Rencana Bisnis BintanGO Usai Kantongi Pendanaan Awal

Setelah mendapatkan investasi tahapan pre-seed tahun 2021 lalu dari Flash Ventures senilai $500 ribu, BintanGO startup teknologi yang menawarkan all-in-one CreatorSpace, mengumumkan putaran pendanaan awal senilai $2,1 juta. Dana segar tersebut rencananya akan digunakan perusahaan untuk membantu para pembuat konten menjalankan bisnis mereka.

Putaran pendanaan ini dipimpin oleh Investible dan eWTP Tech Innovation Fund dengan partisipasi dari Farquhar, Plug and Play, Aksara, Redbadge Pacific, Moonshot Ventures, Mulia Sky Capital, dan United Creative. Sejumlah angel investor turut terlibat di putaran ini, termasuk eksekutif dan mantan eksekutif dari YouTube, Facebook, dan Google.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & SVP Commercial BintanGO Oktorika Mandasari mengungkapkan, dilihat dari pertumbuhan creator content saat pandemi, memberikan peluang bagi perusahaannya untuk menghadirkan platform terpadu, yang bisa dimanfaatkan oleh kreator dan brand.

“Dana segar tersebut juga akan kami manfaatkan untuk mengembangkan teknologi dengan merekrut tim teknologi,” kata Oktorika.

BintanGO didirikan oleh Jason Lee dan Oktorika Mandasari pada Mei 2021, memiliki misi untuk memberikan solusi yang didukung oleh teknologi untuk membantu content creator menyederhanakan dan mengelola bisnis mereka dengan lancar. Solusi ini mencakup produktivitas, monetisasi, dan solusi keuangan.

Platform ini menyerupai platform SaaS yang menyediakan alat produktivitas dan monetisasi serta solusi keuangan bagi pembuat konten untuk membantu mereka mengelola dan mengembangkan bisnisnya.

Perluas kemitraan dengan brand

Influencer Marketing Hub (2022) memperkirakan total valuasi ekonomi kreator di Indonesia akan mencapai $104 miliar atau setara dengan Rp1.493 triliun pada tahun 2022. Tingginya tingkat popularitas influencer, baik mikro maupun makro, berdampak pada terbukanya peluang pendapatan bagi mereka, seperti meningkatnya fan engagement, kerja sama dengan brand, hingga pembuatan IP dan memulai bisnis mereka sendiri.

Sebagai platform yang berfungsi sebagai wadah bagi kreator ekonomi untuk berkarya dan mengelola keuangan mereka, BintanGO menawarkan 3 fitur yang bisa dimanfaatkan. Mulai dari fitur yang bisa mengembangkan kreativitas, fitur untuk monetisasi, hingga fitur finansial yang bisa dimanfaatkan oleh kreator.

“Saat ini khususnya untuk kreator nano dan mikro (yang tidak memiliki jumlah pengikut cukup besar), masih kesulitan untuk mengelola pembayaran. Melalui BintanGO kami menawarkan pilihan invoice yang bisa dimanfaatkan dengan fee yang akan kami kenakan kepada mereka,” kata Oktorika.

BintanGO memberikan pilihan gratis kepada kreator, monetisasi mereka lancarkan langsung kepada brand. Tercatat saat ini BintanGO secara organik telah merekrut lebih dari 10 ribu kreator dan telah menghasilkan lebih dari $150 ribu dalam waktu tiga bulan terakhir.

BintanGO bermula dengan menawarkan sebuah solusi bagi para penggemar untuk dapat terhubung dengan idolanya melalui fitur video shoutout dan video calls. Teknologi tersebut dikembangkan sendiri oleh perusahaan, untuk menambah pilihan kepada pengguna dan kreator.

Tren ini berkembang viral secara organik dari para penggemar yang membagikan video mereka serta para selebriti yang turut mempromosikan layanan tersebut di media sosial, hingga menyebabkan minat yang kuat dari para kreator konten nano dan mikro yang ingin bergabung dengan BintanGO.

Dukungan finansial untuk kreator

Salah satu layanan yang menjadi fokus perusahaan saat ini adalah finansial atau pembiayaan kepada kreator. Masih dijalankan secara terbatas, nantinya kreator yang bergabung dengan BintanGO diberikan kesempatan untuk mendapatkan dukungan finansial dari institusi dan pihak terkait lainnya yang telah menjalin kerja sama strategis.

“Saat ini layanan tersebut masih terbatas. kami sudah mulai menyalurkan layanan tersebut ke beberapa kreator. Tahun ini rencananya ingin menjadikan pilihan tersebut dalam aplikasi. Targetnya tahun ini kami bisa mendapatkan validasi dan bagaimana bisa menyebar layanan tersebut kepada semua kreator BintanGO,” kata Rika.

Tahun ini BintanGO memiliki target untuk bisa menambah lebih banyak kreator konten, mitra dari berbagai bisnis yang bertujuan untuk memberikan pilihan lebih banyak lagi dalam platform. Selain itu fokus perusahaan juga ingin melakukan scale-up produk finansial.

“Kami juga secara aktif melakukan pendekatan dengan berbagai penyedia layanan fintech, platform pemasaran influencer, serta beragam industri vertikal lainnya untuk melihat peluang sejauh mana mereka dapat mendapatkan nilai lebih, dan di saat yang sama, memberikan manfaat dari proses integrasi bersama kami agar dapat menghadirkan pengalaman yang menarik dan tanpa kendala bagi para kreator dalam mengelola bisnis mereka,” kata Oktorika.

Application Information Will Show Up Here

Famous Allstars: Bentuk “Creator Venture” hingga Rencana Penggalangan Dana (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Tulisan Bagian I menyajikan pandangan Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani tentang lanskap creator economy, monetisasi, hingga regulasi di Indonesia.  

Bagaimana perjalanan transisi ketika Famous dan Allstars merger?

Arief (Ar): Pasca-merger, Famous Allstars (FAS) punya tiga pilar bisnis, yaitu (1) agency yang menghubungkan brand dan kreator, (2) talent yang kini menjadi bagian dari ekosistem creator economy, dan (3) teknologi melalui platform Allstars.id. Bagi kami, tiga pilar ini menjadi landasan kuat untuk bergerak ke area yang berpotensi berkembang, baik ketika masuk ke Web2 maupun Web3.

Alex (Al): Biasanya saat merger, [bisnis] terpotong kanan-kiri karena ada duplikasi. Interestingly, ketika GoViral, Avenu, Indovidgram, dan KokikuTV bergabung menjadi Allstars, dan Allstars bergabung dengan Famous, seluruh model bisnisnya tidak saling menduplikasi.

Indovidgram bergerak di media yang berfokus pada pengembangan kreator di komunitas. Modelnya similar dengan KokikuTV dan Avenu, tapi masing-masing bergerak di bidang F&B dan beauty-fashion. Sementara, GoViral bergerak di community and buzzer. Ketika bergabung menjadi Allstars, seluruh pilar bisnis kami saling melengkapi satu sama lain. Meski bergerak di industri berbeda, tetapi tujuannya tetap sama.

Pada saat itu, Famous adalah conventional agency yang bekerja sama dengan brand untuk menciptakan influencer campaign marketing, project, atau strategy. Seluruh model bisnisnya saling bersinergi di mana Allstars jadi memiliki agency, menghubungkan dengan brand. Famous justru mendapatkan inventory yang bisa dibawa ke brand.

Bagaimana platform Allstars.id memenuhi ekspektasi para kreator dan brand?

Ar: Feedback dari kreator dan brand menjadi faktor mengapa bisnis FAS terus berkembang. Salah satu yang diinginkan brand pada influencer tech platform adalah kapabilitas untuk melihat kinerja secara demografi. Di Allstars.id, brand bisa melakukan pencarian berdasarkan delapan kategori demografi. Misalnya, sebuah brand ingin mencari kreator dari Surabaya dengan jumlah follower berkisar 1.000-10.000 dengan budget sekian. Justru banyak brand yang bekerja sama dengan influencer atau kreator skala kecil.

Tampilan cara kerja platform Allstars.id / Sumber: Famous Allstars

Dari sisi kreator, mereka ingin tahu berapa rate card untuk karyanya. Kami lalu bikin fitur kalkulator, semacam simulasi, untuk menghitung itu. Misalnya, biaya engagement rate 3% itu sekian harga yang pantas. Jadi, kami mengembangkan tools berdasarkan feedback dari mereka. Tim produk kami juga berikan masukan, seperti aspek keamanan dan pembayaran. Contoh lain, kami minta pertimbangan dari kreator, kapan idealnya withdraw saat proyek selesai.

Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan fitur measurement di platform Allstars.id untuk mengetahui performance dari kreator dan brand. Kapabilitas ini kemungkinan juga akan jadi platform independen (terpisah) karena banyak kreator dan brand yang ingin tahu kinerja mereka. Selain itu, kami juga sedang sesuatu yang menarik juga, yakni live streaming.

Dalam mengukur metrik sebuah campaign, bagaimana mengembangkan tools untuk akomodasi kebutuhan dari berbagai kategori brand?

Ar: Secara garis besar, kami mengembangkan tools dari pre-planning, campaign, hingga post-campaign. Misalnya, brand ingin menggunakan sebanyak 50 influencer untuk sebuah campaign. Brand ingin tahu berapa engagement rate atau konten yang dikerjakan kreator, sesuai kesepakatan atau tidak.

Sebetulnya, untuk metrik ini, kreator bisa saja lihat dari social media asset mereka. Tapi fitur kami kan langsung dalam satu platform. 

Untuk mengukur metrik berdasarkan kategori brand berbeda, sebetulnya ada banyak. Misal, Return of Investment (ROI), atau engagement rate dan cost per view sebagai standar metrik. Untuk saat ini, kami belum sedalam itu [mengembangkan tools] untuk metrik yang lebih kompleks, seperti jumlah penjualan yang dihasilkan dari sebuah campaign atau dari mana datangnya penjualan,

Al: Alasan kami bentuk Allstars.id sejak awal karena ingin mengakomodasi kebutuhan UMKM. Selama ini kebanyakan yang pakai agency adalah brand-brand besar. Tapi creator economy kan tidak cuma dibutuhkan oleh big brand, tetapi UMKM. Biaya agency itu mahal dan UMKM tidak mungkin pakai itu. Mereka butuh job, dengan jumlah follower yang kecil, bagaimana cara mereka monetisasi jasa atau karya. Apabila UMKM mendapat job, mereka dapat meningkatkan popularitas, skillset, dan audiens.

Bicara soal pengembangan inovasi, platform kami memampukan brand untuk filter kreator atau influencer yang mereka cari. Begitu juga sebaliknya, influencer juga bisa mencari brand. Selain itu, we take it further [kapabilitasnya] di mana brand dapat mencari kreator berdasarkan demografi follower-nya. Ini bisa menjadi starting point yang baik karena kami kembangkan kapabilitas dari sisi discoverability dan analitik yang lebih dalam.

Sumber: Famous Allstars

Dulu brand bikin campaign menggunakan jasa agency, mereka bertemu untuk diskusi, lalu buat laporan dalam bentuk power point. Di platform ini, aktivitas campaign dapat dimonitor di dashboard. Brand bisa pakai kapabilitas yang kami sediakan, misalnya tracking campaign secara real time, tidak perlu lagi agency kirim laporan dalam bentuk Power Point. Brand bisa memonitor kinerja influencer yang mereka pakai, seperti jumlah post, like, comment, atau berapa ROI yang diperoleh dengan budget sekian.

Seluruh kapabilitas ini akan membawa Famous Allstars ke next levelThat’s what we aim, kami push dari sisi teknologi, bukan cuma [mendigitalisasi] cara konvensional dari cara sebuah agency bekerja.

Apa saja rencana yang tengah disiapkan FAS tahun ini?

Al: Di luar pengembangan fitur, kami percaya ada future plan yang menarik dan akan menjadi fokus kami selanjutnya, yakni creator venture.

Creator venture adalah sebuah kolaborasi antara FAS dan kreator untuk mendirikan sebuah bisnis. Ini bukan sesuatu yang baru, hanya istilahnya saja. Model bisnisnya pun lama. Contohnya, Geprek Bensu merupakan sebuah usaha yang didirikan oleh kreator/influencer. Contoh lain, Kylie Jenner mendirikan usaha skincare dan kosmetik.

Sebelumnya, kami sudah membentuk joint venture bersama RANS Entertainment untuk mendirikan media baru Bund Lifetainment, lalu investasi dari EMTEK untuk mendirikan 1ID Entertainment. Kedua, kami berkolaborasi secara individu dengan Bayu Skak, salah satu talent kami, untuk memproduksi film “Youwis Ben”.

Kami melihat creator venture akan menjadi the next wave to go. Ini menjadi salah satu cara kami melangkah ke level selanjutnya. Kami tak cuma menjadi stakeholder, mengelola talent, atau menghubungkan brand, tetapi juga memperat hubungan dengan memperdalam bisnis bersama kreator. Saya yakin setiap kreator punya passion, tetapi mungkin belum tentu bisa dijalankan atau dimodali sendiri. Di sini, mereka akan punya kepemilikan dari bisnis yang mereka bangun.

Apakah [cara ini] make sense untuk menjadi sustainable business? Selama ini kami kerja sama hanya sebatas commercial atau transactional deal. Tapi, kami ingin selanjutnya ingin menjadi partner, bukan agency atau managementCreator venture akan menjadi bagian penting untuk mengidentifikasi kreator mana yang bisa jalan bersama FAS.

Bagaimana model bisnis creator venture?

Al: Kami mengidentifikasi dua pilar menarik, yakni F&B dan beauty. Kami melihat kedua bisnis ini sustainable dan cukup everlasting, punya high growth margin, profit proven, dan industrinya tidak akan mati–bukannya tidak berdampak ya. Selain itu, ada banyak kreator atau influencer di dua sektor ini.

Kami eksplorasi sektor beauty di Indonesia, karena pemain lokal dan potensi pasarnya sangat besar di Indonesia. Kami lihat acceptance terhadap brand lokal sangat tinggi. Begitu juga dengan appetite pasar, mereka punya daya eksplorasi besar.

Esensi dari creator venture adalah kreator punya kepemilikan dari bisnisnya. Modelnya ada dua, (1) membentuk joint venture (JV) dan (2) memberikan investasi ke bisnis yang sudah dimiliki kreator. Variasi kepemilikan [saham] sesuatu kesepakatan, tetapi intinya bisa saling co-own.

Apakah FAS berencana untuk fundraising di 2022?

Al: Semua yang kami sampaikan di atas, mulai dari mencari talent, mengembangkan inovasi, dan membuat venture baru, that takes funding. Sejak bulan lalu, kami berbicara ke lebih dari sepuluh venture capital (VC). Goal kami, bukan soal funding semata dan neglect VC yang sudah pernah berinvestasi di FAS, tetapi mencari sinergi. Creator economy luas sekali, makanya VC yang dapat memenuhi goal kami menjadi penting karena mereka akan membawa dan menghubungkan FAS ke network yang lebih luas.

Dalam konteks creator venture, apabila salah satu VC yang kami jajaki punya expertise atau portofolio di F&B dan beauty, ini bisa memudahkan kami untuk mengembangkan bisnis tersebut. Jika ada talent hebat di F&B, kami bisa hubungkan ke jaringan yang dimiliki VC. Jadi, kami mencari expertise, network, dan portofolio agar kami dapat mengakselerasi bisnis yang akan kami bangun.

Terkait investasi dari EMTEK, tentu ada sinergi besar karena EMTEK adalah media mogul. Fokus kami tetap di media entertainment dan sinergi EMTEK akan memudahkan kami mengembangkan talent. EMTEK punya ekosistem, kami bisa berperan sebagai sourcing talent buat mereka juga. Itulah pilar kerja sama kami dengan EMTEK. It’s beyond than funding.

Lagipula, kami jadi lebih mudah membangun creator venture ini karena memanfaatkan ekosistem besar milik EMTEK untuk akselerasi pertumbuhan bisnisnya.

Famous Allstars: “Creator Economy” Indonesia Belum Capai Puncak Pertumbuhan, Ruang Eksplorasi Masih Besar (Bagian I)

Bagi Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani, industri creator economy Indonesia saat ini tengah memasuki periode yang mendebarkan. Mengapa? Perkembangannya begitu cepat, pasarnya sangat antusias, dan ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi, baik dari sudut pandang kreator, inovator, hingga pemilik brand. 

Mereka punya pandangan demikian mengingat Famous Allstars atau FAS bukanlah pemain baru di industri ini. FAS telah lama menyaksikan perkembangan creator economy, dari ketika model monetisasinya masih konvensional hingga sekarang di mana kreator semakin independen berkarya.

Jika mengikuti perjalanannya, FAS berdiri dari penggabungan bisnis antara Famous dan Allstars pada 2019 silam. Famous menaungi channel-channel konten kreatif popular Indovidgram, KokikuTV, Avenu, dan Indovidgram pada 2012-2015. Sementara, Allstars adalah platform yang menghubungkan brand dengan influencer. FAS juga menerima pendanaan dari perusahaan konglomerasi media EMTEK Group dan bersinergi dengan RANS Entertainment di 2021.

Di sesi eksklusif ini, DailySocial merangkum obrolan panjang bersama Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani terkait lanskap industri, monetisasi, hingga rencana bisnisnya tahun ini. Selengkapnya, kami sajikan dalam dua bagian.

Creator economy punya definisi luas sehingga ada anggapan influencer juga termasuk di dalamnya. Bagaimana Anda mendefinisikan kedua hal ini?

Alex (Al): Definisi influencer sesuai terjemahannya: seseorang yang memberikan pengaruh lewat kreasinya. Karena teknologi bergerak dengan cepat, terminologi itu–at least dari sudut pandang saya–menjadi sedikit insignificant.

Dulu influencer tidak exist di awal kami membangun bisnis ini. Seiring berjalannya waktu [konteks: influencer mulai populer], terminologi ini semakin berkurang. Influencer ingin disebut sebagai kreator. Kenapa? Karena mereka merasa menghasilkan sesuatu dan bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya dulu kreator identik dengan hasil karya seni, sekarang berbeda. Konten video pendek bisa dikatakan sebagai kreasi. Jika hari ini, saya membuat konten digital di Instagram, YouTube, atau TikTok, saya bisa sebut diri sebagai kreator.

Creator economy ini menarik karena siapa saja dapat menjadi kreator dan influencer. Yang membedakan adalah skala dan kemampuannya. Bisa jadi saya kreator, tetapi skala kreativitasnya masih kalah dari kreator lain.

Contoh, istilah livestreamer pasti akan lebih besar lagi di masa depan. Apakah livestreamer disebut influencer atau content creator? Tentu bisa. Akan tetapi, livestreamer mungkin punya skillset berbeda dengan influencer karena influencer belum tentu bisa livestreaming. Sementara, influencer mungkin punya kemampuan copy writing yang baik, tetapi belum tentu bisa live selama satu jam. Youtuber belum tentu bisa livestreaming, karena kontennya sebagian besar recorded, bisa diulang, atau diedit.

Seniman menggambar nanti mungkin bakal dikenal sebagai NFT artist dalam 2-3 tahun lagi. Terminologinya berubah karena creator economy membentuk sebuah identitas dan lapangan kerja yang baru. Jadi, terminologi [baru] akan terus muncul seiring waktu karena industri creator economy akan semakin luas.

Di era kehadiran Web3, saat ini industri creator economy Indonesia ada di fase apa?

Arief (Ar): Saya pernah mengikuti talkshow yang diisi oleh Li Jin, Founder dan General Partner Atelier Ventures. VC ini banyak berhubungan dengan [startup] creator economy. Dalam paparannya, dia sebut ada empat fase creator economy.

Pertama, creator economy versi 1.0 itu ketika internet hadir di mana [setiap] individu bisa menjadi kreator. Lalu, di versi 2.0 kreator bisa reach [audiens] lewat platform. Di fase ini, kreator punya follower dan monetisasi lewat advertising dan sponsorship, yang mana [model ini] sedang banyak di Indonesia. Pada era 3.0, kreator menjadi independent business dan monetisasi langsung dari fans mereka. Nantinya akan ada creator economy 4.0 di mana kreator dan fans bisa berkolaborasi untuk membuat kreasi atau usaha bersama-sama.

Dengan kemunculan Web3, bukan berarti creator economy 2.0 ini langsung ditinggalkan. Di fase ini, influencer menjadi content creator atau sebaliknya, akan terus berkembang. Kami melihat industri creator economy akan berevolusi. Seberapa cepat? Tergantung dari pasarnya. Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menjadi kiblat untuk layanan livestreaming. Di sini, we just started. Banyak teman-teman di industri ini yang membuat platform untuk livestreaming, seperti GoPlay. It’s a very exciting industry we are in.

Famous Allstars juga mengeksplorasi apa yang dapat diakukan di fase ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi di masing-masing fase, baik Web2 maupun Web3. Misalnya, apa yang dapat kami lakukan di influencer marketing? Apa yang dapat kreator lakukan dengan IP di Web3? Kami sudah melihat potensi itu dan sudah menghasilkan sesuaty. Especially di Web2 dan Web3, we are going to have exciting projects.

Posisi FAS saat ini sangat strategis karena kami sudah lama terjun di industri creator economy. Kami tahu ke mana, kami buat web series, kami tahu bagaimana cara memindahkan IP ini ke NFT. Ini menjadi menarik karena IP dari kreator harus dihargai, ownership itu sangat penting

Al: Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan teknologi di Indonesia sangat masif. Penetrasi internet sudah capai 70 persen dan penetrasi smartphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Populasi kita besar.

Sebetulnya, influencer atau content creator kita sudah mulai dari 7-8 tahun lalu, tetapi infrastrukturnya belum matang. Sekarang smartphone dan paket data semakin murah. Ditambah populasi kita yang besar dan beragam. Faktor-faktor ini sangat signifikan untuk mendorong pasar creator economy di Indonesia.

Memang, industri creator economy 3.0 comes early di Indonesia. Bahkan era 2.0 saja belum mencapai puncak pertumbuhan (peak growth) di sini. Karena hal ini, seolah-olah ada overlap antara Web2 dan Web3 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kreator 3.0 akan menjadi pemain baru? Apakah kreator 2.0 harus convert ke 3.0? Jawabannya, tidak ada yang tahu. Menurut saya, Web3 masih sangat luas dan bisa berkembang cepat, tetapi use case-nya belum settle.

Poin utamanya, Web2 masih terlalu jauh [di Indonesia] sehingga potensi pasarnya, tanpa perlu jump ke Web3, masih akan tumbuh signifikan. It’s a very exciting moment ahead karena nanti kreator tak hanya bisa membuat karya, tetapi juga punyai Intellectual Property (IP). For now, it’s too early to tell.

Web2 masih akan tumbuh dengan cepat di Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dari sisi supply, jumlahnya akan terus bertambah, meski belum ada data dari sisi demand. Kami meyakini pasar influencer capai Rp3 triliun, inipun merupakan conservative number. Brand masih menghabiskan budget di media konvensional. Jadi, supply dan demand kita belum peak.

Monetisasi karya di era Web3 menjadi lebih independen. Apakah brand deals masih akan relevan bagi kreator?

Al: Ada dua sumber monetisasi kreator. Pertama, brand kerja sama dengan kreator dalam bentuk apapun, baik itu ulasan, post, eksposur, talent, atau livestreaming. Sebagai perbandingan, livestreaming di Tiongkok dibayar per penjualan (pay per conversion). Di Indonesia, model ini belum ada, masih di bayar di muka. Intinya, the money comes from brands. Kedua, kreator kini bisa monetisasi dari fans atau Direct-to-Consumer (D2C). Contohnya, ada platform yang memampukan fans untuk kasih donasi ke kreator, bukan dari brand. Jadi, model monetisasi, baik dari brand maupun fans/audiens tidak akan hilang. Bahkan, ketika bicara potensi pasarnya, justru brand deals akan semakin besar.

Bagi kreator, ini justru menjadi exciting period karena revenue channel-nya bertambah. Dulu cuma andalkan brand, sekarang kreator bisa langsung monetisasi dari fans. Bagi seorang gamer, livestreaming dengan model donasi mungkin cocok untuk mereka. Tapi lima tahun lalu, mereka belum berpikir [hobi gaming] dapat menjadi sebuah profesi. I believe dari angle [monetisasi] manapun, the industry will get bigger. 

Ar: Bagi brandcreators give another marketing channel yang menarik. Mereka melihat bagaimana kreator membuat review secara organik atau memengaruhi teman-temannya untuk membeli sebuah produk. Ini pasti akan berkembang. Artinya, kesempatan [kolaborasi] dan revenue channel akan semakin besar seiring berkembangnya Web3. Bukan berarti Web2 hilang begitu saja. Justru Web2 dan Web3 bisa saling bergandengan tangan, ada interpendensi.

Ada 120 ribu influencer di platform kami, di mana mayoritas adalah influencer nano dan mikro dengan follower 1.000an hingga 100 ribuan. Kami tidak ingin hanya milking potensi pasar, tetapi juga mengembangkan sumber dayanya.

Bagaimana peran Anda dalam menentukan model monetisasi yang tepat bagi kreator?

Al: Famous Allstars tidak ikut menentukan harga jual kreator, tetapi penting memastikan bahwa kreator dan brand dapat bertransaksi aman di platform kami. Kita tahu pasti ada kekhawatiran. Dari sisi kreator, brand tidak membayar konten yang sudah dibuat. Begitu juga dengan brand, kreator ingin dibayar di muka, tetapi brand khawatir kontennya tidak dikerjakan.

Di platform ini, pembayaran baru akan diteruskan apabila kreator telah menyelesaikan pekerjaan sesuai brief dari brand. Demikian juga kreator, ada rasa aman bahwa mereka akan dibayar karena sistem pembayarannya melalui platform. Begitu pekerjaan selesai sesuai arahan, kreator akan menerima pembayaran. Jadi, tidak perlu tagih terus-terusan ke brand. Jadi, ini bukan soal menentukan monetisasi, tetapi bagaimana membuat ekosistem untuk memfasilitasi pelaku creator economy. 

Di samping itu, pasar creator economy di Indonesia masih sangat besar. Kami tidak ingin mendorong kreator existing saja. Justru perlu nurture talent-talent baru di masa depan. Banyak orang punya talent, tetapi belum ketemu dengan ekosistem dan wadah yang tepat. FAS berkomitmen untuk menemukan itu.

Bagaimana pandangan Anda mengenai regulasi untuk mewadahi industri creator economy di Indonesia?

Al: Ini masih early talk, tetapi kami berencana untuk bentuk asosiasi [creator economy]. Saya dan Arief secara paralel mulai bergerak untuk merangkul teman-teman di industri ini. Kami berupaya mengesampingkan business views. Kami sadar semakin besar industrinya, akan semakin baik buat pemain.

Kami lakukan ini sebelum bicara kebijakan. I think the first and foremost agenda adalah mengedukasi industri ini, baik itu soal potensi kreator, hak-hak yang diperoleh kreator, hingga bagaimana mengatasi sebuah masalah. Semua punya tujuan sama untuk edukasi industri.

Edukasi ini tak cuma kreator saja, tetapi juga brand. Di antara agency saja, selama ini belum ada standard rules. So, it’s a jungle out there. Industri ini berkembang sangat cepat, tapi pertumbuhan cepat tanpa dibatasi guide yang tepat bisa membuat industri chaos. Jadi, kami rasa penting bagi pemain lama untuk ikut edukasi sehingga pemain baru bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kami tujuh tahun lalu. Kreator bisa belajar dari kreator yang sudah tumbang

Ar: Di FAS, kami juga melakukan edukasi, baik terkait konten, hak-hak kreator, Intellectual Property, hingga perpajakan. Tapi, kami ingin edukasi ini bersama stakeholder lainnya sehingga tidak dilakukan dengan cara sendiri. Apabila tidak ada keseragaman, industri creator economy bisa terkotak-kotakan.

Alangkah baiknya semua stakeholder bisa saling bekerja sama. Industri akan menjadi lebih kuat, kesempatan akan lebih besar tanpa adanya pagar yang bisa bikin sustainability industri berkurang. Bagaimanapun juga content creator is not just a banner, it’s a human being. Perlu ada trust dan kredibilitas.

NOICE Umumkan Pendanaan Seri A 316 Miliar Rupiah Dipimpin Northstar

Hari ini (22/4), NOICE mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $22 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Northstar dan diikuti oleh para investor sebelumnya, yaitu Alpha JWC, Go-Ventures, dan Kinesys. Capaian ini akan mendukung ambisi perusahaan menjadi platform audio terbesar di Indonesia melalui percepatan akuisisi konten serta pengembangan platform teknologi audio kreator.

Sebelumnya NOICE telah menutup putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures pada 2021 lalu. Belum lama ini, perusahaan juga mendapat dukungan investasi strategis dari RANS Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Menurut dari total perolehan yang ada, diperkirakan valuasi NOICE telah mencapai setingkat Centaur (di atas $100 juta).

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. NOICE berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Dalam persaingan dengan pemain lokal dan global di industri platform audio streaming, NOICE mengedepankan strategi hyperlocal sebagai bagian dari hipotesis perusahaan yang ingin menjadi rumah konten audio di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan juga telah mengenalkan NOICE Live, fitur social networking dalam format audio yang memungkinkan interaksi real-time antara kreator, pendengar, musisi, fans, hingga expert.

“Investasi ini akan kami gunakan untuk mengembangkan komunitas kreator, platform teknologi, dan memperluas cakupan konten audio series untuk menghadirkan cerita-cerita terbaik Indonesia dari komunitas penulis lokal dan mengadaptasinya ke dalam format audio. Kami telah menguji coba format baru ini dan melihat hasil interaksi dan retensi yang sangat menjanjikan. Ini benar-benar ruang baru yang menarik untuk dijelajahi dan memiliki banyak sekali potensi,” ujar CEO NOICE Rado Ardian.

Meluncurkan Noicemaker Studio

Prospek industri konten di Indonesia kian populer dengan semakin menjamurnya kreator yang menciptakan ragam karya melalui berbagai platform. Di tengah pandemi Covid-19, saat banyak sektor usaha turun, ekonomi kreatif melalui kreator konten justru menjadi peluang bagi generasi muda untuk terus berkarya.

Hal ini dilihat sebagai peluang oleh NOICE, perusahaan rintisan teknologi asal Indonesia yang berfokus untuk menghadirkan platform konten audio terlengkap. Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand.

NOICE resmi menghadirkan “Noicemaker Studio”, sebuah ruang digital tanpa batas bagi para kreator untuk dapat mengoptimalkan karya mereka di industri konten audio tanah air. Melalui kanal ini, semua konten kreator dari seluruh daerah di Indonesia dapat menghadirkan karya mereka, khususnya podcast, ke dalam aplikasi NOICE dan menjangkau audiens secara lebih luas melalui jaringan ekosistem perusahaan.

Rado menjelaskan bahwa Noicemaker Studio memungkinkan para konten kreator (Noicemaker) memasukkan konten podcast mereka ke aplikasi NOICE dengan mudah, serta memiliki akses langsung ke dasbor akun kreator NOICE untuk melihat performa karya mereka secara detail. Hal ini secara langsung akan memudahkan mereka untuk mendapatkan berbagai insight menarik yang tentunya akan mendorong kualitas karya mereka ke depan.”

Platform Noicemaker Studio dapat diakses oleh semua kreator tanpa terkecuali. Akan dilakukan screening berkala setiap minggunya untuk memonitor kualitas konten podcast. Selain itu, untuk melindungi sekaligus memastikan kualitas konten tetap terjaga, NOICE juga menghadirkan fitur report bagi pengguna untuk melaporkan jika ada konten yang dirasa vulgar atau tidak layak tayang.

Untuk mulai menggunakan platform ini, kreator dapat mengakses Noicemaker Studio melalui halaman website dan mendapatkan akses untuk menghadirkan konten mereka di NOICE dengan cara memasukkan tautan RSS podcast mereka ke halaman website tersebut. Selain para kreator baru, Noicemaker Studio juga dapat dimanfaatkan oleh para kreator terdaftar untuk melihat performa dari berbagai konten yang mereka hadirkan.

Co-founder & CBO NOICE Niken Sasmaya mengungkapkan “Noicemaker Studio merupakan langkah awal yang kami hadirkan untuk mengembangkan potensi konten kreator yang bergabung dan tumbuh di dalam ekosistem NOICE. Noicemaker Studio sendiri merupakan bagian dari Noicemaker Club Program (NCP), sebuah program terintegrasi yang dihadirkan NOICE untuk mendukung para konten kreator untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan kesuksesan performa konten mereka.”

Program ini diharapkan bisa melampaui segala batasan bagi para kreator untuk memperkenalkan dan mempopulerkan karya mereka ke masyarakat secara luas. “Siapapun bisa jadi konten kreator dan podcaster. Dengan hampir 2 juta pendengar NOICE yang terus bertumbuh, kami yakin hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan komitmen NOICE untuk memajukan industri konten audio di tanah air, sejalan dengan posisi kami saat ini sebagai produsen IP (intellectual property) konten audio terbesar di Indonesia ,” ungkap Niken.

Application Information Will Show Up Here

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Antler: Era Web3 Buka Kesempatan Kreator untuk Tingkatkan Sumber Monetisasi

VC tahap awal Antler baru saja merilis “The New Creator Economy Report” bersama Speedinvest. Laporan ini menyoroti tentang era teknologi Web3 dan dampaknya terhadap pertumbuhan industri creator economy dunia di sepanjang 2021.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini turut sejalan dengan meningkatnya keterlibatan investor terhadap creator economy. Antler mencatat investor global telah mengucurkan total sekitar $1,3 miliar ke platform creator economy di sepanjang 2021.

Dengan melihat angka pertumbuhan ini, Antler memperkirakan sebanyak 1 miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator dalam lima tahun ke depan. Selain itu, pertumbuhannya di masa depan tak lepas dari era baru teknologi Web3 yang mengubah definisi dan kekuatan kreator, dari asas kreator itu sendiri menjadi berbasis komunitas. Artinya, komunitas akan punya peran besar untuk mendukung upaya monetisasi kreator.

Menurut laporan ini, kreator di era Web3 tak lagi dilihat sebatas memberikan nilai ke platform, tetapi juga membentuk cara baru lewat hubungan interaktif antara kreator dan penggemar. Ada peluang bagi kreator untuk menawarkan lebih banyak, tak hanya kepada penggemar, tetapi juga untuk kreator sendiri dan komunitas.

Di era Web3, Antler memproyeksi generasi kreator berikutnya akan punya kesempatan untuk meningkatkan sumber monetisasi konten atau karyanya. Tentu ini menjadi perubahan signifikan mengingat sebelumnya kreator banyak mengandalkan iklan dan sponsor merek untuk mendapatkan pemasukan.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Teknologi Web3 memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator di masa depan. Ruang eksplorasi konten juga semakin berkembang dengan kemunculan kripto, NFT, dan metaverse. Saat ini bahkan banyak kreator bermigrasi ke metaverse di mana mereka dapat memonetisasi karyanya, seperti digital art dan game.

Founder dan CEO Antler Magnus Grimeland mengatakan, kreator menjadi lebih menarik secara finansial karena platform yang ada saat ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi karya berbasis komunitas. “Creator economy tidak hanya akan mengubah cara produksi konten, tetapi juga membuka dunia teknologi baru dan peluang monetisasi yang tidak mungkin dilakukan dengan di era Web2,” tambahnya.

Ia menyebutkan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan oleh platform Web3, terutama tools yang berkaitan dengan konten dan komunitas. Menurutnya, cara untuk menghubungkan kreator ke penggemar atau komunitas menjadi salah satu peluang investasi yang paling menarik.

Sementara Partner di Floodgate Ventures Ann Miura-Ko menilai perkembangan teknologi saat ini memberikan nilai positif terhadap para kreator karena mereka dapat terlibat langsung dengan audiensnya tanpa harus terus-menerus merasa seperti hamster yang berlari di roda putar.

“Seiring bertambahnya audiens, kreator akan merasa dituntut untuk memenuhi selera mereka yang tidak akan ada habiskan, dan saya pikir ini akan menghabiskan banyak waktu. Platform yang memungkinkan kreator ‘memonetisasi saat mereka tidur’ adalah sesuatu yang ingin saya lihat,” tutupnya.

Creator economy di Indonesia

Indonesia juga ikut mengecap pertumbuhan industri creator economy selama beberapa tahun terakhir. Pelaku startup semakin banyak mengeksplorasi cara inovatif untuk membantu kreator memonetisasi karyanya.

Sebagai contoh, KaryaKarsa dan Storial menghubungkan kreator dengan pengguna langsung untuk menikmati konten, seperti cerita fiksi, komik, foto, hingga ilustrasi dengan skema beli karya satuan dan sistem tipping. Per bab (chapter) dapat dibeli mulai dari Rp2.000-Rp10.000. Ada juga Saweria yang menggunakan model donasi atau tip bagi kreator yang melakukan livestreaming di platform pihak ketiga.

Seluruh upaya ini juga tak lepas dari semakin lengkap ekosistem pembayaran digital sehingga memudahkan penggemar untuk memberikan dukungan finansial dengan nominal beragam.

Di samping itu, VC, konglomerasi media, hingga publik figur juga menunjukkan minat besarnya untuk mengambil kue di pasar creator economy. Di antaranya adalah platform konten on-demand Noice yang memperoleh pendanaan strategis dari RANS Entertainment, dan Famous All Stars (FAS) yang didukung oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group.

GoPlay Creator Fund Diluncurkan, Dukung Kreator Bangun Basis Penggemar yang Loyal

Platform livestreaming interaktif GoPlay mengumumkan “GoPlay Creator Fund” sebagai program apresiasi kreator dalam membangun basis penggemar loyal (true fans) mereka. GoPlay menyiapkan Rp15 miliar yang akan diterima para kreator terpilih sebagai bonus bulanan.

Dalam acara peluncuran virtualnya, CEO GoPlay Edy Sulistyo mengatakan bahwa program ini bertujuan memberi dorongan kepada kreator agar tetap dapat membangun konten berkualitas sesuai jati dirinya, dan tidak terlalu terpaku pada metrik-metrik konten yang selama ini berorientasi pada jumlah follower/subscriber dan view.

Ia mengamati bahwa banyak kreator memproduksi konten untuk meningkatkan jumlah follower/subscriber dan view mereka. Ini membentuk anggapan semakin banyak follower, semakin banyak view. Kendati begitu, ia menyebut metrik-metrik tersebut tidak menjadi penentu keberhasilan kreator di GoPlay.

“Sejak awal kami bermimpi menjadikan GoPlay sebagai rumah bagi kreator lokal di Indonesia, dan kreator dapat memiliki pendapatan yang berkelanjutan. Dan ini tidak berubah. Kami tidak ingin kreator fokus pada metrik-metrik tersebut karena mereka tidak bisa menjadi diri sendiri,” tutur Edi.

Ia menilai ada cara yang lebih baik untuk membangun kualitas kreator, yaitu menemukan penggemar yang loyal atau disebut sebagai true fans. Hubungan yang dibangun antara kreator dan true fans menjadi lebih relevan agar kreator dapat membuat konten apa adanya, berkualitas, fun, interaktif, dan engaging.

Tak kalah penting, true fans menjadi indikator penting karena memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. “Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” lanjut Edi.

Dengan memegang visi-misi di atas, pihaknya dapat terus mengeksplorasi inovasi kreatif untuk mendekatkan hubungan kreator dan fans. Ini tercermin dari fitur-fitur yang dihadirkan, seperti live chat, quiz, instant withdrawal, dan virtual gift.

Kriteria Creator Fund

Chief Strategic Officer Martinus Faisal menambahkan bahwa pihaknya ikut terlibat dalam mengedukasi para kreator di platformnya. Salah satunya adalah tiga cara utama membangun true fans, yaitu frekuensi pembuatan konten, konsistensi penayangan konten, dan kuantitas konten.

“Dengan definisi yang kami paparkan, creator economy tidak sama dengan influencer. Creator economy membuat konten untuk fans-nya. Sementara, influencer memenuhi kebutuhan brand dan memonetisasi pendapatan dari brand dengan memanfaatkan follower yang dimiliki. Ini yang berusaha kami edukasi ke para kreator,” ujarnya.

Pihaknya berharap program ini dapat mendorong pendapatan kreator sejalan dengan kemampuan mereka untuk memenuhi kriteria program Creator Fund serta menstimulasi kehadiran kreator-kreator baru di Indonesia agar tidak perlu menunggu sampai punya banyak follower.

Saat ini, ribuan kreator yang tergabung di GoPlay memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti program ini selama dapat memenuhi kriteria utamanya, yakni memiliki performa yang berkorelasi dengan frekuensi live di GoPlay. Adapun, kreator GoPlay diklaim telah meraup pendapatan puluhan hingga ratusan juta per bulan.

Selain bonus bulanan, kreator juga berkesempatan untuk mendapat fasilitas promosi kreator maupun iklan berbayar pada berbagai media channel GoPlay, penggunaan studio rekaman GoPlay di Jakarta untuk livestreaming, tampil rutin di acara liveshow GoPlay (Ex: GoPlay Playground), mentorship khusus dari tim GoPlay, dan kesempatan mendapat sponsor dari partner GoPlay.

Dana untuk ekosistem pengguna

Memberikan dukungan untuk basis pengguna merupakan salah satu strategi kunci startup dalam menguatkan ekosistem produknya. Cara ini juga dilakukan sejumlah startup lain, salah satunya Hijub. Pada September tahun lalu, mereka meluncurkan “Hijup Growth Fund“, program pembiayaan untuk pelaku busana muslim lokal. Nantinya pemilik brand terpilih akan mendapatkan dukungan kapital hingga operasional bersama tim Hijub.

Spesifik untuk industri OTT, Goplay memang dituntut untuk terus menghadirkan konten yang relevan bagi pengguna. Selain yang sifatnya produksi mandiri dengan menggandeng produksi film, model user generated juga dapat melengkapi opsi hiburan yang ada di aplikasi. Adanya dukungan dari sisi platform hingga kapital menjadi awal yang baik untuk merangkul lebih banyak konten kreator potensial dengan karya-karya yang bisa diterima masyarakat.

East Ventures Suntik Platform Kreator Konten “TipTip” Sebesar 143 Miliar Rupiah

TipTip, platform untuk kreator konten di Asia Tenggara, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta (sekitar 143 miliar Rupiah). Angka tersebut diklaim sebagai salah satu pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Vertex, EMTEK, SMDV, dan beberapa family offices terkemuka.

TipTip didirikan oleh Albert Lucius, eks pendiri di Kudo yang berhasil diakuisisi oleh Grab pada 2017. Saat ini, TipTip beroperasi di Indonesia dan Singapura, memiliki tim lebih dari 70 karyawan.

Mudahkan kreator lakukan monetitsasi

TipTip hadir sebagai platform pilihan bagi kreator konten untuk memonetisasi dari hobi mereka melalui sesi video yang personal, penjualan konten digital premium, dan peluang untuk berinteraksi langsung dengan pengikut (followers) mereka. TipTip turut hadir untuk mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara berkembang di Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal dan integrasi KYC yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan dan distribusi konten melalui perangkat smartphone.

“Kami sangat menghargai dukungan dan kepercayaan yang kami terima di putaran pendanaan ini sebelum peluncuran TipTip ke publik. Keyakinan mereka semakin memperkuat visi kami akan potensi ekonomi kreator, dan bagaimana solusi yang ditawarkan TipTip dapat menjadi one-stop solution untuk semua content creator di kawasan Asia Tenggara,” ucap Founder TipTip Albert Lucius dalam keterangan resmi, Selasa (29/3).

Menurut Albert, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengakselerasi pertumbuhan TipTip dalam menjangkau dan memberdayakan ekonomi kreator di kawasan ini. Juga, memperluas tim dan mempercepat adopsi platform. Aplikasi TipTip sendiri belum diresmikan secara publik, peluncuran eksklusif (khusus undangan) rencananya akan dilaksanakan pada April mendatang. Lalu diikuti peluncuran publik untuk pasar Indonesia pada bulan berikutnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Kami percaya pada potensi ekonomi kreator di kawasan ini, terutama setelah melihat pertumbuhan pesat potensi pasar selama pandemi COVID-19. Jelas bagi kita bahwa beberapa perilaku konsumen yang terbentuk selama pandemi akan terus berlangsung setelah pandemi. TipTip berada di posisi yang tepat untuk menangkap hal tersebut. TipTip adalah produk untuk dunia pasca pandemi yang dirancang selama pandemi.”

Pertemukan brand dan influencer

Tercatat saat ini besarnya permintaan untuk kegiatan digital marketing terutama yang memanfaatkan influencer tumbuh secara signifikan jumlahnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Influencer Marketing Hub, pandemi telah mempercepat pertumbuhan influencer marketing pada tahun 2020, dan jumlah ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2021.

Dari hanya $1,7 miliar pada tahun 2016, influencer marketing diperkirakan telah tumbuh menjadi ukuran pasar sebesar $9,7 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan melonjak lebih jauh ke $13,8 miliar pada tahun 2021.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti Partipost, AnyMind Group, Hiip, Indonesia Creators Economy besutan IDN Media, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Perusahaan teknologi Gojek pun mengumumkan kerja sama dengan platform marketing influencer Allstars untuk permudah mitra UMKM Gojek terhubung dengan influencer melakukan kegiatan pemasaran. Allstars hadir menyediakan platform untuk menghubungkan brand dengan influencer untuk keperluan promosi di media sosial. Tidak hanya menguntungkan brand, influencer pun sebetulnya juga perlu dijembatani, terlebih bagi mereka yang baru beralih profesi.