Google Stadia Kini Kompatibel dengan Lebih Banyak Smartphone

Salah satu keluhan terbesar terhadap Google Stadia adalah minimnya smartphone yang kompatibel. Padahal, kalau melihat daftarnya, masih banyak smartphone yang tidak tercantum yang semestinya punya performa lebih superior. Contoh yang paling gampang: Samsung Galaxy S8 kompatibel, tapi kenapa Huawei P30 yang jelas lebih perkasa malah tidak tercantum?

Pada kenyataannya, Google baru saja menambahkan deretan smartphone OnePlus ke daftar perangkat yang kompatibel, dan perangkat setua OnePlus 5 rupanya ikut tercantum. Ponsel tersebut cuma ditenagai chipset Snapdragon 835, dan itu berarti flagship keluaran 2020 macam OPPO Find X2 semestinya sudah lebih dari cukup untuk melangsungkan sesi streaming game via Stadia.

Kabar baiknya, Stadia kini mempersilakan para pelanggan untuk menggunakan perangkat Android apa saja di luar daftar smartphone yang didukung secara resmi itu tadi. Namun perlu dicatat, Google bilang fitur ini masih bersifat eksperimental, dan mereka tidak menjamin kelancarannya di setiap smartphone.

Syaratnya cuma satu: perangkat bisa menjalankan aplikasi Stadia. Setelahnya, cukup aktifkan opsinya melalui menu pengaturan (Settings → Experiments → Play on this device), maka permainan dapat langsung dinikmati di perangkat tersebut meskipun ia tak tercantum dalam daftar perangkat yang kompatibel.

Stadia touch controls

Selain menyediakan dukungan terhadap lebih banyak perangkat, Stadia juga memperkenalkan fitur kontrol sentuh. Jadi ketimbang menggunakan controller fisik, permainan bisa dijalani dengan menavigasikan tombol-tombol virtual yang muncul pada layar. Lagi-lagi fitur ini juga masih dikategorikan eksperimental, dan Google berjanji untuk terus menyempurnakannya seiring waktu.

Pembaruan terakhir yang Google hadirkan adalah opsi pengaturan resolusi untuk tiap-tiap perangkat. Sebelumnya, pengguna hanya bisa menetapkan satu pilihan resolusi saja buat semua perangkat yang digunakan. Sekarang, pengguna bisa menetapkan resolusi yang berbeda saat hendak bermain di smartphone, laptop, atau TV via Chromecast Ultra.

Perlahan tapi pasti, Stadia terus menunjukkan penyempurnaan demi penyempurnaan. Perkembangan industri cloud gaming memang jauh dari kata mulus; platform pesaing seperti GeForce Now juga punya masalahnya sendiri, meski Nvidia perlahan juga sudah mulai membenahinya. Sekarang kita tinggal berharap Google bisa segera membawanya ke Indonesia, sehingga saya tidak bingung internet cepat saya buat apa 🙂

Sumber: Stadia via Android Police.

CEO Take-Two: Google Stadia Kurang Sesuai Ekspektasi

Google Stadia bukanlah layanan cloud gaming pertama yang ada di dunia. Namun reputasi Google membuat banyak orang menetapkan ekspektasi yang tinggi terhadapnya. Google sendiri juga menjanjikan sejumlah inovasi canggih saat mengumumkan layanan cloud gaming-nya tersebut tahun lalu.

Namun kalau menurut CEO Take-Two Interactive (perusahaan induk Rockstar Games maupun 2K Games), Strauss Zelnick, janji-janji itu terkesan berlebihan dan berujung pada kekecewaan konsumen. Pernyataan tersebut beliau sampaikan saat menjadi pembicara di acara Bernstein Annual Strategic Decisions Conference.

Kemungkinan besar pernyataan soal janji yang berlebihan itu merujuk pada tweet Phil Harrison berikut ini. Vice President Google itu bilang bahwa semua game di Stadia akan berjalan pada resolusi 4K, tapi kenyataannya tidak demikian. Game seperti Red Dead Redemption 2 maupun Doom Eternal ternyata berjalan di resolusi 1080p sebelum akhirnya di-upscale menjadi 4K.

Red Dead Redemption 2

Opini CEO Take-Two ini sangat kontras dibanding optimismenya pasca pengumuman perdana Stadia tahun lalu, dan beliau juga banyak berkomentar soal aspek bisnis Stadia. Salah satunya, Strauss ragu bahwa Stadia punya target konsumen yang besar.

“Keyakinan bahwa streaming bakal menjadi transformatif didasari oleh anggapan bahwa ada banyak orang yang sangat tertarik dan mau membayar untuk menikmati hiburan interaktif, tapi tidak mau memiliki sebuah console. Saya tidak yakin kenyataannya demikian,” ungkap Strauss.

Pun begitu, Strauss yakin cloud gaming bakal sukses seiring berjalannya waktu. Meski kurang sesuai ekspektasi, layanan seperti Stadia tetap berjasa menambahkan konsumen baru buat publisher dan developer game. Itulah mengapa Stadia masih punya game keluaran Take-Two di katalognya, meski memang sejauh ini baru ada tiga, yaitu Borderlands 3, NBA 2K20, dan Red Dead Redemption 2 itu tadi.

Bandingkan dengan Nvidia GeForce Now, yang sama sekali tidak menawarkan game terbitan Take-Two. Strauss lanjut menjelaskan bahwa Take-Two bakal terus mendukung layanan cloud gaming papan atas selama model bisnisnya masuk akal, dan dari sini bisa kita simpulkan bahwa Take-Two tidak setuju dengan model bisnis yang diterapkan Nvidia, yang memanfaatkan platform distribusi eksternal seperti Steam dan Epic Games ketimbang platform-nya sendiri (seperti kasusnya pada Stadia).

Sumber: GameSpot.

Akhiri Kontroversi, Nvidia Terapkan Kebijakan Baru untuk GeForce Now

Pasca perilisan resminya, GeForce Now terus mendapat banyak perhatian di industri gaming. Sayang perhatian tersebut lebih mengarah ke sisi negatifnya, di mana banyak publisher game ternama yang mangkir dan memutuskan untuk menarik semua game-nya dari katalog GeForce Now.

Menyimpulkan bahwa Activision Blizzard, Bethesda, 2K Games dan nama-nama besar lain di dunia gaming yang meninggalkan GeForce Now sebagai korporasi yang serakah adalah reaksi yang paling gampang kita berikan sebagai konsumen. Namun di saat yang sama, kita tidak boleh mengabaikan sudut pandang developer itu sendiri.

Seorang developer indie bernama Raphael van Lierop sempat bercerita di Twitter bahwa Nvidia mencantumkan game buatannya, The Long Dark, di katalog GeForce Now tanpa izin. Poin yang ingin dia sampaikan adalah, developer berhak mengatur di mana saja game garapannya eksis, sebab ini merupakan bagian dari strategi pemasaran mereka dalam menjalankan bisnis di industri gaming.

Yup, bisa jadi sumber perkaranya memang hanya sesimpel seputar perizinan, bukan perkara duit seperti yang banyak konsumen asumsikan. Itulah mengapa Nvidia memutuskan untuk mengambil kebijakan baru: mulai sekarang, suatu game baru bisa muncul di katalog GeForce Now apabila developer dan publisher-nya sudah menyetujui.

Nvidia bilang bahwa respon developer dan publisher cukup positif terhadap kebijakan barunya. Sejauh ini sudah ada lebih dari 200 publisher yang setuju, termasuk salah satunya studio indie pimpinan Raphael van Lierop itu tadi, Hinterland.

Tanpa mengabaikan transparansi, Nvidia juga memaparkan bahwa sejumlah publisher masih belum punya strategi bulat seputar cloud gaming. Alhasil, Nvidia bakal menghapus semua game dari publisher yang belum menyetujui kebijakannya mulai tanggal 31 Mei mendatang.

Kebijakan baru ini pastinya bakal menghambat pertumbuhan katalog game milik GeForce Now. Pun begitu, para pelanggan setidaknya tidak perlu lagi khawatir game yang sedang asyik dimainkannya di GeForce Now tiba-tiba hilang begitu saja karena ditarik oleh publisher-nya.

Sumber: The Verge dan Nvidia.

Selain Epic Games, Ubisoft Juga Berikan Dukungan Penuh Terhadap GeForce Now

Kontroversi yang melanda GeForce Now masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Tiga publisher besar – Activision Blizzard, Bethesda dan 2K Games – sudah meninggalkan layanan cloud gaming tersebut, dan sekarang giliran Xbox Game Studios, Warner Bros. Interactive, Codemasters, dan Klei Entertainment yang menyusul.

Per 24 April, gamegame terbitan keempat publisher itu bakal dihapus dari katalog GeForce Now. Kendati demikian, Nvidia tampaknya sudah jauh lebih siap ketimbang sebelumnya dalam menghadapi kabar semacam ini; mereka bilang bahwa sampai akhir Mei mendatang, mereka bakal menambah sekaligus menghapus game dari katalog GeForce Now.

Di balik layar, Nvidia mengaku sudah menerapkan optimasi bersama platform distribusi digital macam Steam atau Epic Games Store dengan tujuan memudahkan para publisher yang berminat menawarkan game-nya di GeForce Now. Seandainya publisher berminat, game keluaran mereka bisa langsung tersedia di katalog GeForce Now pada hari peluncuran.

Dalam kesempatan yang sama, Nvidia boleh berbangga melihat 30 dari 40 game terpopuler di Steam sudah tersedia di platform cloud gaming mereka. Target menyuguhkan lebih dari 1.500 game mungkin masih jauh dari pencapaian, tapi setidaknya Nvidia menunjukkan bahwa mereka tidak patah semangat begitu saja hanya karena ada kesalahpahaman dengan pemain top di industri gaming.

Ya, publisher seperti Activision Blizzard, Bethesda, dan 2K Games itu tadi seakan tidak terima dengan fakta bahwa GeForce Now kini menarik biaya berlangganan pasca lepas dari status beta. Sebaliknya, Epic Games justru melihat GeForce Now sebagai layanan cloud gaming paling bersahabat bagi pihak developer sekaligus publisher, dan itu mendorong mereka untuk memberikan dukungan penuh.

Selain Epic, Ubisoft adalah pemain besar lain yang memberikan dukungan penuh kepada GeForce Now. Sebagian besar franchise AAA-nya sudah tersedia di GeForce Now – termasuk seluruh seri Assassin’s Creed dan Far Cry – dan sisanya diperkirakan bakal menyusul dalam beberapa minggu ke depan.

Sentimen positif yang serupa juga datang dari Bandai Namco dan Bungie. Keduanya sama-sama melihat GeForce Now sebagai medium yang efektif untuk menarik lebih banyak pemain baru, khususnya mereka yang tidak punya perangkat yang cukup mumpuni untuk memainkan game berat seperti Destiny 2.

Sumber: Nvidia.

Google Gratiskan Akses ke Stadia Pro Selama 2 Bulan

Disiapkan sebagai cara alternatif bermain game bagi mereka yang tak punya hardware khusus gaming, Google Stadia pada dasarnya bisa diakses tanpa perlu membayar. Namun jika Anda bersedia mengeluarkan uang US$ 10 per bulan dan jadi pelanggan level Pro, sejumlah fitur eksklusif di layanan on demand ini akan terbuka: laju stream lebih cepat, resolusi lebih tinggi, potongan harga, serta penawaran permainan-permainan gratis.

Stadia meluncur pada bulan November 2019 di 14 negara, dan memasuki kuartal kedua tahun ini, Google berencana untuk memperluas ketersediaannya – terutama di tengah ‘kondisi sulit’ seperti sekarang. Sebagai langkah awalnya, Google memberikan semua orang (yang berdomisili di 14 negara itu) kesempatan buat menikmati Stadia Pro gratis selama dua bulan. Kesempatan tersebut berlaku bagi seluruh pelanggan Stadia ataupun pengguna baru.

Mereka yang mendaftar akan mendapatkan akses langsung ke sekitar 10 permainan, yaitu Destiny 2: The Collection, Grid, Gylt, Metro Exodus, Steamworld Dig 2, Steamworld Quest: Hand of Gilgamech, Thumper, The Serious Sam Collection, Spitlings, dan Stacks on Stack. Di luar judul-judul tersebut, Anda tetap perlu membelinya. Namun tentu penawaran Google ini sama sekali tidak buruk, apalagi jika kita punya internet bekecepatan tinggi.

Jika Anda kebetulan sudah menjadi pengguna Stadia Pro, maka Anda tak perlu membayar selama dua bulan ke depan. Google juga memperkenankan siapa pun buat berhenti dari keanggotaan Pro, dan permainan-permainan yang telah dibeli akan tetap jadi milik mereka. Berdasarkan laporan PC Gamer, program Stadia Pro gratis ini diimplementasikan secara bertahap dalam waktu 48 jam sejak dimulai dan tak semua orang bisa langsung mengaksesnya.

Sayangnya untuk sekarang Stadia memang belum bisa digunakan oleh konsumen di tanah air, walaupun laman berbahasa Indonesia-nya mengindikasikan rencana Google buat menghadikannya di sini. Platform cloud gaming ini baru dapat dinikmati oleh konsumen dari Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Inggris Raya, Irlandia, Itali, Jerman, Kanada, Norwegia, Perancis, Spanyol, dan Swedia.

Jika kebetulan Anda tinggal di salah satu kawasan tersebut tapi belum familier dengan Stadia, Google tak lupa menyediakan panduan untuk bergabung ke layanannya. Pertama-tama, silakan daftarkan diri di Stadia.com, lalu unduh aplikasi mobile-nya (tersedia buat iOS maupun Android). Game-game Stadia juga bisa dimainkan dari PC desktop dan laptop via browser Chrome, serta tablet Chrome OS – menggunakan keyboard dan mouse atau controller.

Google menyadari dengan dilangsungkannya program ini, Stadia akan diserbu banyak orang. Dan demi mengurangi beban pada server, buat sementara resolusi 4K tidak bisa dipilih user Stadia Pro. Mereka hanya dapat bermain di 1080p. Meski begitu, developer menjamin gamer di PC tidak akan merasakan penurunan kualitas secara signifikan…

Sumber: Google.

Wawancara Singkat Skyegrid Tentang Kondisi Pasar Cloud Gaming dan Prospeknya

Layanan cloud gaming lokal Skyegrid belum lama ini menambahkan game baru pada katalognya. Bukan sembarang game, melainkan salah satu yang masuk kategori game sejuta umat, yaitu eFootball PES 2020 Lite garapan Konami.

Game ini sekarang sudah bisa dinikmati seluruh pelanggan Skyegrid, baik yang berlangganan paket bulanan, mingguan, ataupun hariannya. Dan karena game-nya sendiri gratis, pelanggan hanya perlu memiliki akun Steam (yang dapat dibuat secara gratis), tanpa ada biaya tambahan lagi.

Dibandingkan versi full-nya, PES 2020 Lite tidak dilengkapi fitur online multiplayer. Pun begitu, mode co-op atau Local Match tetap tersedia, dan Skyegrid melihat ini sebagai alternatif yang pas untuk menemani masa-masa swakarantina seperti sekarang.

Dengan masuknya PES 2020 Lite, Skyegrid kini sudah mempunyai total 87 judul game yang berbeda, dengan komposisi 50:50 untuk game berbayar dan game free-to-play. Pertanyaannya, apakah ke depannya Skyegrid juga bakal menghadirkan PES 2020 versi full?

“Betul, rencananya akan seperti itu,” jawab CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward, saat saya hubungi melalui email. “Karena gim ini juga didaulat jadi cabang olahraga e-sport di tingkat regional, bahkan internasional. Jadi, ini sekaligus komitmen Skyegrid dalam menciptakan channelchannel baru untuk bibit atlet e-sport di tanah air.”

Rolly lanjut menjelaskan bahwa PES 2020 Lite dipilih karena game-nya gratis dan mereka ingin memantau animo konsumen terlebih dulu. Kalau memang menjanjikan dan banyak konsumen yang tertarik, mereka akan segera menambahkan PES 2020 versi full.

Saya juga sempat menyinggung soal optimasi teknologi yang Skyegrid lakukan untuk game sejuta umat ini, dan Rolly bilang bahwa mereka belakangan gencar menerapkan optimasi algoritma dari sisi port forwarding software demi menekan angka input latency.

Juga baru pada Skyegrid adalah fitur hardware acceleration, yang memungkinkan game untuk memanfaatkan tenaga dari GPU milik PC atau laptop masing-masing pengguna. Singkat cerita, semua game dipastikan berjalan lebih mulus (frame rate-nya naik) dan stabil dibandingkan pada Skyegrid versi sebelumnya.

Kondisi pasar cloud gaming di Indonesia

PES 2020 Lite

Saya juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan kondisi pasar cloud gaming di Indonesia, dan apakah kehadiran game sejuta umat macam PES bisa membantu menarik minat konsumen secara signifikan.

“Kondisi pasar masih tetap tumbuh dan menjanjikan, meski saat ini masih relatif stagnan,” jawab Muhammad Chandrataruna yang menjabat sebagai Chief Communications Officer di Skyegrid. “Belum signikan. Karena tantangannya di Indonesia belum berubah: infrastruktur telekomunikasi yang belum merata dan lisensi game AAA yang masih mahal dan belum menaruh komitmen pada cloud gaming,” lanjutnya.

Pada kenyataannya, industri cloud gaming secara global juga masih menemui sejumlah tantangan. Kita tahu bahwa Google Stadia banyak dikeluhkan oleh pelanggannya, dan terkadang juga masih terkendala soal performa. Lebih parah lagi adalah problem yang dialami Nvidia GeForce Now, yang ditinggal oleh sejumlah publisher game ternama.

“Untuk PES sendiri, selama seminggu terakhir animonya sangat baik dan terus bertambah. Jumlah pelanggan Skyegrid pun bertumbuh signifikan, yang kami yakini karena terdorong anjuran pemerintah agar #dirumahaja,” lanjut Chandra. Bukan cuma di Indonesia, kenyataannya memang belakangan semakin banyak yang mengisi waktunya dengan bermain game, dan itu dibuktikan oleh rekor jumlah concurrent users Steam baru-baru ini.

Prospek cloud gaming ke depannya

Skyegrid

Terkait prospek cloud gaming, Chandra bilang prospeknya sangat menjanjikan, meski perjalanannya masih panjang. Beliau merujuk pada riset dari Qurate, yang meramalkan bahwa di tahun 2020 market size dari industri cloud gaming secara global akan menembus angka $317,9 juta.

“Negara-negara maju, seperti Amerika, China, Eropa, telah lebih dulu mendapatkan momentum ini, karena secara infrastruktur dan sumber daya, mereka jauh lebih siap. Indonesia tidak jauh tertinggal, namun untuk beberapa hal, kita terpaksa harus lebih sabar,” lanjut Chandra.

Kunci utama cloud gaming sejatinya adalah koneksi internet, dan kita semua tahu kondisi internet di Indonesia belum sebaik di negara-negara maju seperti yang disebutkan Chandra itu tadi. Di sinilah faktor optimasi itu penting, dan untungnya Skyegrid juga memperlakukannya sebagai salah satu prioritas.

Cloud gaming dan esports

CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid
CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid

Saya tahu, dua hal ini memang terkesan bertolak belakang. Di satu sisi esports mengharuskan game berjalan mulus dan tanpa lag sedikitpun agar performa pemainnya bisa maksimal. Di sisi lain cloud gaming justru masih dilanda problem input latency.

Namun anggap koneksi sudah bukan masalah dan cloud gaming tak lagi terkendala performa, mungkinkah ke depannya esports bisa dijalankan via cloud gaming?

“Saya yakin bisa, sebab salah satu, atau mungkin satu-satunya, teknologi yang akan menggantikan konsol seperti PlayStation dan Xbox, adalah cloud gaming,” jawab Rolly. “Sedangkan device-nya bisa jadi perangkat yang dipakai semua orang hari ini: laptop, all-in-one PC, smart TV, dan smartphone,” lanjutnya.

Rolly juga menuturkan bahwa keputusan soal esports dan cloud gaming ini tidak bisa sepihak saja, melainkan juga harus dirundingkan dengan pihak asosiasi, penyelenggara, pemerintah, publisher, dan lain sebagainya. “Mungkin 3 – 5 tahun lagi, saya perkirakan baru dimulai perumusannya. Sekarang masih terlalu dini untuk Indonesia,” tutup Rolly.

Kerja Sama dengan Unity, Google Umumkan Program Stadia Makers

Perlahan tapi pasti, kira-kira itu prinsip yang dipegang Google selama menjalani kiprahnya di bisnis cloud gaming lewat Stadia. Tidak sedikit pelanggan Stadia yang mengeluhkan minimnya koleksi game yang tersedia, tapi di satu sisi ini lebih baik daripada GeForce Now yang katalognya terus kehilangan gamegame AAA.

Stadia pada dasarnya berdiri di atas prinsip eksklusivitas. Berbagai upaya Google kerahkan demi melahirkan permainan-permainan baru buat platform-nya, mulai dari mengakuisisi developer game indie sampai membuka studio masif buat tim developer mandirinya, Stadia Games and Entertainment.

Yang terbaru, Google bekerja sama dengan Unity untuk mengadakan program Stadia Makers. Program ini ditujukan buat developer game indie yang tertarik memublikasikan karyanya secara mandiri (tidak di bawah publisher tertentu) melalui Stadia. Menariknya, game-nya tidak harus eksklusif untuk Stadia, akan tetapi Google menuntut agar game-nya tersedia di Stadia pada hari peluncurannya.

Ada tiga keuntungan yang bisa didapat developer yang tergabung dalam program ini. Yang pertama adalah bantuan teknis dari Unity, kemudian disusul oleh development kit gratis (hingga 5 set, tergantung ukuran tim developer masing-masing). Terakhir dan yang mungkin paling menarik adalah sejumlah pendanaan, yang diharapkan bisa menutupi sebagian dari biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan game multi-platform.

Lalu apa saja syaratnya? Cukup mudah, developer diwajibkan menggunakan engine Unity versi 2019.3 atau yang lebih baru, dan jadwal perilisan game-nya harus di kisaran tahun ini atau 2021. Pendaftarannya sekarang sudah dibuka.

Sumber: GamesIndustry.biz dan Stadia.

Microsoft Mulai Menguji Fitur Game Stream xCloud di PC

Sebagai upaya menyediakan akses konten dari lebih banyak platform, Microsoft memulai sesi uji coba Project xCloud di bulan Oktober 2019. Tak lama, developer turut mengadirkan tak kurang dari 50 permainan serta memperkenankan tester untuk menggunakan controller Sony DualShock. Lalu di tanggal 12 Februari kemarin, tes akhirnya diekspansi ke iOS – dengan sejumlah keterbatasan fitur.

Dilaporkan oleh The Verge, Microsoft kabarnya telah memperluas sesi uji coba layanan cloud gaming itu ke PC minggu lalu. Lewat versi preview, user dipersilakan untuk men-stream permainan Xbox ke perangkat ber-OS Windows 10. Buat sekarang, kapabilitas ini baru bisa dinikmati oleh staf Microsoft. Rencana Microsoft ke depan ialah menyajikan fitur tersebut melalui aplikasi Xbox Game Streaming yang dapat diunduh dari Windows Store.

Sama seperti di Android dan iOS, agar bisa menggunakan Xbox Game Streaming, Anda membutuhkan controller Xbox One dengan sambungan Bluetooth aktif, akun Microsoft, serta koneksi internet yang memadai. Aplikasi ini mendukung dua metode streaming konten, yaitu cloud lewat blade server xCloud (ala Stadia atau GeForce Now) serta secara lokal atau remote – itu artinya Anda perlu memiliki game dan console Xbox One.

IMG_23032020_124145_(1000_x_650_pixel)

Pengalaman penggunaan game stream di PC hampir serupa di platform lain. Ia menyuguhkan interface serta cara mengakses permainan yang sama. Namun tingkat resolusi streaming di periode preview internal masih dibatasi di 720p. Target minimalnya tentu saja adalah full-HD 1080p, dan ini yang akan didapatkan oleh konsumen nanti. Ada indikasi cukup kuat bahwa Microsoft sebentar lagi akan melangsungkan pengujian secara lebih luas, diprioritaskan pada pemilik Xbox One.

Di periode tes dan pengembangan ini, Microsoft sudah memperbarui blade server xCloud, kini ditopang oleh delapan Xbox One S (sebelumnya hanya ditunjang empat unit console). Developer juga tengah bersiap-siap melakukan transisi untuk menggunakan prosesor Xbox Series X. CPU next-gen ini sangat bertenaga, dan di atas kertas, ia mampu menjalankan empat permainan Xbox One S sekaligus. Chip tersebut turut dibekali video encoder versi baru dengan kecepatan hingga enam kali lipat dari encoder yang digunakan oleh server xCloud.

IMG_23032020_123852_(1000_x_650_pixel)

Microsoft berencana untuk melepas xCloud di tahun ini dan mengintegrasikannya ke layanan Xbox Game Pass sehingga memungkinkan pelanggan premium memanfaatkan fitur stream (baik remote/local atau cloud). Dan tak lama setelah itu, developer akan menghadirkan dukungan DualShock serta streaming ke Windows 10.

Gambar: The Verge.

Samsung Tutup Layanan Streaming Game-nya, PlayGalaxy Link

Tepat tanggal 27 Maret 2020 nanti, Samsung bakal menghentikan layanan streaming game-nya, PlayGalaxy Link. Kabar ini cukup mengejutkan mengingat versi beta layanan tersebut baru diluncurkan menjelang akhir tahun lalu.

Umur PlayGalaxy Link yang begitu singkat itu rupanya bukan akibat persaingan. Kemungkinan besar penyebabnya adalah keputusan Samsung sendiri, yang sejak bulan lalu telah bermitra dengan Microsoft di ranah cloud gaming. Banyak yang memprediksi kemitraan tersebut bakal berujung pada ketersediaan layanan xCloud di sejumlah ponsel Samsung ke depannya.

Microsoft xCloud dan PlayGalaxy Link sebenarnya cukup berbeda. xCloud menyajikan game via server terpusat, sedangkan PlayGalaxy Link mengandalkan sambungan antara PC dan smartphone. Keduanya bukanlah layanan yang bersaing secara langsung. Saingan PlayGalaxy Link sebenarnya adalah Steam Link.

Baik PlayGalaxy Link maupun Steam Link memungkinkan kita untuk memainkan game PC di smartphone via sambungan Wi-Fi. Game-nya harus kita beli dan install dulu di PC sebelum bisa di-stream. Microsoft xCloud di sisi lain meneruskan game langsung dari cloud (server) ke smartphone seperti Google Stadia dan GeForce Now.

Mungkin Samsung akhirnya menilai xCloud sebagai solusi streaming game yang lebih ideal, dan penutupan PlayGalaxy Link ini terpaksa dilakukan supaya sumber dayanya tidak terus tersia-siakan. Di sisi lain, Parsec yang menjadi fondasi teknologi PlayGalaxy Link masih akan tetap beroperasi tanpa terpengaruh pengumuman ini.

Sumber: Gamasutra.

 

Permainan 2K Games Ditarik dari GeForce Now, Epic Games Umumkan Dukungan Penuh

Ketika banyak orang berharap agar platform cloud gaming lepas landas dengan mulus, keadaan malah kurang terlihat prospektif bagi dua layanan yang belum lama ini meluncur (atau melepas status beta): Google Stadia dan GeForce Now. Pelanggan Stadia mengeluhkan minimnya pilihan konten dan fitur, sedangkan GeForce Now terus menerus kehilangan dukungan publisher third-party ternama.

Setelah Activision Blizzard dan Bethesda, minggu lalu Nvidia mengumumkan ditariknya permainan-permainan 2K Games dari layanan gaming on demand mereka. Pihak 2K Games tidak menjelaskan alasan penarikan tersebut – saya menduga dasar argumennya hampir serupa Activision dan Bethesda – tapi tentu hal ini merupakan pukulan menyakitkan bagi Nvidia. Platform mereka kehilangan lagi 20 judul esensial, hampir semuanya adalah seri franchise terkenal.

Per hari Jumat tanggal 6 Maret minggu lalu, pelanggan GeForce Now tak lagi bisa menikmati seri BioShock, Borderlands, NBA, WWE, Sid Meier’s Civilization, termasuk pula game Mafia III, The Darkness II, The Golf Club 2019, Warriors Orochi 4 dan XCOM II. Daftar lengkapnya dapat Anda simak di page pengumuman GeForce Now. Di sana Nvidia juga menyampaikan, “Saat ini kami tengah bekerja sama dengan 2K Games buat menghadirkan lagi permainan-permainan mereka.”

Namun ada secercah harapan bagi GeForce Now (dan cloud gaming secara umum) di tengah awan mendung ini. Melalui Twitter, CEO Epic Games Tim Sweeney mengumumkan dukungan penuh perusahaannya terhadap layanan besutan Nvidia itu. Epic Games berencana untuk terus menghadirkan permainan-permainan ‘eksklusif’ mereka di sana dan akan menyempurnakan integrasi antara Epic Store dengan GeForce Now.

Menurut Sweeney, Nvidia GeForce Now ialah layanan streaming paling bersabahat bagi developer serta publisher, dan sama sekali tidak membebani penjualan game dengan potongan pajak. Perusahaan video game yang ingin memajukan industri ini dan membuatnya jadi lebih sehat disarankan untuk membantu menyuburkan pengembangan platform seperti GeForce Now.

Selain Epic Games, CD Projekt Red adalah nama lain yang vokal mendukung GeForce Now. Di tanggal peluncurannya nanti, permainan Cyberpunk 2077 yang Anda beli melalui Steam segera langsung dapat dinikmati via cloud. Dan saat artikel ini ditulis, saya juga melihat tingginya permintaan konsumen terhadap integrasi antara GOG dan GeForce Now. Dikelola sendiri oleh CD Projekt, GOG (dahulu dikenal sebagai Good Old Games) ialah satu dari sedikit platform distribusi digital bebas-DRM.

Lewat sesi pengujian, GeForce Now terbukti berjalan lebih baik dibanding Stadia di sambungan internet yang ‘pas-pasan’. Itu artinya – walaupun belum tersedia resmi di sini – ia lebih kompatibel dengan gamer di Indonesia dibandingkan penawaran dari Google.

Via The Verge & PC Gamer.