Layanan PlayStation Now Next-Gen Bisa Dinikmati Tanpa Perlu Memiliki Console

Pengungkapan detail hardware console next-gen Sony yang dilakukan oleh lead system architect Mark Cerny bulan April lalu membuat perhatian khalayak tertuju pada perusaan Jepang itu. Di minggu ini, tersingkap lagi sejumlah informasi terkait PlayStation ‘5’. Yang pertama ialah dari jurnalis Wall Street Journal Takashi Mochizuki terkait aspek performa dan kedua datang dari pertemuan Sony bersama para investor.

Melalui Twitter-nya, Takashi Mochizuki mengunggah satu video yang memperlihatkan perbandingan waktu load antara PlayStation 4 Pro dengan hardware next generation. Di sana, ‘PS5’ mampu membuka game Marvel’s Spider-Man dalam waktu 0,83 detik berkat pemanfaatan SSD, sedangkan PS4 Pro membutuhkan 8,1 detik. Video tersebut mengonfirmasi laporan Wired sebelumnya.

Selanjutnya, dokumen Sony IR Day menyingkap ke arah mana perusahaan akan mengembangkan layanan PlayStation Now mereka. Kita tahu, minggu lalu Sony mengonfirmasi kemitraan strategis dengan Microsoft untuk bersiap-siap menghadapi kompetisi dari Google dan Amazon lewat layanan cloud gaming  mereka. Ke depan, sang console maker berencana buat meng-upgrade kapabilitas PlayStation Now.

PlayStation Now ialah layanan cloud gaming berlangganan, yang memungkinkan kita menikmati game-game PS2, PS3 dan PS4 dari unit console PlayStation 4 ataupun PC. Tentu saja buat menggunakannya, ada syarat yang mesti terpenuhi. Pertama, Anda harus memiliki console current-gen Sony, lalu pengguna juga perlu menyiapkan controller berbasis Xinput untuk mengakses permainan dari perangkat non-PlayStation.

Nantinya, syarat-syarat ini akan berubah. Sony menjelaskan bahwa pengalaman penggunaannya akan diperkaya, kemudian kontennya dapat diakses secara seamless kapan pun dan dari mana pun, dengan atau tanpa console PlayStation. Di sini, ‘tanpa console‘ perlu ditekankan karena selama ini jalan masuk ke PS Now cukup terbatas dan mungkin itulah alasan mengapa tak banyak orang memakainya (ada sekitar 700 ribu pelanggan di seluruh dunia). Namun kemudahan akses berpeluang mengubah kondisi tersebut.

Menyediakan kemudahan akses ke konten PlayStation merupakan taktik jitu untuk menangkal desakan dari Google Stadia. Jika nanti sudah tersedia, aspek berikutnya yang perlu Sony perhatikan adalah jangkauan layanan. Karena berbicara soal infrastruktur, Google jauh lebih siap dari mereka. Sony sendiri punya keunggulan di faktor konten, terutama permainan-permainan eksklusif.

Sejauh ini baru Doom Enternal dan Assassin’s Creed Odyssey yang dikonfirmasi akan tersedia di Stadia, tapi Google sendiri telah mendirikan studio first-party Stadia Games and Entertainment yang dipimpin oleh mantan studio head Ubisoft dan EA, Jade Raymond.

Via DigitalTrends.

Sony Gandeng Microsoft Demi Menyongsong Era Cloud Gaming

Masa-masa transisi ke console next-gen akan sangat menarik karena para pemain lama di ranah ini, terutama Sony dan Microsoft, mendapatkan kompetisi yang tak terduga. Google resmi menyingkap layanan on demand Stadia di GDC 2019, dan sejak awal tahun ini, ada laporan yang menyatakan bahwa e-commerce raksasa Amazon juga tengah mengembangkan platform cloud gaming-nya sendiri.

Sistem cloud sudah lama menjadi bagian dari layanan PlayStation maupun Xbox, namun Sony dan Microsoft mengambil arahan berbeda dalam menyajikannya. Kita tahu, rivalitas antar kedua perusahaan telah berlangsung selama hampir dua dekade, tapi ada sesuatu yang berubah di era naik daunnya gagasan cloud gaming. Minggu lalu, secara mendadak Sony dan Microsoft mengumumkan kerja sama demi mengembangkan dan menyajikan layanan game streaming.

Melalui kemitraan strategis ini, Sony Interactive Entertainment mendapatkan akses ke teknologi cloud Microsoft Azure. Langkah tersebut boleh jadi diambil setelah Sony bersusah payah menggarap sistem game stream-nya selama tujuh tahun. Meski sudah tersedia, minat gamer untuk menggunakan PlayStation Now tidak begitu besar, lalu jangkauannya juga cukup terbatas – hanya tersedia di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa.

Yang mengejutkan lagi ialah, berdasarkan laporan sejumlah informan, negosiasi antar kedua perusahaan telah dilakukan sejak tahun lalu dan ditangani langsung oleh petinggi Sony di Tokyo tanpa sepengetahuan divisi PlayStation (Sony Interactive Entertainment). Akibatnya, unit gaming mereka juga kaget mendengar berita ini. Kabarnya, para manager harus turun tangan buat menenangkan stafnya dan meyakinkan mereka bahwa rencana pengembangan console next-gen tidak terpengaruh.

Sedikit penjelasan bagi Anda yang masih awam terhadap konsep cloud gaming (disebut juga layanan game streaming atau on demand): cloud gaming memungkinkan kita menikmati permainan video dari perangkat apapun (misalnya smartphone atau PC low-end) yang memiliki akses internet memadai. Seluruh proses pengolahan data dilakukan di sisi server, maka dari itu platform ini tidak menuntut spesifikasi hardware tinggi.

Satu hal yang menjadi rintangan terbesar bagi platform game streaming ialah aspek dukungan infrastruktur internet. Idealnya, permainan harus berjalan lancar di setting grafis ‘memuaskan’ (resolusi 1080p dan 60fps adalah standar paling rendah) serta mampu merespons input layaknya dimainkan dari console atau PC. Rangkuman lengkap dari status cloud gaming saat ini bisa Anda simak di sini.

Memang perlu waktu cukup lama bagi layanan game stream untuk benar-benar matang, namun melihat kondisi sekarang, ke sanalah tren gaming bergerak. Dari perspektif kesiapan dalam menyongsongnya, Sony sejujurnya terlihat tertinggal. Microsoft sendiri berada di posisi yang cukup aman mengingat mereka ialah penyedia layanan cloud terbesar kedua di dunia.

Sumber Bloomberg.

Menilik Solusi Cloud Sebagai Platform Gaming Masa Depan dan Menakar Implikasinya Bagi Industri

Impian manusia buat menikmati video game tanpa repot-repot menyiapkan hardware telah ada lebih dari satu dekade silam. Saat membahas konsep ini, nama OnLive mau tak mau akan disebutkan karena ia merupakan pionir penyedia cloud gaming kelas konsumen. OnLive memang sudah berhenti beroperasi, namun ada banyak perusahaan yang mengadopsi model bisnisnya, termasuk produsen console Sony Interactive Entertainment.

Nama PlayStation Now mungkin tak asing lagi di telinga Anda. Dalam membangun layanan cloud khusus gamer console current generation-nya, Sony memanfaatkan aset OnLive serta infrastruktur Gaikai yang mereka ambil alih sebagai pondasinya. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak bermunculan pula platform-platform gaming on demand sejenis, termasuk brand-brand yang dikembangkan oleh developer lokal seperti gameQoo (dulu bernama Emago) dan Skyegrid.

Meski begitu, tema cloud gaming baru betul-betul lepas landas dan menjadi perhatian publik ketika sejumlah raksasa teknologi mengonfirmasi rencana untuk turut menggarapnya, yakni Google serta Microsoft (termasuk Amazon, menurut rumor yang beredar). Kedua perusahaan memiliki pengalaman panjang di ranah penyediaan platform gaming dengan arahan yang berbeda: Google sebagai ‘penguasa’ mobile, sedangkan Microsoft sudah lama berbisnis di segmen PC gaming serta Xbox. Google resmi memperkenalkan Stadia di GDC 2019, dan Microsoft berjanji  buat mengungkap xCloud lebih jauh di E3 2019.

Gears of War 4

 

Kondisi saat ini

Sejauh ini, penghalang terbesar bagi adopsi layanan cloud gaming adalah ketersediaan sambungan internet yang memadai. Sebetulnya, kendala itu tidak hanya dirasakan oleh konsumen negara berkembang (seperti Indonesia), tapi juga di negara maju. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan biasanya membatasi jangkauan servis. Hingga sekarang, PlayStation Now baru hadir di 19 negara; lalu GeForce Now cuma dapat diakses dari Amerika, Kanada, dan sejumlah kawasan Eropa.

Beberapa platform lain yang lebih kecil – misalnya Shadow – bahkan dikhususkan ke satu wilayah saja (Perancis). Strategi serupa juga dilakukan oleh pengembang platform on demand lokal. Demi menjamin kelancaran penyajian, server telah dilokasikan di Indonesia, lalu developer tak lupa mematok kecepatan internet minimal yang diperlukan agar servis berjalan optimal.

Semuanya memang terdengar menjanjikan, tetapi pada kenyataannya, banyak orang tetap merasa skeptis cloud gaming akan betul-betul menggantikan penyuguhan video game secara konvensional. Saya sempat membaca testimoni PC Gamer dan GameSpot soal tingginya latency Google Stadia di GDC 2019 yang mempengaruhi kenyamanan bermain.

Di sisi lain, beberapa tahun silam saya pernah merasakan langsung mulusnya Nvidia Grid (sekarang dikenal sebagai GeForce Now) via Nvidia Shield: Borderlands 2 dijalankan di sebuah lobby hotel di kota Taipei dengan server yang berada di Jepang. Saya juga menjadi salah satu orang yang cukup beruntung menjajal Rise of the Tomb Raider di Skyegrid beberapa bulan sebelum peluncurannya. Sensasinya luar biasa. Saya membayangkan, mungkin seperti inilah pengalaman blockbuster gaming di masa depan.

Memuluskan koneksi dan memangkas latency sudah pasti jadi perhatian utama penyedia jasa gaming on demand. Tapi saya melihat adanya masalah besar lain: konten. Mayoritas platform cloud gaming di Indonesia belum mempunyai permainan eksklusifnya sendiri. Saat ini mereka baru menyiapkan wadah untuk bermain tanpa perangkat gaming dedicated (walaupun brand seperti Skyegrid punya keinginan buat menjadi publisher game lokal).

Doom Eternal

Sejatinya, Skyegrid merupakan ekspansi dari library game Anda. Memang ada banyak permainan gratis yang dapat segera dimainkan pelanggan (misalnya Dota 2, Apex Legends, Fortnite), namun kita harus tetap memiliki/membeli game-game premium (Resident Evil 2 remake, Grand Theft Auto V, Fallout 4) terlebih dulu agar bisa mengaksesnya via cloud.

Bukan cuma mengandalkan konten dari developer third-party, Skyegrid juga bersandar pada platform distribusi berbeda – contohnya Steam, Origin,  Uplay dan Microsoft Store. Dukungan nama-nama populer ini memang terdengar positif, namun bayangkan apa yang terjadi jika salah satu (atau beberapa) di antara brand tersebut turut meluncurkan jasa on demand-nya sendiri?

Jika hal ini terjadi, tidak ada alasan kuat bagi pengguna untuk meneruskan langganannya.

gameQoo sendiri punya strategi bisnis yang cukup berbeda, dan sejujurnya, lebih simpel dari Skyegrid. Dengan jadi pelanggannya, kita tidak perlu lagi membeli permainan. Semua game di sana merupakan buah dari kolaborasi langsung bersama publisher. Namun kelemahannya bisa segera Anda temui begitu membuka daftar permainan: jumlah judul populernya lebih sedikit dari Skyegrid, dan jarang ada permainan yang betul-betul baru. Dengan begitu, kesempatannya untuk menarik perhatian kalangan mainstream jadi lebih kecil.

Stellaris.

 

Kata para penyedia jasa cloud gaming lokal

Lewat app messaging, CEO gameQoo Izzuddin Al Azzam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang perusahaannya hadapi dalam menggaet pelanggan bukan disebabkan oleh kendala teknis, tetapi lebih dikarenakan karakteristik konsumen di Indonesia. Hingga sekarang, gameQoo terus berupaya untuk mengubah pola pikir gamer agar tidak lagi membajak permainan. Jika belum mampu membeli secara sah, akan lebih baik bagi mereka buat beralih ke layanan berlangganan.

Dalam kiprahnya, Emago yang terlahir dari program inkubasi Digital Amoeba gagasan Telkom memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari operator seluler tersebut karena munurut  Izzuddin, kunci dari kesuksesan jasa cloud gaming terletak pada kemitraan dan networking. Menurutnya, Telkom merupakan pemegang jaringan komunikasi terluas di Indonesia, dan hal ini dapat memberikan gameQoo keunggulan.

CEO Skyegrid Rolly Edward punya pandangan lain mengenai tantangan utama penetrasi cloud gaming di nusantara. Baginya, edukasi mengenai teknologi cloud harus dilakukan secara bertahap dan memang membutuhkan waktu, apalagi gaming on demand ialah sebuah gagasan baru. Bahkan penyedia jasa kelas global menghadapi kendala serupa. Namun sejauh ini, proses yang developer lalui berjalan cukup baik meski sedikit meleset dari perkiraan sebelumnya.

Rolly menganalogikan cloud gaming dengan ATM. Kira-kira perlu satu dekade bagi nasabah bank untuk terbiasa menggunakan mesin perbankan otomatis buat bertransaksi. Sekali lagi ia berargumen soal pentingnya pengenalan oleh berbagai pihak – baik penyedia maupun media secara bersama-sama – demi mempersingkat waktu adopsinya. Melihat dari perspektif ini, Rolly dan tim Skyegrid sangat antusias menyambut kehadiran Google Stadia, Apple Arcade serta Microsoft xCloud.

Dengan berkecimpungnya nama-nama besar tersebut, pemain lokal tentu saja perlu mengantisipasi kompetisi yang tak bisa dihindari. Skyegrid sudah menyiapkan strategi pemasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengalaman penggunaan, termasuk memudahkan transaksi. Satu keunggulan yang dimiliki developer cloud gaming lokal adalah mereka lebih mengenal karakteristik gamer di Indonesia.

Menurut Rolly, setidaknya ada dua aspek yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Indonesia: harga terjangkau dan kepuasaan pemakaian. Hal-hal inilah yang jadi fokus bagi tim Skyegrid. Buat sekarang, platform telah mendukung konten-konten Steam dan Origin, dan developer sedang dalam tahap merangkul Epic Games Store dan Uplay. Mereka berharap prosesnya dapat rampung di tahun ini juga.

Sang CEO Skyegrid punya pendapat senada Izzuddin soal pentingnya kolaborasi. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Telkom. Skyegrid memiliki agenda buat meluncurkan ‘sesuatu yang baru’ bersama perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu. Rolly pribadi melihat gameQoo sebagai kawan seperjuangan – bukan sekadar kompetitor. Baginya, kedua brand bisa sama-sama berjuang mengedukasi pasar.

Apex Legends.

 

Melihat ke depan

Meningkatnya kompetisi menandai pegerakan ke arah yang tepat dan  gelombang cloud gaming kian terasa di tahun ini. Setelah gameQoo dan Skyegrid, ada peluang besar kita akan menyaksikan kelahiran layanan-layanan on demand lain, boleh jadi mengusung model bisnis berbeda. Dalam bincang-bincang kami, Rolly Edward mengutip sebuah pandangan dari boss Ubisoft: diprediksi hanya akan ada satu generasi console lagi sebelum kita semua beralih ke game streaming.

Skenario ini mengagumkan sekaligus mengerikan. Mengagumkan, karena kemudahan akses ke konten hiburan memungkinkan semua orang jadi gamer tanpa hambatan modal. Mengerikan, karena perubahan masif dari cara orang mengonsumsi konten memaksa perusahaan-perusahaan teknologi merombak strategi bisnis. Dengan merakyatnya gaming on demand, para produsen hardware akan kesulitan untuk menjual produknya secara tradisional.

Revolusi bukanlah hal baru di ranah video game. Di tahun 70- sampai 80-an, permainan-permainan elektronik cuma bisa dinikmati dengan datang ke arena arcade. Namun semuanya berubah ketika console diperkenalkan dan mempersilakan kita bermain di rumah. Beberapa tahun sesudahnya, kehadiran internet dan platform digital juga berdampak pada bisnis distribusi game. Mayoritas gamer di PC telah mengucapkan selamat tinggal pada versi fisik permainan serta merangkul metode digital, dan perusahaan console  mulai mengikuti tren ini.

Beralih ke masa kini, lepas landasnya konsep streaming game ditanggapi pemilik platform dan console maker secara berbeda. Lewat PlayStation Now, Sony memanfaatkan metode cloud berbayar sebagai ekspansi layanan PlayStation. Tapi sejauh yang sudah diketahui, console next-gen mereka terhidang secara tradisional, dititikberatkan pada peningkatan performa dan kualitas konten. Microsoft sendiri telah mengonfirmasi pengembagan Xbox ‘Scarlett’, kemungkinan disajikan dalam beberapa varian, salah satunya dikabarkan berupa set-top box pendukung streaming game.

Forza Horizon 4

Sebagai perusahaan yang terbilang lebih konservatif dibanding Microsoft dan Google, Sony mengakui bagaimana cloud gaming berpeluang mengancam bisnisnya. Namun mereka juga berpendapat masih butuh waktu cukup lama hingga para penyedia menemukan model bisnis ideal dalam menyuguhkan layanan streaming game. Sampai saat itu tiba, memiliki perangkat gaming tradisional ialah cara paling mudah untuk menikmati permainan video.

Di PC, potongan kecil dari teknologi cloud sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di platform-platform distribusi semisal Steam, EA Origin dan Uplay. Satu contohnya ialah pemanfaatan sistem cloud save, berperan untuk memastikan progres dan achievement permainan tersimpan aman ‘di awan’, serta dapat dilanjutkan dari mana pun ketika Anda menginginkannya. Menakar dari momentumnya, PC dan perangkat mobile akan jadi ladang paling subur bagi persebaran layanan on-demand.

Sejumlah ahli memprediksi bahwa bisnis gaming on demand akan melesat naik begitu 5G tersedia secara luas. Dan kabar gembiranya, 5G tidak lagi berada di luar genggaman kita. Perangkat-perangkat pendukung konektivitas baru tersebut mulai bermunculan di tahun ini, dan data terbaru Qualcomm mengindikasikan proses adopsi serta penyebaran yang jauh lebih cepat dibanding 4G. Yang membuatnya lebih menarik lagi: Skyegrid akan dilibatkan dalam demonstrasi 5G oleh ‘mitra telekomunikasi dalam negeri’.

Transisi dari platform gaming tradisional ke jasa on demand juga sempat diungkapkan oleh tim analis Jon Peddie Research belum lama ini. Mereka memperkirakan akan ada jutaan gamer PC – khususnya pengguna sistem entry-level hingga kelas menengah dengan hardware seharga US$ 1.000 ke bawah – beralih menjadi penikmat ‘TV gaming‘. Uniknya, mereka tak hanya hijrah jadi pemain console – sebagian diprediksi memilih buat berlangganan layanan streaming game.

Resident Evil 2

 

Penutup

Suka tidak suka, cloud gaming akan tiba dan kehadirannya dipastikan akan mereformasi cara kita mengonsumsi konten hiburan serta bagaimana publisher/developer mendistribusikannya. Di perspektif pengguna, beragam kemudahan ditawarkan olehnya: selama berlangganan layanan tersebut, tak ada lagi game yang tidak bisa Anda mainkan. Selain itu, sistem cloud juga menyederhanakan implementasi update atau patch. Karena semuanya dilakukan di sisi server, kita tidak perlu lagi menunggu prosesnya hingga selesai.

Dan tanpa halangan berupa keterbatasan hardware di sisi pengguna, produk-produk digital para developer bisa sampai di tangan lebih banyak konsumen, dan keadaan ini sudah pasti berdampak positif bagi pemasukan mereka. Tersedianya cloud gaming secara masif juga mempersilakan studio-studio kecil buat menyodorkan kreasinya langsung ke gamer dan berperan sebagai dongkrakan buat bersaing dengan developer-developer kelas AAA. Terbuka peluang besar bagi tim indie untuk berjaya di era gaming on demand.

Doom Eternal

Dalam wawancara bersama Eurogamer (via Gamasutra), game director sekaligus penulis veteran Amy Hennig (berjasa dalam pengembangan seri Legacy of Kain, Jak and Dexter, Uncharted) menyampaikan bahwa layanan-layanan streaming sejenis Stadia akan memberikan developer kebebasan finansial, dan mendorong mereka untuk mengambil resiko demi mengeksekusi ide-ide baru di gaming.

Sekali lagi, era cloud gaming tak bisa dielakkan. Pertanyaannya kini ialah: seberapa siap kita untuk menyambutnya?

Terima kasih kepada Rolly Edward dan tim Skyegrid serta Izzuddin Al Azzam dan tim gameQoo.

Analis: 20 Juta Gamer PC Akan Beralih ke Console di Tahun 2022

Persaingan antar fans sudah ada dari sejak lahirnya video game. Setelah era keemasan Atari, Nintendo dan Sega usai, kini rivalitas panas terjadi berlangsung antara konsumen setia Sony dan Microsoft. Fitur, hardware, serta konten biasanya yang paling sering dibahas dalam perdebatan itu. Tapi mereka yang paham aspek teknis setuju, PC merupakan platform gaming paling superior di antara semunya.

Bahkan ketika lihat dari satu layanan saja, Anda bisa menakar sendiri besarnya jumlah penikmat game PC: ada 47 juta pengguna aktif mengakses Steam setiap harinya. Data Statista sendiri menyebutkan ada 1,22 miliar gamer PC di tahun 2017 dan diperkirakan akan meningkat jadi 1,4 miliar di 2021. Uniknya, Jon Peddie Research melaporkan prediksi yang sangat berbeda. Menurut mereka, akan ada sekitar 20 juta pemain di PC beralih ke console dalam periode tiga tahun ke depan.

Jon Peddie menjelaskan bahwa pergeseran ini memiliki korelasi dengan penurunan pasar komputer personal. Satu pendorong dari migrasi tersebut adalah minimnya inovasi, kemudian produsen kini juga lebih lambat dalam memperkenalkan barang-barang baru. Menurut analis, perpindahan terbesar dilakukan oleh pengguna PC ‘low end‘ yang umumnya mempunyai sistem seharga US$ 1.000 ke bawah. Transisi didorong oleh meningkatnya kualitas panel TV, bertambah canggihnya teknologi semikonduktor di console, serta ketersediaan game-game eksklusif di sana.

JPR.

Menariknya, JPR sempat melihat kenaikan pembelian produk PC entry-level hingga kelas menengah dengan maksud digunakan sebagai mesin gaming. Namun menurut tim analis, hal tersebut tidak memberi dampak besar pada peningkatan volume. Dalam lima tahun ke depan, JPR memprediksi ada ratusan juta gamer PC berpindah ke ranah ‘TV gaming‘, dan sebagian dari mereka memilih untuk memanfaatkan layanan on demand. Saat itu, kondisi pasar jauh berbeda dari sekarang dan Hukum Moore akan kehilangan signifikansinya karena pencipta prosesor tidak bisa lagi menyusutkan ukuran transistor tiap 24 bulan.

Lalu apakah ini merupakan sebuah senja bagi industri PC gaming?

Tentu tidak jika Anda melihat dari perspektif yang lebih luas. Microsoft yang baru saja dinobatkan sebagai perusahaan satu triliun dolar mengungkapkan komitmennya untuk fokus di segmen gaming di PC lewat Windows 10. Dan dalam survei di Game Developers Conference 2017, 53 persen dari 4.500 developer yang berpartisipasi mengonfirmasi tengah mengembangkan permainan untuk PC. Persentase game console tampak lebih kecil, yaitu 27 persen di PS4, 23 persen di Xbox One, dan 3 persen untuk Switch.

Dan berbicara soal teknologi semikonduktor serta transistor, kita tahu Sony telah mengonfimasi penggunaan chip Ryzen 3 dan Radeon Navi di PlayStation ‘5’. Keadaan tersebut memperlihatkan kian miripnya arsitektur console dengan PC, memastikan pengembangan game multi-platform dan proses porting jadi lebih mudah. Dan jangan heran jika PS5 tersedia nanti, prosesor 12- atau 16-core akan menjadi kian merakyat…

Via Digital Trends.

Berkenalan Dengan Emago, Platform Cloud Gaming Dalam Negeri

Cloud gaming? Istilah ini mungkin terasa asing, tapi jangan salah kira bahwa ini adalah bermain game di atas awan. Istilah cloud gaming ini sebenarnya digunakan untuk menjelaskan cara baru bermain game, yaitu dengan streaming konten game dari komputer server ke komputer pengguna. Tak terbayangkan? Itulah teknologi, berkat teknologi banyak hal jadi dimungkinkan, bahkan memunculkan suatu jenis produk baru yang tidak terpikirkan atau terasa asing sebelumnya.

Bicara soal cloud gaming, selain Google yang baru rilis Stadia, Indonesia ternyata punya teknologi serupa. Produk tersebut bernama Emago, yang sekarang berubah nama menjadi Gameqoo setelah diakuisisi oleh Telkom Indonesia. Penasaran dengan teknologi yang mungkin bisa menjadi tren baru di dalam gaming, kami pun mewawancara CEO dari Emago Cloud Gaming, Izzudin Al Azzam. Berikut hasil bincang-bincang kami.

Cloud Gaming, Ketika Main Game Jadi Ringan Seperti Streaming Video

Meskipun teknologi ini telah menjadi buah bibir belakangan, namun saya sendiri sejujurnya masih belum paham bagaimana teknologi cloud gaming bekerja. Azzam lalu menjelaskan teknologi ini seperti menjelaskannya kepada anak umur lima tahun, agar bisa dipahami oleh saya yang kadang gagap teknologi ini.

Agar lebih jelas Azzam menjelaskannya dengan cara teknis, tapi versi lebih sederhana. Jadi intinya begini, ada sebuah PC Server yang menjalankan sebuah game. Lalu dengan menggunakan internet, game yang dijalankan pada PC Server ditayangkan atau di-stream ke komputer yang kita gunakan.

Jadi sebenarnya, teknis cloud gaming bisa dibilang hampir sama persis dengan streaming video. Perbedaan utamanya mungkin ada pada dua hal: 1) Cloud gaming memungkinkan kita memberi input kepada konten yang di-stream, 2) Tak seperti streaming video, server cloud gaming membutuhkan komputasi grafis.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Walau teknologi ini masih sangat baru, namun Azzam mengaku sudah mulai mengembangkan Emago sedikit demi sedikit sejak tahun 2016 akhir. Awal pengembangannya cukup sederhana, ia hanya bermodal satu PC yang kuat untuk main game, internet, dan PC biasa saja untuk streaming konten game dari PC tersebut. Percobaan tersebut ternyata berhasil dan Azzam akhirnya mencoba untuk scale up atau membesarkan basis teknologi tersebut.

Landasan permasalahan Azzam ketika membuat Emago sebenarnya cukup sederhana. Sebagai gamers ia merasakan keresahan tersendiri, yaitu game PC yang terus rilis baru secara rutin, dan memiliki harga yang cukup mahal. Mencoba mempelajari apa yang dilakukan oleh negara maju, akhirnya tercetuslah percobaan pembuatan cloud gaming, dan sampai akhirnya memunculkan brand Emago. Ia membuat hal ini dengan harapan agar gamers di berbagai belahan Indonesia bisa mengakses game dengan lebih mudah dan murah; tak perlu PC mewah, cukup satu kali bayar untuk main banyak game.

Tetapi sebagai ganti dari PC mahal dan harga berlangganan yang cukup terjangkau, Anda sebagai pengguna harus memiliki internet yang stabil untuk bisa bermain game pakai Emago. “Kita bahkan pernah coba main game pakai USB Stick PC, dan di situ Emago bisa berjalan. Tapi pastikan internet Anda stabil, sebab internet yang tak stabil tentu akan membuat pengalaman bermain Anda jadi tidak nyaman. Entah membuat konten streaming jadi lebih rendah kualitasnya, atau input kontrol Anda yang menjadi delay.” jawab Azzam.

Emago dan Tantangan Infrastruktur di Indonesia

Sumber:
Sumber: Pythian

Kalau kita bicara permasalahan startup teknologi di Indonesia, biasanya yang paling sering menjadi pembicaraan adalah soal tantangan infrastruktur. Kesulitan tantangan tersebut semakin meningkat, karena bentuk alami Indonesia adalah negara kepulauan. Dalam hal teknologi cloud gaming seperti Emago, hal ini sebenarnya adalah salah satu permasalahan utama. Mengapa? Karena cloud gaming membutuhkan infrastruktur internet yang mapan.

Tetapi, selalu ada berbagai sisi dari sebuah masalah, tergantung dari mana sudut pandang Anda melihatnya. Pada satu sisi, hal tersebut bisa jadi adalah masalah. Sementara pada sisi lain, hal tersebut bisa jadi sebuah peluang. Azzam berada di sisi satunya, yang menganggap bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia sebagai sebuah peluang.

Azzam mengutip Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, membicarakan soal ini. “Kalau kalian bikin teknologi tapi infrastrukturnya sudah siap, kalian sudah pasti telat. Jadi kalian harus bikin teknologi saat infrastrukturnya belum siap, sebab butuh pembelajaran untuk mengembangkan hal tersebut.” kata Azzam kepada Hybrid.

Maka dari itu Azzam bersikukuh untuk mengembangkan Emago sejak dini, sejak saat infrastruktur internet di Indonesia masih menjadi masalah. Harapannya adalah, ketika infrastruktur internet Indonesia sudah mapan, produk cloud gaming buatannya sudah sempurna, dan bisa dinikmati oleh para pengguna.

Hal ini juga yang menjadi alasan kerjasama Emago dengan Telkom, demi memperkuat teknologi cloud gaming miliknya. Menurut Azzam, setidaknya ada dua hal esensial dalam mengembangkan cloud gaming, yaitu dari sisi hardware (PC server yang kuat), dan infrastruktur telekomunikasi (Internet).

Untuk soal hardware, Emago kini bekerja sama dengan Intel untuk menyediakan PC server yang kuat. Lalu untuk soal internet, mereka bekerja sama dengan Telkom agar teknologi cloud gaming mereka dapat berjalan dengan lancar, di atas infrastruktur internet Telkom.

Sumber:
Sumber: 9to5google

Masih bicara soal tantangan, hal selanjutnya yang harus dihadapi adalah persaingan. Seperti yang Anda tahu, Google hadir dengan produk cloud gaming bernama Stadia, Microsoft juga mengembangkan hal tersebut, belum lagi produk cloud gaming lain seperti Skyegrid, Vortex, dan lain sebagainya. Azzam cukup percaya diri menghadapi hal ini, karena apa yang ia lakukan semuanya berbasis di Indonesia.

“Tak usah khawatir soal lag atau delay ketika bermain dengan menggunakan Emago, karena semua infrastruktur kami berbasis di Indonesia. Server kami ada di Indonesia, ditambah lagi kami juga bekerja sama dengan Telkom Indonesia untuk urusan network. Jadi bisa dijamin pengalaman bermain Anda menggunakan Emago akan lebih lancar, jika dibandingkan produk cloud gaming lainnya.” Azzam menambahkan.

Cloud Gaming dan Ekosistem Esports

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Bicara gaming di zaman sekarang, rasanya belum lengkap kalau tidak memasukkan topik seputar esports. Sampai saat ini, kompetisi esports dianggap menjadi salah satu alat marketing yang unik dalam industri game. Terutama untuk game yang sifatnya multiplayer dan kompetitif. Tambah lagi, kebanyakan game yang populer belakangan juga sifatnya multiplayer, kompetitif, dan butuh respon serba cepat.

Berlandaskan hal tersebut, saya jadi penasaran, bagaimana cara kerja cloud gaming untuk main game multiplayer? Apakah mungkin cloud gaming bisa digunakan untuk esports? Bisa atau tidak, Azzam mengatakan sebenarnya bisa saja, tapi bukan untuk saat ini.

Untuk bermain game multiplayer dengan teknologi ini, setidaknya ada tiga PC yang harus disambungkan dengan internet. Pertama PC sang pengguna, kedua PC server platform cloud gaming, ketiga PC server game multiplayer yang dimainkan. Jadi sederhananya, alur koneksi internet saat memainkan game multiplayer dengan cloud gaming adalah: Dari user, ke PC server cloud gaming, ke PC server game, kembali ke PC server cloud gaming, baru kembali ke PC user.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Proses yang cukup panjang bukan? Maka dari itu untuk sementara waktu, basis teknologi ini akan lebih maksimal jika digunakan untuk main game single-player. “Saya sudah sempat mencoba menggunakan teknologi ini untuk bermain Dota 2, dan ternyata ping yang dihasilkan bisa mencapai 200ms. Tentunya hal ini akan memberikan pengalaman bermain yang sangat tidak nyaman, maka dari itu menurut saya untuk sementara waktu cloud gaming belum siap untuk game esports.” ujar Azzam.

Menutup obrolan, saya mempertanyakan soal masa depan hubungan antara cloud gaming dengan esports. Akankah di masa depan kegiatan semua kegiatan esports menggunakan cloud gaming? Azzam cukup bijak dalam menjawab hal ini, menurutnya kalau hanya terbatas sampai casual player saja, bisa jadi. Tetapi kalau untuk professional use, kemungkinan besar akan tetap menggunakan hardware.

“Melihat perkembangan game yang lebih cepat daripada perkembangan hardware, maka menurut saya masa depan game kompetitif atau esports juga akan berada di cloud gaming. Nafas dari cloud gaming adalah filosofi sharing resource. Jadi dengan dibuatnya basis teknologi ini, harapannya agar semua orang punya akses lebih mudah dan ekonomis terhadap game, termasuk game esports. Tetapi kalau bicara untuk penggunaan professional, tentu akan beda lagi. Mereka pasti tetap butuh segala hardware yang terbaik untuk memaksimalkan permainan mereka.” Jawab Azzam memperjelas.

Mendengar penjelasan Azzam seputar Emago dan platform teknologi cloud gaming, membuka pikiran saya soal masa depan gaming dan platform teknologi cloud gaming. Maksudnya begini, kalau semua orang punya akses yang mudah dan ekonomis terhadap konten game, untuk apa harus memilih yang lebih mahal?

Namun kemudahan akses ini, untuk sementara waktu, datang dengan kompromi tertentu seperti: tidak bisa bermain mulus 144 FPS, kualitas grafis super jernih 4K, atau pengaturan grafis rata kanan. Tetapi saya setuju dengan apa yang dikatakan Azzam soal alasan dia mengembangkan teknologi ini sebelum infrastruktur di Indonesia siap.

Nantinya, kalau infrastruktur internet Indonesia sudah lebih mapan, teknologi cloud gaming diharapkan sudah sama majunya. Jadi, harapannya sudah tidak ada lagi kompromi-kompromi yang saya sebutkan di atas. Nantinya tak peduli siapapun Anda, di mana Anda tinggal, Anda tetap bisa bermain game dengan mulus memanfaatkan platform cloud gaming.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.

Info Paten Singkap Wujud Controller Pelengkap Layanan Streaming Game Google?

Sejak dicetus oleh OnLive belasan tahun silam, dalam waktu dekat kita akan menjadi saksi lepas landasnya layanan cloud gaming berskala besar setelah para raksasa teknologi mulai mencurahkan perhatian mereka ke ranah itu. Saat ini, Microsoft tengah menggodok Project xCloud yang ditopang oleh teknologi Azure, sedangkan Google dan para mitranya (salah satunya Ubisoft) sedang fokus pada Project Stream.

Menyediakan platform gaming – tradisional maupun on demand – bukanlah hal baru bagi kedua perusahaan. Namun ketika brand Xbox sudah lama mencengkeram ranah gaming dengan begitu eratnya, ada banyak pernak-pernik yang mesti dipersiapkan oleh Google demi mendukung layanan baru mereka, salah satunya ialah dari aspek periferal kendali. Dan berdasarkan informasi dari paten, tersingkaplah wujud unit gamepad wireless yang boleh jadi akan melengkapi Project Stream.

 

Paten tersebut sendiri sebetulnya membahas sistem notifikasi, ditujukan untuk memberitahu pemain sewaktu game baru sudah tersedia, ketika mendapatkan undangan bermain dari teman, ada pesan masuk, atau berubahnya status Anda di leaderboard. Hal yang menarik perhatian dari paten ini adalah ilustrasi sebuah controller, ditampilkan dari dua sudut pandang berbeda: bagian wajah dan area bawah.

Gamepad Google 1

Tanpa warna (setidaknya pada gambar), penampilan controller terlihat sangat polos. Rancangannya sederhana, tanpa ada lengkungan-lengkungan stylish, dengan layout yang mengingatkan saya pada DualShock 4. Selain directional pad dan empat action button, terdapat sepasang thumb stick yang diposisikan sejejer.

Gamepad Google 2

Namun berbeda dari DualShock 4 dengan touchpad-nya, gamepad Google ini menyajikan sejumlah tombol-tombol utility di sisi depan, dan salah satu yang menonjol adalah tombol berlogo microphone tak jauh dari joystick. Kehadirannya mengindikasikan dukungan fitur perintah suara, bisa jadi mengusung teknologi Google Assistant.

Selanjutnya, Anda akan menemukan empat buah trigger button di area depan, sebuah port micro-USB, dan (boleh jadi) panel pintu baterai seperti yang dimiliki controller Xbox One. Saya pribadi penasaran apakah Google turut membekalinya bersama opsi sambungan lain misalnya via kabel atau dongle Wi-Fi agar periferal bisa mendukung lebih banyak perangkat.

Gamepad Google, di-render oleh YankoDesign.

Menggunakan ilustrasi di paten sebagai petunjuk, YankoDesign telah menciptakan beberapa gambar versi render dari controller Google tersebut. Namun tentu saja ada peluang bagi sang produsen untuk mengubah wujud di versi retail-nya nanti. Saya menduga, Google akan mengungkap segala detail mengenainya, termasuk layanan Project Stream, di Game Developers Conference 2019 minggu depan.

Via The Verge.  Header: YankoDesign.

Google Akan Ungkap Informasi Penting Terkait Gaming di GDC 2019?

Saat event-event seperti E3 dan TGS mencuri perhatian jutaan pasang mata gamer, Game Developers Conference bisa dikatakan sebagai ‘panggilan haji’ bagi pihak pengembang. Acara tahunan khusus developer ini adalah tempat ide-ide brilian muncul, berperan jadi ruang edukasi, pencarian inspirasi dan memperluas koneksi. GDC dimeriahkan oleh sesi berbeda, misalnya pameran, festival game indie hingga pagelaran Game Developers Choice Awards.

Tentu saja GDC bukan hanya esensial bagi para developer, tapi juga sudah lama diikuti oleh perusahaan-perusahaan pemilik platform gaming, termasuk Google. Di bulan Januari lalu, raksasa internet itu sempat mengabarkan agenda partisipasi mereka di sana. Kemudian di minggu ini, Google mulai mengirimkan undangan via email pada sejumlah media. Isinya cukup misterius, karena mereka hanya mengajak pers untuk ‘berkumpul’ dan semuanya akan disingkap pada tanggal 19 Maret.

Sebelumnya, Google mengabarkan bahwa acara mereka akan berlangsung seharian. Pertama-tama ada presentasi terkait segala hal baru yang disiapkan buat developer, diikuti oleh tiga sesi dialog yang difokuskan pada platform baru dan inovasi, persiapan di masa prelaunch, hingga strategi untuk meningkatkan mutu konten pasca perilisan. Masing-masing sesi diisi oleh diskusi bersama tim Google berbeda serta para mitra.

Selain itu, Anda juga bisa mengunjungi booth Google selama GDC 2019 berlangsung, berlokasi di Moscone South, akan dibuka dari tanggal 21 sampai 23 Maret. Dalam tiga hari itu, Google mempersilakan Anda untuk menyimak pemaparan tambahan dari tim serta diberikan kesempatan buat bertanya langsung pada pakarnya. Perlu diingat bahwa agenda ini merupakan bagian dari Game Developers Conference dan Anda harus membawa izin masuk agar dapat mengikutinya.

Kehadiran Google di GDC bukanlah hal aneh. Biasanya, mereka selalu ada di sana untuk memberikan update bagi para developer Android. Tapi keynote tahun ini disiapkan agar berbeda dan Google ingin semua orang mengetahuinya.

Ada dugaan kuat, Google berniat untuk menyingkap segala informasi terkait Project Stream di GDC 2019. Project Stream adalah layanan on demand yang memungkinkan konsumen menikmati permainan video tanpa console atau hardware berspesifikasi tinggi. Konsepnya bisa diibaratkan seperti Netflix-nya gaming. Project Stream disuguhkan lewat browser Chrome, dan sejak berbulan-bulan silam Google sudah mulai melakukan pengujian.

Dalam proses pengembagannya, Google bahkan telah menggaet satu nama raksasa di gaming: Ubisoft. Dua bulan selepas mendemonstrasikan kualitas layanan streaming mereka, Google membagi-bagikan Assassin’s Creed Odyssey secara gratis. Akankah kita mendengar nama-nama publisher/developer lain bergabung di sana?

Via The Verge.

Alasan Mengapa Microsoft Begitu Percaya Diri Dengan Project xCloud, Yaitu Netflix-nya Video Game

Fase akhir siklus hidup console game current-gen sudah dimulai, dan dalam waktu dekat, kita dipastikan akan menyaksikan penyingkapan produk-produk generasi selanjutnya. Baik Sony dan Microsoft sudah mengonfirmasi bahwa mereka tengah menggodok hardware gaming baru, namun penyajian konten-kontennya nanti boleh jadi sedikit berbeda dari sistem lawas.

Fenomena ini bisa kita lihat dari awal penyediaan PlayStation Now dan Xbox Play Anywhere. Melalui fitur-fitur ini, para produsen mulai menawarkan game sebagai layanan – bukan sekadar produk. Dan ke depannya, kemungkinan akan ada lebih banyak platform cloud gaming bertebaran, apalagi setelah para raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft diketahui begitu serius menggarapnya.

Di bulan Oktober 2018 silam, Microsft resmi mengumumkan pengembangan layanan gaming on demand bernama Project xCloud. Seperti platform cloud gaming sekelasnya, xCloud memperkenankan pelanggan bermain game tanpa dibatasi oleh spesifikasi perangkat yang mereka miliki. Dan dalam sebuah acara yang dilakukan di markas utama Microsoft hari Senin kemarin, CEO Satya Nadella mendeskrpsikan xCloud sebagai Netflix-nya video game.

Visi di belakang pembuatan xCloud sebetulnya cukup simpel, yaitu menyuguhkan gamer permainan-permainan blockbuster berkualitas tinggi. Namun proses penyajian tidak sesederhana teorinya. Berbeda dari streaming film atau musik, video game menuntut sistem input dengan responsitivitas tinggi/seketika secara konsisten. Hal ini jadi sulit ketika data dan informasi disalurkan lewat internet.

Namun Nadella tidak khawatir. Berbeda dari Google dan Amazon (sang eCommerce juga sedang menggodok layanan gaming on demand-nya sendiri), Microsoft punya pengalaman lebih lama di ranah gaming, bahkan jauh sebelum mereka memasarkan console. Dengan Xbox, Microsoft punya keunggulan strategis, termasuk di sisi teknologi maupun konten. Sang CEO sendiri sangat membanggakan katalog permainan Xbox, terutama pada franchise-franchise besar eksklusif seperti Halo dan Forza.

Kita perlu ingat bahwa Microsoft sudah menghimpun banyak sekali pelanggan Xbox Live. Kemudian, cengkeraman Microsoft di gaming bukan hanya melalui Xbox, tapi juga PC. Seperti yang terungkap oleh survei hardware Steam, mayoritas penikmat permainan di komputer personal memanfaatkan OS Windows.

Nadella sempat bilang bahwa komunitas gamer saat ini mencapai dua miliar jiwa, namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki televisi, console serta PC sendiri. Yang mereka punyai hanyalah smartphone. xCloud adalah cara Microsoft menggapai mereka semua.

Buat sekarang, status Project xCloud masih berada di tahap pengembangan. Microsoft berencana buat melangsungkan sesi tes publik di tahun ini.

Sumber: Business Insider.

Platform Cloud Gaming Skyegrid Luncurkan Game AAA Baru dan Fitur Skyegrid Media

Perusahaan penyedia layanan cloud gaming lokal, Skyegrid, baru saja mengumumkan penambahan sejumlah game menarik ke dalam koleksi mereka. Beberapa di antara game baru tersebut antara lain Paladins: Champions of the Realm, Path of Exile, DC Universe Online, Warhammer 40.000: Eternal Crusade, Smite, dan lain-lain.

Dengan tambahan judul-judul tersebut, hingga tanggal 1 Oktober 2018 Skyegrid telah mengantongi 56 judul game populer di dalam platformnya. Dari semua judul itu 22 di antaranya bisa langsung dimainkan secara streaming, sementara 34 sisanya hanya bisa dimainkan bila pengguna sudah memilikinya terlebih dahulu di akun Steam masing-masing.

Skyegrid | Paladins
Paladins, salah satu game yang tersedia di Skyegrid

Skyegrid juga masih akan terus menambahkan game baru di bulan Oktober ini. Beberapa game yang direncanakan masuk mencakup No Man’s Sky, Fallout 4, Rise of the Tomb Raider, serta For Honor. Skyegrid juga membuka peluang lebar bagi para developer game PC asal Indonesia untuk menerbitkan atau mendistribusikan game buatan mereka di platform ini.

“Target kami masih sama. Sekitar 100 hingga 150 game di akhir tahun. Dan, komposisi game lokal bisa didongkrak jadi 15 – 20 persen pada akhir tahun 2019,” demikian kata Rolly Edward, CEO Skyegrid, dalam siaran pers. “Kami juga akan memperbanyak bendahara game-game yang berlisensi, sehingga pelanggan non-Steam juga mempunyai banyak pilihan,” lanjutnya.

Skyegrid | Games
Beberapa koleksi game di Skyegrid | Sumber: Skygrid

Selain penambahan pustaka game, Skyegrid saat ini juga fokus pada dua hal lain. Pertama adalah pengoptimalan pengalaman bermain, yang kedua yaitu peluncuran fitur baru bernama Skyegrid Media. Cloud gaming memang masih termasuk teknologi baru dan butuh jaringan infrastruktur yang baik agar bisa dinikmati dengan nyaman.

Rolly mengaku bahwa Skyegrid terus berusaha mengurangi network latency yang sangat berpengaruh terhadap pengalaman bermain. Pengoptimalan ini berlaku untuk semua platform yang mendukung aplikasi Skyegrid, baik itu PC Windows, MacOS, Android, Google Chrome, hingga Xbox One.

Skyegrid | Skyegrid Media
Tampilan Skyegrid Media

Sementara itu Skyegrid Media adalah usaha Skyegrid untuk menyajikan pengalaman gaming yang lebih kaya. Tidak hanya bermain, pengguna juga bisa menikmati berita-berita terbaru seputar dunia game. Skyegrid juga ingin berkolaborasi, terutama dengan situs-situs media game lokal ternama yang lebih senior, dalam pengadaan konten Skyegrid Media.

“Alangkah indahnya jika kami dan teman-teman media lainnya bisa berkolaborasi, berlandaskan mutualisme, bertumbuh kembang bersama-sama gamer Skyegrid, pengembang dan penerbit di dalamnya, serta mitra perusahaan seperti GameSir, dan asosiasi,” pungkas Rolly.