Kompetisi Startup Tahunan “TOP100” dari e27 Kembali Dibuka Tahun Ini

Program kompetisi startup TOP100 dari e27 kembali diselenggarakan pada tahun ini setelah hiatus selama tiga tahun. Program yang menjadi bagian dari konferensi tahunan Echelon Asia Summit ini akan diselenggarakan pada 31 Mei dan 1 Juni 2023 mendatang di Singapura.

TOP100 merupakan program kompetisi yang menyediakan platform bagi startup tahap awal untuk bermitra, mendapat peluang pendanaan, dan dukungan pertumbuhan bisnis lainnya di kawasan Asia Pasifik. Sejak awal kehadirannya, kompetisi pitching TOP100 menghadirkan startup terbaik untuk tampil dan mempresentasikan rencana bisnisnya. Jajaran alumnusnya mulai dari 99.co, Softinn, dan Carousell.

Setelah hiatus selama tiga tahun, pada tahun ini TOP100 bakal memanfaatkan platform e27 Pro Connect yang telah mendukung hampir 20 ribu koneksi online antara startup dan investor.

Dalam pelaksanaannya, pertemuan TOP100 2023 akan mengadopsi format hybrid, termasuk saat pendaftaran dan penilaian, tetapi sambil tetap mempertahankan aktivitas berjejaring secara offline di berbagai kota di Asia Tenggara.

Ada dua hal baru yang diterapkan dalam program tahun ini, yakni menambahkan kategori untuk solusi teknologi bencana (D-Tech) yang bermitra dan didukung oleh SAFE STEPS D-Tech Awards dari Prudence Foundation, dan yang kedua adalah penyertaan startup Web3.0, khususnya proyek yang menargetkan perusahaan teknologi Web2.0 sebagai pengguna atau pelanggan mereka.

Co-founder e27 Thaddeus Koh menyampaikan, kendati pitching dan showcase sebagian besar telah berevolusi secara online untuk memaksimalkan efisiensi dalam perjalanan dan manajemen waktu, namun terdapat permintaan yang kuat bagi startup, investor, dan perusahaan untuk tetap bertemu secara offline dan jaringan.

“Kami berharap untuk melihat hal-hal menarik yang telah dilakukan oleh startup Asia dan terhubung dengan komunitas secara langsung,” ucap Koh.

Selama periode seleksi, semua peserta TOP100 akan diberikan akses e27 Pro Connect agar mereka dapat terhubung dengan lebih dari 500 ribu investor yang sudah terverifikasi di dalam platform. Dari seluruh peserta yang daftar, nantinya akan dipilih 100 startup terbaik untuk dipamerkan di Echelon Asia Summit 2023 dan presentasi di panggung yang akan disaksikan banyak orang.

Dari hasil sebelumnya, banyak startup yang berhasil mengumpulkan putaran pendanaan tambahan dalam 18 bulan ke depan untuk mencapai status tahap pertumbuhan mereka.

“TOP100 selalu menjadi program yang memfasilitasi startup dapat terhubung dengan pemangku kepentingan yang paling dapat membantu bisnis mereka. Dengan memberikan peserta akses ke e27 Pro Connect dan menampilkan semi-finalis selama Echelon, kami bertujuan untuk membantu memulai dan meningkatkan perjalanan penggalangan dana mereka,” lanjut Kho.

Startup yang tertarik dapat mendaftar terlebih dahulu melalui situs resmi TOP100. Echelon Asia Summit menyatukan startup, perusahaan, pembuat kebijakan, pemimpin industri, dan investor terkemuka APAC ke Singapura. Konferensi ini dijadwalkan berlangsung pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni di Singapura. Pada tahun ini, konferensi dua hari ini diperkirakan akan menarik lebih dari 5.000 orang untuk membahas inovasi terbaru, kewirausahaan, pendanaan, dan lainnya.

Tiga Alasan Mengapa Startupmu Harus Ikut Echelon TOP100

Yakin kamu bisa memenangkan kompetisi tahun ini? Daftarkan startupmu sekarang juga!

Kamu mungkin sudah pernah mendengar tentang Echelon TOP100, sebuah kompetisi startup yang menjadi bagian dari konferensi Echelon Asia Summit 2019, yang akan diadakan oleh e27 pada 23-24 Mei 2019 di Singapore Expo, Singapura.

TOP100 bertujuan untuk menemukan, mempertunjukkan, dan mengakselerasi bibit-bibit unggul di komunitas startup Asia Tenggara. Proses penjurian TOP100 melibatkan juri dari berbagai perusahaan modal ventura ternama seperti 500 Startups, SparkLabs, Cocoon Capital, Cradle Fund, dan Monk’s Hill Ventures.

Proses penjurian akan diadakan secara tertutup di enam kota di seluruh Asia Tenggara, yang akan diakhiri dengan acara networking Echelon Roadshow. Indonesia sendiri akan mendapatkan gilirannya pada 4 April 2019. Startup yang berhasil lolos tahap ini berhak mewakili negara asalnya di Singapura pada bulan Mei nanti.

Tahun lalu, salah satu startup yang mewakili Indonesia di Echelon Asia Summit 2018 adalah MyClinicalPro, sebuah startup kesehatan yang dipimpin oleh co-founder William Suryawan.

Menurut William, hal paling menarik dari mengikuti TOP100 adalah kita tidak pernah tahu siapa yang sedang menyimak presentasi kita. Bisa jadi mereka adalah calon investor, partner, atau pelanggan kita yang berikutnya.

Masih belum yakin mengapa startupmu harus ikut kompetisi ini? Berikut ini tiga alasan utama yang bisa dijadikan pertimbangan:

  1. Tahun ini, TOP100 akan memberikan hadiah senilai lebih dari Rp1 miliar (US$75,000). Selain hadiah tunai, startupmu juga berkesempatan mendapatkan fasilitas coworking space gratis, slot eksibisi di Echelon Asia Summit 2019, dan berbagai hadiah lainnya yang bisa kamu gunakan untuk menunjang operasi startupmu.
  2. Bergabung dengan TOP100 berarti membuka diri untuk bertemu dengan banyak pihak yang nantinya dapat menunjang keberhasilan startupmu, mulai dari investor sampai calon karyawan. Selain itu, kamu juga bisa bergabung dengan jaringan alumni TOP100 yang meliputi nama-nama besar seperti Carousell, 99.co, dan HotelQuickly.
  3. Dengan mengikuti TOP100, kamu berkesempatan untuk mewakili Indonesia di ajang startup internasional –dan membuktikan bahwa #IndonesiaBisa. Dari tujuh startup unicorn yang ada di Asia Tenggara, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Keempat perusahaan ini telah mengharumkan nama Indonesia di komunitas startup internasional —dan startupmu pun punya kesempatan untuk menjadi seperti mereka.

Jadi daftarkan startupmu hari ini juga dan sampai ketemu di Echelon Roadshow!


Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27

Bagaimana Startup Menyikapi Pasar yang Riuh dan Inovasi Berkelanjutan

Selain sesi pameran untuk startup, Echelon Asia Summit juga menyajikan banyak sekali sesi diskusi dan presentasi yang dikemas dalam sesi Future Stage, Founder Stage, dan Create Stage. Pemateri dan panelis dari kalangan startup, pengusaha, investor, hingga pengambil kebijakan dihadirkan untuk membahas topik terkini seputar gejolak bisnis digital. Di antara banyak sesi, salah satu yang paling menarik untuk disimak adalah cerita pengalaman founder startup kala menjalankan bisnis dan mencapai titik prestasinya.

Berikut ini adalah beberapa rangkuman hasil pemaparan pengalaman para pelaku industri startup di Asia yang menarik dijadikan sebagai tips menjalankan bisnis digital.

Keunikan di tengah pasar yang riuh

Managing Director WeWork SEA Turochas Fuad dan Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani dalam salah satu sesi di Founder Stage Echelon
Managing Director WeWork SEA Turochas Fuad dan Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani dalam salah satu sesi di Founder Stage Echelon

Dari Founder Stage hadir pemateri Turochas Fuad selaku Managing Director WeWork SEA. Dipandu Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani, ia menceritakan pengalamannya saat mendirikan tiga startup dan berhasil membawa ketiganya “exit” diakuisisi pemain besar. Sebagai informasi, Fuad pernah mendirikan WUF Network, Travelmob, dan Spacemob.

Pertama ia menceritakan tentang Spacemob, startup coworking space tersebut pada bulan Agustus 2017 lalu diakuisisi oleh WeWork. Disadari bahwa bisnis coworking space sudah sangat ramai di dunia, namun sebagai pengusaha ia menekankan bahwa cara pandang pebisnis bukan menghindari produk yang ramai di pasaran, melainkan membuat nilai unik di antara pemain yang ada.

“Tentu ingat, ketika kedai Starbucks pertama melakukan ekspansi, di berbagai negara ada banyak kedai kopi bagus. Pun demikian dengan Tesla, dia bukan pengembang mobil listrik pertama di dunia. Namun mereka berhasil, ini bukan tentang kesamaan, namun justru menekankan pada keunikan yang membuat orang-orang tertarik,” ujar Fuad.

Menariknya Fuad justru menekankan bahwa seorang founder jangan pernah terburu-buru untuk memiliki pikiran melakukan “exit. Di alam bawah sadarnya harus mengedepankan pada pengembangan bisnis yang berkelanjutan. Strategi “exit” menjadi bonus ketika startup yang didirikan sudah mencapai titik keberhasilan dan memerlukan amunisi tambahan untuk berkembang lebih lebar. Bagi Fuad, untuk melakukan semua itu startup harus memiliki dua komponen kunci: tim yang kuat dan kultur bisnis yang hemat.

“Jika saya harus kembali membangun startup yang sekarang sudah diakuisisi, maka hal yang paling saya tekankan adalah perekrutan dan pemilihan orang yang tepat. Untuk melakukan perekrutan bahkan saya rela untuk meluangkan waktu lebih, untuk menemukan orang yang benar-benar sesuai,” tambah Fuad.

Eksekusi tepat pada setiap ide inovasi

CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan dan Michael I. Waitze dalam sebuah sesi di Future Stage
CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan dan Michael I. Waitze dalam sebuah sesi di Future Stage

Di sudut lain dalam Future Stage hadir CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan. Sesinya dipandu oleh Michael I. Waitze. Judul diskusi yang diangkat ialah menelisik bagaimana PropertyGuru akan berkembang di masa mendatang. Maka perbincangan di awal ialah soal inovasi startup. Menurut Hari banyak founder mengatakan bahwa inovasi sebagai bumbu utama untuk bertahan, pun ketika tidak memiliki permodalan dan tim yang besar. Sayangnya di era internet seperti saat ini, bisnis dituntut pada target pertumbuhan dan ekspansi pasar yang lebih besar.

“Inovasi tidak akan berarti apa-apa tanpa eksekusi yang tepat. Saat startup mencapai titik tertentu, founder akan selalu berpikir tentang cara melakukan peningkatan. Di sini berbagai kompleksitas akan ditemkan, maka letak inovasi adalah di sini, founder akan melakukan apa pun untuk mencapai target tersebut,” jelas Hari.

Berkaca pada bisnis yang dijalaninya saat ini di bidang properti, Hari menjelaskan bahwa setiap inovasi akan memiliki aktor. Mungkin saja founder muda akan banyak disorot dengan ide-ide yang diusungnya, namun di balik itu akan selalu dibutuhkan sosok senior yang benar-benar berperan menjalankan eksekusi. Industri properti bukan bidang baru, walaupun mencoba menghadirkan disrupsi dengan teknologi, namun di sana ada aspek fundamental yang perlu digarap.

Startup Indonesia di Ajang Echelon Asia Summit 2018

Echelon Asia Summit kembali diselenggarakan. Ajang berkelas regional ini banyak dijadikan oleh startup untuk berunjuk gigi, memamerkan solusi produk yang dikembangkan dan memperluas koneksi pasar. Echelon sendiri selalu menghadirkan sesi bertajuk “Top100”, kesempatan bagi startup di tahap early-stage untuk berkompetisi mempresentasikan karyanya. Di antara 100 startup yang berhasil dikurasi dari seluruh wilayah Asia Pasifik, 9 startup di antaranya hadir dari Indonesia.

Berikut ini adalah daftar startup Indonesia yang hadir mengikuti pameran di Echelon Asia Summit 2018:

Exquisite Informatics (SaaS)

Fikri Akbar, Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics
Fikri Akbar, Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics

Startup yang berdiri sejak Oktober 2016 ini menyediakan layanan analisis data dan pengembangan platform data untuk korporasi. Saat ini telah menangani beberapa bidang bisnis, mulai dari perbankan, medis, ritel hingga perusahaan energi. Di Echelon kami bertemu dan berbincang dengan Fikri Akbar selaku Co-Founder & Head of Product Exquisite Informatics.

Ia menceritakan bahwa klien korporasi di Indonesia memiliki tantangan tersendiri saat hendak memilih platform data. Beberapa kultur yang ada seperti: mereka hanya mau menggunakan produk dari brand besar, setiap transisi kepemimpinan akan menghasilkan kerja sama dengan perusahaan teknologi mereka, bahkan mereka sering tidak mau mengakui bahwa perusahaannya tidak pernah aware dengan strukturisasi data.

Dari hal tersebut Exquisite Informatics sadar betul untuk tidak bermain produk data –karena dirasa sulit jika harus bersaing dengan Oracle, Microsoft, IBM dll. Solusi yang coba ditawarkan ialah menghadirkan dasbor yang menjadi hub di antara platform data yang sudah dimiliki oleh perusahaan dan menyatukan ke dalam sistem yang saling terintegrasi.

Produk Exquisite Informatics memungkinkan data dari berbagai sumber untuk disatukan dan direstrukturisasi, sehingga memudahkan proses visual dan analisis terjadi dalam satu dasbor terpadu. Selain produk berupa SaaS, Exquisite Informatics juga menyediakan layanan pengembangan dan konfigurasi infrastruktur server. Hal ini mengingat banyak perusahaan yang butuh comply dengan memiliki pusat data on-premise untuk server yang menampung data konsumen Indonesia.

Gradana (Fintech)

(kanan) Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha
(kanan) Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha

Gradana menyediakan layanan P2P lending khusus untuk produk-produk properti. Saat ini pihaknya memiliki tiga varian produk. Pertama ialah GraDP, memungkinkan peminjam mengajukan biaya untuk pembayaran uang muka/down-payment dalam pembelian rumah. Kedua ialah GraSewa, produk ini memungkinkan pengguna mengajukan pinjaman untuk biaya sewa yang umumnya (di Indonesia) harus dibayar minimal satu tahun di muka.

“Di Indonesia itu unik, orang yang ingin melakukan sewa properti biasanya harus membayar minimal satu tahun di muka, untuk beberapa orang atau bisnis kecil sering kali memberatkan. Dengan GraSewa, kita bantu membayarkan di muka, sehingga dari sisi konsumen tetap serasa membayar sewa bulanan,” ujar Chief Strategist Gradana Meirisha Berisdha.

Selanjutnya untuk produk ketiga ialah GraKarya, yakni pembiayaan untuk pembelian aset atau layanan properti lainnya, misalnya untuk pembiayaan interior. Dengan tiga varian produk tersebut, Gradana saat ini sudah melayani pinjaman di beberapa kota, di antaranya di Jakarta, Medan, dan Bandung. Memang tidak langsung banyak bisa ekspansi ke luar, karena untuk memberikan layanan properti Gradana juga membutuhkan rekanan lokal untuk verifikasi dan lain-lain.

Didirikan sejak tahun 2016, Gradana baru go-to-market sekitar awal tahun 2017. Bulan Desember tahun lalu pihaknya baru mendapatkan perizinan dari OJK. Saat ini sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A dari angel investor, dan ditargetkan tahun ini dapat membukukan pendanaan seri A untuk perluasan operasional dan bisnis.

JALA Tech (IoT)

Co-Founder JALA saat mempresentasikan produknya di hadapan juri
Co-Founder JALA saat mempresentasikan produknya di hadapan juri

JALA adalah pengembang perangkat IoT yang ditujukan untuk memonitor kualitas air pada tambak udang. Perangkat ini didesain untuk dapat mengatasi masalah budidaya udang dengan mengukur, menganalisis dan memberikan semua rekomendasi berdasarkan kondisi kualitas air tambak. JALA dikembangkan untuk membantu petambak udang dan meningkatkan respons petambak dalam menjaga kualitas air dan mengurasi kesalahan penanganan dalam bertambak udang.

Sistem JALA sendiri terdiri dari tiga bagian, pertama ialah sebuah perangkat yang dilengkapi sensor untuk memahami kadar oksigen terlarut, suhu, pH, salinitas, dan TDS (Total Dissolved Solid). Kemudian hasil pantauan dari sensor tersebut akan diproses dan dikirimkan hasilnya melalui aplikasi web dan SMS. Dibanding mobile app, SMS tampaknya memang lebih efisien untuk petani udang di lapangan. Dalam laporannya, JALA memberikan informasi dan rekomendasi untuk membantu petambak dalam mengambil tindakan yang tepat berdasarkan kondisi kualitas air tambak udang yang telah diukur.

Mallness (Lifestyle)

Tim Mallness dalam booth pameran yang disajikan dalam Echelon
Tim Mallness dalam booth pameran yang disajikan dalam Echelon

Mallness adalah aplikasi berbasis informasi yang menyajikan berbagai promosi, diskon, informasi program loyalitas member, dan berbagai hal lainnya seputar pengalaman belanja di pusat perbelanjaan (mall). Dari bisnis prosesnya, Mallness menyasar dua segmen sekaligus, yakni B2B dan B2C. Untuk B2B, Mallness memberikan layanan bisnis promosi kepada pusat perbelanjaan, brand, dan toko. Sedangkan untuk B2C, Mallness menyajikan pengalaman digital kepada para pengunjung pusat perbelanjaan.

Hal menarik dari aplikasi ini ialah penyajian konten yang dipersonalisasi. Tidak semua informasi ditampilkan ke semua orang, melainkan berdasarkan tren histori dan minat yang disukai saja. Startup ini berdiri sejak Desember 2017, didirikan dua co-founder berkebangsaan Spanyol, yakni Marco Hernáiz dan Mireya de Mazarredo.

Untuk tahun 2018, Mallness memiliki dua target utama, pertama ialah integrasi dengan payment gateway di aplikasi untuk pembayaran. Sedangkan yang kedua pihaknya merencanakan melakukan ekspansi ke Surabaya dan Medan.

MallSini (Lifestyle)

Partnership Executive MallSini Theresia Livinka
Partnership Executive MallSini Theresia Livinka

Mirip dengan Mallness, aplikasi MallSini menyajikan direktori promosi dan informasi seputar pusat perbelanjaan di Jakarta. Perbedaannya, untuk beberapa pusat perbelanjaan yang sudah bekerja sama, di aplikasi didesainkan indoor mapping untuk memudahkan pengguna ketika ingin menemukan gerai tertentu. Kepada pengelola pusat perbelanjaan, MallSini memberikan layanan berupa analisis dan tren kecenderungan konsumen yang didapat dari aplikasi, dimaksudkan untuk peningkatan pelayanan dan pengalaman pengunjung.

Meluncur sejak Maret 2018, MallSini telah membukukan lebih dari 5000 pengguna. Saat ini sekurangnya sudah ada 25 pusat perbelanjaan di Jakarta yang menjadi mitra. MallSini juga mendapatkan dukungan dari Agung Sedayu dan Summarecon Mall.

Medika App (Healthtech)

Co-Founder Medika App yang hadir dalam Echelon Asia Summit
Co-Founder Medika App yang hadir dalam Echelon Asia Summit

Startup yang digawangi oleh Danang Firdaus (CEO) dan Suka Bayuputra (COO) ini menawarkan platform end-to-end untuk menghubungkan masyarakat dengan layanan kesehatan. Implementasinya bekerja sama langsung dengan rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya. Startup yang didirikan sejak Mei 2017 ini terakhir mengumumkan perolehan pre-seed funding dari Fenox Venture Capital senilai USD50.000.

Terkait model bisnisnya, Medika App menyasar langsung segmentasi B2B dan B2C. Melalui model B2B pihaknya menyajikan layanan manajemen pasien di rumah sakit, termasuk aplikasi untuk kebutuhan operasional dan administrasi medis. Sedangkan di sisi B2C, Medika App menyediakan aplikasi pemesanan kepada pengguna untuk layanan dokter dan kesehatan. Di pembaruannya, saat ini Media App juga melayani pemesanan jasa kecantikan dan perawatan kesehatan.

Di Media App, pengguna tidak hanya bisa membuat janji dengan dokter. Saat ini aplikasi sudah terhubung dengan sistem pembayaran berbasis payment gateway. Sehingga pengguna dapat melakukan pembayaran di awal melalui kartu kredit atau transfer bank, saat di klinik atau rumah sakit tidak perlu lalu melakukan pembayaran.

MyClinicalPro (Healthtech)

Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan
Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan

Startup ini menyediakan aplikasi manajemen yang membantu klinik dan dokter agar punya sistem operasional yang lebih terstruktur. Di dalamnya juga mengakomodasi kebutuhan pencatatan rekam medis pasien. Menariknya MyClinicalPro didesain sebagai platform yang membantu dokter melakukan analisis atas tren pasien. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung dengan pasien secara lebih optimal.

“Selama ini kebanyakan klinik tidak memiliki data valid dari histori penanganan pasien, misalnya mengetahui tren usia, tren penyakit yang ditangani dan sebagainya. Padahal dengan mengetahui hal itu, dokter dan klinik akan banyak diuntungkan, terutama untuk peningkatan bisnis kesehatan itu sendiri,” ujar Co-Founder & COO MyClinicalPro William Suryawan.

Beroperasi sejak tahun 2016, saat ini MyClinicalPro sudah terhubung dengan 300 dokter dan klinik di 10 kota di Indonesia. Tahun ini mereka merencanakan untuk merilis aplikasi di sisi pasien, sehingga dapat menghadirkan layanan yang menghubungkan langsung dengan dokter.

Tanijoy (Agrotech)

Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra
Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra

Tanijoy adalah sebuah platform pemberdayaan petani yang terdiri dari dua sistem utama, yakni permodalan dan manajemen pengolahan lahan. Startup ini berdiri atas inisiatif salah satu co-founder yang sebelumnya berpengalaman 6 tahun menjadi petani. Banyak hal yang dirasa perlu diselesaikan, salah satunya soal peningkatan perekonomian para petani. Selain menyalurkan pembiayaan –layaknya aplikasi investasi pertanian yang saat ini ada—Tanijoy juga memberikan manajemen pengolahan lahan.

“Dari data kami, 70% petani mitra di Bogor tidak piawai baca-tulis, dari situ kami menyadari perlu adanya pendamping lapangan yang mengarahkan mereka. Sehingga di Tanijoy kami tidak melepaskan petani secara penuh, setiap hari ada yang disebut field manager melakukan pengambilan data terkait kebutuhan petani dan lahan yang digarap. Dari situ sistem kami memantau dan memberikan informasi kepada pihak terkait, termasuk investor,” ujar Co-Founder & CEO Tanijoy Nanda Putra.

Sampai tahun ini, Tanijoy masih akan memfokuskan pada riset produk dan layanan. Harapannya ketika nanti dilakukan perluasan, sistem yang diusung memiliki SOP dan spesifikasi yang pas untuk efisiensi dalam bisnis pertanian di Indonesia.

Tjetak (Marketplace)

Booth Tjetak dalam sesi pameran Echelon
Booth Tjetak dalam sesi pameran Echelon

Tjetak adalah sebuah B2B marketplace yang membantu individu dan bisnis untuk melakukan pencetakan berbagai kebutuhan desain. Produk yang dijual mulai dari kartu nama, stiker, kalender, buku, kaos, hingga pernak-pernik acara seperti gelas plastik. Untuk konsumen individu, Tjetak menawarkan sistem keagenan memungkinkan setiap orang untuk menjual produk cetakan secara instan. Sedangkan untuk bisnis, Tjetak menyediakan API untuk dihubungkan ke situs yang dimiliki sehingga dapat mengintegrasikan sistem pemesanan kebutuhan desain cetak secara mudah.

Startup ini baru melakukan go-to-market per Juli 2018 ini. Untuk operasional, Tjetak bekerja sama langsung dengan pemilik vendor percetakan dari berbagai wilayah operasional. Selain menawarkan desain dan jasa pencetakan, dalam aplikasi juga sudah diakomodasi layanan logistik untuk pengantaran produk yang dipesan.

Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya (Bagian 1) kami telah membahas tentang bagaimana dua lanskap kategori startup sati ini berkembang di Asia Tenggara, yakni fintech dan AI. Selain dua kategori startup tersebut –masih menyimpulkan dari sesi Future Stage di Echelon Asia Summit di Singapura—ada dua kategori lain yang dinilai tengah dalam fase hot, yakni Edtech dan Healthtech. Di Indonesia pun startup di segmen tersebut sudah bermunculan, bahkan beberapa bertumbangan, baik yang mengerjakan di sektor B2C ataupun B2B.

Menarik, saat ada yang bisa bertahan dengan proses bisnis yang dimiliki dan beberapa lainnya harus gulung tikar –minimal pivot ke proses lain. Kendati terlihat memiliki pangsa pasar yang besar, namun membutuhkan effort lebih untuk menggeser cara-cara yang sudah ada. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan tersebut juga tengah menjadi tantangan yang ingin dipecahkan para startup di Asia Tenggara secara umum.

Healthtech: Masih banyak tantangan sekaligus jalan untuk menjadi “disruptive”

Salah satu sesi dalam Future Stage membahas seputar “Disruptive Innovation For Better Healthcare”. Dalam diskusi panel ini dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Nawal Roy (Founder & CEO Holmusk), Julien de Salaberry (Co-founder Galen Growth Asia) dan Gillian Tee (Co-founder & CEO Homage).

Salah satu poin yang awal disinggung dalam diskusi panel tersebut terkait dengan intensitas pendanaan. Jika dibanding dengan yang lain, terlebih fintech, sektor healthtech memang masih jauh. Kategori startup ini lebih minim pendanaan, pun demikian dalam hype-nya di lanskap startup secara umum.

Poin menarik tentang potensi adalah saat ini para pemain di sektor kesehatan tentang mematangkan posisinya, untuk masuk secara mendalam dari unsur teknologi perangkat keras pendukung (dukungan IoT) atau perangkat lunak (khususnya analisis data).

Sesi diskusi panel pembahasan tentang tren startup kesehatan / DailySocial - Randi Eka

Terdapat salah satu pernyataan Nawal Roy yang menjadi sebuah keniscayaan. Saat startup bermain di bidang kesehatan –jika melihat yang ada sekarang—konsentrasi mereka justru belum pada misi kesehatan secara intensif, misalnya startup yang menyerukan penyembuhan diabates, sangat sedikit yang menawarkan solusi langsung terhadap penyelesaian masalah, beberapa startup bahkan hanya memanfaatkan tren untuk pemasaran semata.

Roy turut mengungkapkan bahwa inovasi tetap menjadi fokus, namun para pemula di bidang ini justru lebih suka bergelut di masalah seputar ekonomi (khususnya makro) yang berhubungan dengan kesehatan.

Terkait dengan potensi di waktu sekarang ini, Gillian Tee lebih suka melihat startup hadir sebagai tech-enabler dalam lanskap bisnis kesehatan dan juga pengelolaan data. Tak mudah memang mendapatkan akses ke data kesehatan, namun di sana terdapat banyak hal yang bisa dilakukan. Ia juga menceritakan, bahwa memahami apa yang benar-benar dibutuhkan klien menjadi hal yang sangat krusial.

Untuk itu startup yang ia gawangi, Homade, mencurahkan tahun pertamanya untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang dibutuhkan. Selain tim teknis non kesehatan, saat ini Homeage memiliki tim operasi klinis dengan spesifikasi masing-masing berpengalaman minimal 11 tahun.

“Di lapangan ini bukan hanya tentang implementasi IoT atau teknologi lain pada permasalahan (kesehatan), tapi benar-benar tentang memahami bagaimana teknologi berdampak menjadi enabler,” ujar Gillian.

Mencoba melihat dari sudut padang investor, Julien Salaberry mengatakan untuk lanskap kesehatan saat ini masih banyak pertanyaan “membingungkan”. Baik terkait dengan solusi teknologi yang digunakan ataupun pada dampak inovasi yang digarap dengan penanganan kesehatan itu sendiri. Misalnya saat membicarakan tentang bioteknologi, pertanyaannya pasti berujung pada bagaimana strategi membawa konsep tersebut ke dalam industri.

Jika melihat dari tren yang ada di Indonesia, healthtech kebanyakan mencoba memfasilitasi –baik untuk paramedis maupun konsumen—dalam bentuk layanan yang menghubungkan atau menjadi asisten virtual. Artinya apa yang dilakukan belum bisa dikatakan benar-benar “mengganggu” industri kesehatan secara umum, karena penopang dalam proses bisnisnya masih di industri yang sudah ada.

Sama seperti pada kategori lainnya, bisa jadi juga ini berkaitan dengan penerimaan calon konsumen yang ditargetkan. Secara kasat mata sangat terlihat, jika bidang kesehatan mungkin banyak konsumen yang memilih tidak untuk “bertaruh”, dalam artian mencoba hal yang baru pun ragu. Karena tingkat risikonya yang tinggi.

Namun apa pun itu, para pemateri dalam panel meyakini bahwa teknologi tetap menjadi jembatan paling penting dalam menggerakkan industri kesehatan, untuk terciptanya solusi inovatif nan efisien, dalam waktu cepat atau lambat.

Edtech: Peta layanan dan arah pertumbuhan yang semakin jelas

Tentang lanskap pendidikan, Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham menyampaikan banyak hal dalam presentasinya. Salah satu yang menjadi titik poin, saat ini layanan dan produk berbasis edtech terdiri dari empat karakteristik utama, yakni (1) on-demand learning, (2) immersive experiences (3) direct to empolyers, dan (4) guidance by AI.

Poin pertama didasarkan pada tren pendidikan yang berangsur disampaikan melalui teknologi. Dicontohkan beberapa perguruan tinggi kini mulai mengadakan kuliah online, yang berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap efektivitas sistem pembelajaran jarak jauh.

Di Asia Tenggara menurut Pham tren ini juga mulai terjadi, bahkan di Indonesia. Memang, jika menilik beberapa startup seperti Ruangguru atau Kelase misalnya, mereka mampu menyuguhkan proses dan sistem pembelajaran melalui medium teknologi yang akrab dengan pengguna.

Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial - Wiku Baskoro
Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial – Wiku Baskoro

Perkembangan teknologi modern juga berpengaruh di sektor ini, terutama berkaitan dengan bagaimana konten disampaikan. Contohnya tren Virtual Reality atau Augmented Reality yang mulai ramai digarap, tak lain menggunakan unsur edukasi sebagai konten primer yang disajikan.

Sementara itu kanal pembelajaran premium juga tetap menjadi bagian penting terhadap lanskap edtech. Pham mencontohkan bagaimana Udacity dan Pluralsight memiliki segmentasi yang membuat konten di dalamnya eksklusif bagi para pelanggan, didukung dengan keahlian sistem cerdas di dalamnya yang mampu memahami kebutuhan belajar penggunanya.

Diungkapkan juga pasar ini masih tergolong sangat terfragmentasi, kuncinya adalah pada “resolving the culture”. Apa yang dilakukan Topica Edtech Group salah satunya dengan menjalin kerja sama strategis dengan institusi pendidikan resmi. Bahkan menyesuaikan pembelajaran dengan standar yang dituntut oleh negara, dalam hal ini Tropica mempraktikkan di negara Vietnam dan Bangkok.

Edtech harus benar-benar menyesuaikan dengan pangsa pasar, pun demikian ketika startup akan melakukan ekspansi. Setiap negara bahkan kota memiliki diferensiasi yang tinggi. Mulai dari cakupan segmentasi pengguna, tatanan konten, platform sebagai medium hingga strategi distribusi.

Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial – Wiku Baskoro

Ketika berbicara pada strategi monetisasi, Co-Founder & CTO Remind David Kopf menceritakan pengalamannya, bahwa diperlukan momen dan titik awal yang pas ketika mengarahkan platform pendidikan menjadi sesuatu berbayar. Apa yang ia lakukan bersama startupnya dalam bisnis model yang telah dirumuskan, selama tahun ke-1 sampai 3 fokus pada penjelajahan pangsa pasar, kemudian tahun ke-4 fokus pada growth dan baru melakukan monetisasi pada tahun ke-6.

Prosesnya pun harus disiasati dengan baik. Beberapa layanan tidak bisa dijual langsung, misalnya penyaji konten. Ketika tidak dapat dielaborasikan dengan institusi resmi seperti sekolah, maka model bisnisnya harus dijalankan setelah memiliki traksi yang kuat. Misal edX, dengan konten premium yang mereka miliki, monetisasi dilakukan dengan cara menjual sertifikat premium untuk setiap capaian belajar.

Kesimpulannya, edtech masih menyimpan sejuta potensial, perlakukannya yang harus menyesuaikan kultur pendidikan di cakupan wilayah pasarnya. Tidak semua strategi dapat berjalan baik, bahkan cenderung harus diberi perlakuan berbeda.

Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 1)

Sebagai wilayah regional yang sangat berkembang dalam startup digital, Asia Tenggara kini dikatakan tengah dalam proses penguatan ekosistem di masing-masing lini kategori. Yang paling menjadi sorotan dewasa ini ada di sektor finansial (fintech), di sektor edukasi (edtech), di sektor kesehatan (healthtech) dan inovasi terkait dengan kecerdasan buatan (AI – Artificial Intelligence).

Pada pagelaran Echelon Asia Summit 2017 di Singapura di tanggal 28-29 Juni 2017, beberapa pakar dan pelaku bisnis mendiskusikan tentang tren dan tantangan startup yang bergerak pada empat bidang tersebut.

Fintech: Tren platform pembayaran belum usai, dan berpacu pada kepercayaan pengguna

Salah satu indikasi pertumbuhan di sektor ini adalah tren investasi yang tidak terbendung. Startup fintech sendiri juga berkembang signifikan di Indonesia, dari pemain early-stage hingga yang mendapat dukungan besar dari korporasi. Dalam diskusi panel yang digelar dalam Echelon, dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Veiverne Yuen (Co-Founder & Managing Director Tryb Capital), Valenzia Jihsuan Yap (Founder & CEO PolicyPal) dan Anson Zeall (Co-founder & CEO Coinpip).

Tema yang disajikan ialah langkah fintech ke depan setelah berkutat pada platform berbasis pembayaran. Namun Anson Zeall, dalam perkembangan platform pembayaran pun di pasar Asia Tenggara belum usai. Inovasi masih akan terus berlanjut, seiring dengan pasar yang mulai teredukasi dan berpindah menjadi cashless society. Di beberapa negara disebutkan bahwa dominasi pembayaran masih menggunakan uang tunai, lebih parah lagi non-bankable society juga masih banyak ditemui.

Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baskoro

Dari perjalanan startup fintech yang ada saat ini –termasuk di Indonesia—terdapat dua tendensi besar pada visi mereka, yakni menjadi institusi keuangan dan mengembangkan teknologi yang bisa disalurkan di masyarakat dan industri. Menurut pemateri justru kedua hal ini yang akan menentukan fintech ke depan dan akan menjadi seperti apa.

“Sebagian besar layanan keuangan, setidaknya 85% tidak dibuat di sektor konsumer (B2C), melainkan di sektor bisnis (B2B),” Veiverne Yuen.

Di lain sisi kepercayaan masih menjadi perjuangan industri untuk berkomunikasi dengan calon penggunanya. Dari pengalamannya bersama PolicyPal, Valenzia Jihsuan mengatakan, “Ini tentang membangun kepercayaan dan berada di sana setiap kali mereka membutuhkan bantuan.”

Untuk mendukungnya, keterlibatan regulator sangat dibutuhkan. Salah satu yang telah dipraktikkan adalah mendapatkan akreditasi dari Monetary Authority of Singapore (MAS) –OJK setempat, sebagai bagian dari validasi keabsahan yang dapat ditunjukkan kepada konsumen.

Bagi sebagian besar penggunanya, fintech menjadi cara baru dalam banyak aktivitas transaksi. Uang adalah hal yang sensitif, dalam artian orang baru akan mau meletakkan uang yang ia miliki manakala meyakininya bahwa ia akan mendapati keberhasilan dalam transaksi. Terkait dengan kepercayaan tadi, para panelis menilai bahwa menjadi sebuah hal penting yang harus menjadi fundamental dalam fintech, baik untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Blockchain turut disinggung dalam panel, dengan keuntungan yang diberikan antara lain berupa portabilitas, akuntabilitas dan potensinya di luar fintech. Salah satu penerapan terbaik saat ini –sebagai bagian dari membiasakan proses di dalamnya—validitas data dapat disuguhkan sebagai bagian terpenting dalam blockchain. Sementara ini blockchain sangat bagus untuk memantau dan memvalidasi transaksi yang berjalan di atasnya.

Namun jika berbicara secara teknis, contohnya pada fintech untuk layanan asuransi seperti yang disuguhkan PolicyPal, tidak mudah menerapkan blockchain ke dalamnya. Tantangannya adalah pada perlindungan data yang menjadi bagian krusial dalam proses bisnis. Namun tidak menutup kemungkinan jika ke depan justru inovasi yang ada akan turut mendorong blockhain sebagai bagian penting dalam fintech di Asia Tenggara.

Artificial Intelligence: Hype sangat besar dan gagasan mayoritas yang masih sangat konseptual

Dalam sesi “Hype or Hope and Is there an AI bubble?” terdapat Annabelle Kwok (CEO SmartCow), William Klipgen (Managing Partner Cocoon Capital) dan Jarrold Ong (Co-founder & ‎CTO SWAT).

Berkaitan dengan pertanyaan apakah AI hanya sekedar hype semata, masing-masing panelis memiliki argumen yang berbeda. Annabelle misalnya, saat ini ia melihat hype yang begitu luar biasa terhadap AI, namun demikian bukan berarti banyak harapan yang pasti akan tercapai dengannya.

Berseberangan, Jarrold Ong dan William Klipgen, memiliki pendapat berbeda. Bahwa AI bukan hanya sekedar hype semata. Kendati demikian memang masih banyak tantangan yang masih harus dibuat lebih gamblang. Seperti kata William, masih banyak ditemui investor yang sulit memahami seberapa dalam AI tertanam pada sebuah teknologi. AI di sini jelas memberikan nilai, tapi tantangan dari sisi investor ialah menentukan seberapa besar hype yang ada dan berapa nilainya.

“Singapura (dan Asia Tenggara pada umumnya) memiliki sedikit inovasi dan lebih banyak aplikasi teknologi, inovasi AI lebih banyak terjadi di Silicon Valley,” Klipgen.

Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baksoro
Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baksoro

Dalam praktik implementasinya, Jarrold Ong menerangkan bahwa untuk beberapa produk tidak perlu dipaksakan menggunakan AI. Dalam artian, dalam sistem secara keseluruhan AI hanya perlu diterapkan pada apa yang benar-benar dibutuhkan. Karena pada dasarnya saat AI berelaborasi pada suatu layanan, maka kapabilitas data akan diuji di sana.

Pertanyaan terbesarnya, ketika berbicara tentang AI maka startup akan berkompetisi langsung dengan pemain besar seperti Google atau Microsoft, dengan investasi yang sangat besar di divisi tersebut. Menurut Klipgen, metrik untuk mengukur kecerdasan produk perusahaan bisa menjadi proposisi bisnis potensial. Aplikasi yang dibawa ke industri memiliki sifat yang sangat kustom, dengan menunjukkan bahwa memiliki strategi pemecahan pada masalah yang signifikan.

Belajar dari Ekosistem Startup Tiongkok

Negara Tiongkok tidak bisa lepas dari bahasan ketika membicarakan tentang ekosistem startup. Negara ini jadi salah satu negara yang bisa dijadikan rujukan, baik untuk perkembangan teknologi, pasar, pola investasi dan tren behavior konsumen. Teknologi dan perkembangan solusi yang ditawarkan startup di sana dianggap lebih maju beberapa tahun dari beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari perkembangan tren teknologi yang ada di sana? Sebuah diskusi panel di acara Echelon Asia Summit mencoba membahas hal tersebut. Panel diisi oleh Partner Linear Venture Harry Wang,
Managing General Partner Integral Investment Group Peter Cheng, dan Head of Global Partnerships & Marketing TechTemple Coco Sun, Menjadi moderator dalam ajang ini adalah Founding Director Startups Greater Asia / Corporate Attorney, Carr & Ferrell Christina Hsiang.

Pendapat tentang wilayah Asia Tenggara

Asia Tenggara dipandang sebagai area yang paling menjanjikan. Coco Sun memberikan pendapat ini dan menambahkan bahwa kawasan ini adalah one of the best tetapi juga menyimpan kontroversi. Kondisi teknologinya masih ketinggalan 5-6 tahun dari Tiongkok. Indonesia juga tak luput dari komentar. Negara ini menyimpan peluang yang besar karena jumlah pengguna tetapi belum teruji visibilitasnya seperti di Tiongkok. Jadi masih meragukan untuk melihat startup yang akan sukses.

Peter Cheng memberi pendapat bahwa pasar Asia Tenggara menarik tetapi investor dari Tiongkok lebih tertarik ke pasar Amerika Serikat yang memang telah terbukti menghasilkan startup-startup berskala besar.

Pendapat ini tentunya bisa menjadi masukan bagi ekosistem startup di tanah air. Meski beberapa waktu ini muncul beberapa startup yang mendapatkan dana cukup besar dan melambungkan namanya untuk menjadi ‘kelas’ unicorn, namun kisah sukses dan startup yang menggunakan teknologi untuk benar-benar memecahkan masalah dan bisa dibawa scaling masih belum banyak terlihat.

Pola investasi yang berubah

Tidak hanya perkembangan teknologi dan layanan yang diberikan, pola investasi pun berubah di Tiongkok. Harry Wang menjelaskan bahwa dulu di Tiongkok kriteria untuk melakukan investasi fokus pada talent. Kriteria yang dilihat smart people saja, tetapi sekarang lebih ke big data dan smart learning. Tiongkok memiliki data yang terkumpul dalam jumlah besar, maka pengolahan data dan layanan yang memaksimalkan data ini akan menjadi incaran investor.

Meski demikian talent juga tetap menjadi faktor penting, yaitu talent yang memiliki kemampuan global. Faktor lain yang diperhatikan adalah ada tidaknya pasar yang disasar oleh startup tersebut.

Harry juga menyebutkan pandangan yang menarik tentang big data di Tiongkok. Dari sisi teknologi mereka cukup maju, tetapi lemah di sisi lain, misalnya cara meng-capture market yang ada.

Sedikit tentang kondisi teknologi di Tiongkok

Seperti yang disebutkan di atas, kondisi perkembangan atau kemajuan teknologi di Tiongkok lebih maju dari negara Asia lain, terutama Asia Tenggara. Lalu seperti apa sekiranya teknologi yang sedang berkembang di sana?

Peter memberikan sedikit penjelasan. Menurut dia di Tiongkok para pemain di industri TI sudah maju dari sisi teknologi, live streaming disebutkan lagi ‘hot’ meski pemainnya sudah cukup banyak yang terjun di area ini.

Menurut Peter, startup yang menghadirkan layanan vertical mobile enterprise adalah yang sedang diincar oleh investor saat ini. Kondisi ekonomi yang sedang menurun juga bisa menjadi peluang karena para pelaku bisnis membutuhkan optimasi dari sisi teknologi. Di sinilah startup bisa membuat pemecahan masalah dan menawarkan layanan mereka.

Menyinggung tentang pembahasan unicorn, Peter berpendapat bahwa sulit untuk mencari perusahaan yang mampu menjadi ‘one winner take all’ di Tiongkok. Bisa jadi kondisinya akan memunculkan beberapa unicorn di satu segmen layanan.

Menurut Peter pelajaran lain yang bisa dipetik adalah dengan skala konsumen yang besar, di Tiongkok startup bisa menyasar segmen niche dan tetap bisa sukses (menjadi besar) karena segmen yang niche di sana susah cukup besar untuk jadi target konsumen startup. Hal yang sama seharusnya bisa diterapkan di Indonesia.

Bagaimana startup Asia Tenggara bisa bersaing

Bahasan pertanyaan ini menarik untuk dicermati, terutama jika Anda sedang mengembangkan startup yang ingin memasuki pasar Tiongkok atau ingin mendapatkan investasi dari Tiongkok.

Coco mencoba melihat dari tren yang ada bahwa startup di Amerika Serikat cenderung mengarah ke IPO sedangkan di Asia Tenggara startup yang ada masih craving di area optimasi rencana bisnis. Coco memberi saran agar startup di wilayah ini melihat apa yang sudah sukses di negara yang lebih maju. Startup regional bisa melihat dari apa yang sudah sukses di Tiongkok.

Coco tidak menyukai istilah copycat karena meski layanan yang ada di Tiongkok atau di negara lain mirip dengan layanan yang sudah lebih dulu ada di negara maju, tetapi eksekusi yang ada tetap akan memiliki pendekatan lokal. Beberapa layanan Tiongkok yang mengambil ide dari layanan yang sudah jalan di Amerika Serikat bisa bertahan karena eksekusinya kental dengan nuansa lokal. Perusahaan Amerika Serikat cenderung akan go global, sedangkan di Tiongkok lebih melayani pasar lokal.

Copycat startup memang menyimpan kontroversi. Di satu sisi bisa memberikan dampak negatif (tidak ada inovasi, me too product), di sisi lain bisa juga memberikan dampak positif (transfer teknologi, uji pasar, proven business). Kondisi ini masuk dalam contoh yang diberikan Peter. Lima belas tahun terakhir ini startup Tiongkok banyak yang memulai bisnis dengan meniru produk startup Amerika Serikat, tetapi kemudian meningkatkannya dengan lebih banyak berinovasi. Beberapa contoh yang dikenal adalah layanan messaging WeChat dan platform pembayaran Alipay.

Cara mengembangkan ekosistem startup regional

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dari sisi talent. Harry memberikan saran dengan membawa talent terbaik yang mengembangkan karier di luar region untuk kembali masuk ke region dan mengembangkan layanan dan teknologi.

Langkah seperti di atas sebenarnya sudah mulai terjadi di Indonesia. Beberapa anak bangsa yang sempat berkarier atau mengembangkan usaha di luar negeri kembali ke Indonesia untuk mendirikan atau bekerja di startup. Perkembangan seperti ini bisa memberikan sisi positif, misalnya sisi transfer knowledge, juga bisa membawa relasi yang didapatkan di luar region ke Asia Tenggara.

Saran untuk startup yang ingin masuk ke pasar Tiongkok

Pertanyaan dalam diskusi tentu saja menyinggung tentang saran apa yang bisa diberikan bagi startup Asia Tenggara untuk mengejar ketertinggalan dan saran yang cocok bagi startup untuk masuk ke pasar Tiongkok atau mendapatkan investasi dari investor Tiongkok.

Peter memberikan saran singkat tetapi cukup masuk akal. Ia menyebutkan bahwa jika ingin masuk ke Tiongkok bisa mencari partner lokal. Menurut dia jarang sekali startup/perusahaan/layanan yang masuk sendirian di Tiongkok dan sukses.

Sedangkan Harry menyebutkan bahwa startup bisa membawa informasi yang ada di luar Tiongkok untuk masuk ke pasar Tiongkok sebagai informasi untuk mengembangkan layanan. Ada beberapa teknologi yang sudah ada yang bisa digunakan tidak perlu dikembangkan dari awal. Berangkat dari sini, startup bisa mulai mengembangkan lebih lanjut layanan yang dihadirkannya.

Sedangkan Coco memberikan pendapat bahwa tipe investor asal Tiongkok memiliki mindset yang lebih agresif dan berpikir cukup pendek untuk menuju exit. Coco juga berpendapat bahwa investor yang paling pas untuk didekati adalah investor Tiongkok yang berbasis teknologi (memiliki latar belakang teknologi atau yang mengerti teknologi – Ed).

Coco menyebutkan adanya kurang komunikasi yang terjadi antara pelaku startup Asia Tenggara dan Tiongkok. Jarang ada yang mau masuk ke pasar Tiongkok dari Asia Tenggara. Ia menambahkan harus lebih banyak partnership antara kedua kawasan ini.

Strategi Exit Startup Bisa Dipikirkan Sejak Awal

Ada banyak diskusi seru ketika membicarakan strategi exit untuk para startup. Ada beberapa ‘aliran’ exit yang bisa dipilih dalam menjalankan startup. Ada yang bertujuan untuk exit dengan IPO, ada yang exit dengan M&A (merger and acquisition), dan ada pula yang memiliki pandangan tidak akan exit dan mengembangkan terus startup yang dijalaninya.

Seharusnya tidak ada yang salah dengan beberapa pandangan yang disebutkan di atas selama dijalani dengan profesional. Exit bagi startup seharusnya dijalankan atau dipilih bukan tanpa alasan. Memilih exit juga bukan berarti keluar dari medan perang dan lari dari tanggung jawab. Semua dijalankan sesuai strategi yang dibutuhkan startup.

Salah satu topik yang menarik untuk disimak di ajang Echelon Asia Summit 2016 yang diadakan di Singapura beberapa waktu lalu adalah soal exit untuk startup. Panelis yang hadir adalah Head of Media & Technology Asia Tenggara Goldman Sachs Andy Tai dan Executive Director North Ridge Partners Chris Tran. Founder & CEO, Detecq Wong Zi En menjadi moderator diskusi ini.

Kapan harus memikirkan exit

Dua pembicara ini secara garis besar memiliki pandangan yang sama bahwa strategi exit bisa dipikirkan sedini mungkin.

Andy memberikan pendapat bahwa rencana apakah akan exit atau tidak harus dipikirkan early possible ketika menyusun bisnis plan. Ia berpendapat bahwa startup yang kini bermunculan banyak yang tidak memikirkan hal ini karena lebih condong pada passion mereka dalam menjalankan startup, padahal di banyak sisi rencana exit bukan hanya bisa baik bagi founders tetapi juga bagi investor.

Sedangkan Chris memiliki pendapat bahwa startup yang sukses adalah yang para founders-nya memiliki tujuan akhir yang jelas. Pertumbuhan seperti apa yang ingin dicapai saat mengembangkan startup. Selain itu startup juga harus memperhatikan beberapa hal, termasuk growth, innovation dan talent.

Seperti yang dibahas di awal artikel, exit tak melulu berarti founders keluar dari perusahaannya dan melepaskan ke pemilik baru. Dalam proses M&A biasanya founders stay di perusahaan meski terkadang ada jangka waktu tertentu (lock).

Faktor yang harus diperhatikan dalam proses M&A

Berbicara tentang M&A, ada beberapa faktor (pandangan VC) yang bisa diperhatikan oleh para founders. Andy menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Faktor penting untuk proses M&A adalah strategi revenue yang dimiliki startup, apakah startup itu men-disrupt kondisi yang telah ada atau tidak. Sisi talent di sini pun memegang peranan penting.

Faktor lain terkait proses ‘paper works’ adalah governance right atas perusahaan tempat investor menanamkan modal. Investor memperhatikan faktor ini dalam proses M&A. Contohnya hak veto untuk menolak keputusan founders.

Andy juga menyebutkan hal menarik tentang mindset yang bisa ada di para founders. Ekspektasi mereka atas angka (harga) startup mereka biasanya lebih tinggi sedangkan biasanya investor lebih skeptis pada proyeksi keuangan dari startup. Perbedaan mindset ini tentunya perlu diperhatikan saat founder menargetkan M&A, karena ketidaksamaan persepsi bisa membuat proses gagal.

Pendapat lain yang senada disampaikan Chris. Menurutnya founders harus bisa memperhatikan future promises yaitu kondisi-kondisi di masa depan yang akan dihadapi oleh startup mereka. Para founders juga harus bisa memikirkan bagaimana meningkatkan valuasi saat negosiasi untuk proses M&A. Salah satu saran yang diungkapkan Chris adalah menggunakan jasa advisor atau penasihat. Ia berpendapat bahwa advisor ini bisa memberikan bantuan untuk menunjukkan valuasi yang tepat untuk startup.

Pilih IPO atau M&A

Pertanyaan di atas standar tetapi jawabannya bisa bermacam-macam. Menurut dua investor panelis ini ketika ditanya tentang memilih mana IPO atau M&A menjawab secara logika tentu saja semua tergantung kondisi dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.

Chris mengatakan bahwa M&A memiliki keuntungan salah satunya adalah prosesnya yang relatif lebih ‘mudah’ dari IPO, misalnya jangka waktu tunggu proses dan pengurusan dokumen. Dalam proses menjalaninya, M&A juga bisa dibilang lebih ‘mudah’ karena IPO berarti investor akan bertambah dari publik.

Bagaimana dengan kondisi di kawasan Asia Tenggara? Andy memberikan pendapat bahwa IPO akan lebih menantang untuk startup di kawasan ini, sedangkan M&A akan lebih masuk akal. Beberapa faktor yang yang mendukung pendapat ini adalah M&A akan menjadi sinergi agar startup bisa lebih berkembang dan proses M&A berlangsung lebih cepat.

Andy juga menambahkan bahwa penting bagi para founders untuk memikirkan skala perusahaan saat menjalani startup mereka, apakah mereka akan menargetkat untuk IPO, M&A, atau tetap menjadi perusahaan tertutup.

Big Exit

Cara yang tepat dalam menjalankan startup adalah dengan memecahkan masalah. Demikian juga dengan proses M&A. Bagi founders yang memang berencana untuk menempuh jalan ini, Chris memberikan saran bahwa founders harus melihat sisi konsumen dan mencari pemecahan masalah. Untuk proses M&A bisa juga melihat pesaing dan memberikan pemecahan masalah yang lebih baik.

Startup yang bisa diakuisisi juga bukan hanya yang bisa mendapatkan user baru dan lebih besar dari pesaing, tetapi bisa pula mencuri dari layanan yang lebih besar dan sudah ada terlebih dahulu. Akusisi bisa ditempuh oleh perusahaan besar atas perusahaan yang ‘disruptive’ ini untuk mempercepat pertumbuhan pasar.

Saran lain yang diberikan oleh Chris adalah start with end mind, menentukan secara tepat dari awal siapa konsumen dari layanan startup serta bekerja sama dengan advisor.

Memikirkan exit bukan berarti ‘menyerah’ sebelum bertanding. Founders yang memikirkan strategi akan seperti apa perusahaannya di masa depan adalah mereka yang memiliki visi dan tahu apa yang ingin dicapai dengan startup-nya.

Beberapa startup membutuhkan exit (biasanya berupa M&A) untuk urusan strategis. Perusahaan yang mengakuisisi biasanya memiliki dana, cakupan akses pasar yang lebih luas, dan bisa membawa startup tersebut untuk berkembang lebih besar lagi.

Dalam perkembangan dunia digital yang serba cepat ini, ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh startup, apakah stay private, IPO atau M&A. Bisa jadi, menjadi exit agnostic dan selalu melihat para perkembangan internal (pertumbuhan pengguna, laporan keuangan, burn rate) dan memperhatikan perkembangan eksternal (konsisi pasar, tren, persaingan) adalah cara yang tepat. Tidak ada formula yang sama untuk setiap kondisi tetapi cerdas membaca pola dan menelaah informasi adalah kunci.