Insta360 Luncurkan Generasi Kedua Kamera 360 Derajat untuk iPhone

Tahun 2016 lalu, sebuah aksesori unik bernama Insta360 Nano mencoba membuktikan bahwa smartphone juga bisa dijadikan kamera 360 derajat dengan alat bantu yang tepat. Di CES 2018, pengembangnya yang bermarkas di Tiongkok menyingkap penerus dari produk yang melambungkan namanya tersebut, yakni Insta360 Nano S.

Desainnya boleh dibilang identik dengan pendahulunya, masih menggunakan konektor Lightning dan masih bisa digunakan secara terpisah berkat kehadiran baterai rechargeable dan slot memory card. Yang berubah, selain adanya varian warna hitam, sebenarnya tidak kelihatan secara kasat mata.

Adalah kualitas gambarnya yang telah menerima peningkatan signifikan. Resolusi videonya naik dari 3K menjadi 4K, sedangkan resolusi foto still-nya malah lebih drastis lagi, dari 4,6 menjadi 20 megapixel. Singkat cerita, hasil rekamannya bakal tampak lebih tajam, plus lebih stabil berkat algoritma image stabilization baru yang diyakini dapat memaksimalkan potensi gyroscope milik iPhone yang tersambung.

Insta360 Nano S

Namun kualitas gambar yang lebih baik baru sebagian cerita, sebab masih ada sekumpulan fitur baru yang tidak kalah menarik. Utamanya adalah fitur MultiView, yang memungkinkan Anda untuk menyiarkan video standar (non-spherical) dari dua atau tiga angle yang berbeda secara bersamaan, menimbulkan kesan bahwa Anda sedang menggunakan setup multi-kamera.

Fitur lainnya lagi adalah FreeCapture, yang dipinjam dari Insta360 One. Fitur ini sejatinya memungkinkan pengguna untuk ‘mengekstrak’ video standar dari hasil rekaman 360 derajatnya. Berkat fitur ini, Anda jadi tidak perlu takut salah mengambil angle, sebab semuanya bisa diatur pasca perekaman.

Insta360 Nano S

Fitur yang terakhir adalah 360 Video Chat. Yang cukup unik, lawan bicara Anda tidak harus menggunakan aplikasi Insta360 untuk bisa berinteraksi dengan Anda dan apa saja yang berada di sekitar Anda. Cukup bagikan sebuah tautan, maka lawan bicara Anda bisa langsung melihat penampakan Anda dalam sudut pandang 360 derajat melalui browser.

Insta360 Nano S saat ini sudah dipasarkan seharga $239. Paket penjualannya meliputi sebuah cardboard VR viewer dan dudukan smartphone yang bisa dilipat.

Sumber: Insta360.

JBL Link View Adalah Smart Speaker Google Assistant Pertama yang Dibekali Layar Sentuh Interaktif

Masih ingat dengan Amazon Echo Show? Berbeda dari smart speaker lain yang dibekali integrasi Alexa, Echo Show sangat unik karena ia juga mengemas sebuah layar sentuh interaktif. Bagaimana dengan platform sebelah? Apakah Google dan mitra-mitranya tidak tertarik mengembangkan produk serupa?

Tentu saja mereka tertarik. Salah satu yang pertama datang dari anak perusahaan Harman. Dinamai JBL Link View, ia menjadi jawaban atas permintaan konsumen yang mendambakan fungsionalitas Echo Show, tapi lebih percaya dengan Google Assistant.

Penampilannya sepintas tampak mirip seperti speaker Bluetooth pada umumnya, akan tetapi bagian depannya dihuni oleh sebuah layar sentuh berukuran 8 inci, lalu di atasnya bermukim sebuah kamera 5 megapixel untuk keperluan video calling. Dimensinya terbilang ringkas, hanya 330 x 150 x 100 mm saja, dan secara keseluruhan tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Seperti speaker lain dari lini JBL Link, Link View tak cuma mengunggulkan integrasi Google Assistant saja, tapi juga fitur streaming Chromecast dan kapabilitas multi-room. Performa audionya ditunjang oleh sepasang speaker yang masing-masing berdaya 10 watt, lengkap dengan sebuah radiator pasif untuk menggelontorkan bass yang mantap.

Kalaupun Anda hanya butuh sebuah speaker wireless yang mumpuni, Link View mendukung streaming audio hingga resolusi 24-bit/96kHz. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung pada musim panas mendatang di Amerika Serikat, lalu menyusul ke depannya lagi untuk negara-negara lain. Sayang JBL belum mengungkapkan berapa harganya.

Sumber: Harman.

Dihargai $300, Sony MDR-1AM2 Warisi Fitur Headphone Seharga Rp 25 Juta

Satu per satu pabrikan smartphone boleh melupakan eksistensi jack headphone, akan tetapi hal itu tidak mencegah produsen perangkat audio untuk menciptakan headphone berkualitas yang masih mengandalkan sambungan kabel. Ambil contoh Sony, yang baru-baru ini meluncurkan suksesor dari salah satu headphone andalannya yang dirilis di tahun 2014, MDR-1A.

Sony MDR-1AM2, demikian nama resmi penerusnya, tidak mencoba memberikan sebanyak mungkin fitur yang absen pada generasi sebelumnya. Yang ingin ditonjolkan justru adalah kapabilitas headphone dalam memutar audio berkualitas hi-res, sekaligus membahagikan hati kalangan audiophile.

Untuk itu Sony telah mengembangkan unit driver berdiameter 40 mm baru, yang mencakup komponen diafragma yang terbuat dari bahan liquid crystal polymer berlapis aluminium. Hasilnya? Rentang frekuensi headphone ini bisa mencapai angka 100 kHz, meski ini bukan berarti apa-apa mengingat telinga manusia hanya bisa mendengar sampai 20 kHz – tapi setidaknya ada yang bisa dipamerkan.

Untuk menyeimbangi performanya, Sony tidak lupa membekalinya dengan konektor Pentaconn 4,4 mm yang banyak terdapat pada pemutar musik maupun amplifier high-end. Namun jangan khawatir, masih ada kabel dengan konektor 3,5 mm standar untuk Anda pakai bersama smartphone – kalau memang ada colokannya.

Sony bilang bahwa desainnya secara keseluruhan banyak mewarisi Sony MDR-Z1R, headphone kelas sultan yang dihargai Rp 25 juta. Dibandingkan pendahulunya, MDR-1AM2 diyakini berbobot lebih ringan sekaligus lebih nyaman dikenakan berkat bantalan yang dibalut kulit sintetis. Anda tertarik? Siapkan dana $300 dan bersabarlah sampai musim semi tiba.

Sumber: Sony.

Jabra Luncurkan Dua True Wireless Earphone Baru di CES 2018

Tren true wireless earphone tidak menunjukkan tanda-tanda bakal menurun popularitasnya. Bahkan produsen seperti Jabra pun telah merilis tiga generasi true wireless earphone dalam kurun waktu tidak sampai dua tahun. Generasi ketiganya yang disingkap di CES 2018 ini malah terdiri dari dua model yang berbeda: Jabra Elite 65t dan Elite Active 65t.

Jabra tampaknya cukup memperhatikan preferensi konsumen, sehingga mereka memutuskan harus ada dua varian yang berbeda ketimbang hanya satu yang berwujud sporty seperti sebelumnya. Mereka yang sekadar mencari true wireless earphone untuk kebutuhan sehari-hari bisa melirik Elite 65t, sedangkan yang mengincar pendamping selama berolahraga bisa meminang Elite Active 65t.

Dari gambarnya sudah sangat kelihatan bahwa Elite 65t mengusung desain yang lebih elegan ketimbang Elite Sport. Tanpa harus terkejut, Jabra menjanjikan kualitas suara yang apik terlepas dari dimensi perangkat yang ringkas.

Jabra Elite Active 65t

Keduanya sebenarnya cukup identik, dengan daya tahan baterai hingga lima jam dan sepuluh jam ekstra dari charging case-nya. Khusus Elite Active 65t, ia mengemas coating spesial agar perangkat bisa ‘mencengkeram’ dengan lebih mantap di dalam telinga, serta mendapatkan sertifikasi ketahanan air dan debu IP56. Varian ini juga mengusung accelerometer untuk memonitor aktivitas.

Jabra bilang bahwa Elite 65t dan Elite Active 65t kompatibel dengan Siri, Google Assistant dan Alexa sekaligus. Keduanya akan dipasarkan mulai bulan depan, masing-masing seharga $170 dan $190. Pilihan warna yang tersedia ada tiga untuk Elite 65t, dan dua untuk Elite Active 65t.

Sumber: PR Newswire.

Mouse Gaming Terbaru SteelSeries Mengemas Sensor Optik Ganda

Agustus tahun lalu, SteelSeries memperkenalkan dua mouse gaming baru dengan sensor inovatif bernama TrueMove3. Keunggulannya adalah kinerja tracking satu banding satu, yang berarti jarak yang ditempuh mouse di atas mousepad bakal sama persis dengan jarak yang ditempuh kursor di layar.

Tahun ini, mereka siap membawa teknologi tersebut ke level yang lebih tinggi lewat mouse SteelSeries Rival 600 dan teknologi TrueMove3+. Sistem baru ini melibatkan sebuah sensor optik ekstra yang bertugas memonitor pergerakan mouse selama terangkat dari permukaan.

SteelSeries Rival 600

SteelSeries menjelaskan bahwa dengan sensor konvensional, kursor terkadang bisa ‘melompat’ dan ‘berlarian’ ketika mouse diangkat dan diletakkan kembali di atas permukaan. Sensor ekstra pada Rival 600 akan mengeliminasi pergerakan ekstra tersebut, memastikan kursor tetap berada di posisi yang sama ketika mouse kembali diletakkan.

Pengguna juga bebas mengatur kapan sensor kedua ini akan aktif berdasarkan jarak antara mouse dan permukaan. SteelSeries tak lupa menambahkan bahwa sensor ekstranya ini masih bisa bekerja secara presisi bahkan dalam jarak sedekat 0,5 mm.

SteelSeries Rival 600

Beralih ke bagian yang kelihatan secara kasat mata, Rival 600 mengadopsi desain ergonomis untuk pengguna tangan kanan. Bobotnya cuma 96 gram, akan tetapi pengguna bisa menambahkan hingga delapan pemberat yang masing-masing berbobot 4 gram.

Tombol-tombolnya mengandalkan switch mekanis yang diyakini bisa tahan hingga 60 juta klik. Layaknya mouse gaming lain, tentu saja tombol-tombolnya ini bisa diprogram sesuka hati, dan sistem pencahayaan RGB pun sudah pasti tidak terlewatkan. Buat yang tertarik, Rival 600 sudah bisa dibeli seharga $80.

Sumber: SteelSeries.

Samsung Umumkan TV Berteknologi MicroLED, Setara OLED tapi Modular dan Fleksibel

Bicara soal TV OLED, LG adalah pemimpin di segmen ini. Pabrikan asal Korea Selatan itu adalah pemasok panel OLED untuk TV buatan Sony dan Panasonic, dan baru-baru ini mereka juga memamerkan TV OLED terbesar sekaligus tertinggi resolusinya (8K).

Samsung di saat yang sama masih menuai banyak debat perihal kemampuan lini TV QLED-nya dalam menyaingi kualitas gambar TV OLED. Permasalahannya, menurut mereka yang meragukan TV QLED Samsung, adalah panel yang digunakan masih membutuhkan backlight, tidak seperti panel OLED yang tiap-tiap pixel-nya bisa menyala sendiri, yang menjadi rahasia di balik superioritas OLED dalam hal kontras dan reproduksi warna.

Samsung sendiri sebenarnya pernah mengembangkan TV OLED di tahun 2012, tapi mereka gagal memproduksi massalnya. Dari situ mereka bertekad menciptakan teknologi alternatif yang bisa menyaingi OLED, maka lahirlah QLED, yang juga dikenal dengan istilah Quantum Dot.

Samsung MicroLED TV

Tahun ini, Samsung sudah siap dengan alternatif yang lain lagi bernama MicroLED – jangan dipelesetkan jadi “mikrolet”. Namanya diambil dari pixel berukuran mikroskopis di dalamnya, yang hebatnya, bisa menyala dengan sendirinya tanpa bantuan backlight, sama seperti OLED. Lalu apa yang membedakannya dari OLED?

Samsung bilang bahwa MicroLED bersifat modular. Artinya, TV berteknologi ini terdiri dari beberapa modul (panel) terpisah yang disatukan, bukan sebongkah panel utuh seperti pada TV OLED. Keuntungannya, MicroLED begitu fleksibel dan bisa diaplikasikan menjadi TV dalam berbagai macam ukuran, mulai dari yang kecil untuk di kamar tidur sampai yang segede gaban.

Samsung MicroLED TV

Pada kenyataannya, Samsung memamerkan teknologi ini lewat sebuah TV 4K raksasa berukuran 146 inci. Begitu besar dan lebarnya TV ini, Samsung menjulukinya dengan istilah “The Wall”. Menurut pantauan The Verge, warna yang dihasilkannya cukup pekat, dan secara keseluruhan tampak sangat terang. Sambungan antar modulnya pun tidak kelihatan ketika ada konten yang sedang diputar.

Mengingat Samsung sejauh ini masih mengategorikan MicroLED dan The Wall sebagai konsep, membandingkan kualitas gambarnya dengan TV QLED maupun OLED bakal terkesan prematur. Meski demikian, Samsung sudah punya rencana untuk meneruskannya hingga menjadi produk untuk konsumen, dan mereka menarget musim semi tahun ini sebagai jadwal peluncurannya.

Sumber: Samsung.

Dihargai $1.000, Earphone AKG N5005 Andalkan Lima Unit Driver Sekaligus

Berbahagialah Anda yang menggunakan smartphone yang masih memiliki jack headphone, sebab Anda masih bisa menikmati headphone atau earphone premium dengan nyaman, alias tanpa harus mengandalkan bantuan adapter. Contoh earphone yang saya maksud adalah AKG N5005 berikut ini, yang rencananya bakal dipasarkan seharga $1.000 pada musim semi mendatang.

Modal sebesar itu pastinya akan memberikan Anda sebuah earphone yang sanggup memutar audio berkualitas hi-res, yang diyakini bahkan lebih baik lagi dari yang berkualitas CD. N5005 juga menjanjikan reproduksi suara kelas reference lewat lima unit driver yang tertanam di dalam masing-masing earpiece-nya.

Di antara kelima driver tersebut, satu merupakan tipe dynamic berdiameter 9,2 mm, sedangkan sisanya bertipe balanced armature, yang sudah menjadi langganan deretan earphone premium selama ini. Kombinasinya menjanjikan reproduksi frekuensi mid yang akurat, high yang amat jernih, serta distorsi yang sangat minimal.

AKG N5005

Namun yang cukup unik adalah aksesori bernama Sound Filter yang dirancang untuk sedikit mengubah karakteristik suara yang dihasilkan N5005. Total ada empat filter yang berbeda, yang masing-masing berfungsi sesuai namanya: Bass Boost, Reference Sound, Semi-High Boost dan High Boost.

AKG sebenarnya bukan yang pertama menerapkan inovasi semacam ini. Hampir tiga tahun yang lalu, RHA Audio sempat meluncurkan earphone berfitur serupa, yakni RHA T20. Yang membedakan, harganya tidak semahal dan konfigurasi driver-nya pun tidak sekompleks penawaran AKG ini.

Melihat harganya, wajar apabila yang tertarik sekaligus sanggup membeli adalah mereka yang juga menggunakan smartphone kelas flagship. Namun bagaimana seandainya ponsel seharga $1.000 Anda tidak dilengkapi jack headphone dan adapter-nya hilang? Jangan khawatir, sebab AKG juga menyertakan sebuah Bluetooth dongle untuk N5005.

Sederhananya, aksesori ini bakal mengubah N5005 menjadi wireless, lengkap dengan remote control tiga tombol beserta mikrofon untuk menerima dan melakukan panggilan telepon. Dongle-nya sendiri diperkirakan bisa bertahan selama sekitar 8 jam penggunaan sebelum perlu diisi ulang baterainya.

Sumber: Business Wire.

Janjikan Kenyamanan dan Performa Audio Superior, Sennheiser GSP 600 Siap Jadi Rekan Gamer Pro

Masuknya sejumlah perusahaan produk suara ke segmen gaming memberikan pilihan bagi para audiophile yang kebetulan juga mendalami hobi itu. Mungkin mereka belum merasa yakin pada kualitas perangkat-perangkat ciptaan para produsen aksori komputer, dan lebih mempercayai brand audio ‘sejati’. Dan Sennheiser sudah cukup lama berkecimpung di sana.

Dalam ekspansi ke gaming, Sennheiser menyediakan beragam opsi headset, dari mulai kelas entry-level hingga varian premium. Lalu selain headphone, pengalaman gaming Anda juga bisa disempurnakan dengan amplifier seperti GSX 1000 dan GSX 1200 Pro. Dan di CES 2018, sang perusahaan audio asal Jerman itu memperkenalkan penerus dari Game Zero yang menyimpan beragam upgrade. Perangkat anyar ini Sennheiser namai GSP 600.

Ketika GSP 300, GSP 350, serta PC 373D mempunyai penampilan yang sederhana, desain GSP 600 terlihat lebih industrial dan futuristis. Headphone ini mengusung struktur ‘standar’: dua housing speaker tersambung oleh satu headband adjustable, lalu lengan microphone boom disematkan di bagian kiri. GSP 600 memanfaatkan engsel logam yang kuat, bisa bergerak bebas tanpa membuatnya jadi ringkih.

Sennheiser GSP 600 2

Kenyamanan adalah aspek andalan Sennheiser di GSP 600. Pertama-tama, headphone ini memanfaatkan rancangan ergonomis dan tekanan yang dapat dikustomisasi sehingga pas ke beragam tipe kepala – baik untuk orang dengan rahang lebar atau kecil. Kemudian headband-nya menggunakan konstruksi split buat mendistribusikan titik beban secara merata di atas kepala. Boom mic-nya memang tidak bisa dilepas, tapi akan mengaktifkan mode mute saat diangkat ke atas.

Sennheiser GSP 600 1

GSP 600 dibekali bantalan memory foam berlapis material kulit sintetis bertekstur suede yang membuat ear pad tidak lengket di kulit sewaktu para gamer profesional dituntut ber-gaming dalam waktu lama. Bahan ini kabarnya juga sangat efektif untuk membuang panas, dan dapat berfungsi sebagai sistem noise cancelling pasif.

Sennheiser GSP 600 3

Headset menjanjikan output memuaskan, berbekal speaker dengan bagian kumparan aluminium yang lebih baik. Upgrade ini membuat nada sub-bass lebih bertenaga, sempurna ketika menangani game dan film. Meski demikian, bass ‘hangat’ tersebut dirancang agar tidak memengaruhi mid-range serta nada berfrekuensi tinggi. Sennheiser menjamin keakuratan, keaslian dan detail dari proses reproduksi suara.

Sennheiser GSP 600 4

GSP 600 siap mendukung platform game berbeda, di antaranya PC berbasis Windows, console, Mac dan mobile – tersambung ke device melalui connector audio 3,5mm. Sennheiser berencana buat mulai memasarkan GSP 600 di akhir bulan Januari 2018, ditawarkan seharga US$ 250.

Sumber: Sennheiser.

Bukan Sembarang Toy Drone, Tello Dilengkapi Sistem Flight Stabilization Rancangan DJI

Drone adalah salah satu kategori produk teknologi yang punya peran paling bervariasi dalam kehidupan kita sehari-harinya. Selain menjadi alat bantu dokumentasi, drone juga digunakan untuk keperluan inspeksi di lapangan, mengirim barang – bahkan juga mengirim pizzakebutuhan militer, memudahkan pekerjaan regu penyelamat dan petani, sampai sekadar untuk balapan.

Begitu pesatnya perkembangan drone dan teknologi di baliknya, peran drone sebagai mainan anak-anak perlahan juga mulai terdengar masuk akal. Sebuah startup asal Tiongkok bernama Ryze Tech sedang mencoba untuk mewujudkan ide tersebut. Buah pemikirannya adalah Tello, yang mereka deskripsikan sebagai toy drone berotak cerdas.

Dalam hati Anda mungkin bertanya, apakah tidak bahaya membiarkan anak-anak bermain-main dengan drone? Tello bukan sembarang quadcopter, di balik tubuh mungil seberat 80 gramnya tersimpan teknologi yang amat canggih. Lebih spesifik lagi, secanggih drone ciptaan DJI.

Tello

Merupakan sebuah pencapaian bagi Ryze untuk menanamkan sistem flight stabilization DJI di dalam Tello, belum lagi sebuah VPU (vision processing unit) Intel Movidius Myriad 2 yang memungkinkan Tello untuk ‘melihat’ dunia di sekitarnya. Begitu stabil dan akuratnya kemampuan Tello mengudara, ia bahkan bisa didaratkan di atas telapak tangan.

Menerbangkannya juga semudah melemparnya ke atas, lalu gunakan aplikasi smartphone untuk mengendalikannya. Tello bisa mengudara selama sekitar 13 menit, dan ketika baterainya hampir habis atau saat koneksinya dengan smartphone terputus, Tello bakal mendarat dengan sendirinya.

Tubuh mungilnya turut mengemas sebuah kamera yang dapat mengambil foto 5 megapixel atau video HD. Pengguna pun juga bisa memantau hasil rekamannya secara live, atau menikmatinya dari sudut pandang orang pertama menggunakan FPV goggles yang kompatibel.

Tello

Di sisi lain, Tello juga ingin merealisasikan konsep belajar sambil bermain, utamanya belajar coding. Menggunakan program buatan MIT bernama Scratch, anak-anak bisa dengan mudah memprogram Tello, mulai dari merancang pola terbang tertentu sampai manuver-manuver akrobatik yang lebih kompleks.

Semua ini bisa didapat dengan modal tidak lebih dari $99. Rencananya Tello akan dipasarkan mulai akhir Januari ini di Tiongkok, lalu menyusul di negara-negara lain pada bulan Maret.

Sumber: PR Newswire.

Skagen dan Kate Spade Luncurkan Smartwatch Android Wear Perdananya

Skagen meluncurkan smartwatch pertamanya di pertengahan tahun 2016 lalu, akan tetapi perangkat tersebut sejatinya tak lebih dari jam tangan analog yang dibubuhi fitur activity tracking. Tahun ini, produsen arloji asal Denmark yang merupakan anak perusahaan Fossil Group itu sudah siap dengan smartwatch digital perdananya.

Dinamai Skagen Falster, desainnya tampak minimalis sekaligus atraktif, seperti yang sudah menjadi ciri khas produk-produk Skagen selama ini. Meski sepintas terkesan unisex, diameter 42 mm membuatnya lebih ideal di tangan yang besar, sehingga mungkin kaum hawa bakal kurang tertarik dengannya.

Nuansa minimalis terus dibawa sampai ke ranah software. Falster menjalankan sistem operasi Android Wear 2.0, akan tetapi layar sentuh bulatnya juga siap menampilkan sejumlah watch face eksklusif yang tampak bersih sekaligus elegan. Skagen juga bilang bahwa tampilan serba hitam ini bisa membantu menghemat konsumsi baterai, mengindikasikan bahwa layarnya mengemas panel OLED.

Skagen Falster

Performanya ditopang oleh chipset Qualcomm Snapdragon Wear 2100. Sayang fungsi fitness tracking-nya juga terbilang minim, mengingat perangkat sama sekali tak dibekali sensor laju jantung maupun GPS. NFC pun turut absen, yang berarti perangkat tak bisa dimanfaatkan sebagai metode pembayaran elektronik.

Skagen Falster bakal tersedia dalam empat varian desain; dua dengan strap bergaya mesh, dan dua lagi dengan strap berbahan kulit. Harganya dipatok $275 – $295.

Kate Spade Scallop Touchscreen

Kate Spade Scallop Touchscreen

Selain Skagen, brand lain yang juga menyingkap smartwatch digital perdananya adalah Kate Spade, yang sebenarnya juga masih merupakan bagian dari Fossil Group tapi dengan sistem lisensi. Dijuluki Kate Spade Scallop Touchscreen, smartwatch yang satu ini benar-benar menonjolkan aura feminim dan ditargetkan untuk kalangan perempuan.

Namanya sendiri diambil dari motif pada bezel yang mengitari layar sentuh 1,19 incinya. Strap-nya hanya selebar 16 mm, sekali lagi menegaskan kaum hawa sebagai target pasarnya. Sama seperti Skagen Falster di atas, smartwatch ini juga dibekali OS Android Wear 2.0 dan sejumlah watch face eksklusif.

Yang agak unik, watch face ini bisa pengguna kustomisasi sendiri. Caranya juga tidak umum: ketimbang memilih bentuk dan warna dial, angka dan elemen lainnya sendiri, pengguna akan diberi pertanyaan seputar pakaiannya maupun warna-warna dominan pada perhiasaannya, baru setelahnya aplikasi akan meracikkan watch face yang sesuai.

Kate Spade berencana memasarkannya mulai awal Februari nanti. Varian dengan strap kulit dihargai $295, sedangkan varian dengan strap logam dibanderol $325.

Sumber: 1, 2, 3, 4.