VIDA Dikabarkan Mendapat Pendanaan 591 Miliar Rupiah, Masuk Kategori Centaur

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $41,2 juta atau setara dengan 591,4 miliar Rupiah. Alpha JWC Ventures, Endeavor Catalyst, Ferro Investments, dan sejumlah lainnya terlibat dalam putaran ini.

Terkait kabar ini, DailySocial.id sudah mencoba meminta keterangan pihak terkait. Namun sampai berita ini diterbitkan, belum ada komentar.

Menurut data yang telah diinputkan ke regulator, total dana investasi keseluruhan yang telah dihimpun VIDA mencapai $51 juta. Membawa valuasi perusahaan sekitar $260 juta, sekaligus mengokohkan mereka masuk ke jajaran centaur.

VIDA didirikan sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy. Saat ini mereka memiliki 3 layanan utama, meliputi VIDA Verify (layanan verifikasi identitas), VIDA Sign (layanan tanda tangan elektronik), dan VIDA Pass (sistem autentikasi dan otorisasi). VIDA juga telah menjadi penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo.

Selain Kominfo, di Indonesia untuk platform seperti yang disediakan VIDA turut bernaung dalam beleid yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan — kendati saat ini masih di tahapan regulatory sandbox.

Perkembangan bisnis VIDA

Selain telah mendapatkan perizinan dari regulator di Indonesia, VIDA juga telah melakukan sejumlah aksi strategis untuk mendukung layanannya. Termasuk kemitraan dengan Ditjen Dukcapil hingga mendapatkan sertifikasi ISO 27001 untuk stardardisasi manajemen keamanan informasi.

VIDA juga telah mendapatkan akreditasi internasional, seperti dari WebTrust, menjadi anggota Cloud Signature Consortium, dan terdaftar dalam anggota Adobe Approved Trust List. Dengan kehadirannya di lanskap internasional, VIDA Sign kini sudah dikenali pengguna di 40 negara.

Terbaru, awal tahun ini VIDA mengumumkan kerja sama strategis dengan DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum, didukung platform yang dimiliki VIDA.

Kompetisi pasar

Menurut laporan Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%. Sementara di Indonesia, menurut DocuSign total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun.

Di Indonesia sendiri selain VIDA juga sudah terdapat beberapa pemain lainnya yang sudah terdaftar di regulator, di antaranya Privy, TekanAja, dan Digisign.

Dengan use case yang semakin luas, khususnya di sektor konsumer digital seperti fintech, e-commerce, dan lain-lain, diyakini solusi terkait tanda tangan digital akan bisa diadopsi secara luas. Terlebih Covid-19 membawa tren digitalisasi di berbagai lini industri, yang juga mendorong pemberkasan administrasi turut dilakukan secara digital.

Application Information Will Show Up Here

Privy Gencarkan Transaksi Dokumen Elektronik Lewat Peluncuran E-meterai

Startup penyedia tanda tangan digital Privy resmi meluncurkan layanan e-meterai yang dapat dibubuhkan pada dokumen elektronik. Layanan ini telah tersedia di web app Privy dan dapat diperoleh melalui koneksi API.

Founder & CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan, fitur ini untuk mendukung pemerintah yang tengah menggencarkan pemakaian e-meterai sejalan dengan meningkatnya transaksi dengan dokumen elektronik.

Berdasarkan catatannya, Privy telah memproses hingga 400 ribu tanda tangan setiap harinya. Apabila separuh dari tanda tangan tersebut memakai e-meterai, Privy dapat berkontribusi terhadap pendapatan negara sebesar Rp2 miliar per hari.

“Dengan terintegrasinya e-meterai di sistem Privy, pengguna akan lebih mudah dokumen elektronik yang memerlukan bukti bayar pajak atas dokumen berupa meterai,” tutur Marshall dalam siaran persnya.

Selain layanan e-meterai, Privy juga mengumumkan telah memperoleh akreditasi WebTrust for Certification Authority (CA) untuk memperkuat jaminan kekuatan pembuktian tanda tangan digital Privy dan keamanan data para penggunanya.

Sekadar informasi, WebTrust seal diberikan kepada penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang lolos audit mengikuti standar dari Canadian Institute of Chartered Accountants (CICA) dan American Institute of Chartered Public Accountants (AICPA).

Adapun standar-standar ini meliputi aspek privacy, security, business practices/transaction integrity, availability, dan confidentiality or non-repudiation.

Marshall menyebutkan bahwa akreditasi ini menjadi pembuktian Privy dalam mengelola layanan dengan mengacu pada standar internasional. Apalagi di era digital, validasi atau kebenaran terhadap identitas menjadi aspek penting dalam berkomunikasi maupun bertransaksi, baik individu maupun korporasi.

Dunia digital juga rentan terhadap serangan siber di mana potensi pencurian data pribadi dan perusahaan sangat besar. Siapa pun dapat menjadi siapa saja tanpa adanya sebuah identitas digital yang terverifikasi.

“Tanda tangan digital, didukung sertifikat digital yang berinduk ke Kementerian Kominfo RI dengan akreditasi Webtrust for CA serta e-meterai, menghadirkan layanan penandatanganan dokumen elektronik dengan kekuatan pembuktian dan kepatuhan hukum yang penuh,” ucap Marshall.

Implementasi tanda tangan elektronik

Data Statista melaporkan pasar solusi identitas digital secara global diestimasi sekitar $23,3 miliar pada 2020, dan diproyeksi mencapai $49,5 miliar pada 2026. Di Indonesia selain Privy, ada sejumlah startup lainnya yang sajikan layanan serupa, sebut saja Vida, TekenAja, hingga Digisign.

Pertumbuhan industri ini juga didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan kebijakan pemerintah terkait Tanda Tangan Elektronik (TTE).

Untuk mendorong implementasi ini, Privy telah berkolaborasi dengan sejumlah pihak dalam memudahkan proses verifikasi data, mulai dari pembukaan rekening tabungan bank dan rekening sekuritas, pengajuan kartu kredit dan pinjaman fintech, polis asuransi, hingga penandatanganan kontrak sewa.

Sebelum ini, Privy sudah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Privy dipercaya mengolah dan memanfaatkan informasi untuk melakukan verifikasi data secara digital.

Privy juga merambah sektor perbankan dengan menjalin kerja sama strategis ke beberapa bank besar, di antaranya Bank Mandiri, BRI, BNI, BNI Syariah, Bank CIMB Niaga, dan Bank Mega untuk mempermudah proses pengajuan kartu kredit dengan memanfaatkan tanda tangan digital.

Application Information Will Show Up Here

Tanda Tangan Elektronik VIDA Kini Terintegrasi dengan DocuSign

VIDA mengumumkan kerja sama dengan penyedia layanan tanda tangan elektronik global DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum.

Dalam konferensi pers yang digelar pada hari ini (17/2), Co-founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto menjelaskan sertifikat elektronik yang diterbitkan VIDA menjamin perlindungan data dan privasi penggunanya, sehingga meningkatkan kekuatan pembuktian hukum dari penggunaan tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia.

“Kemitraan DocuSign dan VIDA meningkatkan efisiensi dan produktivitas, dan juga menjamin integritas dokumen dengan verifikasi biometrik. Kami menerapkan best practice dan teknologi kelas dunia di berbagai layanan kami,” kata Sati.

Sebagai pionir tanda tangan elektronik global, DocuSign telah membantu banyak pelaku bisnis dalam mengotomatisasi, mempersiapkan, menandatangani, menindaklanjuti, hingga mengelola berbagai dokumen perjanjian. Meski demikian, kepastian hukum termasuk elemen dasar yang sangat penting.

Dengan integrasi produk DocuSign dan VIDA, pengguna DocuSign eSignature di Indonesia akan mendapatkan keuntungan secara langsung karena tanda tangan elektronik DocuSign akan dilengkapi dengan sertifikat elektronik untuk autentikasi identitas.

Proses ini sejalan dengan standar industri yang menggunakan standar global dalam pemrosesan dan penyimpanan data. Juga, memperkuat kepastian hukum tanda tangan elektronik pengguna DocuSign di Indonesia. Pasalnya, dokumen yang ditandatangani akan memiliki nilai yang sama dengan tanda tangan basah di mata hukum Indonesia.

“VIDA mengimplementasikan end-to-end encryption bagi seluruh transmisi data, kerahasiaan data pengguna dapat dijaga dan hanya digunakan sesuai kebutuhan penggunanya. Untuk mencegah penyalahgunaan identitas, verifikasi identitas online kami dilengkapi dengan verifikasi biometrik dengan liveness detection yang mengacu pada basis data identitas nasional resmi.”

Kemitraan tersebut juga membuka kemungkinan bagi VIDA untuk melangkah ke kancah global, mengingat VIDA sendiri sudah terakreditasi global dari WebTrust yang diakui secara global. Namun, Indonesia masih menjadi fokus utama perusahaan saat ini mengingat potensinya besar untuk digarap.

“Secara teknis di DocuSign, ketika memilih digital identity akan keluar pilihan. Karena VIDA sudah under WebTrust maka bisa dimunculkan. Ini memungkinkan VIDA muncul di negara lain, kembali ke user mau dimunculkan pilihan itu atau tidak. Tapi sekarang fokus market kita itu di Indonesia,” tambah Head of Product VIDA Ahmad Taufik.

Group Vice President and General Manager of DocuSign Asia-Pacific Dan Bognar mengatakan, “Kami sangat senang dapat mengumumkan kemitraan baru kami di Indonesia dengan VIDA. Kemitraan ini akan mendukung visi kami dalam menyediakan solusi end-to-end sepanjang proses perjanjian, dan terus menjadi partner terpercaya dalam hal tanda tangan elektronik.”

DocuSign merupakan salah satu pionir penyedia layanan tanda tangan elektronik global. Disebutkan jumlah penggunanya secara global tembus di angka 1,1 juta pengguna. Adapun total addressable market (TAM) dari tanda tangan elektronik ini masih terbuka luas diestimasi mencapai $25 triliun. Perusahaan mencatatkan pendapatan sebesar $545,5 juta di kuartal III 2021, atau meningkat 42% secara yoy.

Dalam temuan DocuSign, tanda tangan elektronik mampu memberikan efisiensi pada aspek biaya, misalnya saat harus cetak dokumen. Secara rata-rata, bisnis tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar $36 untuk setiap dokumen kesepakatan yang berhasil diselesaikan. Di Indonesia tren ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah penyedia layanan tanda tangan elektronik yang masuk ke industri ini.

Seiring dengan itu, hadirnya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah menyediakan kepastian hukum dalam penggunaan tanda tangan elektronik. Di Indonesia, tanda tangan elektronik telah disahkan oleh Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), diikuti oleh Peraturan Pemerintah (PP) no. 71 2019. Dalam periode 2018-2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia mencatat lebih dari 2,58 juta sertifikat elektronik telah diterbitkan untuk menjamin tanda tangan elektronik tersertifikasi.

Privy Kantongi Pendanaan Seri B 240 Miliar Rupiah Dipimpin GGV Capital

Startup penyedia layanan tanda tangan digital dan identitas digital Privy mengumumkan pendanaan seri B sebesar $17,5 juta atau sekitar 240 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh GGV Capital, diikuti Endeavor Catalyst, Buana Sejahtera Group, dan sebagian besar investor sebelumnya yaitu MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Mandiri Capital, dan Gunung Sewu Group.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas cakupan infrastruktur TI dan keamanannya. Privy memproyeksikan transaksi harian akan meningkat drastis dari 100.000 per hari menjadi 800.000 per hari hanya dalam dua tahun. Sejak 2017, pelanggan korporasi Privy tumbuh 17,5x, pengguna individu tumbuh 30x lipat, dan jumlah dokumen yang ditandatangani tumbuh 58x.

“Kami sangat berterima kasih atas dukungan tanpa henti dari investor, karyawan, dan klien kami yang ada, kami tidak akan sampai sejauh ini tanpa mereka. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada GGV Capital dan Endeavour karena mempercayai kami, selamat datang di keluarga Privy. Mulai hari ini, kami memiliki mitra baru yang luar biasa untuk membawa Privy ke panggung global,” kata Co-Founder & CEO Privy Marshall Pribadi.

Sebagai pionir tanda tangan digital di Indonesia dan menjadi satu-satunya yang lolos program Regulatory Sandbox Bank Indonesia (BI), Privy telah bermitra dengan bank-bank besar, seperti BRI, Mandiri, CIMB Niaga, BNI, Danamon, Nobu Bank, dan Panin Bank . Dari jumlah transaksi yang ditangani dan profil pelanggannya, menunjukkan bahwa Privy telah lulus uji kualitas, keandalan, dan keamanan layanan yang paling ketat.

“Kemitraan kami dengan Privy didukung oleh komitmen kami untuk bekerja sama dengan pendiri lokal yang menunjukkan semangat nyata dalam memecahkan tantangan besar di era ini – salah satunya adalah meningkatkan akses masyarakat luas ke berbagai layanan digital,” kata Managing Partner di GGV Capital, VC global Jenny Lee.

Fajrin Rasyid, Direktur Digital Business Telkom dan Presiden Komisaris MDI Ventures mengatakan, “Telkom Group sangat percaya pada Privy sejak awal perjalanannya. Kami berkomitmen untuk memberikan dukungan kami kepada Privy untuk membantu mereka memungkinkan masyarakat Indonesia melakukan tanda tangan digital dengan aman dan nyaman, seperti misi kami untuk mendigitalkan Indonesia.”

Akhir tahun 2019 lalu Privy telah mengantongi investasi tahapan seri A2 dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Tidak disebutkan berapa nominal investasi yang digelontorkan, namun bentuk kerja sama dan integrasi nantinya juga akan dihadirkan oleh kedua belah pihak. Sebelumnya PrivyID telah mengantongi pendanaan Pra-Seri A yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia pada pertengahan tahun 2017 lalu. Gunung Sewu dan Mahanusa Capital juga terlibat dalam pendanaan ini.

Pertumbuhan bisnis Privy

Sebagai bagian dari strategi ekspansi globalnya, bertepatan dengan ulang tahun ke-lima, Privy juga mengubah nama dari PrivyID menjadi Privy. Tahun ini, Privy juga memperluas bisnis tanda tangan digitalnya ke negara-negara Uni Eropa dengan bermitra dengan Zettabyte, penyedia SaaS pendidikan tinggi.

Hingga saat ini jumlah tanda tangan yang telah ditandatangani melalui layanan Privy juga meningkat pesat menjadi lebih dari 69 juta tanda tangan per Oktober 2021. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan work-from-home yang diterapkan berbagai perusahaan selama masa Covid- 19 pandemi. Pada tahun 2021, Privy juga mendapatkan pengakuan tertinggi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai Penyedia Sertifikat Elektronik (PSrE) Berinduk, sehingga meningkatkan kepercayaan dari berbagai perusahaan besar di Indonesia.

Menurut data dari Statista, total potensi pasar dari solusi identitas digital secara global diproyeksikan tumbuh dari $23,3 miliar pada 2020 menjadi $49,5 miliar pada 2026. Pertumbuhan pasar yang sangat cepat ini didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan peraturan pemerintah baru.

Privy telah membantu jutaan pengguna untuk membuka rekening tabungan bank, pembukaan rekening sekuritas, pengajuan kartu kredit, polis asuransi, pembelian kendaraan bermotor, penandatanganan invoice, mengajukan pinjaman dari fintech, menandatangani kontrak sewa, dan melakukan banyak pekerjaan serta transaksi lainnya tanpa perlu bepergian dan menandatangani berkas dokumen secara fisik.

Selain Privy, saat ini juga muncul startup dengan layanan serupa, misalnya TekenAja, Verihub, dan Vida.

Application Information Will Show Up Here

Manifesto VIDA: Bangun Bisnis Kepercayaan, Atasi Mispersepsi Tanda Tangan Digital

Adopsi tanda tangan digital kian terasa manfaatnya ketika pandemi datang. VIDA adalah salah satu penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo yang sudah berdiri sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy.

Di Indonesia, pemain seperti VIDA bernaung di bawah tiga regulator, yakni Kemkominfo, OJK, dan Bank Indonesia. Kemkominfo mengatur tiga status pengakuan untuk PSrE, yakni terdaftar, tersertifikasi, dan berinduk. VIDA masuk ke dalam status berinduk (Rooted CA), bersama-sama dengan Djelas.id, Tilaka, dan PrivyID. Sementara, di OJK dan BI sudah terdaftar di bawah peraturan regulatory sandbox.

Dengan demikian, aspek legalitas dan keamanan menjadi nilai yang ditonjolkan untuk membangun kepercayaan publik, meski solusinya berbasis SaaS.

Layanan VIDA

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-Founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto menjelaskan VIDA menyediakan tiga rangkaian solusi untuk membantu masyarakat menghadapi tantangan mendasar dalam hal transformasi digital.

  1. VIDA Verify, layanan verifikasi identitas secara instan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan secara bersamaan. Solusi ini menggunakan top global teknologi verifikasi biometrik dan sumber data resmi pemerintah sebagai basis data untuk melakukan verifikasi.
  2. VIDA Sign, solusi tanda tangan elektronik tersertifikasi yang diakui secara hukum dan telah dikenali di lebih dari 40 negara karena VIDA telah terdaftar di dalam Adobe Approved Trusted List (AATL).
  3. VIDA Pass, memberikan keamanan akses digital dan fisik untuk melakukan autentikasi dan otorisasi identitas secara aman dengan teknologi biometrik untuk memberikan kenyamanan dan reabilitas tinggi.

Ketiga solusi tersebut menempatkan VIDA sebagai digital trust provider yang memberikan solusi dari tantangan yang dihadapi keamanan siber pada masa sekarang, sekaligus nilai lebih dibandingkan pemain sejenis. “Selain solusi tanda tangan tersertifikasi berbasis sertifikat elektronik, VIDA juga memberikan solusi untuk manajemen akses, verifikasi, dan otentikasi identitas.”

Solusi VIDA dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan di seluruh vertikal industri. Entah itu untuk consumer lending, e-commerce, e-money, rumah sakit, asuransi, P2P lending, hingga ride hailing.

Sumber: VIDA

Dia tidak menjelaskan ada berapa banyak pengguna VIDA saat ini. Dalam situsnya disebutkan, Grab, Gojek, Ciputra, Artotel, Ismaya Group, Ajaib, SiCepat, HappyFresh adalah sejumlah pengguna VIDA. BGR Logistics juga termasuk pengguna VIDA yang diumumkan pada Juni 2021.

Dalam kerja sama tersebut, VIDA menyediakan solusi teknologi verifikasi dan autentifikasi warung pada warung pangan BGR Logistics. Perusahaan membantu proses onboarding/pendaftaran nasabah menjadi jauh lebih cepat dan mudah. Prosesnya warung yang akan melakukan pendaftaran lewat aplikasi, akan diminta memberikan beberapa data identitas, di antaranya Nomor Induk Koperasi (NIK), nama lengkap, tanggal lahir, dan data lainnya yang dibutuhkan.

Setelah itu, teknologi VIDA akan memverifikasi identitas pemilik usaha warung terhadap data Dukcapil. Proses verifikasi data dilakukan secara online dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga data yang dihasilkan akurat dan terproteksi dengan aman.

“Hingga saat ini, VIDA telah memberikan layanan autentikasi identitas digital dan tanda tangan elektronik tersertifikasi kepada sektor UMKM untuk meningkatkan keamanan transaksi elektronik. Hal ini menghasilkan proses bisnis yang lebih efisien dan mendukung transformasi digital UMKM di Indonesia,” ucapnya.

Untuk mendukung kepercayaan dan kepatuhan terhadap regulasi, VIDA sudah membekali dirinya dengan rentetan sertifikasi yang sudah diakui secara nasional dan global. Misalnya, ISO 27001 (standar internasional manajemen keamanan informasi); terakreditasi Webtrust Certificate Authority (untuk memastikan pelaksanaan prosedur yang tepat dalam penerapan penggunaan infrastruktur kunci publik dan kriptografi).

Kemudian, Cloud Signature Consortium Associate Member (jaringan global penyedia layanan tanda tangan elektronik/TTE berbasis cloud); dan Adobe Approved Trust List (AATL) (daftar TTE yang terdaftar dan dapat divalidasi melalui Adobe).

Salah satu fungsi dari sertifikasi ISO 27001 adalah data dan informasi yang diperoleh selama proses penerbitan tanda tangan elektronik kemudian dikelola oleh sistem informasi yang aman sesuai dengan standar internasional. Seluruh isi dokumen dilindungi dengan menggunakan kriptografi, dan hanya dapat diakses oleh pengguna melalui verifikasi identitas VIDA yaitu proses validasi identitas seseorang berdasarkan sumber data yang terpercaya.

VIDA menggunakan verifikasi biometrik berupa pengenalan wajah, untuk memvalidasi identitas. Dari hasil verifikasi tersebut, VIDA menerbitkan sertifikat elektronik (sesuai dengan Peraturan Kominfo No. 11/2018 tentang Penyelenggara Sertifikasi Elektronik). Dengan segala kelebihan ini, tanda tangan elektronik yang aman menjadi solusi yang terjamin dan mengikat secara hukum, sehingga sangat cocok untuk digunakan pada berbagai jenis transaksi elektronik.

Pendanaan pra-seri A

Untuk mendukung ekspansi bisnisnya, VIDA baru saja mengumumkan pendanaan Pra-Seri A dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Lewat kucuran dana tersebut, perusahaan akan memperluas kehadirannya di berbagai sektor ekonomi digital, termasuk fintech, perbankan, asuransi, perawatan kesehatan, dan lainnya.

Belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri, meski secara organisasi, tim VIDA tersebar di tiga negara, India, Singapura, dan Indonesia.

Co-Founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto / VIDA

Mispersepsi tanda tangan digital

Baik adopsi dan penetrasi soal tanda tangan digital di Indonesia masih memiliki jalan terjal. Secara industri, kuantitas penggunanya pun terus bertumbuh namun dilihat dari segi kualitas banyak hal yang perlu ditingkatkan karena masih terjadi mispersepsi.

Edukasi secara kontinu menjadi pekerjaan rumah tersebut menjadi tanggung jawab bagi seluruh pemangku kepentingan karena masih terjadi mispersepsi soal tanda tangan digital.

Menurut pada Pasal 54 Ayat 1 PP82/2012 yang merupakan beleid turunan dari UU No. 11 Tahun 2008 Pasal 12 tentang informasi dan transaksi elektronik, tanda tangan elektronik dibagi menjadi dua jenis, yakni Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi dan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi. Jenis yang pertama itulah yang disebut dengan tanda tangan digital.

Secara terminologi, tanda tangan digital dan tanda tangan elektronik sering dianggap sama. Padahal kenyataannya memiliki perbedaan yang signifikan. Pada dasarnya, tanda tangan elektronik tidak jauh berbeda dengan tanda tangan basah, hanya bentuk fisiknya saja yang berbeda. Yang satu berbentuk elektronik dan satu lagi berbentuk tinta di atas kertas.

Di sisi lain, tanda tangan digital memiliki fitur yang lebih kompleks dan unik yang tidak hanya sekadar merepresentasikan individu, tetapi memastikan autentikasi, integritas, dan nirsangkal. Oleh karena itu, tanda tangan digital lebih banyak dipilih penggunaannya karena memiliki kekuatan hukum.

Dijelaskan lebih jauh oleh Sati, masih banyak yang salah mengartikan tanda tangan digital sebagai tanda tangan basah yang dipindai. Padahal sebenarnya tanda tangan format tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, tidak terverifikasi penggunanya, dan tidak memiliki jaminan keaslian dokumen yang sudah ditandatangani, sehingga bukan solusi yang aman sebagai wujud persetujuan atas substansi sebuah dokumen.

“Sama halnya dengan tanda tangan basah yang hanya dapat digunakan pada dokumen kertas, tanda tangan elektronik berlaku untuk menandatangani dokumen elektronik. Sama halnya dengan tanda tangan basah yang hanya digunakan pada dokumen elektronik, tanda tangan elektronik berlaku untuk menandatangani dokumen elektronik.”

Prose edukasi harus dilakukan secara berkesinambungan. Perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak melalui webinar dan coaching clinic. Tujuannya agar pemahaman masyarakat tidak hanya aware soal tanda tangan digital saja, serta perkembangan teknologi dalam hal verifikasi identitas, perlindungan data, dan keamanan siber.

Tangan elektronik tersertifikasi

Dia melanjutkan, di era ekonomi digital ini sudah semestinya masyarakat dan dunia usaha untuk cepat beradaptasi dan memerhatikan masalah keamanan dan privasi informasi dan identitas digital, termasuk penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTE). TTE ini memenuhi standar legalitas tertinggi, sekaligus merupakan solusi penandatanganan dokumen dengan cara yang lebih efisien, murah, dan aman.

Ada empat alasan mengapa demikian; 1) TTE menjamin bahwa konten dokumen belum diubah setelah dikirim. Dengan TTE, pengguna bisa mengenkripsi dokumen dengan menggunakan kunci publik dan privat yang hanya bisa diakses oleh pengguna sendiri; 2) memiliki keabsahan hukum; 3) menggunakan sertifikat elektronik terenkripsi sebagai basis untuk memvalidasi identitas; 4) mengurangi risiko manipulasi/modifikasi dokumen yang sudah ditandatangani.

Dalam praktik di lapangan, dengan pemanfaatan TTE, proses pendaftaran, identifikasi, dan verifikasi calon pengguna jasa teknologi keuangan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan hemat biaya. Pasalnya, verifikasi digital yang dilakukan dengan teknologi yang aman dan terpercaya merupakan langkah awal dalam berbagai kegiatan dan transaksi bisnis, seperti pembukaan rekening bank, upgrade akun e-money, persetujuan perjanjian elektronik (kontrak kerja, perjanjian non-disclosure), dan lainnya.

“Selain tidak harus mengeluarkan biaya administrasi, penyimpanan, atau kurir, kehadiran tanda tangan digital mendorong pencairan dana yang dapat terjadi sesegera mungkin,” pungkasnya.

VIDA Kantongi Pendanaan Pra-Seri A, Fokus Perluas Ekosistem Indentitas Digital

VIDA, platform pengembang solusi verifikasi identitas, tanda tangan elektronik, dan kredensial digital mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari investor yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan.

Dengan dana segar ini, perusahaan akan fokus pada perekrutan, pengembangan teknologi, dan pemasaran; serta memperluas kehadirannya di sektor fintech, perbankan, asuransi, dan perawatan kesehatan. Tercatat saat ini teknologi VIDA telah digunakan oleh startup hingga perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, Ajaib, Sicepat, Trevo, LINE, hingga HappyFresh.

“Kami percaya bahwa kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan dan memberdayakan ekosistem, serta membangun kolaborasi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam dalam ketahanan jaringan terpercaya,” kata Founder & Executive Chairman VIDA Niki Luhur.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengungkapkan, VIDA menawarkan solusi mutakhir yang akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital Asia Tenggara. “Kami telah melihat bagaimana solusi serupa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pasar Amerika Serikat dan Eropa, tetapi tidak sebanyak di Indonesia di mana tidak ada pemain dominan di sektor ini.”

Terdaftar di otoritas

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi WebTrust dan terdaftar dalam Adobe Approved Trust List (AATL). Selain itu mereka telah meraih sertifikasi ISO 27001. Sehingga tanda tangan digital VIDA adalah dapat dikenali di lebih dari 40 negara.

Saat ini VIDA juga terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK di klaster e-KYC.  Selain itu, kini mereka telah terdaftar dan berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai PSrE atau Certification Authority (CA).

“Verifikasi identitas mendasari setiap transaksi digital. Kami memanfaatkan keahlian kami dalam keamanan siber untuk membangun produk yang secara mendasar mengubah pengalaman pengguna di berbagai platform dan produk digital. Sebagai penyedia kepercayaan digital, kami memberikan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh keamanan siber saat ini,” kata Niki.

Industri tanda tangan digital

Urgensi penerapan tanda tangan digital atau sistem verifikasi pendukung makin krusial di tengah lahirnya layanan digital yang membutuhkan keamanan ekstra — seperti layanan finansial. Perannya juga makin dominan kala pandemi memaksa setiap aktivitas untuk bertransformasi secara digital, proses persetujuan untuk mengesahkan sebuah dokumen legal pun kini dituntut untuk bisa dilakukan secara daring.

Melihat potensi tersebut, beberapa startup kemudian menggarap layanan sebagai pendukung. Di klaster e-KYC IKD OJK sendiri saat ini tercatat ada empat pemain terdaftar, termasuk PrivyID, Digisign, dan ASLI RI.

Daftar penyelenggara e-KYC yang tercatat di klaster IKD OJK

Platform e-KYC membantu sebuah layanan digital untuk memverifikasi keabsahan identitas calon pengguna. Biasanya mereka juga menghubungkan sistem verifikasi dengan data yang dimiliki Dukcapil.

Sementara itu untuk penyelenggara sertifikasi elektronik atau digital signature, regulasinya melalui Kementerian Kominfo. Setiap pemain yang mendaftarkan diri akan mendapat peringkat mulai dari terdaftar, tersertifikasi, dan yang tertinggi berinduk. Untuk mencapai berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dari Kominfo

The Adoption and Regulation of Digital Signature in Indonesia

Digital signatures have started to get more popular amid the rapid increase of digital services, especially in the financial sector, such as in banking applications or fintech. Using this opportunity, startups engaged in providing digital signature platforms are starting to maximize their presence.

According to the Electronic Certification Center (BSrE), part of the National Cyber ​​and Crypto Agency (BSSN), a digital signature is an electronic signature used to prove the authenticity of the sender’s identity of a message or document. In addition, a digital signature is an electronic signature that has been certified. The main purpose of the digital signature is to rapidly secure documents or documents from unauthorized/authorized parties, including protecting sensitive data and powering trust.

Meanwhile, according to Law no. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, an electronic signature is a signature consisting of electronic information that is embedded, associated, or related to other electronic information that is used as a verification and authentication tool.

Current regulation

In Indonesia, digital signature startups are involved with three regulators, including the Ministry of Communication and Information, the Financial Services Authority (OJK), and Bank Indonesia (BI).

First, at Kominfo, Electronic Certification Providers (PSrE) is supervised by the Information Security Directorate. PSrE was formed and operated in accordance with government regulation No. 82 of 2012.

Based on these regulations PSrE is divided into two:

  • Public PSrE; the operator of an electronic certificate/certification authority (CA) run by the Indonesian government under the Directorate of Information Security, Kominfo, which issues electronic certificates for Public PSrE,
  • Private PSrE; electronic certificate operators that have been recognized by the Parent PSrE to run digital certificate services by individuals, organizations, or electronic certificate administering business entities.

Moreover, under the auspices of the Ministry of Communication and Information, startups playing in this area are included as Private PSrE. In terms of players, the government also divides it into three recognition stages, as follows:

  • Registered; given after PSrE meets the requirements of the registration process set out in a Ministerial Regulation.
  • Certified; given after the certificate authority has met the requirements for the certification process set out in a Ministerial Regulation.
  • Parent; given after the PSrE has obtained a certified status and obtained a certificate as Parent PSrE; including the audit process.The following are the players who have registered as PSrE in Kominfo, data accessed as of 18 February 2021:

Gambar 1

Second, at OJK, the players are currently hosting Digital Financial Innovation (IKD). Based on POJK No. 13/POJK.02/2018, the IKD organizer is currently in the process of researching and deepening its business model through the regulatory sandbox mechanism until finally proceeding to the registration and licensing process which will be regulated later.

The specific cluster to facilitate digital signature startups is e-KYC. In this regulation, e-KYC is defined as a platform that helps provide identification and verification services for prospective customers using data population from Dukcapil. The service is integrated with various applications that require transaction processing – several platforms are also starting to place biometric verification as their main foundation.

Gambar 2

In this cluster, as data updated per August 2020 there are four registered players, as follows:

Gambar 3

Third, at BI, the players are under the regulatory sandbox in the Information Technology category. Specifically, BI regulations focus on the use of electronic signatures for submitting banking services such as credit cards. From the current digital signature players, there are three names that have obtained a license from BI, including: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), and PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

The development of digital signature startup

In Indonesia, PrivyID is a pioneering startup providing digital signature services. The Co-Founder and CEO Marshall Pribadi said to DailySocial that his services have been used by around 700 companies of various business scales — 6 of which are 4 national book banks, 3 telecommunications operators, 5 global insurance companies in Indonesia. In addition, PrivyID has also expanded the use of its services in other sectors such as education, energy, manufacturing, and recruitment agencies.

Furthermore, Marshall exemplifies several case studies on how the implementation of digital signatures can provide business efficiency. For instance, in Generali, the finalizing process of illustration form and a Life Insurance Request Letter, which previously took 3 to 5 days, can now be shortened to just 1 hour.

Another implementation is at Bank Mandiri, PrivyID supports the online account opening process and makes the process completely paper-free. At President University, digital signature services are used for the purposes of signing cooperation agreements, NDAs, etc .; including conducting API integration for the signing of diplomas and transcripts by the chancellor and dean.

PrivyID secured Series A2 funding at the end of 2019. The list of investors include Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
PrivyID’s Co-Founder & CEO, Marshall Pribadi / PrivyID

In addition, there are some similar players which already run its services. The latest one is TekenAja, a joint venture under GDP Venture. It is based in the same company as the developer of the ASLI RI biometric verification platform (which has been registered in the IKD OJK cluster).

TekenAja’s Co-Founder & COO, Rionald Soerjanto explained to DailySocial, one of the unique selling points that his company wanted to present was the biometric verification capability. He said this is relevant to avoid gaps in system security and operational standards that is possibly be tricked – for example by using fake identities or photos.

The TekenAja service is currently used by financial service institutions to keep transactions online and safe. Users can later use the mobile application to carry out the signature process. In terms of business, there are two implementation models, either through a special portal provided or through API integration into the application system. TekenAja consumers are corporations in the banking sector, multi-finance, fintech, and retail companies.

PrivyID and TekenAja have jointly established strategic cooperation with Dukcapil for the needs of data population verification.

Digital signature penetration in Indonesia

Marshall also said that before the pandemic, about 80% of its service users came from financial institutions. It is due to the OJK’s policy which requires fintech lending services to apply a digital signature in their system. When the pandemic started, many companies in other sectors started to use PrivyID, including those in the telecommunications, logistics, energy, FMCG, and health industries.

“During the pandemic, PrivyID recorded an increase in corporate subscribers of up to 405% year-on-year. [..] It is ensured that the use of digital signatures in Indonesia will continue to increase in the future,” he said.

Although it’s getting mature, users of signature services in Indonesia are not very significant in quantity. Marshall said this is due to the lack of public knowledge about the legality of digital signatures. In addition, there are still many who do not know the benefits of digital signatures that companies can get. Therefore, he thought, user education is still being the company’s priority.

TekenAja also agreed. The Covid-19 pandemic has accelerated various things to be contactless.  Soerjanto said digital signature services can be an effort to keep transactions fully online, thereby reducing the potential for the spread of viruses – for example, the direct visit for signatures on paper. In addition, to support WFH activities, offices can provide efficient HRD processes for signing permits, applying for leave, and others.

Regarding future challenges, Soerjanto also considers education of digital signatures to be the most important. “In my opinion, the challenge is only in terms of digital signatures. Actually, it is not new in Indonesia, the OJK has started suggesting from 2016. However, it still lacks comprehensive. Thanks to the pandemic, people know better as they are forced in order to make secure online transactions,” he added.

He is optimistic about the development of the digital signature ecosystem in Indonesia as the regulators are quite supportive. “The Indonesian government, both Dukcapil, and Kominfo is quite supportive in terms of implementing biometrics for digital signatures,” Soerjanto concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Regulasi dan Pemanfaatan Tanda Tangan Digital di Indonesia

Tanda tangan digital (digital signature) mulai banyak dibicarakan di tengah peningkatan pesat penggunaan layanan digital, terlebih di sektor keuangan seperti di aplikasi perbankan atau fintech. Dengan peluang itu, startup yang bergerak menyediakan platform tanda tangan digital mulai memaksimalkan kehadirannya.

Menurut definisi Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), bagian dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tanda tangan digital adalah tanda tangan elektronik yang digunakan untuk membuktikan keaslian identitas si pengirim dari suatu pesan atau dokumen. Selain itu, tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang telah tersertifikasi. Tujuan utama tanda tangan digital adalah mengamankan pesat atau dokumen dari pihak yang tidak berhak/berwenang, termasuk di dalamnya melindungi data sensitif dan menguatkan kepercayaan.

Sementara menurut UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Regulasi yang menaungi

Di Indonesia, startup tanda tangan digital bisa bernaung di tiga regulator, meliputi Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Pertama di Kominfo, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) diawasi oleh Direktorat Keamanan Informasi. PSrE dibentuk dan dijalankan sesuai dengan peraturan pemerintahan No. 82 Tahun 2012.

Berdasarkan peraturan tersebut PSrE dibagi menjadi dua:

  • PSrE Induk; penyelenggara sertifikat elektronik/certification authority (CA) yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di bawah Direktorat Keamanan Informasi, Kominfo yang menerbitkan sertifikat elektronik bagi PSrE Berinduk,
  • PSrE Berinduk; penyelenggara sertifikat elektronik yang telah diakui oleh PSrE Induk untuk menjalankan jasa sertifikat digital yang dilakukan baik oleh perseorangan, organisasi, maupun badan usaha penyelenggara sertifikat elektronik.

Sehingga dapat disimpulkan, dalam naungan Kominfo, para startup yang bermain di ranah tersebut masuk sebagai PSrE Berinduk. Untuk para pemain sendiri, pemerintah juga membaginya ke dalam tiga status pengakuan, sebagai berikut:

  • Terdaftar; diberikan setelah PSrE memenuhi persyaratan proses pendaftaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
  • Tersertifikasi; diberikan setelah otoritas sertifikat memenuhi persyaratan proses bersertifikat yang diatur dalam Peraturan Menteri.
  • Berinduk; diberikan setelah PSrE memperoleh status tersertifikasi dan mendapatkan sertifikat sebagai PSrE Berinduk; termasuk di dalamnya proses audit.

Berikut para pemain yang telah terdaftar sebagai PSrE di Kominfo, data diakses per 18 Februari 2021:

Gambar 1

Kedua di OJK, para pemain saat ini masih bernaung sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Didasarkan pada POJK No. 13/POJK.02/2018, penyelenggara IKD tersebut dimaksud sedang dalam proses penelitian dan pendalaman terhadap model bisnisnya melalui mekanisme regulatory sandbox sampai akhirnya nanti lanjut ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Klaster yang spesifik memfasilitasi startup tanda tangan digital adalah e-KYC. Dalam beleid tersebut e-KYC didefinisikan sebagai platform yang membantu menyediakan jasa identifikasi dan verifikasi yang dilakukan terhadap calon nasabah/nasabah dengan menggunakan data kependudukan yang bersumber dari Dukcapil. Layanan tersebut terintegrasi dengan berbagai aplikasi yang membutuhkan proses transaksi – beberapa platform juga mulai menempatkan verifikasi biometrik sebagai landasan utamanya.

Gambar 2

Di klaster ini, dari data yang diperbarui per Agustus 2020 terdapat empat permain yang telah tercatat, sebagai berikut:

Gambar 3

Ketiga di BI, para pemain bernaung di regulatory sandbox dalam kategori Teknologi Informasi. Secara spesifik aturan di BI memfokuskan pada pemanfaatan tanda tangan elektronik untuk pengajuan layanan perbankan seperti kartu kredit. Dari pemain tanda tangan digital yang beroperasi, ada tiga nama yang sudah mendapatkan status berizin dari BI, meliputi: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), dan PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

Perkembangan startup tanda tangan digital

Di Indonesia, PrivyID menjadi startup pelopor penyedia layanan tanda tangan digital. Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Marshall Pribadi menyampaikan, saat ini layanannya telah digunakan oleh sekitar 700 perusahaan dengan berbagai skala bisnis — 6 di antaranya bank buku 4 nasional, 3 operator telekomunikasi, 5 perusahaan asuransi global di Indonesia. Selain itu PrivyID juga sudah memperluas penggunaan layanan mereka di sektor lain seperti pendidikan, energi, manufaktur, hingga agensi perekrutan.

Lebih lanjut Marshall mencontohkan beberapa studi kasus bagaimana implementasi tanda tangan digital mampu memberikan efisiensi bisnis. Misalnya di Generali, proses finalisasi ilustrasi formulir dan Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang sebelumnya membutuhkan waktu 3 s/d 5 hari, kini bisa disingkat jadi 1 jam saja.

Penerapan lain di Bank Mandiri, PrivyID mendukung proses pembukaan rekening secara online dan membuat prosesnya sama sekali tidak membutuhkan kertas. Di President University, layanan tanda tangan digital digunakan untuk keperluan penandatanganan perjanjian kerja sama, NDA, dll; termasuk melakukan integrasi API untuk penandatanganan ijazah dan transkrip nilai oleh rektor dan dekan.

PrivyID membukukan pendanaan seri A2 pada akhir 2019. Jajaran investor yang selama ini mendukung mereka termasuk Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID

Selain itu ada beberapa pemain sejenis yang sudah mengoperasikan layanannya. Terbaru ada TekenAja, sebuah joint venture dinaungi GDP Venture. Mereka juga berinduk di perusahaan yang sama dengan pengembang platform verifikasi biometrik ASLI RI (yang telah terdaftar dalam klaster IKD OJK).

Kepada DailySocial,Co-Founder & COO TekenAja Rionald Soerjanto menjelaskan, salah satu unique selling point yang hendak disuguhkan perusahaannya adalah kapabilitas verifikasi biometrik. Menurutnya hal ini relevan untuk menghindari celah keamanan sistem maupun standar operasional yang kadang masih bisa diakali – misalnya dengan penggunaan identitas atau foto palsu.

Layanan TekenAja saat ini dipakai lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Di sisi bisnis ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Konsumen TekenAja adalah korporasi di sektor perbankan, multifinance, fintech, dan perusahaan ritel.

PrivyID dan TekenAja sama-sama menjalin kerja sama strategis dengan Dukcapil untuk kebutuhan verifikasi data kependudukan.

Penetrasi tanda tangan digital di Indonesia

Marshall juga mengatakan, sebelum pandemi sekitar 80% pengguna layanannya berasal dari lembaga keuangan. Hal itu karena kebijakan OJK yang mewajibkan layanan fintech lending mengaplikasikan tanda tangan digital di sistemnya. Saat pandemi mulai banyak perusahaan di sektor lain mulai memanfaatkan PrivyID, termasuk yang bergerak di industri telekomunikasi, logistik, energi, FMCG, dan kesehatan.

“Selama masa pandemi, PrivyID mencatat kenaikan pelanggan perusahaan hingga 405% year-on-year. [..] Diyakini penggunaan tanda tangan digital di Indonesia ke depannya akan terus meningkat,” ujarnya.

Kendati terus bertumbuh, pengguna layanan tanda tangan di Indonesia belum signifikan secara kuantitas. Menurut Marshall, hal tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai legalitas tanda tangan digital. Di samping itu masih banyak yang belum mengetahui manfaat tanda tangan digital yang bisa didapatkan oleh perusahaan. Untuk itu, menurutnya, upaya edukasi pengguna masih tetap diprioritaskan dalam agenda perusahaan.

TekenAja pun memiliki keyakinan yang sama. Pandemi Covid-19 mendorong berbagai hal menjadi contactless. Menurut Rionald, layanan tanda tangan digital dapat menjadi upaya menjaga agar transaksi-transaksi tetap bisa sepenuhnya dilakukan secara online sehingga mengurangi potensi penyebaran virus — misalnya proses kunjungan untuk tanda tangan langsung di kertas. Selain itu, untuk mendukung kegiatan WFH, perkantoran bisa memberikan efisiensi proses HRD untuk penandatanganan surat izin, pengajuan cuti, dan lain-lain.

Terkait tantangan ke depannya, Rionald juga menganggap edukasi pengertian tanda tangan digital menjadi yang paling utama. “Menurut saya, challenge-nya cuma di pengertian soal digital signature. Sebenarnya di Indonesia tidak baru, OJK sudah mulai suruh pakai dari 2016. Tapi pengertiannya dulu belum terlalu dalam. Berkat pandemi, orang jadi lebih tahu karena dipaksa harus bisa melakukan transaksi online secara lebih aman,” imbuhnya.

Ia optimis dengan perkembangan ekosistem tanda tangan digital di Indonesia, karena sejauh ini pihak regulator cukup suportif. “Pemerintah Indonesia, baik itu Dukcapil maupun Kominfo, cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital,” tutup Rionald.

TekenAja Meluncur sebagai Platform Tanda Tangan Digital, Tawarkan Kapabilitas Verifikasi Biometrik

PT Djelas Tandatangan Bersama (DTB), pengusung produk tanda tangan digital TekenAja, hari ini (03/2) resmi melakukan grand launching. Kepada DailySocial, Rionald Soerjanto selaku Co-Founder & COO menjelaskan, DTB merupakan anak perusahaan GDP Venture yang berbentuk joint venture. Saat ini juga menjadi perusahaan penyelenggara sertifikasi elektronik pertama yang mendapatkan status berinduk dari Kementerian Kominfo.

“Untuk digital signature, di Indonesia itu ada beberapa peringkat. Yakni terdaftar, lalu tersertifikasi, dan berinduk. Kalau berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan yang harus dilakukan,” ujar Rionald.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator
Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator

TekenAja juga diklaim menjadi penyedia platform tanda tangan digital pertama yang benar-benar memanfaatkan verifikasi biometrik. Untuk validasi data, mereka telah menjalin perjanjian kerja sama dengan Dukcapil untuk mengakses data kependudukan.

“Biasanya ketika melakukan verifikasi identitas, pengguna akan diminta selife bersama KTP-nya. Kemudian sistem akan mencocokkan foto yang ada di KTP dengan wajah aslinya. Mekanisme tersebut masih memiliki celah, pengguna yang tidak bertanggung jawab bisa saja menggunakan identitas (NIK, Nama, Alamat dll) orang lain, kemudian membuat KTP palsu dengan fotonya sendiri untuk verifikasi. Maka dari itu biometrik menjadi penting,” lanjut Rionald.

Ia juga menjelaskan, konsep tanda tangan digital ini pada dasarnya memungkinkan individu untuk bisa melakukan transaksi online secara aman dengan melampirkan sertifikat digital (berisi data pribadi) yang telah terverifikasi. Keluarannya bisa bermacam-macam, beberapa yang populer berupa tanda tangan elektronik atau kode QR unik. Peran pemain seperti TekenAja tugasnya melakukan penerbitan sertifikat digital tersebut.

Digital signature cakupannya sampai harus memverifikasi identifikasinya. Ada beberapa tahapan, waktu pendaftaran orangnya harus benar. Kemudian ketika melakukan proses transaksi, juga harus diverifikasi. Jadi katakanlah istri saya punya data login saya untuk menandatangani sesuatu, dia tetap tidak bisa menggunakan karena harus diverifikasi dulu biometriknya untuk memastikan yang tanda tangan benar-benar saya.”

Skenario penggunaan

Untuk pengguna akhir, layanan TekenAja saat ini bisa dipakai di lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Tapi tidak hanya menutup di sektor itu saja, nantinya juga akan diperluas kegunaannya untuk fungsi-fungsi lain. Contohnya membantu sistem HRD di perusahaan agar berbagai pengajuan (cuti, reimbursement, dll) yang dilakukan karyawan pengesahannya dilakukan secara digital.

Di sisi bisnis nantinya akan ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Sementara yang sudah pakai TekenAja ada perbankan, multi-finansial, fintech, hingga perusahaan ritel.

Rionald mengatakan, penerapan TekenAja bakal bisa digunakan untuk menjamin legalitas transaksi antarindividu. Ia mencontohkan, ketika ada akad jual-beli mobil atau rumah, pengesahannya (biasanya dilakukan dengan tanda tangan basah di atas materai) bisa dilakukan secara digital lewat aplikasi.

Terintegrasi dengan Asli RI

Rionald sendiri buka orang baru di industri digital. Ia juga menggawangi platform autentikasi biometrik Asli RI dan Login ID. Dengan induk perusahaan yang sama, TekenAja pun terintegrasi dengan kapabilitas yang dimiliki Asli RI. “TekenAja adalah perusahaan digital signature yang kental dengan biometrik. Karena menurut saya autentikasi biometrik itu saat ini jadi sistem keamanan terbaik, paling sulit dijebol,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, pemerintah Indonesia baik itu Dukcapil maupun Kominfo cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital. Sementara banyak pemain yang merasa cukup dengan hanya melakukan verifikasi dengan mekanisme selfie tadi, padahal menurutnya konsep tersebut baru bisa efektif di negara seperti Singapura atau Tiongkok (cth. di Tiongkok memalsukan e-KTP hukumannya mati).

“Target tahun ini, kami ingin lebih agresif melakukan penetrasi pasar, selain itu juga akan memperluas kerja sama di berbagai lini,” tutup Rionald.

Gambar Header: Depositphotos.com

Mendalami Peran Tanda Tangan Digital untuk Inklusi Keuangan

Tanda tangan digital kini mulai dikenal berkat matangnya ekosistem ekonomi digital. Pemerintah pun akhirnya mulai terbuka dengan inovasi-inovasi baru seperti ini dengan merilis peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen. Dalam perjalanannya hingga aturan tiba, PrivyID sebagai startup pertama yang bermain di segmen ini harus tertatih-tatih membuka ekosistem tanda tangan digital sejak 2014.

Perjuangan tersebut terbayar hingga akhirnya PrivyID menjadi startup pertama yang mengantongi izin sebagai penyelenggara sertifikat elektronik tersertifikasi oleh Kemenkominfo pada menjelang akhir tahun lalu. Dari situ pintu semakin terbuka lebar dan banyak pengguna, terutama datang dari industri jasa keuangan telah memanfaatkan PrivyID untuk sarana tanda tangan digital untuk permudah para nasabahnya.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO PrivyID Marshall Pribadi untuk berbagi pandangannya terhadap masa depan tanda tangan digital dan perannya membantu percepat inklusi keuangan. Berikut rangkumannya:

Perlu edukasi karena bisnisnya unik

Meski kini PrivyID bisa dikatakan sebagai startup dengan jaringan pengguna terbanyak di Indonesia, namun sebenarnya khitah bisnis ini masih punya jalan terjal yakni mengubah kebiasaan untuk pindah dari tanda tangan basah ke tanda tangan digital. Proses edukasi makanya masih terus dilakukan.

Marshall bercerita, bisnis ini unik karena di satu sisi juga menyasar kalangan institusi pemerintah untuk menjadi pengguna. Kebanyakan institusi ini ada di aliran konservatif yang masih belum percaya bahwa perjanjian, tanda terima, pembayaran tagihan, dan lainnya bisa dilakukan dalam bentuk digital.

Di sisi lainnya, PrivyID juga menyasar pengguna yang datang dari perusahaan yang sangat berpikir maju dan mementingkan semua prosesnya harus dilakukan secara digital. Sayangnya, mereka ini cenderung masih belum sadar dengan pentingnya kehadiran tanda tangan digital.

Mereka ini biasanya hanya meminta user diminta untuk klik centang I Agree, pakai OTP untuk membuktikan bahwa konsumer terikat dengan aturan utang piutang di fintech, atau parahnya konsumer hanya diminta untuk menggambar tanda tangannya dari layar smartphone.

“Ini [digital image] bisa jadi masalah bahwa ini jadi digital image yang dengan mudah bisa di-crop atau copy paste ke banyak dokumen, sehingga jadi mudah disangkal bila ada tindakan yang merugikan. Risiko seperti banyak yang masih menyangkalnya, makanya market kami ini terbatasi oleh yang ekstrem kiri atau kanan,” terang Marshall.

Oleh karena itu, dalam proses edukasi, tim PrivyID mengadvokasikan ke semua pihak bahwa bisnisnya ini berbeda dengan SaaS yang menyediakan software akuntansi atau HR yang paling mudah pembedanya adalah dari segi fitur. Sementara itu, PrivyID sendiri harus selalu mengutamakan legalitas, sistem keamanan, dan aspek operasionalnya.

“Harus comply dengan aturan karena kalau aturan tidak ada siapa yang bakal percaya mau pakai, lalu keamanannya pasti banyak yang menanyakan, dan aspek operasional pasti ditanyakan apakah mudah digunakan, apa saja fiturnya, dan customer service-nya, kalau jelek pasti ada banyak drop rate.”

Fungsi penting untuk inklusi keuangan

Marshall menerangkan, tanda tangan digital punya fungsi penting dalam menurunkan bunga kredit untuk pengusaha mikro yang berlokasi di daerah terpencil. Bahwasanya, penyebab mengapa bank menetapkan bunga yang tinggi untuk sektor ini karena mereka butuh membangun infrastruktur untuk menjangkau mereka.

Bank perlu membangun kantor cabang dan merekrut orang-orang untuk mendatangi calon debitur tersebut. Belum lagi petugas harus bolak-balik memverifikasi dengan mengunjungi rumah, mengisi dokumen fisik dan tanda tangan basah untuk memberikan keabsahan dokumen.

“Tanda tangan digital memang harus didukung oleh peningkatan penetrasi internet dan smartphone, selama itu belum bisa dijangkau maka tanda tangan digital tidak bisa berdiri sendiri. Makanya butuh dukungan dari perusahaan telekomunikasi untuk membuat jalan masuknya.”

Sejak PrivyID mengantongi sertifikasi, Marshall mengaku tingkat kepercayaan pengguna semakin meningkat karena sudah terbukti legalitasnya. Pada akhir tahun lalu hingga kini dikatakan pertumbuhan pengguna mencapai 300% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mentok di angka 100%.

Secara angka, penggunanya mencapai di angka hampir menuju 500, didominasi oleh korporasi sekitar 80%. Dibandingkan tahun lalu saja, pengguna PrivyID baru mencapai di angka kisaran 200. Mayoritas pengguna ini datang dari industri jasa keuangan, baik itu asuransi, perbankan, pembiayaan, startup lending, dan sekuritas.

Menariknya, dikatakan sejak pandemi ini pengguna PrivyID tumbuh melesat dari non-finansial, seperti konsultan, tambang, dan minimarket. Kebanyakan pengguna tersebut menggunakan jasanya untuk kebutuhan internal, misalnya untuk tanda terima barang, pembuatan tagihan. “Sejak WFH semakin nyata use case-nya ke arah sana. Target kami terus menjaga pengguna ini dengan terus menyempurnakan fitur agar pengalaman semakin baik.”