Transformasi Bundamedik Ciptakan Rantai Digital Layanan Kesehatan

Bundamedik Healthcare System (BHMS) adalah perusahaan penyedia layanan kesehatan Indonesia yang aktif mengeksplorasi pemanfaatan teknologi medis modern. Bundamedik berawal dari klinik bersalin yang didirikan pada 1973 oleh dr. Rizal Sini, ayah dari dr. Ivan Rizal Sini yang kini menduduki posisi Komisaris Utama Bundamedik.

Bundamedik kemudian berkembang menjadi pemilik jaringan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Bunda hingga laboratorium Diagnos. Perusahaan cukup aktif mengeksplorasi inovasi kesehatan lewat kucuran investasinya di beberapa startup healthtech, yaitu Klinik Pintar, Asa Ren, dan Nalagenetics. dr. Ivan diketahui juga merupakan salah satu Founder Moosa Genetics, startup bioteknologi untuk industri peternakan.

Dalam kapasitasnya sebagai Komisaris Utama, dr. Ivan Rizal Sini mengurai lika-liku tantangan makro industri kesehatan hingga upaya transformasinya untuk mengatasi isu mikro terhadap customer journey pasien.

Isu industri kesehatan

Data terbaru yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 mencatat terdapat 176.110 jumlah dokter di Indonesia yang mencakup dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Namun, angka tersebut belum memenuhi standar ideal WHO yang mematok rasio 1 dokter per 1.000 penduduk. Rasio dokter di Indonesia baru 0,63 dokter per 1.000 penduduk.

Keterbatasan sumber daya di industri kesehatan sejak lama menjadi satu dari rentetan isu di industri kesehatan selain isu aksesibilitas dan keterjangkauan biaya. Namun, kesenjangan isu tersebut diakui dr. Ivan baru benar-benar disadari saat pandemi Covid-19 merebak tiga tahun lalu.

“Tantangan mikro tidak akan lepas apabila isu makronya tidak dibereskan dulu. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi kebutuhan healthcare berdasarkan masalah populasi. Dengan transformasi digital [Kementerian Kesehatan] di level makro, kita bisa bicara tentang apa yang bisa di-resolve di level mikro,” ungkapnya kepada DailySocial.id.

Dalam uraiannya, industri kesehatan adalah rantai layanan yang panjang, mencakup aspek edukasi, screening, deteksi dini, pengobatan kuratif, dan pengobatan paliatif. Namun, ia menilai kebanyakan RS fokus pada pengobatan kuratif dan paliatif. Tidak banyak yang masuk ke level edukasi dan yang sifatnya preventif. Alhasil, banyak pasien datang ketika sakit. Fasilitas kesehatan tidak banyak terlibat pada level screening untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien.

We cannot tell what’s actually their needs. Orang tidak tahu apa yang sebetulnya diperlukan untuk membuat new demand. Sejauh mana kita bisa membuat demand baru. Saat ini, the gap is just too big for us to decide [sejauh mana kita menyelesaikan isu ini], baru sampai di sini saja. Penyakit ada banyak, belum bicara edukasi, proses pelayanan di RS, dan kecepatan diagnosis yang perlu ditingkatkan,” tuturnya.

Hal ini juga membuat disrupsi di industri kesehatan tidak semudah sektor lain, seperti layanan keuangan atau transportasi. Layanan kesehatan memiliki kompleksitas tinggi karena mencakup beragam jenis penyakit, data kesehatan dan kebutuhan pasien. Regulasinya sangat ketat karena berkaitan erat dengan nyawa manusia.

Sebagai gambaran, disrupsi layanan kesehatan di Indonesia kebanyakan masih fokus pada telemedis, baik dikembangkan oleh faskes atau bermitra dengan pemilik platform, seperti Halodoc dan Alodokter. Kendati sudah lebih dulu muncul sebelum pandemi, penggunaannya baru masif sejak 3-4 tahun terakhir karena urgensi penanganan Covid-19. Masyarakat Indonesia kebanyakan memanfaatkan telemedis untuk konsultasi dokter (40%) dan membeli obat (30%) menurut survei Deloitte pada 2022.

Digitalisasi Bundamedik

Dengan mengurai berbagai isu di industri kesehatan, Bundamedik berupaya untuk mentransformasikan pelayanan kesehatan, tak hanya berdasarkan urgensi kebutuhan, tetapi juga melihat skala ekonominya.

“Dalam 5-10 tahun terakhir, kami banyak eksplorasi kebutuhan untuk meningkatkan proses pada layanan klinis. Kami menyamakan semua sistem ke dalam satu platform sejak 5 tahun ini. We don’t mind to get in early stage of innovation karena Bundamedik punya banyak inisiatif agar nanti dapat saling melengkapi satu sama lain. Peningkatan di proses internal sangat penting lewat digitalisasi.”

Dari aspek pelayanan, dr. Ivan memetakan beberapa masalah yang kerap dialami pasien sejak awal hingga ia berobat. Misalnya, waktu tunggu di RS. Menurutnya, waktu tunggu bisa menjadi jauh lebih lama dari perkiraan karena faktor tak terduga, seperti operasi mendadak. Contoh isu lainnya adalah sulitnya untuk membuat jadwal konsultasi dengan dokter.

Bundamedik membentuk divisi khusus Digital Transformation and Customer Engagement (DTCE) yang akan berfungsi untuk mengevaluasi customer journey pasien menjadi digital journey, termasuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pasien. Hasilnya diterjemahkan lewat platform OneBunda yang meluncur pada Maret 2023. Klaimnya, aplikasi OneBunda telah dimanfaatkan lebih dari 65.000 pasien Bundamedik.

Saat ini, pasien dalam melakukan telekonsultasi, membuat jadwal konsultasi, termasuk vaksinasi anak. Untuk meningkatkan journey pasien, pihaknya berencana untuk menghubungkan OneBunda sebagai entry point dengan pihak ketiga di ekosistem kesehatan

OneBunda dikembangkan sebagai channeling platform yang akan terhubung ke ekosistem milik Bundamedik maupun inisiatif lainnya. Selain jaringan RS, Bundamedik menaungi program bayi tabung Morula dan Lab Diagnos. Integrasi ini memungkinkan Bundamedik untuk membuka akses satu pintu terhadap pasien-pasien yang memiliki customer journey berbeda.

Sumber: Bundamedik Healthcare System

“Kami ingin buka API ke berbagai pihak yang fokus di customer journey dan pelayanan klinis, tetapi secara bertahap. Ini akan membantu kami menjaga tingkat retensi pasien. Dengan digitalisasi, kita tahu berapa banyak drop out dari pasien yang datang ke Bundamedik. Ini penting untuk mengevaluasi pasien yang punya tingkat tingkat kembali yang tinggi maupun churn rate tinggi.

Selain jaringan miliknya, pihaknya juga dapat bersinergi dengan portofolio investasinya. Misalnya, startup clinic chain Klinik Pintar. Ia menyebut rujukan tak selalu datang dari dokter, bisa saja dari klinik atau laboratorium. Sinerginya dengan Klinik Pintar dapat memungkinkan hal tersebut.

Use case lain yang dapat disinergikan dengan portfolio startup di Bundamedik adalah pengembangan health passport berbasis elektronik, yang akan berisikan informasi kesehatan pasien. Health passport merupakan salah satu produk yang dikembangkan oleh startup biotech Asa Ren.

“Menghubungkan OneBunda ke ekosistem kesehatan ini akan memudahkan klien atau pasien di Bundamedik. Mereka bisa memiliki layanan kesehatan yang personalized,” tambah dr. Ivan.

Pengembangan genomik

Dalam posisinya sebagai Ketua Asosiasi Genomik Indonesia (AGI), ia juga bicara tentang potensi BGSi dalam mendorong kemunculan startup-startup baru yang mungkin akan memiliki fokus pada penyakit kronis tertentu, seperti diabetes atau kanker paru. Mereka dapat memanfaatkan data yang dikumpulkan BGSi tanpa perlu mengumpulkan sample dari awal.

BGSi atau Biomedical & Genome Science Initiative adalah inisiatif pertama Kementerian Kesehatan untuk mengembangkan metode pengobatan yang tepat bagi masyarakat. Pihaknya menargetkan pengumpulan 100 ribu sample pada 2025 untuk dipetakan data genomenya. Pengumpulan sample ini juga menjadi landasan penting untuk menghasilkan tes yang relevan dan akurat karena menggunakan basis populasi orang Indonesia sendiri.

Tak cuma untuk kebutuhan manusia saja, genomik juga dapat diaplikasikan pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. dr. Ivan mencontohkan bagaimana tes genomik memungkinkan kita untuk mengidentifikasi profil padi yang paling tahan terhadap hama, atau pupuk yang paling sesuai.

“Makanya, saya sangat antusias mengajak teman-teman untuk membangun AGI, karena ini harus bisa merepresentasikan industri. Bukan sekadar dari sisi sains, tapi bagaimana industri healthcare yang basisnya di level genomik itu bisa dikembangkan. [Asosiasi] ini harus bisa inklusif, siapapun boleh masuk.”

Saat ini, AGI memiliki hampir sekitar 70 anggota dan lebih dari 15 institusi.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik DANA Ventures, Unit Inkubasi Bisnis Internal Milik DANA

Dalam rangka mendukung inovasi baru di dunia digital, DANA menginisiasi pendirian studio venture internal dinamai DANA Ventures. Inisiatif ini dilakukan untuk mendorong DANA dalam mengeksplorasi potensi ide, model bisnis, dan teknologi distruptif yang mampu membawa nilai tambah baru bagi ekosistem DANA, tanpa mengganggu bisnis utama dan proses yang ada di DANA.

“DANA Ventures tidak berupa VC eksternal pada umumnya dan tidak juga berupa program inkubator/akselerator eksternal. DANA Ventures berangkat dari keinginan kami untuk mengeksplorasi potensi ide, model bisnis, dan teknologi disruptif yang mampu membawa nilai tambah baru bagi ekosistem DANA,” ucap Chief Innovation Officer DANA Indonesia Darrick Rochili saat dihubungi DailySocial.id, Jumat (24/2).

Hipotesis yang melatarbelakangi kehadiran DANA Ventures ini adalah berdasarkan teori disruptif, sebuah perusahaan biasanya tidak bisa mendisrupsi dirinya sendiri. Hal ini lantaran perusahaan tersebut memiliki sumber daya, proses, dan formula laba bisnis yang membuatnya sukses.

Adapun DANA sendiri tetap berfokus pada inti bisnisnya, yakni menjadi jembatan bagi inklusi keuangan digital dan menjadi platform keuangan digital berbasis gaya hidup untuk masyarakat Indonesia.

“DANA Ventures hadir dengan proses yang berbeda untuk mengeksplorasi disrupsi yang potensial di tengah pasar tanpa mengganggu inti bisnis dan proses DANA, tetapi tetap memanfaatkan besarnya ekosistem DANA dari sisi pengguna, merchants, dan mitra.”

Secara struktur di manajemen DANA, DANA Ventures dipimpin oleh Chief Innovation Officer yang bertanggungjawab kepada CEO DANA Indonesia. Sementara itu, DANA Ventures diisi oleh beberapa tim dari bidang yang berbeda, seperti tim Bisnis, Produk, Project, dan Teknologi.

Sejak awal DANA berdiri, sudah memiliki Tim Innovation yang mengeksplorasi berbagai inisiatif seperti TIX ID, DANA Bisnis, DANA eMAS, dan proyek internal lainnya. Namun sejak 2022, Tim Innovation secara resmi berganti nama menjadi Tim Ventures dan sedikit mengubah konsep dan strateginya menjadi Ventures studio.

Proses inovasi

Dia melanjutkan, seluruh karyawan DANA dapat memberikan ide menarik mereka. Namun, sesuai dengan tujuan awal DANA Ventures yang ingin mengeksplorasi ide disruptif dan sebagainya, maka perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan inisiatif-inisiatif dari DANA Ventures dilakukan terpisah dari tim DANA dengan menggunakan proses yang berbeda. Tujuannya agar DANA Ventures dapat bergerak lebih agile dan tidak mengganggu proses dan bisnis DANA secara keseluruhan.

DANA Ventures memiliki sebuah kerangka kerja —yang terhubung dengan kriteria seperti UNSDG (United Nations Sustainable Development Group) dan juga tujuan DANA— yang mana setiap ide, model bisnis atau implementasi teknologi akan dievaluasi dan dianalisis sebelum dibuat dan diuji di pasar selama jangka waktu tertentu.

Apabila ide venture tersebut berhasil mencapai target tertentu selama jangka waktu itu, maka ide itu akan dilanjutkan, tapi kalau tidak, ide itu akan dihentikan. Setiap inisiatif yang diluncurkan melalui DANA Ventures juga akan terhubung dengan dompet digital DANA serta memungkinkan bisnis untuk menjangkau lebih dari 135 juta pengguna DANA.

Melalui kerangka kerja tersebut, seluruh ide bisnis internal dianalisis dan dicek. Setelah ide disetujui, tim DANA Ventures mulai membangun MVP/prototipe bisnis/ produk dan meluncurkan ke pasar, dengan memanfaatkan ekosistem DANA dan anggaran Ventures, dalam jangka waktu terbatas.

“Selama periode ini, tim kami juga akan memantau tanggapan dan validasi pasar sebelum akhirnya memutuskan untuk mengembangkan atau menutup bisnis tersebut.”

Bora Bora

Produk inkubasi pertama yang sudah dirilis adalah platform group social buying Bora Bora (Borong Rame Rame) sejak Desember 2022. Latar belakangnya hadir karena melihat dari tingginya potensi social commerce di Indonesia.

Menurut Darrick, Bora Bora hadir untuk mendorong pengguna membeli barang secara kolektif dengan pengguna lain, menawarkan produk dengan harga yang jauh lebih rendah dengan syarat jumlah minimum pembelian.

“Melihat kesesuaian pasar dan model bisnis ini untuk dieksplorasi, Bora-Bora pun diluncurkan melalui DANA Ventures. Bora Bora juga menciptakan peluang bagi bisnis di berbagai skala, termasuk UMKM, untuk menjangkau pengguna dalam ekosistem DANA yang kini berjumlah hingga 135 juta pengguna.”

Aplikasi Bora Bora sudah bisa diunduh di Play Store dan App Store. Adapun proses belanjanya, konsumen dapat memilih barang yang disukai dan mengajak teman untuk bergabung dengan membagikan link group buy supaya kuota pembelian terpenuhi. Jika kuota pas, maka konsumen dapat membeli barang yang sudah dipilih dengan harga murah.

Sementara, jika tidak akan otomatis dibatalkan dan uang kembali ke pembeli ke DANA Balance User. Kemudian merchant akan segera memproses pesanan dan dikirim ke alamat masing-masing pembeli.

Darrick dan tim terus memantau dan evaluasi berkala tentang perkembangan Bora Bora. Pihaknya berharap DANA Ventures dan Bora Bora tidak hanya mampu mengembangkan ekosistem DANA, tetapi juga turut menciptakan peluang dan memberikan pertumbuhan yang positif bagi bisnis di berbagai skala, termasuk UMKM.

“Kami yakin Bora Bora dapat membantu mendorong pertumbuhan bisnis melalui jangkauannya kepada pengguna DANA di seluruh Indonesia. Kami mengajak UMKM sebagai penggerak ekonomi digital utama Indonesia untuk menjadi bagian dari Bora Bora dan membangun kemitraan jangka panjang,” pungkasnya.

Berdasarkan laporan Cube Asia bertajuk “Social Commerce in Southeast Asia 2022” mengungkapkan, Indonesia menjadi pasar live shopping dan community group buy terbesar di Asia Tenggara dengan estimasi nilai GMV masing-masing sebesar hampir $5 miliar dan $2 miliar. Khusus untuk group buying, angka transaksinya masih relatif kecil sekitar 3% atau $5 miliar dari total GMV di Asia Tenggara.

Beberapa startup di Tanah Air yang menggunakan model ini di kota tier 2 dan 3 adalah Kitabeli, Evermos, Echo (milik Enablr), dan Bakool.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Dukungan Wright Partners untuk Startup

DailySocial bersama Founding Partner Arnold Egg membahas bagaimana perusahaan yang dipimpinnya membantu korporasi menjalankan corporate innovation.

Menurut pria yang akrab disapa Arno ini, model bisnis yang ditawarkan Wright Partners cukup berbeda. Merekaa mencoba membantu korporasi memilih startup bermitra, yang tak hanya berpeluang dalam hal sustainability, tetapi juga profitability.

Bagaimana kriteria startup yang masuk dalam pencarian perusahaannya? Bagaimana cara Wright Partners meyakinkan korporasi terhadap startup yang dipilih? Dan seperti apa tren ekosistem startup ke depan?

Simak pembahasannya di video wawancara berikut.

Untuk video menarik lainnya seputar program akselerasi dan ekosistem pendukung startup Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi Let’s Accelerate.

Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

Wright Partners Hadir Sebagai “Venture Builder”, Bermitra dengan Korporat yang Ingin Membangun Bisnis Digital

Setelah “lulus” dari perusahaan yang didirikannya, Tokobagus, Arnold Sebastian Egg atau yang akrab disapa Arno Egg tidak berhenti dalam berinovasi. Dalam perjalanannya mendukung pengembangan bisnis, ia bersama salah satu kolega, Ziv Ragowsky, menemukan fakta bahwa ada banyak perusahaan yang saat ini mencari cara berbeda untuk melakukan inovasi. Biasanya, inovasi untuk bisnis adalah dengan membuat bisnis baru.

Begitu sebuah perusahaan mengambil keputusan untuk membangun usaha, penting bagi perusahaan untuk mengetahui berbagai tren teknologi tetapi juga membangun aset signifikannya sendiri. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan keinginan dan tren perusahaan dengan strategi jangka pendek dan menengah untuk memastikan dukungan internal menjelang momentum dibangun.

Hal ini yang kemudian dilihat sebagai peluang ketika pertama kali membentuk Wright Partners. Sebuah venture builder beranggotakan serial entrepreneurs dan experts dalam industri teknologi.

“Kami datang dengan bermacam latar belakang (produk, komersial, akademis, konsultan) dan menyadari bahwa ada model yang dapat bekerja untuk korporat [mungkin memerlukan edukasi lebih dalam] untuk membangun bisnis dengan fleksibilitas serta pengambilan risiko yang terukur yang bisa diterapkan di median global dalam berbagai skala. Hal ini, ditambah gagasan adanya masalah besar yang harus diselesaikan di kawasan ini, adalah yang kami yakini sebagai nilai dan tujuan usaha membangun membawa kami pada konsep Wright Partners,” jelas Arnold Egg dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Model Bisnis

Sebagai entitas yang fokus pada kegiatan venture building, model bisnis yang ditawarkan oleh Wright Partners cukup berbeda dan unik. Perusahaan bekerja sama dengan korporat untuk membantu mereka dalam menjalankan corporate innovationDua layanan yang ditawarkan mencakup Corporate Venture Building dan CVC as a Service.

Ada banyak perusahaan yang berani berinvestasi besar untuk membangun bisnis namun belum efektif dalam memanfaatkan sumber daya mereka yang cukup besar. Hal ini bisa disebabkan oleh pola pikir internal perusahaan dan terkadang kurangnya pendalaman terkait pengembangan bisnis, serta beberapa faktor eksternal yang menjadikan inisiatif ini tidak cost-effective.

Korporasi harus mencari cara untuk membuka dan memanfaatkan aset mereka untuk memungkinkan mereka berinovasi lebih baik dan meningkatkan skala lebih cepat daripada startup tradisional. Dalam menjalankan model bisnis ini, Wright Partners bekerja secara bertahap dalam membangun bisnis.

“Fase awal adalah rancangan di mana kami memiliki cukup uang/investasi dari mitra korporat untuk mencapai komitmen investasi mereka dalam waktu 4 bulan. Dalam fase ini, dua hingga tiga partner kami akan bertindak sebagai salah satu pendiri tim yang kami bentuk bersama, yang mencakup Venture Lead (yang jika berjalan lancar akan menjadi founder – tetapi dapat berubah dalam ketentuan 4 bulan) serta dua Venture Architect yang bisa menjadi full-time menggarap bisnis tersebut atau, jika terbukti bisa menjadi co-founder,” jelas Arno.

Salah satu diferensiasi bisnis yang diusung Wright Partners adalah mematok total investasi rata-rata yang dibutuhkan oleh perusahaan ke pasar sekitar $1,6-1,8 juta selama 16 bulan. Hal itu akan menjadi standar untuk memastikan bahwa 4 bulan paling efektif (dan menghasilkan investasi – jika tidak, tidak akan ada profit sama sekali).

Setelah 4 bulan pertama, sesuai keputusan komite investasi mitra, perusahaan kembali menawarkan pilihan terkait keterlibatan yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan bisnis. Dengan kesepakatan bahwa bisnis itu sudah berada di jalur yang benar dan kuat, perusahaan akan mendapatkan porsi ekuitas dan kemudian mengambil peran dalam bisnis melalui investasi pengetahuan dan koneksi yang dimiliki.

“Kami percaya bahwa pendalaman konten yang digabungkan dengan aset perusahaan yang tepat serta mentalitas kewirausahaan yang kuat akan menciptakan kesuksesan, jadi model kami berfokus pada penyelarasan ketiganya untuk berkembang di seluruh industri dan sektor usaha,” ujar Arno.

CVC as a Service atau CVC sebagai layanan merupakan peluang awal bersama salah satu mitra korporat. Wright Partners telah membantu sistem sekolah swasta untuk membangun CVC dan melakukan investasi awal. Melalui upaya ini perusahaan menemukan bahwa ada berbagai jenis organisasi yang berminat untuk memahami industri investasi.

Rencana masa depan

Berbasis di Singapura, Wright Partners mengaku memiliki representasi yang setara di Indonesia. Selama kurang lebih 6 bulan beroperasi, perusahaan sudah membantu merancang inovasi di 6 perusahaan, dua di Indonesia, tiga di Malaysia, dan satu di Singapura.

Inovasi ini telah bergulir di beberapa sektor termasuk fintech, edutech dan agritech. Sektor lain yang saat ini juga sedang dijajal adalah insurtech, teknologi keberlanjutan (sustainability tech), serta analitik ritel. Timnya memiliki penasihat dan mitra usaha yang ahli dalam masing-masing bisnis dan akan memperluas jangkauan ke industri lain seperti logistik, OTA, adtech, dan banyak lagi. Pihaknya juga mengaku telah menjalankan kemitraan untuk memperluas jangkauan dan kemampuan di seluruh aspek Crypto dan Blockchain.

Sementara Wright Partners fokus membantu korporat untuk membangun moda investasi perusahaan, saat ini timnya juga tengah dalam proses untuk mengumpulkan fund mandiri.

“Kami berharap dapat segera mendukung bisnis dengan dana kami sendiri dan mendorong mereka menuju kesuksesan yang lebih baik,” tutup Arno.

Strategi dan Ekspektasi Pengembangan Inovasi Digital di Industri Pembiayaan Indonesia di 2021

Industri pembiayaan merupakan salah satu sektor yang menghadapi tantangan besar pada 2020. Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, industri pembiayaan di Indonesia mencatatkan penurunan kinerja yang drastis dengan pertumbuhan minus 17,1% tahun lalu. Di 2019, pembiayaan masih mencatatkan kenaikan sebesar 3,66% secara tahunan.

Penurunan pembiayaan ini diakibatkan pandemi Covid-19 sehingga memukul industri otomotif. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebutkan bahwa rata-rata penjualan motor dan mobil anjlok hingga 40% di periode April-Juni 2020.

Di tengah kemerosotan industri, pemerintah berupaya meringankan beban nasabah lewat restrukturisasi. OJK mencatat restrukturisasi oleh perusahaan pembiayaan telah mencapai Rp189,96 triliun dari 5 juta kontrak pembiayaan atau 48,52% dari total pembiayaan di sepanjang 2020.

Perusahaan pembiayaan juga mencari jalan untuk memastikan bahwa pengguna tetap dapat mengajukan pembiayaan tanpa perlu keluar rumah. Yang belum banyak diketahui, sejumlah perusahaan pembiayaan di Indonesia telah mengembangkan inisiatif digital, bahkan sebelum pandemi terjadi.

Bagaimana strategi dan ekspektasi perusahaan pembiayaan Indonesia di masa pandemi dan pasca pandemi nanti? Simak wawancara DailySocial dengan PT Astra Credit Company (ACC), PT Mandiri Tunas Finance (MTF), dan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk.

Pengembangan digital sebelum pandemi

Berbagai sumber menyebutkan bahwa terjadi akselerasi adopsi digital besar-besaran di sepanjang 2020. Sejumlah sektor yang awalnya belum mengimplementasi digital, bahkan akhirnya melakukannya. Namun, yang menjadi temuan menarik adalah, industri pembiayaan di Indonesia sudah mulai melakukan transformasi digital sebelum pandemi terjadi. 

Transformasi ini salah satunya dibuktikan dengan upaya perusahaan memperluas jalur pengajuan pembiayaan dan pembiayaan yang biasanya dilakukan secara offline menjadi online. Baik ACC, MTF, dan Adira Finance sama-sama telah memiliki kanal digital.

Perusahaan Aplikasi Pengguna
Astra Credit Company ACC One 50.000+ (unduhan)
Mandiri Tunas Finance MTF Go 11.700 (April 2020)
Adira Finance Adiraku 480 ribu (Des 2020)

ACC meluncurkan aplikasi ACC Yes! Di 2016 yang kemudian berevolusi menjadi ACC One (2019). Sementara Adira Finance sudah lebih dulu meluncurkan marketplace untuk jual-beli mobil dan motor bekas pada 2017 melalui momobil.id dan momotor.id. Sementara, aplikasi Adiraku meluncur pada awal 2020.

Selain itu, MTF mengembangkan MTF Go pada 2018, tetapi perusahaan menambah tiga platform digital berbasis aplikasi untuk kebutuhan lain yang meluncur di 2019, yaitu MTF Mobile, MyMTF, dan MTF Lelang.

Perubahan strategi ke otomatisasi restrukturisasi

Setiap perusahaan merespons situasi dengan cara berbeda-beda ketika pandemi Covid-19 pertama kali terjadi. Begitu pemerintah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pada kuartal kedua 2020, sejumlah perusahaan pembiayaan menunda rencana yang sudah ada dan mengalihkannya ke inisiatif baru untuk beradaptasi di situasi tersebut.

Direktur Information Technology & Business Development ACC Mohammad Farauk mengatakan, perusahaan mengembangkan platform baru untuk memudahkan restrukturisasi pembiayaan. Maka itu, ACC meluncurkan platform berbasis website ACC One on the Web pada awal Maret 2021.

ACC One on the Web memungkinkan pelanggan memilih mobil baru dan bekas lewat E-Catalogue, disertai simulasi kredit dan jadwal pembayaran angsuran. Dua pekan sejak diluncurkan, ACC mencatat pengajuan kredit melalui ACC One on the Web naik 102% dan jumlah pengunjung naik hingga 65%.

Kami melihat perilaku masyarakat semakin akrab bertransaksi via digital. Pandemi menyadarkan kami bahwa kebutuhan digitalisasi ACC masih cukup besar. Maka itu, ACC memperkuat infrastruktur digital secara menyeluruh para business process dan mengembangkan produk dan layanan ACC secara cepat,” ungkapnya kepada DailySocial.

Sementara itu, Adira Finance juga terpaksa menunda sejumlah strategi yang sudah ada untuk memperkuat pengembangan sistem dan operasional berbasis digital. Perusahaan tidak menyebutkan secara spesifik, tetapi Adira Finance mau tak mau juga mengalihkan fokus ke restrukturisasi kredit pada platformnya, yakni Adiraku, momobil.id, dan momotor.id.

Kami sadar pandemi menjadi peluang untuk melakukan perbaikan sistem dan customer experience secara digital. Kami melakukan beberapa perbaikan, seperti menambah fitur dan melakukan user testing untuk dapat customer journey yang lebih valid dari sistem dan operasional berbasis digital. Dengan begitu, pelanggan bisa mengajukan pembiayaan atau pembayaran tanpa perlu datang ke kantor cabang,” ujar Deputy Director sekaligus Head of Digital Center of Excellence Adira Finance Manuel D. Irwanputera.

Senada dengan di atas, MTF terpaksa melakukan perubahan strategi besar-besaran di 2020. Padahal, perusahaan baru saja membentuk divisi digital pada awal Januari 2020. Divisi ini punya tiga fungsi utama, yakni Business through Online untuk mengelola pembiayaan, Development untuk eksplorasi model bisnis baru, dan Implementation untuk mengeksekusi ide menjadi produk. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi biaya dan simplifikasi serta meningkatkan penjualan dan Service Level Agreement (SLA).

Deputy Director Mandiri Tunas Finance William Francis mengatakan bahwa divisi digital yang awalnya memiliki tiga fungsi tersebut terpaksa mengalihkan fokusnya menjadi automatisasi restrukturisasi. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat MTF harus melakukan restrukturisasi ke sebanyak 100 ribu nasabah dan itu tidak bisa dilakukan secara manual dengan banyak persyaratan yang perlu diisi oleh nasabah.

“[Penjualan] sebetulnya sudah recover di periode Agustus-November, tetapi angkanya masih 50%, belum 100%. Ini berdampak cukup besar ke kinerja bisnis kami. Makanya, inisiatif dan strategi digital kami terpaksa di-hold semua. Kami berubah prioritas dari awalnya ingin mempercepat SLA dan otomatisasi proses ke dealer menjadi restrukturisasi. Project di internal yang tadinya ada menjadi ada,” papar William.

Setelah restrukturisasi, MTF mengaku berupaya untuk mengadakan pameran otomotif berbasis online untuk mendongkrak kembali penjualan. Namun, ia menilai pameran otomotif online belum sepenuhnya efektif mengingat konsumen belum terbiasa membeli kendaraan secara online. Dari catatannya, hanya sedikit yang melakukan transaksi dari total ratusan ribu pengunjung MTF Virtual Autofiesta 2020.

Ekspektasi pembiayaan di 2021

Baik Gaikindo dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) memproyeksikan penjualan otomotif domestik dapat tumbuh double digit di 2021. Gaikindo menargetkan 750 ribu mobil baru terjual, sedangkan AISI memproyeksikan kenaikan 11%-15% atau setara 4-4,3 juta sepeda motor terjual di tahun ini.

Dengan proyeksi ini, Farauk mengaku optimistis dapat mendongkrak pembiayaan baru dan melanjutkan pengembangan inovasi digital. Terlebih vaksin Covid-19 sudah mulai didistribusikan dan perilaku masyarakat sudah mulai terbiasa bertransaksi ke digital. Dengan tren tersebut, artinya digitalisasi akan sangat diperlukan.

Salah satu rencana besar ACC adalah membangun fasilitas ACC Digital Operation Center yang ditargetkan beroperasi di 2022. Menurut Farauk, ACC Digital Operation Center akan berdampak signifikan terhadap business process pembiayaan berbasis digital di ACC. Fasilitas ini juga akan menjadi pusat kegiatan digital ACC.

Sementara itu, Adira Finance masih mengalami perombakan strategi digital, baik untuk core system maupun front system di tahun ini. Tujuannya untuk meningkatkan performa dan kualitas customer experience. Menurut Manuel, roadmap digital perusahaan disesuaikan dengan tren kebutuhan digital yang akan semakin besar di pembiayaan ke depan.

“Ada dampak perubahan luas biasa terhadap pola perilaku masyarakat. Sepanjang 2020, respon pelanggan terhadap digitalisasi sangat positif, penggunaan platform digital terus meningkat baik. Kontribusi melalui digital channel memang belum signifikan, tetapi menunjukkan perkembangan positif. Kami harap kontribusinya dapat meningkat dengan memperluas pangsa pasar pelanggan online kami,” ucap Manuel.

Adapun, MTF masih mengosongkan budget untuk pengembangan inovasi digital di semester I mengingat situasinya belum dapat dipastikan. William menyebutkan bahwa pihaknya ingin melihat dulu situasi dan dampaknya di sepanjang semester I ini.

Guideline restrukturisasi tadinya sampai Maret 2021, tetapi diperpanjang pemerintah sampai 2022. Kalau masih ada restrukturisasi, [pengembangan dan budget inovasi] bakal tertunda. Makanya, kalau sudah membaik, kami akan putuskan [pengembangan inovasi] dan inisiatif mana yang mau dieksekusi. Semester II nanti tinggal dijalankan,” tambahnya.

Laporan Mulesoft: Kebutuhan Inovasi IT Diprediksi Melonjak Pasca Pandemi

Kebutuhan inovasi IT diprediksi menjadi urgensi baru bagi perusahaan usai pandemi Covid-19 mereda. Temuan ini disampaikan dalam laporan Mulesoft Connectivity Benchmark 2021 berdasarkan hasil wawancara dengan 800 pemimpin IT di dunia, baik dari perusahaan publik maupun swasta, yang memiliki sekitar 1.000 karyawan.

Dalam laporan ini, ada lima temuan besar yang menarik bagi para Chief Information Officer (CIO) maupun orang IT. Pertama, pandemi memunculkan tipping point terhadap kebutuhan IT. Penerapan kerja remote maupun Work From Home (WFH) akibat pandemi memicu kebutuhan IT yang lebih besar.

Perusahaan mengandalkan IT untuk mempercepat proses pengalihan kerja remote. Kondisi ini justru memberikan tekanan luar biasa bagi tim IT untuk bergerak lebih gesit. Karena upaya ini menyita sebagian besar waktu mereka, pelaku IT banyak tertinggal atau gagal menyelesaikan proyeknya. Laporan menyebutkan hanya 37% perusahaan mampu menyelesaikan proyek yang diminta di 2020 atau 4 dari 10 tim IT dapat memenuhi seluruh komitmen proyek.

Tantangan lainnya adalah pertumbuhan budget IT tidak selaras dengan urgensi kebutuhan. Rata-rata anggaran IT diestimasi naik tipis ke 5,84% di 2021 dari 5,62% di 2020. Menurut responden, pihaknya diminta menyelesaikan 30% proyek tahun ini, tetapi anggarannya diestimasi hanya naik tak sampai 6%.

Tantangan integrasi memperlambat transformasi

Kedua, pandemi memberi tekanan pada perusahaan untuk mengintegrasikan sistem, aplikasi, dan data. Sayangnya, 87% responden menilai upaya integrasi memunculkan tantangan yang dapat memperlambat transformasi. Padahal integrasi merupakan faktor kritikal dalam menentukan kecepatan transformasi digital bagi seluruh industri. 

Alhasil, perusahaan terpaksa menghabiskan waktu dan biaya untuk mengatasi tantangan integrasi. Rata-rata perusahaan menghabiskan rata-rata sebesar $3,5 juta untuk tenaga kerja IT baru, di mana lebih dari sepertiga waktu dihabiskan untuk menyelesaikan integrasi.

Selain itu, sebanyak 77% responden juga menilai bahwa kegagalan transformasi digital bakal berdampak pada pendapatan perusahaan. Hal ini karena transformasi digital diyakini dapat berdampak terhadap pendapatan perusahaan di masa depan.

“Ambil contoh di sektor jasa keuangan di mana telah terjadi pergeseran perilaku konsumen yang cukup signifikan ke layanan mobile dan online selama 12 bulan terakhir. Dalam konteks ini, 89% responden mengaku akan ada pengaruh negatif terhadap pendapatan,” ungkap laporan tersebut.

Sistem lama menyulitkan transformasi secara agile

Ada tiga tantangan utama yang dihadapi perusahaan yang melakukan transformasi digital. Sebanyak 34% responden menilai bahwa warisan infrastruktur IT lama (legacy) menjadi tantangan terbesar yang dapat menghalangai perusahaan untuk menciptakan inisiatif digital baru.

Kemudian, 30% responden menyebut risk management, compliance, dan legal implication sebagai tantangan terbesar kedua. Di urutan ketiga, alokasi budget dan SDM menjadi tantangan utama selanjutnya.

Selain itu, silo data menurut 90% responden dan warisan infrastruktur IT yang lama (legacy) bagi 60% responden, dinilai mempersulit integrasi ke teknologi baru dan membuat perusahaan sulit bertindak secara agile. Sebanyak 70% responden bahkan menilai legacy IT menjadi tantangan sulit bagi industri healthcare dan 68% di asuransi.

Di balik itu semua, transformasi digital diyakini dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan engagement dan inovasi pelanggan, serta penyelesaian proyek yang lebih cepat.

API menghasilkan pendapatan baru

Temuan keempat, sebanyak 96% responden dilaporkan telah mengimplementasi API, yang mana sebagian besar digunakan untuk melakukan integrasi dan menjalankan proyek baru. Dengan kebutuhan tersebut, setidaknya 27% responden menyebut telah meraup pendapatan dari implementasi API.

Laporan ini juga menemukan bahwa penggunaan API dapat berpengaruh terhadap sejumlah aspek penting bisnis. Misalnya, peningkatan produktivitas (59%), self-service (48%), dan peningkatan inovasi (46%). Selain itu, API juga memberikan manfaat lain, yaitu penurunan biaya operasional, peningkatan keterlibatan karyawan, dan pertumbuhan pendapatan (28%).

Terakhir, laporan ini juga menyebutkan bahwa data menjadi aspek penting dalam proses integrasi. Dari berbagai peran yang dibutuhkan untuk melakukan integrasi besar, data scientist berada di urutan teratas bagi 47% responden, naik dari 38% di 2020.

“Data menjadi jantung dari setiap rencana investasi. Maka itu, data scientist dan proyek yang berfokus pada big data dan analitik diperkirakan menjadi fokus utama perusahaan ke depannya,” ungkap laporan ini.

Laporan ini merekomendasikan tim IT untuk dapat memenuhi kebutuhan integrasi dari tim bisnis. Menurut surveinya, banyak perusahaan kini mulai mengembangkan tools sendiri untuk memperlengkapi tim bisnisnya melakukan integrasi aplikasi dan sumber data.

Selain cloud (57%) dan sistem keamanan (53%), sebanyak 45% responden menyebut analitik data dan 43% responden pada integrasi big data sebagai prioritas investasi perusahaan di 2021.

Manuver Blue Bird Hadapi Pandemi Lewat Akselerasi Digital

Ketika Gojek dan platform on-demand lainnya beroperasi secara komersial, sejumlah penyedia jasa transportasi konvensional sempat berteriak. Gojek dinilai telah mendisrupsi bisnis transportasi yang sudah ada. Kehadiran layanan seperti ini bahkan sempat memunculkan perseteruan antara penyedia transportasi konvensional vs on-demand.

Selang beberapa tahun kemudian, situasinya berkebalikan. Penyedia jasa transportasi konvensional maupun on-demand kini saling merangkul untuk me-leverage peluang baru lewat teknologi.

Konteks di atas turut terjadi pada operator taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang pada akhirnya berkolaborasi dengan Gojek di 2016. Korporasi semakin melihat esensi digitalisasi terhadap keberlangsungan bisnis. 

Lalu bagaimana manuver Blue Bird menghadapi perkembangan digital, terutama di masa pandemi? Simak selengkapnya lewat wawancara DailySocial dengan Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto.

Transformasi digital Blue Bird

Bicara transformasi digital, Blue Bird dinilai perlu mengambil langkah baru dengan posisinya sebagai operator taksi terbesar di Indonesia. Apalagi, teknologi telah mengubah bagaimana pasar berperilaku.

Sejak 2015 hingga 2019, Blue Bird mencatatkan penurunan pada kinerja keuangannya. Puncak penurunan ini mulai terlihat pada pendapatan Blue Bird di periode 2015-2017, di mana saat itu popularitas layanan transportasi on-demand tengah meroket di sejumlah kota besar Indonesia.

Penurunan kinerja Blue Bird dalam 4 tahun terakhir

Yang tidak banyak diketahui, Blue Bird sebetulnya sudah lebih dulu mengembangkan aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird sekitar 2011/2012. Dapat dikatakan aplikasi ini sudah jauh lebih dulu meluncur sebelum Gojek.

Menurut Andeka Putra, mantan Chief Information Officer Blue Bird di wawancara terdahulu, My Blue Bird kurang dipromosikan dengan baik sehingga popularitasnya belum dapat mengejar transportasi on-demand.

Kini, Paul Soegianto mengomandoi transformasi digital yang gencar dilakukan sejak tahun lalu oleh divisi Strategic Transformation Office (STO) untuk mengelola strategi, portofolio, dan transformasi digital perusahaan. Sebelumnya, transformasi digital dieksekusi divisi Business Transformation Office (BTO).

Paul mengungkap ada sejumlah inisiatif baru untuk mengakselerasi bisnisnya. Sebagai perusahaan berbasis aset, ia menilai Blue Bird perlu melakukan diferensiasi dengan kompetitor. Per akhir 2019, Blue Bird memiliki 20.633 unit armada taksi reguler, 883 unit taksi eksekutif, 6.231 unit limosin dan mobil sewaan, dan 601 unit bus.

Fokus utamanya adalah menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) di mana perusahaan menggunakan tiga pendekatan utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Pendekatan pertama, multichannel, adalah memperluas akses layanan transportasi Blue Bird di lebih dari satu channel. Sebelumnya, layanan ini sudah tersedia di Gojek dan Traveloka. “Kami akan perbanyak channel ini, akan ada akhir September ini,” ungkapnya di sesi virtual meet dengan DailySocial.

Saat ini My Blue Bird menjadi platform utama perusahaan dalam pemesanan taksi. Menurut Paul, aplikasi tersebut akan hadir dengan sejumlah pembaruan pada Desember mendatang.

Blue Bird juga melakukan diferensiasi layanan di luar jasa transportasi, yakni sewa mobil dan bus, serta logistik. Paul juga menargetkan layanan tersebut juga dapat dipesan melalui multiplatform.

“Terkait mobility partnership, kami juga akan umumkan kolaborasi dengan salah satu perusahaan besar di Indonesia untuk layanan multimoda. Ini berkaitan ke multiproduct/service tadi,” ungkap Paul.

Terakhir adalah multipayment. Opsi pembayaran beragam dinilai menjadi salah satu kunci utama di era inklusivitas layanan. Apalagi masuknya Gojek sebagai pemegang saham minoritas Blue Bird akan memungkinkan integrasi GoPay ke layanan My Blue Bird.

“Semua layanan Blue Bird menerima jenis pembayaran nontunai, termasuk platform digital. Bahkan sejak empat bulan terakhir, kami sudah roll out Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke 12.000 armada Blue Bird dan sudah selesai,” tambahnya.

Tak kalah penting, lanjut Paul, perusahaan juga berupaya mendigitalisasi semua armada taksi selama sebulan terakhir. Paul mengungkap bahwa kini setiap armada dilengkapi front panel yang dapat mengukur sensor di dalam taksi, melakukan tracking akurat dengan GPS, dan safety management.

“Kami mendukung ujung tombak (pengemudi) dengan teknologi, seperti IoT dan AI. Sekarang kami lagi moving semuanya ke cloud based. Sistem dan jaringan juga kami revamp supaya baru semua di akhir tahun ini. Ini semua untuk meyakinkan konsumen bahwa kami dapat memenuhi good factor layanan kami,” paparnya.

Masuk ke layanan logistik

Pandemi Covid-19 sangat memukul sektor transportasi di dunia. Dampaknya turut dirasakan Blue Bird akibat kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan kegiatan kerja dan sekolah di rumah.

Berdasarkan kinerja di kuartal II 2020, Blue Bird mengalami penurunan signifikan pada total pendapatan dan laba. Pandemi membuat kontribusi pendapatan dari jasa taksi Blue Bird turun 43 persen menjadi Rp865 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu Rp1,5 triliun.

Dampak pandemi terhadap kinerja Blue Bird
Sumber: Laporan Keuangan Kuartal II (2019-2020) / Diolah kembali oleh DailySocial

Blue Bird melakukan manuver dengan masuk ke layanan logistik sejak Maret lalu. Perusahaan memperkenalkan program COD (Chat-Order-Delivery) Blue Bird yang dapat dipesan melalui WhatsApp. Layanan ini tersedia untuk kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, dan Palembang.

Program COD ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah layanan baru, BirdKirim. Pelanggan dapat mengantar barang atau dokumen yang tarifnya disesuaikan dengan jarak kirim. Layanan yang tersedia di aplikasi My Bluebird ini diperkenalkan pada Juni lalu.

“Sekarang kami tinggal tunggu [pengembangan] untuk layanan logistik grosir, jadi dapat dipesan via aplikasi juga. Bagi kami, layanan logistik untuk korporasi sangat menarik. Sudah banyak perusahaan besar yang memindahkan layanan logistiknya ke kami. Ada [platform] e-commerce B2B yang pengiriman logistiknya sudah pakai jasa Blue Bird, hanya saja belum bisa kami umumkan,” jelasnya.

Selain itu, Paul mengungkap bahwa pihaknya berencana mengumumkan kolaborasi dengan salah satu startup logistik yang sudah berjalan sejak Maret lalu. Lewat upaya kolaborasi ini, perusahaan memproyeksikan pertumbuhan bagus dari layanan logistik.

Menentukan “Make-or-buy decision”

Bicara tentang pengembangan inovasi, baik sendiri maupun kolaborasi ini, tentu dibutuhkan komitmen solid dari top level. Dalam prosesnya, Paul menegaskan pentingnya menerapkan strategi “make-or-buy decision“.

Menurutnya, model ini belum diterapkan dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Di Blue Bird sendiri, Paul mengaku terus mengamati kapabilitas perusahaan untuk memahami perlunya pengembangan sendiri, pengelolaan sendiri, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga.

Sebetulnya model ini sudah tak asing bagi korporasi. Umumnya, strategi membeli lewat akuisisi sering dipilih karena lebih efisien secara waktu dan sumber daya. Dan konsep ini dinilai lebih cepat untuk men-deliver layanan di pasar. Namun, mengembangkan sendiri juga tidak ada salahnya selama ada modal dan sumber daya yang cukup dan mumpuni.

Di konteks ini, saham minoritas Blue Bird bahkan telah diakuisisi Gojek senilai $30 juta atau sekitar Rp411 miliar) pada Februari 2020.

Sampai saat ini belum diketahui rencana besar apa di balik pembelian saham Blue Bird oleh Gojek. Yang pasti, Blue Bird saat ini tengah menyiapkan sinergi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Paul sendiri menolak berkomentar terkait rencana selanjutnya dari akuisisi tersebut.

“Beberapa hal yang bukan kompetensi Blue Bird pasti akan kami beli. Artinya, skema beli ini untuk long term partnership. Sebentar lagi, Blue Bird akan ada tanda tangan kontrak besar terkait hal ini,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Mempelajari Strategi Inovasi Perusahaan Lewat Sistem Kekebalan Tubuh

Anda mungkin sudah mendengar tentang novel populer Aldous Huxley yang berjudul “Brave New World“, beserta inspirasi dari “Brave molecular world” di dalam diri Anda. Di masa pandemi, sistem kekebalan tubuh sedang menghadapi tantangan. Banyak bisnis juga harus melewati masa-masa penuh tekanan. Kita percaya akan dunia molekuler yang berani, saat sistem kekebalan tubuh bertahan terhadap kuman, kemudian memberi inspirasi mengenai inovasi selama masa-masa sulit sebagai berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, para ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah kuman telah melebihi jumlah sel sistem kekebalan tubuh kita. Perhitungan kasarnya, 1 sel pertahanan mungkin harus menghadapi 10-100 bibit kuman. Namun, selama ini kita merasa sehat, tanpa merasa terganggu oleh pertempuran molekular yang terjadi di dalam tubuh kita. Sementara kuman selalu berusaha menyelinap masuk, sistem kekebalan tubuh kita waspada, mengantisipasi makhluk dan aktivitas yang mencurigakan.

Ada dua macam sistem kekebalan tubuh pada manusia: bawaan dan adaptif. Tentara sistem bawaan berkolaborasi dan mendukung pembelajaran tentara adaptif. Ketika kuman menyusup, tentara sistem bawaan kita, salah satunya disebut fagosit, akan mengejar kuman itu. (Jangan khawatir, ia tidak memiliki bola mata). Kemudian, “pertarungan tangan kosong” dimulai. Menggunakan lengan pseudo-nya, fagosit kita akan mengambil dan menembak berbagai bahan kimia beracun untuk membunuh kuman tersebut. Sepanjang perjalanannya, perusahaan Anda akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak terduga, termasuk persaingan yang mengancam. Jika Anda menyukai modus operandi fagosit ini dalam menangani kuman jahat, perusahaan harus bisa menyiapkan strategi responsif untuk mempertahankan wilayahnya.

Selanjutnya, prajurit pertahanan kita dengan cermat mengikis kuman. Kemudian mengangkut sisanya dan meneruskan temuan ini ke anggota sistem kekebalan adaptif – sel B dan sel T, untuk dipelajari lebih lanjut. Namun, jika tentara fagosit diliputi oleh koloni yang lebih tangguh, prajurit lain akan segera datang untuk membantu. Pernah mengalami peradangan? Ini merupakan satu waktu dimana tentara kecil Anda merekrut pasukan cadangan, mengulur waktu bagi tentara sistem adaptif untuk mempelajari koloni lalu menyusun respon optimal. Jadi, sembari dalam menghadapi tantangan yang sedang berlangsung, perusahaan membutuhkan cara untuk secara sistematis dan terus-menerus belajar dari kegagalan dan keberhasilan. Perusahaan juga perlu menemukan cara untuk “membeli waktu” ketika perlu mundur, menilai situasi, dan menyusun strategi.

Sistem pertahanan kita selalu mempelajari hal-hal baru. “Pembelajaran” ini terjadi di kelenjar getah bening kita. Anda dapat menganggap mereka sebagai “ruang perang”, tempat tentara sistem kekebalan adaptif — seperti sel B dan sel T belajar, berinovasi, dan menyusun strategi bersama untuk meningkatkan serangan respons terbaik. Misalnya, sel T, mereka belajar membedakan penjajah dari sel dan protein kita sehingga mereka tidak membuat kesalahan di medan perang, sedangkan sel B selalu bermain-main dengan berbagai bentuk antibodi. Karena satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian, perusahaan perlu mengotak-atik produk dan layanan yang mereka tawarkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini, ketika situasi yang tidak terduga terjadi, mereka mampu meningkatkan respons awal dan menjadi adaptif. Jadi, dengan tidak adanya ancaman, mereka belajar dan berlatih. Dan di hadapan serangan, mereka terus belajar dari apa yang dilaporkan tentara lain dari medan perang. Dengan kata lain, mereka selalu waspada selama keadaan normal dan masa perang.

Sel-B memiliki banyak kombinasi melalui mutasi saat bekerja maupum tidak, siap di lengan mereka. Mereka ada di sana untuk waspada akan kuman seliicik apapun, yang mungkin tiba-tiba menyerang. Jika Anda melihat proses pembelajarannya, mungkin terlihat berlebihan dan mahal. Tentunya, sebagian antibodi bekerja sementara sebagiannya tidak. Namun jika dipikir lagi, semua adalah bagian dari sistem inovasi yang sukses. Setiap kali ada penyerang baru, sistem pertahanan dapat secara responsif bertahan dengan versi awal dari antibodi adaptif. Di “ruang perang”, sel T terus belajar dan menyesuaikan diri berdasarkan keberhasilan dan kegagalan pelepasan antibodi awal untuk menghasilkan serangan yang lebih spesifik dan kuat terhadap penyerang.

Tidak hanya pelajar yang rendah hati, tetapi sel T juga ahli dalam komunikasi dan perencana. Setelah belajar dari medan perang, sel T mengirim sitokin ke sebagian besar sel-B. Anda dapat menganggap sinyal ini sebagai instruksi WhatsApp yang menentukan dengan tepat jenis sel-B antibodi apa yang diperlukan untuk memulai proses penciptaan. Selanjutnya, antibodi spesifik dan optimal ini akan dihafal oleh sel T memori, sehingga tanggapan di masa depan terhadap patogen yang sama akan lebih cepat.

Sel-T adalah jenis tentara elit yang juga melakukan inspeksi di medan perang. Kadang kuman licik bersembunyi di dalam sel. Kadang kuman ini berdandan dan menipu fagosit kita untuk berpikir bahwa mereka adalah teman. Dengan demikian, fagosit tidak akan mengejar dan memotongnya. Tetapi sel-T dapat melihat skema kuman jahat. Katakanlah, virus menyamar dan mendirikan toko virus di dalam sel inang. Karena tersembunyi, antibodi jangka panjang tidak dapat mencapai penyerang ini. Sel T dapat mengetahuinya. Lalu akan datang ke sel yang terinfeksi dan memiliki “pertempuran jarak pendek” untuk menjatuhkan penjajah ini.

Pada akhirnya, sel T, adalah tentara yang mampu membuat keputusan sulit di saat genting. Selama pertempuran jarak pendek, jika salah satu sel terinfeksi, sel T akan membunuhnya dengan harapan menghancurkan semua musuh di dalam sel yang dibajak dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika Anda pernah menderita influenza, fakta bahwa Anda pulih, berarti sel T Anda telah melakukan pertempuran jarak pendek ini dan membuat keputusan sulit untuk Anda.

Kami berharap operasi ini tidak hanya memaparkan Anda pada kompetisi tentara molekuler yang luar biasa, tetapi juga untuk menginspirasi Anda belajar, berinovasi, dan bekerja sama seperti mereka. Sama seperti banyaknya kuman yang melebihi jumlah tentara yang memiliki sistem kekebalan tubuh, tantangan akan selalu tampak besar. Namun, sel-sel kekebalan itu tidak pernah lari. Jadi, jangan gentar. Sifat tak kenal takut, kooperatif, dan inovatif, mereka terjalin dalam DNA kita.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Grace Dewi. Ia adalah Ahli Biologi Kimia & sarjana Fulbright Presidential Ph.D. dalam Strategi Bisnis.