2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.

Jenius Kenalkan Fitur Moneytory, Berambisi Jadi Solusi Finansial Menyeluruh

BTPN mulai membentuk Jenius tak hanya sebagai realisasi visi bank digital, tetapi juga sebagai aplikasi finansial yang mudah bagi masyarakat. Mereka menyebutnya sebagai solusi “life finance”. Sejumlah fitur sudah ditambahkan sejak kemunculan pertamanya, yang paling baru mereka memperkenalkan fitur Moneytory. Fitur yang disiapkan untuk bisa membantu masyarakat digital savvy dalam mengelola cash flow mereka.

Pengelolaan cash flow atau pencatatan pengeluaran dan pemasukan dilakukan secara otomatis melalui aplikasi Jenius. Fitur Moneytory akan mencatat pemasukan dan pengeluaran dari transaksi uang masuk dan uang keluar di Saldo Aktif dan Kartu Debit Utama. Kemudian pengguna bisa mengetahui ringkasan kondisi finansial mereka.

Digital Banking Head Bank BTPN Irwan Tisnabudi menjelaskan, “Dalam mewujudkan kondisi finansial yang sehat, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah mengetahui cash flow yang dimulai dengan pencatatan finansial. Moneytory hadir sebagai personal financial management tool yang membantu para pengguna mencatat pengeluaran dan pemasukan secara otomatis melalui aplikasi Jenius. Fitur ini kami kembangkan berdasarkan masukan dan feedback dari proses ko-kreasi dan kolaborasi dengan masyarakat digital savvy Indonesia.”

Jenius dan inovasi bank digital di Indonesia

Jenius saat ini merupakan ujung tombak BTPN dalam hal inovasi digital. Sejumlah fitur yang datang belakangan ini tak hanya membuat nyaman penggunanya dalam hal akses layanan perbankan seperti menyimpan uang, berkirim uang, jual beli valuta asing, tapi juga sejumlah fitur lain yang melengkapi kegiatan finansial, seperti Moneytory salah satunya.

Di Indonesia sendiri layanan bank digital menjadi salah satu topik yang hangat untuk dibahas. Melihat bagaimana industri digital di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir bukan tidak mungkin suatu saat nanti bank akan berlomba-lomba dalam inovasi digitalnya. Tercatat, selain Jenius dan DigiBank nama-nama seperti BRI dan BCA sudah mulai ancang-ancang dalam menggarap bank digital mereka.

BRI tahun lalu memperkenalkan BRI Mobile yang diklaim sebagai produk digital banking mereka. Melalui aplikasi, masyarakat bisa membuka rekening dan melakukan berbagai macam kegiatan perbankan lainnya seperti transfer dan top up. BCA pun punya rencana yang sama. Setelah mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia, mereka akan segera masuk ke ranah bank digital. Direncanakan bank digital ini akan hadir 2020. Terbaru bank digital ini diberi nama Bank Digital BCA.

Persaingan bank digital di Indonesia segera dimulai. Dilihat dari sederet inovasi yang ada, bank digital ini tidak hanya menyasar masyarakat unbanked, tetapi juga masyarakat yang mencintai kemudahan banking tetapi juga mendambakan keamanan dalam transaksinya.

Application Information Will Show Up Here

Welcoming the Digital Bank in Indonesia

Banking, the oldest financial industry in the world, is now demanded to transform towards digital, both in service to consumers and in its operations. While on the external side they are also required to work closely with fintech startups so as not to be increasingly eroded by technological trends.

Many recognize, by utilizing digital technology can provide efficiency, because it does not merely rely on the quantity of physical and non-physical assets. So most of the solutions offered are disruptive, disrupting old habits.

Banks cannot rely on cooperation with third parties forever so that business does not erode. They are demanded to be more efficient by fully adopting digital, finally a newer banking model is known as digital bank (or virtual bank).

According to IBM, digital banks are different from other forms of digital banking because they are only online, do not have branch offices in a country. Consumer expectations from here are savings on bank facilities and staff which ultimately translates into higher interest rates for savings and lower interest rates for loans.

The most noticed difference is the emotional connection when visiting the branch office to interact, rent a safe, ask for bankers’ advice and so on.

Digital bank in Indonesia: Awaiting for legal umbrella

Indonesia is yet to have a legal umbrella related to the digital bank. The discourse has been spoken yet the formal framework is yet to be drafted. Currently, the most active digital banks are still under the name of conventional banks, such as BTPN Jenius (2016) and DBS Digibank (2017).

jenius 2019

Legal regulation regarding digital bank is accommodated by POJK Number 12 of 2018. As stated, the definition of digital banking services is a service developed by optimizing the utilization of customer data in order to serve customers faster, easier and in accordance with demands; and to be run independently by the customer, by taking into account the security aspects.

OJK also mentioned that providers are limited to banks that were at least categorized as commercial banks (BUKU) II or core capital ownership between IDR1 trillion to IDR5 trillion. Regulations regarding virtual banks or banks without physical presence have not been accommodated in the POJK.

dbsbank

The limitation aims for the regulator wants to ensure that all fundamentals carried out are in the guidelines of banking regulations. Entering the BUKU II category can influence the scope of business activities of the bank itself, the most influential is that they can start the payment system and e-banking activities without having to be limited if they are still in BUKU I category.

In terms of the services provided, either Jenius or Digibank have not really targeted the unbanked. The map of its distribution is strategically not directly mass but slowly entering big cities. For example, Jenius by the end of 2019, opened booths in Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, and of course Jakarta in its pilot project.

However, this is no longer an issue because Jenius is now facilitated with video call KYC, therefore, one can create an account without having to visit the booth. It’s an innovative feature, but it does not enough.

There must be an impact on unbanked society. It’s different from the current situation, fintech lending or payment expansion intends to make fast customer acquisition because there’s business “pie” where the banking industry has yet to cover.

Although the legal umbrella is yet to be drafted, based on the issued regulation, the digital bank map is getting crowded. Marked by the entrance of conglomerates, big-name investors, and startups are acquiring small banks since last year.

Salim Group took Bank Ina Perdana, Jerry Ng (senior banker) and Patrick Walujo (Northstar Group) towards Artos Bank, BCA to Bank Royal and Rabobank (to be merged into one of BCA’s subsidiaries), Akulaku to Bank Yudha Bhakti.

All actions above are yet to come to its peak, except Akulaku and Bank Yudha Bhakti. However, the preparations have begun. BCA, for example, has targeted Bank Royal to start a pilot project in the second half of this year and is ready to add Rp3 trillion capital to boost up its movements.

Meanwhile, Bank Artos has been occupied by BTPN’s former employees, effective as per November 15, 2019. They are Jerry Ng (President Commissioner), Anika Faisal (Board of Commissioners), Kharim Indra Gupta Siregar (President Director), Arief Harris Tandjung (Deputy Directors Main) and Peterjan van Nieuwenhuizen (Directors). This succession marks great hope to repeat the success of Jenius under the same leadership.

The close relationship between Patrick Walujo and Gojek has started a rumor of Bank Artos to become GoBank (Gojek’s banking). He said the rumor was not true. In a panel discussion forum, he mentioned there was a discussion to make use of the Gojek ecosystem with the employment of Bank Artos with expertise in banking.

However, it turned out the concept of Bank Artos did not exclusively involved as Gojek bank. Although, banks are specifically directed to become digital banks. “Because we see a demand that market alone cannot fulfill, in terms of the digital bank,” Patrick said while being a speaker at a conference in late January 2020.

Before investing in Bank Artos, Patrick had previously invested in BTPN in 2008, through TPG Nusantara, a joint venture with Trans Pacific Group. He bought 71% of  BTPN’s shares for $195 million (around Rp1.8 trillion then). The shares were released gradually until 2015, they secured Rp5.3 trillion by releasing 17.5% shares.

“I invite Jerry Ng to join and work on BTPN’s business. The bank entered the mass market, those small traders in traditional markets whose markets are large and well-developed, until the state-owned banks entered,” Patrick added.

When Bank Royal, Bank Artos, and Bank Yudha Bhakti have started, they’re expected to offer more variant products and facilitate the unbanked population.

According to the latest report of e-Conomy SEA 2019 by Google, Temasek and Bain & Company, there is 51% Indonesian population in the unbanked class, 26% underbanked, and 23% banked.

“There are lots of business players in need of funding, yet have difficulty in getting a loan from the bank due to collateral issues. The demand is quite potential for digital bank services,” Walujo said.

Hong Kong might be the best example, with eight digital banks actively run since the license has been issued in 2019. ZA Bank offers interest for a time deposit at a maximum of 6.8% for three months tenor for savings of 100 thousand Hong Kong dollar (around Rp176 million).

Unlike conventional banks, such as HSBC and Standard Chartered, which offers 2%-3% interest for high amount savings.

Managing Director VC Asset Management, Louis Tse Ming-Kwong said this is an effort of new players to increase brand awareness and acquire the customer base.

“the interest war is not limited to virtual banks, but encouraged conventional banks to respond in order to maintain market share,” he said.

Different cities, different growth

Regarding virtual banks, Indonesia is yet to create a legal umbrella. The requirement to create a digital bank can only available with a banking license. It’s unlike the two neighbor countries, Singapore and Malaysia.

Singapore issued five licenses for non-banking digital banks, two of those with full license and three for wholesale bank licenses. The announcement will be made in June 2020 and the five selected companies are expected to start their business immediately in mid-2021.

Requirements given by the Central Bank of Singapore are also different for each license. For a full license must meet the capital of 1.5 billion Singapore dollars and must be controlled by local people. They are allowed to provide a variety of financial services as well as to save savings from retail customers.

Meanwhile, wholesale banks allow those who want to serve SMEs and other non-retail segments. With minimum capital of 100 million Singapore dollars. Submissions are open to local and foreign companies.

There are 21 candidates competing for the license, both in the form of consortium and individuals. The interesting part, most of the submissions came from technology companies from China because the Central Bank of Singapore has opened this opportunity for non-banking.

lisensi singapura

The entrance of new players in the Merlion Country is not highlighting on the “new kid”, it’s rather the kind of service to offer. As the Professor of Information Systems at Nanyang Business School Boh Wai Fong said, new players are expected to be able to serve low-income people or new companies that cannot meet traditional bank credit requirements.

There are 38% of adults in Singapore who are underbanked, even though the country has been mature in terms of the financial industry, according to the 2019 e-Conomy report compiled by Google, Temasek, and Bain & Company.

In a helicopter view, the high interest of foreign technology players in Singapore indicates further penetration to the Southeast Asian market. Although this license will only be valid in Singapore, the business model is considered very feasible to be replicated in the region.

As important, Singapore does not have a digital bank at all. The country has been dominated by large banks such as DBS, UOB, and OCBC. The three, according to Boh, are already “too good for too long” and monopolize the market.

Malaysia also conducted the same contest by issuing five digital bank licenses. Submission is open to non-banks, bank is capable whether they want to separate the digital banks through joint ventures.

The neighbor country issued a draft exposure on the License Framework for Digital Banks as a way to promote the development of digital banks in line with directions taken by regulators in Singapore and Hong Kong. Both have issued similar work license frameworks in the past two years.

The Central Bank of Malaysia said the draft will be finalized in the first half of this year. At the same time, the application for a new license can be made for interested candidates.

Meanwhile, the Philippines has granted four digital bank licenses to CIMB Bank and ING Bank, Tonik and Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Except for RCBC, digital banks are run by regional banks. Thailand has already formed a digital bank named Timo which was established in 2016.

bankdigital


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Selamat Datang Bank Digital

Perbankan, industri finansial tertua di dunia, kini dituntut untuk bertransformasi menuju digital, baik dalam layanan kepada konsumen maupun pada operasionalnya. Sembari di sisi eksternal mereka juga dituntut untuk bekerja sama dengan startup fintech agar tidak semakin tergerus dengan tren teknologi.

Banyak yang mengakui, dengan memanfaatkan teknologi digital dapat memberikan efisiensi, karena tidak melulu mengandalkan kuantitas aset fisik maupun non-fisik. Makanya sebagian besar solusi yang ditawarkan bersifat disruptif, mengganggu kebiasaan lama.

Bank tidak bisa selamanya mengandalkan kerja sama dengan pihak ketiga saja agar bisnis tidak terkikis. Mereka dituntut untuk semakin efisien dengan sepenuhnya mengadopsi digital, akhirnya muncul model perbankan yang lebih baru  dikenal dengan bank digital (atau bank virtual).

Menurut IBM, bank digital berbeda dengan bentuk perbankan digital lain karena mereka hanya berbentuk online, tidak memiliki kantor cabang dalam suatu negara. Ekspektasi konsumen dari sini adalah penghematan fasilitas dan staf bank yang akhirnya diterjemahkan sebagai suku bunga yang lebih tinggi untuk tabungan dan suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman.

Perbedaan yang paling mereka rasa adalah hubungan emosional saat mendatangi kantor cabang untuk berinteraksi, menyewa brankas, meminta saran bankir atau sebagainya.

Bank digital di Indonesia: Masih menunggu payung hukum

Indonesia belum memiliki payung hukum terkait bank digital. Wacana pembuatan sudah ada, tapi kerangka kerja formal yang sayangnya belum ada. Saat ini, bank digital yang beroperasi masih di bawah bendera bank konvensional, yakni BTPN Jenius (2016) dan DBS Digibank (2017).

Payung mengenai bank digital baru diakomodasi oleh POJK Nomor 12 Tahun 2018. Dijelaskan, definisi layanan perbankan digital adalah layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan; serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah, dengan memperhatikan aspek pengamanan.

OJK juga menyebut bahwa penyedia ini hanya bisa dilakukan oleh bank yang minimal masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) II atau kepemilikan modal inti antara Rp1 triliun sampai Rp5 triliun. Peraturan mengenai bank virtual atau bank tanpa kehadiran fisik belum diakomodasi dalam POJK tersebut.

Limitasi ini dimaksudkan bahwa regulator ingin memastikan seluruh fundamental yang dilakukan berada dalam rambu-rambu aturan perbankan. Masuk BUKU II berpengaruh pada lingkup kegiatan usaha bank itu sendiri, yang paling berpengaruh adalah mereka dapat memulai kegiatan sistem pembayaran dan e-banking tanpa harus dibatasi apabila masih di BUKU I.

Dari segi layanan yang ditawarkan, Jenius maupun Digibank belum ada yang benar-benar menyasar kalangan unbanked. Peta persebarannya secara strategis tidak langsung massal melainkan perlahan-lahan masuk ke kota-kota besar. Misalnya, Jenius per akhir 2019, buka booth di Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, dan tentu saja Jakarta pada pilot project-nya.

Meski demikian, ini tidak lagi menjadi isu karena pembukaan rekening di Jenius sudah difasilitasi dengan layanan video call KYC, sehingga tanpa harus datang ke booth pun bisa menjadi nasabah. Fitur yang cukup inovatif, tapi tidak bisa berhenti di situ.

Harus ada dampak yang diberikan untuk nasabah unkanked. Beda ceritanya dengan kondisi saat ini, ekspansi startup fintech lending atau payment yang terlihat lebih cepat dalam menggaet target nasabahnya karena ada “kue bisnis” yang belum dijamah oleh perbankan.

Meski payung hukum belum ada, dengan berbekal aturan yang sudah diterbitkan, kini peta bank digital mulai ramai. Ditandai masuknya para konglomerasi, investor kelas kakap, hingga startup ramai-ramai akuisisi bank kecil sejak tahun lalu.

Salim Group sudah mencaplok Bank Ina Perdana, Jerry Ng (bankir senior) dan Patrick Walujo (Northstar Group) ke Bank Artos, BCA ke Bank Royal dan Rabobank (akan dilebur ke salah satu anak usaha BCA), Akulaku ke Bank Yudha Bhakti.

Seluruh aksi di atas belum menunjukkan taringnya, kecuali Akulaku dan Bank Yudha Bhakti. Namun persiapannya sudah mulai terasa. BCA misalnya sudah menargetkan Bank Royal mulai pilot project pada paruh kedua tahun ini dan siap menambah modal hingga Rp3 triliun agar geraknya semakin lincah.

Sementara, Bank Artos telah ditempati oleh orang-orang eks BTPN, efektif per 15 November 2019. Mereka adalah Jerry Ng (Komisaris Utama), Anika Faisal (Dewan Komisaris), Kharim Indra Gupta Siregar (Direktur Utama), Arief Harris Tandjung (Wakil Direksi Utama) dan Peterjan van Nieuwenhuizen (Direksi). Suksesi ini menandai bahwa ada harapan besar untuk mengulang kesuksesan Jenius di bawah pimpinan yang sama.

Hubungan yang erat antara Patrick Walujo dengan Gojek santer dirumorkan Bank Artos akan menjadi GoBank (perbankan milik Gojek). Ia menegaskan bahwa rumor tersebut tidak benar. Menurut pengakuannya, dalam suatu forum diskusi panel, memang sempat ada obrolan untuk pemanfaatan ekosistem Gojek dan pendayagunaan tim Bank Artos yang berpengalaman di perbankan.

Namun, pada akhirnya diputuskan bahwa konsep Bank Artos tidak masuk secara eksklusif menjadi bank Gojek. Meski, perbankan memang secara spesifik bakal diarahkan menjadi bank digital. “Karena kami melihat ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar yaitu dari sisi bank digital itu,” kata Patrick saat menjadi pembicara di suatu acara konferensi, akhir Januari 2020.

Sebelum berinvestasi ke Bank Artos, Patrick punya pengalaman berinvestasi di BTPN pada 2008, melalui TPG Nusantara, perusahaan patungan dengan Trans Pacific Group. Ia membeli 71% saham BTPN sebesar $195 juta (sekitar Rp1,8 triliun pada saat itu). Saham dilepas secara bertahap hingga 2015, nominal yang didapat adalah Rp5,3 triliun dengan melepas 17,5% saham.

“Saya mengajak Jerry Ng untuk bergabung dan membenahi bisnis BTPN. Bank tersebut masuk ke mass market yakni para pedagang kecil di pasar tradisional yang pasarnya besar dan berkembang dengan baik, sampai-sampai bank BUMN ikut masuk,” lanjut Patrick.

Apabila Bank Royal Bank Artos, dan Bank Yudha Bhakti mulai beroperasi, diharapkan ada penawaran produk yang lebih variatif dan mudah dipakai oleh masyarakat unbanked.

Menurut laporan termutakhir e-Conomy SEA 2019 yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%.

“Ada banyak pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan, namun kesulitan meminjam dana ke bank di antaranya karena tidak memiliki jaminan untuk diagunkan. Kebutuhan ini bisa jadi potensi layanan bagi bank digital,” sambung Patrick.

Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik, lantaran di negara ini sudah ada delapan bank digital yang beroperasi sejak lisensi diberikan sejak tahun 2019. ZA Bank menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga 100 ribu dolar Hong Kong (setara Rp176 juta).

Dibandingkan penawaran dari bank konvensional seperti HSBC dan Standard Chartered, bunga deposito yang ditawarkan antara 2%-3% untuk simpanan dengan nominal tinggi.

Strategi awal ini, menurut Managing Director VC Asset Management Louis Tse Ming-Kwong, merupakan upaya pemain baru unntuk meningkatkan brand awareness, sekaligus mendapatkan basis konsumen.

“Perang tarif mungkin tidak hanya terbatas pada bank virtual, tetapi mendorong bank konvensional untuk merespons mempertahankan pangsa pasar mereka,” ujarnya.

Beda negara, beda perkembangan

Bicara bank virtual, Indonesia memang belum punya payung hukumnya. Persyaratan untuk membuat bank digital baru bisa dilakukan apabila izin dasarnya adalah perbankan. Beda halnya dengan dua negara tetangganya, yakni Singapura dan Malaysia.

Singapura membuka lima lisensi sebagai bank digital untuk non perbankan, dengan rincian dua izin untuk lisensi penuh dan tiga lisensi bank wholesale. Pengumuman akan dilakukan pada Juni 2020 dan kelima perusahaan terpilih diharapkan dapat segera memulai bisnisnya pada pertengahan 2021.

Persyaratan yang diberikan Bank Sentral Singapura pun berbeda untuk masing-masing lisensi. Untuk lisensi penuh harus memenuhi modal senilai 1,5 miliar dolar Singapura dan harus dikendalikan oleh orang lokal. Mereka diizinkan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan serta menyimpan tabungan nasabah ritel.

Sedangkan, bank wholesale memungkinkan mereka yang ingin melayani UKM dan segmen non ritel lainnya. Modal minimum 100 juta dolar Singapura. Pengajuan terbuka untuk perusahaan lokal dan asing.

Ada 21 calon kandidat yang bersaing untuk mengantongi izin tersebut, baik berbentuk konsorsium maupun individu. Menariknya, kebanyakan pengajuan berasal dari perusahaan teknologi asal Tiongkok karena memang Bank Sentral Singapura membuka kesempatan ini untuk non perbankan.

Masuknya pemain baru di Negeri Singa ini bukan menitikberatkan pada “anak baru”, melainkan layanan seperti apa yang bakal mereka tawarkan. Menurut Profesor Sistem Informasi di Nanyang Business School Boh Wai Fong, pemain baru diharapkan bisa melayani orang-orang berpenghasilan rendah atau perusahaan baru yang tidak dapat memenuhi persyaratan kredit bank tradisional.

Ada 38% orang dewasa di Singapura yang masuk kategori underbanked, meski negara tersebut sudah masuk dalam tahap dewasa untuk industri keuangannya, menurut laporan e-Conomy 2019 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company.

Secara helicopter view, tingginya minat para pemain teknologi asing ke Singapura menandakan bahwa disinilah gerbang masuknya ke pasar Asia Tenggara lebih jauh. Meski lisensi ini hanya akan berlaku di Singapura, tapi model bisnisnya dianggap sangat layak untuk direplikasi di regional.

Perlu dicatat, Singapura belum memiliki bank digital sama sekali. Selama ini negara tersebut didominasi oleh bank besar seperti DBS, UOB dan OCBC. Ketiganya, menurut Boh, sudah “too good for too long” dan memonopoli pasar.

Malaysia juga melakukan kontes yang sama dengan Singapura, membuka lima lisensi bank digital. Pengajuan terbuka untuk non perbankan, perbankan itu sendiri apabila ingin memisahkan bank digitalnya dengan membentuk perusahaan patungan.

Negeri Jiran ini mengeluarkan draf paparan tentang Kerangka Lisensi untuk Bank Digital sebagai cara mempromosikan pengembangan bank digital sejalan dengan arahan yang diambil regulator Singapura dan Hong Kong. Keduanya telah menerbitkan kerangka lisensi kerja yang serupa dalam dua tahun terakhir.

Bank Sentral Malaysia menyatakan pihaknya akan menyelesaikan draf tersebut pada paruh pertama tahun ini. Bersamaan dengan itu, pengajuan lisensi baru bisa dilakukan untuk calon kandidat yang berminat.

Sementara itu, Filipina telah memberikan empat lisensi bank digital untuk Bank CIMB dan ING Bank, Tonik dan Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Kecuali RCBC, bank digital dijalankan oleh bank regional. Thailand pun juga sudah memiliki bank digital bernama Timo yang dirilis pada 2016.

Aspire Secures Funding Over 455 Billion Rupiah, to Introduce Neobank for SMEs

The startup developer for digital banking services (neobank) “Aspire” today (8/1) announced series A funding worth $32.5 million or around 455.4 billion Rupiah. Mass-Mutual Ventures led this round, including Arc Labs and the previous investors, such as Y-Combinator, Hummingbird, and Picus Capital.

Aspire is a Singapore-based startup which operates in various country, including Thailand, Vietnam, and Indonesia. The product works like a credit card (revolving credit line). With SMEs as the main target, they provide online registration. When it’s approved, they will have a limit for instant credit to take care of certain matters.

“Additional cost will be charged for cash withdrawal or payment transaction. Unlike the one-time loan, the amount given should be used right away. There’s no membership or annual fee,” Aspire Indonesia’s Head of Growth, Donnie Silalahi said.

The product is wrapped as AspireAccount. It has another job to help financial flow management for SMEs. There’s also a feature that allows business players receiving virtual payment. Later in this year, Aspire to launch a business credit card that connects all accounts.

Aspire developer team
Aspire developer team

“Aspire is developing a scalable banking infrastructure marketplace using service provider as the third party. We’ve been running the business under Indonesian law and partnered up with law consultant to keep on track with the regulation,” Silalahi said as he was asked about the company towards authority regulation.

They aim to reach 100 thousand consumers from business players. Indonesia is expected to be the major contributor along the path.

Target Aspire ingin capai 100 ribu konsumen dari kalangan pelaku usaha. Indonesia diharapkan dapat menjadi kontributor mayoritas untuk capaian tersebut.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aspire Raih Pendanaan Lebih dari 455 Miliar Rupiah, Hadirkan Layanan Neobank di Kalangan UKM

Startup pengembang layanan perbankan digital (neobank) “Aspire” hari ini (01/8) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $32,5 juta atau setara 455,4 miliar Rupiah. Mass-Mutual Ventures SEA memimpin babak investasi ini, dengan partisipasi Arc Labs dan investor sebelumnya seperti Y-Combinator, Hummingbird, Picus Capital.

Aspire adalah startup asal Singapura, namun saat ini sudah beroperasi di berbagai negara, termasuk Thailand, Vietnam dan Indonesia. Produknya sendiri bekerja seperti kartu kredit (lini kredit bergulir). Pelaku UKM sebagai target pasar utamanya, dapat melakukan pendaftaran secara online. Ketika disetujui, mereka akan memiliki batas kredit instan yang bisa dipakai untuk berbagai keperluan.

“Biaya hanya dibebankan terhadap jumlah dana yang ditarik atau digunakan untuk pembayaran. Tidak seperti pinjaman satu kali waktu, jumlah yang diberikan harus langsung dipakai. Dan juga tidak ada biaya keanggotaan atau layanan tahunan,” terang Head of Growth Aspire Indonesia Donnie Silalahi.

Produk tersebut dikemas dalam layanan AspireAccount. Manfaat lain untuk UKM adalah membantu pengelolaan arus kas bisnis. Fitur di dalamnya juga memungkinkan pebisnis penerima pembayaran secara virtual. Sebelum akhir tahun Aspire akan segera merilis produk kartu kredit bisnis yang dapat terhubung di setiap akun.

Aspire
Tim pengembang Aspire

“Yang Aspire sedang bangun adalah marketplace infrastruktur perbankan yang scalable dengan memanfaatkan penyedia layanan keuangan pihak ketiga. Kami menjalankan operasional sesuai hukum Indonesia dan bekerja sama dengan penasihat hukum kami untuk mematuhi ketentuan yang mana diperlukan,” terang Donnie ketika disinggung soal kepatuhan perusahaannya terhadap regulasi otoritas.

Target Aspire ingin capai 100 ribu konsumen dari kalangan pelaku usaha. Indonesia diharapkan dapat menjadi kontributor mayoritas untuk capaian tersebut.

BCA Plans to Develop “Digital Bank”

In an interview with GlobeAsia, Jahja Setiaatmadja, President Director of Bank Central Asia (BCA), said the plan to make an acquisition over two small banks or creditors, one of which was prepared to be a digital bank. It’s BCA’s strategy to face the digitization of the banking industry.

It’s now the time for BCA, as one of the largest banks in Southeast Asia, to present a digital bank. There are several kinds in Indonesia, such as Jenius by BTPN and Digibank by DBS which registration and account ownership processes don’t require physical presence.

The banking services transformation is certain. In several sectors, banking is said to be left behind the financial technology startups in taking roles among communities. The strategic partnership between banking and financial technology startups happened a lot.

Currently, there has been no further information from BCA regarding the funds prepared for acquisition. They’re also yet to submit the business plan, it’s only the Financial Service Authority (OJK) has confirmed to give special permission to establish a digital bank.

Jahja mentioned the digital bank they have in mind is a service that allows customers to create accounts and make transactions, including to develop QR Code-based payment service.

In the last two years, BCA has built some business units related to the digital sector includes a venture capital called Capital Central Ventura (CCV), OneKlik online payment solution, and chatbot-based customer service named VIRA.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

BCA Berencana Kembangkan “Bank Digital”

Dalam wawancara dengan GlobeAsia, Presdir Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja menyebutkan rencana BCA mengakusisi dua kreditur atau bank kecil yang salah satu di antaranya disiapkan menjadi bank digital. Rencana tersebut menjadi salah satu strategi BCA dalam menghadapi digitalisasi di dunia perbankan.

BCA, sebagai salah satu bank terbesar di Asia Tenggara, memang sudah waktunya untuk menghadirkan bank digital. Di Indonesia sendiri sudah ada Jenius dari BTPN dan Digibank dari DBS yang proses pendaftaran dan kepemilikan rekeningnya berlangsung tanpa perlu datang ke cabang bank secara fisik.

Transformasi layanan perbankan memang sudah seharusnya terjadi. Di beberapa sektor, perbankan bisa dikatakan mulai ketinggalan dibanding startup layanan teknologi finansial dalam mengambil peran di masyarakat. Strategi kerja sama perbankan dan statup teknologi finansial pun sudah banyak dilakukan.

Sejauh ini belum ada informasi lebih jauh mengenai biaya yang disiapkan BCA untuk rencana akuisisi. BCA juga disebut belum menyerahkan business plan untuk akuisisi, hanya saja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan telah memberi izin khusus untuk mendirikan bank digital.

Jahja menyebutkan, bank digital yang saat ini mereka rencanakan merupakan sebuah layanan yang memungkinkan pengguna membuat akun baru dan melakukan pembayaran, termasuk mengembangkan layanan pembayaran berbasiskan QR Code.

Dalam dua tahun terakhir ini, BCA telah membangun beberapa usaha yang berkaitan dengan sektor digital, termasuk pendirian perusahaan modal ventura Capital Central Ventura (CCV), solusi pembayaran online OneKlik, dan layanan pelanggan berbasis chatbot VIRA.

Application Information Will Show Up Here