Siap Bereksperimen Jadi Kunci untuk Jadi Sponsor Esports

Esports kini tengah menjadi pembicaraan hangat. Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk mendukung industri ini. Tidak hanya itu, jumlah investor yang tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game dan esports juga semakin bertambah. Meskipun begitu, belum ada model bisnis esports yang menguntungkan, termasuk League of Legends dari Riot Games yang telah berumur 10 tahun dan memiliki 8 juta concurrent players setiap hari. Ini menunjukkan bahwa meskipun esports diperkirakan memiliki potensi besar, tapi merealisasikan potensi tersebut masih akan memakan waktu.

“Bagi kami, bukan masalah jika esports dari game kami belum menguntungkan,” kata Head of Global Partnerships Activision Blizzard Esports, Josh Cella dalam diskusi panel di CES 2020, dikutip dari VentureBeat. “Investasi esports memang masih sangat baru untuk Riot dan Activision Blizzard dan semua pihak yang ada di industri ini. Liga kami baru akan memasuki musim pertandingan ketiga,” ujarnya. Liga yang dia maksud adalah Overwatch League. Meskipun begitu, dia membanggakan, musim kedua Overwatch League telah memiliki rating sekitar 18-34 persen lebih tinggi dari olahraga tradisional. “Tidak ada yang perlu kami khawatirkan. Tentu saja, masalah untung sangat tergantung pada ketetapan masing-masing perusahaan, tapi kami siap untuk bermain untuk jangka panjang.”

Sementara itu, menurut Sarah Iooss, Head of Sales, Americas, Twitch,  memberikan waktu pada perusahaan untuk mempertimbangkan apakah mereka memang ingin menanamkan investasi di esports bukanlah hal yang buruk. Dia juga mengatakan, Twitch selalu berusaha untuk mengumpulkan data dari audiens. “Saat ini, data tersebut memang belum terkait langsung dengan pengiklan di dalam kategori esports. Tapi itu berarti, masih ruang dan kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan untuk masuk dalam esports,” ungkapnya. Dia menjelaskan, kerja sama antara pelaku esports dengan perusahaan non-endemik layaknya membangun rumah. “Dimulai dari hal kecil, lalu perlahan tapi pasti, membangun kerja sama dengan saling mendengarkan dan mencoba untuk menemukan metode yang sukses,” katanya.

Sarah Iooss. | Sumber: CTA via VentureBeat
Sarah Iooss. | Sumber: CTA via VentureBeat

Meskipun jumlah penonton esports memang banyak dan masih terus bertambah, bukan berarti industri olahraga tradisional, seperti basket, sudah mati. Menurut Bryan de Zayas, Global Director of Marketing, Dell, salah satu alasan mengapa industri olahraga tradisional lebih besar dari esports adalah karena umurnya yang telah lebih tua. Meskipun begitu, dia percaya bahwa esports akan bisa mengejar ketertinggalannya, terutama karena kita sekarang ada di era digital.

Sementara itu, Cella mengatakan, berbeda dengan pertandingan olahraga tradisional, sejak awal, ekspektasi untuk memonetisasi turnamen esports sudah tinggi. “Dulu, masyarakat tak memiliki ekspektasi yang sama akan ekspektasi mereka untuk turnamen esports sekarang. Turnamen olahraga pada awalnya diadakan sebagai cara untuk menyelenggarakan pertandingan olahraga sebelum tumbuh menjadi industri besar. Sekarang, kita ada di era dimana ekspektasi akan monetisasi turnamen esports sangat tinggi,” ujar Cella. Dia mengaku tidak keberatan dengan tingginya ekspektasi tersebut karena Activision Blizzard memang percaya, esports memiliki potensi besar. Menurutnya, salah satu keuntungan game adalah game sangat mudah untuk diakses. Jika sebuah developer merilis sebuah game, maka game itu akan bisa diakses oleh semua orang di dunia selama dia memiliki perangkat dan internet.

Grace Dolan. | Sumber: VentureBeat
Grace Dolan. | Sumber: VentureBeat

Grace Dolan, VP of Home Entertainment Integrated Marketing, Samsung Electronics America mengaku, dalam diskusi panel, Samsung adalah merek yang paling tidak ada kaitannya dengan game dan esports. Dia mengatakan, tidak semua perusahaan telah siap untuk menanamkan investasi di bidang esports. “Saya rasa, semua orang masih belum merasa nyaman untuk menanamkan investasi di esports. Alasannya karena belum ada satu orang pun yang tahu cara yang benar untuk menanamkan investasi, karena memang belum ada infrastruktur yang baik. Lain halnya dengan olahraga tardisional. Masing-masing olahraga memiliki segmen audiens tersendiri,” ujarnya. Dia mengungkap, sama seperti olahraga tradisional, masing-masing game esports menarik audiens yang berbeda. Misalnya, karakteristik fans game racing Forza berbeda dari penggemar Overwatch. Sayangnya, di dunia esports, segmentasi para penonton baru mulai dilakukan.

Bagi perusahaan yang tertarik untuk masuk ke esports, Dolan menyarankan untuk menentukan target audiens terlebih dulu. “Apakah target audiens untuk merek Anda memang ada di dunia esports, apakah di Overwatch League atau game lain?” ujarnya. Selain itu, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah return of investment. “Apa yang ingin Anda dapatkan dari investasi Anda?” Dia mengungkap, satu kelebihan game adalah karena ia berbentuk digital. “Mudah untuk melihat jangkauan Anda, jumlah impresi yang Anda dapatkan. Setelah itu, Anda tinggal bereksperimen.” Dia mengungkap, untuk bisnis monitor dan SSD Samsung, kerja sama mereka dengan Twitch berupa membuat PC di dunia nyata. “Kami tidak tahu apakah orang-orang akan suka dengan itu. Tapi ternyata, mereka menyukainya,” ujarnya. Dia menyarankan, perusahaan yang hendak masuk ke ranah esports untuk melakukan percobaan sebelum memutuskan untuk masuk lebih dalam.

Josh Cella. | Sumber: VentureBeat
Josh Cella. | Sumber: VentureBeat

Iooss menyetujui perkataan Dolan. Kunci sukses kolaborasi antara merek non-endemik dan pelaku esports memang kesediaan untuk saling mendengarkan, baik penonton dan tim internal Twitch, dan berubah. Dia juga mengatakan, tidak ada yang perlu ditakuti ketika sebuah perusahaan hendak memasuki ranah esports. “Kami sering berkata pada rekan kami untuk mencoba masuk ke platform kami. Anda akan dapat menjangkau orang-orang berumur 18 sampai 34 tahun. Coba lakukan sesuatu yang kreatif,” ujarnya.

Cella menambahkan, Activision Blizzard bekerja sama perusahaan riset dan intelijen untuk memastikan bahwa data tentang liga esports mereka yang mereka berikan pada calon rekan atau sponsor mereka memang valid. “Sejak awal, kami meminta Nielsen untuk menghitung AMA (Average Minute Audience), memungkinkan calon rekan atau sponsor untuk membandingkan rating liga Overwatch dengan olahraga tradisional untuk demografi tertentu. Kita juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan intelijen lain, dan kami membayar mereka semua sendiri. Karena kami tahu, pada awalnya, perusahaan pasti akan merasa ragu. Sampai sekarang, keraguan itu masih ada. Kami mau melawan itu semua dengan menyediakan tool untuk menghitung investasi perusahaan dan memastikan semua investor merasa aman.”

Dell Pamerkan Laptop Berlayar Lipat dan Berlayar Ganda, Concept Ori dan Concept Duet

Lenovo ThinkPad X1 Fold rupanya bukan satu-satunya foldable laptop yang tengah dipamerkan di ajang CES 2020. Dalam kesempatan yang sama, Dell pun turut menyingkap foldable laptop versinya sendiri, tidak ketinggalan juga sebuah laptop berlayar ganda ala Microsoft Surface Duo.

Dell menamai foldable laptop-nya Concept Ori, dan sesuai namanya, Dell belum punya rencana untuk memproduksinya secara massal. Namanya berasal dari kata “origami”, sebab seperti halnya ThinkPad X1 Fold, layar milik Concept Ori juga bisa dilipat dengan mudah. Ukuran layarnya pun mirip di angka 13 inci.

Dell Concept Ori

Dell tidak membeberkan terlalu banyak detail mengingat perangkat ini baru berstatus konsep, namun premis yang ditawarkan sejatinya tidak jauh berbeda dari besutan Lenovo. Dari kacamata sederhana, anggap saja Dell Concept Ori maupun Lenovo ThinkPad X1 Fold sebagai tablet Windows yang dapat dilipat saat sedang tidak digunakan.

Dell Concept Duet

Untuk yang berlayar ganda, Dell menamainya Concept Duet. Sama-sama berstatus konsep, kedua perangkat ini mencerminkan kesiapan Dell untuk menyambut era baru di industri laptop. Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan terkait status konsepnya adalah sistem operasi; Microsoft belum merilis Windows 10X secara resmi, sehingga wajar apabila Dell memilih untuk menunggu.

Concept Duet sendiri punya banyak kemiripan dengan Surface Duo. Sepasang layar 13,4 incinya disambungkan oleh engsel 360 derajat, dan keduanya sama-sama mendukung input via sentuhan jari atau stylus. Juga mirip dengan Surface Duo adalah aksesori keyboard Bluetooth yang dapat dipasangkan ke salah satu layarnya, menutupi separuh bagiannya.

Dell Concept Duet

Sejauh ini Dell belum menyinggung soal ketersediaan sama sekali. Seperti yang saya bilang, kemungkinan besar Dell menunggu Windows 10X diluncurkan secara resmi, atau bisa juga mereka ingin melihat dulu bagaimana respon publik terhadap Lenovo ThinkPad X1 Fold dan Microsoft Surface Duo sebelum ikut berpartisipasi.


Sumber: SlashGear dan Dell.

Alienware Pamerkan Pesaing Nintendo Switch, Concept UFO Namanya

Dalam waktu singkat, Nintendo Switch sukses menggaet jutaan pengguna karena ia sanggup menawarkan apa yang tak dapat diberikan oleh Xbox One dan PS4: fleksibiltas untuk digunakan di mana pun serta kemampuan buat menyajikan konten ala home console tradisional. Dari sisi spesifikasi dan software, Switch bukanlah perangkat berperforma istimewa, dan Dell melihat ada celah yang bisa mereka isi.

Di CES 2020, Alienware memamerkan Concept UFO, perangkat gaming hybrid yang sangat terinspirasi dari Nintendo Switch – baik dalam hal desain maupun penyajian. Aspek utama yang membedakan Concept UFO dari Switch adalah pemanfaatan komponen PC tulen serta OS Windows 10, membuatnya jadi hardware gaming super-fleksibel dengan akses ke puluhan ribu permainan dan beragam pilihan platform distribusi digital.

Alienware Concept D 1

Alienware Concept UFO disajikan layaknya Switch dengan penampilan yang sedikit lebih bersudut. Di mode handheld, layar diapit oleh rangkaian tombol dan stik analog. Seperti biasa, direction pad berada di kiri dan action button di kanan, lalu tersedia pula dua pasang tombol trigger di area atas. Bagian controller bisa dilepas dari modul layar, namun tak seperti Switch, mereka tidak bisa bekerja secara individual dan membutuhkan unit bridge buat menyambungkan keduanya.

Ketika controller sudah terpasang ke bridge, mode wireless segera aktif. Selanjutnya, modul layar bisa berdiri berbekal stand built-in. Concept UFO menyuguhkan display yang lebih canggih dibanding Switch, memiliki luas 8-inci beresolusi 1200p (versus 6,2-inci 720p). Selain itu, Concept UFO juga didukung oleh unit dock yang memungkinkan perangkat tersambung ke televisi dan lebih banyak input kendali. Terdapat pula fitur screen sharing dan konektivitas fisik berupa port USB type-C serta Thunderbolt.

Alienware Concept D 2

Perlu diketahui bahwa docking Concept UFO tidak seperti milik Switch. Ukurannya lebih besar, dan dirancang sebagai ‘tempat duduk’ bagi modul utama/layar. Saat artikel ini ditulis, Dell belum mengungkap detail terkait spesifikasi Concept UFO. Lewat Twitter-nya, chief architect AMD Frank Azor mengonfirmasi bahwa perangkat ini mengusung teknologi Ryzen (sebelum bergabung ke AMD, Azor ialah GM Alienware).

Saya sendiri penasaran apakah Concept UFO punya karakteristik seperti Switch, terutama terkait performa hardware? Di mode portable, game Switch dijalankan di resolusi HD serta frame rate yang cenderung rendah, dan baru memperoleh dongkrakan kinerja ketika dipasangkan ke dock. Apakah kondisi serupa terjadi di Concept UFO? Selain itu, Dell juga belum mengungkap informasi soal daya tahan baterai dari gaming PC handheld mereka ini.

Alienware Concept D 3

Dan seperti yang bisa Anda lihat dari namanya, status Concept D saat ini baru berupa konsep. Itu berarti, belum dapat dipastikan apakah Concept D akan diangkat jadi produk konsumen atau tidak, dan masih terlalu cepat untuk bertanya mengenai harganya…

Via Tom’s Hardware. Gambar: The Next Web.

Dell Perkenalkan Komputer Desktop Kecil untuk Bisnis: OptiFlex 7070 Ultra

Dengan berkembangnya jaman, ternyata dimensi dari sebuah komputer sangat diminati pada dunia enterprise. Oleh karena itu, semua vendor berlomba-lomba untuk mengeluarkan komputer dengan dimensi yang ringkas. Hal tersebut yang membuat PC seperti All-in-One, NUC, dan MiniPC semakin laku di pasar Indonesia dan dunia.

Dell OptiFlex 7070 - Launch

Namun, ternyata masih banyak konsumen yang menginginkan antara monitor dan desktop yang dipisahkan. Selain itu, banyaknya kabel komputer sering membuat orang menjadi pusing. Terakhir, luasnya ruang di meja saat hadirnya sebuah komputer pun menjadi impian sebagian besar orang.

Dell OptiFlex 7070 - Bongkar Pasang

Oleh karena itu, Dell menciptakan komputer baru yang ditujukan untuk para pebisnis, yaitu OptiFlex 7070 Ultra. Dell pun mengadakan acara peluncuran pada restoran De Luca Plaza Senayan pada tanggal 28 November 2019.

Jika dilihat setelah dirakit, OptiFlex 7070 Ultra terlihat seperti kebanyakan komputer All-in-One pada umumnya. Namun, OptiFlex 7070 Ultra terpisah antara modul desktop dengan monitornya. Untuk mesin komputernya sendiri, diletakkan pada penyangga monitor yang ada. Nantinya, hanya ada satu kabel yang menancap dari desktop ke monitornya, yaitu USB-C dengan Display Port 1.2.

Dell OptiFlex 7070

Spesifikasi dari Dell OptiFlex 7070 Ultra ada sebagai berikut

Prosesor Intel 8th Gen Whiskey Lake U Series
GPU Intel UHD sampai 3 monitor
RAM DDR 4 2400 MHz sampai 64 GB, default 4 GB
Storage SSD NVMe 1 TB atau 2 TB HDD
OS Windows 10
PSU 65 watt dengan dukungan USB-C Power Delivery

Dell OptiFlex 7070 - Compute

Jika spesifikasinya dilihat, Dell memang sengaja masih menggunakan Intel Whiskey Lake. Hal tersebut berkaitan dengan dimensi SoC yang mereka gunakan. Selain itu, penggunaan prosesor seri U juga berkaitan dengan pemakaian listrik yang hemat dari sebuah kantor.

Dell pun mengatakan bahwa OptiFlex 7070 Ultra ini sudah tersedia di Indonesia. Mereka mematok harga mulai dari Rp. 9.900.000, belum termasuk monitornya.

Gunakan Intel Core 10th Gen, Dell Gelontorkan Empat Laptop Baru

Beberapa bulan yang lalu, Intel mulai melengkapi prosesor mereka yang termasuk dalam generasi ke 10, yaitu Intel Ice Lake dan Cascade Lake. Keduanya memiliki arsitektur yang berbeda, namun dijadikan dalam satu generasi oleh Intel. Kelas Ice Lake tentu lebih baik dari Cascade Lake dan mengusung proses pabrikasi 10 nm berbanding 14 nm.

Pada akhirnya, laptop yang menggunakan prosesor generasi ke 10 dari Intel ini datang. Kali ini, Dell adalah yang memasukkan laptop-laptop mereka dengan prosesor baru tersebut. Dell juga mengaku bahwa laptop yang mereka luncurkan kali ini masuk dalam verifikasi Project Athena buatan Intel.

Dell XPS Inspiron 10Gen - Launch

Dell mengundang DailySocial dalam sebuah acara peluncuran yang diadakan pada Ballroom Thamrin Nine, Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2019 lalu. Pada acara tersebut Dell meluncurkan laptop dari seri XPS dan Inspiron.

Pada seri XPS, Dell meluncurkan XPS 13 2 in 1 7390 yang menggunakan prosesor Intel Ice Lake, yang pertama digunakan oleh perusahaan asal Amerika ini. Seri ini juga mengusung baterai yang dapat bertahan hingga 10 jam pada layar UHD+. Selain itu, laptop ini juga menggunakan AX1650 dengan cip WiFi 6 dari Intel yang lebih kencang 3x lipat.

Dell XPS Inspiron 10Gen - XPS 13

Dengan menggunakan Intel Core i7 1065G7, laptop ini secara otomatis juga menggunakan IGP Iris Plus dengan 64 EU. Penyimpanannya juga sudah menggunakan SSD NVMe PCIe 3.0 x4 dengan kapasitas hingga 1 TB. Untuk RAM, Dell menggunakan tipe LPDDR4x 3733 MHz dengan kapasitas sampai 32 GB. Harganya sendiri adalah Rp. 39.999.000 untuk 16GB/512GB dan Rp. 44.999.000 32GB/1TB.

Pada seri Inspiron, ada tiga laptop yang diperkenakan. Yang pertama adalah Inspiron 2 in 1 7391. Laptop ini juga menggunakan pena sebagai stylus untuk menggambar pada layarnya. Berbeda dengan XPS, tipe Inspiron menggunakan Intel Cascade Lake.

Dell XPS Inspiron 10Gen - Inspiron 7000

Untuk Inspiron 2 in 1 7391 menggunakan Intel Core i5 10210U atau i7 10510U. Cascade Lake tidak menggunakan IGP IRIS, namun menggunakan Intel UHD. RAM yang terpasang adalah DDR4 dengan kecepatan 2400 MHz berkapasitas 8 dan 16 GB. Penyimpanannya menggunakan SSD M.2 PCIe  NVMe. Harga jualnya mulai dari Rp. 17.199.000 sampai dengan Rp. 25.999.000.

Yang Selanjutnya adalah Dell Inspiron 5490 dan 5391 yang menggunakan form factor Clamshell. Untuk 5490, prosesor yang dugunakan sama dengan 7391, namun untuk 5391 ada tambahan, yaitu Core i3 10110U. Keduanya juga datang dengan pilihan menggunakan grafis IGP atau NVIDIA GeForce MX250 (5391) dan MX230 (5490).

Dell XPS Inspiron 10Gen - Inspiron 5490

Untuk 5490, Dell menjualnya dari harga Rp. 11.599.000 sampai dengan Rp. 14.999.000. Sedangkan untuk 5391, Dell menjual dari harga Rp. 8.799.000 hingga Rp. 15.399.000.

Saya sempat mencoba mengutak atik XPS 13 2 in 1 7390 pada saat acara peluncuran tersebut. Memang laptop yang satu ini terasa ringan saat diangkat. Sayang memang, belum banyak aplikasi yang diinstal sehingga pengunjung hanya dapat mencoba sebatas Windows 10 saja. Akan tetapi, memang laptop ini terasa responsif.

Dell XPS Inspiron 10Gen - Inspiron 5390

Dell Singkap Alienware 55, Monitor Gaming dengan Layar OLED 55 Inci

Pada ajang CES bulan Januari lalu, Dell sempat mendemonstrasikan sebuah monitor gaming dengan layar OLED 55 inci. Lompat ke event Gamescom baru-baru ini, produk tersebut akhirnya telah dirilis secara resmi di bawah nama Alienware 55.

Monitor dengan ukuran layar yang masif bukan lagi spesies yang langka dewasa ini, utamanya sejak Nvidia menyingkap konsep Big Format Gaming Display (BFGD) tahun lalu, disusul oleh implementasi sejumlah pabrikan, macam HP Omen X Emperium 65 misalnya. Namun kalau layar berukuran raksasa itu ternyata merupakan panel OLED, barulah bisa disebut langka.

Itulah yang menjadi daya tarik utama Alienware 55. Layar dengan bentang diagonal 55 incinya merupakan panel OLED beresolusi 3840 x 2160 pixel, dengan tingkat kecerahan maksimum 400 nit dan rasio kontras 130.000:1. Seperti yang kita tahu, kelebihan utama panel OLED dibanding LCD biasa adalah kemampuannya menyajikan warna hitam yang begitu pekat.

Alienware 55

Yang disayangkan, Dell sama sekali tidak menyinggung soal dukungan konten HDR pada monitor ini. Panelnya memang OLED yang unggul perihal reproduksi warna (98,5% spektrum warna DCI-P3), tapi tidak ada keterangan soal dukungan format HDR10 atau Dolby Vision, dan ini bisa menjadi deal-breaker buat para konsumen yang tertarik menggunakannya untuk menonton di samping gaming.

Terlepas dari itu, Alienware 55 tidak mengecewakan perihal performa. Refresh rate maksimum yang didukung adalah 120 Hz, dan ia pun kompatibel dengan teknologi variable refresh rate FreeSync buat para pengguna GPU AMD. Urusan audio, terdapat sepasang speaker 14 W yang Dell rancang bersama Wave Maxx Audio.

Alienware 55

Konektivitasnya mencakup DisplayPort 1.4, tiga input HDMI 2.0, empat port USB 3.1 Gen 1, headphone jack dan S/PDIF audio line-out. Dell pun tak lupa menyertakan sebuah remote control bagi yang hendak memperlakukan monitor ini sebagai TV.

Rencananya, Alienware 55 bakal dipasarkan mulai 30 September mendatang seharga $4.000. Mungkin ia bisa menjadi fasilitas tambahan yang menarik buat kamar hotel spesial “Alienware Room” di Hilton Panama.

Sumber: The Verge dan Anandtech.

Sasar Kelas Mainstream, Laptop Gaming Dell ‘New’ G7 15 Andalkan Lengkapnya Fitur

Meski pilihan perangkat khusus gamer PC nomaden kian bertambah banyak, ada indikasi bahawa penjualan laptop gaming di periode akhir 2018 berada di bawah ekspektasi produsen. Memang ada indikasi konsumen menahan pembelian karena mereka menanti refresh hardware ke generasi baru. Itu sebabnya para pemain utama di ranah ini ingin menghadirkan perangkat anyar secepat-cepatnya ke pasar.

Namun Dell sepertinya mengambil strategi yang sedikit berbeda dalam berkiprah di Indonesia. Di segmen gaming, senjata andalan perusahaan PC asal Amerika itu ialah Alienware, sebuah brand lawas yang sangat disegani. Sayangnya, perjalanan Alienware di tanah air sudah lama terhenti. Dell baru masuk ke ranah gaming beberapa tahun silam, dan saat itu mereka malah mencoba menyasar kelas mainstream dan entry-level. Arahan itu terus berlanjut sampai sekarang.

G7 1

Setelah sempat bereksperimen lewat ‘Inspiron Gaming’, Dell mematangkan branding mereka dengan memperkenalkan G Series tahun lalu. Dan minggu kemarin, perusahaan resmi meluncurkan varian New G7 15 7590. Dell menjelaskan bahwa perangkat anyar ini merupakan cara mereka ‘memenuhi permintaan konsumen lokal berkat tumbuh pesatnya pasar gaming PC’. Laptop disiapkan bagi gamer yang menginginkan produk terjangkau berkinerja tinggi.

G7 15

 

Dell G7 15 7590 ialah laptop berlayar 15,6-inci yang dibekali kartu grafis Nvidia GeForce RTX 2060 dan prosesor Intel Core i7-8750H. Display-nya mengusung resolusi full-HD serta ditopang refresh rate 144Hz dan teknologi G-Sync yang berguna meminimalkan efek tearing dan stuttering. Di atas kertas, spesifikasi ini sama sekali tidak buruk. Kinerja laptop Dell tunjukkan langsung dengan menjalankan Devil May Cry 5, Resident Evil 2 remake dan Monster Hunter: World. Semuanya berjalan lancar.

G7 5

 

Upgrade yang Dell terapkan

Desain biasanya bukanlah aspek prioritas bagi sebuah perangkat yang ditujukan bagi konsumen entry-level, tapi tak berarti Dell G7 15 tampil mengecewakan. Ia memang bukan notebook gaming tertipis, teringan atau paling portable yang Dell miliki, namun New Dell G7 menyuguhkan satu paket lengkap buat kebutuhan gaming – baik dari sisi fitur, software maupun hardware.

G7 4

Di varian baru ini, tim desainer memangkas bingkai, membuat lebar bezel  berada di bawah satu sentimeter. Selanjutnya, engsel layar diposisikan di sisi atas chassis sehingga menyisakan bidang lapang di sisi belakang untuk menempatkan port-port fisik. Tombol power bisa Anda temukan di bagian tengah, dekat display. Selain buat menyalakan laptop, tombol tersebut berperan pula sebagai pemindai sidik jari.

G7 11

Konstruksi New Dell G7 15 berpedoman pada ‘desain side wall‘. Dilihat dari samping, tubuhnya menajam ala jajaran genjang. Penampilannya terlihat mirip seperti versi G7 15 5590, tapi Dell memang terus berupaya untuk menekan ketebalannya. Lewat model 7590, produsen berhasil mencetak rekor baru. Laptop gaming tersebut kini mempunyai tebal 19,9-milimeter – 4mm lebih tipis dari pendahulunya.

G7 6

Melengkapi aspek penampilan, Dell turut mencantumkan pencahayaan RGB pada papan ketik. Sistemnya mengusung tipe zona, terbagi jadi empat area yang bisa Anda kustomisasi. Sebelumnya, laptop gaming G7 15 hanya mengusung keyboard backlight LED satu warna.

G7 9

Pembaruan juga Dell terapkan pada sistem pendingin. New G7 15 memanfaatkan solusi thermal anyar dengan teknologi kipas ganda yang dipadu ventilasi berukuran raksasa ‘demi memastikan laptop tetap dingin saat dipakai untuk menjalankan permainan-permainan paling berat sekalipun’. Udara akan dihisap dari lubang-lubang di bagian bawah, dialirkan ke dalam, lalu dibuang melalui grille di sisi belakang serta samping.

G7 8

Satu fitur lain yang Dell coba sorot adalah Killer Networking. Berkat dukungannya, G7 15 mampu memprioritaskan arus pengiriman data saat Anda tengah menikmati multiplayer, baik via kabel maupun wireless. Untuk koneksi nirkabelnya sendiri, WLAN 2×2 dan Wi-Fi 802.11ac dijanjikan sanggup memastikan kelancaran bermain serta komunikasi yang bebas gangguan.

G7 12

 

‘Warisan’ Alienware

Belum diketahui pasti apakah Dell punya niatan untuk menghadirkan kembali Alienware ke Indonesia. Kabar baiknya, konsumen lokal diperkenankan mencicipi potongan kecil pengalaman menggunakan Alienware lewat Alienware Command Center. Ia adalah sebuah software buat mengakses segala macam fitur di laptop, menyajikan user interface yang intuitif dan mudah dipahami. Melaluinya, Anda bisa melakukan berbagai pengaturan, mengubah mode pemakaian hingga mengutak-atik setting power.

G7 10

 

Playing catch-up

Keseimbangan antara harga serta performa ialah pertimbangan penting bagi saya, dan Dell G7 15 7590 merupakan sebuah perangkat penuh potensi. Produk gaming mainstream dari brand Amerika ini menyajikan kombinasi antara susunan hardware memuaskan, lengkapnya fitur, serta harga yang kompetitif (dijajakan seharga mulai dari Rp 27,9 juta).

G7 7

Tapi perlu dimaklumi jika New G7 15 terasa tak menyuguhkan suatu terobosan signifikan. Saya bahkan mendapatkan kesan bahwa Dell masih mencoba menemukan pijakan di pasar gaming tanah air. Ada banyak hal yang harus perusahaan lakukan buat mengejar ketinggalannya dari brand-brand kompetitor, apalagi ketika nama-nama seperti Asus, Lenovo, Acer dan MSI punya penawaran yang lebih atraktif – dari mulai desktop replacement monster, model-model mainstream, hingga varian ultra-thin.

G7 2

Dell Umumkan Seri Laptop Bisnis Latitude Terbaru ke Indonesia

Buat Anda yang terus bergerak, sering bepergian, dari satu pertemuan ke rapat lainnya, ataupun bekerja secara remote – Dell Technologies telah memperkenalkan jajaran laptop Latitude terbaru untuk memenuhi kebutuhan komputasi pekerja modern.

Laptop bisnis Latitude ini dirancang ulang dengan dimensi lebih ramping sehingga mudah dibawa. Serta, bertujuan untuk membantu para pengguna bisnis bisa produktif lebih cepat dan lebih lama, kapan pun, di mana pun dan bagaimana pun cara mereka bekerja.

Dell-Latitude

Portofolio Dell Latitude generasi ke-10 ini telah tersedia di Indonesia, berikut daftar harganya:

  • Latitude 3300, harga mulai dari Rp 7.900.000
  • Latitude 3400, harga mulai dari Rp 8.200.000
  • Latitude 5300, harga mulai dari Rp 15.100.000
  • Latitude 5400, harga mulai dari Rp 17.400.000
  • Latitude 7400, harga mulai dari Rp 19.650.000
  • Latitude 7300, harga mulai dari Rp 21.200.000
  • Latitude 7400 2-in-1, harga mulai dari Rp 27.500.000

Ada tiga seri laptop Dell Latitude yang dirilis yaitu Latitude 3000, Latitude 5000, dan Latitude seri 7000. Latitude 3000 merupakan laptop bisnis pemula yang terjangkau oleh berbagai level perusahaan.

Sementara, Latitude 5000 merupakan laptop bisnis yang menawarkan berbagai fitur bisnis dan konfigurasi. Seperti opsi layar sentuh beresolusi HD dan Full HD, serta prosesor Intel Core generasi ke-8 dengan grafis diskret opsional untuk mengerjakan tugas-tugas berat.

Lalu, Latitude 7000 merupakan laptop kelas bisnis premium. Laptop ini dirancang dengan daya tahan baterai selama mungkin untuk digunakan. Dari semua model yang dirilis, yang paling menarik perhatian ialah Latitude 7400 2-in-1.

Laptop dengan desain desain convertible dan berlayar sentuh 14 inci FHD yang pertama kali diperkenalkan di ajang CES di awal tahun ini mengusung fitur Express Sign-in.

Menurut Dell, Latitude 7400 2-in-1 merupakan laptop pertama di dunia yang menggunakan sensor proximity atau jarak dekat persembahan dari Intel Context Sensing Technology.

Dengan Express Sign-in, laptop akan mendeteksi keberadaan penggunanya, menyalakan sistem, dan langsung memindai wajah pengguna untuk login dengan Windows Hello.

Bila pengguna beranjak menjauh, laptop akan langsung mendeteksinya dan otomatis mengunci untuk menghemat daya tahan baterai dan sekaligus menjaga keamanan.

Dibentuk lebih ramping, Dell menyatakan tidak mengorbankan performa, daya tahan baterai, konektivitas, port atau fitur-fitur penting lainnya.

Daya tahan baterai Latitude diklaim sangat panjang dan yang lebih penting lagi dibekali fitur pengisian cepat yang disebut ExpressCharge – di mana bisa mengisi ulang baterai hingga 80% hanya dalam waktu satu jam.

Dell XPS 13 2-in-1 dan XPS 15 Generasi Baru Unggulkan Bezel Layar Tipis Tanpa Berkompromi Soal Letak Webcam

Kalau bukan karena Dell XPS 13, dunia mungkin bakal lebih terlambat mengenal laptop dengan bezel layar super-tipis. Namun sering kali sebuah terobosan harus berbuah kompromi, dan dalam kasus Dell XPS 13, komprominya adalah letak webcam di posisi yang jauh dari kata ideal.

Setelah hampir empat tahun, kompromi tersebut akhirnya berhasil dieliminasi. Pada ajang CES di bulan Januari kemarin, Dell menyingkap generasi terbaru XPS 13 dengan webcam yang berada di posisi ideal, dan di ajang Computex baru-baru ini, Dell turut menerapkannya pada XPS 13 2-in-1 beserta XPS 15.

Rahasianya terletak pada upaya Dell untuk merancang modul webcam-nya sendiri. Dengan diameter cuma 2,25 mm, modul webcam ini jauh lebih mungil dari biasanya, tapi di saat yang sama, kualitasnya tidak harus memburuk akibat keterbatasan ruang. Modul yang sama itu akhirnya juga mampir ke XPS 13 2-in-1 dan XPS 15.

Dell XPS 13 2-in-1

Menariknya, usaha Dell rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka juga membenahi sejumlah elemen desain XPS 13 2-in-1, mulai dari engsel yang lebih superior, sampai keyboard dan trackpad baru.

Keyboard-nya kini telah memanfaatkan teknologi MagLev seperti yang terdapat pada XPS 15 2-in-1, sedangkan ukuran trackpad-nya membesar. Secara keseluruhan, dimensi XPS 13 2-in-1 memang sedikit lebih besar ketimbang sebelumnya, akan tetapi ini juga dikarenakan oleh perubahan pada layarnya.

Di sini Dell menjejalkan panel 13,4 inci dengan aspect ratio 16:10 (sama lebarnya, tapi lebih tinggi). Pilihan resolusinya masih sama, antara full-HD atau 4K. Di sisi lain, XPS 15 yang juga telah mengemas webcam baru kini turut ditawarkan dalam varian berlayar OLED yang superior perihal reproduksi warna.

Dell XPS 15

Spesifikasinya tentu juga ikut mendapat penyegaran. Untuk XPS 13 2-in-1, Dell memercayakan prosesor Intel generasi ke-10 (Ice Lake) yang diklaim 2,5 kali lipat lebih bertenaga daripada sebelumnya. Varian termahalnya juga mencakup RAM 32 GB serta SSD PCIe 1 TB, dan baterainya sendiri diklaim bisa tahan sampai 16 jam pemakaian.

Untuk XPS 15, Dell mengandalkan prosesor 8-core Intel generasi ke-9, dan varian termahalnya yang mengusung layar OLED 4K juga bisa dikonfigurasikan dengan GPU Nvidia GTX 1650 beserta RAM sebesar 64 GB.

Rencananya, generasi anyar Dell XPS 13 2-in-1 ini bakal segera dipasarkan dengan harga mulai $999, sedangkan XPS 15 sudah mulai dijual dengan banderol mulai $999, atau paling murah $1.899 untuk yang mengusung layar OLED.

Sumber: Ars Technica dan The Verge.

Sepenuhnya Upgradeable, Alienware Area 51m Bisa Diibaratkan PC Berwujud Laptop

Peluncuran GPU Nvidia RTX versi mobile memicu kehadiran banyak laptop gaming baru. Kita sudah melihat persembahan dari Razer, dan kini giliran Dell yang unjuk gigi lewat brand Alienware miliknya.

Di panggung CES 2019, Dell resmi memperkenalkan Alienware Area 51m. Namanya boleh meminjam nama laptop pertama Alienware, akan tetapi Dell benar-benar merancangnya sebagai laptop gaming pamungkas, dan itu bukan semata diwakili oleh spesifikasi kelas atas saja.

Alienware Area 51m

Seperti yang saya bilang, GPU Nvidia RTX merupakan salah satu fitur yang diunggulkannya, dengan varian termahal yang mengemas RTX 2080 versi desktop yang sudah diciutkan fisiknya oleh Dell sendiri. Lalu di bagian prosesor, ada Intel Core i9-9900K, salah satu chip desktop tercepat Intel saat ini.

Namun yang membuat Area 51m sangat istimewa adalah, komponen-komponen itu tadi bisa konsumen ganti dengan yang baru layaknya sebuah PC. Ini berbeda dari mayoritas laptop gaming yang mengaku bersifat upgradeable, tapi pada kenyataannya hanya bisa diganti RAM dan komponen storage-nya saja.

Alienware Area 51m

Bicara soal RAM dan storage, Area 51m dapat dikonfigurasikan hingga mengemas RAM 64 GB DDR4 dan kombinasi storage 2 TB SSD + 1 TB hybrid drive. Beralih ke layar, pengguna akan disambut oleh layar 17,3 inci beresolusi 1080p, dengan pilihan refresh rate 60 atau 144 Hz, serta dukungan G-Sync dan Tobii eye tracking yang opsional.

Perihal konektivitas, Area 51m mengemas port Thunderbolt 3 (USB-C), 3x USB-A 3.1, HDMI 2.0, Mini DisplayPort, Ethernet 2,5 Gbps, dan port untuk menyambungkan Alienware Graphics Amplifier alias GPU eksternal.

Alienware Area 51m

Begitu perkasanya Area 51m, ia memerlukan dua adaptor sekaligus. Kendati demikian, kalau hanya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan ringan yang tidak membutuhkan kinerja CPU maksimal, pengguna cukup memasangkan satu adaptor saja. Baterainya sendiri memiliki kapasitas 90 Wh, tapi kita jelas tak boleh berharap banyak jika melihat spesifikasinya.

Semua ini tentunya harus ditebus dengan harga yang mahal ketika Dell mulai memasarkannya pada 29 Januari nanti. Varian termurahnya dibanderol $2.549, harga yang pantas untuk perangkat yang bisa diibaratkan sebagai PC berwujud laptop.

Sumber: The Next Web dan Engadget.