Bisnis “Quick Commerce” Global Terguncang, Bagaimana Nasib Pemain Lokal?

Kabar kurang sedap datang dari startup quick commerce di berbagai negara. Pengurangan staf secara masif, penutupan dark store (infrastruktur pemenuhan dan distribusi), penghentian bisnis di wilayah tertentu, sampai dengan berhentinya startup terkait menjadi sorotan banyak media. Startup terdampak termasuk mereka yang telah memiliki nama besar, sebut saja Gopuff, Zapp, Yango Deli, Gorillas, Geitr, Deliveroo, dan beberapa lainnya.

Di Indonesia sendiri, era quick commerce justru baru saja dimulai. Semua pemain yang ada baru memasuki tahun pertamanya. Kendati demikian, dari sisi industri sambutannya luar biasa. Lihat saja, Astro yang baru berdiri September 2021 lalu baru-baru ini membukukan pendanaan seri B, membuat dana ekuitas yang dikumpulkan perusahaan telah mencapai $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah.

Pelaku industri lokal masih optimis

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li untuk membicarakan hipotesisnya dalam berinvestasi ke startup quick commerce. Di Indonesia, AC Ventures adalah pendukung awal dan utama Astro.

Mereka mengidentifikasi model quick commerce ini sebagai gelombang disrupsi lanjutan dari industri ritel konsumen di Indonesia, khususnya di kota-kota tier-1 dengan populasi kepadatan tinggi.

Mengawali perbincangan, Adrian mengulas kembali tentang industri. Sebelumnya layanan e-commerce horizontal seperti Shopee, Tokopedia, hingga Blibli berhasil merajalela. Lalu, kemunculan model hybrid omnichannel seperti perusahaan ride-hailing yang bekerja sama dengan pengecer offline untuk menawarkan model Instacart/Flipkart, mengaktifkan saluran penjualan offline dan online.

Pada akhirnya kemunculan quick commerce sebagai gelombang terbaru telah diadopsi dengan cepat oleh konsumen yang turut diakselerasi oleh pandemi Covid-19.

“Dibandingkan dengan model ritel yang ada, konsep quick commerce menunjukkan peningkatan dari segi hasil penjualan serta pemanfaatan aset juga efisiensi biaya yang signifikan. Toko grosir memiliki keunggulan dalam hal pemanfaatan ruang dan pemenuhan pengiriman di sisi produktivitas penjualan. Dengan fokus pada layanan pengiriman, quick commerce juga memperluas cakupan area ke pelanggan dalam jarak 2-3 km yang kemudian berkontribusi pada peningkatan kinerja penjualan aset tetap bersama dengan produktivitas kurir,” jelas Adrian.

Dari faktor penjualan dan penghematan biaya di atas, pihaknya sangat yakin bahwa quick commerce akan menjadi game-changer dalam bisnis ritel konsumen di Indonesia.

Pandemi jadi momentum pertumbuhan quick commerce

Salah satu narasumber kami dari kalangan investor mengatakan, firmanya tidak begitu tertarik untuk ikut andil ke dalam hingar-bingar quick commerce, karena menurutnya ini adalah model bisnis yang relevan saat adanya pembatasan ketat beberapa waktu lalu.

Saat pandemi dimulai pertengahan 2020, pembatasan ketat dilakukan di mana-mana. Masyarakat mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan online marketplace dan e-grocery yang sebelumnya ada pun ramai diserbu pembeli.

Misalnya Sayurbox, menurut data internal mereka, sepanjang H2 2021 nilai perdagangan atau GMV produk premium meningkat sampai 53%. Pemain lain, Happyfresh sepanjang tahun 2020 juga mengalami peningkatan trafik transaksi sampai 10-20x lipat.

Melihat kesuksesan pemain legacy, quick commerce berusaha hadir menawarkan solusi yang lebih andal. 10-15 menit, ini adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan para quick commerce untuk memproses dan mengantarkan pesanan kebutuhan pokok yang dipesan lewat aplikasinya. Kategori produknya pun cukup lengkap, mulai dari sayur-mayur, kebutuhan pokok (minyak, gula, dll), makanan ringan, bahkan sampai dengan daging.

Tentu di tengah pembatasan aktivitas yang digalakkan masyarakat, kecepatan dan pemenuhan ini menjadi penting, karena barang-barang tersebut terkadang dibutuhkan secara mendesak di waktu tertentu. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Covid-19 bisa dikatakan telah terkendali — di tengah vaksinasi yang semakin meluas, 97% untuk dosis pertama. Masyarakat pun mulai merasa bebas untuk beraktivitas di luar.

Kebiasaan dan tren baru masyarakat yang sempat terbentuk ketika pandemi lambat-laun mulai berubah, kembali ke masa sebelum pandemi. Salah satunya dikatakan oleh Nur, seorang rekan yang tinggal di Jabodetabek. Layanan e-grocery sangat ia andalkan ketika PPKM ditegakkan pemerintah. Namun sekarang ia memilih kembali datang ke supermarket, “Mencium langsung aroma bahan makanan dan pengalaman jalan-jalan berbelanja itu yang selama ini hilang. Dan kami senang bisa melakukannya kembali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Managing Partner Gayo Capital Edward Chamdani. Ia melihat bahwa pertumbuhan di sektor quick commerce  sangat tergantung dari perubahan kebiasaan para pelanggan.

“Saat ini layanannya sendiri masih menyasar kota-kota tier-1, jika mereka bisa terus rutin menggunakan layanan ini dan model bisnisnya terbukti ‘sticky’ maka sektor ini akan terus bertumbuh.” ujarnya.

Analisis persaingan horizontal

Selain tidak bisa menawarkan pengalaman yang dibawakan ritel tradisional (dan modern) — untuk beberapa orang pengalaman ini lebih dari sekadar kecepatan berbelanja—platform quick commerce sebenarnya juga bersaing dengan beberapa pemain sekaligus. Sebut saja dengan minimarket yang saat ini bisa dijumpai di berbagai titik strategis (plus dilengkapi aplikasi pesan-antar), toko kelontong, tukang sayur keliling, sampai layanan digital yang sudah ada sebelumnya.

Peta persaingan penyedia produk kebutuhan harian / DailySocial.id

Produk FMCG dan makanan segar memang menjadi komoditas yang dikonsumsi semua kalangan, di manapun mereka berada. Sementara yang hendak digarap oleh quick commerce adalah konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan bisnis ini, terutama mereka yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

Mereka belum menyasar segmen lain yang biasa berbelanja produk terkait, contohnya ke orang-orang yang mengandalkan asisten rumah tangga. Pun demikian penetrasi di luar metro, masih belum dilakukan. Ada satu pemain yang bermain di tier-2, yakni Radius, namun dari informasi sumber yang kami dapat, penetrasi layanannya belum mendapatkan traksi yang berarti membuat mereka masih bermanuver dalam “stealh mode”.

Hal ini juga sebenarnya menjadi antisipasi yang dilakukan startup e-grocery Titipku. Sebelumnya mereka fokus memulai bisnis dari daerah Yogyakarta, namun karena untuk mengejar pertumbuhan mereka menutup layanan yang di daerah, lalu fokus ke Jabodetabek.

Venture Capitalist Eddi Danusaputro berpendapat, sebenarnya infrastruktur e-grocery modern justru dibutuhkan di kota lapis dua.

“Menurut saya, bisnisnya [quick commerce] akan feasible tapi harus diubah sedikit. Kalau di tier 1, mungkin supply dan demand-nya sudah kuat. Hal ini belum tentu berlaku di tier 2 dan tier 3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah path to profitability, dari masing-masing tier berbeda tapi harus tetap ada. Ini akan menentukan waktu yang tepat untuk ekspansi.”

Secara global, menurut laporan Research and Market, ukuran pasar untuk quick commerce ini telah mencapai $25 miliar di tahun 2020 dan akan bertumbuh sampai dengan $72 miliar di tahun 2025. Di sisi lain, berdasarkan laporan Euromonitor, ukuran pasar yang mencakup sembako, toko serba ada, supermarket, dan pasar induk di Indonesia dilaporkan mencapai $97 miliar pada tahun 2020. Di sisi lain,  kota tingkat 1 mewakili setidaknya seperempat pasar.

Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra mengklaim, ruang pertumbuhan layanan quick commerce di kota besar masih sangat luas. Terlebih penetrasi e-grocery dinilainya baru sekitar 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Artinya, ini menjadi sebuah momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

Optimisme senada disampaikan Co-Founder & CEO Bananas Mario Gaw. Ia mengatakan, “Layanan quick commerce masih terbilang baru di Indonesia. Namun, kami melihat adanya peluang sangat besar pada groceries market ini terutama mengingat besarnya populasi masyarakat Indonesia dan besarnya pasar untuk barang kebutuhan sehari-hari yang belum tergarap. Sejak awal berdiri, kami ingin menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi konsumen kami dan terus melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka”

Arah perkembangan quick commerce di Indonesia

Tidak hanya Astro, kini pasar quick commerce turut diramaikan sejumlah pemain lainnya, termasuk Bananas, AlloFresh (bentukan Bukalapak dan CT Corp), hingga Radius yang fokus di pasar luar Jakarta. Sementara pemain legasi juga mulai mendirikan unit yang sama, seperti Sayurbox lewat SayurKilat, Tokopedia dengan Tokopedia Now, sampai Grab via GrabMart Kilat.

Startup Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Investor
Astro Seri B $90 juta Accel, Tiger Global AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, Sequoia Capital India, dll.
AlloFresh Corporate Joint Venture $70 juta PT Trans Retail Indonesia (bagian dari CT Corp), Bukalapak, dan Growtheum Capital Partners
Bananas Pendanaan Awal ~$1,5 juta East Ventures, SMDV, Arise, Y Combinator, dll.
Radius Pra-Awal ~500 ribu Y Combinator

Mengambil salah satu studi kasus bisnis quick commerce di Indonesia dalam mengoperasikan layanannya. Untuk menghadirkan proses pengiriman cepat, Bananas mengandalkan hub mikro berbasis teknologi (dark stores) dalam menjalankan bisnisnya. Dark stores ditempatkan di berbagai lokasi strategis mendekati area pemukiman yang memungkinkan mitra pengemudi untuk mengantarkan produk pesanan kepada pelanggan secara instan.

Selain itu, mereka juga berkolaborasi langsung dengan berbagai brand principal untuk menghadirkan berbagai pilihan produk. Fokus terhadap penggunaan data menjadi salah satu kekuatan yang dihadirkan penyedia quick commerce untuk menghadirkan value untuk mitra penyedia produknya tersebut. Data ini penting untuk mempelajari perilaku serta kebutuhan konsumen demi menjaga akurasi level stok produk.

Kondisi tersebut membuat pada startup quick commerce membutuhkan modal tidak sedikit untuk debut dan mengakselerasi bisnisnya. Seperti yang disampaikan Bananas, bahwa pendanaan awal yang didapat akan difokuskan untuk mendorong perkembangan bisnis dan membangun lebih banyak dark stores yang akan menyediakan berbagai macam pilihan produk.

Disrupsi ritel FMCG

Cerita menarik lainnya datang dari Astro. Disampaikan hingga Mei 2022, pertumbuhan yang dicatatkan perusahaan telah mencapai 10x lipat dengan efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Mereka telah mengoperasikan dark stores di 50 titik di Jabodetabek dengan 1.500 SKU produk, mempekerjakan lebih dari 200 staf.

Melalui aplikasinya, selain menyuguhkan UI/UX yang sangat sederhana, Astro juga berusaha memberikan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi. Bahkan jika ada item yang tidak sesuai pesanan, fitur pelaporan di aplikasi juga disediakan untuk melakukan penggantian produk dalam waktu maksimal 15 menit.

Hal lain yang juga menarik adalah, kini Astro mulai mengembangkan produk private label. Mereka memulai dengan produk minuman dan makanan siap santap, di antaranya aneka kopi dan roti. Ini menarik, karena ritel modern juga melakukan hal serupa untuk pemenuhan barang konsumsi sekali pakai — contohnya Indomaret juga memproduksi air mineral sampai tisu dengan brand milik mereka sendiri. Diyakini juga bahwa strategi ini dapat menghadirkan unit ekonomi yang signifikan.

Produk makanan dan minuman yang diproduksi in-house dengan brand Astro / Astro

Pengalaman akan kecepatan yang ditawarkan oleh quick commerce jelas menjadi proposisi nilai tersendiri. Selain itu, dengan perputaran produk yang cepat dan akuisisi kanal pembelian masyarakat memungkinkan bisnis ini mendapatkan keuntungan potensial dari setiap penjualannya. Faktanya, di kancah global selama pandemi quick commerce mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 50%.

Tantangan bagi pelaku quick commerce di Indonesia adalah menyeimbangkan pertumbuhan dan cash burn dalam proses merumuskan resep yang tepat untuk skalabilitas. Oleh karena itu, model bisnis memerlukan perhatian yang mendetail pada sisi logistik operasi dan pengadaan, pembangunan merek, dan kontrol kualitas.

Tanggapan pelaku e-grocery

Dalam sebuah kesempatan temu media, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini memberikan komentar terkait quick commerce yang mulai menjadi tren pasar dan terkesan segera menggantikan peran platform e-grocery.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen e-grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja,” ujarnya.

Sebagai antisipasi, HappyFresh mengembangkan layanan Supermarket Online agar bisa menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark stores quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan e-grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peluang ekspansi di luar kota metro

Sementara pasar e-grocery Indonesia bertumbuh pesat disokong oleh pandemi, potensi ini belum tergarap sepenuhnya mengingat masih banyak area di luar kota metropolitan yang masih belum merasakan dampak dari kemudahan dan kecepatan pengiriman yang ditawarkan layanan quick commerce.

Dalam upaya penetrasinya sendiri, tantangan hadir dari berbagai sisi, di mana timbul kelangkaan penyedia online, lalu melambungkan biaya layanan serta proses pengiriman yang memakan waktu berhari-hari. Pada akhirnya, keterbatasan ini memaksa pelanggan untuk memilih yang “lebih efisien”, yaitu supermarket offline.

Tentunya tidak mudah menggambarkan potensi yang dimiliki ketika solusi ini bahkan belum menjangkau bagian masyarakat yang lebih besar. Prediksi pertumbuhan layanan quick commerce saat ini masih sangat bergantung pada inklusivitas dari perkembangan digitalisasi yang terjadi di Indonesia.

Meskipun begitu, digitalisasi ritel tradisional di Indonesia tetap berlangsung. Pasar grosir di Indonesia disebut telah bertumbuh hingga $207 miliar. Sekitar 70% dari total tersebut datang dari area pedesaan. Fakta ini menciptakan optimisme di sektor ini untuk bisa berkembang bahkan 5x lipat dalam lima tahun ke depan.

Sementara kota tingkat 1 akan menjadi ranah pertumbuhan layanan quick commerce, Adrian mengungkapkan proyeksinya terkait ekspansi layanan ini, “Kami percaya bahwa distribusi berbasis agen atau B2B2C model akan menjadi solusi yang tepat untuk kota tingkat 2-3 karena mereka menjembatani kesenjangan antara kesiapan teknologi dan biaya logistik jarak jauh yang akan diperjuangkan oleh perdagangan cepat menguntungkan khususnya di daerah yang kurang padat.”

Masa depan layanan quick commerce ini sendiri terkait erat dengan demokratisasi pertumbuhan ekonomi yang telah dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin meningkat oleh pergerakan modal politik negara. Tidak hanya redistribusi ekonomi namun penetrasi layanan ini ke area pedesaan juga bisa menciptakan redistribusi talenta, dengan lebih banyak pekerja kerah biru dan talenta teknologi tidak lagi harus mencari peluang kerja berkualitas di kota-kota tingkat 1.

Kristin Siagian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Sejumlah Pertimbangan Bukalapak Genjot Bisnis “Non-Marketplace”

Aksi Bukalapak menggenjot bisnis non-marketplace mengundang sejumlah pertanyaan, bahkan memantik pertanyaan apakah Bukalapak meninggalkan bisnis marketplace yang digelutinya sejak awal. Anggapan tersebut langsung dibantah oleh President Bukalapak Teddy Oetomo.

“Kalau ada yang bilang kami ganti haluan dan meninggalkan marketplace itu adalah salah kaprah. Memang banyak yang tanya seperti itu, termasuk para investor,” ujar Teddy pada sesi buka puasa bersama wartawan (20/4).

Menurutnya, Bukalapak masih setia dengan model bisnis marketplace. Itu sebabnya, sejak melantai di BEI, terus memperkuat jumlah pelapak dan Mitra Bukalapak.

Menurut laporan keuangan perseroan per kuartal I 2021, pendapatan disokong oleh lini bisnis Mitra dengan pertumbuhan 284% menjadi Rp764,5 miliar terhadap keseluruhan pendapatan sebesar Rp1,9 triliun. Lini bisnis marketplace tetap menjadi kontributor utama pendapatan sebesar Rp990 miliar, namun pertumbuhannya turun 4% secara yoy.

Model bisnis Bukalapak sangat relevan dengan kondisi negeri yang berpenduduk 173 juta jiwa ini. “Kalau hanya mengandalkan online, tidak mungkin kami bisa menjangkau seluruh penduduk. Untungnya, negara kita sudah punya infrastruktur yang memungkinkan kita [Bukalapak] menjangkau seluruh negeri, yaitu warung.”

Di semester pertama 2022 ini, Bukalapak fokus untuk meningkatkan pendapatan melalui strategi specialty vertical dengan mendorong traffic ke area bisnis yang memiliki margin lebih besar. Makanya, banyak langkah strategis yang dilakukan, termasuk perkuat fokus di bisnis gaming dan meluncurkan bisnis e-gorcery bersama Transmart, Allofresh.

Teddy bilang, strategi tersebut memungkinkan perseroaan untuk memperoleh take rate yang lebih tinggi. “Tahun lalu take rate kami 1,7%. Dengan strategi specialty vertical, take rate-nya bisa high single digit. Paling tidak 4%, ada yang sampai 8%.”

Fokus ke kedua bisnis tersebut dapat memberikan kontribusi pendapatan yang lebih baik, lantaran sudah ada pasar dan tidak perlu bakar duit. Yang mana, kedua area tersebut perseroan bisa langsung monetisasi, dapat memberikan nilai tanpa tanpa perlu diskon-diskonan.

Dia mencontohkan, langkah akuisisi itemku pada tahun lalu dinilai tepat karena kini menjadi salah satu sumber keuntungan perseroan. Itemku sendiri bermain di ranah marketplace yang memungkinkan pengguna untuk melakukan jual-beli aset permainan digital, serta menjual berbagai voucher untuk akses premium ke sebuah game.

Kebutuhan para gamers untuk melakukan top up item game selalu ada, mau ada atau tidak adanya diskon. Makanya, bisnis game ini dinilai sangat stabil.

Teddy menuturkan, itemku telah beroperasi beberapa tahun sebelum diakuisisi Bukalapak, sudah ada transaksi yang terjadi, hanya saja traffic-nya belum besar. Usai diakuisisi, lalu diintegrasikan dengan traffic Bukalapak, volume transaksi di itemku langsung melonjak hingga dua sampai tiga kali lipat.

“itemku sebagai produk standalone itu sendiri sudah profitable, makanya masuk ke strategi specialty vertical. Jadi bukan berarti Bukalapak pindah sudah enggak jadi marketplace lagi.”

Berikutnya, kemitraan dengan Allofresh yang diharapkan dapat menjadi mesin suplai barang kebutuhan stok warung Mitra Bukalapak. Para Mitra dapat memperoleh barang dalam waktu lebih cepat, sehingga bisa menurunkan biaya inventaris. Barang-barang yang diperoleh dari peritel besar memungkinkan para Mitra dapat membeli barang dengan lebih murah, ketimbang beli dari distributor kecil. Mereka pun dapat memiliki daya saing yang lebih tinggi.

Di ranah e-grocery ini, Teddy menilai bahwa persaingannya tidak begitu terpengaruh dengan efek peningkatan harga komoditas, seperti minyak goreng dan bahan bakar minyak. Segmen ini fokus pada kebutuhan harian, bukan sekunder atau tersier yang kemungkinan besar akan terpengaruh. Itu sebabnya, bagi Mitra Bukalapak diharapkan akan lebih resilient.

“Mungkin konsumennya yang dulu belanja langsung banyak, sekarang belanjanya jadi lebih kecil ukurannya, misalnya sachetan. Sebab, kami ini main di warung yang jualan kebutuhan utama, jadi konsumen harus tetap belanja.”

Karena fokus ke specialty vertical ini, Bukalapak membutuhkan dana untuk berbagai peluncuran produk. Hal tersebut sudah menjadi konsekuensi, makanya Teddy memproyeksikan EBITDA tahun ini akan stagnan, yakni di kisaran minus Rp1,5 triliun sampai Rp1,4 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Masuki Layanan Online Grocery

Traveloka memantapkan langkahnya untuk bertransformasi menjadi “lifestyle super app” sembari menanti industri perjalanan dan pariwisata pulih akibat pandemi Covid-19. Setelah masuk ke layanan food delivery hingga healthtech, startup dengan valuasi ~$3 miliar tersebut kini masuk ke layanan online grocery lewat brand Traveloka Mart. Menu “Mart” saat ini bisa dijumpai di aplikasi.

Fitur tersebut memampukan pengguna Traveloka untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti produk segar dan makanan beku. Untuk mengakomodasi kebutuhan ini, Traveloka telah bermitra dengan beberapa perusahaan peritel besar, termasuk Lotte Mart.

“Mart” jadi menu baru di aplikasi Traveloka

Pengguna dapat mengakses layanan Mart langsung di aplikasi Traveloka dan dapat bertransaksi — di fase awal ini masih bebas ongkir tanpa minimum transaksi pembelian. Ketika masuk ke dalam menu tersebut, saat ini sudah ada beberapa opsi produk yang bisa dipilih pengguna.

Tampilan laman Mart di aplikasi Traveloka

Seperti diketahui, layanan OTA Traveloka terdampak cukup signifikan akibat pembatasan perjalanan sejak Covid-19 terjadi di awal 2020. Agar tetap relevan di masa pandemi, Traveloka mulai fokus untuk memperkuat layanan di kategori keuangan (paylater), gaya hidup, dan hiburan.

Traveloka meluncurkan halaman direktori untuk restoran, Kuliner Traveloka pada 2018. Kemudian, Xperience pada 2019 yang memiliki sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, hingga lokakarya. Selain itu, Traveloka juga merambah ke sektor healthtech dengan menghadirkan telekonsultasi dan layanan tes PCR dan antigen.

Pasar online grocery

Sejak dua tahun terakhir, layanan online grocery dan terakhir ada quick commerce termasuk fenomena baru yang mendorong pertumbuhan industri digital di Indonesia. Hal ini salah satunya dipicu oleh lonjakan permintaan belanja bahan pokok secara online di masa pandemi.

Bicara tren quick commerce, layanan ini didefinisikan sebagai layanan pengiriman barang habis pakai dalam rentang waktu 45 menit dengan biaya pengiriman normal. Mengutip laporan RedSeerquick commerce didorong oleh sejumlah faktor, seperti perubahan perilaku konsumen akibat Covid-19 dan perilaku belanja impulsif atau tak terencana. RedSeer memproyeksi pasar quick commerce sebesar $0,3 miliar di 2021 dan akan tumbuh 10-15 kali lipat menjadi $5 miliar dalam lima tahun mendatang.

Di Indonesia, terdapat sejumlah pelaku startup yang memosisikan bisnisnya sejak awal sebagai pelaku online grocery maupun quick commerce, misalnya Sayurbox, HappyFresh, Segari, dan Astro. Namun, ada juga startup e-commerce raksasa yang baru masuk ke layanan ini, seperti GoTo, Shopee, dan Blibli.

Mereka memanfaatkan jaringan logistik yang telah dibangun sejak lama agar dapat mengakomodasi kebutuhan instan ini. Bahkan beberapa di antaranya mengakuisisi perusahaan peritel besar untuk memperkuat jaringan supply chain mereka.

Ada GoTo yang mengakuisisi Matahari Putra Prima (pemilik Hypermart) dan Blibli dengan aksi serupanya terhadap Ranch Market.  Kemudian di awal tahun ini, anak usaha CT Corp, Trans Retail Indonesia bersama Bukalapak dan Growtheum Capital Partners (investor AlloBank) membentuk perusahaan patungan untuk mendirikan AlloFresh.

Kepada DailySocial beberapa waktu lalu, Co-founder dan CEO Astro Vincent Tjendra menilai tantangan utama membangun bisnis ini adalah membangun kebiasaan masyarakat. Pasalnya, banyak orang yang lebih memilih berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional. Menurutnya, salah satu kunci untuk mengatasi hal ini adalah membangun titik (hub) penyimpanan produk sehingga memungkinkan pengirimannya ke lokasi terdekat pengguna.

Application Information Will Show Up Here

3 Catatan Penting dalam Membangun Layanan “Quick Commerce”

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ritel online yang cukup signifikan. Memang kontribusinya masih sangat kecil, sekitar 10% terhadap total penjualan ritel nasional, namun pertumbuhan ini terbilang signifikan jika dibandingkan beberapa tahun lalu yang kontribusinya hanya 2%-4%.

Pertumbuhan ini turut didorong meningkatnya permintaan belanja on-demand di masa pandemi Covid-19. Masyarakat mulai memanfaatkan platform digital untuk berbelanja produk, terutama untuk kebutuhan sehari-hari atau (grocery).

Seiring dengan pertumbuhan permintaan, ekspektasi masyarakat terhadap pengiriman produk juga ikut meningkat. Para pelaku startup mulai mengembangkan inovasi untuk mengakomodasi kebutuhan belanja online secara cepat atau disebut sebagai quick commerce.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Co-Founder dan CEO Astro Vincent Tjendra berbagi pandangan dan pengalamannya dalam membangun bisnis quick commerce di Indonesia. Berikut rangkuman selengkapnya.

Unsur kecepatan

Bicara quick commerce, pada dasarnya istilah ini punya konsep serupa dengan e-commerce. Bedanya, pengiriman barang di quick commerce dilakukan secara instan, setidaknya dalam kurun waktu satu jam.

Mengacu laporan RedSeer, quick commerce didefinisikan sebgai pengiriman barang habis pakai dalam rentang waktu 45 menit dengan biaya pengiriman normal. Faktor penggerak utama quick commerce di antaranya adalah  peningkatan permintaan pengiriman produk kebutuhan sehari-hari, perilaku belanja impulsif atau tidak terencana, termasuk perubahan perilaku konsumen akibat Covid-19.

Dalam mengembangkan Astro, Vincent menekankan unsur kecepatan dengan melakukan pengiriman hanya dalam 15 menit. Berbeda dengan pengiriman instan atau same day delivery yang memakan waktu lebih dari satu jam.

Menurutnya, penentuan waktu pengiriman 15 menit ini sesuai dengan riset yang telah dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan on-demand masyarakat yang betul-betul membutuhkan produknya saat itu juga, misalnya bahan masakan.

Namun, komitmen untuk memenuhi pengiriman dalam 15 menit saja dinilai cukup sulit dikarenakan Jakarta dan sekitarnya rentan macet. Ia menilai salah satu kunci untuk mengatasi hal ini adalah membangun titik (hub) penyimpanan produk sehingga memungkinkan pengirimannya ke lokasi terdekat pengguna.

“Di Jakarta saja rasanya tidak mungkin mengirimkan barang dalam 10-15 menit. Tetapi, dari transaksi yang dilakukan konsumen, 15 menit menjadi waktu yang cukup pas untuk mencapai radius tertentu. Kami juga melihat, meski konsep ini terbilang baru, konsumen mengapresiasi layanan [quick commerce] tuturnya.

Kurasi produk

Salah satu yang membuat e-commerce cukup banyak diminati dibandingkan toko ritel fisik adalah ketersediaan produk yang lebih beragam. Lalu, bagaimana platform quick commerce dapat mengurasi produk yang dapat dikirim secara cepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat?

Pada kasus Astro, pihaknya memilih fokus mengakomodasi kebutuhan sehari-hari, seperti produk segar, bahan pokok, makanan dan minuman, hingga bahan-bahan darurat. Menurutnya, kata kunci kurasi produk didasarkan pada barang yang betul-betul dibutuhkan saat itu juga.

“Dengan kurasi ini, platform dapat memastikan ketersediaan produk karena stok sudah pasti akurat, pelayanan jadi lebih efisien karena mengurangi waktu untuk menanyakan ketersediaan produk. Platform jadi bisa fokus pada pengiriman saja,” ujar Vincent.

Meskipun demikian, pengecualian diberikan bagi produk segar. Menurutnya, ketersediaan stok tidak selalu equal dengan kualitas. Stok bisa jadi ada, tetapi belum tentu layak untuk dikirim. Mengingat produk segar selalu berkejaran dengan waktu konsumsi, penting untuk melakukan penyimpanan di kulkas dan pengecekan secara berkala di setiap hub. Ini yang menjadi salah satu tantangan dalam menjalani layanan quick commerce untuk produk segar.

Selain itu, Vincent juga menyoroti pentingnya penerapan harga produk yang tepat dalam menjalankan bisnis ini. Meski mengusung kecepatan, tak serta merta harga harus lebih murah atau mahal dibandingkan platform sejenis.

Pricing yang kompetitif itu penting, tetapi yang utama adalah menerapkan harga yang wajar bagi pembeli,” tambahnya.

Evaluasi pasar

Lebih lanjut, Vincent menilai bahwa ruang pertumbuhan quick commerce masih sangat besar mengingat penetrasi e-grocery saja hanya 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Menurutnya, ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

“Astro memang menitikberatkan value kecepatan kepada konsumen. Namun, kita perlu melihat apakah kecepatan menjadi sesuatu yang penting bagi pasar di tier 2 dan 3? Bisa jadi pasar-pasar di luar tier 1 lebih mementingkan harga atau kualitas produk. Ini menjadi hal yang perlu dipikirkan untuk bisa reach lebih banyak konsumen,” ujarnya.

Masih mengacu laporan RedSeer, saat ini quick commerce masih didominasi oleh konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tanggan berpenghasilan menengah ke atas di kota tier 1 ini diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan, terutama segmen konsumen yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

RedSeer memproyeksi penetrasi pasar quick commerce sebesar $0,3 miliar di 2021 dan akan tumbuh 10-15 kali lipat menjadi $5 miliar dalam lima tahun mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Astro Usung Layanan “Quick Commerce”

Konsep quick commerce mulai dikenal di tengah merebaknya industri e-commerce yang tumbuh pesat sepanjang pandemi. Segmen ini mengusung kecepatan pengiriman dan kenyamanan untuk memenuhi permintaan konsumen.

Astro mencoba peruntungan sebagai quick commerce dengan memulai debutnya di Senayan, Jakarta pada September 2021. Dalam kurun dua bulan, perusahaan berhasil menutup putaran pendanaan tahap awal sebesar $4,5 juta dari sejumlah investor yang sudah diumumkan beberapa hari lalu.

Astro didirikan oleh Vincent Tjendra (CEO), Jessica Jap (COO), Marcella Moniaga (CCO), Sherlyn Gautama (Chief Sourcing & Merchandising), dan Wandi Budianto (VP Operations). Mereka datang dari berbagai latar belakang sebagai senior leadership di perusahaan teknologi Indonesia (Tokopedia, Traveloka, Sirclo).

“Keahlian [kami] yang saling melengkapi [jadi bekal] untuk menghadirkan proposisi baru yang menarik bagi pelanggan di seluruh Indonesia,” ucap Vincent dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Tim Astro

Dengan model bisnis quick commerce, menurut dia, memiliki keunggulan kompetitif, antara lain menawarkan kenyamanan dan kecepatan melalui pengiriman instan, toko online yang buka selama 24 jam setiap hari, hingga variasi produk yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Agar sejalan dengan keunggulan tersebut, Astro memakai memanfaatkan keberadaan ‘dark stores’ sebagai pusat distribusi yang diletakkan di berbagai titik untuk menikmati layanan instan pesan-antar. “Pelanggan hanya perlu melakukan pemesanan dan pembayaran secara daring, kemudian seluruh kebutuhan tersebut akan diantarkan langsung dari pusat distribusi ke rumah pelanggan dalam waktu singkat.”

Saat ini, Astro menyediakan lebih dari 1.000 produk dari berbagai jenis kategori, seperti camilan, sayuran, buah segar, daging, alat tulis, sampai dengan obat. Vincent menyebut, pihaknya akan terus menambah jumlah portofolio produk agar dapat memberikan pilihan yang lebih beragam untuk para konsumen.

“Varian produk yang ditawarkan Astro, serta pengalaman yang diterima para pelanggan melalui berbagai kemudahan dan keunggulan menjadi daya tarik tersendiri yang membedakan quick commerce startup ini dibandingkan kompetitor lain.”

Kendati demikian, bisnis ini memiliki tantangan untuk terus menjaga kualitas layanan, sembari dengan cepat ekspansi bisnis yang lebih luas ke area-area yang belum pernah disentuh. Oleh karenanya, pendanaan yang diterima Astro dapat menjadi amunisi yang tepat untuk mewujudkan misi tersebut.

“Dengan pendanaan ini, Astro optimis dapat menjawab antusiasme positif dari para pelanggan di area Jakarta yang ingin menikmati layanan quick commerce Astro untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari hanya dalam waktu 15 menit. Astro optimistis dapat menjangkau seluruh wilayah Jakarta hingga akhir tahun ini.”

Meski tidak dijelaskan secara rinci oleh Vincent, Astro memanfaatkan armada logistik in-house untuk mengakomodasi seluruh pesanan. Ongkos kirim yang ditetapkan per pesanan adalah Rp15 ribu dan minimal transaksi adalah Rp50 ribu. Cakupan wilayahnya saat ini adalah area Senayan, Kuningan, Puri, Kemang, Kelapa Gading, dan PIK. Ke depannya akan mencakup seluruh Jakarta dan Jabodetabek.

Dengan layanan pengiriman instan ini, Astro menyasar target konsumen yang berbeda dengan pemain e-grocery kebanyakan. Vincent menjelaskan pihaknya membidik pelanggan kalangan muda dan dewasa yang mengedepankan kenyamanan dan kualitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sebagai target pelanggan utamanya.

“Astro berencana untuk melakukan ekspansi secara masif di beberapa wilayah di kawasan ibu kota yang menjadi core target pasar Astro. Ke depan, Astro optimis dapat mencapai target besar untuk menjadi pilihan utama pelanggan untuk berbelanja keperluan sehari-hari,” pungkasnya.

Industri Quick Commerce

India menjadi contoh terdekat untuk implementasi quick commerce. Menurut laporan “Quick Commerce: A $5 billion market by 2025” yang diluncurkan RedSeer, penetrasi pasar quick commerce diperkirakan mencapai $0,3 miliar di 2021 dan akan tumbuh 10x-15x hingga lima tahun mendatang menjadi $5 miliar.

Dalam laporan tersebut, quick commerce didefinisikan sebagai pengiriman barang habis pakai dalam rentang waktu 45 menit dengan biaya pengiriman normal. Faktor penggeraknya tak lain karena meningkatnya adopsi antara pelanggan yang mencari kenyamanan dengan perilaku pemesan yang tidak terencana; meningkatnya afinitas pelanggan online dengan Gen-Z terhadap top up dan pembayaran, dan perubahan perilaku konsumen yang dipicu Covid-19.

Mengutip dari sumber lain, quick commerce menjadi generasi ketiga dari industri e-commerce yang terus berevolusi. Kehadirannya berdampak penuh pada industri logistik karena menawarkan pengiriman yang cepat, pengiriman terlokalisasi, mengoptimalkan pengiriman last-mile, gudang yang lebih kecil, pengemasan cepat, dan stok real time.

E-commerce Quick commerce
Waktu pengiriman Hari Menit/jam
Ketersediaan stok Berbagai macam produk Pilihan produk yang sedikit
Transportasi Kendaraan roda empat Kendaraan roda dua
Tipe gudang Gudang terpusat Toko fisik atau gudang lokal kecil
Application Information Will Show Up Here

Astro Quick Commerce Startup Scores 64 Billion Rupiah Funding, Providing 15 Minutes Delivery

Astro quick commerce startup announced $4.5 million (over Rp64 billion) funding from a series of VCs, such as Global Founders Capital, AC Ventures, Lightspeed Venture Partners, and Goodwater Capital. Astro will use this fresh fund to build and strengthen the team, as well as expand the business area.

Astro was founded by Vincent Tjendra who previously worked at Tokopedia as AVP and started its operation since September 2021. Astro offers a quick commerce concept, selling more than 1,000 high quality products, ranging from daily necessities, such as snacks, vegetables, fresh fruit and over-the-counter medicines. Orders are scheduled to be received by consumers in 15 minutes at affordable and competitive prices.

Investors said that Astro provides the fastest delivery experience of quick commerce service for Indonesian consumers. It is also supported by a founding team with experience and expertise that synergizes to run quick commerce.

“We firmly believe that Astro’s ‘quick commerce’ service is able to change the way Indonesian consumers buy daily needs, electronics, snacks and pet food. Global Founders Capital is honored to be able to support Astro from the earliest stages,” GFC’s Partner Melvin Hade said in an official statement, Tuesday (2/11).

The fact that Indonesia is positioned at first place as the country with the most active online shopping population gives confidence that Astro is here at the right time to answer the needs of consumers who want fast, economical, and safe products.

As many as 87.1% of internet users in Indonesia also revealed that they use online shopping services to buy certain products, including food and daily necessities. Astro will operate for 24 hours, but follow government regulations during the PPKM period.

Currently, Astro has served requests in the Jakarta area only, with coverage areas of Senayan, Permata Hijau, Gandaria, Kuningan, SCBD, Kemang, Cilandak, Cipete, Puri Indah, Kebon Jeruk, Kelapak Gading, and Pantai Indah Kapuk. It is said that by the end of this year, the company will be able to serve all areas in Jakarta and parts of Greater Jakarta.

Previously, Dropezy also announced Series A funding to launch quick commerce services as its latest solution.

Online grocery competition

The online grocery industry has fierce competition, but still has space for high growth because its penetration is still concentrated in big cities.

A report from Statista said, last year the online grocery market share in this country only reached 0.3%, it is predicted to increase by 20 basis points to 0.5% in 2022. The pandemic that hit the country is said to be one of the main factors that triggered the increase in the popularity of online grocery services among consumers.

Based on data, a further impact of the pandemic apart from changing consumer online buying behavior, is a change in consumer mindset in shopping. “Worried about the economic impact of the pandemic, many Indonesian consumers are becoming more budget conscious. In addition, the priority of purchasing basic necessities and health among consumers is also seen during the pandemic,” the report said.

Source: Statista


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup “Quick Commerce” Astro Tutup Pendanaan 64 Miliar Rupiah, Sediakan Pengiriman Instan 15 Menit

Startup quick commerce Astro mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $4,5 juta (lebih dari Rp64 miliar) dari sejumlah VC, seperti Global Founders Capital, AC Ventures, Lightspeed Venture Partners, dan Goodwater Capital. Astro akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun dan memperkuat tim, serta memperluas area bisnis.

Astro baru beroperasi sejak September 2021, didirikan oleh Vincent Tjendra yang sebelumnya bekerja di Tokopedia sebagai AVP. Astro menawarkan konsep quick commerce, menjual lebih dari 1.000 pilihan produk berkualitas, mulai dari kebutuhan sehari-hari, seperti camilan, sayuran, buah segar sampai dengan obat bebas dengan nyaman. Pesanan ditargetkan diterima konsumen dalam 15 menit dengan harga yang terjangkau dan kompetitif.

Para investor menuturkan, layanan quick commerce yang ditawarkan Astro memberikan pengalaman pengiriman tercepat untuk konsumen Indonesia. Didukung pula oleh tim pendiri yang memiliki pengalaman dan keahlian yang bersinergis untuk menjalankan quick commerce.

“Kami sangat yakin layanan ‘quick commerce’ Astro mampu mengubah cara konsumen Indonesia membeli kebutuhan pokok sehari-hari, elektronik, snack hingga pet food. Global Founders Capital merasa terhormat karena dapat mendukung Astro sejak tahap paling dini,” ungkap Partner GFC Melvin Hade dalam keterangan resmi, Selasa (2/11).

Fakta bahwa Indonesia berada pada urutan pertama sebagai negara dengan penduduk yang paling aktif berbelanja daring, memberikan keyakinan Astro hadir di saat yang tepat untuk menjawab kebutuhan konsumen yang ingin serba cepat, hemat, dan aman.

Sebanyak 87,1% pengguna internet di Indonesia juga mengungkapkan bahwa mereka memakai layanan belanja online untuk membeli produk-produk tertentu, di antaranya makanan dan kebutuhan sehari-hari. Astro akan beroperasi selama 24 jam, namun turut mengikuti peraturan pemerintah selama di masa PPKM.

Saat ini Astro telah melayani permintaan di area Jakarta saja, dengan cakupan area Senayan, Permata Hijau, Gandaria, Kuningan, SCBD, Kemang, Cilandak, Cipete, Puri Indah, Kebon Jeruk, Kelapak Gading, dan Pantai Indah Kapuk. Ditargetkan menjelang akhir tahun ini, perusahaan dapat melayani seluruh area di Jakarta dan sebagian Jabodetabek.

Sebelumnya, Dropezy juga mengumumkan pendanaan Seri A untuk melancarkan layanan quick commerce sebagai solusi teranyarnya.

Kompetisi industri online grocery

Industri online grocery memiliki persaingan yang sengit, namun masih memiliki ruang tumbuh yang tinggi karena penetrasinya yang masih terpusat di kota-kota besar.

Laporan dari Statista menyampaikan, pada tahun lalu pangsa pasar online grocery di negara ini baru mencapai 0,3%, diprediksi akan meningkat 20 basis poin menjadi 0,5% pada 2022 mendatang. Pandemi yang melanda tanah air disebut-sebut sebagai salah satu faktor utama yang memicu peningkatan popularitas layanan online grocery di kalangan konsumen.

Menurut data, dampak lebih lanjut dari pandemi selain mengubah perilaku pembelian online konsumen, adalah perubahan pola pikir konsumen dalam berbelanja. “Karena khawatir akan dampak ekonomi dari pandemi, banyak konsumen Indonesia menjadi lebih sadar anggaran. Selain itu, prioritas pembelian kebutuhan pokok dan kesehatan di kalangan konsumen juga terlihat selama pandemi,” tulis laporan tersebut.

Sumber: Statista
Application Information Will Show Up Here

Maudy Ayunda Chips In to Segari’s Series A Funding

Segari online grocery startup announced public figure Maudy Ayunda as one of the angel investors participating in its series A round. The fundraising was previously announced in early September 2021 of $16 million led by Go-Ventures.

SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group (one of the largest agricultural and food groups in Indonesia), and Intrinity Capital (affiliated with Gulaku) also participated in this round. In addition, the ranks of investors in its previous stage, including Beenext, AC Ventures, and Saison Capital.

Both Maudy Ayundy and Segari’s Co-founder, Farand Anugerah know each other, it is due to their educational background that took place in the United States.

“When we were studying in America, we wanted to return to Indonesia and make a positive impact by using technology. When I told the Segari team’s dream to develop e-grocery services, Maudy expressed a very positive response,” Farand said in an official statement, Tuesday (19/10).

Maudy Ayunda added, “Before decided to invest, I was already a Segari customer and I immediately became a fan since I always get fresh products and directly come from farmers. Ordering products is also very easy and delivered directly to the house.”

She also said, Segari’s impact in helping local farmers to earn a fair income from the products they sell encouraged her to invest more in Segari. “I think this is a business model that can be the future of the Indonesian e-grocery industry.”

The company is committed to simplifying complex distribution chains by leveraging technology and empowering communities as more efficient sales and distribution partners. Thus, farmers can continue to sell their crops at a more fair price.

Segari has a network of farmer partners in Java and Sumatra and utilizes a decentralized warehouse system to maintain product quality in the A+ grade category. Also, cooperate with sales partners to deliver goods within 15 hours of ordering.

Within just one year of operation, Segari’s business is thriving. The company managed to boost its performance and rose over 20 times for the number of customers and revenue. They offered various products, ranging from fruit, vegetables, meat, basic necessities, to ready-to-cook ingredients.

Instead only using e-commerce platform, the company has a social commerce service called Mitra Segari. This service is to target housewives and SMEs to open an online supermarket business from home and earn additional income. Farand explained that partners only need to have a smartphone and WhatsApp to be able to sell.

“In addition to these opportunities, Mitra Segari also received additional assistance in the form of marketing materials and guidance from the Segari team to continue developing their business.”

Online grocery market size

The online grocery industry has fierce competition, however, there’s still a space for growth because its penetration is still concentrated in big cities.

A report from Statista said, last year the online grocery market share in this country only reached 0.3%, it is predicted that it will increase by 20 basis points to 0.5% in 2022. The pandemic is said to be one of the main factors that triggered the increase in the popularity of online grocery services among consumers.

Based on the data, a further impact of the pandemic apart from changing consumer online buying behavior, is a change in consumer mindset in shopping. “Concerned about the economic impact of the pandemic, many Indonesian consumers are becoming more budget conscious. Also, it’s visible that consumers are making basic necessities and health purchase as the priority during the pandemic,” the report said.

However, e-grocery platforms in this country is still at its premature stage. In terms of coverage, almost all services are still focused on tier-1 cities. The biggest players like HappyFresh covers only the Greater Jakarta area, Surabaya, and several other big cities. Meanwhile, newcomers such as Segari still serve a limited area in Jadetabek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Maudy Ayunda Berpartisipasi dalam Putaran Pendanaan Seri A Segari

Startup online grocery Segari mengumumkan figur publik Maudy Ayunda sebagai salah satu angel investor yang berpartisipasi dalam putaran seri A. Penggalangan ini sebelumnya sudah diumumkan pada awal September 2021 senilai $16 juta dipimpin oleh Go-Ventures.

SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group (salah satu grup perusahaan pertanian dan pangan terbesar di Indonesia), dan Intrinity Capital (afiliasi dengan Gulaku) turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Serta, jajaran investor di tahap sebelumnya, meliputi Beenext, AC Ventures, dan Saison Capital.

Baik Maudy Ayundy maupun Co-founder Segari Farand Anugerah saling mengenal, tak lain dikarenakan keduanya sama-sama pernah bertemu saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat.

“Saat kami menempuh pendidikan di Amerika, kami ingin kembali ke Indonesia dan memberikan dampak positif dengan menggunakan teknologi. Begitu saya menceritakan impian tim Segari untuk mengembangkan layanan e-grocery, Maudy memberikan respons yang sangat positif,” ucap Farand dalam keterangan resmi, Selasa (19/10).

Maudy Ayunda turut menambahkan, “Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, saya sudah menjadi pelanggan Segari dan saya langsung menjadi penggemar karena produk yang saya dapatkan selalu segar karena langsung dari petani. Pemesanan produk juga sangat mudah dan diantarkan langsung ke rumah.”

Menurutnya, dampak Segari yang membantu petani lokal untuk mendapatkan penghasilan yang adil dari produk yang mereka jual, membuat dirinya semakin tertarik dengan Segari. “Saya rasa ini adalah model bisnis yang bisa menjadi masa depan industri e-grocery Indonesia.”

Perusahaan berkomitmen untuk menyederhanakan rantai distribusi yang kompleks dengan memanfaatkan teknologi dan memberdayakan komunitas sebagai mitra penjualan dan distribusi yang lebih efisien. Dengan demikian, para pertani bisa tetap menjual hasil kebunnya dengan harga yang lebih adil.

Segari memiliki jaringan mitra petani di Jawa dan Sumatera dan memanfaatkan sistem desentralisasi gudang untuk menjaga kualitas produk tetap dalam kategori grade A+. Serta, bekerja sama dengan mitra penjualan untuk mengirim barang dalam waktu 15 jam setelah pemesanan.

Meski baru beroperasi selama satu tahun, bisnis Segari tumbuh subur. Perusahaan berhasil mendongkrak kinerja perusahaan yang naik lebih dari 20 kali lipat untuk jumlah pelanggan dan pendapatan. Produk yang tersedia semakin lengkap, mulai dari buah, sayur, daging, sembako, hingga bahan siap masak.

Tak hanya memanfaatkan platform e-commerce, perusahaan memiliki layanan social commerce Mitra Segari. Layanan tersebut hadir untuk menyasar ibu rumah tangga dan pelaku UMKM membuka usaha supermarket online dari rumah dan mendapat penghasilan tambahan. Farand menjelaskan, mitra cukup bermodalkan smartphone dan WhatsApp untuk dapat berjualan.

“Selain peluang tersebut, Mitra Segari juga mendapatkan bantuan tambahan berupa bahan pemasaran dan bimbingan dari tim Segari untuk terus mengembangkan usahanya.”

Pangsa pasar online grocery

Industri online grocery memiliki persaingan yang sengit, namun masih memiliki ruang tumbuh yang tinggi karena penetrasinya yang masih terpusat di kota-kota besar.

Laporan dari Statista menyampaikan, pada tahun lalu pangsa pasar online grocery di negara ini baru mencapai 0,3%, diprediksi akan meningkat 20 basis poin menjadi 0,5% pada 2022 mendatang. Pandemi yang melanda tanah air disebut-sebut sebagai salah satu faktor utama yang memicu peningkatan popularitas layanan online grocery di kalangan konsumen.

Menurut data, dampak lebih lanjut dari pandemi selain mengubah perilaku pembelian online konsumen, adalah perubahan pola pikir konsumen dalam berbelanja. “Karena khawatir akan dampak ekonomi dari pandemi, banyak konsumen Indonesia menjadi lebih sadar anggaran. Selain itu, prioritas pembelian kebutuhan pokok dan kesehatan di kalangan konsumen juga terlihat selama pandemi,” tulis laporan tersebut.

Namun demikian, apa yang dilakukan platform e-grocery masih di tahap yang sangat awal. Mengenai cakupan sendiri, hampir semua layanan masih fokus di kota tier-1. Pemain terbesar seperti HappyFresh masih mencakup kawasan Jabodetabek, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya. Sementara pendatang baru seperti Segari masih melayani area terbatas di Jadetabek.

Application Information Will Show Up Here

Tantangan dan Pengalaman Saat Pivot Bisnis “Online Grocery” di Masa Pandemi

Salah satu perubahan cukup drastis yang kita lihat selama pandemi berlangsung adalah begitu derasnya permintaan konsumen terhadap layanan pesan-antar kebutuhan sehari-hari (grocery). Dan tren tersebut masih berlangsung hingga saat ini.

Bagi Co-founder dan COO Dropezy Nitesh Chellaram, hal ini menjadi sebuah kesempatan berharga untuk meningkatkan layanannya sekaligus mempelajari tren-tren menarik berdasarkan perubahan perilaku konsumen di Indonesia.

Apa saja pengalaman tersebut dan bagaimana Dropezy melalui tantangan yang ada? Selengkapnya, simak rangkuman sesi #SelasaStartup bersama Dropezy berikut ini.

Penyesuaian bisnis saat pandemi

Dropezy merupakan satu dari sekian pelaku startup yang melakukan penyesuaian bisnis ketika Covid-19 mewabah pertama kali. Awalnya, Dropezy menggunakan model marketplace untuk melayani kebutuhan grocery. Namun, ia kesulitan untuk beroperasi mengingat supermarket ditutup pada saat itu.

Pihaknya kemudian melakukan penyesuaian bisnis dengan pivot ke model stock-up inventory di mana Dropezy menyetok persediaan produk grocery. Menurutnya, model tersebut dirasa pas jika melihat perilaku belanja sebagian masyarakat Indonesia yang gemar belanja kebutuhan bahan makanan segar secara harian bukan bulanan.

“Awalnya kami memenuhi kebutuhan konsumen dengan mengirimkan tim untuk memproses pesanan di supermarket. Kemudian kami berganti ke inventory di mana siapapun bisa memesan dalam jumlah kecil. Ini menjadi value added yang coba ditawarkannya dibandingkan pemain sejenis lainnya.

“Memang ada tantangannya saat itu karena jika pesan ke principal, ada minimum of quantity (MoQ). Posisi kami belum besar saat itu. Tapi kami akhirnya dapat mengatasi isu tersebut karena masyarakat mulai shifting ke online dan orang-orang mulai pakai Dropezy,” ujarnya.

Belajar hal baru dari pivot

Dari penyesuaian bisnis ini, Nitesh mengaku menemui sejumlah pengalaman yang menjadi pelajaran berarti dalam membangun bisnis online grocery. Mengingat Dropezy mengubah model layanannya, ada hal-hal baru yang perlu mereka pahami.

Untuk memasok persediaan item, otomatis pihaknya memerlukan warehouse/inventory yang besar. Selain itu, pihaknya juga harus memahami bagaimana cara memasok item karena setiap barang punya ketahanan simpan yang berbeda-beda. Belum lagi, pihaknya harus memastikan item yang distok tidak rusak hingga waktu yang tepat untuk mengisi persediaan.

Pihaknya juga harus memastikan harga produk yang mereka pasang tidak bakal jauh berbeda dengan harga di pasaran. “Semua hal tersebut membantu kami untuk sampai ke pencapaian Dropezy saat ini,” tambahnya.

Tak sampai situ, ucap Nitesh, situasi pandemi mendorong Dropezy untuk dapat meningkatkan pengalaman berbelanja konsumen. Salah satunya adalah mengembangkan personalized experience berbasis analitik yang membantu konsumen untuk memesan item dengan melibatkan rekomendasi produk lain.

Kepuasan pelanggan

Ketika memutuskan untuk mendirikan Dropezy, Nitesh mengaku tidak banyak melakukan riset pasar. Pihaknya langsung terjun mengembangkan bisnis online grocery berbekal pengalaman pribadi yang ia rasakan saat berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Tanpa mengecilkan pentingnya riset pasar, ia menilai pengalaman personal dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah yang ada di industri online grocery. “Dari sini, kami mulai belajar tentang perilaku konsumen grocery di Indonesia,” ungkapnya.

Misalnya, perihal kepuasan konsumen. Ia menilai aspek ini bukan hanya sebatas pada kualitas produk saja, tetapi layanan secara menyeluruh. Maka itu, pihaknya lebih memilih untuk menangani pesanan secara end-to-end, mulai dari pemesanan, pengambilan, hingga pengiriman barang sampai ke konsumen.

“Kami juga melihat fulfillment sebagai aspek terpenting bagi konsumen online grocery. Kalau kamu pesan sepuluh item, tetapi tidak terima semuanya pasti kecewa juga dan akan komplain. Makanya, kami berusaha untuk menangani ini secara end-to-end karena kami paham bagaimana rasanya memesan, menunggu, dan menerima barang tapi tidak sesuai.”

Kompetisi dan kolaborasi

Persaingan pasar tidak akan pernah lepas dalam suatu bisnis. Nitesh menilai kompetisi ini justru membantunya untuk mengevaluasi bisnis yang mereka jalankan, baik itu strategi maupun target yang mereka incar. Apalagi Indonesia merupakan pasar grocery terbesar keempat di Asia Tenggara sehingga satu-dua pemain saja dirasa tidak cukup untuk melayani permintaan online grocery. 

Di sisi lain, ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi pemain online grocery dengan para petani yang selama ini kesulitan mendapat akses ke pasar. Tantangan lainnya, para petani juga kalah saing dengan tengkulak sehingga sulit untuk memasarkan hasil panennya.

“Kolaborasi ini penting bagi kami karena ini the kind of community yang ingin kami bangun di masa depan. Kami ingin membantu petani untuk mendapat akses pasar dengan memasarkan produk dengan harga berkualitas, dan yang paling penting adalah akses mendapatkan guaranteed buyer.”