetahuan Anda apakah saat ini deep tech sudah mulai banyak diaplikasikan untuk menunjang TIK di Indonesia?

Alfred Boediman: Kembali pada tahun 2017, beberapa menteri di Indonesia telah bergabung untuk memulai “Gerakan Menuju 100 Kota Cerdas”, bersama dengan beberapa perusahaan swasta. Konsep kota cerdas akan menggabungkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan solusi IoT (Internet of Things). Pemerintahan saat ini, telah menunjukkan keinginannya dalam mengimplementasikan solusi deep-tech dengan pernyataan Presiden sebelumnya untuk menggantikan beberapa posisi pekerja negara dengan layanan AI untuk mengurangi aturan yang tumpang tindih dan memotong birokrasi yang ada.

Yang saya tahu, setidaknya ada lebih dari 50 startup deep-tech yang bekerja di berbagai industri di Indonesia. Contohnya beberapa startup nasional di bidang AI adalah Kata.ai dan Nodeflux. Kata.ai menyediakan solusi berbasis B2B platform percakapan, juga dikenal sebagai chatbot. Chatbot dapat diintegrasikan dalam berbagai platform pengiriman pesan, seperti LINE, Facebook, Twitter, dan Telegram. Lain halnya dengan Nodeflux adalah startup pertama yang mengembangkan video platform analitik dengan menggunakan teknologi “machine learning“. Platform ini memungkinkan Nodeflux untuk menawarkan layanan seperti pengenalan wajah dan fungsi pemantauan lainnya.

Penerapan solusi Nodeflux dalam pemantauan lalu lintas di Jakarta / Nodeflux
Penerapan solusi Nodeflux dalam pemantauan lalu lintas di Jakarta / Nodeflux

DailySocial: Dalam penerapannya di sektor riil, bagaimana potensi teknologi tersebut? Mungkin ada studi kasus yang pernah ditemui?

Alfred Boediman: Untuk saat ini, perusahaan teknologi lokal di Indonesia sebagian besar mengandalkan pemerintah untuk membina lebih banyak bakat lokal dengan meningkatkan kesadaran tentang arah industri dan kemajuannya di masa depan, dan bagaimana orang harus bersiap menghadapi perubahan ini. Namun, bila hanya mengandalkan pemerintah mungkin tidak efektif, karena saat ini sistem pendidikan dan pembelajaran yang ada tidak dilengkapi untuk mengatasi revolusi yang akan datang pada permintaan keterampilan industri. Oleh karena itu kolaborasi secara riil sangat penting untuk dapat menerapkan solusi deep tech di Indonesia.

Pada ekosistem digital yang tumbuh di seluruh negara-negara Asia Tenggara, peningkatan bakat untuk solusi deep tech akan semakin penting dan banyak bisnis yang membutuhkan teknologi tersebut. Setiap negara di wilayah ini memiliki laju perkembangan yang berbeda, contohnya Singapura dianggap sebagai yang paling maju untuk implementasi solusi deep tech di Asia Tenggara.

Sementara itu, Indonesia juga telah membangun beberapa unicorn, dengan startup-startup utamanya seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya. Dengan total sekitar 5800 startup nasional, pasar semakin sedikit ramai, tetapi kecil porsi yang telah menginjakkan kakinya di area solusi deep tech secara menyeluruh. Startup dengan solusi deep tech cenderung memiliki periode go-to-market yang lebih lama, karena biasanya operasional yang ada sangat tergantung pada proyek solusi yang berbasis penelitian. Startup deep tech saat ini sedang naik daun, tetapi mereka juga bertemu dengan banyak tantangan yang membuat mereka harus berpikir keras untuk dapat tetap beroperasional.

DailySocial: Apa tantangan terbesar untuk kesuksesan penerapan deep tech di Indonesia?

Alfred Boediman: Meskipun pemerintah dan maraknya industri yang ada terbuka terhadap adopsi deep tech, namun upaya untuk mengimplementasikannya di seluruh Indonesia akan menghadapi tantangan yang pelik, terutama pada masalah kekurangan bakat lokal dan kualitas pendidikan yang ada.

Menurut saya, ada tiga komponen utama yang akan mendorong penggunaan solusi deep tech yang efektif: algoritma, daya komputasi, dan data yang ada. Ini semua adalah komponen yang harus ditingkatkan di negara kita. Banyak perusahaan deep tech (seperti halnya SRIN) mengalami kesulitan dalam mencari bakat AI pada lulusan universitas yang ada di Indonesia.

Sementara itu, ada artikel menarik yang pernah saya baca bahwa negara yang menjadi tuan rumah seorang mahasiswa PhD tidak selalu merupakan negara yang diuntungkan. Kenyataannya adalah  sekitar sepertiga dari peneliti yang bekerja untuk perusahaan yang berbasis di negara tersebut berbeda dari negara tempat mereka menerima gelar PhD-nya. Oleh karena itu, perusahaan teknologi lokal di Indonesia perlu menarik bakat ini untuk kembali ke negara kita dan terus mengembangkan solusi deep tech secara tepat guna.

DailySocial: Menurut Anda, Adakah urgensi mengapa pengembangan deep tech perlu diprioritaskan saat ini?

Alfred Boediman: Pengembangan solusi deep tech penting karena alasan sederhana – mempermudah hidup manusia, salah satu contohnya adalah di mana pada masa “social distancing” saat ini, digitalisasi dan automasi berbasis solusi deep tech akan banyak membantu berbagai kebutuhan bisnis yang ada. Perusahaan berbasis solusi deep tech sangat relevan untuk masalah besar di seluruh dunia; seperti pada masalah kebersihan pada penjernihan air, atau chatbot yang berguna untuk beragam industri jasa, atau hal-hal yang berkaitan dengan kendaraan otonom–terutama di negara-negara maju. Hal-hal semacam ini mungkin bukan bidang yang mudah untuk dikejar oleh beberapa investor atau pemerintah dalam waktu yang singkat di Indonesia, akan tetapi kita harus memulainya sekarang atau terlambat.

Saya bertemu dengan beragam investor, pengusaha, akademisi, dan ilmuwan. Itulah cara saya untuk dapat terbuka terhadap apa yang terjadi, terutama dalam pengembangan solusi deep tech – apa  yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Bagian dari apa yang saya coba lakukan adalah memberikan umpan balik kepada pemerintah dan komunitas yang ada. Saya mengambil apa yang dipikirkan pemerintah dan menyampaikannya kepada komunitas, hal tersebut merupakan perjalanan panjang dari suatu organisasi riset yang berkomitmen dalam pengembangan solusi deep tech di Indonesia.

Konvergen AI Introduces Data Capture Platform to Facilitate Photo Transcription

Public and private sectors in Indonesia have massively digitized their services. The goal is clear, to make existing business processes faster and more efficient. In fact, some digital processes are yet to fully automated. For example, with a digital application, a company still has to go manual on validating the online submission to ensure that the attached files are appropriate.

These problems encouraged Lintang Sutawika, Roan Gylberth, and Timothy Devin to initiate the Konvergen AI. It’s a startup focused on developing artificial intelligence technology for data capture – refers to the process of collecting data from paper or digital documents using optical character recognition (OCR) components. OCR is functioned to produce a transcription of texts in digital format from photos, images or scans.

How does it work? For example, there is an application for shopping records, developers can use the Konvergen AI feature to scan the receipt with a mobile camera. It allows the application to recognize the products and nominal listed, users don’t need to write manually.

“In brief, Konvergen AI’s products and services are used to improve performance efficiency involving manual and repetitive processes, as data input. Currently,  the Konvergen AI system can process various documents ranging from identity-related such as eKTPs or Family Cards, and documents such as invoices,” The Co-Founder, Lintang Sutawika said.

Konvergen AI provides data extract service for various purposes
Konvergen AI provides data extract service for various purposes / Konvergen AI

He also mentioned, to begin with, the Konvergen AI product was aimed at financial companies, such as banking, insurance, and financing; however, it can also be adjusted to other industries such as export/import and legal processing. As SaaS, products are commercialized through a subscription license.

“Currently, we are assisting a private bank in registering new customers. In this case, our system helps to input customer identity data as stated in documents such as eKTP and NPWP. With this data capture system, the banking registration and checking process should be faster,” he added.

Seed funding from GDP Venture

Konvergen AI was first founded in late 2018 and proceed more than one million documents from a number of customers. They also secured seed funding from GDP Venture, a venture capital actively involved in artificial intelligence startups. Aside from Konvergen AI, GDP also invested in Datasaur, Prosa,ai, 6Estates, Qlue, and Glair.

Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI
Konvergen AI’s Founders, Timotius Devin, Lintang Sutawika, and Roan Gylberth / Konvergen AI

In terms of founders, Sutawika mentioned the first time the three of them met while studying master’s degree of Computer Science in Universitas Indonesia.

“At first, the three of us ran several computer vision and image processing projects. A simple thing, such as reading or inputting data can become very overwhelming when it was done repetitively and on a large scale. We thought we can engineer the development of artificial intelligence to reduce manual work.”

In actual days, there are many vendors offering data capture services, such as cloud computing providers, they have various cognitive services, one of which is an OCR-based system. Konvergen AI aware of the issue and came up with such differentiation.

“The system we developed is an end-to-end service. For example, some cloud computing service vendors have OCR API services, yet in daily practice, these OCRs still have to be processed before the outputs considered to be suitable for use. The system we’ve developed has been adjusted for non-ideal conditions,” he said.

Closing the interview, he explained his plan in 2020, “We plan to increase the number of  ready-to-extract documents and increase the language types, therefore the Konvergen AI can serve more industries and customers, especially in Indonesia.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian