Penggunaan Data dan Teknologi untuk Industri Berbasis Ritel

Memanfaatkan teknologi, saat ini proses jual beli hingga pemesanan makanan dan minuman, sudah bisa dilakukan lebih cepat dan lebih mudah. Melihat potensi tersebut, Fore Coffee, coffee chain yang fokus menghadirkan kopi berkualitas asli Indonesia, mulai mengembangkan teknologi yang relevan dan memanfaatkan big data.

Di sesi #SelasaStartup, Deputy CEO Fore Coffee Elisa Suteja mengungkapkan potensi industri kopi di Indonesia dan bagaimana teknologi bisa membantu Fore Coffee memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan.

Data untuk mengenal pelanggan

Sebagai salah satu coffee chain yang menawarkan aplikasi untuk pemesanan kopi, Fore Coffee menyadari benar fungsi dan manfaat data pelanggan yang dikumpulkan. Tidak hanya untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi pelanggan, dengan data yang terkumpul, Fore Coffee bisa mengetahui lokasi yang strategis dan siapa saja pelanggannya.

“Awalnya kita fokus hadir di area perkantoran saja. Namun dengan mempelajari data yang ada ternyata di kawasan perumahan juga menginginkan adanya coffee shop. Karena alasan itulah Fore Coffee kemudian mulai merambah ke pemukiman warga,” kata Eliza.

Data yang dimiliki kemudian juga dimanfaatkan Fore Coffee untuk scale up. Meskipun masih belum bisa memprediksi seperti apa target dan rencana dalam waktu lima tahun ke depan, paling tidak manajemen bisa mengetahui secara detail demografi dari pelanggan yang ternyata kebanyakan adalah perempuan.

“Saat ini Fore Coffee telah memiliki sekitar 300 ribu pengguna yang berhasil kami kumpulkan secara bertahap memanfaatkan aplikasi,” kata Eliza.

Pendekatan teknologi

Eliza mencatat Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mengalami pertumbuhan yang baik dalam hal industri kopi dan coffee shop. Peluang ini yang kemudian mendorong makin menjamurnya coffee shop konvensional dan mereka yang mulai mengadopsi teknologi.

“Untuk itu saya melihat pie-nya masih sangat besar untuk kemudian dibagi-bagi dengan coffee shop lainnya. Meskipun pada akhirnya coffee shop adalah industri brick and mortar, namun dengan pendekatan teknologi tentunya bisa memberikan layanan yang berbeda dan lebih baik lagi kepada pelanggan,” kata Eliza.

Dengan alasan itu juga East Ventures berinvestasi ke Fore Coffee dengan nilai putaran terakhir senilai $8,5 juta (sekitar 120 miliar Rupiah dengan kurs hari ini).

“Jika tidak didukung dengan pendanaan tentunya akan sulit untuk industri kopi bisa tumbuh dengan cepat. Karena alasan itulah mengapa East Ventures tertarik untuk berinvestasi di Fore Coffee,” kata Eliza.

Target pasar yang tepat

Dengan mengedepankan toko retail yang unik, Fore Coffee ingin menyasar target pasar yang relevan, yaitu pecinta kopi. Peningkatan kelas menengah juga menjadi salah satu alasan menjamurnya pertumbuhan pecinta kopi.

“Pada dasarnya semua bisnis memiliki peluang, apakah itu menjual kopi memanfaatkan teknologi atau secara konvensional. Eksekusi dan menyasar target pasar yang tepat yang kemudian menjadi penting,” kata Eliza.

Untuk menciptakan hype, Fore Coffee juga memanfaatkan influencer di media sosial yang dinilai relevan untuk memperkenalkan Fore Coffee. Misalnya ke kalangan perempuan yang ternyata merupakan demografi pelanggan terbesarnya.

CoHive Segera Operasikan Gedung Coworking Space 18 Lantai “CoHive 101”

Startup operator coworking space CoHive (sebelumnya Cocowork) segera mengoperasikan gedung coworking space CoHive 101 terbesar di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, dalam waktu dekat. Gedung 18 lantai ini mengadopsi tiga produk utama CoHive yakni Coworking, Coliving (ruang tinggal bersama), dan Coretail (ruang usaha bersama).

Co-Founder dan CEO CoHive Jason Lee menjelaskan, kehadiran gedung ini sekaligus menandakan komitmennya untuk memperkuat kehadiran di Indonesia. Di dalamnya, akan berkapasitas 4 ribu orang melakukan berbagai kegiatan dari coworking space, ruang kerja pribadi, ruang meeting, tempat acara, dan tempat usaha (coretail). Lantai teratas dari CoHive 101 akan dimanfaatkan sebagai kantor pusat CoHive.

Menurutnya, sepanjang 1,5 tahun belakangan, CoHive mengalami pertumbuhan yang cukup masif hingga 14 kali lipat untuk jumlah properti dan 80 kali lipat untuk area yang dikelola. Saat ini, CoHive mengoperasikan coworking space di 28 lokasi, tersebar di empat kota yakni Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Bali.

“Pertumbuhan yang cepat dan kuat ini, kami ingin memperkuat kehadiran kami di pasar Indonesia. Salah satu strategi kami adalah dengan mengoperasikan CoHive 101 ini, yang berarti bahwa kami adalah perusahaan ruang kerja bersama pertama yang mengoperasikan seluruh bangunan bertingkat tinggi,” terang Jason kepada DailySocial.

Secara industri, lanjutnya, kebutuhan orang untuk mendapatkan suasana kerja yang nyaman di kota besar seperti Jakarta itu sangat tinggi. Tidak hanya datang dari pekerja startup saja, tapi juga sudah sampai ke level korporat dan pemerintah.

Untuk itu, kendati Jakarta sudah banyak memiliki banyak pemain coworking space datang dari berbagai negara atau pun lokal tetap ada peminatnya. CoHive memaknai peluang tersebut dengan mendidik pasar mengapa mereka butuh untuk beralih dari ruang kerja konvensional ke ruang kerja modern.

“Oleh karena itu, keberadaan banyaknya pemain coworking space harus dilihat sebagai kesempatan untuk mengedukasi masyarakat agar pangsa pasar ruang kerja bersama semakin luas.”

Strategi CoHive adalah mengedepankan pengalaman pelanggan untuk mempertahan retensi anggota. Caranya dengan rutin menggelar acara dan kegiatan agar anggota bisa terhubung dengan bisnis startup lainnya, bahkan bertemu investor.

Dalam CoHive 101 ini, tidak ada perbedaan harga sama sekali dengan lokasi CoHive lainnya. Pengguna bisa menikmati secara harian, bulanan, atau tahunan untuk meja fleksibel, meja khusus, dan meja tim.

Rencana CoHive

Setelah CoHive 101 diresmikan pada April mendatang, Jason menuturkan pihaknya akan terus menambah ke lokasi lain di kota-kota berikutnya. Perusahaan membidik pertumbuhan dua kali lipat untuk anggota CoHive pada tahun ini.

Hanya saja, dia enggan memberikan detilnya lebih dalam. Sekitar 8 ribu anggota CoHive bergabung datang dari 800 perusahaan.

Khusus untuk Coliving, perusahaan akan perluas kapasitasnya untuk kawasan Apartemen West Vista, Cengkareng, dengan lokasi tepatnya di The Crest Building. Jason menyebut perusahaan akan mengoperasikan dua lantai tambahan di sana. Bila ditotal, Coliving akan memiliki total 64 unit kamar yang bisa dimanfaatkan anggotanya.

Coliving menganut konsep kerja sekaligus ruang tidur, mirip seperti apartemen pada umumnya dengan tipe kamar compact, studio, satu atau dua kasur tidur. Biayanya dimulai dari Rp3 juta per bulan, sudah termasuk biaya sewa, air, listrik, internet, parkir, event, dan lainnya.

Hipotesis-Hipotesis Investor dalam Mengucurkan Pendanaan

Pemodal ventura atau venture capital (VC) adalah salah satu elemen penting dalam ekosistem digital. VC menyalurkan pendanaan kepada startup tentu dengan sebuah proyeksi, baik keuntungan maupun pertumbuhan industri.

Banyak di antara kita yang pasti bertanya-tanya, kriteria apa saja yang sebetulnya diperlukan bagi VC sebelum memutuskan untuk menyuntik investasi kepada startup.  Apakah dari produk yang dikembangkannya? Atau idenya yang otentik?

Untuk menjawab hal ini, DailySocial kedatangan Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca yang berbagi pengalamannya seputar pendanaan startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Mari kita simak ulasannya berikut ini:

Time capsule

Selama sepuluh tahun menjadi investor, Willson berbagi pengalamannya dalam mendanai startup-startup di Asia, khususnya di Indonesia. Dalam proses tersebut, ia menekankan perlunya membangun hipotesis sebelum membuat keputusan.

Willson bercerita bagaimana sepuluh tahun lalu tidak ada investor lokal yang mau berinvestasi di startup. Padahal, Indonesia merupakan pasar yang besar dengan sekelumit masalah. Ia berpikir sebaliknya karena sejumlah hipotesis yang ia yakini.

Sebagai contoh, vertikal e-commerce merupakan produk startup yang berkembang cepat di awal industri ini muncul. E-commerce dinilai menjadi lokomotif industri startup Indonesia. Menggunakan hipotesis model time capsule, e-commerce berkembang lebih dulu di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Hal yang sama seharusnya akan hadir di Indonesia. Oleh karena itu, East Ventures memutuskan berinvestasi di sektor e-commerce.

“Kenapa mau investasi di startup sepuluh tahun lalu? Kita melihat adopsi digital di Indonesia cepat. Facebook dan Twitter saat itu belum ada kantor, tapi penggunanya banyak di Indonesia,” papar Willson.

Dengan banyaknya masalah di Indonesia sangat banyak, peluangnya juga semakin besar. Hal ini pula yang memperkuat keyakinannya untuk membangun industri ini.

Global knowledge, local execution

Terkait banyaknya berinvestasi ke founder yang memiliki pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, Willson menyebutkan sesungguhnya hal tersebut bukanlah hal yang utama.

Mereka yang berstudi di Amerika Serikat sudah mendapatkan knowledge dari negara-negara maju. Meskipun demikian, ketika akan diterapkan di Indonesia, mereka harus memperhatikan kondisi setempat, karena permasalahan di Indonesia biasanya unik dan berbeda dengan di negara maju.

Harus ada pendekatan pemahaman permasalahan dan eksekusi lokal untuk memberikan solusi di negara ini.

Single market domination

Willson meyakini konsep single market domination. Startup dapat fokus ke pasar yang diinginkan sebelum memutuskan untuk ekspansi.

Menurutnya, penting bagi startup untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar dan target pengguna yang benar-benar dituju karena Indonesia memiliki pasar yang luas.

“40 persen populasi di Asia Tenggara itu dari Indonesia. Populasi Singapura itu tidak ada apa-apanya. Makanya, siapapun yang menang di Indonesia, pasti bisa kuasai Asia Tenggara.

Pendekatan bottom up

Hal lain yang disoroti adalah bagaimana mereka membangun produk yang dibuat. Sebagai investor, Willson memilih startup yang mengedepankan pendekatan bottom up, bukan top down dalam mengembangkan produknya.

Pendekatan bottom-up yang ia maksud adalah bagaimana startup melihat masalah yang ada di lapangan dan mencari solusinya.

“Yang harus dilakukan founder adalah amati masalahnya apa dan di mana. Bukan cari [masalah] dari berita yang ada internet. Kalau perlu dites apakah masalahnya betul ada, berarti ada problem statement. Apabila ada yang mau pakai produk kita, artinya sudah market fit,” jelasnya.

Yang penting orang dan industri

The key about investing adalah bukan tentang produknya, tetapi orang dan industrinya,” ungkap Willson.

Ia bercerita pengalamannya saat East Ventures berdiri. Ada tiga hal yang menjadi kriteria utama dalam menentukan investasi kepada startup, yaitu people, product, dan potential market (3P).

Seiring berjalannya waktu, Willson menilai bahwa produk tidaklah lagi menjadi kriteria utama, tetapi people dan potential market. Ia meyakini good people (team) dapat membangun produk yang baik.

People‘ yang dimaksud dalam hal ini juga merujuk pada founder. Menurutnya, penting untuk memiliki founder yang paham pasar. Dengan begitu, produk yang dibuat dapat relevan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.

“Untuk menjadi founder startup, mereka harus punya global knowledge dan local experience. Indonesia itu negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau. Orang [luar] tidak bakal mengerti kompleksitas di sini,” ujarnya.

Founder muda tanpa pengalaman

Masih bicara tentang founder, Willson punya pemikiran terbalik dalam menentukan pendanaan kepada startup. Dalam hipotesisnya, ia lebih memilih founder yang tidak berpengalaman daripada yang punya banyak pengalaman.

Menurutnya, founder yang berpengalaman cenderung akan terjebak dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dinilai akan menghambat startup dalam berkembang karena hanya mencari solusi masalah dari cara founder berpikir.

“Kalau founder terlalu paham, saya justru takut berinvestasi. Karena saat solving problem, mereka akan terjebak di pemikiran founder-nya saja. Makanya di East Ventures, kami tidak suka mentorship. Kami tidak ingin mereka terkungkung mengerjakan sesuai pemikiran investor,” tutur Willson.

Kiat Fore Coffee Optimalkan Bisnis Melalui Teknologi

Fore Coffee merupakan startup kopi binaan East Ventures. Belum lama ini mereka mendapatkan pendanaan lanjutan senilai 118 Miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk East Ventures, SMDV dan lain-lain. Hal menarik dari startup ini ialah konsep bisnis yang dihadirkan, yakni dengan memanfaatkan kapabilitas teknologi secara menyeluruh dalam operasionalnya.

Dalam sebuah kesempatan, Co-Founder & Deputi CEO Fore Coffee Elisa Suteja menceritakan tentang kiatnya mengelola bisnis. Usaha ritelnya mencoba menerapkan transformasi digital secara end-to-end, mulai dari pemrosesan pesanan, pengantaran, hingga pengalaman pelanggan.

“Merbaknya aplikasi on-demand mengubah pola konsumsi pelanggan dalam cara memesan makanan dan minuman sehari-harinya,” ujar Elisa.

Fore Coffee memulai bisnisnya pada Agustus 2018, sebulan kemudian mereka meluncurkan aplikasi mobile untuk menangani pesanan di tokonya. Melalui aplikasi tersebut, konsumen bisa membeli kopi atau biji kopi.

“Orang-orang kantoran (target pasar utamanya) inginnya serba cepat, tulah mengapa kami memutuskan untuk meluncurkan aplikasi mobile untuk menangani order yang masuk ke toko,” lanjut Elisa.

Dalam jangka waktu lima bulan, Fore Cofee telah membuka 16 gerai di Jakarta dan menjual lebih dari 100 ribu cangkir kopi per bulannya. Investasi yang baru didapatkan juga akan difokuskan untuk pengembangan mempercepat inovasi dalam memberikan pengalaman online-to-offline.

Teknologi sebagai kunci bisnis

Elisa mengatakan bahwa teknologi menjadi salah satu kunci utama dalam menjalankan bisnis saat ini, “Tidak hanya untuk delivery saja kami memanfaatkan aplikasi yang ada, tapi mulai dari pemesanan di tempat untuk memudahkan pegawai, sampai dengan urusan administrasi dan kegiatan operasional seperti stok barang dan laporan penjualan.”

Selain menggunakan aplikasi yang dikembangkan sendiri, Elisa mengaku bahwa untuk urusan operasional, ia mempercayakan bisnisnya pada penyedia jasa sistem kasir digital Moka — keduanya sama-sama startup portofolio East Ventures. Ia memanfaatkan fitur laporan penjualan ​real-time​ untuk memantu pendapatan penjualan secara lebih akurat dalam kurun waktu tertentu. Selain fitur laporan, Elisa juga memanfaatkan fitur ​ingredient inventory yang sangat membantu dari segi pergudangan.

Dengan jumlah cabang Fore Coffee yang cukup banyak, ia tentu harus melakukan pengecekan secara berkala untuk setiap tokonya. Di fitur​ inventory management, ia bisa menghitung harga dasar setiap produk dengan lebih komprehensif sehingga dapat menentukan harga jual. Dengan kata lain, fitur ini membantunya mengelola stok dan keuangan bisnisnya secara seimbang.

Selain bercerita tentang bisnisnya, Elisa juga memberikan tips untuk pemula yang ingin membangun bisnis di luar sana, “Mulai dulu dengan ide yang sudah dibangun, akan banyak hal yang kita gak tau kalau kita gak coba.”

Disclosure: Artikel ini hasil kerja sama Moka POS dan DailySocial

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Warung Pintar Acquired Limakilo

New retail startup Warung Pintar is making acquisition over Limakilo, a startup focused on solution to cut the supply chain of agricultural products by making transaction directly to the farmers. The further details will be announced on Wed (2/27) in the press conference held by Warung Pintar.

Warung Pintar and Limakilo are supported by East Ventures. In its debut, Limakilo obtains seed funding from a venture capital led by Wilson Cuaca. They partnered up with farmers from various region, such as Brebes, Bandung, and Yogyakarta.

Collaboration of both startups hasn’t finalized, but seeing their capability, Limakilo might be potential to be the supplier of agricultural products to Warung Pintar outlets. Because the business system should be effective, Warung Pintar is to set more competitive prove to resell products to consumers without middlemen.

Last January 2019, Warung Pintar just secured a series B funding worth 390 billion rupiah. Currently, they also have around 1150 kiosks, including strategic partnership with some parties, particularly East Ventures’ portfolio. Wilson said, Warung Pintar is one of the fastest growing startup in East Ventures’ portfolios.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Warung Pintar Akuisisi Limakilo

Startup new retail Warung Pintar melakukan akuisisi terhadap Limakilo, startup yang berfokus pada penyediaan solusi untuk memotong rantai distribusi produk pertanian dengan bertransaksi langsung ke petani. Kabar ini baru akan diumumkan detailnya di hari Rabu (27/2) dalam acara konferensi pers yang digelar tim Warung Pintar.

Warung Pintar dan Limakilo sama-sama mendapatkan dukungan dari East Ventures. Pada debut awalnya, Limakilo mendapatkan pendanaan awal dari pemodal ventura yang dipimpin Willson Cuaca tersebut. Limakilo bekerja sama langsung dengan petani di berbagai daerah, mulai dari Brebes, Bandung, hingga Yogyakarta.

Kolaborasi antar dua startup belum diketahui secara pasti, namun jika melihat kapabilitas kedua perusahaan besar kemungkinan Limakilo akan menjadi penyetok barang produk pertanian ke gerai-gerai Warung Pintar. Karena secara bisnis sistem ini akan efektif, Warung Pintar akan mendapatkan harga yang lebih bersaing untuk dijual kembali kepada konsumen, karena tidak perlu melalui tengkulak.

Bulan Januari 2019 lalu Warung Pintar baru saja membukukan pendanaan seri B senilai 390 miliar Rupiah. Saat ini mereka juga telah memiliki sekitar 1150 kios mitra, termasuk menjalin kerja sama strategis dengan berbagai pihak, khususnya portofolio East Ventures. Dikatakan oleh Willson, Warung Pintar adalah salah satu startup yang paling cepat berkembang dalam portofolio East Ventures.

“New Consumption” Jadi Hipotesis Baru Investasi East Ventures Tahun Ini

East Ventures, yang spesialis mendanai startup tahap awal, mengungkapkan segmen new consumption menjadi hipotesis terbaru yang bakal mewarnai tren investasi pada tahun ini. Di samping itu, startup yang bergerak di bidang gaya hidup, wellness, kesehatan, O2O integration, dan new retail menjadi perhatian perusahaan modal ventura yang berpusat di Singapura tersebut.

“Tiap tahun kita selalu datang dengan hipotesis yang berbeda, cukup tematik. Ada naratif tertentu di belakangnya. Apakah lifestyle atau entertainment sebenarnya [kita] enggak begitu particular vertical. Intinya sekarang GDP Indonesia sudah mulai naik, artinya ada kebutuhan tidak dasar lagi yang mulai dicari orang. Di semua negara berkembang pasti begitu [arahnya],” katanya Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Segmen ini, menurutnya, tidak akan bisa terjadi apabila mundur ke 10 tahun belakangan. Pada saat itu, ekosistem digital di Indonesia belum terbangun secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari sistem pembayaran, logistik, dan layanan e-commerce. Sekarang kondisinya sudah berbeda jauh dan membuatnya jadi lebih efisien.

Willson mencontohkan, Fitmee, salah satu lini usaha dari The Fit Company yang baru mendapat pendanaan dari East Ventures, adalah bentuk new consumption. Fitmee adalah brand baru tapi model bisnisnya tidak kuno karena tetap menjual mie instan, namun menggunakan bahan-bahan yang sehat.

Kasus yang sama juga terjadi untuk Fore Coffee, konsepnya tetap berjualan kopi tapi bisa dipesan secara online dan diantar oleh kurir instan. Sebagai catatan, Fore Coffee adalah proyek percobaan baru East Ventures, setelah Co-Hive dan Warung Pintar.

“Kita ada hipotesis kenapa orang harus ke Starbucks? [saat mau ngopi], kenapa harus nongkrong di sana? Gimana kalau kopi bisa diantar ke tempat mereka? Mungkin enggak? [kalau sekarang] ya mungkin, tapi mungkin enggak kalau ini terjadi di 10 tahun lalu? Ya enggak mungkin.”

Willson mengaku tahun ini East Ventures akan terus berinvestasi ke startup. Bahkan disebutkan dalam seminggu melakukan close deal dengan dua sampai tiga startup. Terkait dana investasinya, dia mengklaim East Ventures masih memiliki persediaan dari penggalangan sebelumnya.

East Ventures terakhir kali mengumpulkan fund sebesar US$30 juta pada akhir 2017. Dana tersebut difokuskan untuk berinvestasi di Indonesia, dengan nominal dari pendanaan tahap awal dan seri A. Secara rutin, perusahaan melakukan penggalangan dana dari para investornya tiap dua tahun sekali karena sangat aktif berinvestasi.

Membaca tren lewat hipotesis

Pada kesempatan terpisah, saat Willson menjadi pembicara dalam Indonesia PE-VC Summit 2019 pekan lalu, dia menyebut berbagai hipotesis sudah dibuat East Ventures sejak awal kehadirannya. Pada tahun pertama, East Ventures aktif berinvestasi ke platform e-commerce karena Indonesia belum memiliki ekosistemnya.

“Jika Anda sadari, dari perjalanan komputer mulai dari konsumer lalu sampai ke tahap enterprise. Sama seperti Indonesia, di mana kami mulai dari e-commerce. Di 2013, kami datang kembali dengan hipotesis baru yakni SME, kami pun banyak berinvestasi di sana.”

Berikutnya, hipotesis baru berdatangan yakni SaaS lalu O2O. Segmen baru ini dengan cepat dimasuki East Ventures sehingga terkesan ada di posisi terdepan dibandingkan VC lainnya. Willson menggambarkan sebagai VC yang fokus di pendanaan awal harus selalu ada di depan gelombang, timing memainkan peran yang begitu penting.

“Jika Anda berada di belakang gelombang, maka Anda hanya dapat melihat gelombang. Penting bagi orang-orang tahap awal untuk menangkap pergerakan sebelum menjadi tren.”

Saat ini East Ventures memiliki sekitar 140 portofolio, 20 startup di antaranya telah tutup. Willson menyebut rasio ini dianggap lebih baik daripada teori yang umum dipaparkan industri. Umumnya rasio dari 10 startup yang dapat bertahan itu hanya satu.

Di sisi East Ventures, rasionya dari 10 startup yang diinvestasikan hanya dua yang mati, delapan di antaranya masih tetap hidup. Ada juga yang sudah exit karena diakuisisi perusahaan lain, contohnya Cermati, Disdus, Kudo, dan Loket.

Diklaim 70% startup Indonesia yang meraih pendanaan Seri A mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Tidak kontrol portofolio startup

Meski banyak porfolio yang dikelola East Ventures, Willson mengaku pihaknya tidak melakukan kontrol terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga tidak memberikan mentoring seperti yang ditawarkan VC lain. Dia percaya apabila founder itu adalah seorang wirausahawan sejati, maka harus tahu dasar-dasar administrasi bisnis.

Apabila founder tersebut baru pertama kali merintis startup, maka mereka harus memiliki cepat dan terampil dalam berbagai hal. Hal ini selaras hipotesis lainnya yang dibuat East Ventures, bahwa founder harus bisa membedakan antara visi, strategi, dan taktis.

Founder harus bisa menyelaraskan visi dan bagaimana memberi solusi atas masalah besar. Berbicara tentang strategi, pihaknya hanya memberi nasihat, tapi tidak memberi saran sampai di tahap taktis.

“Jadi kami setuju bahwa Anda harus pergi [ambil keputusan] ke sana tapi apakah Anda belok kiri atau kanan itu terserah Anda. Kami akan mengajari Anda apa yang harus dihindari, bukan apa yang harus dilakukan.”

“Karena jika kami mengajari Anda apa yang harus dilakukan, Anda akan terbatas pada batas-batas yang saya ajari. Jika kami mengajarkan 10, Anda akan sampai di 9 atau 9,5 saja. Tapi jika kita mengajarinya untuk tidak melakukan kesalahan, maka Anda bisa terbang ke langit,” pungkasnya.

Fore Coffee Dapatkan Pendanaan Lanjutan Senilai 118 Miliar Rupiah

Fore Coffee, startup “on-demand specialty coffe” hari ini (31/1) mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan senilai $8,5 juta (setara dengan 118.7 miliar Rupiah). Pendanaan kali ini didapat dari sejumlah investor, meliputi East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, dan beberapa angel investor.

Sebelumnya Fore Coffe telah terlebih dulu mendapatkan pendanaan awal dari East Ventures pada September 2018 lalu. Sebagai informasi, Fore Coffee adalah proyek binaan East Ventures, setelah Ev Hive dan Warung Pintar.

Dana modal baru ini akan dimanfaatkan Fore Coffee untuk mempercepat inovasi dalam memberikan pengalaman online-to-offline (O2O) untuk penjualan produknya. Selain itu pihaknya mengaku akan mempergunakan dana untuk berinvestasi pada mesin teknologi guna menghasilkan kopi yang lebih berkualitas.

Startup ini didirikan oleh tiga orang co-founder, yakni Robin Boe, Jhoni Kusno, dan Elisa Suteja — Elisa adalah mantan Associate East Ventures. Visinya ingin mengembalikan kejayaan kopi di Indonesia, khususnya biji kopi arabika untuk specialty coffee.

“Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti MokaPOS untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta GO-FOOD, GrabFood, dan TravelokaEats sebagai platform distribusi,” terang CEO Fore Coffee Robin Boe menerangkan pemanfaatan teknologi dalam startupnya. Jika diperhatikan, mitra penyedia teknologi tersebut kebanyakan bagian dari portofolio East Ventures.

“Visi kami adalah untuk menjadikan Fore Coffee sebagai pemain penting yang bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen kopi berkualitas tinggi nomor satu di dunia. Berbeda dengan pemain lain, kami tidak melihat kopi sebagai tren minuman yang hanya bersifat sementara, namun sebagai sebuah komoditas penting yang bisa mendorong ekonomi domestik dan bisa dinikmati sebagai gaya hidup masyarakat Indonesia untuk jangka panjang,” lanjut Co-Founder Fore Coffee lainnya Elisa Suteja.

Gunakan strategi O2O, Fore Coffee mengintegrasikan teknologi seperti aplikasi mobile dengan kehadiran toko ritel. Aplikasi dibuat untuk memudahkan pelanggan dalam mendapatkan produk yang diinginkan. Di sisi outlet, Fore Coffee mendesain beberapa kedai hanya untuk melayani pemesanan secara online saja. Saat ini pihaknya telah mengoperasikan 16 outlet di berbagai lokasi di Jakarta.

Menanggapi investasi ini, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, Fore Coffee merupakan persilangan hipotesis antara industri kopi dan ekonomi digital Indonesia. Pihaknya terus berusaha untuk memperbaiki rantai industri kopi melalui konteks ekonomi digital masa kini.

“Fore Coffee adalah UKM baru yang tidak bisa eksis di Indonesia beberapa tahun lalu. Namun sekarang, ekosistem digital yang telah berkembang di Indonesia membuat UKM seperti Fore Coffee mendapatkan momentum […] Fore Coffee adalah sebuah model ‘UKM Super’, sebuah UKM yang berhasil memanfaatkan teknologi dan ekosistem digital. Bila kami bisa melakukannya, UKM lain tentu juga bisa,” ujar Willson.

Soal investasi untuk startup pengembang kedai kopi, ini bukan satu-satunya di Indonesia. Sebelumnya Alpha JWC Ventures juga telah mengucurkan pendanaan senilai $8 juta untuk Kopi Kenangan. Industri kedai kopi secara kasat mata memang tengah menggeliat naik, khususnya di kalangan konsumen milenial – baik berbentuk cafe maupun brand minuman kopi.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Beri Pendanaan Tahap Awal untuk Startup Kesehatan “The Fit Company”

East Ventures mengumumkan pendanaan teranyar untuk startup kesehatan dan gaya hidup The Fit Company dengan nilai yang tidak disebutkan. Tidak ada investor lain yang berpartisipasi di putaran ini. Pendanaan akan digunakan untuk ekspansi bisnis dan meluncurkan situs, serta aplikasi dalam rangka pergeseran dari offline ke online.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan, The Fit Company diisi orang-orang yang memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang mereka kerjakan. Terlebih lagi, kategori wellness tergolong sangat baru di Indonesia dan ada peluang besar karena sekarang terjadi pergeseran gaya hidup di kalangan middle dan affluent.

“Kalangan ini kebutuhan dasarnya bukan lagi sandang dan pangan saja, tapi sudah ke wellness sehingga lebih sadar untuk menjalankan hidup sehat dan sebagainya. Kami percaya tim The Fit Company memiliki visi yang tepat dan kemampuan eksekusi yang kuat untuk membuka potensi wellness economy di Indonesia,” katanya, Selasa (29/1).

CEO The Fit Company Jeff Budiman menambahkan, konsep wellness ecosystem tergolong masih asing buat orang Indonesia. Padahal secara global potensi Wellness Economy (mencakup health-tech, fit-tech, dan makanan sehat), dikutip dari Global Wellness Insitute, mencapai $4,2 triliun atau sekitar Rp59 ribu triliun pada 2017. Angka tersebut diprediksi dapat tumbuh sekitar 6,4% setiap tahunnya.

Wellness itu bukan bicara soal kesehatan fisik saja, tapi juga tourism, personal care, makanan sehat, obat-obatan, dan fasilitas publik. Banyak irisan dengan semua unsur tersebut dengan lini bisnis kami,” terang Jeff.

The Fit Company merupakan perusahaan induk dengan lima lini bisnis yang terdiri dari Kredoaum (distributor alat fitness), 20Fit (MicroGym), Fitstop (Gym), Fit Lokal (restoran makanan sehat), dan Fitmee (mie instan sehat). Kredoaum dan 20Fit dirintis oleh Jeff bersama dua temannya sejak 2014. Kini 20Fit memiliki 16 studio tersebar di Jabodetabek.

Lalu, Fit Lokal hadir pada 2017 karena ada tantangan dalam gaya hidup sehat yakni pola makan. Fit Lokal kini tersedia di tiga lokasi, bersamaan di tahun yang sama meluncurkan Fitmee karena Indonesia termasuk negara dengan konsumsi mie instan tertinggi ke-2 di dunia.

Holding ini baru ada pada tahun ini, sebelumnya semua bisnis jalan sendiri-sendiri.”

Rencana bisnis The Fit Company

Jeff mengungkapkan dengan pendanaan ini, pada tahap awal perusahaan akan fokus mengalihkan bisnisnya dari konvensional ke online. Dimulai dari situs 20Fit versi beta pada Maret 2019 dengan menjual produk makanan sehat. Aplikasi akan menyusul pada tahap berikutnya.

Nanti baik aplikasi maupun situs akan menjadi marketplace yang menghubungkan semua lini bisnis The Fit Company sehingga lebih terintegrasi. Konsep besarnya, aplikasi ini akan menyediakan informasi terkait jadwal training, menu catering makan siang, memesan makan malam, dan sebagainya.

“Kita percaya bisnis dan gaya hidup sehat itu journey, jadi pertama-tama kita mau jual makanan sehat dulu lewat 20Fit. Setelah itu di semester II ini akan luncurkan aplikasinya, nanti bisa cari trainer lewat aplikasi.”

Perusahaan juga berencana untuk merekrut mantan atlit Indonesia agar ikut terdaftar sebagai pelatih di platform The Fit Company. Tujuannya agar mereka tetap memperoleh penghasilan dengan kemampuan mereka, pengguna pun akan semakin memiliki banyak pilihan olahraga yang bisa dipilih.

Jeff menerangkan pihaknya akan bersiap untuk memasuki segmen wellness tourism pada tahun depan. Belum banyak hal yang dia gambarkan terkait ini, apakah bakal dikerjakan bersama perusahaan lain atau sendiri.

Namun dia menganologikan wellness tourism itu daerah wisata yang menarik untuk dikunjungi dan memiliki alasan khusus untuk mendatanginya. Seperti Ubud dan Banyuwangi. Ubud menjadi kawasan wisata yang cocok untuk “healing.”

“Nanti kami mau explore lebih jauh, semoga tahun 2020 bisa segera kita wujudkan,” pungkasnya.

Tips Menggalang Dana untuk Startup Pemula

Saat startup baru didirikan, hal yang menjadi perhatian pendiri startup adalah bagaimana caranya mendapatkan tambahan modal. Modal awal bisa dari kocek sendiri, teman, atau keluarga, tetapi ada masanya ketika perusahaan membutuhkan kapital yang lebih besar dan para pendiri mulai membidik dana dari investor. Investor yang biasanya terlibat di proses pendanaan awal bertipe venture capital (VC).

Tidak mudah bagi sebuah startup untuk bisa langsung mendapatkan tambahan modal. Di sisi lain, pihak investor juga tidak mau sembarangan memilih startup untuk diinvestasi. Ada beberapa poin yang mereka tentukan dan wajib untuk diperhatikan.

Traksi dan pertumbuhan

Salah satu cara mengetahui apakah startup sudah waktunya melakukan penggalangan dana tahapan awal adalah berdasarkan traksi dan pertumbuhan positifnya. Untuk itu pastikan startup telah memiliki traksi, telah memiliki jumlah pengguna yang cukup besar, dan tervalidasi model bisnisnya.

“Menurut kami, saat yang tepat untuk melakukan fundraising adalah pada saat startup itu terbukti menghasilkan traksi yang signifikan pertumbuhannya. Memang jika dilihat dari data permintaan yang masuk ke RenovAsik cukup lumayan yaitu bisa sekitar 5-8 permintaan yang ingin mengajukan renovasi setiap harinya, namun banyak kendala dari klien yang masih menjadi pekerjaan rumah besar kami untuk bisa disolusikan sampai tuntas, sehingga akan lebih banyak project deal yang bisa kami dapatkan,” kata Founder & Chief Strategy Officer RenovAsik Indra Setiawan.

Ketika traksi sudah mulai diperoleh, hindari memberikan informasi yang kurang akurat kepada calon investor. Jangan ditambahkan secara sengaja guna menarik perhatian mereka. Berikan informasi yang benar, sesuai dengan traksi yang memang sudah didapatkan.

Hal ini, menurut Analyst East Ventures Devina Zhang, bisa diketahui secara langsung oleh investor saat proses due diligence, ketika semua data akan dipelajari. Jadi hindari mengembangkan angka-angka karena investor pada akhirnya akan mengetahuinya.

“Jangan pernah memberikan informasi yang tidak benar soal pertumbuhan dan traksi startup. Ceritakan prestasi dan pencapaian yang telah diraih oleh startup. Informasikan juga kegagalan yang telah terjadi, dengan demikian investor mengetahui dengan benar kondisi startup,” kata CMO KoinWorks Jonathan Bryan.

Tentukan dana yang dibutuhkan

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah menentukan sejak awal berapa jumlah dana yang dibutuhkan startup untuk mulai menjalankan bisnis. Meskipun banyak startup memulai usaha secara bootstrap, ketika produk mulai berkembang dan traksi sudah cukup besar, tambahan kapital dengan nominal yang besar mungkin diperlukan oleh startup. Untuk itu tentukan berapa jumlah uang yang diperlukan, untuk apa saja dana tersebut digunakan, dan berapa lama dana tersebut bisa disimpan.

VC seperti East Ventures tidak memiliki formula yang pasti untuk kalkulasi pemberian dana dan pembagian saham startup. Semua tergantung dari beberapa faktor, seperti jumlah dana yang diinginkan startup, performa startup, dan proyeksi masa depan. Saham yang kemudian didapatkan perusahaan akan diklaim tergantung kesepakatan dengan startup terkait.

Sementara bagi Venturra Discovery, normal dilution untuk putaran pendanaan awal biasanya akan diambil sekitar 20-25% untuk setiap startup.

“Semuanya memiliki harga, hanya saja berapa harga yang menjadi masalah. Penting untuk memahami harapan [baik dari Anda dan investor]. Jumlahnya harus masuk akal dan menunjukkan nilai pendiri, gagasan, bagaimana Anda dapat menghasilkan uang bagi investor,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Tentukan investor yang tepat

Kehadiran berbagai VC lokal dan asing yang makin bertambah membuat proses penggalangan dana seharusnya lebih mudah. Namun demikian, demi sinergi masa depan yang lebih lancar, pilih investor seperti apa yang memang relevan dengan model bisnis dan tentunya cocok dengan Anda sebagai pendiri startup. Sangat penting untuk melakukan riset, mengumpulkan informasi, hingga melakukan pertemuan secara informal dengan investor yang relevan.

“Pelajari perbedaan-perbedaan dari investor dan coba pahami apa yang mereka inginkan dalam portofolio / investasi mereka. Pahami juga profil individual dari VC yang disasar, terutama GP (General Partners). Temukan kesamaan atau kepentingan bersama antara Anda (dan perusahaan Anda) dan investor yang Anda tuju,” kata Jefrey.

Buatlah daftar investor yang akan ditemui, termasuk rincian sebanyak mungkin tentang investor tertentu (perusahaan, lokasi, dan jumlah investasi). Nantinya akan terlihat investor yang relevan berdasarkan investment size, investment stage, pengalaman di industri perusahaan, begitu juga lingkup geografi mereka.

“Ada banyak cara untuk menjangkau investor, cara terbaik adalah melalui perkenalan dengan seseorang yang diketahui investor. Jika tidak, Anda selalu dapat menjangkau investor melalui situs mereka, atau bahkan Linkedin,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Menurut Jefrey, cobalah menjalin perkenalan di awal dengan baik secara langsung. Hindari penggunaan email atau langsung menghubungi melalui telepon.

“VC menerima ratusan proposal / pitch deck setiap bulannya dan salah satu cara terbaik untuk unggul [stand out] di antara tumpukan tersebut adalah dengan cara diperkenalkan oleh orang yang kenal dengan GP atau tim dari VC tersebut. Referral is always a good way to be prioritized.”

Presentasi dan “elevator pitch”

Saat pertemuan sudah dijadwalkan, proses selanjutnya adalah presentasi atau yang biasa disebut dengan “pitching“. Secara umum, Anda akan diminta mempresentasikan materi yang berisi gambaran umum dasar perusahaan (produk, tinjauan industri, ukuran pasar, dan lainnya).

Deck ini akan menjadi buku panduan pendiri startup untuk memandu investor melalui pertemuan pertama, jadi buatlah dek tersebut secara terstruktur, sederhana namun kaya akan detail penting yang ingin Anda tonjolkan.

“Kami sangat percaya akan motto ‘founder first’, yang berarti bahwa pendiri startup yang baik tentunya akan menghasilkan produk yang baik, juga mempertimbangkan potensi pasar. Dengan demikian, pendiri yang memiliki latar belakang dan keahlian yang tepat memiliki poin bonus,” kata Devina.

Penting bagi startup menyiapkan bahan, proposal, hingga materi presentasi saat pitching berlangsung. Menurut Chairman dan Pendiri Gorry Holdings William Susilo, pastikan mempersiapkan pitch deck yang mudah dibaca, termasuk masalah apa yang sedang diselesaikan. Hal-hal utama harus mencakup seberapa mendesak masalah tersebut, ukuran pasar, model bisnis, model pendapatan, produk, alokasi dana, daya tarik dan profil pendiri.

“Persiapkan dengan lengkap traksi bisnis. Pastikan hal tersebut sejalan dengan persyaratan setiap tahap investasi. Misalnya MVP tidak cukup untuk pendanaan Seri A, sementara itu mungkin cukup untuk putaran seed,” kata William.

Menurut Raditya,saat pitching berlangsung sebaiknya pendiri startup tidak bersikap defensif ketika investor mengajukan pertanyaan sulit. Jangan ragu untuk memperlakukan sesi pitching seperti percakapan kasual. Semua pertanyaan yang diajukan investor mengenai perusahaan Anda seharusnya bisa dijawab.

“Walaupun startup Anda baru jalan tiga bulan misalnya, dengan data kami bisa melihat apakah founder mempunyai kemampuan eksekusi bisnis yang mumpuni. Banyak juga hal lain juga yang harus diperhatikan, seperti kemampuan founder, market size, product building capability, executional capability, dan lainnya,” kata Raditya.