Mandiri Capital Debut Galang Investasi Eksternal, Targetkan Dana 1,4 Triliun Rupiah

Mandiri Capital Indonesia, ventura korporasi dari Bank Mandiri, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi perdana. Target dana yang akan dihimpun adalah $100 juta (lebih dari 1,4 triliun) dan bakal rampung pada tahun depan.

CEO MCI Eddi Danusaputro menerangkan, perubahan strategi ini [membuka kesempatan LP dari luar terlibat] dilakukan karena ada kebutuhan investasi yang besar di Indonesia, terutama untuk startup fintech. Hal ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi apabila sumber investor dari Bank Mandiri saja, butuh investor dari luar untuk menyokongnya.

“Tidak bisa terus-menerus mengandalkan dana dari Bank Mandiri saja. Sekarang masih fundraising, sudah keliling ke Jepang dan Korea Selatan, mereka berminat untuk masuk ke Indonesia,” terang Eddi saat ditemui di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Dia juga meyakini reputasi Bank Mandiri sebagai bank pelat merah, tentunya akan memberikan nilai lebih buat para investor luar negeri untuk memercayakan dananya dikelola oleh MCI.

Menurutnya, tidak ada perbedaan mencolok antara mengelola dana dari kantong sendiri dengan eksternal. Selama ini Bank Mandiri selalu mengutamakan bagaimana startup yang didanai bisa memberikan sinergi buat grup dan imbal hasil yang diberikan.

Sedangkan, investor eksternal kurang mengedepankan sinergi, lebih kepada bagaimana MCI bisa memberikan imbal hasil yang baik dari dana yang diberikan.

Dalam fundraising ini, Eddi menargetkan setidaknya dapat menghimpun dana sebesar $100 juta. Bank Mandiri akan turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, diperkirakan hanya 10% atau sekitar $10 juta (setara 140 miliar Rupiah).

Tahun depan diharapkan MCI sudah mulai berinvestasi lewat fund terbaru tersebut. Startup yang diincar 80% bergerak di fintech, sisanya bergerak di sektor pendukung fintech. Tahapan pendanaannya tetap di seri A.

“Tetap di hipotesa awal kita bermain di early stage, seri A. Tapi tidak menutup kemungkinan bila ada yang bagus masuk ke seri B.”

MCI telah beroperasi sejak 2016 dan sepenuhnya menggantungkan sumber pendanaannya lewat suntikan dari Bank Mandiri tiap tahun. Total pendanaan yang disalurkan mencapai Rp980 miliar untuk 13 startup fintech.

Hampir sepenuhnya dilakukan pendanaan seri A dan co-invest dengan investor lain. Akan tetapi, ada satu pengecualian. MCI pernah ikut dalam penggalangan seri B untuk Investree pada 2018.

Menjelang akhir tahun ini, MCI akan mengumumkan satu investasi teranyar untuk startup yang bergerak di bidang wealth management. Eddi belum bersedia memberikan info terkait hal ini.

Pendanaan yang terakhir diumumkan adalah pendanaan pra seri A untuk Crowde sebesar $1 juta (sekitar 14 miliar Rupiah).

Pemilihan strategi serupa sebelumnya juga dilakukan oleh MDI Ventures untuk dana investasi ketiga. Target dananya juga sama, sebanyak $100 juta. Salah satu nama investor yang sudah terkuak adalah Kookmin Bank dari Korea Selatan.

MDI Ventures juga menjajaki investor lainnya dari Timur Tengah dan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.

BRI Ventures Pertimbangkan Investasi di Luar Sektor Fintech

BRI Ventures, ventura korporasi dari BRI, mengungkapkan rencana untuk berinvestasi di luar sektor fintech pada tahun depan. Sektor yang disasar adalah industri kreatif, agrikultur, maritim, kesehatan, pendidikan, travel, fesyen, dan ritel.

VP of Investment BRI Ventures William Gozali menjelaskan, sebelumnya perusahaan harus memenuhi beberapa aturan karena mereka adalah usaha ventura dari bank. Sebelum itu terpenuhi, maka fokus utama saat ini BRI Ventures adalah berinvestasi untuk startup fintech dan fintech-enabler.

“Jadi ada beberapa kerangka manajemen risiko dan operasional yang harus kita penuhi. Makanya kita pastikan comply, baru kita bisa agresif [berinvestasi ke sektor di luar fintech],” terang William di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Sektor startup yang diincar beberapa di antaranya adalah DNA dari BRI sebagai bank mikro yang menyentuh nasabah di agrikultur dan maritim.

Adapun untuk sektor fintech, yang diminati BRI adalah yang bergerak di bawah payung regulasi OJK dan BI. Ada pembayaran, crowdfunding, p2p lending, dan IKD, termasuk di dalamnya insurtech, wealth management, credit scoring, big data, dan lainnya.

“Kami hanya mau berinvestasi ke startup yang sudah berlisensi dan terdaftar di regulator, karena kami respect dengan regulator.”

BRI juga melihat berdasarkan hierarki kebutuhan konsumen. Di Indonesia, pertama kali masyarakat mulai paham terhadap produk pembayaran, kemudian pinjaman, transfer uang, dan remitansi.

“Secara hierarki orang lebih butuh produk pinjaman, setelah itu lanjut ke saving, asuransi, dan wealth management. Tidak mungkin langsung ke asuransi dulu kalau tidak punya saving, berdasarkan siklusnya seperti itu.”

Kendati hadir sedikit terlambat daripada CVC lainnya, William meyakini banyak pembelajaran, terkait strategi berinvestasi, bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan.

Di antaranya mengenai apa yang sukses di Amerika Serikat (Silicon Valley), tidak bisa direplikasi begitu saja di Indonesia. Seperti posisi Uber saat ini yang kini ingin mengikuti model super app yang sudah diterapkan oleh Gojek.

Pun demikian di Tiongkok. Di sana kondisinya cukup berbeda, orang Tiongkok tergolong lebih hyper consumtive, kualitas internet sangat baik, dan sebagainya. Kondisi di Indonesia tidak demikian.

“Itu seninya, kita connecting the dots, pattern-pattern yang mirip, tapi enggak bakal 100% sama. Jadi kita harus mau learn dan unlearn. Intinya enggak boleh sok tahu, meski BRI ini punya banyak pengalaman tapi willing to learn.”

Pengumuman investasi berikutnya

BRI Ventures adalah salah satu inisiatif BRI yang ingin adaptif terhadap perkembangan digital. Untuk itu, di-plot sebagai venture investment yang fokus pada pendanaan seri A ke atas. Sementara pada tahap awal, BRI punya inisiatif lainnya berbentuk program inkubasi BRIncubator.

Di sisi venture build, ada salah satu inisiatif yang sudah diluncurkan lewat BRI Agro untuk aplikasi lending Pinang.

“Ini lebih ke arah appetite. Mungkin pada tahap seed, startup yang masuk ke BRI belum siap. Kita enggak ingin, sistem startup-nya down karena langsung diakses oleh 80 juta nasabah BRI.”

BRI Ventures telah disuntik dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk diinvestasikan kembali ke startup. Sejak diumumkan kehadirannya pada Juli 2019, baru ada satu pengumuman investasi BRI untuk LinkAja pada putaran seri A dengan nilai yang tidak disebutkan.

Ditanya mengenai komitmen untuk kembali berinvestasi ke LinkAja yang tengah menggalang seri B, William hanya memastikan dukungan penuhnya untuk LinkAja.

“Kita full support di LinkAja baik secara finansial dan sinergi. Itu komitmen kita dari awal. Mereka itu perusahaan independen, jadi sambil kita supervise, kita support strategi manajemennya.”

Dengan dana $250 juta ini menurutnya cukup untuk berinvestasi sampai tiga tahun mendatang. Perusahaan akan berinvestasi ke startup antara $5 juta-$10 juta per investasi (setara Rp70 miliar-Rp140 juta).

“Kami tidak target spend, tapi melihat market opportunity karena ada beberapa sektor yang capital intensive, tapi ada juga yang capital efficient. Kami melihat bagaimana sinerginya dengan BRI bisa leverage aset mereka dengan startup.”

Investasi berikutnya akan diumumkan pada pertengahan Desember mendatang.

Sebelumnya sumber kami mengonfirmasi bahwa BRI sedang menjajaki kemungkinan investasi ke Traveloka, namun sejauh ini belum ada keputusan final.

Strategi Salim Group Berinvestasi di Startup

Meski kiprah Salim Group dalam pendanaan startup digital tidak sekencang konglomerasi yang lain, sepak terjangnya tidak bisa diragukan. Tercatat ada beberapa investasi besar yang pernah dilakukan, seperti Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman.

Ditemui saat konferensi tahunan NextICorn 2019 di Bali, Portfolio Manager Salim Group Edmund Carulli banyak menceritakan tentang strategi Salim Group dalam berinvestasi, baik untuk startup digital maupun non digital.

Salim Group tidak memiliki investment arm khusus saat menyalurkan pendanaannya. Mereka membentuk divisi khusus yang posisinya langsung di bawah grup, dinamai Innovation Factory.

Divisi ini khusus menyalurkan pendanaan tahap awal. Yang tidak termasuk dalam investasi ini adalah porsi untuk Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret.

Tercatat ada 25 startup yang masuk ke dalam portofolio sejak memulai debutnya tiga tahun lalu. Startup tersebut bergerak di berbagai segmen, seperti SaaS, fintech, agrikultur, makanan, kecantikan, edukasi, dan otomotif.

“Dari 25 startup itu, beberapa di antaranya adalah tech startup,” terangnya, kemarin (14/11).

Masuk ke pendanaan tahap awal sebenarnya memiliki risiko tersendiri. Namun, Edmund menilai keputusan ini diambil karena filosofi investasi grup adalah bersama-sama bangun startup dari awal, agar nantinya dapat sejalan dengan visi besar grup.

Edmund menjelaskan setiap investasi yang diberikan, pihaknya tidak selalu mengambil saham mayoritas dari startup tersebut. Dari 25 portfolio, hanya sedikit diantaranya yang mayoritas.

Di samping itu, investasi yang dikucurkan saat ini masih dilakukan sendiri tanpa co-invest dengan investor lain. “Co-invest betul kita belum pernah co-invest, tapi tidak menutup kemungkinan [co-invest dengan investor lain].”

Filosofi investasi Salim Group

Seperti CVC kebanyakan, Salim Group cenderung lebih memilih startup yang memiliki unsur berkaitan dengan lini bisnisnya agar dapat mendukung eskalasi bisnis existing. Industri pendukung lainnya seperti fintech dan SaaS juga turut dicari, meski tidak dilakukan secara agresif.

Edmund memastikan Salim Group tidak melulu harus investasi. Bisa juga dengan sinergi bisnis. Intinya bagaimana mereka bisa memperkaya dan meningkatkan operasional di bisnis utama grup.

“Filosofi kami mencari startup bisa sinergi dengan bisnis di grup, terbesar ada Indomaret dan Indofood. Makanya kami cari startup yang bisa bantu kami untuk bantu ke sana.”

Di samping itu, preferensi startup yang dipilih adalah mulai mengarah pada pertumbuhan yang berkelanjutan. Tujuannya agar ekosistem startup lebih sehat, bagaimana mendorong mereka untuk tetap sustain ke depannya tanpa harus selalu bakar duit.

“Dari awal kita tidak percaya dengan startup yang burning money, yang kita cari adalah sustainable growth. Jadi kita cari startup yang punya bottom line-nya EBITDA positif, dari awal kita push ke sana.”

Portofolio juga berkesempatan untuk masuk ke dalam ekosistem digital Salim Group. Dari 25 portofolio startup, mereka bisa saling bersinergi satu sama lain. Pun demikian dengan seluruh entitas dalam Salim Group itu sendiri, meski tidak bisa integrasi secara langsung karena butuh proses.

Edmund menerangkan tahun ini perusahaan telah berinvestasi melalui Skala, program akselerator yang dibuat bersama Gree Ventures. Tanpa menyebut rinci, perusahaan telah berinvestasi tahap awal ke tiga startup.

“Dalam inkubator itu kita bina tiga startup selama tiga bulan, lalu kita danai di tahap awal. Sampai tahun ini sudah selesai, baru tahun depan kita akan mulai investasi baru lagi,” pungkasnya.

MDI Ventures to Announce the Third Fundraising, Aiming for 1.4 Trillion Rupiah

MDI Ventures, Telkom backed corporate venture capital, is said to be in talk of the third fundraising, aiming for $100 million (over 1.4 trillion Rupiah). MDI is now involving foreign investor as LP, the leaked one is Kookmin Bank from South Korea.

MDI Ventures‘ Principal and Head of Investor Relations, Kenneth Li said to DailySocial that Kookmin Bank as one of the LPs to invest in its third fundraising. However, it’s not final yet.

He is yet to confirm that Telkom would be involved in the fundraising-to-be, or the slot will be fully occupied by foreign investors. In addition, their team is looking for LP from Middle East and some of the SEA countries, such as Thailand and Singapore.

Kookmin Bank debut in Indonesia is marked as they enter Bank Bukopin’s board of shareholders. As one of the biggest banks in South Korea, they’ve bought 22% shares worth of 1.46 trillion Rupiah last year.

“Kookmin is one of the latest investors for our investment, it’s still finalizing. In this round, we’re targeting $100 million investment as we made at the first one,” he said on Friday (9/13).

The decision to open overseas is kind of a new thing. First, the company pockets $100 million investment from Telkom alone. Next, the second one is from Telkomsel’s investment arm, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) worth of $40 million in May 2019.

MDI Ventures is to open the gate for those foreign investors having difficulty to enter this country. They’re aware of Indonesia from unicorns that exist in media overseas but having no exposure with other locals for collaboration.

The current strategy is said to follow Softbank’s initiative. First, Softbank is using its internal funding to invest in tech-company. After positive feedback, they’re maturing for greater amount of investment from high-profile global LP.

Although this is the first time, managing funds from foreign investors wouldn’t be a huge problem. He believes the company’s proven background and history since its debut in 2015 should gain investor’s trust in terms of fund managing and guarantee promising results.

To date, MDI Ventures has managed 35 portfolio across 10 countries with a total 5 exit. Some IPO took place overseas, such as Geenie in TSE (Japan) and Whispir (Australia).

Future plan

Telkom, as the parent company, has approved the plan to explore growth outside the country. The company can’t always rely on Telkom alone, they also need support from others.

However, they haven’t change the main focus, to look for potential startups to make collaboration with Telkom Group. It’s mutual as Telkom’s effort for digital transformation as more than just a telco.

“Telkom is to go beyond just a telco. We still have a same responsibility, to find potential startups for Telkom’s future plan, it includes collaboration,” MDI Ventures’ GM of Investment, Aldi Adrian said.

The freedom to choose the startup segment might be a privilege for MDI Ventures than any other CVCs, especially bank-backed ones due to regulations.

“We’ve become more agile to enter all business segments, therefore we offer more added value than other CVCs,”

Although they’ve no intention to leak the next investment, Kenneth confirmed, there are upcoming investments before 2019 end. One of them is an investment to fintech startup founded by one of the former unicorn’s players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures Segera Umumkan Dana Investasi Ketiga, Menargetkan 1,4 Triliun Rupiah

MDI Ventures, perusahaan ventura korporasi Telkom Group, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi ketiga dengan target nilai $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Kali ini MDI melibatkan investor dari luar negeri sebagai LP, salah satunya yang terkuak adalah Kookmin Bank asal Korea Selatan.

Kepada DailySocial, Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li mengonfirmasi bahwa Kookmin Bank adalah salah satu dari LP yang akan masuk ke dana investasi ketiga dari MDI Ventures. Namun, kesepakatan antara keduanya belum sampai tahap final.

Dia juga belum bisa mengonfirmasi apakah Telkom akan kembali masuk di dana investasi terbaru tersebut atau sepenuhnya bakal berasal dari investor luar negeri. Selain Bank Kookmin, pihaknya sedang menjajaki LP dari Timur Tengah dan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.

Debut Kookmin Bank di Indonesia dimulai dengan masuk sebagai pemegang saham baru di Bank Bukopin. Salah satu bank terbesar di Korea Selatan ini membeli 22% saham Bank Bukopin senilai 1,46 triliun Rupiah tahun lalu.

“Kookmin adalah salah satu investor yang masuk ke fund terbaru kita, tapi masih finalisasi. Target dana investasi yang mau kita kelola untuk kali ini $100 juta setara dengan fund pertama,” katanya, Jumat (13/9).

Keputusan MDI Ventures untuk terbuka ke investor luar, sebenarnya merupakan hal yang baru. Awalnya perusahaan mengantongi dana investasi sebesar $100 juta sepenuhnya berasal dari Telkom. Kemudian, di tahap kedua berasal dari anak usaha Telkomsel, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), sebesar $40 juta pada Mei 2019.

MDI Ventures ingin membuka gerbang ke investor luar yang selama ini tersendat saat ingin masuk ke Indonesia. Mereka tahu tentang Indonesia berkat nama-nama unicorn yang sering disebut media luar, tapi masih kurang ter-expose dengan startup lokal lain yang bisa diajak kolaborasi.

Strategi yang dipilih MDI Ventures kali ini bisa dibilang mengikuti jejak SoftBank. Pada awalnya SoftBank memanfaatkan dana internalnya untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi. Setelah sukses, mereka mantap meluncurkan berbagai dana investasi bernilai besar karena diisi LP kenamaan mancanegara.

Mengelola dana dari investor luar bukan menjadi tantangan utama buat MDI Ventures, meski ini pertama kalinya. Kenneth meyakini, performa dan rekam jejak perusahaan yang proven sejak beroperasi di 2015, bisa membuat para investor yakin dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola dana investasi dan bisa memberikan imbal hasil yang menjanjikan.

MDI Ventures sejauh ini mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, seperti Geenie di TSE (bursa Jepang) dan Whispir (bursa Australia).

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Rencana berikutnya

Telkom, selaku induk usaha, telah memberikan restunya bagi MDI Ventures untuk mencari celah pertumbuhan yang bisa diakselerasi lebih lanjut. Perusahaan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Telkom saja dan membutuhkan dukungan dari pihak lain.

Meskipun demikian, fokusnya tidak berubah dari awal, yakni mencari startup potensial yang bisa diajak kolaborasi bersama Telkom Group. Hal ini selaras dengan upaya mendukung transformasi Telkom agar lebih dari sekadar perusahaan telekomunikasi.

“Telkom ke depannya enggak hanya jadi telco company. Jadinya kita akan tetap go beyond telco. Tugas kita tetap sama, cari potential startup yang bisa bantu Telkom untuk masa mendatang, kalau ada yang bagus pasti akan ada kolaborasi,” tambah GM of Investment MDI Ventures Aldi Adrian.

Kebebasan memilih segmentasi startup jadi keuntungan yang dirasakan MDI Ventures dibandingkan CVC lainnya, apalagi yang dibentuk bank karena adanya limitasi regulasi.

“Kita jadi lebih agile karena kita bisa masuk ke semua segmen bisnis, sehingga value added yang kita berikan lebih banyak dari CVC pada umumnya.”

Meski masih menutup rapat-rapat rencana investasi berikutnya, Kenneth memastikan ada beberapa investasi yang siap diumumkan menjelang tutup tahun 2019. Salah satunya adalah investasi untuk startup fintech yang didirikan mantan pegawai sebuah unicorn.

Dilema Kepemimpinan dan Visi Internasional MDI Ventures

MDI Ventures belum lama ini kehilangan sosok pemimpin. Pada akhir Juli 2019, Nicko Widjaja resmi ditunjuk sebagai CEO BRI Ventures, sebuah perusahaan modal ventura (PMV) yang dikelola oleh bank pelat merah, BRI.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa pengganti Nicko akan segera diumumkan pada pertemuan pemegang saham berikutnya. Namun sampai saat ini, belum juga ada nama yang ditetapkan sebagai penerus dari perpanjangan tangan Telkom di sektor investasi itu.

Selama menjabat sebagai CEO, sosok Nicko Widjaja terbilang sangat erat melekat dalam tubuh MDI Ventures. Selama kurang lebih 4 tahun berkarya, ia berhasil membukukan 35 portfolio dengan total 5 exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, yaitu Geenie di TSE dan Whispir di ASX.

Sejak berdiri pada tahun 2015, MDI Ventures termasuk salah satu yang pertama menerapkan model Corporate Venture Capital (CVC) didukung Telkom Indonesia. Setelah itu, banyak sektor mulai mengikuti jejak mereka salah satunya adalah Mandiri Capital yang kemudian berkolaborasi meluncurkan Mandiri Digital Incubator di tahun 2016.

Dalam sebuah perusahaan, peran CEO menjadi vital ketika menentukan strategi bisnis serta visi dan misi perusahaan. Selama rezimnya, Nicko Widjaja membawa visi untuk menciptakan inovasi terbaik dalam industri startup yang tengah berkembang. Ia beserta tim MDI Ventures mengedepankan strategi kolaborasi pada startup demi kelangsungan bisnis perusahaan.

Memanfaatkan momentum

MDI Ventures memang sedang dalam posisi yang relatif klimaks, dengan beberapa pemain VC menyebutnya sebagai Corporate Venture Capital dengan performa terbaik. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan yang menurut kabar sedang mengeksekusi rencana ekspansi internasional melalui joint-venture dengan korporat dari negara lain untuk mendirikan CVC/investment arm.

Skenario terburuk yang bisa terjadi bagi MDI Ventures adalah ketika menunda rencana suksesi terlalu lama dan kehilangan dealdeal bagus karena absensi kepemimpinan.

Menurut data Indonesia Insights 2019 yang dikompilasi Ravenry dan Innovation Factory, 29% investasi startup di Indonesia didorong oleh CVC, lebih tinggi dari 20% yang menjadi rataan global. Pesaing terdekat MDI Ventures, dalam hal portofolio, adalah Prasetia Dwidharma dengan 20 portofolio.

Top CVCs in Indonesia - 2019

Telkom harus segera menunjuk pemimpin baru secepat mungkin, terutama di saat banyak korporat swasta dan BUMN lain mulai menjalankan strategi inovasi serupa, termasuk Mandiri Capital dan BRI Ventures, meskipun akan hanya fokus di fintech.

Dengan adanya case study yang bagus dari Telkom dan MDI Ventures, tidak mengagetkan kalau strategi yang sama akan segera direplikasi banyak pemain inovasi korporat baik dalam dan luar negeri.

Mencari pengganti melalui visi

Siapapun calon pemimpin baru dari MDI Ventures, sepertinya akan sangat kecil kemungkinan datang dari internal Telkom Group sendiri. Nicko Widjaja sendiri direkrut secara pro-hire (non-internal grup Telkom) untuk mendirikan MDI Ventures; mengabaikan narasi negatif dan skeptis dari para pemain inovasi korporat dan terbukti berhasil memberikan return yang melebihi ekspektasi.

Beberapa skenario bagi Telkom untuk mencari pemimpin baru MDI Ventures, antara lain dengan melihat ke dalam. Ada beberapa nama seperti Joshua Agusta (VP of Investment), Kenneth Li (Principal of Investor Relations) dan Aldi Adrian (GM of Investments) yang mungkin akan diangkat untuk mengisi kekosongan kursi kepemimpinan perusahaan. Namun kemungkinan terbesar, Telkom akan mencari pengganti dari luar dan bukan tidak mungkin Telkom bersedia mengakuisisi fund yang lebih kecil guna mendukung sinergi dengan kepemimpinan baru.

Dengan mulainya eksekusi rencana ekspansi internasional dari MDI Ventures, Telkom membutuhkan seseorang yang memiliki eksposure ke kalangan korporat internasional (atau minimal di Asia Pasifik) dan juga familiar dengan pergerakan investasi teknologi dunia dan tentunya internal Telkom.

Beberapa nama sempat berhembus di kalangan investor sebagai calon pemimpin baru perusahaan. Nama seperti Arya Setiadharma dari Prasetia Dwidharma dan Irwan Liem dari Gunung Sewu Group yang beberapa kali melakukan co-investment bersama dengan MDI Ventures. Keduanya juga diketahui memiliki exposure yang cukup tinggi di kalangan korporat dan konglomerasi di Indonesia.

Nama lain seperti Arip Tirta (ex CEO UrbanIndo yang pernah menjadi investor di Silicon Valley) juga sempat dihembuskan untuk muncul sebagai nama yang akan diajukan sebagai calon pemimpin MDI Ventures.

Siapapun nama yang akan diusung oleh Telkom Grup untuk mengisi posisi tertinggi di MDI Ventures, harus bisa membawa MDI Ventures ke level internasional dan menjalin JV dengan korporat-korporat dari negara lain; namun juga memiliki kapabilitas risk-taking dan risk management yang mumpuni; sembari membangun portfolio yang menguntungkan.

Saat ini, MDI Ventures bisa dibilang sebagai salah satu CVC dengan performa likuiditas terbaik, namun kekosongan di posisi CEO yang terlalu lama bisa memberikan ruang bagi CVC lain untuk membangun momentum dan merebut portfolio-portfolio apik selagi mereka sibuk mencari pemimpin.


Kristin Siagian dan Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel opini ini.

BTN Officially Acquired a Venture Capital Under the State-owned Enterprise

Bank Tabungan Negara (BTN) officially acquired a Venture Capital to support the company’s line of property finance. The company is to obtain a license from OJK for the current plan.

It was decided after today’s shareholder general meeting (RUPSLB) (8/29). The meeting also evaluates employee’s performance during the first semester of 2019 and its management shifting.

“We’re continuing today’s meeting on PMV acquisition to OJK for a license, in order to take this as the company’s strategic business to grow,” BTN’s Corporate Secretary, Achmad Chaerul said in an official release.

BTN acquired PT Sarana Papua Ventura (SPV), an investment arm of PT Bahana Artha Ventura (BAV), which is a subsidiary of PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. The election is expected to be the synergy of state-owned enterprises as mandated by the Ministry.

BAV also has PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura as a subsidiary which shares are majorly acquired by BRI. They are now rebranding as BRI Ventures head by Nicko Widjaja, which previously led Telkom’s VC, MDI Ventures.

The company has prepared the budget to take over SPV. It’s to be used for VC’s equity and business development up to 90% in advance.

Chaerul said the VC’s management is to focus on the core business of property finance and to increase non-interest revenue in order to increase the company’s credit and profit.

BTN participation lightens up the competition among red-plate companies which currently has its own VC. Of the four state-owned banks, BNI is the only one left.

BNI has spread out the news since last year. The latest is to be announced in 2019. They haven’t decided to create new or acquired the current. BNI ready to invest Rp600 billion to Rp700 billion for this corporate action.

The whole banking plan for VC’s acquisition is partly to keep the shares in Finarya (LinkAja) to stay undiluted.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BTN Resmi Akuisisi Modal Ventura Milik Anak Usaha Pelat Merah

Bank Tabungan Negara (BTN) resmi mengakuisisi perusahaan modal ventura (PMV) untuk dukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan. Perseroan akan meminta persetujuan kepada OJK untuk merealisasikan rencana tersebut.

Keputusan ini diambil setelah perseroan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan hari ini (29/8). Dalam RUPS juga dibahas mengenai evaluasi kerja sepanjang semester I/2019 dan perubahan struktur manajemen perseroan.

“Kami akan menindaklanjuti persetujuan RUPSLB hari ini tentang akuisisi PMV untuk kemudian kami mohonkan persetujuan kepada OJK, supaya dapat ditindaklanjuti sebagai langkah strategis bisnis yang dilakukan perseroan dalam pengembangan bisnis,” ucap Corporate Secretary BTN Achmad Chaerul dalam keterangan resmi.

BTN mengakuisisi PT Sarana Papua Ventura (SPV), anak usaha PT Bahana Artha Ventura (BAV), yang merupakan anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero). Pemilihan ini sekaligus diharapkan menjadi sinergi BUMN yang diamanatkan oleh Kementerian BUMN.

BAV sendiri punya anak usaha PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura yang sudah diakuisisi saham mayoritasnya oleh BRI. Kini di-rebranding menjadi BRI Ventures dan dinakhodai oleh Nicko Widjaja, yang sebelumnya memimpin PMV milik Telkom, MDI Ventures.

Perseroan telah menyiapkan anggaran untuk mengambilalih saham SPV. Dana tersebut akan digunakan sebagai penyertaan modal dan pengembangan bisnis PMV dalam jumlah sebanyak-banyaknya 90% yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Menurut Chaerul, pengelolaan PMV akan tetap fokus untuk mendukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan dan meningkatkan pendapatan non-bunga, sehingga dapat memperkuat pertumbuhan kredit dan laba perseroan.

Masuknya BTN, tentunya meramaikan peta persaingan perusahaan bank pelat merah yang ramai kini memiliki CVC sendiri. Dari empat bank pelat merah, tinggal BNI saja yang belum resmi.

Pihak BNI sudah berkoar-koar mengungkapkan wacana ini sejak tahun lalu. Pemberitaan terakhir mengatakan BNI akan mengumumkannya pada akhir tahun 2019. Belum diputuskan apakah akan membentuk baru atau akuisisi yang sudah. BNI menyiapkan anggaran Rp600 miliar hingga Rp700 miliar untuk aksi korporasi ini.

Keseluruhan rencana perbankan untuk akuisisi modal ventura ini, salah satunya adalah mempertahankan kepemilikan saham di Finarya (LinkAja) agar tidak terdilusi.

Telkomsel Introduces New Investment Arm, Prepare 576 Billion Rupiah for Startup Funding

Telkomsel announces a new sub unit called TMI (Telkomsel Mitra Inovasi) in charge of the company’s funding management and business synergy. A $40 million (around 576 billion Rupiah) is ready to be poured on some Indonesia’s startups. In this investment, Telkomsel partners with MDI Ventures and Singtel Innov8.

Funding will be focused on startup in big data, IoT, and entertainment (music, game, and video). They expect this to increase corporate awareness in the developing digital business ecosystem.

Telkomsel, being known as connectivity and telecommunication company, had initiative to create a new business model. In terms of concept, it was already made three years ago.

Telkomsel’s President Director, Ririek Adriansyah said, “Through TMI, Telkomsel aims to create an engagement model that is more flexible, responsive, and reliable for startups seeking access to strategic investment, meanwhile making a better user experience with a sustainable symbiotic alliance.

As an investment arm of Telkom Group, MDI Ventures is to play role as the Fund Manager, and focus to share insight with Telkomsel in running TMI.

In the official release, Nicko Widjaja as MDI Ventures CEO said, “In three years, we’ve grown as an experimental CVC (Corporate Venture Capital) to a reinforcement agent for Telkom Indonesia [..] We’re very much into this collaboration with TMI and can’t wait to work in various sector of digital telecommunication.”

In terms of the first year’s timeline, Widjaja admitted to have some startups in mind for the portfolio. The target is to invest in ten or more early stage startups.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkomsel Bentuk Unit Investasi Baru, Siapkan 576 Miliar Rupiah untuk Pendanaan Startup

Telkomsel mengumumkan pembentukan sub-unit investasi baru bernama TMI (Telkomsel Mitra Inovasi) yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan dana investasi dan proses sinergi lini bisnis perusahaan. Dana sebesar $40 juta (setara dengan 576 miliar Rupiah) sudah disiapkan untuk diinvestasikan ke sejumlah startup di Indonesia. Dalam pengucuran investasi tersebut, Telkomsel bermitra dengan MDI Ventures dan Singtel Innov8.

Pendanaan akan fokus pada startup di bidang big data, IoT, serta industri hiburan (musik, game, dan video). Pihaknya berharap hal ini dapat membantu meningkatkan corporate awareness dalam ekosistem bisnis digital yang kian berkembang.

Sekian lama dikenal sebagai perusahaan konektivitas dan telekomunikasi, Telkomsel berinisiatif  untuk memulai model bisnis baru. Secara konsep sebenarnya sudah dimulai sejak tiga tahun lalu.

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menjelaskan, “Melalui TMI, Telkomsel ingin menghadirkan engagement model yang lebih fleksibel, responsif dan dapat diandalkan bagi startup yang mencari akses ke permodalan strategis dan di saat bersamaan juga dapat menghadirkan user experience yang lebih baik dengan aliansi simbiosis yang berkelanjutan.”

Sebagai modal ventura hasil perpanjangan tangan Telkom Group, MDI Ventures akan berperan sebagai Fund Manager, serta fokus berbagi insight dengan Telkomsel dalam menjalankan TMI.

Dalam keterangan resminya, Nicko Widjaja selaku CEO dari MDI Ventures mengungkapkan, “Dalam jangka waktu tiga tahun, kami berkembang dari sebuah CVC (Corporate Venture Capital) eksperimental menjadi kendaraan pertumbuhan untuk Telkom Indonesia [..] Kami antusias dapat berkolaborasi dengan TMI untuk berpartisipasi dalam pendanaan ini dan bekerja dalam berbagai sektor telekomunikasi digital.”

Mengenai timeline di tahun pertama, Nicko mengakui pihaknya sudah mengincar beberapa startup untuk jadi portofolio. Targetnya di tahun ini adalah untuk bisa berinvestasi di lebih dari sepuluh startup tahap awal.