Investree Philippines Obtains SEC Approval to Continue Operation

Investree Philippines, a joint venture between Filinvest Development Corp and Investree, has officially secured a license agreement to operate the crowdfunding platform from the Philippine Securities and Exchange Commission (SEC). This news also marks the issuance of the first Philippines’ company licensing, after the SEC released new rules and regulations in 2019.

Quoting from the Philippine Information Agency, the license obtained by Investree Philippines as a crowdfunding broker and this funding portal is valid for one year and is required to comply with certain rules. Approaching one year, to be precise in the 11th month of operation, the SEC will examine for an extension.

Investree works with a Singapore legal entity, Investree Singapore Pte. Ltd., in the establishment of this joint venture.

Similar to Investree Indonesia, Investree Philippines has an ambition to address a credit gap of more than $200 billion for SMEs with difficulty accessing funding in the Philippines. In order to make this happen, by connecting SMEs and startups with institutional investors through a crowdfunding marketplace.

“FDC is proud to be able to present the first official and licensed platform in the Philippines and contribute to the development of SMEs through Investree Philippines. [..] We believe that Investree can be the best solution for SMEs who want to rebuild and develop their businesses, while at the same time supporting the country’s economic recovery and growth,” FDC’s President and CEO Josephine Gotianun-Yap said in an official statement, Friday (15/1 ).

Investree’s Regional Co-Founder & CEO Adrian Gunadi added that the strong FDC ecosystem, including EastWest Bank and its understanding of the local market, will seamlessly connect lenders and SMEs. “In synergy with FDC, we now have a solid operating and business model to ensure optimal service in order to support the growth of SMEs in the Philippines region.”

In Southeast Asia, SMEs in general still have much greater financial needs, even though they are considered businesses with microfinance needs. Yet, too small to be served effectively by the general banking model. This is because SMEs are often constrained by problems such as lack of collateral and credit history which are usually required by banks, thus creating a financial credit gap for this middle segment.

Especially in the Philippines, this segment is underserved. In fact, SMEs contribute 35% of the country’s GDP, employing more than 60% of the local workforce.

“With the support of FDC, Investree Philippines will leverage the power of technology and data to develop and use a robust risk assessment model that will help and accelerate the credit assessment process in banks and lending institutions in general,” said f (dev) Managing Director Xavier Marzan. f (dev) is FDC’s subsidiary which is engaged in venture and innovation.

Investree Philippines is the second Investree expansion, after Thailand, which started in early 2019. In Thailand, Investree uses the eLoan brand and cooperates with local partners who understand the conditions in the field.

As of November 2020, Investree has booked a total loan facility of Rp7.7 trillion and a disbursed loan value of Rp.5.5 trillion. The average rate of return is 16.8% per year and the average TKB90 is 99%.

About overseas expansion from Indonesia

Indonesia is a ready ecosystem to plant a service until it “blooms”. When it is considered successful, it has a significant position here, it means that there is a sure guarantee that the service can be carried outside Indonesia, especially to Southeast Asia with more or less the same family, culture, and behavior.

Supported by sufficient capital, a handful of local startups are confident to be free of the cage. Investree and DanaCita are two companies born from fintech lending. Most companies arrived from overseas, mostly from Singapore, entering Indonesia by localizing their brand.

The rest is still just a plan, which may be delayed due to the Covid-19 pandemic. Apart from that, successful startup verticals have entered a number of countries in Southeast Asia, including Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, and Xendit.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perusahaan Patungan Investree di Filipina Dapatkan Izin dari Otoritas Setempat

Investree Philippines, perusahaan patungan antara Filinvest Development Corp dengan Investree, resmi mengantongi persetujuan izin mengoperasikan platform crowdfunding dari Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC). Kabar ini sekaligus menandai penerbitan perizinan pertama bagi perusahaan di Filipina, sejak SEC merilis aturan dan regulasi pelaksanaan baru pada tahun 2019.

Mengutip dari Philippine Information Agency, izin yang dikantongi Investree Philipines sebagai perantara crowdfunding dan portal pendanaan ini berlaku selama satu tahun dan diharuskan tunduk pada aturan tertentu. Menjelang satu tahun, tepatnya pada bulan ke-11 operasional, SEC akan mempertimbangkan perpanjangan izin.

Investree menggunakan perusahaan berbadan hukum Singapura, Investree Singapore Pte. Ltd., dalam pendirian perusahaan patungan ini.

Sama seperti Investree Indonesia, Investree Philippines berambisi untuk mengatasi kesenjangan kredit sebesar lebih dari $200 miliar bagi UKM yang sulit mendapat akses pendanaan di Filipina. Untuk mewujudkan hal tersebut, dengan menghubungkan UKM dan startup dengan investor institusi melalui marketplace crowdfunding.

“FDC bangga bisa menghadirkan platform resmi dan berizin pertama di Filipina, serta berkontribusi terhadap pengembangan UKM melalui Investree Philippines. [..] Kami percaya bahwa Investree dapat menjadi solusi terbaik bagi UKM yang ingin membangun kembali dan mengembangkan usaha mereka, sekaligus mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi negara,” ujar Presiden dan CEO FDC Josephine Gotianun-Yap dalam keterangan resmi, Jumat (15/1).

Co-Founder & CEO Regional Investree Adrian Gunadi menambahkan, ekosistem FDC yang kuat, termasuk EastWest Bank dan pemahamannya tentang pasar lokal akan menghubungkan pemberi pinjaman dan UKM secara lancar. “Bersinergi dengan FDC, sekarang kami memiliki model operasi dan bisnis yang solid untuk memastikan layanan optimal dalam rangka mendukung pertumbuhan UKM di kawasan Filipina.”

Di Asia Tenggara, pada umumnya UKM masih memiliki kebutuhan keuangan yang lebih besar, meskipun dianggap sebagai bisnis dengan kebutuhan keuangan mikro. Tetapi terlalu kecil untuk dilayani secara efektif oleh model perbankan umum. Hal ini dikarenakan UKM seringkali terkendala permasalahan seperti kurangnya agunan dan riwayat kredit yang biasanya dibutuhkan perbankan, sehingga menciptakan kesenjangan kredit keuangan untuk segmen menengah ini.

Khusus di Filipina, segmen ini kurang terlayani. Padahal, UKM menyumbang 35% terhadap PDB negara, mempekerjakan lebih dari 60% tenaga kerja lokal.

“Dengan dukungan FDC, Investree Philippines akan memanfaatkan kekuatan teknologi dan data untuk berkembang dan menggunakan model penilaian risiko mumpuni yang akan membantu dan mempercepat proses penilaian kredit di perbankan maupun institusi pinjaman pada umumnya,” kata Managing Director f(dev) Xavier Marzan. f(dev) adalah anak usaha FDC yang bergerak di bidang venture dan innovation.

Investree Philippines adalah ekspansi Investree kedua, setelah Thailand yang sudah dimulai sejak awal 2019. Di Thailand, Investree menggunakan brand eLoan dan menggandeng mitra lokal yang paham dengan kondisi di lapangan.

Hingga November 2020, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp7,7 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp5,5 triliun. Rata-rata tingkat pengembaliannya adalah 16,8% per tahun dan rata-rata TKB90 99%.

Mereka yang ekspansi ke luar Indonesia

Indonesia menjadi tempat yang empuk untuk menggodok suatu layanan hingga “jadi”. Ketika dianggap berhasil punya posisi yang signifikan di sini, artinya ada jaminan pasti layanan tersebut dapat dibawa ke luar Indonesia, apalagi ke Asia Tenggara dengan rumpun, budaya, dan perilaku yang kurang lebih sama.

Didukung kapital yang cukup, segelintir startup lokal pede untuk keluar dari kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya.

Sisanya masih sekadar rencana, yang kemungkinan tertunda karena pandemi Covid-19. Di luar itu, vertikal startup yang sukses masuk ke sejumlah negara di Asia Tenggara, di antaranya ada Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, dan Xendit.

Crowdfunding di Esports: Solusi Ideal?

Dari tahun ke tahun, total hadiah The International terus naik. Padahal, besar hadiah yang disediakan oleh Valve tidak berubah, hanya US$1,6 juta. Lalu, bagaimana bisa total hadiah The International 10 naik 2400% menjadi US$40 juta? Jawabannya sederhana: crowdfunding. Menjelang The International, Valve selalu menjual Battle Pass untuk Dota 2. Dari total penjualan Battle Pass tersebut, sebanyak 25% dimasukkan ke dalam total hadiah dari The International. Karena itu, jangan heran jika setiap tahunnya, total hadiah The International selalu memecahkan rekor baru dan menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar.

Apa Itu Crowdfunding?

Sederhananya, crowdfunding berarti patungan. Menurut Fundable, crowdfunding adalah metode untuk mendapatkan modal dengan mengumpulkan dana dari teman, keluarga, pelanggan, dan investor individual.

Biasanya, ketika pelaku usaha hendak mendapatkan modal, mereka akan pergi ke bank, angel investor, atau venture capital. Untuk itu, mereka harus membuat strategi bisnis, melakukan riset pasar, dan bahkan menyiapkan prototipe dari produk yang hendak mereka tawarkan. Pelaku usaha akan mendapatkan investasi jika bank, angel investor, atau venture capital merasa bisnis yang ditawarkan memang berpotensi untuk untung. Masalahnya, jumlah bank, angel investor, dan venture capital terbatas. Jadi, persaingan untuk mendapatkan modal dari mereka sangat ketat. Di sinilah crowdfunding bisa membantu.

Crowdfunding memudahkan pengusaha untuk mencari modal. | Sumber: Deposit Photos
Crowdfunding memudahkan pengusaha untuk mencari modal. | Sumber: Deposit Photos

Melalui crowdfunding, pelaku usaha bisa menampilkan ide produk mereka ke banyak orang sekaligus. Orang-orang yang ingin mendukung sang pelaku usaha atau tertarik untuk mendapatkan produk yang ditawarkan bisa memberikan sejumlah uang pada sang pengusaha. Mengingat crowdfunding biasanya diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan orang, setiap orang tidak perlu memberikan uang dalam jumlah yang terlalu besar.

Misalnya, saat Rabbit & Bear Studios menggalang dana di Kickstarter untuk membuat Eiyuden Chronicle — “penerus” dari seri Suikoden — mereka membuka donasi bertingkat. Minimal, seseorang bisa menyumbangkan 4 ribu yen atau sekitar Rp550 ribu dan maksimal, seseorang bisa mendonasikan 1 juta yen atau sekitar Rp13,6 juta. Semua orang yang memberikan dukungan akan mendapatkan Eiyuden Chronicle ketika game itu dirilis. Walau tentu saja, semakin besar dana yang seseorang sumbangkan, semakin banyak pula bonus yang dia dapatkan.

Manfaat dan Risiko Crowdfunding?

Crowdfunding erat kaitannya dengan komunitas. Untungnya, game dan esports memiliki komunitas yang besar. Jadi, pelaku industri game dan esports bisa memanfaatkan komunitas tersebut untuk mendapatkan modal. Sebaliknya, sebuah komunitas juga bisa tercipta dari kampanye crowdfunding.

Komunitas dapat memberikan kritik dan saran pada pelaku usaha untuk menyempurnakan ide bisnis mereka. Di sini, crowdfunding juga bisa berfungsi untuk memvalidasi ide. Ketika pelaku usaha melakukan crowdfunding, secara tidak langsung, mereka tengah mengetes pasar: apakah memang ada orang-orang yang berminat dengan produk yang mereka tawarkan. Jika kampanye crowdfunding sukses, hal itu menjadi bukti bahwa produk yang hendak dibuat memiliki pasar.

Keuntungan lain dari mendapatkan crowdfunding adalah pelaku usaha tidak akan kehilangan sahamnya. Biasanya, ketika venture capital hendak menyuntikkan dana, mereka akan meminta porsi saham perusahaan. Tidak jarang, venture capital juga menempatkan seseorang untuk mengisi jabatan tertentu dalam perusahaan penerima investasi. Dengan begitu, venture capital akan memiliki kuasa akan operasi dan arah perusahaan. Namun, tidak begitu dengan crowdfunding.

Fnatic mengumpulkan dana melalui crowdfunding.
Fnatic mengumpulkan dana melalui crowdfunding.

Biasanya, orang-orang yang mendukung pelaku usaha melalui crowdfunding akan mendapatkan produk yang hendak dijual. Misalnya, Anda mendukung perusahaan yang membuat smartwatch, maka Anda akan mendapatkan smartwatch itu. Dalam kasus Fnatic, orang-orang yang ikut serta dalam kampanye crowdfunding mereka memang mendapatkan saham, tapi tidak cukup besar untuk mengontrol organisasi esports tersebut.

Tentu saja, melakukan crowdfunding punya risiko sendiri. Salah satunya adalah tidak ada jaminan kampanye crowdfunding akan berhasil. Menurut Fundbox, hanya sepertiga dari proyek crowdfunding yang berhasil mendapatkan dana sesuai target. Dan jika kampanye crowdfunding Anda gagal, Anda mungkin harus siap menghadapi badai pemberitaan buruk dari media.

Risiko lain dari crowdfunding adalah terbuka kemungkinan ide Anda akan dicuri. Untuk meminimalisir risiko ini, Anda bisa melindungi ide Anda dengan mematenkan, mendapatkan hak cipta, atau trademark dari produk Anda.

Siapa yang Pernah Menggunakan Crowdfunding?

Fnatic adalah salah satu pelaku industri esports yang pernah mengumpulkan dana melalui crowdfunding. Mereka memulai pengumpulan dana itu pada 19 November 2020. Fnatic berencana untuk mendapatkan GBP1 juta dari crowdfunding itu. Saat kampanye crowdfunding itu berakhir pada 7 Desember 2020, Fnatic mendapatkan GBP2 juta dari lebih dari 4 ribu orang.

Dalam situs resmi Fnatic, pendiri dan CEO Fnatic, Sam Mathews mengungkap, mereka memang punya rencana untuk mengadakan crowdfunding sejak beberapa waktu lalu. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada komunitas dan fans untuk ikut “memiliki” Fnatic. Lebih lanjut dia berkata, “Crowdfunding adalah cara yang populer untuk mendapatkan investasi. Metode ini juga memungkinkan kami untuk menjadikan fans kami sebagai investor.”

Selain sebagai investasi, crowdfunding juga bisa digunakan untuk mengumpulkan hadiah untuk turnamen esports, seperti yang dilakukan oleh Valve di The International. Valve bukan satu-satunya publisher yang melakukan ini. Pada 2015, Hi-Rez mengadakan kampanye crowdfunding untuk mengumpulkan hadiah dari turnamen SMITE World Championship. Mereka berhasil mendapatkan US$2 juta, menjadikan turnamen tingkat dunia itu sebagai kompetisi esports dengan hadiah terbesar ketiga pada masanya.

Total hadiah The International tembus US$40 juta berkat Battle Pass. | Sumber: Dexerto
Total hadiah The International tembus US$40 juta berkat Battle Pass. | Sumber: Dexerto

Untuk membuat kampanye crowdfunding, ada beberapa platform yang biasa digunakan oleh developer game atau pelaku esports, seperti Kickstarter dan Indiegogo. Sementara platform crowdfunding yang digunakan oleh Fnatic adalah Crowdcube. Matcherino, platform untuk menyelenggarakan turnamen esports, juga menawarkan opsi donasi untuk mengumpulkan prize pool. Dengan ini, Matcherino berharap untuk memudahkan komunitas mengadakan turnamen esports amatir.

Kepada Esports Insider, CEO Matcherino, Grant Farwell mengungkap, crowdfunding sangat penting untuk turnamen esports. “Para fans ingin memberikan ikut membantu dengan donasi. Dan jika Anda tidak menyediakan mekanisme untuk mendukung hal itu, maka Anda telah gagal memuaskan fans.”

Sumber: FundableFundbox

GPD Win 3 Adalah Handheld Gaming PC yang Sanggup Menjalankan Sederet Game AAA

Januari lalu, Alienware menyingkap Concept UFO, sebuah perangkat handheld mirip Nintendo Switch, tapi yang dibekali komponen PC tulen. Sayang sekali, sesuai dengan namanya, perangkat tersebut sejauh ini masih sebatas konsep, dan Nintendo Switch pun sampai saat ini masih merajai kategori handheld console tanpa ada perlawanan yang berarti.

Ide akan sebuah gaming PC yang dapat digenggam memang bukan hal baru, akan tetapi eksekusinya selama ini bisa dibilang belum begitu matang. Salah satu pabrikan yang sangat getol bereksperimen dengan gaming PC berukuran mini adalah GPD. Perusahaan asal Tiongkok ini memang belum lama berdiri, akan tetapi portofolio produknya sudah mencakup banyak perangkat yang semuanya mengadopsi rancangan yang amat portabel.

Yang terbaru, mereka tengah bersiap untuk meluncurkan GPD Win 3, sebuah handheld gaming PC yang sanggup menjalankan beragam game AAA dengan lancar. Saat melihat wujudnya, tampak jelas bahwa desainnya terinspirasi oleh Nintendo Switch maupun Alienware Concept UFO tadi. Bedanya, sepasang controller di sisi kiri dan kanannya itu tidak bisa dilepas.

Sebagai gantinya, layar GPD Win 3 justru bisa digeser ke atas sehingga pengguna dapat mengetik menggunakan keyboard QWERTY di baliknya. Namun ketimbang menjejalkan keyboard fisik, GPD lebih memilih menyematkan touch keyboard demi memangkas tebal perangkat semaksimal mungkin.

Layarnya sendiri menggunakan panel IPS 5,5 inci dengan resolusi 720p. Penggunaan resolusi HD ketimbang FHD ini menurut saya merupakan keputusan tepat. Daripada memaksakan resolusi FHD tapi game-nya tidak bisa stabil di 60 fps, lebih baik sedikit mengorbankan kualitas visual demi mendapatkan pengalaman bermain yang mulus – saya bilang sedikit karena 720p akan tetap kelihatan tajam di layar sekecil ini, dan itu bisa dibuktikan oleh kepadatan pixel-nya yang berada di angka 268 ppi.

Performanya ditunjang oleh prosesor Intel generasi ke-11 (Tiger Lake). GPD menyediakan dua model untuk Win 3. Model yang pertama dengan prosesor Core i5-1135G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 80 Execution Unit (EU). Model yang kedua dengan prosesor Core i7-1165G7 dan GPU Intel Xe yang dibekali 96 EU.

Kedua model sama-sama dilengkapi dengan RAM LPDDR4-4266 berkapasitas 16 GB serta SSD PCIe 3.0 sebesar 1 TB, dan GPD tidak lupa menyematkan sepasang heat pipe beserta satu kipas pendingin demi memastikan performanya tetap optimal selama sesi gaming berlangsung.

Performanya ini tidak main-main. GPU Intel Xe sendiri sudah terbukti mumpuni untuk menjalankan beragam judul permainan AAA, dan ketika dipadukan dengan resolusi 720p ketimbang 1080p, performanya jelas bakal lebih mulus lagi di GPD Win 3 ini. Video demonstrasi dari GPD menunjukkan Win 3 sanggup menjalankan Borderlands 3 stabil di 60 fps, dan mereka bahkan sempat menjajalnya dengan Microsoft Flight Simulator maupun Red Dead Redemption 2.

Dari segi kontrol, Win 3 mengusung layout yang mungkin sudah sangat dikenal oleh kalangan gamer: sepasang joystick di kiri-kanan, tombol D-Pad di kiri, empat tombol action di kanan, dan empat tombol trigger di atas. GPD tidak lupa menambahkan dua tombol ekstra di bagian punggung Win 3 yang dapat diprogram sesuai kebutuhan, semisal untuk menggantikan tombol “Esc” sehingga pemain tidak perlu repot membuka keyboard-nya setiap kali hendak menekan tombol tersebut.

Di ujung kanan bawah, terdapat sensor sidik jari untuk membuka kunci layar secara mudah. Tombol pengatur volume, jack mikrofon sekaligus headphone, port USB-A maupun USB-C (Thunderbolt 4) semuanya ada, dan seandainya itu masih kurang, GPD juga menawarkan dock eksternal untuk Win 3 yang akan memberikan akses ke sambungan ekstra seperti HDMI atau Ethernet.

Baterai Win 3 diklaim punya kapasitas 44 Wh, dan ini diperkirakan cukup untuk dipakai bermain game berat selama 2 – 3 jam. Charging-nya sendiri hanya memerlukan waktu sekitar 1,5 jam jika menggunakan adapter 65 W.

Semuanya itu ditawarkan dalam harga $799 saja untuk varian Core i5, atau $899 untuk varian Core i7. Seperti sebelum-sebelumnya, GPD kembali memercayakan metode crowdfunding untuk memasarkan Win 3, dan kampanyenya di Indiegogo dikabarkan bakal segera dimulai tidak lama lagi.

Sumber: PC Gamer.

Malaysia Punya Fasilitas Esports Baru, SS Lazio Ikut Bertanding di eFootball PES

Minggu lalu, ada beberapa kejadian menarik di industri esports. Salah satunya adalah pembukaan fasilitas esports seluas 65 ribu kaki di Kuala Lumpur Malaysia. Selain itu, SS Lazio juga mengumumkan bahwa mereka akan ikut bertanding dalam eFootball PES.

SS Lazio akan Ikuti eFootball PES

SS Lazio bakal ikut bertanding dalam eFootball PES dari Konami. Dengan ini, Konami akan mendapatkan hak untuk menggunakan nama dan lambang dari SS Lazio, serta para pemain legendaris dari klub asal Italia tersebut. President, Konami Digital Entertainment B.V., Naoki Morita percaya, melalui kerja sama ini, Konami akan bisa menjangkau lebih banyak fans sepak bola, menurut laporan Esports Insider. Sebelum ini, Konami menggandeng Federasi Sepak bola Italia, memungkinkan developer Jepang itu untuk menampilkan federasi tersebut dalam game mereka.

EBN Esports City Dibuka di Malaysia

Esports Business Network (EBN), organisasi esports asal Asia Tenggara, mengumumkan peresmian EBM Esports City di Kuala Lumpur, Malaysia pada minggu lalu. Esports City itu merupakan fasilitas seluas 65 ribu kaki yang akan digunakan untuk menyelenggarakan berbagai turnamen dan kegiatan esports. Dengan dibangunnya fasilitas ini, diharapkan ekosistem esports di Malaysia dan Asia Tenggara akan bisa berkembang.

EBN Esports City juga akan jadi markas dari Orange Esports.
EBN Esports City juga akan jadi markas dari Orange Esports.

Terletak di lantai paling atas dari Quill City Mall, EBN Esports City dilengkapi dengan teknologi untuk mengadakan turnamen dan konferensi esports. Di sini, Anda akan menemukan EB Esports Arena, Orange Esports Club, EBN Headquarters, kafe internet, dan tiga studio yang bisa digunakan untuk melakukan siaran live, lapor Esports Insider.

Fnatic Dapat GBP2 Juta dari Crowdfunding

Fnatic berhasil mendapatkan GBP2 juta (sekitar Rp37,9 miliar) dari kampanye crowdfunding yang mereka lakukan di Crowdcube. Pada awalnya, mereka hanya menargetkan untuk mendapatkan GBP1 juta (sekitar Rp19 miliar). Pendanaan ini diikuti oleh lebih dari 4.000 orang. Dana yang Fnatic dapatkan dari kampanye ini akan digunakan untuk mengembangkan merek mereka di dunia. Selain itu, mereka juga akan menggunakan investasi itu untuk membuat tim esports yang kuat, lapor GamesIndustry.

Di Ulang Tahune ke-26, DreamHack Lakukan Rebranding

Dalam DreamHack Day, penyelenggara turnamen esports dan festival gaming, DreamHack mengungkap bahwa mereka akan mengubah identitas brand mereka. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan brand agency, Superunion. Dalam DreamHack Day, DreamHack juga merayakan ulang tahun mereka yang ke-26. Pada awalnya, DreamHack tidak lebih dari turnamen esports LAN. Sekarang, perusahaan asal Swedia itu telah beroperasi di berbagai negara di dunia, lapor Esports Insider.

Logo baru DreamHack.
Logo baru DreamHack.

Metafy Dapat Investasi Sebesar US$3 Juta

Platform pelatihan game, Metafy, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan kucuran dana sebesar US$3 juta (sekitar Rp42,5 miliar). Ronde pendanaan tahap awal ini dipimpin oleh Forerunner Ventures. Beberapa investor lain yang ikut serta dalam ronde investasi ini antara lain Tekton Ventures, M25, beberapa eksekutif Facebook dan Microsoft, serta pendiri dari Tempo Storm dan Tribe Gaming, menurut laporan Esports Observer.

Metafy, yang didirikan oleh Josh Fabian dan Thomas McNiven pada Agustus 2020, mengungkap bahwa mereka akan menggunakan investasi ini untuk mengembangkan produk mereka. Tujuan mereka adalah untuk “memudahkan transisi dari pemain hebat menjadi guru hebat.”

Daftar Investasi di Industri Esports Sepanjang November 2020

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasi di ekosistem esports, termasuk perusahaan venture capital. Bahkan di tengah pandemi, investasi di ranah game dan esports tetap mengalir. Berikut beberapa investasi dan akuisisi yang terjadi sepanjang November 2020.

 

Fnatic Mendapatkan US$10 Juta dan Adakan Crowdfunding

Fnatic, organisasi esports asal Eropa, mendapatkan investasi sebesar US$10 juta pada bulan lalu. Ronde pendanaan internal itu dipimpin oleh Beringea, perusahaan venture capital yang beroperasi di Inggris dan Amerika Serikat. Beberapa investor lain yang ikut menanamkan modal di ronde pendanaan tersebut antara lain Unbound, LVL1 Global, dan JHD. Fnatic mengungkap, investasi yang mereka dapatkan akan digunakan untuk memperkuat brand dan tim esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menggunakan dana tersebut untuk melakukan ekspansi global.

Selain pendanaan internal, bulan lalu, Fnatic juga mengadakan kampanye crowdfunding melalui Crowdcube. Ketika itu, mereka memasang target untuk mendapatkan GBP1 juta (sekitar Rp18,9 miliar) dengan menjual 0,99% saham mereka. Sebelum mereka menawarkan saham mereka ke masyarakat umum, telah ada investor yang membeli saham mereka. Jadi, tidak heran jika Fnatic berhasil mengumpulkan dana sebesar GBP945 ribu (sekitar Rp17,8 miliar) bahkan sebelum mereka menjual saham mereka ke publik.

Setelah mendapatkan investasi, Fnatic juga melakukan crowdfunding. | Sumber: The Esports Observer
Setelah mendapatkan investasi, Fnatic juga melakukan crowdfunding. | Sumber: The Esports Observer

Fnatic berencana untuk menggunakan dana dari crowdfunding ini untuk merealisasikan rencana jangka pendek mereka. Mereka memperkirakan, mereka akan mulai mendapatkan untung pada 2023. Menurut prediksi mereka, pada 2023, mereka akan mendapatkan pemasukan sebesar US$73 juta (sekitar Rp1 triliun) dan EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) sebesar US$3 juta (sekitar Rp42,4 miliar).

Immortal Gaming Club Dapatkan Investasi

Pada bulan lalu, Immortals Gaming Club (IGC), organisasi esports asal Amerika Utara, juga mendapatkan kucuran dana sebesar US$26 juta (sekitar Rp367,6 miliar). Pendanaan itu dipimpin oleh Meg Whitman, salah satu anggota dewan IGC. Dua investor lain yang ikut menanamkan modal dalam ronde pendanaan itu antara lain Anschutz Entertainment Group (AEG) dan March Capital Partners. Keduanya telah menanamkan investasi di IGC sebelum ini.

IGC menyebutkan, mereka berencana untuk menggunakan dana ini untuk mengembangkan brand tim esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menyalurkan sebagaian investasi itu ke Gamers Club dengan tujuan untuk memperkaya portofolio game mereka dan memperluas jangkauan mereka.

 

Griffin Gaming Partners Kumpulkan US$235 Juta untuk Dana Gaming dan Teknologi

Pada November 2020, Griffin Gaming Partners berhasil mengumpulkan investasi sebesar US$235 juta (sekitar Rp3,3 triliun) untuk dialokasikan pada ranah game dan teknologi. Mereka berencana untuk menginvestasikan setidaknya setengah dari dana ini di perusahaan yang fokus pada platform dan infrastruktur gaming. Dana yang tersisa lalu akan diinvestasikan ke studio game dan pembuatan konten.

Sebagai perusahaan venture capital, Griffin Gaming Patners telah menanamkan investasi di berbagai perusahaan game dan teknologi, termasuk Discord. Belum lama ini, mereka juga memberikan modal pada game developer Frost Giant Studios.

 

BLAST Dapatkan Dana dari Edge Investments

Penyelenggara turnamen esports asal Denmark, BLAST, mendapatkan investasi sebesar GBP1,7 juta (sekitar Rp32,1 miliar) dari perusahaan Inggris, Edge Investments. BLAST menyebutkan, dana ini akan mereka gunakan untuk mengokohkan operasi mereka di Inggris serta melakukan ekspansi global. Selain modal, BLAST juga akan memanfaatkan keahlian dan jaringan Edge untuk mengoptimalkan kemampuan mereka dalam mengadakan turnamen esports.

“Keputusan Edge untuk menanamkan investasi di kami merupakan bukti bahwa industri esports tengah berkembang, walau muncul berbagai masalah bagi banyak orang pada tahun ini,” kata Robbie Douek, CEO Blast, dikutip dari Esports Insider. “Kami memilih Edge agar kami bisa memanfaatkan keahlian dan jaringan mereka dalam distribusi konten, promosi media, dan penyelenggaraan event.”

 

ReKTGlobal Gandeng Vikkstar

Perusahaan esports, ReKT Global menjadikan Vikram “Vikkstar” Singh Barn sebagai co-owner dari tim Call of Duty League mereka, London Royal Ravens. Vikkstar adalah gaming influencer asal Inggris. Sebagai co-owner London Royal Ravens, Singh Barn akan membuat format konten baru. Selain itu, dia juga berencana untuk membuat merchandise, kegiatan promosi, dan turnamen esports secara mandiri, terlepas dari turnamen yang diselenggarakan ReKT Global.

Vikram "Vikkstar" Singh Barn jadi salah satu pemilik London Royal Ravens.
Vikram “Vikkstar” Singh Barn jadi salah satu pemilik London Royal Ravens.

Queens Gaming Collective Dapatkan Pendanaan Tahap Awal

Queens Gaming Collective, perusahaan gaya hidup gaming yang fokus pada perempuan, berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal senilai US$1,5 juta (sekitar Rp21,2 miliar). Pendanaan itu dipimpin oleh BITKRAFT Ventures. Selain itu, ada 12 investor lain yang ikut mendukung Queens Gaming Collective, termasuk para pengusaha dan pemimpin bisnis perempuan. Dana ini akan digunakan oleh Queens Gaming Collective untuk mencari pekerja yang mumpuni, membuat konten, dan mendukung pertumbuhan karir kreator dan streamer perempuan di dunia game dan esports.

 

Investasi dan Pendanaan Lain

Pada bulan lalu, Edge Esports Ltd, startup yang membuat solusi pembayaran dan kontrak untuk pemain esports, mendapatkan investasi sebesar US$1,5 juta (sekitar Rp21,2 miliar). Dipimpin oleh Blake Picquet, ronde investasi itu juga diikuti oleh Green Egg Ventures, Game Tech Ventures, dan Robert Reeg. Dana investasi itu akan digunakan oleh Edge untuk memperkuat tim internal mereka.

Sementara itu, perusahaan analisa performa gamer, Statespace berhasil mengumpulkan US$29 juta (sekitar Rp410 miliar) dalam pendanaan Seri B, yang dipimpin oleh Khosla Ventures. Mereka mendapatkan kucuran modal ini enam bulan setelah mereka menutup ronde investasi Seri A, yang bernilai US$15 juta (sekitar Rp212 juta) pada Mei 2020. Ketika itu, ronde pendanaan tersebut juga dipimpin oleh Khosla Ventures. CEO Statespace, Wayne Mackey mengungkap, prioritas utama mereka saat ini adalah untuk menumbuhkan platform mereka.

StreamHERO, jaringan iklan untuk streamer, mendapatkan investasi pre-seed sebesar US$550 ribu (sekitar Rp7,8 miliar). Ronde investasi itu dipimpin oleh Adventures Lab. StreamHERO akan menggunakan dana ini untuk membuat tools monetisasi baru bagi para streamer dan sistem analitik baru. Sementara itu, pada November 2020, Hitmarker, platform pencarian lowongan pekerjaan di dunia gaming dan esports, mengadakan kampanye crowdfunding di Crowdcube. Mereka menjual 4% saham mereka demi mendapatkan modal ekstra. Target mereka dari kampanye crowdfunding itu adalah GBP200 ribu (sekitar Rp3,8 miliar).

Gamer Sensei adalah platform latihan gaming. | Sumber: The Esports Observer
Gamer Sensei adalah platform latihan gaming. | Sumber: The Esports Observer

GAMURS Group, perusahaan induk Dot Esports, baru saja mengakuisisi platform Pro Game Guides. Untuk melakukan itu, mereka menggunakan dana dari investor mereka, termasuk Aura Group. Tahun depan, GAMURS berencana untuk membeli beberapa perusahaan lain di ranah gaming.

GAMURS bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan akuisisi pada bulan lalu. Corsair Gaming juga baru saja membeli Gamer Sensei, platform pelatihan esports. Dengan ini, Gamer Sensei akan menjadi salah satu divisi Corsair. Selain itu, Take-Two Interactive juga menandatangnai kontrak perjanjian untuk mengakuisisi Codemasters senilai US$980 juta (sekitar Rp13,9 triliun). Jika perjanjian itu disetujui oleh para pemegang saham dan regulator, akuisisi ini diperkirakan akan selesai pada Q1 2021.

Secara keseluruhan, sepanjang November 2020, total investasi di ranah game dan esports mencapai US$306 juta (sekitar Rp4,3 triliun). Sebagai perbandingan, total investasi di dunia game dan esports sepanjang 2020 telah menembus US$6,44 miliar (sekitar Rp91,1 triliun).

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider

Olive Pro Adalah Alat Bantu Dengar Sekaligus TWS dengan Active Noise Cancellation

Hampir semua TWS premium yang dibekali active noise cancellation (ANC) turut dilengkapi juga dengan fitur untuk membiarkan suara dari sekitar masuk ketika dibutuhkan – biasanya disebut mode ambient atau transparan. Dalam posisi seperti itu, tidak salah apabila sebuah TWS kita anggap sebagai alat bantu dengar, bukan?

Mungkin dengan berlandaskan pada gagasan semacam itulah perangkat bernama Olive Pro ini dibuat. Pengembangnya, sebuah startup asal Korea Selatan bernama Olive Union, mendeskripsikannya sebagai perangkat 2-in-1: alat bantu dengar sekaligus true wireless earphone.

Olive Pro

Dilihat sepintas, wujudnya memang tidak kelihatan seperti sebuah alat bantu dengar sedikit pun. Namun pada kenyataannya, produk ini terdaftar sebagai perangkat medis, setidaknya di Amerika Serikat. Harapannya tentu saja adalah untuk menghapuskan stigma buruk yang kerap muncul ketika melihat seseorang yang mengenakan sebuah alat bantu dengar di area publik.

Pengembangnya bilang bahwa Olive Pro memanfaatkan teknologi noise cancellation berbasis machine learning untuk mengisolasi suara-suara yang tidak diinginkan, dan di saat yang sama mengamplikasi suara-suara seperti percakapan, suara TV, musik, dan lain sebagainya. Sebagai TWS sendiri, kualitas suaranya ditunjang oleh driver tipe balanced armature.

Tentu saja berhubung ini merupakan alat bantu dengar, ia datang bersama sebuah aplikasi smartphone yang dapat digunakan untuk menyesuaikan profil suara yang dihasilkan dengan kualitas pendengaran masing-masing. Prosesnya disebut hanya memakan waktu sekitar 5 menit saja, jauh lebih praktis daripada harus berkunjung ke dokter THT.

Olive Pro

Hal lain yang tidak kalah penting adalah daya tahan baterai, terutama berhubung perangkat ini bakal digunakan hampir setiap saat, bukan cuma saat ingin mendengarkan musik saja. Dalam sekali pengisian, Olive Pro dipercaya mampu beroperasi selama sekitar 7 jam pemakaian. Layaknya TWS lain, Olive Pro juga datang bersama sebuah wireless charging case yang siap menyuplai daya sebanyak dua kali, memberikan total pemakaian selama sekitar 20 jam.

Untuk pemasarannya, Olive Pro saat ini sudah bisa dipesan melalui situs crowdfunding Indiegogo. Harga paling murah yang bisa didapat para backer adalah $199, selisih $100 dari estimasi harga ritelnya, dan sangat terjangkau untuk ukuran alat bantu dengar.

Sumber: Engadget.

Digital Campaign Platform “Dukung Calonmu” is to Facilitate the Election of Political Contestants

Starting from a public fundraising campaign site (crowdfunding), Dukung Calonmu is to shift into a comprehensive digital campaign platform. Even though it hasn’t left the crowdfunding feature which is currently known as a donation, the Founder & CEO, Christian Hutabarat shared his vision and ambition with us.

He said his service pivot was based on in-depth observations regarding the current conditions in Indonesia. Fundraising platforms have not been fully accepted by political contestants.

“Such a concept is difficult to enter into Indonesian political culture because there are several obstacles that are encountered. Among them, political contestants are concerned about the small number of donations coming in. Then there is a concern that by raising campaign funds, there is a negative perception that they (political contestants) don’t have the capacity economically,” Christian said.

Currently, it is still difficult for political digital platforms such as Support Your Candidates to instantly disrupt habits or methods that have previously been embedded in Indonesian society for a long time. For that reason, Dukung Calonmu strives to present relevant features and services for users.

“Political contestants who are included in our scope are not limited to the special legislative circle, but also for those candidates for RT heads, BEM heads, student council leaders can take advantage of our platform. Starting from a small-scale success story, the hope is that Support Candidates can expand its coverage to medium to the national scale,” Christian said.

Dukung Calonmu will continue to actively communicate with regulators such as the KPU and Bawaslu, to ensure that the steps taken are in accordance with existing regulations. Meanwhile, to create a wider network and provide even more massive education, they work with organizations to communities ranging from small to large scale.

“We hope that support from stakeholders can help Dukung Calonmu to be better known and eventually used as a digital campaign platform that supports political contestants and the general public,” Christian added.

Two leading features

Because the function is not used for daily needs, Dukung Calonmu is currently not available as an application. It only use the website.

One of its features is dubbed the “Digital Campaign”, and includes several interesting options that can be used. For example, to create a campaign site, a candidate profile information center, to a center for interaction with the community.

There is also an “Online Election” feature, providing options such as easy voter registration, verification of registered voters with guaranteed security.

For the donation feature, Dukung Calonmu is to embed this choice in the Digital Campaign feature. For contestants who want to launch donation activities, they can take advantage of this option by managing the money accommodated in advance by Dukung Calonmu team, using a third party payment gateway.

After the donation has been successfully collected, the money can be disbursed through a verified account. Dukung Calonmu already has a number of users who are scattered in their locations. Not only in Indonesia, they claim to have users in the Netherlands.

“Through Dukung Calonmu, the wider community can find out more relevant information about political contestant candidates, build direct relationships and, if interested, can make donations according to the initiation of the political contestants,” Christian said.

For the monetization strategy that is implemented, Dukung Calonmu provides a subscription option (subscribe) within a certain time frame and also certain features that can be used. Meanwhile, Online Election is a price package, depending on the number of voters who will use it.

Claiming to be the first and only platform to present political campaigns online, there are several plans and targets for Dukung Calonmu to achieve, including conducting fundraising.

“Dukung Calonmu’s target next year is certainly to be able to develop even more, and also for the product itself, there will always be developments to improve existing products to satisfy or meet all the needs that are difficult for our users,” Christian said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Kampanye Digital “Dukung Calonmu” Ingin Permudah Pemilihan Kontestan Politik

Berawal dari situs kampanye penggalangan dana publik (crowdfunding), saat ini Dukung Calonmu berpindah haluan menjadi platform kampanye digital yang menyeluruh. Meskipun belum meninggalkan fitur crowdfunding yang saat ini dikenal sebagai donasi, Founder & CEO Christian Hutabarat menceritakan visi dan ambisinya kepada kami.

Ia mengatakan, pivot layanannya didasarkan pada hasil pengamatan mendalam terkait kondisi terkini di Indonesia. Platform penggalangan dana belum bisa diterima sepenuhnya oleh kalangan kontestan politik.

“Konsep seperti itu sulit untuk masuk ke budaya politik Indonesia, karena ada beberapa hambatan yang ditemui. Di antaranya dari kontestan politiknya ada kekhawatiran sedikit jumlah donasi yang masuk. Kemudian ada kekhawatiran dengan melakukan penggalangan dana kampanye, ada persepsi negatif bahwa mereka (kontestan politik) tidak memiliki kemampuan secara ekonomi,” kata Christian.

Saat ini memang masih sulit bagi platform digital politik seperti Dukung Calonmu untuk mendisrupsi kebiasaan atau cara-cara yang sebelumnya sudah tertanam cukup lama di kalangan masyarakat Indonesia secara instan. Untuk itu Dukung Calonmu berupaya untuk menghadirkan fitur dan layanan yang relevan bagi pengguna.

“Kontestan politik yang masuk dalam cakupan kami tidak terbatas dari kalangan khusus legislatif saja, namun juga untuk mereka calon ketua RT, ketua BEM, ketua Osis bisa memanfaatkan platform kami. Dimulai dari kisah sukses skala yang kecil, harapannya Dukung Calonmu bisa memperluas cakupan hingga ke skala menengah hingga nasional,” kata Christian.

Dukung Calonmu juga terus melakukan komunikasi secara aktif dengan regulator seperti KPU dan Bawaslu, demi memastikan langkah yang diambil sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Sementara untuk membuka jaringan lebih luas dan memberikan edukasi lebih masif lagi, mereka bekerja sama dengan organisasi hingga komunitas mulai dari skala kecil hingga besar.

“Kami berharap dukungan dari stakeholder bisa membantu Dukung Calonmu lebih dikenal dan pada akhirnya dimanfaatkan sebagai platform kampanye digital yang mendukung kontestan politik dan masyarakat umum,” kata Christian.

Dua fitur unggulan

Karena fungsinya tidak digunakan untuk keperluan sehari-hari, hingga saat ini Dukung Calonmu tidak tersedia dalam aplikasi. Hanya memanfaatkan situs web.

Salah satu fiturnya dijuluki “Kampanye Digital”, di dalamnya ada beberapa pilihan menarik yang bisa dimanfaatkan. Misalnya untuk membuat situs kampanye, pusat informasi profil calon, hingga pusat interaksi dengan masyarakat.

Ada juga fitur “Online Election”, menyediakan pilihan seperti kemudahan pendataan daftar pemilih, verifikasi pemilih terdaftar dengan jaminan keamanan.

Untuk fitur donasi, Dukung Calonmu menyematkan pilihan tersebut dalam fitur Kampanye Digital. Bagi kontestan yang ingin melancarkan kegiatan donasi, bisa memanfaatkan pilihan tersebut dengan pengelolaan uang ditampung terlebih dahulu oleh pihak Dukung Calonmu, memanfaatkan payment gateway pihak ketiga.

Setelah donasi berhasil dikumpulkan, uang bisa dicairkan melalui akun rekening yang telah diverifikasi. Saat ini Dukung Calonmu sudah memiliki jumlah pengguna yang tersebar lokasinya. Bukan hanya di Indonesia, mereka mengklaim telah memiliki pengguna di Belanda.

“Melalui Dukung Calonmu, masyarakat luas bisa mencari tahu lebih jauh informasi yang relevan tentang calon kontestan politik, membina relasi langsung dan jika berminat bisa memberikan donasi sesuai dengan inisiasi dari kontestan politik tersebut,” kata Christian.

Untuk strategi monetisasi yang diterapkan, Dukung Calonmu menyediakan pilihan berlangganan (subscribe) dalam rentan waktu tertentu dan juga fitur-fitur tertentu yang dapat digunakan. Sementara untuk Online Election adalah paket harga, bergantung jumlah pemilih yang akan menggunakan.

Mengklaim sebagai platform pertama dan satu-satunya yang menghadirkan kampanye politik secara online, ada beberapa rencana dan target dari Dukung Calonmu yang ingin dicapai, di antaranya adalah melakukan penggalangan dana.

“Target Dukung Calonmu tahun depan pastinya adalah bisa berkembang lebih besar lagi, dan juga untuk produk sendiri akan selalu ada perkembangan untuk menyempurnakan produk yang sudah ada hingga memuaskan atau memenuhi segala kebutuhan yang menjadi kesulitan dari para pengguna kita,” kata Christian.

Teno Adalah Lampu Sekaligus Speaker Portabel Berdesain Unik Karya Anak Bangsa

Di tahun 2014, seorang arsitek berdarah Indonesia, Max Gunawan, memberanikan diri untuk terjun ke bidang teknologi lewat suatu produk yang mengedepankan aspek desain. Produk tersebut adalah Lumio, sebuah lampu portabel yang menyamar sebagai buku, yang sangat populer sampai-sampai banyak versi palsunya yang beredar.

Memasuki akhir tahun pandemi ini, Max kembali melancarkan kampanye crowdfunding di Kickstarter untuk produk keduanya yang bernama Teno. Seperti halnya Lumio, Teno juga merupakan sebuah lampu portabel, tapi ternyata ia juga merangkap peran sebagai speaker Bluetooth.

Juga sama seperti Lumio, yang paling mencuri perhatian dari Teno adalah desainnya. Sepintas, ia kelihatan seperti sebuah mangkok tertutup yang terbuat dari batu, dengan bagian tengah yang retak sampai ke samping. Buka retakan tersebut, maka lampu berwarna kuning akan menyala seketika itu juga, dan musik pun juga siap dialunkan.

Max menjelaskan bahwa desain Teno banyak terinspirasi oleh kintsugi, seni mereparasi barang pecah belah seperti tembikar menggunakan pernis yang dicampuri emas. Lewat Teno, Max pada dasarnya ingin menciptakan suatu produk teknologi yang tak lekang oleh waktu, bukan yang harus diganti dengan yang baru setiap tahunnya.

Berhubung estetika adalah prioritas yang paling utama, jangan terkejut apabila Teno tidak dibekali tombol sama sekali. Sebagai gantinya, hampir seluruh permukaannya telah dilengkapi panel sentuh. Sentuh di dekat bagian retakannya, maka tingkat kecerahan lampunya akan berubah (maksimum sampai 250 lumen). Sentuh agak jauh dari retakannya, maka kita bisa menerima atau menghentikan panggilan telepon.

Namun favorit saya adalah gesture untuk mengatur volume suaranya, yakni cukup dengan mengusap ke atas atau bawah pada lengkungan di sisi kiri maupun kanan Teno. Biarpun tak memiliki tombol, sensasi taktil tetap sanggup Teno sajikan berkat tekstur permukaannya yang menyerupai batu, apalagi mengingat rangka Teno memang terbuat dari campuran bahan resin dan pasir alami.

Secara teknis, Teno memiliki diameter 13 cm dan tinggi sekitar 6,4 cm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 900 gram. Di dalamnya, tertanam sebuah full-range driver berdiameter 45 mm, lengkap beserta sebuah passive radiator dan amplifier Class-D berdaya 10 W. Urusan konektivitas, Teno mengandalkan Bluetooth 5.0 dengan dukungan codec aptX HD.

Volumenya sendiri disebut cukup untuk mengisi ruangan dengan luas 5-20 m², dan saya sudah bisa membayangkan Teno sebagai salah satu ornamen yang menghiasi meja di samping tempat tidur, yang kemudian bisa dibawa ke ruang membaca ketika dibutuhkan. Alternatifnya, pengguna juga bisa menghubungkan dua unit Teno untuk mendapatkan setup stereo.

Teno mengemas baterai berkapasitas 2.800 mAh, dan ini disebut cukup untuk menenagai lampunya menyala paling terang selama 4 jam, atau speaker-nya selama 8 jam dengan tingkat volume 50%. Untuk mengisi ulang Teno, pengguna bisa memanfaatkan charger magnetis yang termasuk dalam paket penjualannya.

Buat yang tertarik, Teno saat ini sudah bisa dipesan melalui Kickstarter dengan harga paling murah $240 (belum termasuk biaya pengiriman ke Indonesia sebesar $30). Harga ritelnya dipatok $300, dan konsumen bisa memilih antara warna Arctic White atau Lava Black.

Sampai artikel ini ditulis, tercatat Teno telah mengumpulkan pendanaan sekitar $170.000, dan ini ternyata sudah jauh melampaui target yang ditetapkan oleh Max. Kampanye crowdfunding-nya sendiri akan berlangsung sampai 20 November 2020, akan tetapi pengirimannya ke konsumen dijadwalkan baru berlangsung mulai Mei 2021.

Sumber: The Verge dan Design Anthology.