Mengenal Personal Branding untuk Kesuksesan Karir dan Bisnis

Personal branding adalah salah satu topik yang cukup ramai untuk dibicarakan di internet saat ini. Banyak orang yang sudah mengerti tentang pentingnya personal branding untuk menjangkau kesuksesan mereka.

Namun, sebenarnya apa itu personal branding, apa manfaat personal branding, bagaimana membangu  personal branding, hingga contoh personal branding itu sendiri?

Di artikel ini kamu akan mengetahui tentang apa saja yang berhubungan personal branding, dimulai dari pengertian sampai bagaimana membangun personal branding di tahun  2022.

Apa itu personal branding?

Apa yang dimaksud dengan personal branding? Dikutip dari Forbes, pemasaran diri atau personal branding artinya sebuah cara menentukan persepsi orang lain terhadap diri kamu yang dapat membantu untuk mencapai tujuan yang ingin kamu tuju.

Secara umum pentingnya personal branding untuk pribadi adalah untuk membentuk siapa sebenarnya diri kita dan apa yang dapat kamu lakukan.

Sedangkan, pengertian personal branding menurut para ahli di bidang bisnis adalah sebagai berikut:

Founder Amazon, Jeff Bezos mengatakan personal branding adalah apa yang orang katakan tentang kamu saat kamu tidak ada di ruangan itu. Sebuah merek pribadi juga sebagai kombinasi unik dari keterampilan dan pengalaman yang membuat kamu menjadi diri kamu sendiri.

Dalam buku Personal Brand-Inc karya Ewin dan Tumewu menyebutkan personal brand adalah suatu kesan yang berkaitan dengan keahlian, perlikau, atau prestasi yang dibangun untuk seseorang baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang memiliki tujuan untuk menampilkan citra dirinya.

Kemudian, Justin Wu sebagai pendiri CoinState juga menjelaskan untuk menjadi ahli dalam keahlian, keterampilan, dan industri kamu sebelum memulai personal branding, karena konten yang kamu buat akan membantu memperkuat siapa sebenarnya diri kamu.

Yang terakhir adalah Tim Salau yang merupakan founder dari Mentors & Mentees yang menyebutkan merek pribadi kamu harus mengikuti kemana pun kamu pergi. Itu perlu menjadi manifestasi otentik dari siapa kamu dan memperkuat apa yang kamu yakini.

personal branding

Pentingnya personal branding

Personal branding ini sangat penting terutama dalam mengetahui siapa diri kita sebenarnya. Pentingnya personal branding juga untuk membentuk persepsi orang lain terhadap diri kamu agar kamu bisa mencapai sebuah tujuan.

Menurut situs Oberlo juga personal branding itu akan membantu kamu mendapatkan lebih banyak kredibilitas. Sehingga, kamu tidak perlu untuk berkompetitif untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan dengan gaji yang sesuai juga.

Memiliki personal branding yang baik dan terstruktur juga membuat para recruiter dengan mudah menemukan kamu. Apalagi, jika kamu memiliki personal branding yang ditampilkan di media sosial. 

Kamu bisa menunjukkan blog, akun pribadi, atau akun portofolio kamu berada apalagi jika kamu ingin bekerja di sebuah bidang yang berkaitan dengan media sosial, personal branding kamu juga akan dilihat, karena sebelum melakukan personal branding perusahaan, kamu harus mampu membuat personal branding untuk diri sendiri.

Bahkan self branding atau personal branding juga dapat meningkatkan peluang kamu untuk mendapatkan kesepakatan bisnis terutama jika kamu adalah orang yang memiliki pengaruh, karena keutamaan dari personal branding adalah menanamkan kepercayaan orang lain.

Manfaat personal branding

Memiliki personal branding tentunya ada banyak manfaat yang bisa kamu dapatkan, terutama manfaat dalam jenjang karir.

1. Memiliki kepercayaan diri

Saat kamu sedang mengembangkan personal branding diri kamu, dengan itu juga kamu membentuk kepercayaan diri. Hal ini karena diri kamu percaya jika ada sebuah kualitas yang kamu miliki dan siap untuk dibagikan ke orang lain.

Contoh kamu memiliki skill desain yang cukup baik, dengan ini juga kamu mencoba menawarkan skill yang kamu miliki ke klien. Maka, personal branding akan berperan untuk membantu menjadi sebuah kepercayaan diri dan juga memberikan arahan yang tepat. Dengan memiliki personal branding yang baik, kamu juga akan meminimalkan kelemahan yang selama ini menjadi ketakutan.

2. Kamu memiliki keunggulan dalam sebuah kompetisi

Tidak dipungkiri jika dalam dunia kerja bahkan hidup sekalipun seperti sebuah kompetisi. Akan tetapi, memiliki personal branding juga bisa membantu kamu untuk memiliki nilai lebih dibandingkan rekan kerja lainnya.

Apalagi jika kamu bekerja sebagai freelance, tentunya personal branding ini sangat penting. Dengan memiliki personal branding, kamu akan terlihat lebih istimewa di mata klien atau pelanggan. Sehingga, mereka juga tidak segan untuk membiarkan kamu menjalankan project-nya.

3. Memiliki peluang tinggi dikenal orang lain

Membentuk personal branding juga bisa membuat kamu dikenal dengan banyak orang. Apalagi, jika kamu membuat personal branding di media sosial seperti Linkedin, Instagram, Twitter, atau Facebook yang siapa saja dapat mengaksesnya.

Peluang dikenal orang lain ini akan membantu kamu mendapatkan relasi atau pengalaman baru, kamu bisa diundang atau diajak bekerja sama dengan organisasi atau pihak tertentu. Bahkan, bisa jadi kamu yang langsung direkrut oleh perusahaan secara langsung. Kamu juga bisa menjangkau karir dengan luas.

Kamu juga bisa menemukan poin lain tentang pentingnya personal branding di artikel DailySocial lainnya di sini.

Cara dan strategi membentuk personal branding

Ada banyak cara untuk membangun personal branding apalagi membangun personal branding di era teknologi ini akan lebih mudah. Membangun personal branding sebenarnya harus disesuaikan dengan diri kamu sendiri.

Berikut cara membangun personal branding di tahun 2022:

1. Tentukan siapa kamu

Mengutip dari Northeastern University, cara pertama untuk membangun personal branding adalah menentukan siapa diri kamu sebenarnya. Di poin ini kamu bisa mengintropeksi diri untuk melihat apa kelebihan dan kekurangan diri kamu.

Sehingga, kamu bisa mencatat kelebihan dan kekurangan diri kamu untuk menentukan apa yang bisa kamu kerjakan atau apa yang tidak bisa kamu kerjakan. Intropeksi diri ini juga bisa dilakukan dengan bertanya kepada teman, kerabat, atau keluarga.

2. Konsisten

Setiap orang mungkin akan berkembang setiap saat. Namun, tentunya kamu juga harus konsisten dalam pekerjaan atau juga kepribadian. Agar, orang lain bisa terus mengingat kelebihan kamu.

Konsisten di sini lebih baik ke arah yang positif seperti kamu selalu menepati janji, mengerjakan tugas tepat waktu, atau selalu berpenampilan rapi.

3. Membangun relasi

Membangun relasi atau memperluas jaringan pertemanan ini sangat penting dilakukan agar kamu bisa bergabung dengan lingkaran yang lebih profesional.

Apalagi jika kamu ingin terus mengembangkan karir, memperluas jaringan itu dapat membantu pertumbuhan karir kamu. Kamu bisa mengenal banyak orang di berbagai industri. Sehingga, dari mereka juga bisa merekomendasikan kamu.

Semakin banyak kamu mengenal orang lain juga maka semakin banyak orang yang dapat mengenal diri kamu secara pribadi. Membangun relasi tidak hanya dengan cara langsung, kamu dapat terhubung melalui Linkedin atau Email. Cara membangun personal branding lainnya juga dapat dilihat di artikel ini.

Membangun personal branding melalui media sosial

Membangun personal branding melalui media sosial adalah cara yang tepat, karena saat ini juga sudah banyak orang yang menggunakan media sosial. Sehingga, membentuk personal branding di media sosial bisa membuat kamu mendapatkan banyak relasi dan dukungan. 

Namun, bagaimana cara membangun personal branding di media sosial terutama di Instagram?

1. Membuat Konten

Tentunya Instagram adalah salah satu media sosial untuk membagikan konten. Untuk membuat personal branding kamu berjalan baik di Instagram, kamu harus membagikan konten dan Instagram biasanya menyukai user generated content atau konten yang dibuat oleh pengguna. Konten ini juga menjadi contoh dari personal branding.

Kamu bisa membagikan contoh tutorial, hasil fotografi, atau video motivasi, karena hal itu semua adalah yang menunjukkan siapa diri kamu. Sehingga, bisa dibilang sebagai contoh personal branding di media sosial terutama Instagram

Konten ini bisa disesuaikan dengan apa yang kamu suka atau berkaitan dengan pekerjaan kamu saat ini. Cara membuat personal branding di Instagram adalah dengan cara memberikan informasi juga kepada followers kamu.

2. Interaksi dengan Pengguna

Melakukan interaksi kepada followers dan following kamu adalah hal yang wajib untuk membentuk personal branding di Instagram, karena dengan cara ini follower dan following tahu jika akun Instagram kamu masih aktif. Interaksi bisa dilakukan melalui kolom komentar, memberikan reaction terhadap postingan, atau juga mengobrol di DM.

Interaksi ini juga bisa menambah relasi. Sehingga, orang-orang bisa dengan mudah untuk mengenal kamu dan membuat persepsinya sendiri. Nah, di sini kamu bisa mendapatkan personal branding. Namun, saat berinteraksi dengan followers dan following, kamu harus tetap menjadi diri kamu sendiri.

3. Konsisten

Konsisten adalah cara membuat personal branding yang terakhir, konsisten di sini artinya kamu konsisten untuk membuat dan membagikan konten, dan juga konsisten untuk berinteraksi dengan followers dan following.

Dengan konsisten membuat konten juga, membuat orang lain bisa dengan mudah mengingat akun kamu dan juga untuk menarik engagement.

Nah, setelah kamu mengetahui pengertian, manfaat, dan cara membangun personal branding. Saat ini yang harus kamu lakukan adalah membuat personal branding untuk diri kamu sendiri. Kamu bisa memanfaatkan media sosial yang kamu miliki sebagai medium personal branding.

Mengenal “Iklan Pintar”, Salah Satu Model Bisnis yang Coba Dioptimalkan Warung Pintar

Setelah resmi diakuisisi SIRCLO Group, Warung Pintar semakin gencar mengembangkan solusi bagi jutaan UMKM ritel, khususnya warung. Pada bulan Juli 2021 lalu, perusahaan menghadirkan layanan baru yang diberi nama “Iklan Pintar”, layanan ini berfokus pada solusi promosi terintegrasi yang membantu brand mengakses ratusan ribu pemilik warung dan jutaan konsumen, serta memungkinkan pemilik warung meraih pendapatan tambahan.

Hasil riset internal Warung Pintar menunjukkan lebih dari 80% dana pemasaran brand difokuskan pada pasar modern sehingga menyisakan hanya 20% dana pemasaran untuk pasar ritel tradisional seperti warung. Pasalnya, ekosistem tradisional yang berlapis menimbulkan berbagai keterbatasan dalam proses monitoring program pemasaran sehingga mayoritas brand enggan untuk memanfaatkan warung sebagai kanal pemasaran yang efektif.

Sementara dari sisi pemilik warung, program pemasaran brand kerap dinilai tidak memberikan kompensasi yang adil karena minimnya transparansi. Berangkat dari data tersebut, Warung Pintar memutuskan untuk mulai menggarap solusi Iklan Pintar dalam rangka mendorong pemanfaatan warung sebagai pilihan kanal pemasaran bagi berbagai jenis brand di Indonesia, mulai dari multinasional hingga produk lokal.

Pada dasarnya, praktik pemasangan iklan di warung telah dimanfaatkan oleh brand sejak puluhan tahun lalu. Akan tetapi, pada prosesnya, tim lapangan masih harus berkeliling dari warung ke warung untuk menawarkan program dan melakukan monitoring hasil program secara manual. Dengan jumlah warung yang tidak sedikit serta tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan untuk proses monitoring manual, konsep ini menjadi tidak efisien dan efektif.

Berusaha menjawab tantangan tersebut, Warung Pintar, melalui produk iklannya berupaya menawarkan efisiensi bagi brand dalam menjangkau target pasarnya mulai dari pemilik warung hingga konsumer akhir. Melalui platform yang lebih efektif dan terukur, Iklan Pintar menawarkan dua format pemasangan iklan, baik offline maupun online (in-app).

Format online advertising dan in-app activation ditargetkan untuk pemilik warung, brand dapat melakukan promosi secara daring di aplikasi Warung Pintar dan platform lain yang tersedia. Sementara, offline placement memungkinkan brand untuk langsung menjangkau konsumer akhir lewat aset promosi offline di warung-warung yang telah bergabung dengan Warung Pintar, Bentuk pemasaran bisa melalui pemasangan aset brand, penempatan produk, offline activation dan berbagai bentuk promosi offline lainnya.

Untuk bisa menikmati layanan ini, biaya yang ditagihkan ke brand adalah senilai Ro5.000 – Rp10.000 per data konsumer/warung. Tersedia dasbor terpisah untuk memantau program yang sedang berjalan. Selain itu, platform ini juga memfasilitasi diskusi konstruktif antara brand dan Warung Pintar dalam perencanaan program dan target segmen termasuk demografi, jenis warung, dan area/lokasi sekitar warung.

Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro mengatakan, “Iklan Pintar hadir tidak hanya untuk membangun loyalty pemilik warung ke brand tertentu, namun juga menghasilkan dampak sosial yang nyata dengan memberikan insentif yang adil dan lebih transparan bagi pemilik warung. Kami harap, layanan Iklan Pintar dapat menjadi solusi terpercaya bagi brand untuk mentransformasi kanal pemasaran agar lebih efektif dan efisien.”

Hingga saat ini, layanan Iklan Pintar telah memungkinkan belasan brand ternama seperti AXE, Kimbo, Sariwangi, Kopi ABC, Good Day, Kopiko, Danone, Bango, Coca Cola, dan lainnya untuk terhubung dengan ekosistem warung di Indonesia.

Partisipasi brand dalam Iklan Pintar ini juga turut membantu dalam memberikan dampak nyata bagi lebih dari 500.000 warung dalam ekosistem Warung Pintar di lebih dari 200 kota. Inisiatif ini juga diklaim telah memberikan insentif bagi pemilik warung mencapai Rp300.000,00+, sekitar 7,5% lebih tinggi dibandingkan kanal pemasaran lainnya.

Iklan Pintar diimplementasikan secara inklusif dengan memanfaatkan ekosistem warung yang tergabung. Penetrasi Iklan Pintar disebut mencapai 400%, lebih tinggi daripada platform lain. Meskipun begitu, menilai operasional layanan yang masih terbilang baru dengan beberapa  fitur masih dalam tahap uji coba, ada beberapa hal yang masih bisa dikembangkan seperti kecepatan manajemen akun, biaya operasional yang dianggap cukup mahal, serta skema literasi teknis di lapangan (mengubah dari offline ke online).

Solusi adtech di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran dalam industri periklanan ke arah penggunaan teknologi periklanan (adtech) baik secara online maupun dalam pengaturan yang lebih tradisional. Startup adtech Indonesia memanfaatkan pertumbuhan populasi negara dan meningkatnya penggunaan internet dan ponsel untuk memasarkan produk dan layanan.

Berdasarkan data dari Statista, total nilai pasar periklanan di Indonesia pada tahun 2018 adalah sekitar $2,57 miliar dan diproyeksikan meningkat menjadi $5,3 miliar pada tahun 2024. Teknologi telah mengubah lanskap dengan menghadirkan efisiensi yang lebih besar pada cara perusahaan membelanjakan iklan mereka.

Meskipun begitu, startup adtech di Asia Tenggara masih menghadapi beberapa tantangan, seperti investasi yang tidak mencukupi, kecenderungan konsumen beralih ke kanal baru, dan persaingan yang meningkat akibat teknologi yang semakin canggih. Ditambah lagi situasi pandemi yang menciptakan banyak ketidakpastian namun juga peluang dalam dunia bisnis saat ini.

Seiring perkembangan bisnis yang ada, solusi adtech turut didesain secara “embedded” ke dalam platform yang memiliki basis pengguna besar. Misalnya, di platform online marketplace Tokopedia, para merchant bisa mengiklankan produknya kepada target pengguna spesifik. Trennya, akan semakin banyak aplikasi dengan ekosistem pengguna besar menjadikan model iklan digital ini sebagai salah satu model bisnisnya.

Application Information Will Show Up Here

Brand Identity Meningkatkan Citra Produk

Saat membeli sebuah produk, hal apa yang kamu cari pertama kali? Betul, biasanya kita sebagai konsumen akan melihat kemasannya terlebih dahulu karena secara tidak langsung kemasan sebuah produk adalah hal yang paling mudah diingat oleh konsumen. Hal tersebut dikenal sebagai brand identity

Identity atau identitas yang bermakna jati diri tidak hanya menyangkut soal manusia, tetapi juga menyangkut soal brand. Contoh hal sederhana dari brand identity bisa ditemukan saat kita berbelanja membeli produk, ketika kamu ingin membeli snack bermerek Oreo pasti kamu akan mencari petunjuk kemasan berwarna biru dengan gambar kukis krim lapis. Logo dan warna dalam kemasan merek tersebut menjadi salah satu variabel brand identity dari merek Oreo.

Nah, contoh tersebut menjadi sebuah contoh sekaligus bukti bahwa konsumen bisa langsung mengenali sebuah brand melalui kemasan produk. Sehingga, selain tagline, warna kemasan juga menjadi  power dari brand identity.

Apa itu Brand Identity?

Identitas produk atau brand identity adalah berbagai elemen yang melekat pada sebuah merek, baik logo, kemasan, dan warna yang tentunya berguna untuk membedakan merek tersebut di benak konsumen dan juga sebagai bentuk citra suatu merek. 

Sebuah merek, brand, bahkan produk sekalipun perlu memiliki ciri khas tersendiri, gunanya adalah agar membedakan produk kamu dengan produk merek lainnya dan mampu dikenal menjadi produk yang lebih unggul.

Selain sebagai pembeda, dengan adanya brand identity juga bisa meningkatkan citra brand seperti:

1. Produk lebih mudah dikenal konsumen

Dengan identitas produk yang menarik bisa membuat konsumen lebih mudah untuk mengingat brand kamu. Contoh, saat konsumen ingin membeli minuman kola, pasti mereka akan merujuk kepada satu merek yaitu Coca Cola. Hal ini dikarenakan merek minuman tersebut dari mulai nama hingga kemasannya sudah lama terkenal di benak masyarakat.

2. Meningkatkan loyalitas konsumen

Setelah memiliki brand identity yang kuat, kamu bisa membangun strategi pemasaran yang menarik untuk mendapatkan kepercayaan konsumen agar mendapatkan loyalitas, dengan begitu hubungan emosional konsumen dengan produk atau merek kamu akan semakin meningkat. Sehingga, tercipta loyalitas konsumen.

3. Meningkatkan brand awareness

Memiliki produk dengan tampilan yang indah dan sempurna bisa meningkatkan brand awareness. Kamu bisa melihat kesuksesan Apple dari segi kesempurnaan dan keindahan produknya.

4. Lebih unggul dari kompetitor

Sebuah brand yang memiliki tampilan menarik dan mudah dihafal oleh konsumen akan lebih unggul dengan kompetitor lain di pasaran, karena konsumen cenderung membeli sesuatu yang sudah diketahui dan juga yang memiliki kemasan menarik.

5. Meningkatkan keuntungan perusahaan

Dari keempat manfaat di atas akan berujung dengan naiknya keuntungan perusahaan. Jika brand kamu mudah dikenal konsumen, maka akan tercipta brand awareness sekaligus mendapatkan loyalitas konsumen. Hal tersebut juga termasuk juga merujuk pada kredibilitas perusahaan kamu, dengan begitu untuk mendapatkan pelanggan baru tidak akan terlalu sulit.

Membangun brand identity dengan brand guidelines yang menarik

Membangun brand identity agar bisa meningkatkan citra brand tentunya harus dibangun berdasarkan brand guidelines yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

Dilansir dari HubSpot, brand guidelines adalah pedoman yang digunakan oleh perusahaan untuk mengatur elemen seperti desain, tampilan, dan komposisi dari sebuah merek brand

Untuk mengatur brand guideline yang tepat, Canva menjelaskan ada beberapa elemen yang harus diperhatikan di antaranya:

1. Color palette

Kamu bisa memilih warna yang sesuai dengan identitas brand, color palette juga berfungsi untuk membangkitkan ekspresi dan emosi yang mencerminkan identitas merek. Penggunaan warna yang tepat dan tidak berubah-ubah juga bisa membuat konsumen langsung mengenalinya.

2. Typography  

Selain warna, tentunya ada huruf yang tercetak dalam sebuah merek. Pemilihan jenis huruf juga harus disesuaikan dengan ekspresi brand kamu. Pemilihan jenis huruf juga harus konsisten agar bisa dipakai dengan jangka waktu yang lama dan yang terpenting harus mudah dibaca oleh konsumen.

3. Brand image and design element

Gunakan icon atau gambar yang merepresentasikan merek dan jangan lupa untuk memperhatikan elemen desain yang sesuai seperti kontras, saturasi, vibrance, atau blurring karena elemen tersebut menentukan tone dari brand.

4. Consistent brand language 

Dengan menggunakan bahasa yang konsisten dan familiar pada sebuah merek dan menerapkannya selaras di berbagai channel marketing akan membantu audiens langsung mengenali merek. Penggunaan bahasa sesuai citra brand juga membantu meminimalkan potensi kesalahpahaman dan meningkatkan loyalitas konsumen.

Melalui brand identity dan brand guideline kunci untuk meningkatkan citra perusahaan adalah dengan konsisten menggunakan elemen-elemen yang sudah melekat pada brand. Sehingga, konsumen bisa terus mengingat merek perusahaan dan loyalitas pelanggan bisa tetap terjaga.

Kantar: Apple dan Google Menjadi Brand Paling Berharga Kedua dan Ketiga Secara Global

Kantar telah menerbitkan laporan peringkat brand yang paling berharga secara global, bertajuk ‘BrandZ Most Valuable Global Brands 2021‘ dengan total nilai mencapai US$7,1 triliun. Brand AS menyumbang 56 dari 100 top brand, dengan Amazon dan Apple memimpin yang masing-masing bernilai lebih dari setengah triliun US$.

Posisi pertama ditempati oleh Amazon sebagai brand paling berharga di dunia dengan nilai US$684 miliar, naik US$268 miliar atau tumbuh sebesar +64% dibandingkan tahun lalu. Apple yang memegang posisi kedua dengan nilai US$612 (+74%), diikuti oleh Google dengan nilai US$458 miliar (+42%).

Rank ​2021​ ​Brand​ Brand Value 2021 ($Mil.) ​ % Change 2021​
vs 2020​
1​ Amazon​ $ 683,852 ​ 64%​
2​ Apple​ $ 611,997 ​ 74%​
3​ Google​ $ 457,998 ​ 42%​
4​ Microsoft​ $ 410,271 ​ 26%​
5​ Tencent​ $ 240,931 ​ 60%​
6​ Facebook​ $ 226,744 ​ 54%​
7​ Alibaba​ $ 196,912 ​ 29%​
8​ Visa​ $ 191,285 ​ 2%​
9​ McDonald’s​ $ 154,921 ​ 20%​
10​ MasterCard​ $ 112,876 ​ 4%​

Brand teknologi lain seperti Samsung berada di urutan ke 42, Huawei di urutan ke 50, dan Xiaomi di urutan ke 70. Hal yang menarik terjadi pada Xiaomi, karena naik 11 tingkat dibandingkan tahun lalu.

Namun brand dengan pertumbuhan tercepat tahun ini diraih oleh Tesla yang melonjak naik +275% dari tahun lalu dengan nilai US$ 42,6 miliar. Diikuti oleh TikTok yang tumbuh +158% dengan nilai US$43 miliar. Kedua perusahaan ini masing-masing berada di peringkat ke 47 dan ke 45 dalam daftar.

Beberapa tambahan menarik dalam daftar top 100 adalah Nvidia yang bertengger di peringkat ke 12, Qualcomm di 37, AMD di 57, Snapchat di 82, dan Spotify di 99. Tentu saja, ada Zoom di posisi ke 52, popularitas platform panggilan video grup ini meledak selama setahun terakhir akibat pandemi Covid-19.

Bisnis berlangganan juga semakin populer selama pandemi. Ada Xbox yang naik 55%, Disney naik 13%, Netflix naik +55% dan Spotify yang masuk ke top 100 untuk pertama kalinya. Di bawah ini infografis BrandZ yang menunjukkan top 100 brand paling berharga di dunia.

Sumber: GSMArena, Businesswire

A Million Reasons of Why Brands Should Leverage Their Presence In Indonesia’s Esports Ecosystem

When we speak about esports, we are still talking about a billion-dollar market full of possibilities for all to get a glimpse of the esports world. Although esports was once considered a branch of sports culture, it has now evolved into a full-fledged industry in its own right.

Global investors, brands, media outlets, and customers are paying notice as competitive video games begin to evolve into mainstream culture. According to Insider Intelligence, total esports attendance is projected to rise at a 9% compound annual growth rate (CAGR) between 2019 and 2023, rising from 454 million in 2019 to 646 million in 2023. This sets the esports audience on track to almost double over a six-year period, from 335 million in 2017.

The statistics above reflect the number of unique audiences that brands can target, especially for targeting Gen Z, which is critical in the long run for businesses with at least a 20-year vision. With the massive development happening in the esports market over the last decade, brands are eager to get a head start on reaching more younger generations through esports.

Salim Group, an Indonesian conglomerate established in 1972, collaborated with ESL to establish ESL Indonesia. Image Credit: Nikkei Asia

Adidas, FC Copenhagen, Louis Vuitton, VISA, and Mercedes-Benz are only a handful of the household names who have taken part in large-scale esports activities such as tournaments, organizations, teams, and more. The brands mentioned above are legendary brands standing for virtually hundreds of years yet were involved in esports, a relatively young industry. Any conclusion implies that either esports provide a significant opportunity for their brands in the long run or that they have an unqualified risk management team standing behind the desk, the latter of which seems rather implausible.

According to Deloitte, over US$4,5 billion has been invested into the esports industry in 2018 alone. Notable transactions in the sector over the last decade include:

(Photo Courtesy of GDPVenture/Dexerto)

Traditional investors’ interest reflects the industry’s maturity and increasing mainstream appeal from an investor standpoint.

“Brands can use esports as a platform to engage lots of audience in gaming scene”- Hans Saleh, Country Head of Garena Indonesia

Many factors are taken into account as brands try to glimpse into how disruptive esports can be in their brand portfolio. Big players or international corporations often see the global market as a sandbox, yet specific brands will first scale from the bottom and choose vital regions. And with that, Indonesia is often included in the list due to its enormous potential.

Why Choose Indonesia rather than MY/SG or any others in Southeast Asia?

Speaker of People’s Consultative Assembly (MPR) as Board of Trustees (Dewan Pembina) of Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) with Sandiaga Uno

Indonesia, located in Southeast Asia, is home to over 237 million people and deemed the fourth largest country by population. Given that citizens’ gaming penetration is greater than that of its neighbors, Indonesia presents a significant opportunity for brands to enter the esports market. Gaming and esports analytics company Newzoo projected that Indonesia’s gaming revenues would grow significantly every year. Indonesia generated US$1,31 billion in revenue in 2019, making it Southeast Asia’s largest gaming industry, surpassing Thailand and Malaysia, which together generated US$1,466 billion in revenue. This figure speaks for itself – what you need to do is capture the Indonesian market to gain access to the combined market figure Thailand and Malaysia can offer.

Indonesia Presence Bigger Potential Reach Thanks to the Massive Adoption of Mobile Games

MLBB Professional League (MPL) Indonesia’s franchise slot was sold US$1 million each, which is now worth more if the franchisee organization wishes to resell the slot.

The lower the barrier is, the better. In Indonesia, mobile esports is the fastest-growing market. It demonstrates that accessibility reigns supreme in the modern era. The rising revenue of esports or the game industry shows how mobile gaming is the fastest increasing economy segment. According to statista.com, the mobile games sector in Indonesia will generate sales of US$1,487 million in 2021 and a business value of US$2,149 million by 2025.

Given the low cost of mobile smartphones and the ease with which the games can be obtained, Indonesia is the most exciting nation for brands looking to join esports. According to KINCIR, four of the top ten Indonesian esports titles were mobile games, with four ranked in the top five. This is also due to the more significant numbers of players engaged with mobile games and mobile gaming’s more developed microtransaction economy.

(Photo courtesy of GDP Venture/KINCIR)

It is also worth noting that 7 of the Top 10 mobile esports titles were developed by Asian developers, while this is only true of 3 of the top 10 PC esports titles. This shift suggests that mobile esports is part of a shifting balance in the global esports industry, which favors the growing Asian games market, especially Indonesia, with its excellent relationship with major players in the market such as China, Japan, South Korea, and others.

Esports is the right channel to engage 73,7% of Indonesia’s internet population.

1. Esports Can Reach Mass Audience

Playing games is one of the most popular reasons people go online in Indonesia, outnumbering those who read the news and seek entertainment. The situation motivates the brand to begin participating in esports. Social networking and entertainment content were also often linked to esports, which increased gaming and esports visibility among the general public. The amount itself will rise over time and is unlikely to fall into a downward spiral any time soon.

Long story short, several titles were developed for PC initially but were ported or adapted for mobile devices by the developers to reach a much larger audience on the platform. The broader range of genres is more welcoming to a broader audience of mobile gamers. This correlates to Indonesia’s hype over mobile games and should any brand enter the esports ecosystem of Indonesia; these brands could enjoy access to 64% of the fourth largest nation by the population who played games.

(Photo courtesy of GDPVenture/APJII)

2. The trend of Non-Endemic Brands Get Into Esports

The latest pattern in Global and Indonesia is that a growing number of non-endemic businesses (companies that are not directly involved in esports) are allocating a more significant portion of their expenditure to esports. This is due to esports’ unique potential to draw a youthful and dedicated audience.

In Indonesia, various industry leaders have taken part in Indonesia’s esports ecosystem. BCA enters the ecosystem through their venture capital company GDP Venture, which holds a stake in the Indonesian Esports Premier League (IESPL), which hosted Piala Presiden Esports. Their portfolio also includes several other media portals, including Hybrid.co.id, GGWP ID, and KINCIR.

Image Credit: ELITE8 Esports

Telkomsel and Smartfren, two telecom firms, sponsored ELITE8 and Morph Team, respectively. Biznet, Tokopedia, tiket.com, and other brands heavily participating in esports activities round out the list.

ESL has also partnered with the Indonesian conglomerate firm Salim Group to form ESL Indonesia and organize the ESL Indonesia National Championships. Pop Mie, Chitato, Indomilk, and Mercedes-Benz have also jumped at the opportunity to be the league sponsors.

“Indonesian people’s interest in esports has increased by 60% during the pandemic”

– Rangga Danu, VP of KINCIR & Co-founder of Indonesian Esports Premier League (IESPL)

Globally, thousands of non-endemic brands have taken part in the ecosystem and are looking forward to continuing their support. The most recent mega-deal was ESL’s extension of its relationship with DHL. The United States Air Force Army was one of the last organizations you’d think to get into esports. They did, really. They sponsored ELEAGUE Major Boston CS:GO 2018 and had a partnership deal with Cloud9 in 2019.

In reality, non-endemic brands accounted for 69% of new big esports sponsors in Europe. This demonstrates how confident brands with no product relationship with esports saw the future potential to keep their company relevant for the next ten years.

3. Esports Provide Diverse Channel to Reach and Engage Audience

The esports ecosystem consists of numerous parties, including teams, tournament organizers, broadcasting platforms, game creators, fans, publishers, and brands. Widespread distribution would be an advantage for brands in the esports ecosystem.

“Esports makes BCA brand relevant to younger generation”

– Armand Hartono, Vice President Director of Bank Central Asia (BCA)

4. The Ecosystem Offers a Variety of Different Opportunities

Brands have a preference to choose the best investment that fits their objectives. It could be through esports games or other parties such as esports teams, players, publishers, and many more. Intel, for example, opted to promote its brand by sponsoring ESL via the Intel Extreme Masters brand. IEM was then featured at a variety of Intel-sponsored events hosted by ESL, including IEM Cologne, IEM Katowice, and IEM Beijing-Haidian. Intel’s decision to sponsor ESL over the past two decades has resulted in them having a sizeable role in almost every esports title that ESL organizes.

Image Credit: Sports Business

5. Esports Is a Promising Platform to Build High-Quality Engagement

The fans of esports are devoted and eager to pay for their enthusiasm. They would like to spend their time and money watching, playing, and following esports updates anytime and anywhere. You can name it from subscribing to streaming individuals to buying tournament tickets and merchandise, not to mention buying games characters and vouchers.

Pokimane, an internet star well known for his Twitch Channel stream, previously stated that streamers receive approximately $10,000 per 3,000 subscribers, implying that she earns roughly $25,000 a month from subscribers alone. Additionally, she has over 6.43 million users on YouTube, and her videos have accumulated over 349 million views. In addition, we have written an overview of Where Does Game Streamers’ Revenue Come From, which can be seen here.

Meanwhile, the official Counter-Strike Global Offensive blog revealed that the selling of stickers during ESL One Cologne 2015 raised more than US$4.2 million for the participating players and teams. It shows how esports organizations will receive passive income from time to time once they reached a particular milestone, in this case, Valve Major.

FaZe Clan, 100Thieves, and TSM are only a few of the esports organizations that specialize in high-quality content creation. In less than three years after its inception, 100Thieves has grown to become one of the world’s most valuable esports organizations, with a US$190 million valuation, up 27% year over year. They defeated G2 Esports, T1 Esports, and others through their efforts to create content, establish a strong identity, and win numerous trophies. The rise demonstrates the infinite opportunities for brands to invest in esports in the coming year.

Kolaborasi PUBG Mobile Dan Godzilla Vs. Kong Akan Hadir Di Patch 1.4

PUBG Mobile, game besutan Tencent ini akan mendapatkan update baru. Pada update patch 1.4 ini, PUBG Mobile akan mendapatkan konten-konten baru seperti Royale Pass Season 19, mobil Coupe RB, mode Titan Strikes, dan banyak lagi.

Pembaruan ini akan dirilis pada tanggal 11 Mei 2021. Untuk Android, update ini akan memakan penyimpanan Anda sekitar 660 MB dan sekitar 1.67 GB untuk iOS. Dan jika Anda mengupdate game ini sebelum tanggal 16 Mei, Anda akan mendapatkan 2,888 BP, 100 AG, dan outfit Banana Bonanza (untuk tiga hari).

Pada update ini, PUBG Mobile mengadakan kolaborasi dengan film “Godzilla Vs. Kong”. Kolaborasi ini akan rilis dalam mode baru bernama Titan Strikes. Mode ini akan berakhir pada tanggal 8 Juni. Dalam mode ini, monster-monster ikonik dari film seperti Godzilla, Kong, dan Mechagodzilla akan datang ke dunia PUBG Mobile. Monster-monster ini akan rilis pada map yang berbeda:

      • Godzilla akan datang ke map Erangel pada 11 Mei
      • Kong akan datang ke Sanhok pada 15 Mei
      • Mechagodzilla akan datang ke Livik pada 20 Mei

Selain mode Titan Strikes, Tencent menambahkan dua mode baru pada patch 1.4 ini. Titan Last Stand, mode ini akan dirilis pada 25 Mei dan berakhir pada 8 Juni. Anda bisa memainkan mode ini dengan cara menekan helikopter yang berada di lobby. 

Image Source: Tencent

Dan pada 9 Juni 2021, mode Microcosm akan hadir pada PUBG Mobile. Di mode ini, Anda bisa berubah menjadi Insectoid mungil yang bisa terbang dan menjelajahi wormhole. Mode ini akan berakhir pada tanggal 5 Juli.

Selain mode-mode baru, Tencent juga menambahkan map arena baru bernama The Hangar. Map arena ini hanya untuk mode Team Deathmatch, Arena Training, dan Team Gun Game. Bertempat di kapal berukuran besar yang sedang berlayar, The Hangar akan dirilis pada 1 Juni.

Image Source: Tencent

Mobil baru bernama Coupe RB juga hadir dalam patch baru ini. Coupe RB merupakan mobil sport yang memiliki dua tempat duduk. Saat dirilis, mobil ini bisa mencapai 150 km/jam dan akan menjadi salah satu mobil terkencang di mode Battle Royale. Coupe RB ini dapat ditemukan di map Erangel, Miramar, Sanhok, dan Livik.

Serta mode tembak baru “Over The Shoulder” dan beberapa optimisasi dan penyesuaian juga dirilis pada patch ini. Jika Anda ingin mengetahui lebih lengkap tentang update patch 1.4 ini, Anda dapat membacanya di sini. Dan jika Anda melewati update lalu, Anda dapat membaca artikel kami yang dirilis beberapa waktu lalu.

Metrics in Esports that can be Used to Measure its Success

In recent years, esports has become increasingly popular, both as a competition and as entertainment content. Along with the skyrocketing popularity of esports, more and more companies are also interested in becoming sponsors or investors for esports players. These companies are just not only from the companies which engaged in games or esports. More and more large non-endemic companies are starting to be interested in entering the world of esports. For example, BMW, which immediately cooperates with 5 esports organizations at once, or Lamborghini, which holds its own esports racing tournament.

It is no wonder that more and more companies are interested in entering the esports industry, considering that Newzoo estimates the value of the esports industry will reach US$ 1 billion in 2020. Indeed, currently, sponsorship is still the main source of income for esports organizations and most esports players have not made a profit yet. However, investors still believe that the esports industry will become a big industry in the future. One of the reasons is because the number of viewers continues to increase.

In Indonesia, whether a television program is popular or not is determined by the rating issued by Nielsen. According to CNN Indonesia, to measure the ratings, Nielsen installed a special tool called a people meter in 2,273 households as samples. Thousands of samples were spread across 11 major cities. However, the method for determining the popularity of esports content is not the same as television ratings. The reason is that most of the esports content is broadcast on streaming platforms, such as YouTube, Facebook Gaming, and Twitch; instead of television.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Via: Polygon

On streaming platforms, there is no “rating” that determines the popularity of a video, only the number of views. However, the number of views is not the only metric that can be used to determine the level of popularity of an esports tournament or game. There are several other units used to measure the popularity of esports events.

What are the metrics used to determine the popularity of esports?

 

AMA (Average Minute Audience)

AMA, also known as Average Concurrent Viewers (AVC) is the metric most often used to determine the popularity of esports content. There are two ways to calculate AMA. First, dividing the total hours of video watched by the video duration. Second, calculate the average number of viewers per minute of the video. One of the reasons why AMA is the most popular metric is because it is comparable to the average number of viewers, which is commonly used on television.

While still as a Managing Director at Nielsen Esports, Nicole Pike explained that using AMA to calculate viewership makes it easier for advertisers to understand the level of popularity of esports content. “We use AMA metrics so companies can compare our data with the average number of viewers of the various television shows they know about.”, Pike told Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports Newzoo, agreed with Pike’s words. “AMA makes it easier for you to find out which programs have a higher viewership.”, he said. AMA also helps advertisers to know the length of duration of content, He added. Unfortunately, AMA is not the perfect metric for determining the popularity of esports content.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Via: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO of Esports Charts said, “AMA cannot be used to compare esports tournaments from different games, such as Fortnite World Cup (FWC) and League of Legends World Championship (LWC)”. The reason is, these two tournaments have totally different format. He explained, if you compare FWC and LWC in terms of AMA, FWC will get a better value. Not because Fortnite is more popular as an esports game, but because LWC has Play-In and Group Stages rounds, which extend the duration of the tournament. “AMA metrics can only be used to compare tournaments at the same stage. For example, at the final stage or group stages”, said Odintsov.
According to the Games Impact Index created by The Esports Observer in Q1 2020, League of Legends is still the most influential esports game in the esports ecosystem, followed by Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, and Fortnite. There are several things to consider in determining the list, such as the number of monthly active players, the total number of tournament prizes, the number of hours watched, the number of tournaments, etc.

Odintsov said, if only using AMA as a measure of the popularity of esports games, League of Legends and CS: GO might not get the best scores because the two games have many tournaments. “Games with a centralized tournament system like Overwatch might actually look more popular than LoL and CS: GO simply because Overwatch doesn’t have many tournaments,” he said.

 

Unique Viewers

Apart from AMA, another metric commonly used in the world of esports is Unique Viewers. Usually, this metric is used to find out how many people watched esports content and how long they watched the video. Rietkerk said the Unique Viewers metric is usually used to determine the level of effectiveness of a marketing campaign.

Indeed, Unique Viewers will make it easier for sponsors to find out whether their marketing campaign is successful or not. Meanwhile, for game publishers, Unique Viewers helps them to know how many people are interested in their game. The problem is, it’s difficult to compare the Unique Viewers metrics with those commonly used on television.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
Via: LOL Nexus

“There are claims that the League of Legends World Championship is more popular than the Super Bowl, but when you look at the data, you find that Super Bowl popularity is calculated using the average attendance metric while LWC uses Unique Viewers,” said Pike. “In fact, the two are completely different metrics and shouldn’t be compared”.

 

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users refers to the highest number of viewers of a broadcast. Odintsov said, “PCU is influenced by many factors. The main factor is the time zone in which the tournament is held. This metric is suitable for comparing the popularity of tournaments held in the same region. The goal is to find out which tournament is more popular”.

 

Hours Watched (HW)

Finally, a metric commonly used in the world of esports is Hours Watched or the length of time a video was watched. “For sponsors, Hours Watched can help them to find out how long it took the audience to see their brand,” said Rietkerk. “This metric is also suitable if you want to compare the popularity of two games of different genres”.

However, the HW metric cannot be used alone. “The Hours Watched metric cannot be used without the support of data on the average number of viewers or length of content duration,” Odintsov said. He explained that 1 million Hours Watched could be achieved with 8 hours of broadcast and 125 thousand AMAs or 100 hours of broadcasts with 10 thousand AMAs. In this case, the two programs both received 1 million total hours watched. However, the two of them had vastly different views on average.

 

Why Are There So Many Metrics Used in Esports?

According to Pike, the reason why there are so many metrics used in the competitive gaming industry is that esports started from the grassroots community. Initially, data related to esports also came from stakeholders in the esports ecosystem, such as game publishers or tournament organizers. “In the TV industry, third parties will present data consistently to provide clarity for parties who want to make advertisements or become sponsors,” he said. “Without a third party to provide data, the publisher or tournament organizer is free to submit their own reports”.

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Via: Variety

Pike further explained, “The data provided by the publisher and tournament organizer is not wrong. However, you can attract the attention of large numbers of people and sponsors by providing bombastic data. Because the metrics used are stakeholder dependent, the use of metrics is inconsistent”. For example, if the Overwatch League has a high average viewership then, of course, that’s what Activision Blizzard will stand out. Meanwhile, if the League of Legends tournament can get high Hours Watched, then Riot will use this metric.

The good news is, that along with the development of the esports ecosystem, more and more gaming and esports companies are interested in collaborating with third-party analytics companies. Some game companies have already done this include Riot Games and Activision Blizzard. One of their goals is to ensure the validity of the data they provide.

Not only publishers, esports players such as ESL and Astralis have also started working with analytics companies. Through its collaboration with Newzoo, Astralis will exchange data with the analytics company. The hope is that Newzoo will be able to make more accurately estimate of esports world using data from Astralis. Meanwhile, Newzoo will provide insight into Astralis to help that esports organization to make decisions in the future.

 

Esports Needs Standard Units to Measure Content Popularity

In the esports industry, there are various games with different genres. Usually, each esports game also has a different tournament format and target audience. For example, most of League of Legends regional leagues are using a franchise model, while Dota 2 tournaments have an open nature. Therefore, it is difficult for sponsors to calculate ROI (Return of Investment) when they support an esports tournament. Using the same metric to measure the esports content popularity can help to solve that problem.

“The biggest advantage of using the same metrics is that we can understand each other”, said Rietkerk. “If all the actors use different metrics to discuss the same thing, this act will make the sponsors confuse”. Indeed, as more and more large companies invest their marketing funds in esports, esports players are increasingly aware that they must be able to provide valid data and ensure that sponsors’ investments are not in vain.

“In the world of esports, tournament viewership data will have a direct impact on the number of partners a team or tournament organizer can get”, said Odintsov. He said that social media data was no longer in great demand. Instead, advertisers are attracted by live events, such as the livestreams made by streamers or live broadcasts tournaments.

 

Conclusion

The esports industry grew from a grassroots community. Along with the increasing interest in watching esports matches, more and more companies are interested in becoming sponsors. Therefore, esports players are also required to be able to provide valid data so that sponsors can ensure that their investments are not in vain.

Currently, there are several metrics used to measure the popularity of esports events, such as the average number of views or the total length of time a video was watched. Unfortunately, using different metrics can confuse sponsors and advertisers alike. For that reason, esports industry actors should determine the metrics they will use as a standard.

Header source: Deposit Photos

Apa sajakah Metrik di Esports yang Bisa Digunakan untuk Mengukur Kesuksesannya?

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi kian populer, baik sebagai kompetisi maupun sebagai konten hiburan. Seiring dengan meroketnya popularitas esports, semakin banyak juga perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor atau investor bagi pelaku esports. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak melulu perusahaan yang bergerak di bidang game atau esports. Semakin banyak perusahaan besar non-endemik yang mulai tertarik untuk masuk ke dunia esports. Sebut saja BMW yang langsung menggandeng 5 organisasi esports sekaligus, atau Lamborghini yang mengadakan turnamen balapan esports sendiri.

Tidak heran jika semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri esports, mengingat Newzoo memperkirakan nilai industri esports akan menembus US$1 miliar pada tahun 2020. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi pemasukan utama dari organisasi esports dan kebanyakan pelaku esports belum mendapatkan untung. Namun, para investor tetap percaya, industri esports akan menjadi industri besar di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton yang terus naik.

Di Indonesia, populer atau tidaknya sebuah program televisi ditentukan oleh rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Menurut laporan CNN Indonesia, untuk mengukur rating, Nielsen memasang alat khusus bernama people meter di 2.273 rumah tangga sebagai sampel. Ribuan sampel itu tersebar di 11 kota besar. Namun, metode untuk menentukan popularitas konten esports tidak sama dengan rating televisi. Pasalnya, sebagian besar konten esports ditayangkan di platform streaming, seperti YouTube, Facebook Gaming, serta Twitch; bukannya televisi.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon

Di platform streaming, tidak ada “rating” yang menentukan popularitas sebuah video, yang ada adalah jumlah view. Namun, jumlah view bukanlah satu-satunya metrik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat popularitas sebuah turnamen atau game esports. Ada beberapa satuan lain yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports.

Apa saja metrik yang digunakan untuk mengetahui popularitas esports?

AMA (Average Minute Audience)

AMA, yang juga dikenal dengan sebutan Average Concurrent Viewers (AVC) adalah metrik yang paling sering digunakan untuk menentukan tingkat popularitas konten esports. Ada dua cara untuk menghitung AMA. Pertama, membagi total jam video ditonton dengan durasi video. Kedua, menghitung rata-rata jumlah penonton pada setiap menit dari video. Salah satu alasan mengapa AMA menjadi metrik terpopuler adalah karena ia bisa dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton, yang biasa digunakan pada televisi.

Ketika masih menjabat sebagai Managing Director di Nielsen Esports, Nicole Pike menjelaskan bahwa menggunakan AMA untuk menghitung viewership memudahkan pengiklan mengerti tingkat popularitas konten esports. “Kami menggunakan metrik AMA agar para perusahaan dapat membandingkan data kami dengan jumlah penonton rata-rata dari berbagai acara televisi yang mereka tahu,” ujar Pike pada Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo setuju dengan perkataan Pike. “AMA memudahkan Anda untuk mengetahui program mana yang memiliki viewership lebih tinggi,” katanya. Dia menambahkan, AMA juga membantu pengiklan untuk tahu lama durasi sebuah konten. Sayangnya, AMA bukanlah metrik sempurna untuk mengetahui popularitas konten esports.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO Esports Charts berkata, “AMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan turnamen esports dari game yang berbeda-beda, seperti Fortnite World Cup (FWC) dan League of Legends World Championship (LWC).” Alasannya, dua turnamen tersebut memiliki format yang sama seklai berbeda. Dia menjelaskan, jika membandingkan FWC dan LWC dari segi AMA, FWC akan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Bukan karena Fortnite lebih populer sebagai game esports, tapi karena LWC memiliki babak Play-In dan Group Stages, yang memperpanjang durasi turnamen tersebut. “Metrik AMA hanya bisa digunakan untuk membandingkan turnamen pada tahap yang sama. Misalnya, pada babak akhir atau group stages,” ujar Odintsov.

Menurut Games Impact Index yang dibuat oleh The Esports Observer pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game esports paling berpengaruh pada ekosistem esports, diikuti oleh Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, dan Fortnite. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan daftar tersebut, seperti jumlah pemain aktif bulanan, jumlah total hadiah turnamen, jumlah jam ditonton, jumlah turnamen, dan lain sebagainya.

Odintsov mengatakan, jika hanya menggunakan AMA sebagai tolak ukur popularitas game esports, League of Legends dan CS:GO mungkin justru tidak akan mendapatkan nilai paling baik karena dua game tersebut memiliki banyak turnamen. “Game dengan sistem turnamen terpusat seperti Overwatch mungkin justru terlihat lebih populer daripada LoL dan CS:GO hanya karena Overwatch tidak memiliki banyak turnamen,” ungkapnya.

Unique Viewers

Selain AMA, metrik lain yang biasa digunakan di dunia esports adalah Unique Viewers. Biasanya, metrik ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang menonton sebuah konten esports dan berapa lama dia menonton video tersebut. Rietkerk mengatakan, metrik Unique Viewers biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari sebuah kampanye marketing.

Memang, Unique Viewers akan memudahkan sponsor untuk mengetahui apakah kampanye marketing mereka jalankan sukses atau tidak. Sementara bagi publisher game, Unique Viewers membantu mereka untuk tahu berapa banyak orang yang tertarik dengan game mereka. Masalahnya, sulit untuk membandingkan metrik Unique Viewers dengan metrik yang biasa digunakan di televisi.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus

“Muncul klaim bahwa League of Legends World Championship lebih populer dari Super Bowl, tapi ketika Anda meneliti datanya, Anda menemukan bahwa popularitas Super Bowl dihitung menggunakan metrik jumlah rata-rata penonton sementara LWC menggunakan Unique Viewers,” kata Pike. “Padahal, keduanya adalah metrik yang sama sekali berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan.”

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users mengacu pada jumlah penonton tertinggi dari sebuah siaran. Odintsov berkata, “PCU dipengaruhi banyak faktor. Faktor utamanya adalah zona waktu dari tempat turnamen diselenggarakan. Metrik ini cocok untuk membandingkan popularitas turnamen-turnamen yang diadakan di region yang sama. Tujuannya, untuk mengetahui turnamen mana yang lebih populer.”

Hours Watched (HW)

Terakhir, metrik yang biasa digunakan dalam dunia esports adalah Hours Watched atau lama durasi video ditonton. “Bagi sponsor, Hours Watched dapat membantu mereka mengetahui berapa lama para penonton melihat merek mereka,” ujar Rietkerk. “Metrik ini juga cocok untuk digunakan jika Anda ingin membandingkan popularitas dua game dengan genre yang berbeda.”

Hanya saja, metrik HW tidak bisa digunakan sendiri. “Metrik Hours Watched tidak bisa digunakan tanpa dukungan data jumlah rata-rata penonton atau lama durasi konten,” kata Odintsov. Dia menjelaskan, 1 juta Hours Watched bisa dicapai dengan 8 jam siaran dan AMA 125 ribu orang atau 100 jam siaran dengan AMA 10 ribu orang. Dalam kasus ini, kedua acara memang sama-sama mendapatkan 1 juta total jam ditonton. Namun, keduanya memiliki jumlah rata-rata penonton yang jauh berbeda.

Kenapa Ada Begitu Banyak Metrik yang Digunakan Dalam Esports?

Menurut Pike. alasan mengapa ada banyak metrik yang digunakan dalam industri competitive gaming adalah karena esports dimulai dari komunitas akar rumput. Pada awalnya, data terkait esports juga datang dari para pemegang kepentingan di ekosistem esports, sepreti publisher game atau penyelenggara turnamen. “Dalam industri TV, pihak ketiga akan menyajikan data secara konsisten untuk memberikan kejelasan bagi pihak yang ingin membuat iklan atau menjadi sponsor,” ujarnya. “Tanpa adanya pihak ketiga untuk memberikan data, pihak publisher atau penyelenggara turnamen bebas untuk memberikan laporan sendiri-sendiri.”

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety

Lebih lanjut Pike menjelaskan, “Data yang diberikan oleh publisher dan penyelenggara turnamen tidak salah. Namun, Anda bisa menarik perhatian banyak orang dan sponsor dengan memberikan data yang bombastis. Karena metrik yang digunakan tergantung pemangku kepentingan, maka penggunaan metrik menjadi tidak konsisten.” Misalnya, jika Overwatch League memiliki jumlah rata-rata penonton yang tinggi, maka tentunya, hal itu yang akan Activision Blizzard tonjolkan. Sementara jika turnamen League of Legends bsia mendapatkan Hours Watched yang tinggi, maka Riot akan menggunakan metrik tersebut.

Kabar baiknya, seiring dengan semakin berkembangnya ekosistem esports, semakin banyak perusahaan game dan esports yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik pihak ketiga. Beberapa perusahaan game yang telah melakukan itu antara lain Riot Games dan Activision Blizzard. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menjamin validitas data yang mereka berikan.

Tak hanya publisher, pelaku esports seperti ESL dan Astralis pun mulai bekerja sama dengan perusahaan analitik. Melalui kerja samanya dengan Newzoo, Astralis akan saling bertukar data dengan perusahaan analitik tersebut. Harapannya, Newzoo akan dapat membuat perkiraan akan dunia esports dengan lebih akurat menggunakan data dari Astarlis. Sementara Newzoo akan memberikan insight pada Astralis untuk membantu organisasi esports itu mengambil keputusan di masa depan.

Esports Perlu Satuan Standar untuk Mengukur Popularitas Konten

Dalam industri esports, ada berbagai game dengan genre yang berbeda-beda. Biasanya, masing-masing game esports juga memiliki format turnamen dan target penonton yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan liga regional League of Legends menggunakan model franchise, sementara turnamen Dota 2 justru bersifat terbuka. Karena itu, sulit bagi sponsor untuk menghitung ROI (Return of Investment) ketika mereka mendukung sebuah turnamen esports. Menggunakan metrik yang sama untuk mengukur popularitas konten esports bisa membantu memecahkan masalah itu.

“Keuntungan terbesar dari penggunaan metrik yang sama adalah kita dapat mengerti satu sama lain,” kata Rietkerk. “Jika semua pelaku menggunakan metrik yang berbeda untuk mendsikusikan hal yang sama, hal ini justru akan membuat para sponsor bingung.” Memang, seiring dengan semakin banyak perusahaan besar yang menginvestasikan dana marketing mereka di esports, maka para pelaku esports semakin sadar bahwa mereka harus dapat menyediakan data yang valid dan menjamin bahwa investasi para sponsor tidak sia-sia.

“Di dunia esports, data viewership turnamen akan memberikan dampak langsung pada jumlah rekan yang bisa didapatkan oleh sebuah tim atau penyelenggara turnamen,” ujar Odintsov. Dia mengatakan, data media sosial kini tak lagi terlalu diminati. Sebagai gantinya, pengiklan tertarik dengan acara live, seperti livestreaming yang dibuat oleh para streamer atau turnamen yang disiarkan langsung.

Kesimpulan

Industri esports tumbuh dari komunitas akar rumput. Seiring dengan meningkatnya minat untuk menonton pertandingan esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Karena itu, para pelaku esports juga dituntut untuk dapat memberikan data yang valid sehingga pihak sponsor bisa memastikan bahwa investasi mereka tidak sia-sia.

Sekarang, telah ada beberapa metrik yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports, seperti jumlah rata-rata penonton atau total durasi video ditonton. Sayangnya, penggunaan metrik yang berbeda-beda justru akan membuat sponsor dan pengiklan bingung. Karena itu, sebaiknya pelaku industri esports menentukan metrik yang akan mereka gunakan sebagai standar.

Sumber header: PCMag

Apakah Keunikan Pasar Esports Indonesia?

Pertanyaan tentang keunikan pasar esports Indonesia sebenarnya sering saya tanyakan ke banyak pelaku bisnis esports di Indonesia, namun sayangnya saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan dan definitif.

Jujur saja, saya juga belum punya jawaban definitifnya juga. Tulisan ini juga akhirnya nanti akan berakhir dengan pertanyaan yang sama. Tujuan saya menuliskan artikel ini memang hanya sekadar membawanya ke tingkat kesadaran atau malah memancing diskusi buat para pelaku industri yang ingin terjun ataupun bertahan di ekosistem esports Indonesia.

Kenapa penting merumuskan keunikan pasar esports Indonesia? Buat yang sudah malang melintang di sebuah industri, tentunya Anda tahu bahwa pemetaan pasar itu memang pengetahuan dasar yang wajib dipahami.

Buat yang belum tahu, pemetaan pasar berguna untuk merumuskan strategi, perencanaan, dan bentuk implementasi bisnis. Contoh sederhananya, tak hanya di Indonesia saja sebenarnya, industri esports menerima banyak pendapatan dari sponsor atau brand yang beriklan ke pasar esports. Tujuan beriklan tadi tentu ada beberapa jenis, seperti brand awareness ataupun user acquisition. Lalu bagaimana caranya beriklan yang efektif jika kita tidak memahami betul pasar yang ingin kita tuju?

Itu tadi hanya satu contoh saja. Ada terlalu banyak fungsi dari pemetaan pasar yang akan berguna buat para pelaku industri terkait jika dijabarkan semuanya di sini.

Seperti yang tadi saya tuliskan di awal, saya sering menanyakan tentang keunikan pasar esports Indonesia kepada kawan-kawan saya para pelaku di industri esports, termasuk para petinggi di perusahaannya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa jawaban dari mereka yang menurut saya belum terlihat secara gamblang atau bahkan bisa saya sanggah mentah-mentah.

Pasar esports Indonesia jumlahnya besar?

Credits: PIXARua via DeviantArt
Credits: PIXARua via DeviantArt

Mungkin inilah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh orang-orang dari pertanyaan tadi. Menurut saya, berhubung kebetulan saya sudah di industri terkait sejak 2008, yang jumlahnya sangat besar adalah pasar industri game.

Satu hal mendasar yang penting untuk dipahami adalah ada perbedaan antara pasar esports dan pasar industri game. Salah satu tokoh politik bahkan menyebutkan angka pasar gaming saat ditanya jumlah pemain esports ketika diwawancarai salah satu televisi swasta.

Pasar esports itu jauh lebih kecil ketimbang pasar gaming. Jika tidak percaya, mari kita hitung-hitungan produknya. Jumlah game di Google Play itu ada 349 juta — menurut Statista. Sedangkan game yang ada ekosistem esports-nya di Indonesia hanya segelintir, seperti PUBG Mobile, Mobile Legends, Free Fire ataupun yang lain yang jumlahnya bahkan tidak sampai 10 — sepengetahuan saya.

Di pasar global dan platform gaming lainnya sebenarnya juga berlaku hal yang sama. Di Steam, misalnya, ada 30 ribu game. Berapa banyak game di sana yang ada esports-nya? Dota 2, CS:GO, R6:S, rFactor 2, dan game-game lainnya yang punya ekosistem esports bahkan tidak mencapai 20 judul.

Itu tadi jika kita membedakannya antara game esports dan non-esports. Untuk setiap game esports sendiri juga harus dipahami bahwa pasar gamer dan fans esports-nya tidak harus sama, meski bisa beririsan.

Misalnya, ada gamer aktif League of Legends yang juga menonton setiap pertandingan liganya (bisa jadi LCK, LPL, LCS, dkk.). Namun ada juga “mantan” pemain (yang pernah tapi sudah tidak bermain lagi) game-nya yang masih menonton pertandingan esport-nya. Sebaliknya, ada juga yang pemain aktif tapi tidak suka menonton pertandingannya.

Hal ini juga terbukti dari statistik yang berbeda antara angka active users dan viewer pertandingan esports-nya. Misalnya, MAU (Monthly Active Users) Mobile Legends di Indonesia saja mencapai 31 juta orang di Oktober 2019. Namun demikian, concurrent viewers untuk kejuaraan dunia MLBB (M1 World Championship) di November 2019 hanya mencapai angka 600ribu orang — menurut Esports Charts.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Hal yang sama juga terlihat dari statistik League of Legends (LoL). Laporan terakhir di bulan September 2019, LoL punya 8 juta concurrent playersSedangkan penonton World Championship 2019 (bulan November 2019) mencapai angka 44 juta concurrent viewers. Meski angkanya terbalik jika dibanding dengan MLBB dan menunjukkan pasar esports LoL itu lebih besar ketimbang gamer-nya, hal ini tetap membuktikan bahwa ada perbedaan besar antara pasar gamer dan pasar esports.

Plus, data ini juga tak bisa digunakan untuk jadi justifikasi pasar esports di Indonesia yang besar — karena ekosistem  LoL di Indonesia mungkin sudah bisa dibilang mati suri (atau malah mati beneran… wkakwakawk). Pasar esports di Indonesia sendiri juga berbeda dengan tren yang terjadi di pasar internasional, yang akan saya bahas di bagian selanjutnya nanti.

Lucas Mao, Directors of Operations dari Moonton dan MPL Indonesia League Commissioner, juga sempat mengatakan bahwa pasar esports di Indonesia itu memang belum sebesar pasar gaming.

Jangan lupa, game-game casual itu juga tidak sedikit jumlahnya apalagi pemainnya. Istri dan anak saya juga bermain game casual setiap harinya, Candy Crush, Minecraft, dkk. dan masuk dalam kategori pasar gaming. Namun mereka tidak peduli dengan esports.

Menurut saya pribadi, pasar gamer itulah yang jumlahnya sangat besar — baik di dunia ataupun spesifik di Indonesia. Bahkan, kemungkinan besar setidaknya 20 tahun lagi, semua orang bisa masuk dalam kategori pasar gaming. Pasalnya, saat ini, sebagian besar orang yang lahir di 1980an ke atas sudah pernah bermain game — apapun platform-nya, PC, console, mobile, ataupun handheld. Hal ini sudah terjadi di industri musik dan film. Karena tidak mungkin rasanya ada orang yang masih hidup hari ini yang belum pernah menonton film ataupun mendengarkan musik sekalipun. Game akan jadi bentuk hiburan untuk semua orang dalam waktu dekat, sama seperti musik dan film tadi.

Minecraft via Nintendo
Minecraft via Nintendo

Apakah semua gamer tadi akan jadi fans esports di masa depan? Saya rasa tidak. Selain pasar game casual yang kecil persentasenya berpaling ke esports, pasar enthusiast gamer pun ada juga yang tidak suka menonton esports — seperti para pemain game-game singleplayer.

Jadi, kembali ke pertanyaan pertama, apakah jumlah pasar esports di Indonesia itu besar? Buat saya, pasar esports bahkan belum sebesar pasar gaming. Apalagi jika dibandingkan dengan industri hiburan yang lebih tua, seperti musik dan film, pasar esports masih jauh lebih kecil.

Pasar esports Indonesia adalah kalangan menengah ke atas?

Mungkin hal ini jadi argumen orang-orang yang cukup banyak membaca soal industri esports di pasar global. Jika kita berbicara soal pasar global, saya setuju dengan pernyataan tadi bahwa pasar esports adalah pasar kalangan menengah ke atas yang punya disposable income.

Sumber: PC Gamer
Sumber: PC Gamer

Kenapa? Karena di pasar global, platform esports yang dominan adalah PC, setelah itu console, baru mobile. Meski memang tidak semua gamer itu jadi fans esports, sebagian besar fans esports adalah pemain game tersebut. Pasalnya, kita mungkin tidak akan bisa memahami apalagi menikmati sebuah pertandingan esports jika kita tidak pernah sekalipun memainkan game-nya — terutama MOBA.

Karena itu, fans-fans esports di pasar global yang lebih condong ke PC dan console berarti pernah memainkan game-game tersebut atau bahkan punya mesin gaming-nya. Mesin gaming tadi, kemungkinan besar, tidak akan dimiliki oleh kalangan ekonomi bawah karena memang bukan kebutuhan primer. Nah, esports di platform PC dan console tadi bisa dikatakan sebagai minoritas di ekosistem esports Indonesia sekarang. Organisasi esports dari Indonesia yang masih fokus dengan game-game PC yang populer di skena internasional bahkan hanya satu, yaitu BOOM Esports.

Mobile esports lah yang saat ini populer di industri esports Indonesia, yang juga terbukti dari Market Research tentang esports yang dilakukan oleh DailySocial di tahun 2019. Kebalikan dari PC dan console, di zaman sekarang ini, ponsel pintar yang jadi platform mobile esports sudah bisa dibilang kebutuhan primer. Ditambah lagi, game esports yang laris di Indonesia tidak membutuhkan ponsel high-end.

Inilah yang perlu dipahami juga bahwa ada perbedaan besar antara pasar esports global dan Indonesia. Karena alasan itu tadi, saya tidak setuju bahwa pasar esport Indonesia (mayoritas) adalah kelas menengah atas.

Pasar esports adalah generasi muda yang melek teknologi?

Memang, faktanya, tidak semua pasar cocok dengan generasi muda yang melek teknologi (alias tech savvy), seperti pasar Harley Davidson di Amerika Serikat sana. Memang, nyatanya juga, fans esports mayoritas datang dari generasi milenial atau yang lebih muda.

Namun begitu, saya pribadi merasa jawaban ini tidak definitif ataupun unik hanya untuk pasar esports.

Pertama, pemahaman melek teknologi itu sangat subyektif — yang sangat bergantung pada pengetahuan masing-masing orang. Apakah orang yang bisa menginstal aplikasi dan game dari Google Play itu bisa disebut tech savvy? Buat kakek atau nenek kelahiran 1950an atau yang lebih tua, mungkin iya.

Buat saya pribadi, orang yang tech savy di ranah Android adalah mereka-mereka yang setidaknya tahu dan pernah flashing ROM. Sedangkan di ranah PC, menurut saya, orang-orang tech savy minimal tahu dan mampu soal overclocking ataupun membaca kode-kode sederhana seperti di HTML, XML, JSON, dkk. Buat yang pengetahuannya lebih dalam lagi, mungkin definisi saya tadi juga tidak berlaku karena mereka punya standar yang lebih tinggi lagi.

Pemahaman tentang kemampuan dan wawasan seseorang, menurut saya, tidak bisa dijadikan patokan dalam mendefinisikan pasar bisnis yang digunakan secara luas karena jadinya akan kabur (skewed). Tak hanya soal teknologi mobile ataupun PC saja sebenarnya yang mungkin memang ranah baru, di ranah bermusik yang instrumennya bahkan sudah ditemukan sejak 43000 tahun yang lalu saja juga masih sangat relatif. Apakah mereka yang tidak bisa membaca not balok dianggap bisa bermusik? Jawabannya akan sangat tergantung pada siapa Anda menanyakan pertanyaan tersebut.

Kedua, masih banyak industri lain yang pasarnya memang generasi milenial atau yang lebih muda. Faktanya, industri hiburan yang dekat dengan kaum muda itu tidak hanya esports. Ada banyak industri lain, dari yang legal sampai ilegal, yang mampu menarik perhatian generasi muda. Saya akan membahas soal persaingan antar industri di bagian terakhir artikel ini nanti.

Di bagian ini, saya lebih ingin menambahkan soal ruang lain selain esports yang bisa digunakan untuk beriklan menyasar generasi muda yang katanya melek teknologi tadi. Ada dua nama yang jadi momok bagi banyak perusahaan media di zaman digital sekarang ini, Facebook dan Google. Saya juga pernah menuliskan panjang lebar soal perjuangan media game dan esports sekarang ini beberapa waktu yang lalu.

Tentunya membandingkan industri esports dan platform digital advertising jadi relevan karena sebagian besar pendapatan esports juga datang dari ruang beriklan untuk sponsor. Mereka-mereka yang memahami dan menyadari hal ini jadi bisa menyesuaikan diri dan menyuguhkan nilai yang berbeda dibanding Facebook dan Google, seperti media-media di zaman digital sekarang ini.

Memahami hal ini juga sebenarnya berguna untuk mulai mencoba mencari sumber pendapatan alternatif selain sponsor, seperti mendapatkan pemasukan dari fans (lewat penjualan merchandise atau yang lainnya) ataupun menghasilkan revenue dari cara lainnya (media rights dkk.), jika tidak ingin selalu berhadapan dengan dua raksasa digital advertising tadi.

Pasar esports Indonesia adalah para loyalis layaknya fans olahraga?

Inilah jawaban terakhir yang juga beberapa kali saya dengar. Beberapa orang yang saya tanyakan menyebutkan bahwa pasar esports adalah para loyalis yang fanatik sehingga cocok untuk jadi ruang beriklan.

Sumber: Jordan.com
Sumber: Jordan.com

Misalnya, sepatu Air Jordan jadi laku gara-gara banyak fans berat dari Michael Jordan. Di sepak bola juga bisa terlihat fanatisme antar pendukung klub bolanya. Masih banyak fans fanatik Arsenal meski klub ini terakhir kali juara liga Inggris di musim 2003-2004, jika saya tidak salah ingat. Tidak sedikit juga fans-fans bola fanatik yang masih memuja-muja tim jagoannya meski hanya pernah nyaris juara — saya sampai tidak berani sebut nama timnya karena takut dihujat wkwkwkwkw

Apakah hal ini juga terjadi di pasar esports Indonesia? Hmmm… Di satu sisi, saya memang sudah menemukan banyak adu mulut antara fans EVOS dan RRQ di media sosial yang membela timnya masing-masing. EVOS Esports juga sudah berhasil mendapatkan pemasukan yang lumayan dari fans-fans-nya yang membeli merchandise mereka. Mereka bisa mendapatkan Rp150 juta dari penjualan merchandise selama gelaran Grand Final MPL ID S4 dan M1 World Championship.

Namun, di satu sisi lain, saya belum menemukan fenomena seperti Air Jordan tadi. Mungkin memang fenomena Air Jordan terlalu hiperbolis untuk dijadikan patokan karena memang Michael Jordan yang terlalu istimewa untuk dibanding-bandingkan. Namun maksud saya, apakah fans esports berpaling ke produk yang jadi sponsor tim dukungan mereka sebagai bentuk nyata dari loyalitas tadi? Apakah fans RRQ jadi menggunakan Biznet? Atau fans EVOS Esports jadi menggunakan CBN Fiber? Saya jujur tidak yakin… Walaupun memang, menurut saya, alasannya lebih karena Biznet dan CBN Fiber adalah internet kabel rumahan kelas broadband — padahal EVOS dan RRQ sekarang lebih dikenal di kalangan gamer mobile.

Mungkin pengujian loyalitas fans esports ini akan lebih masuk akal dan relevan dengan pasarnya jika provider seluler yang jadi sponsor tim-tim yang besar di skena esports mobile ataupun provider internet broadband ke tim esports yang lebih fokus ke game PC.

Meski memang saya juga tidak bisa menolak argumen ini mentah-mentah, saya juga masih belum menemukan bukti konkret yang meyakinkan. Padahal faktanya, yang sering dilupakan banyak orang di industri esports Indonesia yang sudah semakin besar dan menjangkau industri non-endemic, persaingan berebut sponsor tidak hanya terjadi antara para pelaku di industri yang sama tapi juga industri yang berbeda.

Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter
Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter

Misalnya saja jika kita berbicara soal brand-brand non-endemic yang pernah jadi sponsor esports, baik itu event ataupun tim, seperti Indofood, Tokopedia, Gojek, Blibli, AXE, BCA, dkk. Brand-brand tersebut juga bisa saja dan mampu menjadi sponsor event yang lebih luas cakupan pasarnya. Apa yang bisa meyakinkan mereka untuk terus mendukung esports?

Indofood misalnya. Mereka juga mampu mengeluarkan biaya untuk jadi peserta pameran di Pekan Raya Jakarta yang di 2019 kemarin ditargetkan untuk mendatangkan 6,7 juta pengunjung dan nilai transaksi sebesar Rp7,5 triliun. BCA juga demikian. BCA juga bisa jadi sponsor Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019. Gelaran tersebut mampu mendatangkan 528 ribu orang dan memberikan nilai transaksi lebih dari Rp5 triliun.

Sebelum keliru dengan maksud saya, di sini saya bukannya tidak menyarankan industri non-endemic untuk menjadi sponsor lagi di esports. Saya lebih berharap dengan adanya pembuktian yang lebih konkret tentang seberapa besar pengaruh industri dan pasar esports ke industri yang lebih luas.

Penutup

Akhirnya, seperti yang saya katakan di awal artikel ini, saya juga tidak bisa memberikan jawaban definitif tentang keunikan dari pasar esports Indonesia. Namun setidaknya, mungkin artikel ini jadi berguna untuk membuka wawasan bahwa industri esports itu tidak hidup dalam dunianya sendiri.

Sebagai ruang beriklan untuk sponsor, industri esports dan industri-industri lainnya harus berhadapan dengan duopoli Google dan Facebook. Sebagai ruang untuk aktivitas bisnis (engagementsales, dkk.), industri ini juga harus berhadapan dengan industri lainnya. Pemahaman ini saya kira penting saja buat para pelaku industri esports ataupun mereka-mereka yang ingin jadi sponsor di esports.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Sekali lagi, jangan salah kaprah, saya bukannya jadi melarang para sponsor untuk mengucurkan uangnya lagi ke esports karena saya sendiri juga hidup dari industri esports. Namun, ada beberapa hal yang saya kira harus disadari dan dianalisa lebih jauh.

Pertama, misalnya, menyesuaikan iklan dengan target pasar. Jika target pasarnya adalah kelas menengah atas, ya jangan pakai konten/gaya picisan. Kedua, saya hanya berharap industri esports Indonesia sudah mulai bisa mencari ruang-ruang alternatif dalam mencari revenue selain menjadi ruang iklan. Meski memang cara-cara alternatif ini belum bisa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan revenue yang datang dari sponsor.

Ketiga, yang tak kalah penting disadari, inilah alasan kenapa saya juga membandingkan industri esports dengan platform digital advertising ataupun industri lainnya. Faktanya, uang yang digunakan untuk kebutuhan iklan itu terbatas. Misalnya, kenapa sebuah perusahaan harus menjadi sponsor event esports jika perusahaan tersebut bisa mengucurkan dana yang sama jumlahnya (atau bahkan lebih besar) untuk event lainnya yang lebih efektif dari sisi aktivitas bisnis?

Terakhir, menyediakan bukti konkret bahwa esports memang mampu menggerakkan massanya (soal bisnis) tentu akan membuat industri ini lebih meyakinkan untuk para sponsor ataupun investor di masa depan.

Sumber header: Smash.gg