wagely Kantongi Rp362 Miliar untuk Pendanaan Ekuitas dan Debt

Startup earned wage access (EWA) wagely mengumumkan perolehan dana segar sebesar $23 juta (sekitar Rp362 miliar), yang terdiri dari pendanaan ekuitas dan debt. VC yang fokus pada penerapan generative AI, Capria Ventures, menjadi investor lead untuk pendanaan ekuitas, diikuti investor lainnya dari putaran terdahulu.

Sementara, investor untuk pendanaan debt hanya disampaikan datang dari perusahaan swasta terkemuka.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk memberdayakan lebih banyak pekerja dalam mengelola keuangan lebih baik di Indonesia dan Bangladesh dengan solusi yang relevan.

Dalam keterangan resmi, Managing Partner Capria Ventures Dave Richards menyampaikan, pihaknya terkesan dengan kinerja dari tim wagely yang dibuktikan dengan pertumbuhan yang mengesankan dalam menyediakan solusi finansial bagi kelompok pekerja kerah biru yang kurang terlayani.

“Kami melihat peluang besar bagi wagely untuk menerapkan generative AI dalam berbagai kasus penggunaan, seperti automasi pemrosesan dokumen dan antarmuka percakapan bahasa lokal bagi pekerja untuk membuat keputusan finansial yang lebih baik,” terangnya, Senin (4/3).

wagely beroperasi di Indonesia dan Bangladesh. Sebanyak 75% dari sekitar 195 juta pekerja di kedua negara ini menghadapi situasi finansial yang menantang dan bergantung pada setiap gaji yang mereka terima untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keterbatasan akses layanan finansial konvensional mengakibatkan banyak pekerja kurang mendapatkan alat dan dukungan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan finansial.

Solusi yang ditawarkan wagely adalah fasilitas opsional untuk karyawan. Tak hanya itu, perusahaan juga memberikan kemampuan untuk melacak gaji dan mengakses sumber literasi finansial, sehingga membantu pekerja mengurangi tekanan finansial.

Diklaim sepanjang tahun lalu total gaji yang disalurkan wagely mencapai lebih dari $25 juta (Rp393 miliar), memroses hampir satu juta transaksi, dan diakses oleh 500 ribu pekerja. Pencapaian tersebut menobatkan wagely sebagai pemimpin di pasar karena memperlihatkan prospek pertumbuhan yang kuat.

wagely terakhir kali mengumumkan pendanaan pra-seri A pada Maret 2022. Putaran yang bernilai $8,3 juta ini dipimpin oleh East Ventures Growth Fund, diikuti Central Capital Ventura, Integra Partners, Asian Development Bank, Global Founders Capital, Trihill Capital, Blauwpark Partners, dan 1982 Ventures.

Sejak awal berdiri di 2020, diklaim wagely telah digunakan oleh lebih dari 100 perusahaan, di antaranya British American Tobacco, Ranch Market, Adaro Energy, Medco Energi, Mustika Ratu, dan masih banyak lagi.

Startup ini mengumumkan ekspansi ke Bangladesh pada Oktober 2021. Negara terbesar kelima di Asia ini memberikan peluang yang cukup besar dengan lebih dari 4,5 juta pekerja industri Ready-Made Garment (RMG). Para pekerja ini juga terkena dampak pandemi yang berakibat tingginya tekanan keuangan sehingga berdampak besar bagi produsen.

Application Information Will Show Up Here

Fairbanc Peroleh Fasilitas Debt Rp209 Miliar dari Pegadaian

Startup embedded finance Fairbanc mendapatkan pembiayaan utang (off balance sheet) sebesar $13,3 juta (sekitar Rp209 miliar) dari Pegadaian. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai para pedagang UMKM lebih banyak lagi.

Fairbanc menyediakan solusi tempo pembayaran terintegrasi untuk pelanggan UMKM yang terintegrasi dengan AI/ML. Platformnya terhubung dengan sistem ERP merek konsumen global dengan ekosistem pedagang besar seperti Nestle, dan telah melibatkan lebih dari 550 ribu pedagang di platformnya dan 200 ribu lebih pedagang sudah mendapatkan pendanaan.

Berkat kemitraannya dengan merek besar, Fairbanc mampu memberikan pinjaman BNPL ke pedagang tanpa perlu mengajukan melalui smartphone. Perusahaan menggunakan credit scoring berbasis AI yang dapat membantu memproses pinjaman microcredit secara instan.

Caranya dengan mengakses pesanan pedagang dan rekam jejak pembayarannya. Perusahaan dapat mengutilisasi data ini lebih lanjut untuk melakukan underwriting pinjaman serta mendongkrak penjualan merchant dengan menjaga biaya operasional tetap rendah.

Menurut survei yang dilakukan Unilever, sebanyak 80% penerima manfaat Fairbanc tidak memiliki rekening bank dan sekitar 70% di antaranya adalah pedagang perempuan yang mampu meningkatkan penjualan mereka rata-rata sebesar 35% – berkat BNPL yang dimungkinkan oleh teknologi Fairbanc.

Saat penandatanganan MoU, Chief of Transformation Office Pegadaian Mulyono mengungkapkan apresiasinya terhadap solusi Fairbanc. “Kemampuan Fairbanc untuk mengekstrak big data di tingkat outlet dengan menghubungkan ERP merek-merek besar dan memperoleh skor kredit menggunakan AI dan Machine Learning merupakan sinergi utama yang kami soroti,” kata dia, mengutip dari keterangan resmi, Senin (04/3).

Founder & CEO Fairbanc Mir Haque mengungkapkan rencananya untuk melakukan ekspansi yang lebih besar ke Indonesia. Sebanyak 95 juta orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki rekening formal di lembaga keuangan.

“Namun, dengan pertumbuhan kelas menengah, populasi generasi muda yang semakin melek teknologi, dan lingkungan peraturan yang mendorong inovasi dan kewirausahaan, Indonesia kini jadi rumah bagi startup teknologi bernilai miliaran dolar terbesar di Asia Tenggara,” ucap Haque.

Tak hanya itu, dia juga meyakini dengan konsep Fairbanc di Indonesia dapat direplikasi ke negara berkembang lainnya untuk mengatasi salah satu tantangan dan peluang terbesar: memberikan akses kredit kepada jutaan pedagang dalam rangka mendorong revitalisasi ekonomi.

Haque mengaku dirinya sudah menjajaki peluang ekspansi ke Vietnam dan Filipina melalui kemitraan dengan Unilever.

Fairbanc didirikan pada tahun 2019 oleh Mir Haque, seorang MBA Wharton yang sebelumnya bekerja di banyak perusahaan global ternama. Tim pendirinya terdiri dari banyak veteran fintech, seperti mantan CTO Kiva, platform kredit mikro berbasis di San Francisco yang beroperasi di 77 negara dan Thomas Schumacher yang ikut mendirikan raksasa pinjaman mikro pasar berkembang yang berbasis di California, Tala.

Pada Juli 2022, Fairbanc meraih pendanaan pra-seri A senilai $4,8 juta dipimpin oleh Vertex Venture, diikuti Asian Development Bank, East Venture, Lippo Group, 500 Global, Accion Venture Labs, dan miliarder Indonesia Michael Sampoerna.

Disebutkan merek konsumen yang sudah bermitra dengan Fairbanc adalah Unilever, Danone, Nestle, Xiaomi, Mayora, Sasa, Sosro, Indofood, dan lainnya.

Konsep seperti Fairbanc juga digarap oleh pemain lainnya di Indonesia, di antaranya Modalku dan AwanTunai.

Grup Modalku Dapat Tambahan Debt dari Norfund, Perkuat Kualitas Pinjaman untuk UMKM

Grup Modalku mengumumkan perolehan fasilitas pinjaman (debt) sebesar $7,5 juta atau sekitar Rp117 miliar dari Norfund, sebuah Development Financial Institution (DFI) yang mengoperasikan dana investasi milik pemerintah Norwegia untuk negara-negara berkembang.

Sebelumnya Norfund juga sempat memberikan fasilitas yang sama dengan nominal yang persis sama kepada Amartha pada Juni 2021 lalu.

Bagi grup Modalku sendiri, ini adalah fasilitas debt kedua yang diperoleh sepanjang tahun ini. Pada September 2023, fasilitas yang diraih sebesar $27 juta atau sekitar Rp414 miliar yang dipimpin AlteriQ Global, Aument Capital Partners, dan Orange Bloom.

Seluruh fasilitas ini akan disalurkan kembali melalui berbagai solusi pendanaan yang dirancang khusus untuk UMKM yang belum mendapatkan akses pendanaan di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Co-founder & Group CEO Funding Societies (induk Modalku) Kelvin Teo mengatakan pencapaian ini tidak hanya dapat menjadi bukti terhadap kelayakan kredit dari grup dalam menghadapi pandemi dan ketidakpastian makroekonomi, namun juga peluang untuk memenuhi kebutuhan akses pendanaan bagi UMKM yang masih underserved di Asia Tenggara.

“Kami mengapresiasi dukungan Norfund dalam misi dan komitmen kami untuk memberikan kesempatan yang merata bagi UMKM,” kata Teo dalam keterangan resmi.

Norfund’s Regional Director (Asia) Fay Chetnakarnkul menyampaikan pihaknya terkesan dengan kemampuan grup Modalku dalam mendukung UMKM yang kurang terlayani di Asia Tenggara dengan beragam solusi pendanaan untuk mengatasi tantangan pengelolaan arus kas.

“Kami senang dapat mendukung Modalku dalam memperluas jangkauan, meningkatkan inklusi keuangan dan memungkinkan lebih banyak bisnis untuk tumbuh, serta menciptakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan di wilayah ini,” imbuhnya.

Norfund hadir dengan fokus utama mereka dalam berinvestasi yaitu untuk meningkatkan inklusi keuangan. Hingga saat ini, Norfund telah menyalurkan pendanaan sekitar $4,54 miliar (sekitar Rp 70Triliun) kepada 7,5 juta klien. Pendanaan yang diberikan melalui Grup Modalku akan menjadi jembatan antara Norfund dengan sektor publik & swasta dalam memperluas jangkauan investasinya di Asia Tenggara.

Investasi berdampak (impact investment) yang dilakukan oleh sejumlah DFI di Asia Tenggara telah mencapai $2 miliar (sekitar Rp31 triliun) per tahun antara 2017-2022 (dengan akumulasi lebih dari $12 miliar atau sekitar Rp187 triliun). Lebih dari setengah portofolio investasi tersebut disalurkan ke sektor jasa keuangan.

DFI memiliki kemampuan dan kapasitas untuk mendukung UMKM yang tidak dapat didukung oleh pemberi dana komersial dan pemerintah, hal ini dikarenakan posisi keuangan mereka yang kuat.

Jaga kualitas pembiayaan

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Country Head Indonesia Modalku Arthur Adisusanto menyampaikan selain fokus membuka akses pendanaan UMKM yang lebih luas, menjaga kualitas pembiayaan juga tak kalah penting. Ia mengaku dalam menjaga pertumbuhan kredit, perusahaan sangat memperhatikan kualitas portofolio yang dimiliki.

Caranya dengan selalu menerapkan prinsip responsible lending, kehati-hatian, dan manajemen risiko, yaitu melakukan penilaian terhadap UMKM penerima dana, serta kemampuan finansial mereka untuk melunasi modal usaha yang diberikan.

“Karena kami juga memiliki tanggung jawab kepada pemberi dana yang meminjamkan dananya melalui Modalku,” ujar Arthur.

Ditambah, perusahaan meningkatkan sistem mitigasi risiko dalam menjaga angka NPL, seperti melakukan assessment, monitoring, dan collection sebagai upaya deteksi awal apabila terjadi penurunan kualitas portofolio dan upaya penagihan, serta penyelamatan kredit secara simultan.

“Kami juga akan melanjutkan komitmen untuk memperkuat bisnis dengan meningkatkan profitabilitas perusahaan, serta mengakselerasi akses pendanaan bagi UMKM yang masih underserved. Di samping itu, Modalku juga terus fokus terhadap kesehatan finansial perusahaan dan tetap bijak dalam pengeluaran perusahaan.”

Sebelumnya pada Agustus 2023, Grup Modalku merampingkan operasional yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 38 orang dari total 214 karyawannya di Indonesia.

Produk pembiayaan Modalku cukup beragam. Di antaranya, Modal Proyek untuk pengadaan di sektor pemerintahan. Konsepnya mirip invoice financing, dengan penyesuaian sesuai dengan workflow belanja di sektor pemerintahan.

Kemudian, pada akhir tahun lalu, Modalku juga mulai masuk ke bisnis multifinance lewat akuisisinya terhadap PT Buana Sejahtera Multidana, kemudian di-rebranding menjadi “Modalku Finance”. Modalku Finance menawarkan berbagai fungsi pembiayaan, di antaranya Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Multiguna.

Sebelumnya Modalku juga melakukan co-investment bersama Carro ke Bank Index, memberikan sinyal perusahaan untuk masuk ke segmen bank digital. Adapun produk lain yang juga menjadi fokus adalah b2b paylater, bekerja sama dengan sejumlah pihak seperti Bukalapak, Paper.id, dan BukuWarung.

Di skala regional, Grup Modalku telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp53 triliun kepada lebih dari 100 ribu UMKM di Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Application Information Will Show Up Here

Modalku Umumkan Perolehan Debt Funding 414 Miliar Rupiah

Startup fintech lending Modalku mengumukan perolehan debt funding senilai $27 juta atau sekitar Rp414 miliar yang dipimpin AlteriQ Global, Aument Capital Partners, dan Orange Bloom. Fasilitas ini akan disalurkan melalui berbagai solusi pendanaan yang dirancang khusus untuk mendukung UMKM yang belum mendapatkan akses pendanaan di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

“Di tengah kondisi makroekonomi yang tidak menentu, kami akan terus meningkatkan aktivitas pendanaan ke lebih banyak UMKM yang belum terlayani di lima pasar Modalku beroperasi, baik bersama dengan partner lama maupun baru,” ujar Country Head Modalku Arthur Adisusanto.

Sebelumnya, pada Februari 2022 lalu bersamaan dengan pengumuman putaran seri C, grup Modalku juga mengumumkan fasilitas debt senilai $150 juta dari sejumlah lembaga keuangan di Eropa, Amerika serikat, dan Asia. Satu tahun sebelumnya mereka juga mendapatkan fasilitas serupa dengan nilai $120 juta dari Helicap Investments, Social Impact Debt Fund, dan sebuah institusi dari Jepang.

Triodos Microfinance Fund dan Triodos Fair Share Fund juga pernah memberikan debt funding di tahun 2019.

Gap pendanaan UMKM masih $300 miliar

Hadirnya pemberi dana institusi atau sering disebut “super lender” ini memberikan keleluasaan lebih kepada pelaku fintech lending untuk berinovasi menghadirkan produk pinjaman yang lebih relevan untuk pangsa pasarnya. Sedari awal berdiri, fokus Modalku adalah UMKM di Asia Tenggara dengan pangsa pasar terbesar saat ini ada di Indonesia.

Secara umum di Asia Tenggara, terdapat lebih dari 70 juta UMKM yang terdata, yang mencakup 99% dari total usaha dan berkontribusi terhadap 44,8% PDB. Namun, menurut United Nation Capital Development Fund, lebih dari 39 juta UMKM masih kesulitan mendapatkan akses ke kredit formal, dengan kesenjangan pendanaan sebesar $300 miliar; celah ini yang coba digarap oleh pemain fintech seperti Modalku.

Dari statistik yang disampaikan, hingga saat ini grup Modalku telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp52 triliun melalui lebih dari 5,1 juta transaksi, serta melayani sekitar 100 ribu UMKM di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Statistik capaian Modalku di Indonesia
Statistik capaian Modalku di Indonesia

Fokus bisnis Modalku

Saat ini ada puluhan fintech lending yang melayani UMKM dengan fokus yang berbeda-beda. Langkah berbeda turut diambil Modalku untuk memperkuat proposisi nilai mereka. Pada Q2 tahun ini, mereka baru meluncurkan produk “Modal Proyek” untuk pengadaan di sektor pemerintahan. Konsepnya mirip invoice financing, dengan penyesuaian sesuai dengan workflow belanja di sektor pemerintahan.

Kemudian, pada akhir tahun lalu, Modalku juga mulai masuk ke bisnis multifinance lewat akuisisinya terhadap PT Buana Sejahtera Multidana, kemudian di-rebranding menjadi “Modalku Finance“. Modalku Finance menawarkan berbagai fungsi pembiayaan, di antaranya Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Multiguna.

Sebelumnya Modalku juga melakukan co-investment bersama Carro ke Bank Index, memberikan sinyal perusahaan untuk masuk ke segmen bank digital. Adapun produk lain yang juga menjadi fokus adalah b2b paylater, bekerja sama dengan sejumlah pihak seperti Bukalapak, Paper.id, dan BukuWarung.

Grup Modalku juga sempat melakukan efisiensi dengan PHK sekitar 38 karyawan di Indonesia. Perampingan bisnis ini sejalan dengan fokus perusahaan untuk melanjutkan pertumbuhan dan mencapai profitabilitas.

Pendanaan berdampak

Salah satu investor Modalku adalah Orange Bloom. Tujuan mereka masuk ke Modalku karena sedang memperluas jangkauannya dan bertransisi menjadi pionir dalam isu-isu berkelanjutan. Pendanaan berkelanjutan yang dihadirkan bertujuan untuk memberikan dukungan berupa akses pendanaan bagi UMKM termasuk individu untuk mengatasi perubahan iklim serta bertransisi ke praktik yang lebih berkelanjutan menuju ekonomi rendah karbon.

Hal ini dinilai sejalan dengan bagaimana Modalku mulai menerapkan sistem manajemen lingkungan dan sosial sejak awal tahun di 5 negara beroperasi. Sistem ini merupakan kerangka penilaian risiko ESG (lingkungan, sosial, tata kelola) yang dirancang dengan bantuan teknis dari Dutch Good Growth Fund sebagai bagian dari penilaian kredit dalam proses pengajuan pendanaan UMKM.

Application Information Will Show Up Here

IFC Gandeng Amartha Menyalurkan Pinjaman Modal Rp3 Triliun ke Pengusaha Ultra Mikro Perempuan

International Finance Corporation (IFC) mengumumkan komitmennya untuk menyalurkan modal produktif melalui jaringan pengusaha ultra mikro di Amartha. Dana yang digelontorkan oleh institusi keuangan anggota Bank Dunia tersebut senilai $206 juta atau sekitar 3 triliun Rupiah. Nilai ini lebih besar dari yang diajukan pada Maret 2023 lalu, yakni senilai $175 juta.

Dalam prospektus pengajuan dana debt Maret lalu, IFC berkomitmen memberikan dana $25 juta dan membuka tambahan dana bersama dari para mitra senilai $150 juta. Investasi yang diusulkan adalah tahap senior sekuritas beragun aset (senior tranche of asset backed securities) yang dibentuk untuk mengumpulkan piutang pinjaman, nantinya digunakan untuk meningkatkan akses ke keuangan bagi pengusaha ultra mikro, terutama pengusaha perempuan.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan, “Pendanaan dari IFC tidak hanya membantu Amartha untuk memperluas basis investor berskala internasional saja, tetapi juga memperluas layanan keuangan digital ke berbagai wilayah pelosok di Indonesia. Amartha meyakini kolaborasi ini akan menciptakan dampak yang berkelanjutan.”

Taufan turut menjelaskan, saat ini ada lebih dari 20 ribu UMKM yang menerima penyaluran modal dari Amartha. Mereka juga memiliki komitmen khusus untuk menjangkau para pengusaha di luar Jawa (70% dari permodalan tersalur berada di luar Jawa). Secara akumulatif, Amartha telah menyalurkan modal lebih dari 12 triliun Rupiah kepada 1,7 UMKM dari 42 ribu desa di Indonesia.

Dalam penyaluran pendanaan, Amartha turut menyertakan tim terdedikasi untuk turut membantu mereka dalam memaksimalkan bisnis melalui berbagai pendampingan dan pelatihan. Amartha menerapkan sistem tanggung renteng untuk mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya gagal bayar. Secara khusus mereka mengembangkan sistem penilaian kredit sendiri, menyesuaikan dengan demografi para peminjamnya.

Regional Vice President IFC APAC Riccardo Puliti menyampaikan, “Kesenjangan akses permodalan yang dihadapi oleh perempuan pengusaha ultra mikro di Indonesia – yang sangat penting bagi perekonomian secara keseluruhan – semakin melebar karena adanya COVID-19 yang menyebabkan perempuan harus menanggung beban rumah tangga dan tekanan pengasuhan anak yang semakin besar selama pandemi. Kerja sama ini merupakan kemenangan bagi perempuan dan kemenangan bagi perekonomian.”

IFC sendiri bukan kali pertama berpartisipasi dalam pendanaan (baik ekuitas maupun debt) ke perusahaan digital di Indonesia. Sebelumnya mereka juga turut menyuntik dana ke induk AnterAja, Evermos, Kitabisa, AwanTunai, eFishery, dan PasarPolis. IFC juga menjadi salah satu LP untuk dana kelolaan AC Ventures.

Tahun ini, tepatnya pada Juni 2023 lalu, Amartha juga baru mengumumkan fasilitas kredit serupa untuk disalurkan ke UMKM. Nilainya $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah), bersumber dari Community Investment Management yang merupakan firma keuangan berorientasi pada dampak sosial asal San Fransisco.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Peroleh Fasilitas Kredit 1,4 Triliun Rupiah untuk Modal UMKM

Startup fintech lending Amartha mengumumkan perolehan fasilitas kredit (loan channeling) dari institusi penyedia permodalan asal San Fransisco, Community Investment Management (CIM), senilai $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Dana tersebut akan kembali disalurkan oleh Amartha sebagai permodalan produktif bagi UMKM di Indonesia.

Dalam keterangan resmi, CIM memilih Amartha sebagai mitranya karena punya kesamaan nilai dalam menghadirkan layanan keuangan inklusif yang berbasis prinsip keberlanjutan. CIM berperan sebagai investor social impact, yang berkomitmen dalam memenuhi European Sustainable Finance Disclosure Regulation (SFDR), yakni peraturan yang berlaku di Eropa untuk bidang penyediaan layanan keuangan berkelanjutan.

CFO Amartha Ramdhan Anggakaradibrata menyampaikan, “[..] Amartha dan CIM memiliki kesamaan nilai yang melihat teknologi dan penyediaan layanan keuangan inklusif dapat mewujudkan kesejahteraan merata yang berkelanjutan bagi ekonomi akar rumput. Kolaborasi ini diharapkan dapat menggerakkan institusi lainnya, untuk bergabung bersama Amartha dalam memajukan UMKM Indonesia melalui akses keuangan.”

Head of Emerging Market Strategy CIM Bernhard Eikenberg menambahkan, kerja sama ini menandai tonggak penting kiprah CIM di Asia Tenggara. Pihaknya percaya bahwa UMKM adalah tulang punggung bagi berbagai sektor ekonomi dan merupakan segmen yang mengalami kesenjangan paling besar di sektor finansial.

“Kemitraan CIM dengan Amartha akan menumbuhkan ekosistem produk yang bertanggung jawab dan transparan yang memajukan inklusi keuangan serta meningkatkan kesehatan keuangan masyarakat di Indonesia,” ujarnya.

Dipaparkan, secara kumulatif, Amartha telah menyalurkan permodalan senilai lebih dari Rp12 triliun kepada lebih dari 1,6 juta UMKM di Indonesia. Diklaim pula, telah cetak laba sejak tiga tahun terakhir.

Ramdhan menjelaskan, perusahaan menerapkan prinsip ethical lending dalam menjalankan operasional bisnis, yakni memastikan setiap pelayanan bagi mitra UMKM dilakukan dengan etika yang baik dan trasparan. Prinsip ini menjadi alasan CIM menunjuk Amartha karena CIM mematuhi peraturan Social Loan Principles yang mengutamakan integritas dan transparansi layanan keuangan.

CIM bukanlah mitra pertama yang memberikan fasilitas kredit ke Amartha. Kerja sama serupa sebelumnya juga dilakukan perusahaan dengan Lendable dan International Finance Corporation (IFC). Lendable menyalurkan pinjaman sebesar $50 juta pada Februari 2021, sementara IFC memberikan $25 juta pada Maret 2023.

Pinjaman kredit di Indonesia

Lendable sudah beberapa kali menggelontorkan fasilitas pinjamannya ke startup fintech di Indonesia seperti KoinWorks dan ALAMI. Selain Lendable, ada beberapa lembaga lainnya yang juga memberikan dana serupa bagi fintech lending di Indonesia, misalnya Accial Capital untuk Pintek, Awan Tunai, dan Investree. Selain itu, ada GMO Payament Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), dan lainnya.

Sebenarnya, ada dua skema yang banyak diaplikasikan untuk menyalurkan dana dari institusi, yakni loan channeling dan venture debt. Skema pertama memang ditujukan bagi institusi seperti perbankan untuk menyalurkan dana kreditnya kepada UMKM melalui fintech lending. Banyak perbankan lokal yang mulai mengumumkan masuk ke ekosistem startup fintech lewat kerja sama ini.

Sementara itu, venture debt sebenarnya sifatnya lebih strategis seperti untuk membiayai operasional dan growth, umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura. Tapi, tidak sedikit yang menggunakan dana yang diberikan untuk kembali disalurkan.

IFC Akan Beri “Debt Funding” 379 Miliar Rupiah ke Amartha

Startup p2p lending Amartha dilaporkan akan memperoleh fasilitas pinjaman (debt funding) dari International Finance Corporation (IFC). Nominal yang diperoleh Amartha dalam kesepakatan tersebut adalah $25 juta (lebih dari 379 miliar Rupiah) dan membuka tambahan dana bersama para mitranya dengan besaran komitmen hingga $150 juta.

Mengutip dari situs IFC, disampaikan bahwa investasi yang diusulkan ini adalah tahap senior sekuritas beragun aset (senior tranche of asset backed securities) yang akan dibentuk untuk mengumpulkan piutang pinjaman, nantinya digunakan untuk meningkatkan akses ke keuangan bagi pengusaha mikro, terutama pengusaha perempuan.

Hingga artikel ini diturunkan, Co-Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra belum memberikan tanggapannya.

Amartha bukanlah satu-satunya portofolio asal Indonesia yang bergabung di IFC —dalam bentuk ekuitas dan debt. Sebelumnya, sudah ada beberapa startup di antaranya Kitabisa, AwanTunai, eFishery, PasarPolis, dan Adi Sarana Armada selaku induk dari AnterAja.

Sejak awal berdiri di 2010, Amartha fokus memberikan akses permodalan, khusus untuk pengusaha perempuan yang selama ini masuk ke dalam golongan unbanked dan underbanked.

Menurut data internal Amartha, secara kumulatif telah menyalurkan modal usaha senilai lebih dari Rp10 triliun. Modal usaha disalurkan kepada lebih dari 1,4 juta pelaku usaha ultra mikro yang tersebar di seluruh wilayah operasional Amartha.

Adapun sepanjang 2022 saja, mencapai lebih dari Rp4,7 triliun, tumbuh 93% (YoY) atau hampir dua kali lipat dari yang sebelumnya mencapai Rp2,4 triliun. Penyaluran modal ini didominasi oleh dukungan pendanaan dari 24 mitra perbankan dengan total penyaluran sekitar Rp3 triliun atau 60% lebih dari total sumber dana.

Pada September 2022, perusahaan membuat unit usaha baru yang fokus pada alternatif skoring kredit Ascore.ai. Platform ini dibangun di atas lebih dari 1 juta database mitra pengusaha ultra mikro Amartha selama tujuh tahun terakhir untuk mengukur risiko dalam menyalurkan pinjaman bagi segmen yang belum terlayani.

Solusi ini diharapkan dapat menghasilkan output berupa nilai risiko, perhitungan bunga pinjaman, pengolahan data, serta keputusan-keputusan yang berpengaruh pada bisnis. Dengan begitu, bisa mendorong lebih banyak bisnis untuk memahami pangsa pasarnya, serta memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih bijak.

Solusi Ascore.ai dapat digunakan baik oleh institusi maupun individu. Bagi segmen institusi, tersedia layanan berupa verifikasi risiko, credit underwriting, advance credit analysis, dan pengecekan kredit nasabah. Layanan dapat menjangkau sektor fintech, microfinance/lembaga pembiayaan, perbankan seperti BPR dan BPD, koperasi, agrikultur, hingga marketplace dengan opsi produk paylater dan pinjaman.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Peroleh Kredit 250 Miliar Rupiah dari Bank OCBC NISP

Bank OCBC NISP menyalurkan pinjaman bilateral senilai 250 miliar Rupiah kepada PT Multidaya Teknologi Nusantara (eFishery). Ini merupakan kerja sama lanjutan setelah pemberian pembiayaan kepada pembudidaya eFishery melalui program KTA Cazhbiz OCBC NISP, yang disalurkan melalui layanan Kabayan eFishery, pada tahun lalu.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-Founder dan CEO eFishey Gibran Huzaifah mengonfirmasi pinjaman tersebut berbentuk debt financing. Melalui debt financing, perusahaan hanya berkewajiban melunasi utang berikut dengan bunga sehingga persentase kepemilikan saham dalam perusahaan tidak berkurang sedikit pun, tidak seperti equity financing yang lumrah di dunia startup.

eFishery akan memanfaatkan dana pinjaman tersebut untuk membiayai kebutuhan modal kerja dalam mendukung pertumbuhan penjualan dalam negeri dan peningkatan ekspor.

“Kerja sama pembiayaan ini bertujuan untuk mendukung eFishery untuk berinovasi secara berkelanjutan. Harapannya, Bank OCBC NISP dan eFishery dapat bersama-sama mendukung ketahanan pangan nasional melalui terwujudnya ekosistem akuakultur yang terintegrasi dan berkelanjutan,” terang Direktur Bank OCBC NISP Emilya Tjahjadi dalam keterangan pers, Selasa (7/2).

eFishery membangun ekosistem di mana para pembudidaya ikan dan udang dapat dengan mudah meningkatkan produktivitas, sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan, aman, dan adil.

Gibran menyampaikan pihaknya percaya bahwa kegiatan budidaya ikan dan udang menjadi solusi dalam peningkatan produksi perikanan sebagai sumber pangan, yang juga merupakan sumber utama protein hewani yang tidak hanya kaya nutrisi tetapi juga dapat diakses oleh semua kalangan.

“Dengan adanya suntikan dana dari Bank OCBC NISP, kami semakin optimistis untuk bertumbuh kembang bersama membangun ekosistem akuakultur dan berkontribusi secara signifikan dalam ketahanan pangan nasional, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada para pembudidaya ikan dan petambak udang,” katanya.

Latar belakang bank tertarik untuk memberikan fasilitas pinjaman ini dalam rangka mendukung new economy, sebuah konsep ekonomi yang menggambarkan aspek atau sektor ekonomi yang memproduksi atau menggunakan teknologi inovatif secara intensif menjadi faktor pendukung yang signifikan. Konsep ini diterapkan oleh eFishery yang fokus di sektor akuakultur.

Menurut Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia meningkat dari skor 59,2 di 2021 menjadi 60,2 di 2022. Sektor akuakultur turut berkontribusi di dalamnya, mengingat Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil perikanan budidaya terbesar kedua di dunia dengan volume produksi 14,8 juta ton, dan berdasarkan prediksi Food and Agriculture Organization (FAO), perikanan budidaya Indonesia akan tumbuh sebesar 26% pada 2030.

Pinjaman dari bank

Sebagai catatan ini adalah pinjaman kedua yang diterima eFishery. Pertama kali diperoleh dari Bank DBS Indonesia pada Oktober 2022. Nominal pinjamannya sebesar Rp500 miliar berbentuk pinjaman jangka pendek (loan).

Saat itu Gibran menyampaikan pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura. Alasannya, dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang, termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.

Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada di posisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.

Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis.

“Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di pasar yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai perusahaan yang dirasa sudah matang.”

eFishery Peroleh Pinjaman 500 Miliar Rupiah dari Bank DBS Indonesia

Startup aquatech eFishery dan Bank DBS Indonesia mengumumkan kerja sama dalam bentuk pinjaman jangka pendek (loan) senilai Rp500 miliar. Hal ini merupakan perdana bagi kedua perusahaan. Bagi DBS Indonesia ini adalah pinjaman pertama untuk sektor aquatech, sementara bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak perusahaan didirikan pada 2013.

Terkait penyaluran pinjaman melalui platform fintech lending, DBS sudah bekerja sama dengan sejumlah startup lokal. Di antaranya bersama Zenius dengan komitmen 100 miliar Rupiah, kemudian limit joint financing dengan Kredivo senilai 2 triliun Rupiah.

Dalam konferensi pers yang digelar Jumat (7/10), Co-founder dan CEO eFishery Gibran Hufaizah mengucapkan rasa terima kasihnya atas kepercayaan Bank DBS Indonesia terhadap perusahaannya untuk menyalurkan pinjaman dana demi merealisasikan rencana strategisnya. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi revolusi sektor akuakultur dan meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan dan udang di Indonesia.

“Dengan adanya dukungan ini, kami akan mengembangkan produk dan layanan kami ke kancah internasional dan memberikan dampak yang lebih besar lagi ke sektor pangan,” kata dia.

Director of Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia Kunardy Lie menyampaikan, pihaknya sangat senang bisa menyalurkan pinjaman modal kerja kepada eFishery yang sangat visioner dalam memanfaatkan inovasi teknologi untuk memodernisasi ekosistem akuakultur dengan berfokus pada tambak udang dan ikan.

“Komitmen Bank DBS Indonesia untuk bermitra dengan eFishery merupakan salah satu bentuk fokus kami untuk menumbuhkan industri ekonomi digital di Indonesia dan juga bagian dari keseriusan kami dalam mengelola bisnis dengan memerhatikan isu environment, social, dan governance (ESG),” ucap Kunardy.

Ditanya lebih jauh, pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura, alasannya karena dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, maka harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.

Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada diposisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.

Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis. “Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di market yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai company yang dirasa sudah matang.”

Ambisi eFishery cukup besar dalam mengembangkan solusi aquatech-nya ke pasar global. Perusahaan mengincar ekspansi ke India, lalu secara bertahap ke Tiongkok atau Vietnam. Menurut Gibran, solusi yang dikembangkan eFishery ternyata lebih kompetitif dibandingkan yang sudah ada di pasar Tiongkok atau India. Kondisi tersebut sukses membuat kepercayaan diri eFishery bisa mereplikasi kisah suksesnya di Indonesia ke negara ekspansi selanjutnya cukup tinggi.

“Kalau ini bisa berjalan ini bisa jadi bersejarah karena biasanya perusahaan dari sana yang masuk ke Indonesia. Kita cukup ambisius bisa sukses di Indonesia, menciptakan kisah sukses sembilan tahun eFishery di Indonesia bisa dicapai dalam tiga tahun di India. Sebenarnya kita ada 10 negara yang ingin dimasuki dalam lima tahun ini, tapi Tiongkok dan Vietnam sudah pasti lebih dulu.”

Dukungan Bank DBS Indonesia untuk startup

Kunardy melanjutkan dalam proses mitigasi risiko, perusahaan sudah menilai berbagai aspek sebelum memberi pinjaman kepada perusahaan manapun, termasuk eFishery. Dari segi risiko, industri aquatech memang tidak lepas dari risiko, yang paling utamanya adalah risiko penyakit.

Namun dari sisi eFishery, mereka dapat menyeimbangkan risiko tersebut dengan data-data pendukung untuk mencegah terjadinya penyakit. Di antaranya, menyediakan platform eFarm untuk petambak udang yang di dalamnya tersedia disease prevention system. Fitur tersebut berisi program pencegahan wabah penyakit pada tambak udang dan solusi pengaturan kualitas air yang efektif serta ramah lingkungan dengan berbasis teknologi.

Budidaya udang terkenal menjanjikan namun lebih rentan penyakit, makanya fitur-fitur di eFarm lebih kompleks daripada solusi eFishery untuk ikan. “eFishery bisa menjembatani risk appetite perbankan dengan menyediakan data-data untuk bisa mengurangi risiko dalam bisnisnya. Hal ini yang bisa memberikan kami kenyamanan sebagai bank untuk menyalurkan kredit,” ucap Kunardy.

Sebagai catatan, pemberian pinjaman kepada startup digital sebenarnya bukan pertama kali bagi Bank DBS Indonesia. Sebelumnya, perbankan telah menyalurkan pinjaman untuk online travel agent (OTA) dan Broom, startup penyedia platform bisnis showroom.

“Dalam menyalurkan pinjaman kita selalu lihat dari berbagai sisi, kebetulan banyak startup yang masih cetak loss. Meski loss, kita tetap berikan karena kita lihat potensi ke depannya. Apakah startup ini sudah menggurita di komunitasnya dan bisa berikan pengaruh. Kita bisa bantu mereka untuk terus grow.”

Sampai tutup tahun ini, Bank DBS Indonesia akan menyalurkan dua pinjaman untuk startup. Meski tidak bisa disebutkan identitasnya, namun startup tersebut satu bergerak sebagai superapp dan satu lagi di OTA. “Yang pertama, pinjamannya senilai Rp1,4 triliun dan satunya lagi sekitar Rp200 miliar.”

Adapun pinjaman khusus ESG, eFishery masuk sebagai startup pertama dalam outstanding pinjaman di Bank DBS Indonesia. Sudah ada beberapa inisiatif yang dilakukan perbankan, salah satunya pinjaman untuk anak usaha Indika Energy, yakni PT Jaya Bumi Paser sebesar $275 juta. Perusahaan ini bergerak di energi terbarukan berbasis biomassa.

Application Information Will Show Up Here

Terima Pendanaan Debt Baru, HappyFresh Kembali Beroperasi di Indonesia

Startup online grocery HappyFresh kembali beroperasi di Indonesia setelah menerima dana segar berbentuk debt dari Genesis, Innoven, dan Mars. Nominal dana yang diterima dirahasiakan perusahaan.

Sebelumnya, pada awal bulan ini perusahaan memutuskan sementara berhenti beroperasi dalam rangka restrukturisasi bisnis karena gagal bayar kewjiban, dengan menunjuk firma global Alvarez & Marsal.

Dalam pernyataan, perusahaan kembali memulai operasinya di pasar Indonesia setelah tinjauan strategis. “Kami akan bekerja sama dengan dana debt dari Genesis, Innoven, dan Mars dalam restrukturisasi bisnis,” ucap manajamen seperti dikutip dari Bloomberg.

Berkaitan dengan itu, perusahaan juga mengumumkan operasionalnya kembali melalui unggahan di Instagram kemarin (21/2). Disampaikan Happy Fresh telah kembali dan siap melayani kebutuhan belanja di supermarket favorit konsumen.

Sebagai bagian dari perombakan, perwakilan dari perusahaan AS Kroll, Jason Kardachi, akan menggantikan tiga mantan direktur di dewannya, termasuk Lee Jung An, Kai-Kevin Gotthard Kux, dan David Keller. Kardachi akan memimpin praktik restrukturisasi Kroll di Asia Tenggara, akan bekerja sama dengan HappyFresh dalam perbaikannya.

Guillem Segarra (CEO) dan Frederic Verin (CFO), dan Christoph Krauss (COO) telah diangkat kembali setelah mundur dari tugas sehari-hari mereka. Manajemen juga menyampaikan saat ini akan fokus di Indonesia sambil mempertimbangkan opsi untuk bisnisnya di Thailand dan Malaysia.

Sejak tahun ini, HappyFresh yang berbasis di Jakarta, berjuang untuk meningkatkan modal setelah penurunan tajam di sektor online grocery. Pada Agustus kemarin, perusahaan menunggak gaji sejumlah karyawan dan PHK karyawan kontraknya dengan alasan isu keuangan.

Untuk menyelamatkan bisnis, perusahaan mempekerjakan Alvarez & Marsal Holdings LLC untuk meninjau situasi keuangannya.

“Kami telah melalui banyak hal. Selama beberapa minggu terakhir ketika kami menghentikan operasi, kami melihat banyak komentar dari pelanggan di berbagai platform media sosial yang menyatakan ketergantungan mereka pada penawaran layanan kami sambil meminta layanan untuk dilanjutkan sesegera mungkin,” kata Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini dalam sebuah pernyataan.

Menata ulang konsep online grocery

Model bisnis HappyFresh menjadi perantara antara konsumen dan modern trade seperti supermarket. Di tengah tingginya permintaan, tahun lalu mereka juga memperkenalkan “HappyFresh Supermarket”, tujuannya untuk memperluas akses terhadap produk kebutuhan harian dengan meningkatkan kehadiran toko virtual.

Langkah ini turut dijadikan sebagai salah satu strategi HappyFresh untuk mempererat kolaborasinya dengan jaringan supermarket nasional dan regional yang sejauh ini telah membantu menyediakan ragam produk.

“Dalam hanya beberapa bulan setelah peluncuran, kami melihat ketertarikan pelanggan yang luar biasa, melalui pertumbuhan pengguna sebesar 300% setiap bulannya,” ujar Co-founder & CEO HappyFresh Guillem Segarra.

Namun demikian jika melihat data, sebenarnya kanal penjualan produk grocery terbesar di Indonesia masih berada di ritel tradisional. Kendati toko modern juga terus memperluas cakupan wilayahnya.

Modern vs Traditional Trade in Indonesia / L.E.K Consulting

Sementara itu laporan e-Conomy SEA 2021 mengatakan bahwa di tengah penetrasi e-commerce di Asia Tenggara, digitalisasi sektor grocery baru mencapai 2% saja. Jelas ini menjadi PR besar bagi ekosistem industri terkait untuk bisa meningkatkan cakupan pasarnya — termasuk melalui peningkatan infrastruktur supply chain, edukasi pasar, dan ekspansi bisnis di skala nasional.

Dari survei yang dilakukan Katadata terhadap 2022 responden, menyatakan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mayoritas masih mengandalkan pembelian secara langsung di ritel terdekat, baik itu supermarket, pasar tradisional, warung kelontong, ataupun swalayan. Platform e-commerce mendapati peringkat terbawah.

Sumber: Katadata

Di titik ini mulai bisa ditarik kesimpulan, bahwa kebiasaan yang terbentuk selama pandemi ternyata tidak sepenuhnya bertahan pasca-pandemi. Khususnya dalam hal belanja, pengalaman datang ke toko tetap menjadi pilihan favorit — kendati ada beberapa aspek yang bisa diefisienkan dengan belanja online.

Pemain online grocery perlu menata ulang model bisnisnya, memberikan pengalaman pengguna yang lebih relevan dengan kondisi yang ada saat ini. Termasuk menata ulang kategori produk yang ada di rak belanja, sehingga menjadi relevan untuk dipenuhi secara online — di saat kecepatan saja belum sepenuhnya menjadi proposisi nilai yang membuat semua orang tertarik turut andil menjadi bagian dari basis konsumen.

Application Information Will Show Up Here