Nodeflux Ungkap Capai Profitabilitas, Rencanakan Ekspansi ke Luar Negeri

Startup deep-tech pengembang teknologi AI Nodeflux mengungkapkan perusahaan telah mencapai profitabilitas dan tidak mengandalkan lagi pendanaan dari investor sejak putaran terakhir di 2019. Adopsi teknologi AI yang mulai marak di kalangan pemerintah dan korporasi menjadi pendorong di balik pencapaian dari startup yang dirintis pada 2016 ini.

Dalam temu media yang digelar Senin (28/11), Chief Product Officer Adhiguna Mahendra menyampaikan, sejak awal Nodeflux berdiri jajaran manajemen selalu memastikan bahwa perusahaan punya fundamental  kuat lewat model bisnis dan nilai yang tepat agar punya posisi kuat di pasar, hingga pada akhirnya menjadi perusahaan berkelanjutan.

Sebagai perusahaan teknologi yang tidak memiliki aset fisik, satu-satunya yang bisa dijadikan aset adalah kekayaan intelektual (IP) yang diyakini selalu bernilai tambah ke depannya. Sementara, aset berwujud yang dimiliki perusahaan adalah portofolio berbagai contoh proyek yang pernah dikerjakan bersama para kliennya.

“Model bisnis kita bukan raising fund buat kejar growth, kita enggak mau kayak gitu, kita maunya sustain. Makanya kita main ke segmen konsumen dengan business proposition yang kuat, kita juga punya value yang bagus, mereka [klien] pun bisa kasih money yang bagus, dengan demikian kita bisa sustain,” kata Adhiguna.

Sayangnya, ia tidak menyebut lebih detail mengenai pertumbuhan keuntungan yang berhasil dicetak perusahaan. Kinerja Nodeflux sempat terkoreksi saat awal pandemi di 2020, namun di penghujung tahun mulai menunjukkan tanda pemulihan hingga kini. Keuntungan yang diperoleh, menurutnya, selalu diputar kembali untuk mengembangkan bisnis dan riset, sekaligus membiayai operasional.

Kendati begitu, perusahaan tidak anti dengan investasi. Apabila melakukan penggalangan dana bakal digunakan untuk pengembangan pusat riset (R&D) atau ekspansi bisnis, bukan untuk membiayai operasional dengan bakar duit. Sebagai catatan, Nodeflux menerima pendanaan dari pasar sekunder dengan nominal dirahasiakan dari East Ventures pada Juni 2018. Dalam jajaran investornya, juga terdapat Prasetia Dwidharma dan Indigo.

Sumber: Nodeflux

Kontribusi bisnis perusahaan terbesar datang dari B2G dengan porsi 60% dibandingkan dengan B2B sebesar 40%. Adhiguna menyebut, hal ini terlihat dari adopsi solusi kecerdasan buatan memang pada tahap awalnya dibutuhkan oleh kalangan pemerintah karena punya kebutuhan yang nyata. Entah itu buat meningkatkan pelayanan publik atau pengawasan di tempat keramaian.

Diprediksi tren ke depannya, porsi bisnis dari B2B akan terus mengimbangi B2G. Alasannya karena adopsi face recognition (FR) di dunia perbankan misalnya, semakin dibutuhkan untuk permudah diakses oleh nasabah.

Beberapa klien di Nodeflux di antaranya institusi kepolisian (termasuk POLDA), Direktorat Jenderal Pajak, Jasa Marga, BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Pertamina, hingga pemerintah daerah. Bersama Pertamina, teknologi AI dari Nodeflux digunakan untuk aspek health, safety, and environment (HSE) saat monitor karyawan yang tidak disiplin menggunakan atribut. Sementara, bersama Jasa Marga membantu memberikan layanan road traffic monitoring untuk mengetahui titik-titik kemacetan.

Beberapa agenda berskala besar juga pernah ditangani Nodeflux bersama dengan para kliennya, di antaranya Asian Games 2018, IMF World Bank Summit 2018, dan yang teranyar G20 2022 di Bali. Saat acara G20 berlangsung, menggunakan FR dari Nodeflux untuk memperketat keamanan. Banyak terobosan yang dibuat untuk meningkatkan level keamanan para petinggi negara yang berkunjung. Setiap titik masuk seperti bandara, pelabuhan, area publik semua diawasi oleh ribuan CCTV yang dilengkapi FR dan saling terintegrasi.

Face Recognition sebenarnya adalah produk dari Computer Vision Artificial Intelligence (AI). AI jenis ini menggunakan gambar/video sebagai basis datanya yang kemudian diolah untuk dijadikan insight dalam memverifikasi dan memvalidasi sebuah keputusan.

Solusi AI untuk bisnis

Adhiguna melanjutkan, Nodeflux memiliki sejumlah solusi berbasis AI untuk para kliennya, yakni VisionAIre (Surveillace-Analytics-as-a-Service), Identifai (e-KYC untuk industri keuangan), dan RetailMatix (SaaS Vision AI & Sales Force Automation untuk industri ritel). Masing-masing menyelesaikan isu yang dihadapi para klien yang datang dari berbagai industri.

VisionAIre telah membantu Pemprov DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur dengan konsep smart city. Tersedia sejumlah solusi untuk memudahkan pengawasan pemerintah terkait hal-hal seperti pengenalan wajah, deteksi ketinggian air, parkir kendaraan, dan pemantauan lalu lintas jalan.

Sumber: Nodeflux

Di musim penghujan bisa dideteksi ketinggian air lewat teknologi AI melalui Water Detection dari Nodeflux, tersebar di 278 titik di Jakarta. Sementara di Jawa Timur, juga sudah menerapkan teknologi AI di perkotaan sebanyak 11 titik.

Pada Agustus kemarin, produk tersebut berhasil lulus sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan masuk ke dalam katalog LKPP dari pemerintah dengan nilai hingga 99,04%. Pencapaian tersebut disebutkan pertama kalinya terjadi di Indonesia di segmen AI lokal. Sebelumnya, perusahaan juga berhasil lulus tes NIST (National Institute of Standard and Technology) dari Amerika Serikat sebagai vendor pengenalan wajah.

Pencapaian ini dinilai dapat mendukung optimalisasi TKDN terhadap proyek strategis yang didanai oleh negara dan produksi manufaktur di Indonesia, sekaligus memacu produktivitas dan daya saing industri nasional di tengah perdagangan dunia. Pasalnya, hingga kini solusi AI masih didominasi oleh perusahaan asing dengan kandungan software impor.

Dari segi inovasi, perusahaan terus meningkatkan akurasi dan latensi yang semakin rendah agar mudah diakses oleh semua orang. Menurut Abhiguna, untuk face recognition, misalnya perlu ada standar akurasi untuk false positive dan false negative. Contoh kasusnya, untuk false positive apabila mencari orang yang berbahaya malah salah tangkap orang tak bersalah.

“Kami selalu pacing standar akurasi dari NIST. Tapi ada challenge lain, soal size dan optimasi dari model AI yang kita taruh di server dan device itu harus sekecil mungkin. Dari optimasi kita sudah optimal, juga akurasinya sudah bagus di atas NIST, tapi dari sisi model dan latensinya juga kecil. Kita sudah benchmark dari beberapa kompetitor di luar.”

Selanjutnya, untuk produk Identifai, kini inovasinya sudah mencapai explainable AI. Permasalahan saat e-KYC dengan face recognition dari smartphone adalah orang bisa memalsukan wajah yang hanya dengan mencetak di kertas doff atau perangkat. Yang mana, bagi industri keuangan, audit dan kepatuhan itu adalah bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan.

“Algoritma yang kita kembangkan bisa menjelaskan secara level pixel mengapa orang ini bisa dianggap tidak asli. Ada parameter yang nilainya beda dengan orang asli. Setahu saya belum ada pemain lain yang bisa melakukan ini AI-nya.”

Pengembangan lanjutan dari AI yang sedang digiatkan perusahaan adalah face loyalty dan face payment. Di Tiongkok dan Amerika Serikat solusi ini sudah sangat umum dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan ritel. Face payment merupakan teknologi yang memungkinkan seseorang bisa bertransaksi hanya dengan menunjukkan wajahnya. AI akan memverifikasi wajah orang yang melakukan transaksi lewat kontur muka dan identitas lainnya. Ketika terkonfirmasi sukses, maka pembayaran bisa otomatis terpotong dari akun bank atau kartu kredit milik orang tersebut.

Sementara untuk face loyalty ini akan sangat berguna untuk orang-orang yang memiliki banyak keanggotaan di berbagai merchant di toko swalayan atau restoran. Apabila suatu bisnis memanfaatkan teknologi ini, akan dengan mudah menambahkan poin keanggotaan tanpa pembeli repot-repot mengeluarkan kartu keanggotaan atau aplikasinya.

Di samping itu, perusahaan juga berencana untuk ekspansi ke luar Indonesia. Ada beberapa negara yang masuk ke dalam daftar, yakni Singapura, India, Amerika Serikat, dan Eropa. Namun sebelum itu, perusahaan masih mencari mitra distribusi yang benar-benar mengerti terkait solusi dan pasarnya.

“Selama ini untuk penjualan kita selalu direct, tapi untuk ekspansi ini untuk jual barang ke sana kalau tanpa representative office dan partner akan susah. Sebenarnya dari segi produk, kita sudah siap, tapi distribution channel harus yang benar-benar mengerti market-nya untuk jual barangnya. Itu yang masih challenging,” pungkas dia.

Saat ini seluruh tim Nodeflux adalah orang Indonesia dengan total 70 orang.

Potensi Penerapan Teknologi Tingkat Lanjut di Startup Indonesia

Dalam sebuah percakapan dengan beberapa investor di Indonesia, disinyalir fokus kebanyakan startup teknologi di Indonesia baru sebatas implementasi produk, pemberian layanan paripurna, dan pemasaran demi mendapatkan pertumbuhan yang pesat.

Ketika membicarakan inovasi, apakah penerapan startup hanya terbatas ke kebutuhan mendasar atau mereka bakal terus berevolusi untuk menerapkan teknologi semakin dalam seperti produk-produk di pusat teknologi dunia?

Produk tepat guna, layanan yang utama

Secara umum, kegiatan dan kemampuan startup-startup di Indonesia sudah mampu untuk mendisrupsi pasar yang sudah ada. Idealnya, untuk mengembangkan produk yang tepat guna, startup harus bisa memprioritaskan teknologi yang ingin diimplementasikan. Menurut Chief Innovation Officer DOKU Rudianto, di tahap awal dari sebuah startup teknologi, hal yang paling penting adalah mendapatkan product-market fit.

“Karena itu, startup perlu memilih teknologi yang mendukung sistem pembangunan dengan kecepatan yang ekstrem. Sedangkan untuk layanan, startup harus menghapus ide memiliki fungsi lengkap, dengan membangun fungsionalisasi minimum dan fokus pada layanan hingga pengumpulan data dan tentunya mendengarkan feedback dari pengguna,” kata Rudianto.

Sementara CEO Sirclo Brian Marshal melihat, di konteks startup yang fokus pada pasar Indonesia, layanan merupakan prioritas utama.

“Menurut saya pendekatan ini sejalan dengan mindset untuk tetap agile di kondisi pasar yang begitu dinamis. Mengidentifikasi apa yang sedang dibutuhkan oleh konsumen dapat membantu bisnis untuk menghadirkan teknologi yang tepat guna,” kata Brian.

Jika startup mampu menghasilkan teknologi yang terbilang canggih dan benar-benar dibutuhkan saat ini, pastikan mereka sudah memiliki target pasar dan menyesuaikan kondisi.

“Yang menjadi perhatian adalah tidak perlu startup Indonesia bersaing dalam hal teknologi dengan startup secara global. Ciptakan inovasi yang sesuai dan terus fokus ke pertumbuhan bisnis, strategi akuisisi target pengguna, dan penguatan unit ekonomi startup,” kata Founder & Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Fokus ke ekosistem dasar

Sesungguhnya startup Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan teknologi tingkat lanjut. Meskipun demikian, karena minimnya dukungan dari pemerintah dan pasar, startup lokal kebanyakan masih fokus ke ekosistem paling mendasar dan tidak banyak menawarkan teknologi baru.

Langkah strategis ini sah-sah saja selama startup memiliki target pasar yang tepat dan unit ekonomi yang kuat. Pada akhirnya, menyesuaikan kondisi dan seiring berjalannya waktu, teknologi yang relevan dan “lebih dalam” bisa dikembangkan sesuai capital yang dimiliki dan kegiatan fundraising yang terus dilakukan.

“Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga startup di negara Asia Tenggara lainnya. Keuntungan yang dimiliki startup Indonesia adalah populasi generasi muda yang besar dan pasar yang luas. Menjadi penting untuk kemudian [startup lokal] fokus kepada pasar dan pondasi unit ekonomi yang kuat,” kata Chandra.

Menurut Brian, teknologi yang langsung dirasakan oleh pengguna di Indonesia belum ada yang sifatnya “frontier“. Masih jarang ditemukan startup lokal yang mengadopsi teknologi yang belum pernah diterapkan di region lain.

“[Meskipun demikian] berbagai startup besar di Indonesia mampu menghadirkan teknologi dengan infrastruktur kuat dan sophisticated guna enabling aktivitas digital yang kompleks. Contohnya seperti enabling transaksi yang berlangsung selama flash sale Harbolnas 12.12 tanpa adanya downtime,” kata Brian.

Menurut CEO DycodeX Andri Yadi, tidak dapat dipungkiri masih sedikit investor yang tertarik menggelontorkan dana mereka ke startup yang memang fokus untuk mengembangkan teknologi. Namun, pada akhirnya, kendala tersebut tidak membuat penggiat startup patah semangat untuk terus membangun teknologi baru.

“Pada akhirnya, apakah mendapat dukungan pendanaan atau tidak, bisnis harus terus berjalan. Dan teknologi serta inovasi baru tetap harus diciptakan,” kata Andri.

Di sisi lain, para investor melihat, ketika founder berniat menggalang dana ke VC, pastikan teknologi yang diterapkan adalah nyata. Hindari melakukan sugar coating dengan harapan bisa mendapatkan pendanaan saja.

“Sebenarnya startup Indonesia memiliki potensi, namun masih belum cukup. Sulit bagi mereka untuk meyakinkan pasar jika teknologi dan inovasi baru dihadirkan. [..] Pastikan ide dan teknologi tersebut adalah jujur dan nyata,” kata VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan.

Potensi penerapan teknologi lanjutan

Saat ini sudah ada beberapa startup yang fokus ke penerapan teknologi AI, IoT, Big Data, dan lainnya. Namun kenyataannya, lebih dari 90% kasus bisnis sebenarnya dapat dipenuhi dengan teknologi yang mendasar untuk saat ini. Kebanyakan penggiat startup masih belum melihat adanya urgensi untuk fokus ke pengembangan teknologi lanjutan.

“Standar ‘dasar’ saat ini menjadi lebih meningkat kualitasnya. Integrasi berkelanjutan juga menjadi lebih umum saat ini,” kata Rudianto.

Diharapkan ke depannya akan lebih banyak lagi startup yang menawarkan inovasi dan teknologi tingkat lanjut untuk masyarakat Indonesia.

“Agar mampu menghadirkan teknologi yang sophisticated, para stakeholder harus mengutamakan aspek riset dalam pengembangan infrastruktur yang memadai,” kata Brian.

Selain itu, cara lain untuk memancing lebih banyak inovasi baru adalah merekrut tenaga kerja profesional yang sudah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan teknologi luar negeri, khususnya di pusat-pusat teknologi dunia.

“Sebenarnya Indonesia memiliki kumpulan diaspora yang telah bekerja di perusahaan teknologi global. Untuk merekrut orang-orang ini dengan pengetahuan teknologi tingkat dunia, misalnya PhD di Computer Vision, kita perlu memiliki cadangan keuangan yang sangat kuat. Cara lain yang lebih terjangkau adalah mengembangkan sendiri world-level people,” kata Rudianto.

Berbincang dengan Managing Director Samsung Research Indonesia Alfred Boediman tentang “Deep Tech”

Terminologi deep tech dewasa ini mengemuka berkat penggunaan layanan digital yang semakin masif. Salah satunya disebutkan dalam hasil riset CompassList mengenai agritech di Indonesia sepanjang kuartal pertama 2020. Inovasi yang menerapkan produk deep tech sangat diperlukan untuk mentransformasi sektor ini. Teknologi seperti kecerdasan buatan, analisis data, hingga robotika dinilai penting untuk menjadi bagian dari masa depan pertanian di Indonesia.

Lebih dari itu, deep-tech yang semakin matang idealnya dapat diimplementasikan di berbagai sektor lainnya, dengan mendukung sistem teknologi yang sudah ada. Untuk memahami lebih dalam mengenai deep tech, termasuk penerapan dan proyeksinya, DailySocial berkesempatan mewawancarai Managing Director Samsung Research Indonesia (SRIN) Alfred Boediman. Berikut ini hasil wawancara kami.

Alfred Boediman
Managing Director Samsung Research Indonesia Alfred Boediman di acara #SelasaStartup / DailySocial

DailySocial: Bagaimana Anda menggambarkan deep tech, terkait penerapannya dalam sebuah aplikasi? Sejauh ini banyak kalangan masyarakat yang menghubungkan term tersebut dengan produk seperti kecerdasan buatan dan analitik; apa yang bisa dioptimalkan dari teknologi tersebut?

Alfred Boediman: Ya, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), pengeditan genom, analitik data, pengenalan wajah, dan robotika memang dianggap sebagai terapan dari terminologi solusi “deep tech“. Karena didasarkan pada penelitian ilmiah dan sering kali didukung paten. Secara umum, saya bisa mengidentifikasi tiga atribut dasar yang menjadi karakter solusi deep tech dalam konteks bisnis, terutama pada penerapannya di suatu aplikasi/sistem yang ada.

Atribut pertama adalah dampak. Inovasi yang didasarkan pada deep tech seharusnya dapat memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sehari-hari, jauh melampaui batas nilai ekonomi yang dihasilkan. Seperti halnya di Indonesia, beberapa kota besar di negara kita sudah mulai mengalami masalah kelebihan populasi penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, AI dianggap sebagai salah satu teknologi kunci yang akan diterapkan.

Kemudian kedua adalah waktu. Pengembangan solusi deep tech membutuhkan waktu untuk beralih dari sains dasar ke teknologi yang dapat diterapkan untuk hasil yang nyata. Lamanya waktu untuk penerapan teknologi tersebut akan bervariasi secara substansial, dan membutuhkan waktu lebih lama dari inovasi yang didasarkan pada teknologi yang sudah umum.

Contohnya, berdasarkan analisis lembaga riset internasional, sekiranya dibutuhkan rata-rata 4 tahun untuk mengembangkan teknologi di biotek; dipecah menjadi 1,8 tahun dari penggabungan ke prototipe pertama dan 2,2 tahun berikutnya untuk mencapai produk yang siap dipasarkan. Lalu, dibandingkan dengan startup blockchain, angka yang sebanding adalah 2,4 tahun, di mana 1,4 tahun untuk prototipe pertama dan 1 tahun berikutnya produk yang siap pasar.

Sementara atribut yang ketiga adalah investasi. Kebutuhan pendanaan perusahaan deep tech berbeda secara signifikan dengan yang lainnya. Sesuai dengan contoh di atas, di mana rata-rata pembuatan prototipe pertama untuk solusi biotek bisa menelan biaya sekitar US$1,3 juta, sementara biaya solusi blockchain hanya sekitar US$200 ribu.

Selain itu, risiko pasar adalah salah satu faktor pertimbangan bagi para investor, di mana startup deep tech biasanya mencari pendanaan pada tahap penelitian awal, artinya akan sulit untuk mengevaluasi daya tarik dan potensi pasar secara menyeluruh. Faktor lainnya adalah risiko teknologi yang ada, karena banyak investor tidak memiliki keahlian khusus untuk secara akurat menilai potensi teknologi yang muncul dalam jangka waktu yang singkat.

Karena kita akan menghadapi tantangan: kurangnya bakat, pendidikan, dan pengertian menyeluruh tentang solusi deep tech tersebut. Maka untuk mengatasi dan mengoptimalkan masalah ini adalah dengan adanya kolaborasi antara perusahaan teknologi, pemerintah, dan universitas; yang akan menjadi gerakan kunci untuk melatih dan meningkatkan keterampilan generasi profesional yang ada.

DailySocial: Sepengetahuan Anda apakah saat ini deep tech sudah mulai banyak diaplikasikan untuk menunjang TIK di Indonesia?

Alfred Boediman: Kembali pada tahun 2017, beberapa menteri di Indonesia telah bergabung untuk memulai “Gerakan Menuju 100 Kota Cerdas”, bersama dengan beberapa perusahaan swasta. Konsep kota cerdas akan menggabungkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan solusi IoT (Internet of Things). Pemerintahan saat ini, telah menunjukkan keinginannya dalam mengimplementasikan solusi deep-tech dengan pernyataan Presiden sebelumnya untuk menggantikan beberapa posisi pekerja negara dengan layanan AI untuk mengurangi aturan yang tumpang tindih dan memotong birokrasi yang ada.

Yang saya tahu, setidaknya ada lebih dari 50 startup deep-tech yang bekerja di berbagai industri di Indonesia. Contohnya beberapa startup nasional di bidang AI adalah Kata.ai dan Nodeflux. Kata.ai menyediakan solusi berbasis B2B platform percakapan, juga dikenal sebagai chatbot. Chatbot dapat diintegrasikan dalam berbagai platform pengiriman pesan, seperti LINE, Facebook, Twitter, dan Telegram. Lain halnya dengan Nodeflux adalah startup pertama yang mengembangkan video platform analitik dengan menggunakan teknologi “machine learning“. Platform ini memungkinkan Nodeflux untuk menawarkan layanan seperti pengenalan wajah dan fungsi pemantauan lainnya.

Penerapan solusi Nodeflux dalam pemantauan lalu lintas di Jakarta / Nodeflux
Penerapan solusi Nodeflux dalam pemantauan lalu lintas di Jakarta / Nodeflux

DailySocial: Dalam penerapannya di sektor riil, bagaimana potensi teknologi tersebut? Mungkin ada studi kasus yang pernah ditemui?

Alfred Boediman: Untuk saat ini, perusahaan teknologi lokal di Indonesia sebagian besar mengandalkan pemerintah untuk membina lebih banyak bakat lokal dengan meningkatkan kesadaran tentang arah industri dan kemajuannya di masa depan, dan bagaimana orang harus bersiap menghadapi perubahan ini. Namun, bila hanya mengandalkan pemerintah mungkin tidak efektif, karena saat ini sistem pendidikan dan pembelajaran yang ada tidak dilengkapi untuk mengatasi revolusi yang akan datang pada permintaan keterampilan industri. Oleh karena itu kolaborasi secara riil sangat penting untuk dapat menerapkan solusi deep tech di Indonesia.

Pada ekosistem digital yang tumbuh di seluruh negara-negara Asia Tenggara, peningkatan bakat untuk solusi deep tech akan semakin penting dan banyak bisnis yang membutuhkan teknologi tersebut. Setiap negara di wilayah ini memiliki laju perkembangan yang berbeda, contohnya Singapura dianggap sebagai yang paling maju untuk implementasi solusi deep tech di Asia Tenggara.

Sementara itu, Indonesia juga telah membangun beberapa unicorn, dengan startup-startup utamanya seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya. Dengan total sekitar 5800 startup nasional, pasar semakin sedikit ramai, tetapi kecil porsi yang telah menginjakkan kakinya di area solusi deep tech secara menyeluruh. Startup dengan solusi deep tech cenderung memiliki periode go-to-market yang lebih lama, karena biasanya operasional yang ada sangat tergantung pada proyek solusi yang berbasis penelitian. Startup deep tech saat ini sedang naik daun, tetapi mereka juga bertemu dengan banyak tantangan yang membuat mereka harus berpikir keras untuk dapat tetap beroperasional.

DailySocial: Apa tantangan terbesar untuk kesuksesan penerapan deep tech di Indonesia?

Alfred Boediman: Meskipun pemerintah dan maraknya industri yang ada terbuka terhadap adopsi deep tech, namun upaya untuk mengimplementasikannya di seluruh Indonesia akan menghadapi tantangan yang pelik, terutama pada masalah kekurangan bakat lokal dan kualitas pendidikan yang ada.

Menurut saya, ada tiga komponen utama yang akan mendorong penggunaan solusi deep tech yang efektif: algoritma, daya komputasi, dan data yang ada. Ini semua adalah komponen yang harus ditingkatkan di negara kita. Banyak perusahaan deep tech (seperti halnya SRIN) mengalami kesulitan dalam mencari bakat AI pada lulusan universitas yang ada di Indonesia.

Sementara itu, ada artikel menarik yang pernah saya baca bahwa negara yang menjadi tuan rumah seorang mahasiswa PhD tidak selalu merupakan negara yang diuntungkan. Kenyataannya adalah  sekitar sepertiga dari peneliti yang bekerja untuk perusahaan yang berbasis di negara tersebut berbeda dari negara tempat mereka menerima gelar PhD-nya. Oleh karena itu, perusahaan teknologi lokal di Indonesia perlu menarik bakat ini untuk kembali ke negara kita dan terus mengembangkan solusi deep tech secara tepat guna.

DailySocial: Menurut Anda, Adakah urgensi mengapa pengembangan deep tech perlu diprioritaskan saat ini?

Alfred Boediman: Pengembangan solusi deep tech penting karena alasan sederhana – mempermudah hidup manusia, salah satu contohnya adalah di mana pada masa “social distancing” saat ini, digitalisasi dan automasi berbasis solusi deep tech akan banyak membantu berbagai kebutuhan bisnis yang ada. Perusahaan berbasis solusi deep tech sangat relevan untuk masalah besar di seluruh dunia; seperti pada masalah kebersihan pada penjernihan air, atau chatbot yang berguna untuk beragam industri jasa, atau hal-hal yang berkaitan dengan kendaraan otonom–terutama di negara-negara maju. Hal-hal semacam ini mungkin bukan bidang yang mudah untuk dikejar oleh beberapa investor atau pemerintah dalam waktu yang singkat di Indonesia, akan tetapi kita harus memulainya sekarang atau terlambat.

Saya bertemu dengan beragam investor, pengusaha, akademisi, dan ilmuwan. Itulah cara saya untuk dapat terbuka terhadap apa yang terjadi, terutama dalam pengembangan solusi deep tech – apa  yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Bagian dari apa yang saya coba lakukan adalah memberikan umpan balik kepada pemerintah dan komunitas yang ada. Saya mengambil apa yang dipikirkan pemerintah dan menyampaikannya kepada komunitas, hal tersebut merupakan perjalanan panjang dari suatu organisasi riset yang berkomitmen dalam pengembangan solusi deep tech di Indonesia.

Indonesian Agritech’s Top Three Bucket List for The First Quarter of 2020

Agritech has become one of the essential segments in the industry for its representation of Indonesian culture. Agriculture held one-third of Indonesian land and workers. Technology has a crucial role to increase productivity in this industry due to the decreasing talent for the last decade.

Otherwise, the country should import more in order to feed its citizen. In 2025, Indonesian population is predicted to increase by 11 million from the current position at 270 million people.

Quoted from CompassList research project report titled “Indonesia Agritech Report 2020” released in March, the world is currently struggling with food supply crisis due to the Covid-19 pandemic. The global food supply chain is tightening for some countries are lockdown and stop exporting.

Most businesses are getting suspended as life continues, amid efforts to curb the spread of the virus. These conditions show the importance of maintaining food security – and national agriculture.

The report shows high optimism for agritech, given the sector is relatively new in Indonesia. As Chilibeli secured series A funding in March 2020, it shows a bright future in this sector. Chilibeli has just launched in less than a year.

“More efficient and equitable agricultural practices will pave the way for sustainable agriculture in Indonesia, benefiting farmers, resources and the community. This helps create a stronger agricultural sector, which in turn will support Indonesia’s food security and economic growth,” the report stated.

Require more deep-tech innovation

CompassList listed four categories for the current operational agritech. It’s based on funding, e-commerce, education and assistance, also technology development. In structural, it shows the highest concentration of agritech startups.

UMG Idealab‘s Investment & Venture Partner, Jefry Pratama said, the act of selling agriculture commodities is the simplest and most certain way for agritech startup to gain profit. Of all the highlighted startups, they utilize the e-commerce sector or market the products offline.

To date, the deep-tech startup in this industry only works with AI, data analytics, and robotics. There is no further deep-tech (a new technology that offers significant improvement of the current issue), such as genetical manipulation.

Source: CompassList
Source: CompassList

Startups took part in this sector includes Habibi Garden, BIOPS, HARA, and JALA. Each startup has a certain tech specialization in data collecting, farmers can translate daily and take action instantly.

JALA, for example, has been using series of sensors to detect water quality in shrimp ponds, salinity, and pH rate to oxygen. The data is to be sent to the cloud-based media analytics for further diagnosed options to improve water quality.

Shrimp farmers can eventually distribute less feed for exceeding feed can impact on the final quality. It should reduce shrimp waste and loss, also increasing yields.

The lack of deep tech innovation might occurs due to various factors. Starting from the lack of available talent, campus support, research institutions, large corporations. These entities have an important role in carrying the development costs (R&D) for certain sectors. This is where most likely the first time innovation has been found.

However, these issues are not impossible to overcome, as UMG Idealab did, the incubator and CVC from the conglomerate from Myanmar UMG. They invested in PT Mitra Sejahtera Pembangunan Bangsa (MSMB), an agritech startup focused on creating sensors, drones, and mobile applications for farmers.

Uniquely, the MSMB was founded by lecturers and students from UGM. The staff consists of students, recent graduates, and lecturers from local campuses in Yogyakarta and surrounding areas.

Other factors are also reflected in supporting infrastructure such as logistics and supply chain. India is more or less the same as Indonesia, although it cannot be generalized. Both are countries with large areas with infrastructure development that are still late in the countryside.

R&D becomes essential

The existence of an R&D center for a business is important, not just for agritech. To encourage more local farmers to increase their crop yields and reduce potential losses, more high-quality seed production is needed, developing better disease diagnosis tools, and new hardware.

Startups are yet to have the resources to create their own R&D, therefore, they become obstacles to entering “deep biotech” in seed development. They will take advantage of collaboration with local universities, such as IPB and UGM. The campus is equipped with expertise and facilities to pursue cross-marriages, genetic engineering and other basic science projects.

Unfortunately, this country still lacks funds to build R&D center. In 2018, the overall R&D budget will be Rp. 25.8 trillion or 0.2% of total GDP.

Source: CompassList
Source: CompassList

This condition encourages each stakeholder to collaborate to create superior seed varieties. Many multinational companies are financially supported through collaboration with local players and the central government, as well as with their own budgets. Collaboration like this can accelerate the discovery of seed development that suits local needs and conditions, such as varieties that are more resistant to drought.

“The government can play a more active role in developing Indonesian agriculture to be more resilient. We need to fund R&D in Indonesia, “added Pamitra Wineka’s Co-Founder & President TaniGroup.

Initiatives to accelerate logistics

The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) estimates as much as 120 kg to 170 kg of food per capita is lost or wasted every year in South and Southeast Asia. This is homework for Indonesia to improve logistics and supply chain infrastructure to prevent the loss of food.

ADB statistics link 25% -45% of the results of this decay due to poor packaging, inadequate cooling systems, and long delivery times.

Here the role of government and private sector is needed to reduce post-harvest losses. You do this by building a warehouse, a packing place, a cooling place close to agricultural land and fisheries. Food delivery vehicles must also be improved through better road conditions and vehicles that can adjust the temperature.

TaniGroup created a logistics subsidiary, TaniSupply, in September 2019 to address imbalances in the supply chain. Then, 8villages worked with agricultural intermediaries to create VLOGS, gathering data on logistics providers in a platform to help farmers find logistical partners.

If small farmers from neighboring villages can agree to the same logistics provider, for example, they can increase their bargaining power by collectively asking for lower shipping rates.

Tokopedia also made a similar initiation by making a branch store, a smart warehouse that can predict which items sell best in the nearest city. All traders, even micro, can place their stock in warehouses based on predicted purchasing trends.

This model can be adopted for agricultural products because farmers and fishermen have more or less the same challenges as online traders in Tokopedia.

Simplifying modes of transportation and supply chains undoubtedly results in reduced post-harvest losses. There is a need for intensive initiatives from startups and the government to strengthen local food, allowing fresh products to be easily accessible to consumers without any middlemen who bother.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga Catatan Agritech Indonesia Sepanjang Kuartal Pertama 2020

Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.

Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.

Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.

Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.

Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.

“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.

Butuh lebih banyak inovasi deep-tech

CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.

Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.

Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.

JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.

Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.

Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.

Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.

Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.

Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.

Keberadaan R&D semakin dibutuhkan

Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.

Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.

Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.

“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.

Inisiatif percepat logistik kian beragam

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.

Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.

Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.

TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.

Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.

Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.

Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.

Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.

Strategi Investasi MDI Ventures untuk Startup Asing

Hari ini (04/7) MDI Ventures mengumumkan pendanaannya untuk startup pengembang platform manajemen e-commerce asal Singapura, Anchanto. Pendanaan ini sekaligus menambah panjang daftar perusahaan luar yang diinvestasi melalui perusahaan modal ventura Telkom Group ini. Sejak Januari 2018, DailySocial memberitakan sudah ada 5 perusahaan asing yang mendapatkan suntikan dana melalui MDI Ventures, termasuk di antaranya Postr (Selandia Baru), Whispr (Australia), Intelligence Element (Amerika Serikat), dan Roambee (California).

Untuk memindai bagaimana strategi apa di balik sepak terjang tersebut, kami mewawancara CEO & Investment Director MDI Ventures, Nicko Widjaja. Mengawali perbincangan Nicko menjelaskan soal misi strategis pendanaan yang ditujukan pada startup luar. Ia menegaskan bahwa seluruh startup yang diinvestasi akan membuka bisnisnya di Indonesia, sekaligus memperkuat ekosistem Telkom Group di berbagai lini bisnis. Misalnya, yang terbaru, Anchanto akan bersinergi dengan Metra Logistics.

Namun di luar sana banyak yang melihat bahwa MDI Ventures erat kaitannya dengan pendanaan startup lokal. Hal tersebut dikarenakan Telkom sendiri cukup serius dalam memberdayakan startup di Indonesia melalui program-programnya. Terkait dengan ekosistem startup lokal Nicko menjelaskan bahwa ada pola sinergi yang dapat diterapkan, untuk scaling up dan product localization.

“Biasanya startup lokal di dalam portofolio kami bekerja sama dengan portofolio luar, dan tidak menutup kemungkinan portofolio luar kami melakukan investasi juga kepada startup lokal tersebut. Contohnya salah satu portofolio IoT kami telah memiliki pangsa pasar di 9 negara. Di Indonesia mereka melihat salah satu startup IoT lokal yang diinvestasi oleh MDI Ventures mengerti sekali kondisi Indonesia. Biasanya kami pertemukan agar bersinergi. Selain transfer pengetahuan dan teknologi yang terjadi adalah startup IoT luar mendapatkan kearifan lokal dari startup IoT lokal, dan sebaliknya startup IoT lokal dibawa scaling oleh startup IoT luar,” terang Nicko.

Kriteria yang ditekankan

Kendati kebanyakan startup luar yang diinvestasi memiliki model bisnis B2B, Nicko memaparkan tidak menutup kemungkinan untuk model bisnis lain, misal B2B2C atau B2G sekalipun. Jurtru ia menekankan bahwa lanskap deep-tech yang menjadi prioritas ke depannya, termasuk untuk kategori digital enterprise, AI/deep learning, IoT, big data dan sebagainya. Penguatan ekosistem startup non e-commerce dan fintech mulai menjadi perhatian MDI Ventures.

Terkait kriteria startup, MDI Ventures menyaratkan pada dua aspek utama. Pertama ialah fundamental keuangan yang solid. Lalu yang kedua, bisnis startup tersebut harus dapat bersinergi dengan unit yang terdapat dalam Telkom Group.

“Bagaimanapun kami tidak akan se-fleksibel investor lain yang kriterianya lebih dominan kepada sesuatu yang ‘intangible’ (misalnya: founder, ide, dsb). Fundamental keuangan harus solid, ini yang telah kami pelajar selama 4 tahun terakhir: cash-poor startup only result in poor collaboration. Karena akhirnya mereka hanya menjadi ‘vendor’ bukan ‘founder’. Kami lebih memilih startup menggarap new market opportunity daripada mengerjakan proyek-proyek yang sifatnya vendoring,” jelas Nicko.

Terlepas dari investasinya terhadap startup luar, MDI Ventures juga berkomitmen akan terus menggelontorkan investasi besar di Indonesia. Tahun ini dipastikan akan melanjutkan investasi ke startup lokal, bahkan dengan porsi yang lebih besar.