Facebook Mulai Cicipi Bidang Cloud Gaming

Saya yakin sebagian besar dari kita masih ingat zaman kita membuka Facebook hanya untuk memainkan FarmVille lebih dari satu dekade silam. Sekarang, FarmVille sedang bersiap untuk pensiun, dan Facebook juga sudah mengalihkan komitmennya ke teknologi HTML5 sebagai fondasi atas platform Instant Games mereka.

Sebagus-bagusnya HTML5, kapabilitasnya jelas kalah dibanding aplikasi native. Itulah mengapa katalog Facebook Instant Games kebanyakan berisi permainan yang bahkan lebih sederhana daripada game mobile. Namun tidak selamanya harus seperti itu, sebab Facebook sudah menyiapkan alternatif lain dalam wujud cloud gaming.

Sebelum Anda salah tangkap, perlu ditekankan bahwa ini bukan layanan pesaing Google Stadia, Microsoft xCloud, atau Amazon Luna. Ketimbang jadi layanan terpisah, cloud gaming justru menjadi salah satu fitur Facebook Gaming, dan duduk bersebelahan dengan Instant Games itu tadi.

Dari perspektif sederhana, Facebook melihat cloud gaming ini sebagai cara untuk menyuguhkan permainan yang mustahil dapat terwujud menggunakan HTML5 dan segala keterbatasannya. Game seperti Asphalt 9: Legends, Mobile Legends: Adventure, WWE SuperCard, dan Dirt Bike Unchained adalah sebagian contohnya.

Ya, semua game tersebut memang merupakan game free-to-play yang sudah bisa kita mainkan sekarang juga di smartphone atau tablet, tapi sekarang kita juga bisa memainkannya lewat aplikasi Facebook Gaming di Android, maupun di browser komputer dengan mengunjungi fb.gg/play.

Facebook cloud gaming

Oke, mungkin bukan kita semua, melainkan saudara atau kerabat kita yang tinggal di Amerika Serikat, mengingat fitur cloud gaming ini memang masih berstatus beta dan baru tersedia di sana saja. Di luar AS, tautan tadi bakal membawa Anda ke koleksi Facebook Instant Games seperti biasa.

Facebook menekankan bahwa mereka tidak punya maksud menerapkan model bisnis seperti layanan cloud gaming pada umumnya. Semua cloud game yang Facebook tawarkan dapat dimainkan secara cuma-cuma, meski memang ada konten in-app purchase seperti yang bisa kita jumpai pada permainan yang sama di smartphone.

Kendati demikian, bukan tidak mungkin ke depannya Facebook bakal menawarkan game premium pada katalog cloud gaming-nya, apalagi mengingat Facebook memang sempat mengakuisisi sebuah layanan cloud gaming bernama PlayGiga menjelang akhir tahun 2019 kemarin. Namun untuk sekarang, fokus mereka hanya terbatas untuk permainan free-to-play saja.

Belum diketahui kapan fitur cloud gaming ini bakal menyambangi pengguna Facebook di negara lain. Facebook juga belum bisa bicara banyak soal ketersediaannya di platform iOS, sebab Apple memang menerapkan kebijakan yang luar biasa ketat.

Sumber: Facebook.

Amazon Luna Siap Ramaikan Pasar Layanan Cloud Gaming

Menjelang akhir tahun lalu, Amazon sempat dirumorkan sedang menggarap platform cloud gaming-nya sendiri. Lalu pada bulan April, dilaporkan bahwa Amazon telah menunda peluncuran layanan tersebut sampai tahun depan akibat COVID-19. Well, laporan tersebut meleset, sebab Amazon baru saja memperkenalkannya secara resmi.

Dijuluki Amazon Luna, premis dasar yang ditawarkan hampir sama seperti layanan cloud gaming lain macam Google Stadia atau Microsoft xCloud: bayar biaya berlangganan, maka konsumen bisa memainkan game di TV, laptop maupun smartphone. Namanya cloud, semua game-nya sebenarnya dijalankan di server dan di-stream oleh perangkat yang pelanggan gunakan.

Satu faktor yang membedakan Luna adalah model bisnisnya. Tidak seperti Stadia yang mewajibkan pelanggan membeli game-nya secara terpisah, atau xCloud yang mematok tarif bulanan yang flat ala Netflix, Luna justru mengadopsi model bisnis yang mirip seperti Amazon Prime Video.

Amazon Luna

Konsumen nantinya dapat berlangganan beberapa game channel pada Luna. Channel yang pertama datang dari Amazon sendiri, yakni Luna+. Dengan membayar $6 per bulan (tarif perkenalan), pelanggan bisa langsung mengakses gamegame seperti Resident Evil 7, Control, Panzer Dragoon, A Plague Tale: Innocence, The Surge 2, Yooka-Laylee and The Impossible Lair, Iconoclasts, Grid, Abzu, Brothers: A Tale of Two Sons, dan masih banyak lagi.

Semua game tersebut bisa dimainkan tanpa batas waktu dan tanpa membayar biaya ekstra. Untuk beberapa judul, pelanggan dapat memainkannya di resolusi 4K 60 fps. Satu akun berlangganan bisa dipakai untuk bermain di dua perangkat yang berbeda secara bersamaan.

Channel yang kedua datang dari Ubisoft. Tarifnya belum dirincikan, akan tetapi pelanggan dipastikan bisa mengakses judul-judul andalan Ubisoft, termasuk halnya Assassin’s Creed Valhalla, Far Cry 6, dan Immortals Fenyx Rising di hari peluncurannya langsung. Ke depannya, Luna juga akan menawarkan channelchannel dari mitra publisher-nya yang lain.

Amazon Luna

Di awal peluncurannya, Amazon Luna bakal bisa dinikmati di PC, Mac, dan tentu saja Fire TV. Aplikasi Android-nya bakal menyusul, dan yang sangat menarik, Luna juga akan tersedia di iOS. Lucunya, Luna di iOS nantinya akan disajikan dalam bentuk web app. Jelas sekali ini merupakan cara Amazon menyiasati kebijakan yang Apple tetapkan baru-baru ini.

Tanpa harus terkejut, Luna bakal datang membawa integrasi Twitch. Menonton siaran demi siaran bisa dilakukan lewat Luna, dan sebaliknya, pelanggan juga bisa langsung ‘lompat’ ke dalam game yang dimainkan oleh streamer yang sedang ditontonnya (kalau memang game-nya ada di katalog Luna).

Amazon Luna controller

Untuk bermain, pelanggan bebas memakai mouse plus keyboard, gamepad Bluetooth, atau controller Xbox One maupun DualShock 4. Alternatif lainnya, konsumen juga bisa membeli controller khusus Luna seharga $50. Wujudnya sepintas mirip controller Xbox One, tapi ternyata ia punya keunikan sendiri.

Ketimbang menyambung ke smartphone, TV ataupun perangkat lain yang sedang dipakai bermain, controller ini justru menyambung langsung ke server cloud milik Amazon. Keuntungannya, latency bisa dipangkas hingga 17 sampai 30 milidetik dibanding apabila tersambung via Bluetooth. Terhubung langsung ke server juga berarti controller-nya tidak perlu melalui proses pairing ulang saat konsumen hendak berpindah dari satu perangkat ke yang lain.

Amazon Luna saat ini masih berstatus early access di Amerika Serikat. Sayangnya sejauh ini Amazon belum bilang apa-apa soal ketersediaannya di negara-negara lain.

Sumber: Polygon dan Amazon.

Apple Merevisi Kebijakan App Store, Izinkan Layanan Cloud Gaming tapi dengan Sejumlah Syarat

Layanan cloud gaming besutan Microsoft, xCloud, akan meluncur secara resmi di 22 negara pada tanggal 15 September besok. Sayang sekali konsumen hanya bisa menikmatinya melalui perangkat Android, sebab xCloud dinilai tidak memenuhi syarat di iOS.

Itu berita sebulan lalu. Baru-baru ini, Apple rupanya telah merevisi kebijakan yang mereka terapkan untuk platform App Store. Berdasarkan laporan CNBC, salah satu poin baru yang tercantum punya dampak langsung terhadap nasib layanan cloud gaming macam xCloud maupun Stadia.

Dijelaskan bahwa layanan cloud gaming boleh eksis di App Store, tapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang paling utama, konten alias game-nya harus diunduh secara langsung dari App Store. xCloud, Stadia, maupun layanan serupa lainnya cuma bertindak sebagai katalog.

Jadi seandainya xCloud menawarkan akses ke 100 game yang berbeda, maka tiap-tiap game tersebut harus tersedia di App Store satu per satu, sehingga bisa muncul di hasil pencarian ataupun chart, serta dapat diulas satu per satu oleh konsumen. Jadi misalnya Anda membuka xCloud dan ingin memainkan Destiny 2, maka game-nya cuma bisa diunduh dari App Store, bukan dari dalam xCloud itu sendiri.

Apple sejatinya ingin layanan cloud gaming menempuh jalur seperti Apple Arcade, yang pada dasarnya merupakan layanan berlangganan untuk menikmati gamegame yang tersedia di App Store. Selain Apple Arcade, sekarang sebenarnya sudah ada layanan bernama GameClub yang mengadopsi mekanisme yang sama. Singkat cerita, apa yang Apple inginkan tidak sepraktis yang xCloud atau Stadia tawarkan.

Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store
Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store

Lebih lanjut, masing-masing game-nya juga harus punya fungsionalitas yang mendasar. Maksudnya adalah, masing-masing game harus bisa dimainkan – mungkin hanya untuk satu atau dua level pertama – tanpa mewajibkan pengguna berlangganan terlebih dulu. Setelahnya, barulah pengguna bisa diarahkan untuk menjadi pelanggan terhadap layanan yang menaunginya (xCloud atau Stadia tadi) agar dapat menikmati game-nya secara keseluruhan.

Tentu saja Apple akan mengambil untung sebesar 30% dari tarif berlangganan yang konsumen bayarkan, dan ini langsung menyangkut topik yang sedang hangat belakangan ini, yang melibatkan perseteruan antara Apple dan Epic Games. Kalau Microsoft atau Google setuju, hampir bisa dipastikan tarif berlangganan xCloud dan Stadia di iOS lebih tinggi.

Alternatifnya, tentu saja konsumen bisa mengaktifkan langganannya terlebih dulu di platform lain, lewat browser di laptop misalnya, sebelum login menggunakan akunnya di iPhone atau iPad tanpa harus membayar lagi. Itu seandainya Microsoft dan Google setuju.

Pada kenyataannya, Microsoft tampak masih keberatan. “Ini tetap merupakan pengalaman yang buruk buat pelanggan. Gamer ingin langsung masuk ke dalam game melalui katalog terkurasi dalam satu aplikasi seperti yang biasa mereka lakukan dengan film atau musik, bukannya dipaksa mengunduh lebih dari 100 aplikasi yang berbeda untuk memainkan game dari cloud,” jelas perwakilan Microsoft kepada CNBC.

Google di sisi lain masih enggan berkomentar, dan sepertinya kehadiran layanan cloud gaming di platform iOS masih jauh dari kenyataan.

Sumber: CNBC dan TechCrunch.

Industri Cloud Gaming Berkembang Pesat, Bernilai Rp8,6 Triliun Pada 2020

Pasar cloud gaming akan tumbuh pesat pada tahun ini, menurut studi terbaru dari Newzoo. Mereka memperkirakan, pada akhir tahun 2020, total pemasukan industri cloud gaming akan mencapai US$585 juta (sekitar Rp8,6 triliun).

Dalam studi tersebut, Newzoo mewawancarai beberapa perusahaan penting dalam cloud gaming. Perusahaan-perusahaan tersebut mengatakan, jumlah pengguna cloud gaming naik pesat pada semester pertama 2020. Mereka mengungkap, hal itu terjadi karena pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang harus tetap di rumah.

Nilai industri cloud gaming pada 2020 naik pesat. Sebagai perbandingan, pada 2019, nilai industri cloud gaming hanya mencapai US$170 juta (sekitar Rp2,5 triliun). Ke depan, industri cloud gaming masih akan terus tumbuh. Diperkirakan, pemasukan industri cloud gaming masih akan terus naik, mencapai US$4,8 miliar (sekitar Rp71 triliun) pada 2023.

Tahun ini, kebanyakan pengguna cloud gaming masih berasal dari Amerika Utara dan Eropa. Buktinya, Amerika Utara memberikan kontribusi sebesar 39% pada total pemasukan industri cloud gaming pada 2020, dan Eropa menyumbangkan kontribusi 29%.

industri cloud gaming 2020
Perusahaan-perusahaan yang bermain di industri cloud gaming. | Sumber: Newzoo

Microsoft merupakan salah satu perusahaan yang tertarik dengan cloud gaming. Mereka akan meluncurkan layanan game streaming Project xCloud di Xbox Game Pass per 15 September 2020. Newzoo menyebutkan, keputusan Microsoft untuk bermain di cloud gaming akan mendorong pertumbuhan pasar cloud gaming, menurut laporan GamesIndustry.

Selain Microsoft, ada beberapa perusahaan besar lain yang tertarik cloud gaming. Dalam sembilan bulan belakangan, NetEase, Tencent, dan Facebook menunjukkan ketertarikan dengan platform cloud Gaming. Nvidia juga telah meluncurkan platform cloud gaming GeForce Now. Sementara Ubisoft menjalin kerja sama dengan perusahaan penyedia platform cloud gaming, Parsec.

Ke depan, pasar cloud gaming tampaknya akan semakin ramai. Pasalnya, semakin banyak perusahaan cloud gaming yang tak terlalu besar yang berusaha untuk meningkatkan jumlah pengguna mereka. Belum lama ini, perusahaan cloud gaming Gamestream mendapatkan €3,5 juta (sekitar Rp61,3 miliar). Mereka akan menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan platform cloud gaming B2B mereka. Sementara startup RemoteMyApp telah mendapatkan pendanaan sebesar €2 juta (sekitar Rp3 miliar) pada Juli 2020.

Di Indonesia, salah satu perusahaan yang tertarik untuk menyediakan platform cloud gaming adalah Skyegrid. Mereka percaya, pasar cloud gaming di Indonesia sangat menjanjikan.

Sumber header: VentureBeat

Layanan Cloud Gaming GeForce Now Kini Tersedia di Chromebook

Di berbagai negara, sebagian besar pengguna Chromebook adalah kalangan pelajar. Tren ini semakin menguat semenjak pandemi melanda dan mengharuskan mereka semua belajar dari kediamannya masing-masing.

Namun kalau menurut Nvidia, Chromebook tidak hanya pantas dipakai untuk belajar. Deretan laptop dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi ini sebenarnya juga cocok untuk keperluan gaming. Bagaimana bisa komputer berspesifikasi rendah menjalankan game AAA dengan mulus? Dengan bantuan layanan cloud gaming tentu saja.

Ya, layanan GeForce Now sekarang sudah tersedia di Chrome OS, baik untuk para pelanggan gratisan maupun berbayarnya. Nvidia bilang bahkan Chromebook seharga $299 yang ditenagai prosesor Intel Celeron pun sanggup menjalankan beragam game via GeForce Now dengan baik.

Seperti halnya layanan cloud gaming lain, yang lebih penting dari spesifikasi perangkat secara umum justru adalah koneksi internet; kita butuh koneksi yang cepat sekaligus stabil kalau mau mendapatkan pengalaman dan kualitas grafik terbaik. Satu hal yang cukup disayangkan adalah, Chromebook yang dibekali prosesor berarsitektur ARM sejauh ini belum kompatibel.

Ini memang kedengaran agak aneh, apalagi mengingat GeForce Now sudah bisa dinikmati lewat sejumlah smartphone Android yang notabene juga mengemas chipset ARM. Jadi buat yang memiliki perangkat seperti Lenovo Chromebook Duet, sayang sekali perangkat itu belum bisa dipakai untuk mengakses GeForce Now meski masih tergolong baru.

Sejauh ini, GeForce Now tercatat sudah memiliki sekitar empat juta pengguna terdaftar, sedangkan katalog game-nya sudah mencakup lebih dari 650 judul yang berbeda terlepas dari kontroversi yang sempat melanda. Selain game yang terdapat Steam, GeForce Now juga punya akses ke game yang dijajakan di Epic Games Store maupun Uplay milik Ubisoft.

Satu kekecewaan yang terakhir adalah, GeForce Now masih belum tersedia buat kita yang berdomisili di Indonesia.

Sumber: ZDNet dan Nvidia.

Apple Jelaskan Kenapa Layanan Cloud Gaming Microsoft xCloud Tidak Tersedia di iOS

Pada tanggal 15 September nanti, konsumen di 22 negara dapat memainkan berbagai game Xbox melalui smartphone atau tablet berkat layanan cloud gaming xCloud dari Microsoft. Syaratnya cukup dengan berlangganan Xbox Game Pass Ultimate saja, tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi.

Syarat yang kedua, pastikan smartphone atau tablet yang dipakai menjalankan sistem operasi Android, sebab layanan ini tidak akan tersedia di platform iOS, setidaknya di awal peluncurannya nanti. Kabar ini tentu terdengar mengejutkan, apalagi mengingat xCloud sempat menjalani fase pengujian di iOS pada bulan Februari lalu.

Kepada Business Insider, perwakilan Apple menjelaskan bahwa alasan xCloud harus absen di iOS sebenarnya berkaitan dengan kebijakan platform App Store itu sendiri: setiap aplikasi atau game yang akan masuk ke App Store harus di-review satu per satu dahulu, serta nantinya harus muncul di hasil pencarian maupun chart.

Jadi kalau xCloud menawarkan akses ke 100 game, maka 100 game itu harus Microsoft cantumkan satu per satu untuk di-review oleh tim App Store. Berhubung Microsoft tidak melakukannya, maka xCloud yang bertindak sebagai portal untuk gamegame tersebut pun tidak diperbolehkan hadir di App Store. Kedengarannya konyol memang, apalagi jika melihat Netflix dan Spotify yang diperbolehkan hadir tanpa perlu mencantumkan satu per satu kontennya untuk di-review.

Apple berdalih bahwa game itu sifatnya interaktif, tidak seperti film atau musik. Apple mungkin terkesan sangat kaku, tapi setidaknya mereka konsisten dengan kebijakannya: semua game yang tersedia di Apple Arcade (layanan gaming subscription milik Apple), memang akan muncul satu per satu kalau kita cari di App Store.

Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook
Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook

xCloud pun bukan satu-satunya layanan cloud gaming yang tidak bisa hadir di iOS karena terbentur kebijakan App Store. Contoh lainnya adalah Google Stadia. Meski aplikasi Stadia ada di App Store, fungsinya cuma sebatas untuk mengatur library game yang dimiliki masing-masing pelanggan, bukan untuk memainkan game-nya.

Bahkan aplikasi Facebook Gaming pun baru-baru ini juga menjumpai kendala saat akan dirilis di iOS. Aplikasinya akhirnya tersedia, tapi Facebook harus mengorbankan fitur Instant Games agar bisa disetujui. Jadi kalau aplikasi Facebook Gaming di Android bisa dipakai untuk memainkan sejumlah mini game, di iOS tidak.

Dari sini mungkin sebagian dari kita akan berasumsi Apple takut penjualan game di App Store merosot dengan adanya layanan cloud gaming seperti xCloud atau Stadia. Namun kalau memang kenyataannya begitu, mengapa Apple tidak sekalian memblokir Netflix dan Spotify yang mempengaruhi penjualan film dan musik di iTunes, sekaligus bersaing langsung dengan layanan milik Apple sendiri (Apple TV+ dan Apple Music)?

Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membela Apple, dan saya pribadi juga berharap xCloud maupun Stadia nantinya bisa tersedia sepenuhnya di iOS mengingat saya sendiri merupakan pengguna iPhone. Semoga saja Microsoft akan terus bernegosiasi dan memperjuangkan layanan cloud gaming-nya agar bisa eksis di semua platform.

Sumber: Business Insider.

Project xCloud Siap Meluncur 15 September Sebagai Bagian dari Xbox Game Pass Ultimate

Hampir dua tahun setelah diumumkan pertama kali, Project xCloud akhirnya punya jadwal rilis resmi. Layanan cloud gaming besutan Microsoft tersebut bakal tersedia untuk publik secara luas mulai 15 September mendatang sebagai bagian dari Xbox Game Pass Ultimate.

Konsumen yang sudah berlangganan Xbox Game Pass Ultimate ($15 per bulan) tidak perlu membayar biaya tambahan untuk bisa menikmati xCloud. Layanan ini akan tersedia di 22 negara pada hari peluncurannya: Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Hungaria, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Norwegia, Perancis, Polandia, Portugal, Republik Ceko, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss.

Ya, sangat disayangkan Indonesia belum termasuk dalam daftar, akan tetapi negara-negara Asia Tenggara lainnya pun juga demikian. Dari 22 negara tersebut, satu-satunya negara Asia yang kebagian jatah baru Korea Selatan.

Terlepas dari itu, cukup wajar apabila banyak gamer yang menaruh harapan besar terhadap xCloud. Layanan ini pada dasarnya dirancang untuk melengkapi pengalaman para konsumen Xbox, memungkinkan akses ke katalog game Xbox yang masif di mana saja dan kapan saja. Pada hari peluncurannya, Microsoft sudah menjanjikan ada lebih dari 100 game yang bisa dinikmati via xCloud.

Project xCloud on Xbox Game Pass Ultimate

Microsoft belum membeberkan isi katalog game xCloud secara lengkap, akan tetapi mereka sudah mengonfirmasi setidaknya tiga lusin judul, termasuk halnya judul-judul AAA macam Destiny 2, Forza Horizon 4, Gears 5, Hellblade: Senua’s Sacrifice, The Outer Worlds, Ori and the Will of the Wisps, Sea of Thieves, State of Decay 2, Wasteland 3, dan bahkan yang masih sangat gres seperti Grounded.

Jadi tanpa harus berada di depan TV, deretan game ini bisa dimainkan melalui smartphone atau tablet Android – belum diketahui kapan xCloud akan tersedia di iOS. Semua progres yang dicatatkan pemain akan disimpan dan disinkronisasikan, yang berarti save game di console dapat langsung dilanjutkan di perangkat mobile via xCloud, demikian pula sebaliknya.

Juga menarik adalah kompatibilitas xCloud dengan game multiplayer. Jadi ke depannya kalau Anda berjumpa dengan pemain lain di suatu game multiplayer, belum tentu orang itu bermain di console Xbox atau PC, tapi bisa juga malah menggunakan smartphone dengan bantuan controller.

Controller memang bukanlah suatu keharusan, akan tetapi konsumen xCloud dipastikan bisa mendapatkan pengalaman yang lebih baik dengan memanfaatkan controller. Microsoft cukup inklusif soal ini; selain controller Xbox One, konsumen bahkan dipersilakan untuk memakai controller PlayStation 4.

Alternatifnya, konsumen juga bisa membeli controller dari brandbrand seperti Razer, 8BitDo maupun PowerA yang secara khusus memang dirancang untuk mobile gaming. Controller bikinan PowerA misalnya, dilengkapi power bank terintegrasi sehingga perangkat bisa dipakai bermain sambil di-charge.

Mobile gaming controller

Microsoft kelihatannya benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mematangkan xCloud. Mereka sepertinya belajar banyak dari Google Stadia, yang perilisannya terkesan tergesa-gesa dan pada akhirnya dinilai kurang sesuai ekspektasi.

Dari segi model bisnis, arahan yang diambil Microsoft untuk xCloud juga sangat berbeda. Ketimbang menarik biaya untuk satu per satu judul game seperti yang Google terapkan pada Stadia, Microsoft memilih untuk menetapkan tarif flat $15. Jadi cukup membayar biaya berlangganan Xbox Game Pass Ultimate saja setiap bulannya, konsumen sudah bisa menikmati semua game yang tersedia melalui console Xbox, PC, ataupun perangkat mobile – benar-benar sesuai dengan visi Microsoft untuk mewujudkan “Netflix-nya video game“.

Kata “semua” ini penting untuk disoroti, sebab Microsoft sebelum ini sudah berjanji supaya semua game keluaran Xbox Game Studios bisa tersedia di Xbox Game Pass pada hari yang sama, dan ini termasuk deretan game baru yang sedang dikembangkan untuk Xbox Series X. Jadi untuk game seperti Halo Infinite misalnya, pelanggan Xbox Game Pass tidak perlu membeli game-nya secara terpisah untuk bisa menikmatinya langsung di hari peluncurannya dan di berbagai platform sekaligus.

Sumber: Xbox.

Nvidia Siap Upgrade Server GeForce Now dengan GPU Ampere

Kalau Anda mengikuti berita perkembangan hardware PC gaming, pastinya Anda tahu bahwa Nvidia sedang bersiap untuk memperkenalkan kartu grafis generasi baru, yang sejauh ini dikenal dengan nama Ampere.

Ampere sendiri bukanlah berita baru, hanya saja versi consumer-nya memang belum ada sampai saat ini. Sejak diumumkan secara resmi pada bulan Mei lalu, Ampere sejauh ini baru digunakan di data center saja, termasuk halnya milik Google. Versi consumer-nya, yang kemungkinan bakal diwakili oleh seri GPU RTX 30XX, diprediksi baru akan hadir dalam beberapa bulan mendatang.

Namun ternyata menunggu Nvidia merilis keluarga GeForce RTX 30XX bukanlah satu-satunya opsi untuk menikmati peningkatan performa grafik yang ditawarkan Ampere. Opsi lainnya adalah melalui layanan cloud gaming GeForce Now. Pasalnya, Nvidia sudah punya rencana untuk menyematkan GPU dengan arsitektur Ampere pada server yang menenagai GeForce Now.

“Kami ingin GeForce Now membuka peluang bagi gamer untuk menikmati teknologi gaming terkini dari Nvidia. Maka dari itu, Anda bisa mengekspektasikan Ampere di GeForce Now ke depannya,” ucap Andrew Fear selaku Senior Product Manager GeForce Now kepada PC Gamer.

Nvidia memang tidak bilang kapan pastinya server GeForce Now bakal di-upgrade menggunakan GPU Ampere. Bisa jadi kedatangannya lebih cepat daripada upgrade sebelumnya – dari arsitektur Pascal ke Turing – yang baru diterapkan pada bulan Februari lalu, alias setahun lebih semenjak perilisan awalnya menggunakan Pascal.

Lalu apakah ini berarti tarif GeForce Now bakal dinaikkan pasca implementasi Ampere? Nvidia belum bisa memastikan. Yang pasti tidak dalam waktu dekat, dan Nvidia baru akan mempertimbangkannya paling cepat tahun depan. Untuk sekarang, Nvidia bakal tetap mematok tarif $5 per bulan bagi konsumen yang ingin menikmati GeForce Now secara maksimal, alias tanpa batasan waktu dan dengan efek ray tracing selalu aktif pada game yang mendukung.

Sumber: PC Gamer.

Stadia Punya Game Eksklusif dari Konami dan Harmonix

Pada Maret 2020, Google mulai membuka akses ke Stadia, platform cloud gaming mereka. Sekarang, Stadia Games & Entertainment mengumumkan beberapa game yang akan tersedia secara eksklusif di platform cloud gaming tersebut.

Salah satu game eksklusif Stadia adalah Outcasters dari developer Splash Damage, yang belum lama ini membuat Gears Tactics. Selain itu, Stadia juga berhasil menjalin kerja sama dengan Konami. Melalui kerja sama ini, saat Super Bomberman R Online diluncurkan, game itu akan tersedia di Stadia.

Juru bicara Stadia menjelaskan, game eksklusif Stadia terbagi ke dalam dua kategori, yaitu Only on Stadia dan First on Stadia. Game yang masuk dalam kategori “Only on Stadia”, seperti Outcasters, hanya bisa dimainkan di platform cloud gaming Google. Sementara game yang masuk dalam kategori “First on Stadia”, seperti Super Bomberman R Online, tersedia secara eksklusif di Stadia dalam waktu terbatas. Setelah beberapa waktu, game itu juga akan diluncurkan di platform lain.

Selain Bomberman, game lain yang masuk dalam kategori First on Stadia adalah One Hand Clapping dari Bad Dream Games. Dalam game musical puzzle platformer itu, para pemain harus menyanyi untuk memecahkan puzzle dalam game. One Hand Clapping berhasil memenangkan Audience Choice Award pada IndieCade pada 2018 dan kini telah diluncurkan, meski masih dalam tahap Early Access.

Tak hanya dengan Konami dan Splash Damage, Stadia juga mengumumkan, mereka berhasil menjalin kerja sama dengan Harmonix Games, developer Rock Band, dan Supermassive Games, yang membuat Until Dawn dan Man of Medan. Game buatan dari dua developer itu akan diluncurkan secara eksklusif untuk Stadia. Sayangnya, belum diketahui game mana yang dicakup dalam perjanjian tersebut, lapor GamesIndustry.

Selain perjanjian eksklusif, Stadia juga mengungkap belasan game baru yang akan tersedia di platform mereka. Salah satunya adalah Sekiro: Shadows Die Twice dari FromSoftware. Stadia juga akan menyediakan tiga game Hitman buatan IO Interactive, termasuk Hitman 3 yang akan diluncurkan pada 2021, menurut laporan The Verge.

Tak berhenti di situ, Stadia juga akan menambahkan beberapa game olahraga ke platform mereka. PGA Tour 2K21 akan tersedia di Stadia saat ia diluncurkan pada 21 Agustus mendatang. Sementara WWE 2K Battlegrounds akan bisa dimainkan di Stadia pada 18 September 2020 dan NBA 2k21 pada musim gugur tahun ini.

Sumber header: Flickr/Marco Verch

Google Stadia Demonstrasikan Fitur Inovatif State Share Lewat Game Sandbox Berjudul Crayta

Beberapa hari lalu, Google mengumumkan Crayta, sebuah game sandbox ala Minecraft atau Roblox yang akan dirilis secara eksklusif (sementara) untuk layanan cloud gaming-nya, Stadia. Digarap oleh Unit 2 Games menggunakan Unreal Engine 4, Crayta sepintas terkesan seperti Fortnite tapi tanpa sesi tembak-menembak yang intens.

Game ini akan tersedia secara cuma-cuma buat para pelanggan Stadia Pro mulai 1 Juli mendatang, tapi yang lebih menarik justru adalah fitur bernama State Share yang dibawanya.

State Share pada dasarnya memungkinkan pemain untuk berbagi save file lewat sebuah tautan. Pada Crayta, pemain lain yang mengklik tautan tersebut bisa langsung bergabung ke dalam sesi permainan milik sang pembagi link dan lanjut bermain bersama-sama. Gambaran lebih jelasnya bisa dilihat langsung pada video di bawah ini.

Berhubung Crayta sendiri merupakan permainan kolaboratif, fitur semacam ini tentu sangat cocok dan bakal sangat bermanfaat buat pemain. Dari kacamata sederhana, State Share bisa dipandang sebagai versi canggih dari fitur party invite yang biasa terdapat pada game multiplayer.

State Share sejatinya juga bisa menunjukkan kapabilitas sebenarnya dari sebuah layanan cloud gaming. Tidak ada lagi proses rumit dalam sesi multiplayer seperti menentukan siapa yang menjadi host, lalu menambah pemain lain ke dalam friend list sebelum mengirimkan undangan bermain; semua itu bisa digantikan oleh satu link yang simpel.

Pada kenyataannya, State Share merupakan salah satu fitur unggulan yang Google umumkan dalam acara perkenalan Stadia tahun lalu. State Share sejauh ini masih berstatus beta, tapi saat sudah benar-benar matang nanti, tentu saja fitur ini juga akan merambah sejumlah game lain.

State Share juga punya potensi untuk mempererat interaksi para streamer dan penontonnya. Bayangkan saja seorang streamer membagikan link menuju sesi permainannya di sebuah live chat, lalu penonton (yang juga punya akses ke Stadia dan game yang bersangkutan) dapat mengklik link tersebut dan langsung ikut bermain bersama. Interaksi semacam ini sulit diwujudkan tanpa adanya fitur seperti State Share.

Dari perspektif lain, State Share juga berpotensi memperkenalkan kita pada kebiasaan baru dalam bermain game, yakni memperlakukan save file layaknya sebuah bookmark pada browser. Jeleknya, ini mungkin bisa menjadi ‘pembunuh produktivitas’ yang cukup efektif.

Sumber: Inverse dan Unit 2 Games.