Bank Neo Commerce Bidik Lima Besar “Top of Mind” Bank Digital Indonesia

Aksi transformasi sejumlah bank konvensional menjadi bank digital ramai mewarnai industri perbankan Indonesia di 2020. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) merupakan salah satu yang berganti identitas baru dari nama sebelumnya, PT Bank Yudha Bhakti Tbk.

Menilik singkat perjalanannya, rebranding ini dilakukan satu tahun usai perusahaan dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%. Perkembangan dan adopsi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari menjadi alasan utama rebranding ini.

Bank Neo Commerce akhirnya merealisasikan salah satu produk transformasinya, yakni aplikasi mobile banking Neo+. Meski belum diluncurkan secara resmi, aplikasi ini sudah dapat diunduh secara terbatas di Android dan iOS pada akhir Maret 2021. Saat ini, Neo+ mengantongi rating 3.7 dengan lebih dari 1 juta unduhan di Play Store dan 4.1 di App Store.

Menjelang paruh kedua 2021 ini, Bank Neo Commerce mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru demi menyempurnakan pengalaman perbankan yang fully digital kepada nasabah.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan untuk memahami strategi perusahaan lebih lanjut.

Bidik lima besar bank digital Indonesia

Sejak akhir 2020, perusahaan mulai menggenjot pengembangan produk dan fitur baru serta kemitraan strategis dengan ekosistem digital. Menurut Tjandra, ini semua untuk memberikan pengalaman perbankan digital yang baru kepada nasabah. Secara jangka panjang, Bank Neo Commerce menargetkan dapat menjadi bank digital yang punya cakupan layanan dan produk yang lengkap.

Saat ini, Bank Neo Commerce masih membidik segmen mass market, terutama anak muda yang mendominasi jumlah populasi Indonesia. Mengacu data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS, generasi Z di Indonesia mencapai 74,49 juta jiwa atau 27,9%, sedangkan generasi milenial tercatat sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,8% terhadap total populasi.

“Kami belum dapat mengungkap target pengguna di tahun ini. Namun tahun ini kami menargetkan dapat masuk lima besar bank digital secara top of mind di Indonesia. Fokus kami tetap melayani perorangan dan korporasi untuk mempercepat pertumbuhan Bank Neo Commerce,” paparnya.

Untuk mendukung pemerataan akses finansial, Bank Neo Commerce juga akan melayani kalangan unbanked dan underbanked di daerah sub-urban maupun luar pulau Jawa, termasuk pelaku UMKM yang belum memanfaatkan layanan digital banking.

Per 31 April 2021, Bank Neo Commerce memiliki total aset sebesar Rp5,91 triliun, total penyaluran kredit Rp3,76 triliun, dan total ekuitas Rp1,07 triliun. Adapun, komposisi pemegang saham per 27 Mei 2021 adalah PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (16,3%), Yellow Brick Enterprise Ltd. (11,1%), dan publik (27,49%).

Sinergi dengan Akulaku

Keterlibatan startup teknologi menjadi strategi kunci yang banyak diadopsi  bank yang bertransformasi menjadi bank digital. Beberapa di antaranya hanya sebatas berkolaborasi, tetapi ada juga yang masuk sebagai pemegang saham. Selain kawin silang teknologi, bank akan mudah mengakselerasi pertumbuhan dengan ekosistem layanan terbuka, termasuk Akulaku masuk ke dalam ekosistem Bank Neo Commerce dan sebaliknya.

Tjandra menyebut, Akulaku memiliki ekosistem digital yang mapan, dan perannya sangat signifikan dalam membantu transformasi perusahaan menjadi bank digital.

Saat ini Akulaku menawarkan produk P2P, marketplace, dan pembiayaan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Di Indonesia, Akulaku telah bekerja sama dengan sejumlah merchant online dan offline, juga dengan 120 ribu UMKM.

Pada sinergi tahap awal, Bank Neo Commerce akan merealisasikan pembukaan rekening Neo+ melalui platform Akulaku. Kemudian, perusahaan juga akan memanfaatkan ekosistem Akulaku untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna.

Keduanya tengah mengembangkan loan origination system dan online financing yang ditargetkan komersial pada semester II 2021. Loan origination system merupakan sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

“Kami sedang menunggu persetujuan OJK, tetapi direct loan ini sudah masuk proses pengembangan tahap akhir. Untuk tahap awal, direct loan ini akan terhubung dengan marketplace Akulaku,” ungkapnya.

Dengan mengadopsi model sinergi dengan ekosistem terbuka, pihaknya tak menutup kemungkinan untuk menambah kemitraan strategis di luar ekosistem Akulaku, baik itu fintech, ecommerce, dan lini bisnis digital lainnya.

Pengembangan produk dan fitur baru

Selain sinergi Akulaku, perusahaan tengah mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru untuk memperkuat pengalaman perbankan digital di Neo+. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, direct loan akan tersedia di platform Neo+ dan terintegrasi di ekosistem marketplace di luar Akulaku.

Kedua, Bank Neo Commerce akan terus menambah kemitraan P2P untuk penyaluran pinjaman dengan skema channeling. Di 2021, Bank Neo Commerce menargetkan penyaluran sebesar Rp500 miliar yang didistribusikan ke 20 fintech. Saat ini, pihaknya baru menggandeng lima platform P2P dengan ticket size berkisar Rp20-50 miliar.

“Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Crowdo, Danamart, Eska Kapital, Modal Rakyat, dan Restock.id. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa fintech yang akan kami umumkan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Startup Nilai Pembiayaan
Crowdo Rp30 miliar
Danamart Undisclosed
Eska Kapital Rp20 miliar
Modal Rakyat Rp50 miliar
Restock.id Rp20 miliar

Sumber: Kontan

Ketiga, Bank Neo Commerce akan melengkapi produk dan fitur di Neo+ secara bertahap, seperti proses onboarding secara fully digital dan e-KYC dengan biometric. Rencananya, semua ini akan komersial setelah pihaknya mengantongi persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK). Neo+ juga nantinya bisa digunakan untuk melayani pembayaran, seperti Payment Point Online Bank (PPOB).

“Secara bertahap kami akan bertransformasi sepenuhnya digital. Ini semua sesuai dengan tujuan kami menjadi sebuah neobank, tidak hanya secara produk, tetapi juga dari back-end sampai front-end,” tuturnya.

Sementara untuk melayani kebutuhan transaksi tunai, pihaknya telah bekerja sama dengan jaringan ATM Bersama dan Alto di seluruh Indonesia. Cakupan ini akan ditambah lagi melalui berbagai convenience store atau minimarket untuk transaksi tarik tunai di kasir.

Memperkuat aspek keamanan

Teknologi dan keamanan menjadi aspek penting ketika bertransformasi menjadi bank digital. Ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa OJK mengatur kebijakan modal inti minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank digital. Komitmen investasi sangat penting dalam menunjang pengembangan teknologi.

Tjandra mengungkap, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi untuk memperkuat sistem keamanan di server serta jaringan perangkatnya, antara lain Tencent Cloud, Huawei, dan Sunline.

Dari aspek keamanan dan privasi nabasah, perusahaan memanfaatkan teknologi berbasis database management system alias Tencent Distributed Database (TDSQL) dari Tencent Cloud. Bank Neo Commerce juga menggandeng Sangfor untuk melindungi keamanan dari tindak kejahatan akibat social engineering.

“Kami pastikan untuk mengedukasi pentingnya menjaga keamanan data pribadi kepada para nasabah. Kebiasaan cyber-hygiene mulai harus dikenalkan lebih umum kepada masyarakat luas Indonesia, yaitu menggunakan two-authentication factor atau biometric login untuk masuk ke aplikasi mobile banking miliknya.”

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Officially Launched Digital Financial App, to Focus on Life Centricity

After almost a year of transition, PT Bank Jago Tbk (ARTO) officially introduced the Jago app to the public. This platform provides digital financial services that focus on life-centricity with a collaborative ecosystem approach.

“In order to present innovative and collaborative solutions, we work closely with the ecosystem. We expect this application can provide financial access to the wider community and accelerate financial inclusion. There are many segments we still want to reach in Indonesia,” Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar said at the launching of Jago app in Jakarta.

Currently, Jago app only provides several financial services, such as transfers, bill payments, and e-wallet top ups. Going forward, the company will add more services to target the digital savvy and mass market segments in the middle class, both individuals and entrepreneurs.

This is one of the initiatives of its strategic partnership with Gojek, which is a service that allows millions of customers to open Jago Bank accounts directly through the ride-hailing platform. “Regarding [the partnership with Gojek], our team is still working on the integration process,” Kharim added.

Review of Jago app

Bank Jago claims to be a fully tech-based digital bank. Kharim also emphasized that Bank Jago’s technology and innovation were entirely developed by an internal team. Therefore, DailySocial has the opportunity to try out some of the innovative features of the Jago app.

For first impression, the onboarding process to create an account is very fast, e-KYC only take less than 30 seconds via video call. We then tried the “Pockets” feature which allows customers to simply allocate money for different purposes. As seen in the image below, the Pocket feature can be personalized, including name, color, and profile photo.

The bag (Kantong) has two categories, “Savings” and “Spendings”. Users can add saving bags (Kantong Nabung) with various transfer methods, including digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), and Jago Branch.

However, the thing is that the money stored in Kantong Nabung cannot be transferred to external account thereby reducing the potential for unnecessary expenses. For transfers, users must move money to the Pay Bag (Kangtong Bayar). If it’s changed, users can make transactions and the interest will be charged to 0.5% p.a. While changing to Kantong Nabung will activate an interest of 3.5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulation of creating saving account on Bank Jago application / DailySocial

In fact, users can invite other account holders (collaborators) to save together. User can authorize a collaborator to “see” or “use” the money in the bag. There is a daily limit that can be set.

Kharim said, the collaborative financial management feature is not yet owned by banks in Indonesia. This feature was developed by research conducted by the company. He said, there are still many use case in financial service to be explored in the future.

In addition, he said that this feature has gone through a risk management process considering that the use case is still relatively new and has the potential to be called a term savings if it is stored for a long time. “This is one of the challenges for the treasury team at Bank Jago. In this case, we simulate what market this fund will be rotated, therefore, we have made adjustments in providing services,” he said.

Meanwhile, Bank Jago’s Digital Banking Director, Peter van Nieuwenhuizen added that collaborative features are very possible to be implemented into financial services. This is because people in Southeast Asia are familiar with collaboration culture, especially Indonesia, which is known to be active in socializing.

“The new [features] we are developing are new models for banking, therefore, it will take 1-2 years to see how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” Peter said.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Bank Jago app / Bank Jago

Another leading feature by Jago Bank is the payment of invoices with a variable value, post-paid for example. Through this feature, users can automatically make payments or via a reminder to confirm the value of not fixed bills.

Flashback through Bank Jago

Bank Jago officially shifted from Bank Artos in June 2020. This identity change was an effort to transform Bank Jago into a post-acquisition digital bank by a group of investors led by Jerry Ng through PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) and Patrick Waluyo through Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, through its subsidiary, GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), is also a 22% shareholder. Then, in early March, the Singapore government-owned investment institution, the Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC), also acquired Bank Jago shares.

In conclusion, Bank Jago’s shareholder consists of PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29.81%), Wealth Track Technology Limited (11.69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21.40%), GIC Private Limited (9, 12%), and the public (27.99%).

Previously, senior banker and founder of Bank Jago Jerry Ng said that this collaboration could be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. He gave an example, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboratio, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This also answers various strategic partnership actions from various verticals by Bank Jago since 2020. This inorganic strategy can accelerate growth. Currently, Gojek is a sole strategic partner. This means that this partnership includes opening a direct account (onboarding) through the Gojek application, without the need for the Jago Bank application.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

“We have to create a unique value proposition. What we do is combine the two because we both have advantages. Bank is no longer the center of ecosystem, but part of the ecosystem. If we put ourselves in the right position, we will have a strategic role because whatever consumers do, in the end is payment,” Jerry said.

Other digital banks

The competitive map for digital banks in Indonesia will be even stronger this year. After Bank Neo Commerce and Bank Jago officially introduced application-based digital services, several other banks are anticipating their realization to become digital banks. On our records, there are several names, from Bank Digital BCA, SeaBank, and KB Bukopin.

Bank Agro, which is currently applying for a digital bank license to OJK, has recently appointed Kaspar Situmorang as the President Director through the Annual General Meeting of Shareholders (Annual GMS). Kaspar was previously the Executive Vice President of the Digital Center of Excellence, one of the digital transformation divisions in BRI’s holding company.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo said to DailySocial last year that BRI Agro has a great opportunity to be converted into a digital bank because it has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang) which is the initial test case to the market.

Meanwhile, SeaBank, which is the new identity of Economic Welfare Bank (BKE), is reportedly exploring the potential to acquire another bank to strengthen its capital structure. That way, SeaBank can get a digital bank license. SeaBank is recorded as a Commercial Bank for Business Activities (BUKU) II with a core capital of IDR 1.3 trillion as of September 2020 and total assets of IDR 3.6 trillion as of December 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Resmi Meluncurkan Aplikasi Keuangan Digital, Berfokus pada Sentra Kehidupan

Setelah hampir satu tahun berganti identitas, PT Bank Jago Tbk (ARTO) akhirnya resmi memperkenalkan aplikasi Jago (Jago app) ke publik. Aplikasi ini menyediakan layanan keuangan digital yang berfokus pada kehidupan (life-centricity) dengan pendekatan pada kolaborasi ekosistem.

“Untuk menghadirkan solusi inovatif dan kolaboratif, kami bekerja sama erat dengan ekosistem. Kami harap aplikasi ini dapat memberikan akses finansial ke masyarakat lebih luas dan mempercepat inklusi keuangan. Masih banyak segmen yang ingin kami jangkau di Indonesia,” ujar Presiden Direktur Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar ditemui di acara peluncuran aplikasi Jago di Jakarta.

Saat ini, aplikasi Jago baru menyediakan beberapa layanan keuangan, seperti transfer, pembayaran tagihan, dan top up e-wallet. Ke depannya, perusahaan akan menambah lebih banyak layanan untuk membidik segmen digital savvy dan mass market di kelas menengah, baik individual maupun wirausaha.

Termasuk salah satu inisiatif dari kemitraan strategisnya dengan Gojek, yaitu layanan yang memungkinkan jutaan pelanggan membuka rekening Bank Jago langsung melalui platform ride-hailing tersebut. “Terkait [kemitraan dengan Gojek], tim kami masih menggodok proses integrasinya,” tambah Kharim.

Menjajal aplikasi Jago

Bank Jago mengklaim sebagai bank digital yang sepenuhnya berbasis teknologi (tech-based bank). Kharim juga menegaskan bahwa teknologi dan inovasi Bank Jago juga seluruhnya dikembangkan oleh tim internal. Maka itu, DailySocial berkesempatan untuk menjajal beberapa fitur inovatif dari aplikasi Jago.

Kesan pertama, proses onboarding pembuatan rekening sangat cepat,  pemeriksaan e-KYC hanya berlangsung tak sampai 30 detik via video call. Kami kemudian mencoba fitur “Pockets” atau “Kantong” yang memungkinkan nasabah mengalokasikan uang dengan tujuan berbeda secara sederhana. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini, fitur Kantong dapat dipersonalisasi, baik nama, warna, dan foto profilnya.

Kantong memiliki dua kategori, yaitu “Savings/Nabung” dan “Spendings/Bayar”. Pengguna bisa menambah Kantong Nabung dengan berbagai metode transfer, antara lain digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), dan Jago Branch.

Namun, perlu dicatat bahwa uang yang disimpan di Kantong Nabung tidak dapat ditransfer ke rekening luar sehingga mengurangi potensi pengeluaran yang tidak perlu. Untuk transfer, pengguna harus memindahkan uang ke Kantong Bayar. Jika diubah ke Kantong Bayar, pengguna dapat bertransaksi dan bunga dikenakan menjadi 0,5% p.a. Sementara mengubah menjadi Kantong Nabung akan mengaktifkan bunga 3,5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial

Menariknya, pengguna dapat mengundang pengguna pemilik rekening lain (collaborator) untuk berkolaborasi untuk menabung. Pengguna dapat memberi kuasa collaborator untuk “melihat” atau “memakai” uang di kantong tersebut. Ada limit harian yang bisa ditetapkan.

Menurut Kharim, fitur pengelolaan keuangan secara kolaboratif belum dimiliki bank-bank di Indonesia. Fitur ini pun dikembangkan riset yang dilakukan perusahaan. Menurutnya, masih banyak use case layanan keuangan yang dapat dieksplorasi di masa depan.

Selain itu, ia mengatakan bahwa fitur ini telah melalui proses risk management mengingat use case-nya masih terbilang baru dan berpotensi disebut tabungan berjangka apabila disimpan dalam waktu lama. “Ini salah satu tantangan bagi tim treasury di Bank Jago. Dalam hal ini, kami buat simulasi dana ini diputar ke pasar apa, jadi kami sudah buat penyesuaian dalam memberikan layanan,” ujarnya.

Sementara, Direktur Digital Banking Bank Jago Peter van Nieuwenhuizen menambahkan bahwa fitur-fitur yang bersifat kolaboratif sangat memungkinkan diimplementasi ke dalam layanan keuangan. Pasalnya, masyarakat di Asia Tenggara kental dengan budaya kolaborasi, terlebih Indonesia yang dikenal aktif dalam bersosialisasi.

“[Fitur-fitur] baru yang kami kembangkan merupakan model baru untuk perbankan sehingga butuh 1-2 tahun untuk melihat how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” ungkap Peter.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Aplikasi Bank Jago / Bank Jago

Fitur menarik lain yang diperkenalkan Bank Jago adalah pembayaran tagihan dengan nilai yang tidak tetap, misal pasca-bayar. Lewat fitur ini, pengguna bisa melakukan pembayaran secara otomatis atau melalui reminder untuk mengonfirmasi nilai tagihan yang tidak tetap.

Kilas balik perjalanan Bank Jago

Bank Jago resmi berganti nama dari Bank Artos pada Juni 2020. Pergantian identitas tersebut merupakan upaya transformasi besar-besaran Bank Jago menjadi bank digital pasca-akuisisi oleh grup investor yang dipimpin oleh Jerry Ng lewat PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Patrick Waluyo melalui Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), juga masuk sebagai pemegang saham sebesar 22%. Kemudian, awal Maret lalu, lembaga investasi milik pemerintah Singapura, Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC) juga mencaplok saham Bank Jago.

Dengan demikian, komposisi pemegang saham Bank Jago terdiri dari PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29,81%), Wealth Track Technology Limited (11,69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21,40%), GIC Private Limited (9,12%), dan publik (27,99%).

Sebelumnya, bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng mengatakan bahwa kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Strategi anorganik ini dapat mempercepat pertumbuhan. Saat ini baru Gojek yang menjadi mitra strategis. Artinya, kemitraan ini termasuk membuka rekening (onboarding) di aplikasi Gojek langsung, tanpa perlu di aplikasi Bank Jago.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Bank digital lainnya

Peta persaingan bank digital di Indonesia bakal semakin kuat di tahun ini. Setelah Bank Neo Commerce dan Bank Jago resmi memperkenalkan layanan digital berbasis aplikasi, beberapa bank lain tengah mengantisipasi realisasinya menjadi bank digital. Di catatan kami, masih ada sejumlah nama, mulai dari Bank Digital BCA, SeaBank, dan KB Bukopin.

Bank Agro yang sedang mengajukan izin menjadi bank digital ke OJK, juga baru saja menunjuk Kaspar Situmorang sebagai Direktur Utama melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS Tahunan). Kaspar sebelumnya merupakan Executive Vice President Digital Center of Excellence, salah satu divisi transformasi digital di induk usaha BRI.

Kepada DailySocial tahun lalu, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengatakan, BRI Agro berpeluang besar dikonversi menjadi bank digital karena telah meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang) yang menjadi test case awal ke pasar.

Sementara itu, SeaBank yang telah berganti identitas dari Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), dikabarkan tengah menjajaki potensi akuisisi bank lain untuk memperkuat struktur modalnya. Dengan begitu, SeaBank bisa mengantongi izin bank digital. SeaBank tercatat masih merupakan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II dengan modal inti Rp 1,3 triliun per September 2020 dan total aset per Desember 2020 sebesar Rp 3,6 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Crowdo Announces Bank Neo Commerce as Its Digital Bank Prime Partner

Fintech startup Crowdo announced a partnership with Bank Neo Commerce (BNC) to increase SME financing. This is Crowdo’s first-ever partnership since declaring itself a neobank service.

In an interview with DailySocial, Crowdo’s Group CEO, Reona Shimada explained, they offer comprehensive digital technology and infrastructure for digital banks in this partnership, and it will take a long time if it’s to be built independently.

BNC has access to technology such as an AI-powered credit scoring engine that Crowdo engine has built and trained for three years. It is said that Crowdo’s portfolio performed up to 70% better with this tool than traditional bank loans for SMEs during the pandemic.

In addition, access to the whole digital onboarding process and end-to-end underwriting, and supporting the digitization mission for digital banks. “By combining these two DNAs, it makes digital banks more efficient in their business processes. They can immediately experience the impact of the business as they get an acquisition channel,” Shimada said.

Technically, the onboarding process for SMEs in obtaining loans is done through the Crowdo platform. If the results of the assessment match the criteria targeted by BNC, then they will make the loan. Shimada explained that this approach is different from loan channeling, as is done by banks with p2p lending companies in general.

“Crowdo is more focused on digital solutions for SMEs, not just financing. SMEs can digitize their operations and get financial products. ”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Crowdo and BNC agreement signing / Crowdo

In terms of monetization, Shimada was reluctant to reveal further detail. However, he said an example, in general cooperation between companies as this one usually uses commission share (share fee).

The company is expected to announced two other digital banks sooner this year. Previously disclosed, Crowdo targets to help SMEs digitize supply chain transactions worth more than Rp14 trillion and access loans and other financial products.

Through the Digitalization Platform service, it allows SMEs to open bank accounts in a simple and fast way, manage all invoices and purchase orders digitally, and request/receive payments.

Meanwhile, for financial products, there are three products, paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) and working capital loans. Early Payment or in the industry better known as invoice financing, this loan is intended for prepayments based on bills issued and purchase orders. Meanwhile, Micro Pay Later for small bills and unexpected payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Crowdo Umumkan Bank Neo Commerce sebagai Mitra Perdana Bank Digital

Startup fintech Crowdo mengumumkan kemitraan dengan Bank Neo Commerce (BNC) untuk peningkatan pembiayaan UKM. Ini adalah kemitraan perdana bagi Crowdo sejak mendeklarasikan diri sebagai layanan neobank.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, dalam kemitraan ini mereka menawarkan teknologi dan infrastruktur digital secara menyeluruh buat bank digital, yang mana bila dibangun sendiri akan memakan waktu yang lama.

BNC mendapat akses teknologi seperti mesin skoring kredit bertenaga AI yang sudah dibangun dan dilatih engine Crowdo selama tiga tahun. Diklaim dengan alat ini, kinerja portofolio Crowdo lebih baik hingga 70% daripada pinjaman tradisional bank untuk UKM selama pandemi.

Selain itu, akses proses onboarding digital secara keseluruhan dan underwriting dari ujung ke ujung, sehingga mendukung misi digitalitasi buat bank digital. “Dengan mengawinkan dua DNA ini membuat bank digital jadi lebih efisien proses bisnisnya, merekapun dapat segera merasakan dampak bisnis karena mendapat channel akuisisi,” kata Shimada.

Secara teknis, proses onboarding UKM dalam mendapatkan pinjaman dilakukan melalui platform Crowdo. Apabila hasil penilaiannya sesuai dengan kriteria yang diincar BNC, maka merekalah yang akan melakukan pinjaman. Shimada menjelaskan, pendekatan ini berbeda dengan loan channeling, seperti yang dilakukan perbankan dengan perusahaan p2p lending pada umumnya.

“Crowdo lebih fokus pada solusi digital untuk UKM, tidak hanya sekadar pembiayaan saja. UKM bisa melakukan digitalisasi operasional dan mendapat produk keuangan.”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo

Untuk monetisasinya, Shimada enggan menjelaskan lebih detail. Namun ia memberi contoh, pada umumnya kerja sama antar perusahaan seperti ini menggunakan pembagian komisi (share fee).

Dua bank digital lainnya diharapkan dapat segera diumumkan perusahaan sepanjang tahun ini. Sebelumnya diungkapkan, Crowdo menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan UKM membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.