Lemonilo Confirmed as a Centaur, Entering the List of Indonesia’s Startups with Valuation Exceeded $100 Million

The new economy startup, a healthy food products developer, Lemonilo, recently secured a series B funding. The new round has further strengthened the its valuation, listed the company as one of the centaurs. According to our source, Lemonilo’s estimated valuation has reached around $300 million or equivalent to 4.3 trillion Rupiah.

Regarding Lemonilo’s entry into the centaur list, it is also confirmed by one of the participated investors in the investment round.

Lemonilo’s current list of investors includes Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, and Seqouia Capital. Previously, East Ventures was also involved in the seed funding, but already exited.

The startup was founded in 2015 by Shinta Nurfauzia, Johannes Ardiant, and Ronald Wijaya. From producing healthy alternatives for instant noodles, the Lemonilo product category has now expanded, including food ingredients, beverages, even skin care product brands.

In this segment, Lemonilo competes with other players. There are several new economy startups entering this segment. In terms of healthy noodles, the wellness startup The Fit Company also produces Fitmee product variants.

Lemonilo’s Co-Founder & Co-CEO Shinta Nurfauzia in an interview with DailySocial.id revealed, it is expected that instant noodle are still the favorite, but they admit that they have quite a large demand for other products such as snacks.

The company is currently focused on developing product innovation, including to present new flavors. It is said that they have launched more than 40 types of products to this day. All of these products are sold on its own digital platform and are available at more than 100 thousand distribution points in various parts of Indonesia — including utilizing its reseller network.

From the very beginning, Lemonilo leveraged its self-developed technology platform – a website and an application – for product distribution and promotion.

“The area with most of Lemonilo’s customers is still Java. Lemonilo’s target by the end of this year is to add more product variants for customers,” Shinta added.

She also said that the fresh funds obtained in the last round will be channeled to expanding and strengthening its product distribution network in Indonesia, increasing the number of teams, developing and launching new products, as well as developing technology to better serve users.

Lemonilo intends to fill the market gap between high-priced imported healthy products and FMCG companies in the market. Every product developed by Lemonilo has three pillars: healthy, practical and affordable. Using this standard, every Lemonilo product is guaranteed to be free from 100+ potentially harmful ingredients (such as preservatives, flavor enhancers, and various synthetic ingredients) that are often found in other consumer goods products.

In the 2020 Startup Report, we recorded that by the end of 2020 there are 43 Indonesian startups had listed in the ranks of the centaurs. There are 6 of them have entered the ranks of late-stage centaurs with a valuation of over $500 million.

Startup Centaur Indonesia 2020
Indonesia’s centaur list 2020 / DSInnovate

Apart from Lemonilo, there are several startups has reached that certain valuation this year. Among those are BukuWarung, Ula, and BukuKas.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Lemonilo Masuk Jajaran Centaur, Tambah Panjang Daftar Startup Indonesia yang Capai Valuasi Lebih dari $100 Juta

Startup new economy pengembang produk makanan sehat Lemonilo belum lama ini membukukan pendanaan seri B. Perolehan di putaran baru tersebut makin mengokohkan valuasi perusahaan, hingga masuk ke jajaran centaur. Dari informasi yang kami dapat, estimasi valuasi Lemonilo telah mencapai sekitar $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah.

Soal masuknya Lemonilo ke centaur, kami juga mendapatkan konfirmasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam putaran investasi mereka.

Jajaran investor Lemonilo saat ini termasuk Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, dan Seqouia Capital. Sebelumnya East Ventures sempat terlibat juga di pendanaan awal mereka, hanya saja saat ini sudah exit.

Startup tersebut diinisiasi sejak tahun 2015 oleh tiga orang founder, yakni Shinta Nurfauzia, Johannes Ardiant, dan Ronald Wijaya. Berawal dari memproduksi alternatif mi instan sehat, kini kategori produk Lemonilo sudah meluas, meliputi produk bahan makanan, minuman, bahkan sampai brand produk perawatan kulit.

Di segmen ini, Lemonilo tidak bermain sendiri. Ada beberapa startup new economy yang juga masuk ke ranah tersebut. Untuk produk mi sehat sendiri, startup wellness The Fit Company juga memproduksi varian produk Fitmee.

Co-Founder & Co-CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id mengungkapkan, tidak dimungkiri saat ini produk mi instan masih menjadi terfavorit, namun mereka mengaku mendapati permintaan yang cukup besar untuk produk lain seperti camilan.

Inovasi produk saat ini juga tengah menjadi fokus perusahaan, termasuk untuk menghadirkan varian rasa baru. Disampaikan sampai saat ini mereka telah meluncurkan lebih dari 40 jenis produk. Semua produk ini dijual di platform digitalnya sendiri serta tersedia di lebih dari 100 ribu titik distribusi di berbagai wilayah Indonesia — termasuk memanfaatkan jaringan reseller yang dimiliki.

Sejak awal, Lemonilo memanfaatkan platform teknologi yang dikembangkan sendiri –berupa situs web dan aplikasi—untuk distribusi dan promosi produk.

“Area yang masih mendominasi sebagian besar pelanggan Lemonilo adalah pulau Jawa. Target Lemonilo hingga akhir tahun ini bisa menambah lebih banyak varian produk untuk pelanggan,” kata Shinta.

Ia juga mengatakan, dana segar yang didapat pada putaran terakhir akan difokuskan untuk ekspansi serta memperkuat jaringan distribusi produknya di Indonesia, menambah jumlah tim, mengembangkan dan meluncurkan produk baru, juga pengembangan teknologi untuk melayani penggunanya dengan lebih baik.

Lemonilo ingin mengisi market gap antara produk sehat impor berharga tinggi dengan perusahaan FMCG yang ada di pasar. Setiap produk yang dikembangkan oleh Lemonilo memiliki tiga pilar: sehat, praktis, dan terjangkau. Dengan standar ini, setiap produk Lemonilo dipastikan bebas dari 100+ bahan berpotensi bahaya (seperti pengawet, penguat rasa, dan aneka bahan sintetis) yang kerap ditemukan pada produk consumer goods lainnya.

Dalam Startup Report 2020 kami mendata, hingga akhir 2020 terdapat 43 startup Indonesia yang sudah masuk ke jajaran centaur. Bahkan 6 di antaranya sudah masuk ke jajaran centaur tahap akhir dengan valuasi di atas $500 juta.

Startup Centaur Indonesia 2020
Startup Centaur Indonesia 2020 / DSInnovate

Selain Lemonilo, tahun ini ada beberapa startup yang masuki ke valuasi tersebut. Di antaranya BukuWarung, Ula, dan BukuKas.

Application Information Will Show Up Here

Waresix Berhasil Kumpulkan Dana 1,5 Triliun Rupiah

Platform smart logistic Waresix hari ini (09/9) mengumumkan penutupan putaran pendanaan seri B. Diinfokan, total dana keseluruhan dari semua round yang berhasil dikumpulkan senilai US$100 juta atau setara dengan 1,5 triliun Rupiah. Beberapa investor yang terlibat memberikan investasi termasuk EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, dan Redbadge Pacific.

“Modal segar ini akan diinvestasikan dalam pengembangan infrastruktur teknologi logistik yang paling andal di Asia Tenggara dan untuk terus memperkuat tim kelas dunia Waresix, untuk membantu kami menangkap peluang pasar yang lebih besar,” ujar Co-Founder & CEO Waresix Andree Susanto.

Sebelumnya pada awal tahun lalu, perusahaan umumkan tambahan pendanaan seri A senilai $25,5 juta dari EV Growth dan Jungle Ventures. Untuk pendanaan seri A-nya sendiri sudah diumumkan sejak Juli 2019, bukukan dana $14,5 juta dipimpin EV Growth dengan partisipasi dari SMDV dan Jungle Ventures.

Waresix punya dua layanan utama, yakni manajemen truk logistik dan pergudangan; mengawali debutnya sebagai marketplace yang menghubungkan pemilik armada truk logistik dengan pebisnis. Waresix kini telah melayani lebih dari 250 perusahaan dari berbagai bidang usaha termasuk komoditas, FMCG, perlengkapan industri, infrastruktur, dan ritel. Ekosistem logistiknya kini terdiri dari 40 ribu truk dan 375 gudang yang tersebar di sekitar 100 kota di penjuru Indonesia.

Pada dasarnya, Waresix mengembangkan platform logistik tunggal yang bekerja seperti sebuah sistem operasi untuk para mitranya. Platform tersebut dibangun untuk memperbaiki operasional harian pelanggan dan vendor, serta menyediakan jendela untuk memantau muatan di seluruh jalur transportasi dan gudang transit.

Untuk lanskap bisnis yang sama, Waresix bersaing dengan beberapa pemain lokal lainnya. Dua di antaranya Kargo Technologies dan Webtrace. Terkait pendanaan, Kargo Technology baru saja mengumumkan penutupan putaran seri A $31 juta pada April 2020 lalu. Sementara Webtrace belum lama ini mengumumkan perpanjangan seed funding-nya dengan nilai yang dirahasiakan.

Potensi bisnis logistik

Logistik memang tengah menjadi vertikal bisnis yang menarik – apa pun bentuknya, baik pengiriman satu hari sampai, antarkota, hingga antarpulau. Layanannya menjadi unjung tombak banyak bisnis digital, khususnya e-commerce. Di Asia Tenggara sendiri, bisnis ini terlihat pada “track” pertumbuhan yang baik.

Di Singapura ada Ninja Van, dalam putaran seri D-nya mereka berhasil bukukan dana sekitar $400 juta, diperkirakan membawa valuasi perusahaan di angka $750 juta. Sejak tahun 2016 mereka juga telah mengoperasikan bisnis di Indonesia.

Pemain lain, misalnya AnterAja dan SiCepat, juga terus upayakan perluasan dan pertumbuhan bisnis. Terakhir mereka dikabarkan telah diinvestasi oleh Tokopedia, dalam rangka mendukung visi pengembangan “Infrastructure as a Services” bisnis ritel di Indonesia.

Dalam ulasan sebelumnya, DailySocial mengategorikan beberapa jenis layanan logistik yang saat ini beroperasi di Indonesia:

Bisnis Logistik di Indonesia

Waresix sendiri sudah terkonfirmasi menggaet status centaur sejak tahun lalu, mereka telah mencapai valuasi di atas $100 juta. Dengan pendanaan baru ini, tentu secara matematis terjadi peningkatan valuasi yang signifikan dan bukan tidak mungkin akan segera mengantarkan perusahaan ke status berikutnya: unicorn. Kebutuhan dan tantangan unik bisnis logistik di Indonesia memberikan peluang kepada pemainnya (terlebih lokal) untuk mendominasi pasar.

Indonesian Startup investment Exceeds $100 Million During the Pandemic

The second quarter of this year put a new color on the Indonesian startups dynamics. In addition to news about several business shutdowns, during the first half of 2020, funding flows for startups tend to increase compared to the same period in the previous year. In fact, some startups gain funding with a value above $100 million (equivalent to 1.4 trillion Rupiah).

The following are the some startups reportedly raised fresh funding during the pandemic:

Tokopedia (reportedly) raised $500 million

As first reported by DealStreetAsia, sources said the company, led by William Tanuwijaya, received additional capital worth of US$500 million or equivalent to 7.3 trillion Rupiah. Previously, Tokopedia is said to raise new funding up to 21 trillion Rupiah since last year. One of the objectives is to prepare the company to be listed on the stock market. Whether this is true, this acquisition will be the largest in Southeast Asia in the first half of 2020.

Gojek bags US$300 million

In early June, Gojek announced some new investors in their F series rounds. Two of them are Facebook and Paypal. Although it was undisclosed, it was widely publicized that the funds raised reached $ 300 million or equivalent to IDR 4.3 trillion. One of its main focuses is to strengthening GoPay, which driven Gojek’s subsidiary to get filing with unicorn valuation.

Traveloka secured US$250 million

Yesterday, (7/28), Traveloka announced the new funding worth of $250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. The fresh money is to support the company rise from the Covid-19 downfall, which kinda hit the OTA business hard in Indonesia and throughout the world. Some strategies are re-planned, although they remain focused on the domestic accommodation business. Some new services, such as Xperience (online), are being promoted to become new revenue streams in the midst of minimal travel ticket sales transactions.

Kopi Kenangan received $109 million

The new retail startup Kopi Kenangan received Series B funding worth of $109 million, equivalent to 1.6 trillion Rupiah in May 2020. This round adds to the total investment raised by the company at $137 million. In addition to expanding business-coverage, the main agenda is to work on the “cloud kitchen” business model, thus enabling many new food and beverage products to be immediately served to its customers.

Bukalapak is to finalize $100 million funding

The latest case comes from Bukalapak. They are currently raising new funding of (at least) US$100 million or equivalent to 1.4 trillion Rupiah. DealStreetAsia said two of its main investors, EMTEK and Ant Financial, had first injected funds in March 2020. It is yet to discover, the agenda for the recent fund. Bukalapak currently operates without any of the founding members in the management, after Fajrin Rasyid appointed as Telkom’s Board of Directors member.

Investment dominated around Southeast Asia

To put rank on the largest funding throughout 2020, the five names above will fill the top 10 list. Some startups in other Southeast Asian countries that have also received new funds reaching at least $100 million, such as Ninja Van (Singapore) $279 million, RWDC Industries (Singapore) $133 million, Tiki (Vietnam) $130 million, and Voyager Innovations (Philippines) $120 million.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Startup Indonesia Bernilai Lebih dari $100 Juta Sepanjang Pandemi

Kuartal kedua tahun ini memberi warna baru dalam dinamika startup Indonesia. Selain kabar mengenai banyak bisnis yang terperosok, selama paruh pertama 2020 arus pendanaan startup cenderung meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Beberapa startup bahkan mendulang pendanaan dengan nilai di atas $100 juta (setara 1,4 triliun Rupiah).

Berikut ini adalah nama-nama startup yang dikabarkan mendapatkan pendanaan besar baru di masa pandemi:

Tokopedia (dikabarkan) raih $500 juta

Pertama kali diberitakan DealStreetAsia, sumber mengatakan perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya tersebut mendapatkan dana tambahan senilai US$500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sebelumnya dikabarkan Tokopedia memang tengah mencari dana baru hingga 21 triliun Rupiah sejak tahun lalu. Salah satu tujuannya mempersiapkan perusahaan melantai di bursa saham. Jika benar, perolehan ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara di paruh pertama 2020.

Gojek dapat US$300 juta

Awal Juni lalu, Gojek mengumumkan bergabungnya sejumlah investor di putaran seri F mereka. Dua di antaranya adalah Facebook dan Paypal. Kendati tidak diumumkan ke publik, santer tersiar nilai dana yang didapat mencapai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Pendanaan baru tersebut salah satunya fokus untuk penguatan GoPay, yang mendorong anak usaha Gojek ini melakukan filing dengan valuasi unicorn.

Traveloka rengkuh US$250 juta

Kemarin, (28/7), Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan barunya senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Dana ini untuk membantu perusahaan bangkit dari terjangan Covid-19 yang memorak-porandakan bisnis OTA di Indonesia dan seluruh dunia. Beberapa strategi direncanakan ulang, meski tetap fokus di bisnis akomodasi domestik. Beberapa layanan baru, seperti Xperience (online), mulai digalakkan untuk menjadi revenue stream baru di tengah transaksi penjualan tiket perjalanan yang minim.

Kopi Kenangan amankan $109 juta

Startup new retail Kopi Kenangan mendapatkan pendanaan Seri B senilai $109 juta atau setara 1,6 triliun Rupiah pada Mei 2020 lalu. Perolehan ini menambah total investasi yang didapat perusahaan di angka $137 juta. Selain memperluas cakupan bisnis, agenda utama dengan dana baru ini adalah menggarap model bisnis “cloud kitchen”, sehingga memungkinkan banyak produk makanan dan minuman baru yang segera disuguhkan ke para pelanggannya.

Bukalapak dikabarkan rampungkan pendanaan $100 juta

Kabar terbaru datang Bukalapak. Mereka sedang menggalang pendanaan baru senilai (minimal) US$100 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Sumber DealStreetAsia mengatakan, dua investor utamanya, yakni EMTEK dan Ant Financial, telah terlebih dulu menyuntikkan dana di bulan Maret 2020 lalu. Belum diketahui pasti agenda yang dicanangkan perusahaan dengan dana baru ini. Kini Bukalapak beroperasi tanpa keterlibatan founder di jajaran manajemen, setelah Fajrin Rasyid bergabung dengan Telkom sebagai anggota Direksi.

Dominasi pendanaan di Asia Tenggara

Jika dibuat peringkat pendanaan terbesar sepanjang tahun 2020 ini, lima nama di atas akan mengisi daftar 10 besar. Beberapa startup di negara Asia Tenggara lain yang juga memperoleh dana baru senilai minimal $100 juta adalah Ninja Van (Singapura) $279 juta, RWDC Industries (Singapura) $133 juta, Tiki (Vietnam) $130 juta, dan Voyager Innovations (Filipina) $120 juta.

Laporan DSResearch: Potensi Kolaborasi Startup Unicorn dan Centaur dengan Institusi Finansial

Dalam ekosistem startup digital, gelar unicorn (valuasi di atas $1 miliar) dan centaur (valuasi antara $100-999 juta) penting untuk menjadi sebuah legitimasi bisnis. Membuktikan model bisnis yang diadaptasi mampu berkembang dan solusi yang dihadirkan fit dengan pangsa pasar.

Kehadiran unicorn dan cetanur juga memberikan dampak langsung terhadap ekonomi digital di negara asalnya. Ambil contoh kehadiran Tokopedia dan Bukalapak di Indonesia berhasil berikan kanal baru bagi UKM untuk dapat tumbuh dan berkembang secara efisien dan berkelanjutan.

Selain itu, inisiatif kolaborasi yang dicanangkan juga membuka peluang baru bagi bisnis-bisnis lain untuk melakukan ekspansi. Tak terkecuali dengan institusi finansial, banyak skenario yang sudah diterapkan untuk membentuk sinergi mutualisme yang menguntungkan masing-masing pihak.

Untuk melihat sejauh mana startup unicorn/centaur bersinergi dengan institusi finansial, DSResearch bersama dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) merilis sebuah laporan bertajuk “Unicorns & Centaur Collaboration with Financial Institutions”.

Ada dua bahasan utama yang dirangkum dalam laporan tersebut, meliputi:

  • Tren startup unicorn/centaur di Asia dan Indonesia, merangkum daftar pemain yang ada sejauh ini. Dan memetakannya sesuai model bisnis yang dijalani.
  • Mendaftar beberapa studi kasus kolaborasi startup unicorn/centaur bersama institusi finansial.

Selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: “Unicorns & Centaur Collaboration


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan pengembang solusi-solusi untuk UKM di Indonesia.

Classifying the Centaur Startups in Indonesia

Centaur or aspiring unicorn is commonly used to call startups that have reached valuations of more than $100 million (1.4 trillion Rupiahs) and under $1 billion (14 trillion Rupiahs). One way to measure valuation is based on funding obtained from investors.

The rapid development of the Indonesian ecosystem has brought many startups to the later stage funding – series A round or above. The good implication is, many Indonesian startups have succeeded in holding the centaur degree today.

Without a specific list, according to the Temasek report, Google, and Bain & Company there are more or less 70 centaur startups in Southeast Asia. As for Indonesia, based on research conducted by DSResearch earlier this year, there are at least 27 startups, most of which have been confirmed to have valuations above US$ 100 million.

Listed below the centaur startups:

centaur startups

Vertical business analysis

In terms of business verticals, the scope is quite diverse even though it’s dominated by fintech and e-commerce. The trend is quite similar if you look at the list of existing local unicorns, 3 out of 6 players are in the e-commerce sector. Meanwhile, based on the business model a.k.a the revenue streams they relied on, the distribution is quite balanced, there are 13 startups implemented the B2C model, 10 startups in the B2B model, and the rest (4 startups) are targeting both through B2B2C.

startup centaur

In terms of B2B models, there are three fintech lending, two SaaS, and one each for the marketplace, logistics, media, and fintech payment. Although each of them offers services to businesses, some are closely related to transactional businesses at the consumer level.

The p2p lending for example, even though the funds collected from the players distributed to SMEs, their funds are still collected from individual investors. The developed platform is intended for anyone can access the capital flow and act as an investor even though (maybe) it does not provide direct profits because the interest on loans and other costs is charged to the borrowers.

It’s similar to Moka in the SaaS sector. Although the presented features are to embrace micro-businesses, applications, and road services to accommodate the needs of consumer transactions at offline merchants. Its business regulates transactions and cash flow within.

In terms of B2C, it is even clearer because it charges fees to consumers using the products or services. It’s no doubt the buy and sell based business, financial transactions or subscriptions model become the most widely developed.

Market momentum

The fundamental reason that makes successful centaur businesses is market readiness. If only the penetration run in 5 or 10 years ago, the results might not be this significant. Take Payfazz for example, as one of the startups with quite fast business acceleration.

Payfazz application allows partners (the average shop owner) to serve various virtual items sales, such as balance top-up, electricity tokens, insurance payments, money transfers and so on. According to Kemenkopukm, there are around 64 million SMEs in Indonesia with 46.27% engaged in trading, including stall owners. In terms of customer community, the services provided are familiar with daily needs. Economic value is spinning fast in related commodities.

The big pie is now being fought over by other giant digital players, such as e-commerce platforms flocking to strengthen partnership programs with kiosk – Bukalapak, Tokopedia and now Shopee.

Online shopping has become a culture that gives good impact on e-commerce in providing more specific services. For example, what HappyFresh did through the application that allows the public to get guaranteed fresh food. However, the GMV projections for this business will continue to increase to US$ 82 billion by 2025 .

It is very clear on fintech sector, at least 92 million adults in Indonesia are yet to experience financial or banking services (unbankable) will be the potential market.

The right direction

In fact, more startups have been operating for years but yet to reach the centaur valuation. This phenomenon had become a hot conversation, because of the funding gap issue. As the startups that have passed early-stage funding failed to convince later-stage investors.

Furthermore, the numbers presented in the metrics become important for investors. And those numbers will increase sharply whether the business can truly accommodated the necessary stuff for many people, no matter how sophisticated the solutions offered.

The founder intuition to execute the business in the right momentum is one of the keys to the result of 27 startups might soon catch up with their seniors, joining the unicorn line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengidentifikasi Startup-Startup “Centaur” di Indonesia

Centaur atau aspiring unicorn adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta (1,4 triliun Rupiah) dan di bawah $1 miliar (14 triliun Rupiah). Valuasi sendiri salah satunya diukur berdasarkan pendanaan yang didapat dari investor.

Perkembangan pesat ekosistem di Indonesia membawa banyak startup ke pendanaan later stage – putaran seri A atau di atasnya. Implikasi baiknya, kini banyak startup Indonesia yang berhasil menyandang gelar centaur.

Kendati tidak didaftar, menurut laporan Temasek, Google dan Bain & Company saat ini ada sekitar 70 startup centaur di Asia Tenggara. Adapun di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan DSResearch awal tahun ini, setidaknya ada 27 startup yang kebanyakan sudah dikonfirmasi memiliki valuasi di atas US$100 juta.

Berikut adalah daftar startup-startup centaur tersebut:

Startup Centaur Indonesia

Analisis vertikal bisnis

Ditinjau dari vertikal bisnis yang dilakoni, cakupannya cukup beragam kendati fintech dan e-commerce jadi yang mendominasi. Trennya masih sama jika melihat daftar unicorn lokal yang ada, 3 dari 6 pemain adalah di bidang e-commerce. Sementara itu jika ditinjau dari model bisnisnya alias kanal revenue stream yang diandalkan, pembagiannya juga cukup berimbang, sebanyak 13 startup terapkan model B2C, 10 statup di model B2B, dan sisanya (4 startup) menyasar keduanya melalui B2B2C.

Startup Centaur Indonesia

Untuk model B2B ada tiga fintech lending, dua SaaS, dan masing-masing satu untuk marketplace, logistik, media dan fintech payment. Kendati masing-masing tawarkan layanan kepada bisnis, sebenarnya beberapa bersinggungan erat dengan bisnis transaksional di level konsumer.

Di p2p lending misalnya, kendati dana yang terkumpul dari pemain di atas fokus didistribusikan untuk UKM, dana mereka tetap dihimpun dari investor perorangan. Platform dikembangkan memang bertujuan agar siapa saja dapat mengakses alur permodalan dan bertindak sebagai investor kendati (mungkin) tidak memberikan profit secara langsung, karena bunga pinjaman dan biaya lainnya dibebankan kepada peminjam.

Pun demikian Moka di sudut SaaS. Kendati fitur-fitur yang disajikan merangkul para pebisnis mikro, aplikasi dan layanan jalan untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi konsumen di merchant offline. Bisnisnya mengatur transaksi dan arus kas di dalam bisnis.

Bagi B2C makin lebih gamblang, karena mengenakan biaya dari konsumen atas produk atau layanan yang diberikan. Tak ayal bisnis berbasis jual beli, transaksi keuangan atau berlangganan jadi yang paling banyak dikembangkan.

Momentum pasar

Alasan mendasar yang membuat bisnis-bisnis centaur moncer adalah kesiapan pasar. Jika penetrasi dilakukan 5 atau 10 tahun lalu mungkin hasilnya tidak akan sepesat ini. Ambil contoh Payfazz sebagai salah satu startup yang cukup cepat akselerasi bisnisnya.

Aplikasi Payfazz memungkinkan mitra (rata-rata pemilik warung) untuk bisa melayani penjualan berbagai item virtual, seperti pulsa, token listrik, pembayaran asuransi, transfer uang dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri, menurut Kemenkopukm ada sekitar 64 juta UKM dengan 46,27% di antaranya di bidang perdagangan, termasuk di dalamnya pemilik warung. Di sudut masyarakat pelanggan, layanan-layanan yang diberikan akrab dengan kebutuhan sehari-hari. Nilai ekonomi berputar kencang dalam komoditas terkait.

Kue bisnis yang besar kini turut diperebutkan oleh pemain digital raksasa lain, seperti platform e-commerce yang berbondong-bondong kuatkan program kemitraan dengan warung – telah dijalankan Bukalapak, Tokopedia dan kini Shopee.

Belanja online yang telah menjadi kultur juga memberikan dampak baik bagi e-commerce yang memberikan layanan secara lebih spesifik. Misalnya yang disajikan HappyFresh, melalui aplikasi memungkinkan masyarakat mendapatkan bahan makanan yang dijamin segar. Namun sampai tahun 2025 proyeksi GMV untuk bisnis ini masih akan terus tinggi mencapai US$82 miliar.

Sementara bagi fintech sudah sangat jelas, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable) yang bisa dijadikan sasaran layanan.

Arah bisnis yang tepat

Faktanya lebih banyak startup yang telah beroperasi bertahun-tahun tapi belum kunjung menyentuh valuasi centaur. Fenomena ini sempat jadi perbincangan hangat, lantaran disinyalir terjadinya funding gap. Yakni gagalnya startup yang telah melewati pendanaan early-stage untuk mendapatkan kepercayaan investor later-stage.

Di fase lanjutan, angka yang tersaji di dalam metrik menjadi penting bagi investor. Dan angka-angka itu bakal meningkat tajam jika bisnis yang disajikan memang menangani hal-hal yang dibutuhkan oleh banyak orang, secanggih apapun solusi yang ditawarkan.

Intuisi founder untuk mengeksekusi bisnis dalam momentum yang tepat jadi salah satu kunci mengapa pada akhirnya 27 startup tadi mungkin dalam waktu dekat akan segera menyusul para seniornya, bergabung di jajaran unicorn.