Go-Jek Buka Opsi Melantai di Bursa Efek Indonesia

Meski belum ada timeframe pasti tentang kapan Go-Jek akan listing di bursa efek, kabar bahwa perusahaan on-demand ini akan go public terus berhembus kencang. Hanya terdaftar di bursa asing, misalnya di NYSE atau Nasdaq, akan mengakibatkan sulitnya investor ritel lokal untuk memiliki saham startup unicorn ini. Untuk itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai melakukan pendekatan agar Go-Jek juga membuka wacana mempertimbangkan sahamnya untuk diperjualbelikan di bursa lokal.

Menurut laporan Bloomberg, pihak manajemen Go-Jek (yang dipimpin Presiden Go-Jek Andre Soelistyo) sudah bertemu dengan manajemen BEI untuk mendiskusikan hal ini. Kepada media, Andre menyebutkan pihaknya sangat serius mempertimbangkan IPO, meskipun belum ada timeframe khusus untuk kebutuhan ini.

Andre menyebutkan potensi listing di BEI akan memudahkan pembelian saham Go-Jek oleh berbagai kalangan, termasuk bahkan oleh mitra pengemudinya. Bisa jadi nantinya Go-Jek memilih opsi dual listing untuk mendapatkan investor dari kedua sisi.

Tidak banyak perusahaan Indonesia yang melakukan dual listing. Contoh perusahaan Indonesia yang terdaftar di dua bursa saham dan masih bertahan sampai sekarang adalah Telkom yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan NYSE sejak tahun 1995.

Go-Jek sendiri disebutkan berada di fase akhir penggalangan dana senilai total $1,5 miliar (20 triliun Rupiah) setelah sejumlah investor baru mulai berdatangan. Perusahaan investasi terbesar di dunia, BlackRock, adalah yang terakhir disebutkan berinvestasi di startup yang didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran ini. Valuasi Go-Jek pasca perolehan pendanaan diperkirakan mencapai $5 miliar (atau 68 triliun Rupiah) atau lebih besar dari total market cap semua perusahaan transportasi yang terdaftar di BEI.

Tahun ini Go-Jek mempersiapkan ekspansi regional ke sejumlah negara tetangga untuk meningkatkan persaingannya dengan Grab dan Uber.

Application Information Will Show Up Here

Meramahkan Aturan “Listing” untuk Startup

Minat perusahaan startup untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai opsi perolehan dana eksternal belum selaras dengan tingginya kucuran investasi yang datang dari non bursa.

Untuk mengatasi hal tersebut, BEI terus melakukan relaksasi aturan dengan mulai melirik aturan-aturan yang berlaku di luar negeri, untuk diterapkan di Indonesia. Salah satunya aturan menghitung valuasi perusahaan berdasarkan pendapatan (revenue), aset tak berwujud (non tangible asset/NTA), dan kapitalisasi pasar (market cap).

EVP Head of Privatization, Startup, SME & Foreign Listing BEI Saptono Adi Junarso menuturkan ketiga kategori tersebut diambil dari studi yang dilakukan BEI terhadap aktivitas listing startup dalam bursa di berbagai negara. Beberapa negara yang menjadi benchmark BEI seperti Australia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Asia.

Saptono mencontohkan, ketika seorang anak ingin masuk sekolah ke jenjang lebih tinggi umumnya memakai rapor sebagai pertimbangan utamanya, namun kini tersedia opsi misalnya lewat jalur mandiri, Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) atau yang lainnya.

“Jadi misalkan kalau rapornya tidak bagus tapi dilihat dari aspek lain bisa memenuhi maka langkah IPO bisa dilakukan. Kalau sampeyan rapornya jelek tapi ingin jadi atlet, lewat jalur PMDK bisa. Kalau aspek lainnya tidak lulus, ya terpaksa nanti dulu,” tuturnya di sela-sela diskusi panel Startups #Go Public, Rabu (28/2).

Saptono melanjutkan, negara yang menjadi benchmark BEI adalah negara-negara dengan jumlah startup listing terbanyak, seperti Australia. Namun tidak semua aturan akan di-copy secara mentah-mentah karena BEI harus mempertimbangkan dari aturan yang berlaku di sekitarnya apakah bertentangan atau tidak.

Menurutnya, proses seleksi dalam mengadopsi aturan harus diberlakukan karena tidak semua aturan cocok dengan karakteristik di Indonesia. Dia mencontohkan, di Amerika Serikat berlaku aturan Dual-Class Shares atau No-Vote Shares untuk perusahaan teknologi yang ingin melantai.

Aturan tersebut, menurutnya, cukup kontroversial bila diterapkan di Indonesia, sebab banyak bertentangan dengan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (AUPPT).

“Karena kami harus selalu menjunjung perlindungan terhadap investor, sehingga tidak bisa sembarang perusahaan bisa IPO. Harus perhatikan norma dan kepatutan yang ada.”

Saptono menegaskan ketiga cara penghitungan valuasi tersebut belum menjadi keputusan akhir lantaran pihak bursa masih melakukan proses pembahasan dengan OJK. Nantinya, bila relaksasi dapat diwujudkan akan tertuang dalam aturan yang diterbitkan BEI.

Pihaknya berharap wacana relaksasi tersebut dapat menstimulasi gairah perusahaan startup untuk mulai melirik bursa sebagai opsi mendapatkan dana segar. Kendati menurutnya hanya dengan mengacu pada aturan yang masih berlaku saja sebenarnya bisa dikatakan ramah buat startup. Hal ini terlihat dari munculnya dua perusahaan startup yang sudah melantai pada tahun lalu, Kioson dan M Cash.

“Tapi kalau kita lihat ada [aturan] yang bisa direlaksasi, kami kira akan lebih fleksibel untuk para calon emiten.”

Startup mulai mendekat

Turut hadir Menkominfo Rudiantara dan Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam diskusi Startup #Go Public / DailySocial
Turut hadir Menkominfo Rudiantara dan Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam diskusi Startup #Go Public / DailySocial

 

Saptono menuturkan pasca dua startup sukses melantai, tingkat frekuensi startup untuk menghubungi BEI sekadar untuk bertanya-tanya seputar IPO meningkat cukup tajam. Kendati demikian, belum ada yang benar-benar serius dan ambil keputusan konkret untuk mengikuti langkah Kioson dan M Cash.

Pasalnya pertanyaan yang dilontarkan masih sekadar apa saja persyaratannya untuk IPO belum sampai ke tahap kondisi terkini kesehatan perusahaan. Sehingga masih abu-abu mengenai seberapa besar keinginan mereka untuk menyegerakan eksekusi IPO.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut karena sebagian besar startup yang datang ke BEI belum berbadan hukum PT, sementara banyak di antara mereka masih berbentuk CV. Padahal aturan paling utama buat perusahaan agar bisa melantai adalah berbentuk PT.

“Kita tidak tahu seberapa jauh keinginan mereka untuk eksekusi aksi IPO. Kalau dari tingkat kunjungan kami merasa frekuensinya naik sekali. Hampir setiap hari ada yang menghubungi kita via email atau datang langsung.”

Bahkan Saptono mengaku startup yang mengunjungi BEI tidak hanya dari Jakarta saja, malah sudah datang dari Bandung, Semarang dan Surabaya. Tingginya animo tersebut, membuat BEI untuk membuka IDX Incubator di luar Jakarta. Dua kota yang dipilih BEI adalah Bandung dan Surabaya.

“Kota tersebut cukup banyak potensi startupnya. Kami ingin jaring sebanyak-banyaknya anggota agar bisa kita pantau keuangannya, bimbing manajemennya agar lebih solid saat siap untuk IPO. Analoginya, lebih baik berternak binatang daripada berburu di hutan.”

Hapus stigma buruk

Menjadi perusahaan terbuka dengan pergerakan saham dengan volatilitas yang tinggi, cenderung membuat ada stigma buruk “saham gorengan”. Semakin mudah perusahaan bisa melantai, semakin mudah “menggoreng” saham. Stigma tersebut semakin kencang dalam startup, yang notabenenya adalah perusahaan belum untung, namun sudah berani melantai.

Ada yang mengkhawatirkan ketika perusahaan sudah melantai, tapi dalam waktu singkat perusahaan tersebut malah sudah gulung tikar terlebih dulu. Hal ini ditepis keras-keras oleh panelis yang turut hadir dalam diskusi Startup #Go Digital, menghadirkan Program Director IDX Incubator Irmawati Amran, Direktur Kresna Sekuritas Octavianus Budiyanto, dan Direktur Utama M Cash Integrasi Marthin Suharlie.

“Perusahaan tutup itu terjadi karena manajemennya yang tidak bagus. Startup itu mau bagaimanapun adalah perusahaan. Makanya di inkubator, kami ajarkan untuk mengelola bisnis biar tetap sustain,” terang Irmawati Amran.

Menurutnya, istilah “goreng saham” hanya akan terjadi ketika fundamental perusahaan yang tidak kuat. Apa yang dijanjikan dalam prospektus saat pertama kali IPO, tidak bisa menjamin para investor.

“Ketika perusahaan tumbuh maka harga sahamnya akan mengikuti. Makanya fundamental harus bagus sedari awal. Banyak yang bilang ingin besar dulu baru IPO, tapi sebenarnya yang lebih baik itu besar karena IPO itu lebih bagus.”

Pernyataaan Irmawati diamini oleh Saptono. “Saham gorengan” terjadi ketika persebaran saham publik itu kecil, sehingga harganya bisa naik dan turun secara drastis. Strategi untuk mencegah hal tersebut terjadi adalah memperbesar persebaran saham publik, sehingga untuk menyetir saham gorengan butuh upaya yang lebih tinggi.

Mengenai kontroversi tersebut, makanya BEI membuat dua papan klasifikasi pencatatan emiten, papan pengembangan dan papan utama. Papan pengembangan diperuntukkan kepada perusahaan yang masih kecil dengan masa operasi minimal 12 bulan dan aktiva berwujud bersih minimal Rp5 miliar, bisa melantai di bursa.

Dalam papan tersebut, emiten boleh datang dengan laporan keuangan yang masih rugi. Namun dengan catatan, emiten tersebut memiliki proyeksi dan analisa bisnis yang menunjukkan minimal dalam dua tahun setelah IPO, sudah cetak laba.

Perusahaan sekelas GO-JEK dengan valuasi di atas US$1 miliar akan tetap tercatat di papan pengembangan bila masih rugi, meski nilai aktiva berwujud bersihnya lebih dari Rp100 miliar. Nilai tersebut adalah batas minimal bagi emiten di papan utama.

IoT dan AI Dinilai Akan Menjadi Landasan Kuat Inovasi Teknologi di Indonesia

IDX Incubator kembali mengadakan sesi diskusi teknologi dan startup untuk kali kedua. Di sesi ini, program inkubasi yang diusung PT Bursa Efek Indonesia tersebut mengusung tema “Technology vs Humanity”. Dalam diskusi ini dihadirkan dua narasumber, yakni Wakil Ketua Komite Tetap KADIN Indonesia Kevin Wu dan Managing Director Samsung R&D Indonesia Alfred Boediman.

Diawali dengan pemaparan oleh Alfred yang menggaris bawahi bahwa kemunculan startup digital cukup memberikan warna baru untuk industri teknologi di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan inovasi produk. Yang saat ini mulai tercetus dan berkembang salah satunya Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI). Alfred meyakini bahwa kedua hal tersebut akan menjadi signifikan ke depannya, karena menjadi fondasi utama smart-things, seperti smart city, smart home, smart transportation dan bidang lainnya.

Memang, jika melihat perkembangan teknologi saat ini arahnya sudah ke sana. Sebut saja startup seperti Nodeflux, produknya yang menggabungkan kapabilitas IoT dengan AI kini mampu melengkapi perangkat CCTV yang dipasang di area perkotaan menjadi lebih “hidup” –dalam artian tidak sekedar merekam gambar, namun memberikan analisis secara real-time. Kemudian contoh juga ada Atnic, startup ini memfokuskan layanan IoT yang membantu peternak udang untuk meningkatkan produksinya melalui pendekatan teknologi.

Namun inovasi sendiri dinilai selalu bertahap, dari proses riset, pengembangan hingga implementasi secara masif. Yang jelas semua harus diawali dari penerimaan baik oleh pengguna. Di Indonesia dapat diindikasikan adanya penerimaan baik terhadap inovasi teknologi, Alfred mencontohkan dengan hadirnya berbagai layanan online yang ada saat ini.

“Banyak aktivitas masyarakat kini bergantung pada layanan online, seperti layanan on-demand atau e-commerce, yang terbukti mampu memberikan kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas masyarakat. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa teknologi bersifat mendukung, bukan mengubah total aktivitas yang sudah ada,” terang Alfred.

Kevin turut menambahkan, bahwa salah satu pangkal inovasi teknologi ada di tangan startup digital. Untuk itu menjadi salah satu urgensi berbagai pihak untuk mendukung pertumbuhan startup digital di Indonesia. Kevin juga menerangkan, melihat penetrasi yang ada saat ini ia meyakini bahwa startup akan terus bertumbuh. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memastikan startup tidak stagnan di fase awal –bisa scale up di level yang lebih tinggi—dapat melakukan 3C, yakni Connecting, Collaborating dan Contributing.

Produk AI juga menjadi salah satu tren yang ada saat ini di Indonesia. Teknologi ini digadang-gadang mampu menggantikan beberapa peran manusia dengan sistem yang lebih otomatis. Komputer mampu merespons kebutuhan pengguna layaknya ketika mereka dilayani oleh petugas manusia. Lantas apakah nantinya teknologi ini akan benar-benar menjadikan robot-robot yang sangat cerdas layaknya manusia? Menurut Kevin tidak, secanggih apa pun peran manusia tidak bisa digantikan secara penuh.

“Semakin canggihnya teknologi ke depan tidak sepenuhnya dapat menggantikan posisi manusia yang menciptakan data dan sistem teknologinya secara langsung,” ujar Kevin.

Dari sisi pemanfaatannya kedua pemateri meyakini bahwa AI akan memberikan banyak dampak baik. Kecerdasan untuk teknologi sangat penting, untuk memaksimalkan penggunaannya.

“Tren teknologi AI akan mengalami perubahan besar mendukung kegiatan manusia di sektor tertentu. Ke depannya juga akan banyak pertimbangan yang perlu dianalisis bisnis, ketika ingin menggantikan peran manusia menjadi sepenuhnya teknologi,” ujar Alfred.

Pendaftaran IDX Incubator Diperpanjang

Beberapa waktu lalu BEI (Bursa Efek Indonesia) membuka pendaftaran batch pertama bagi startup yang ingin mengikuti program IDX Incubator. Sejatinya hari ini adalah batas terakhir pendaftaran program tersebut. Namun berdasarkan informasi yang kami terima pendaftaran program tersebut akan diperpanjang. Sehingga peluang bagi startup yang ingin mendaftar dan tergabung masih terbuka lebar.

Dihubungi DailySocial melalui pesan singkat, Kepala Unit Startup dan UKM BEI Aditya Nugraha menjelaskan akan ada penjadwalan ulang (reschedule) dan perpanjangan masa pendaftaran. Hal ini, menurut Aditya, merupakan upaya BEI untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada calon peserta. Belum ada kepastian mengenai sampai kapan perpanjangan proses pendaftaran ini. Di laman resmi IDX Incubator pun masih tertera hari ini sebagai batas akhir pendaftaran.

IDX Incubator adalah salah satu inisiatif Bursa Efek Indonesia dalam rangka untuk membantu mengembangkan startup, dari segi bisnis, legal, hingga membantu startup untuk melenggang ke lantai bursa saham atau melakukan IPO.

Setelah selesai menjalani masa inkubasi selama 6 bulan, peserta masih bisa mendapatkan kesempatan mengikuti kegiatan workshop atau event yang diselenggarakan BEI.

Nantinya, dalam program ini, pihak BEI menjanjikan beberapa hal yang bisa didapatkan peserta. Di antaranya adalah co-working space yang rencananya akan terletak di Menara Bapindo I lantai 16, program pengembangan bisnis, akses ke pemodalan, dan workshop atau event lainnya yang tentunya bermanfaat bagi pengembangan bisnis startup.

Ada juga program dan fasilitas khas dari inkubator startup, lengkap dengan beberapa mentor yang akan dihadirkan. Selain mentor dari tim BEI, belum ada informasi lengkap mengenai siapa saja yang terlibat sebagai mentor program ini.

Program inkubator ini terselenggara berkat kerja sama BEI dan Bank Mandiri. Bank Mandiri sendiri juga memiliki perusahaan modal ventura (Mandiri Capital Indonesia) dan inkubator yang baru saja melangsungkan demo day untuk batch pertamanya.

IDX Incubator Direncanakan Hadir di Triwulan Pertama Tahun Ini (UPDATED)

Kurang lebih setahun lalu Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan akan siap bantu startup dengan membangun inkubator. Awal minggu ini berita mengenai rencana BEI tersebut kembali muncul ke permukaan. Dinamakan IDX Incubator, program BEI untuk startup ini melakukan ground breaking Senin pekan ini. Rencananya program IDX Incubator akan membantu startup untuk tumbuh dan mempersiapkan untuk IPO (Initial Public Offering).

Disampaikan Kepala Unit Startup dan UKM BEI Aditya Nugraha saat ini pihaknya masih menyiapkan dan merumuskan beberapa hal terkait dengan program IDX Incubator. Salah satu yang tengah disiapkan adalah syarat-syarat bagi startup yang ingin bergabung dengan IDX Incubator.

“Ada, saat ini tim kami masih merumuskan persyaratan peserta program,” terang Aditya ketika ditanya mengenai syarat-syarat bergabung dengan IDX Incubator.

Meski sudah melakukan ground breaking tanggal peluncuran IDX Incubator masih belum dipastikan. Ketika ditanya mengenai tanggal peluncuran Adit hanya menjawab IDX Incubator akan hadir di triwulan pertama tahun ini.

“Insya Allah triwulan pertama 2017 mas,” jawab Adit singkat.

Hadirnya IDX Incubator ini juga menjadi salah satu bukti bahwa BEI memiliki perhatian dengan industri startup tanah air. Informasi yang kami terima nantinya selain berisi program-program pembinaan startup IDX Incubator juga akan menghadirkan co-working space dan kemudahan bagi startup untuk melakukan IPO. BEI rencananya juga akan menggandeng para stakeholder, pemain startup, dan juga para praktisi pasar modal untuk membantu startup tidak hanya berkembang dari segi teknis operasional tetapi juga legal, bisnis, dan keuangan.

“IDX Incubator diharapkan dapat melengkapi ekosistem startup di Indonesia, dan menjadi langkah awal bagi startup yang ingin melakukan IPO serta menjadi Perusahaan Tercatat di Indonesia,” ungkap Adit menjelaskan.

Saat ini industri startup dan UKM secara umum tengah menjadi sorotan pemerintah. Beberapa regulasi yang kabarnya akan membantu tumbuh kembang sektor ini terus digulirkan. Lembaga-lembaga seperti OJK, Kadin dan BEI menjadi perwakilan pemerintah yang turut hadir menyemarakkan industri startup dengan regulasi dan program inisiatif untuk mengembangkan startup.

Dengan kemudahan IPO yang ditawarkan oleh IDX Incubator patut kita tunggu apakah akan mengundang minat para startup untuk melantai di bursa saham Indonesia.

Update : Pendaftaran sudah mulai dibuka, program IDX Incubator akan dimulai akhir Februari. Program akan berlangsung selama 6 bulan per batch. Setelah masa 6 bulan peserta akan menjadi alumni dan tetap memiliki kesempatan untuk mengikuti workshop atau event lain yang diselenggarakan BEI.

Lagi, OJK dan BEI Dikabarkan Akan Bantu Startup yang Ingin Melakukan IPO

Bahasan stratup dan IPO belum juga kunjung usai. Sebagai perusahaan sepak terjang startup diharapkan berakhir di bursa saham. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah dua pihak yang getol membahas rencana IPO untuk startup. Bahkan keduanya dikabarkan tengah menyiapkan aturan yang bisa memudahkan startup untuk bisa melantai di bursa saham melalui IPO. Bahkan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio, seperti diberitakan Detik menyebutkan salah satu syarat perusahaan untuk bisa melakukan IPO adalah perusahaan tersebut harus memperoleh keuntungan di tahun keduanya.

Go public itu syaratnya cuma 2, legal administrasi clean sama punya mimpi ke depan. Nah, persoalannya di startup di mereka sendiri, mereka kadang-kadang pikir, ah yang penting punya modal, begitu jadi program kita belum bisa mengkapitalisasi program itu menjadi modal. Nah, ini kita lagi bicara dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) itu dasar utamanya. Tapi di kita sendiri sudah bisa pada dasarnya, dengan syarat tahun keduanya untung,” jelas Tito.

Masih dari sumber yang sama, Tito menyebutkan saat ini sah ada beberapa startup yang tertarik untuk melakukan go public atau IPO. Selanjutnya untuk membantu memudahkan startup yang ingin melakukan IPO BEI bersama dengan bank Mandiri akan membuat sebuah program untuk statup untuk bisa listing atau mencatatkan sahamnya di BEI dengan cara mendidik startup tersebut.

Kurang lebih dalam waktu satu hingga satu setengah bulan ke depan akan dibuka sebuah tempat sebagai inkubator startup berlokasi di Plaza Bapindo.

“Inkubator sudah mulai bicara kita akan bikin bersama Bank Mandiri di gedung Bapindo. Insya Allah akan dibuka dalam waktu 1-1,5 bulan ini. Semua startup boleh buka di situ, lalu nanti dikenalkan dengan accounting, lawyer, ajarin bikin cara projection. Kita akan kenalkan dengan calon-calon investor pemulanya,” papar Tito.

Sebelumnya kabar mengenai OJK dan BEI akan membantu dan memudahkan startup agar bisa melantai di bursa saham juga sudah terdengar. Tepatnya dua bulan lalu OJK dan BEI mengungkapkan siap memfasilitasi startup yang berkeinginan untuk melakukan IPO.

IPO bagi startup bukan sebuah hal yang mutlak membawa keuntungan. Ada pro dan kontra yang mengikuti setiap keputusan untuk melakukan IPO. Ada juga pertimbangan mengenai keuntungan dan tantangan dalam melakukan IPO. Patut ditunggu, jika pemerintah dalam hal ini BEI dan OJK sudah membuka kesempatan untuk IPO, siapa kiranya startup yang siap melantai di bursa saham Indonesia.

Keuntungan dan Tantangan IPO untuk Startup

Beberapa waktu lalu topik startup Indonesia menjajaki IPO (Initial Public Offering) sempat mencuat ke permukaan. Pihak-pihak terkait seperti Bursa Efek Indonesia (BEI) dan juga OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sempat diberitakan mendukung startup-startup top Indonesia untuk melakukan IPO dengan mengeluarkan insentif dan beberapa regulasi lainnya yang mendukung. Tapi sebenarnya seberapa perlukah IPO bagi startup ?

IPO seperti banyak hal lainnya menyimpan dua sisi kemungkinan. Sisi menguntungkan dan sisi lain yang berkebalikan. Semua ini harus dipertimbangkan matang-matang sebelum startup memutuskan untuk IPO. IPO atau sering disebut “go-public” memungkinkan eksposur bisnis yang lebih tinggi. Ini berarti perusahaan bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan brand equity yang mampu membantu proses pemasaran, termasuk prestise dan juga kredibilitas perusahaan atau dengan kata lain lebih terkenal. Publikasi yang didapatkan tidak jarang juga berujung pada didapatkannya kelompok pengguna baru.

Dari sisi modal IPO juga dinilai menjadi salah satu jalan yang tepat untuk mendapatkan modal. Menjual lembaran-lembaran saham ke ranah publik bisa meningkatkan modal yang bisa bermanfaat bagi perusahaan, termasuk menutup hutang-hutang yang ada.

Memecah kepemilikan saham dengan menjualnya ke ranah publik artinya juga mengurangi risiko kepemilikan. Kepemilikan perusahaan mulai dibagi untuk sekelompok pemegang saham, sementara persentase keuntungan masih didapat. Strategi IPO juga biasanya sering dilakukan sebagai salah satu exit strategy.

Di sisi lain IPO juga memiliki risiko yang cukup tinggi. Untuk perusahaan-perusahaan konvensional profitabilitas dan track record sangat diperlukan sebelum melakukan IPO. Di era internet profit dan track record ini yang menjadi boomerang. Untuk perusahaan digital profit dan track record menjadi sesuatu yang abu-abu. Ini yang harus diperhitungkan matang-matang. Tekanan dan harapan pertumbuhan perusahaan setelah melakukan IPO tentu berbeda dengan sebelumnya. Perusahaan akan dituntut lebih cepat mendapatkan pertumbuhan.

Kecuali bagi mereka yang melakukan IPO sebagai exit strategy. Mereka akan mendapatkan modal yang cukup besar dari penjualan kepada publik untuk kemudian membagikan risiko (kegagalan) kepada sekelompok pemegang saham.

Kaskus dan Bukalapak Mulai Jajaki IPO di BEI

Berita mengenai IPO perusahaan-perusahaan startup di Indonesia mulai berhembus beberapa bulan terakhir. Beberapa startup yang dipandang sebagai pemain top masuk daftar yang dikabarkan segera melantai di bursa saham Indonesia. Nama-nama tersebut antara lain Tokopedia, Bhinneka, Go-Jek, Bukalapak dan Kaskus. Dua nama terakhir bahkan sudah mulai mengadakan pembicaraan dengan Bursa Efek Indonesia untuk rencana IPO ini.

Seperti diberitakan Kontan Direktur Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio mengungkapkan bahwa ada beberapa startup di bidang teknologi informasi yang sudah membuka pembicaraan runtun melakukan IPO seperti Bukalapak dan Kaskus. Namun sayangnya masih ada beberapa hambatan dalam hal kesiapan legal dan administrasi.

“Kaskus dan Bukalapak.com sudah ngobrol sebenarnya. Proses 4-5 bulan bisa selesai untuk mengurus IPO asal mereka commit,” ujar Tito.

Sebelumnya juga kabar mengenai Kaskus ingin melakukan IPO sudah beredar di awal bulan ini. Dalam sebuah wawancara dengan Metro TV CTO Kaskus Andrew Darwis mengungkapkan bahwa Kaskus akan segera IPO dalam beberapa tahun lagi. Jika kembali merujuk pernyataan Tito, sangat dimungkinkan mereka sedang menyiapkan beberapa dokumen dan administrasi yang menjadi hambatan.

Menyoal IPO yang akan dilakukan oleh startup-startup Indonesia memang sedang menjadi sorotan beberapa pihak, terutama pihak Bursa Efek Indonesia dan OJK. Dalam pemberitaan sebelumnya Bursa Efek Indonesia memiliki rencana untuk memfasilitasi startup yang ingin melakukan IPO namun startup terlebih dulu harus mendapatkan pembinaan dari OJK.

Tak hanya OJK dan Bursa Efek Indonesia, dukungan agar startup segera melakukan IPO juga datang dari KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Bahkan bersama dengan Bursa Efek Indonesia KADIN akan membangun sebuah inkubator yang mempersiapkan IPO untuk startup-startup Indonesia.

Salah satu efek menjadi perusahaan publik adalah keterbukaan informasi, termasuk informasi laporan keuangan. Sejumlah startup teknologi di Amerika Serikat nilai sahamnya stagnan, atau bahkan jatuh, karena kondisi keuangan yang masih merugi. Apakah startup teknologi di Indonesia sudah siap buka-bukaan?

OJK Siap Lakukan Pembinaan untuk Startup yang Akan Melakukan IPO

Rencana Bursa Efek Indonesia (BEI) memfasilitasi startup IPO atau melakukan penawaran saham perdana nampaknya mulai terbuka lebar. Namun, startup yang dinilai memiliki kualifikasi untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) harus mendapatkan pembinaan terlebih dahulu melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebelumnya, BEI dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga telah mendirikan inkubator untuk mempersiapkan startup melakukan atau IPO.

“Waktu mereka dibina itu mungkin akan butuh waktu setahun [atau] dua tahun, sampai mereka siap secara permodalan dan governance. Mereka harus siap dua-duanya,” kata Anggota Dewan Komisioner selaku Kepala Eksekutif Pengawas Poser Modal OJK Nurhaida seperti dilansir dari Okezone.

Secara khusus fokus utama dari OJK adalah hanya melakukan pembinaan kepada startup secara intens. Dengan demikian, ketika waktunya tiba startup siap untuk melakukan IPO.

“UKM yang bisa IPO hampir kita fokuskan kepada startup company karena nanti itu yang akan coba dibina dari segi governance-nya dan dari segi laporan keuangannya,” kata Nurhaida.

Saat ini diperkirakan sudah ada beberapa startup yang sudah siap untuk melakukan penawaran saham perdana. Salah satunya adalah Bhinneka.

Dalam kesempatan acara perayaan ulang tahunnya, Bhinneka memberikan pernyataan berminat melakukan IPO dalam waktu dua tahun ke depan pasca perolehan pendanaan 300 miliar Rupiah dari Ideosource.

Dengan pembinaan yang dilakukan oleh OJK, setidaknya bisa memberikan peluang kepada startup di Indonesia untuk tampil dan memvalidasi bisnis model sebagai perusahaan rintisan. Dalam hal ini BEI juga bekerja sama dengan pihak terkait untuk mengawasi dan memfasilitasi keseluruhan proses tersebut.

BEI dan Kadin Akan Bangun Inkubator untuk Mempersiapkan IPO Startup

Naik daunnya industri digital kreatif di Indonesia telah berhasil menarik perhatian Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Kamar Dagang dan Industi (Kadin) Indonesia untuk mendorong para pelakunya segera masuk ke pasar modal. Hal ini ditindaklanjuti lewat kerja sama yang terjalin antara BEI dan Kadin untuk mendirikan inkubator di Jakarta dan Bali. Tujuannya adalah mempersiapkan para pelaku startup untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) di bursa saham.

Dikutip dari Dealstreetasia, Direktur BEI Tito Sulistio mengatakan:

“Kami bersama-sama dengan Kadin akan menyiapkan inkubator untuk memelihara startup. Kami akan memfasilitasi mereka untuk mendapatkan dukungan dari pengacara, akuntan, dana modal ventura dan konsultan untuk membantu mereka mencari dana melalui IPO, bank atau modal ventura.”

Diungkapkan Tito bahwa kedua belah pihak juga telah mencapai kesepakatan untuk membangun inkubator di kota Jakarta dan Bali pada bulan Juli nanti.

Langkah ini diambil dengan latar belakang peraturan yang sedang dipersiapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait IPO untuk UKM dan startup. Dalam peraturan yang bisa jadi dasar hukum UKM dan startup tersebut disebutkan bahwa mereka bisa menghasilkan dana hingga setinggi Rp 1 triliun dari IPO. Tapi pihak regulator juga masih mengevaluasi norma IPO untuk startup yang diharapkan bisa diimplementasikan pada akhir tahun ini.

Disamping rencana pembangunan inkubator, BEI dan Kadin juga kini sedang dalam pembicaraan untuk membentuk board khusus bagi UKM dan startup. Ide tersebut masih berkaitan dengan peraturan yang berlaku saat ini, yaitu hanya UKM dengan aset bersih minimal Rp 5 miliar yang memenuhi syarat untuk memperdagangkan saham di BEI.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang UMKM, Koperasi, dan Industri Kreatif Sandiaga Uno juga mengharapkan bahwa 10 dari 50 UKM yang teridentifikasi sudah bisa masuk pasar modal dala satu hingga dua tahun mendatang. Nama-nama pemain e-commerce seperti Bhineka, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak adalah pemain e-commerce yang disebut Sandiaga sudah siap untuk IPO.

“Kita akan mendapatkan keuntungan jika 5-10 UKM di sektor teknologi dan e-commerce akan pergi untuk IPO. Perusahaan seperti Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan Bhineka harusnya sudah siap untuk IPO,” tandas Sandiaga.