Fintech Lending Startup AwanTunai is Officially Launched, Distributing Corporate Funds

Fintech lending startup AwanTunai is officially launched in Indonesia. AwanTunai is already in development since Mei 2017 and listed in OJK.

Slightly different with other lending players, rather than using individual investor, AwanTunai get corporate funds. One of which is Kredit Plus (PT Finansia Multi Finance), the value has reach US$ 30 millions. There are also several foreign danareksa investment.

Another difference is, company targeted users in middle to low class society. They also line up with merchant offline as distribution channel.

“Our funding source is institution, even though we are still under regulation POJK Number 77 of 2016,” said AwanTunai’s CEO Dino Setiawan, Wednesday (11/29).

Dino added, the team sees a big amount of money cannot be guaranteed by only individual investors. It is necessary to cooperate with institutions ensuring continuity funds.

“In addition, shopping contribution of e-commerce to retail industry is still 1%. Instead of seeing the 1%, we better develop the existing 99%.”

In the early stages, AwanTunai only serves loan for smartphone purchase up to 4 million rupiahs. There are certain reasons why company choose to finance smartphones in regards as consumer credit.

Firstly, seen the growth of smartphone purchases in Indonesia that reach 40%. In conclusion, the goods are common needs to support productivity.

Secondly, as company’s first step is collecting user data. Collected data will be used to form other consumer products for installment.

“As far, it is limited to smartphone. We will provide other consumer products for installment, soon to be announced.”

AwanTunai’s business model

In the loan application process, the debtor needs to download AwanTunai app and upload ID card for the requirements. Their data will be verified by credit engine build by AwanTunai. The guarantee is to get the credit limit approval within 15 minutes.

AwanTunai has two types of channel in their business model. First, line up the debtors and institutions to ensure on target distribution and minimize failed payment. A partner institution of AwanTunai is Blue Bird for all its driver.

Currently, AwanTunai has lined up with 42 pools in Jabodetabek for 16 thousand drivers in the last 5 months. There are about 8 thousand applications approved with total distribution of 5 billion rupiahs. In the future, company will expand to Blue Bird pools in Surabaya.

Furthermore, AwanTunai associated with offline merchant selling smartphone to be a safe, easy and fast point of sales financing. There are about 50 partnered merchants in Jabodetabek area.

In expanding its services, AwanTunai will line up with three banks for additional funding and with small to huge businesses in improving service to public.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Fintech Lending AwanTunai Resmi Hadir, Salurkan Dana dari Korporasi

Startup fintech yang bergerak di bidang lending AwanTunai resmi hadir di Indonesia. Sebelum diresmikan, pengembangan bisnis AwanTunai telah dimulai sejak Mei 2017 dan telah mengantongi surat tanda terdaftar di OJK.

Sedikit berbeda dengan pemain lending lainnya, AwanTunai tidak menggunakan investor individu sebagai pemberi dana, melainkan dari korporasi. Salah satu korporasi yang berkomitmen untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna AwanTunai adalah Kredit Plus (PT Finansia Multi Finance), nilainya saat ini sebesar US$30 juta. Terdapat juga beberapa fund reksa dana dari luar negeri sebagai sumber dana.

Perbedaan lainnya, perusahaan mengincar masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah sebagai penggunanya. Juga menggandeng merchant offline sebagai kanal distribusi.

“Jadi sumber dana kami dari institusi, meski demikian kami tetap ada di bawah payung regulasi POJK Nomor 77 Tahun 2016,” terang CEO AwanTunai Dino Setiawan, Rabu (29/11).

Dino melanjutkan, pihaknya melihat untuk penyaluran dana yang besar belum tentu ketersediaan dananya bisa diandalkan dari investor individu saja. Maka dari itu perlu gandeng institusi untuk menjamin sumber dananya selalu tersedia.

“Ditambah, kontribusi belanja dari e-commerce terhadap industri ritel masih 1%. Daripada melihat yang 1% itu, lebih baik kami mengembangkan dari 99% yang sudah jelas ada.”

Pada tahap awal, AwanTunai baru melayani penyaluran pinjaman untuk pembelian smartphone dengan rentang maksimal Rp4 juta. Ada alasan khusus mengapa perusahaan memilih pembiayaan untuk smartphone yang bisa dikatakan sebagai kredit konsumtif.

Pertama, dilihat dari pertumbuhan pembelian smartphone di Indonesia tumbuh 40%. Bisa disimpulkan barang tersebut menjadi kebutuhan umum yang dapat menunjang produktivitas.

Kedua, sebagai langkah awal perusahaan mengumpulkan data pengguna. Data yang dikumpulkan akan digunakan perusahaan untuk merumuskan produk konsumer lainnya yang bisa dicicil.

“Sejauh ini baru smartphone saja. Kami akan menyediakan produk konsumer lainnya yang bisa dicicil, dalam waktu dekat akan segera diumumkan.”

Model bisnis AwanTunai

Untuk proses pengajuan pinjaman, calon debitur hanya perlu mengunduh aplikasi AwanTunai lalu mengunggah KTP sebagai persyaratan. Kemudian nasabah akan diverifikasi oleh credit engine yang dibangun sendiri oleh AwanTunai. Jaminannya dalam waktu 15 menit calon debitur bisa mengetahui persetujuan limit kredit.

Dalam model bisnisnya, AwanTunai memiliki dua jenis penyaluran. Pertama, menggandeng calon debitur dari institusi untuk menjamin penyaluran tepat sasaran dan meminimalkan potensi gagal bayar. Institusi yang telah bermitra dengan AwanTunai adalah Blue Bird untuk para pengemudinya.

Sementara ini, AwanTunai baru bermitra dengan 42 pool Blue Bird berlokasi di Jabodetabek untuk 16 ribu pengemudi selama lima bulan terakhir. Sekitar 8 ribu pengajuan disetujui dengan total penyaluran sekitar Rp5 miliar. Ke depannya, perusahaan akan diperluas untuk pool Blue Bird berlokasi di Surabaya.

Berikutnya, AwanTunai menggandeng merchant offline yang menjual smartphone untuk menjadi point of sales financing yang aman, mudah, dan cepat. Adapun total merchant yang sudah bermitra totalnya sekitar 50 merchant berlokasi di Jabodetabek.

Untuk memperluas layanannya, AwanTunai akan bermitra dengan tiga bank untuk tambahan sumber dana dan bermitra dengan pedagang kecil hingga perusahaan besar untuk meningkatkan layanannya ke seluruh masyarakat.

Konsumen Indonesia Belum Banyak Mengetahui Layanan Fintech Lending

Fintech (Financial Technology) menjadi salah satu kategori yang sangat berkembang di lanskap startup tanah air. Bahkan sejak setahun terakhir, fintech digadang-gadang menjadi salah satu inovasi yang akan menghadirkan disruption dalam industri keuangan secara umum. Menilik lebih dalam pada sektor fintech itu sendiri, salah satu sub-kategori populer adalah platform lending. Yakni menjadi medium untuk pengguna dapat mengajukan peminjaman sekaligus memfasilitasi dana untuk dipinjamkan kepada seseorang.

Secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei terhadap 1016 pengguna ponsel pintar di Indonesia untuk mengetahui sejauh apa mereka mengetahui tentang layanan fintech, khususnya tentang layanan lending yang saat ini gencar dihadirkan oleh inovator startup digital Indonesia. Dari total responden, baru sebanyak 30,91% yang mengetahui atau pernah mendengar tentang istilah fintech. Sedangkan 92,62 persen sudah terbiasa dengan istilah lending, credit dan loan.

Kendati demikian, di kalangan masyarakat masih banyak alasan yang menjadikan mereka enggan untuk mengajukan pinjaman, baik melalui perbankan ataupun institusi keuangan lainnya. Alasan tertinggi karena merasa tidak nyaman dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memiliki hutang (72,31%). Dan beberapa alasan lain turut diungkapkan oleh responden seperti tidak sedang membutuhkan hingga prinsip personal.

Menariknya dari yang sudah pernah mengajukan pinjaman, persentase paling besar digunakan untuk kebutuhan bisnis, disusul peringkat nomor dua untuk pembelian kendaraan bermotor.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia
Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia

Tanggapan masyarakat soal hadirnya layanan fintech

Persentase dari masyarakat yang mengetahui layanan fintech dapat dibilang masih kecil. Terlebih 100% dari responden adalah pengguna aktif ponsel pintar. Hal ini turut menjadi pemicu kecilnya pengguna layanan pada sub kategori. Misal saja untuk persentase responden yang mengetahui layanan peminjaman secara online melalui ponsel atau website, hanya 25,59% dari responden yang mengetahuinya. Dan hanya 6,50% dari responden yang pernah mengajukan peminjaman melalui platform tersebut.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia 2

Pun demikian dengan persentase responden yang mengetahui tentang kesempatan untuk berinvestasi dalam platform lending berbasis web ataupun aplikasi. Hanya 20,67% dari responden yang mengetahui layanan tersebut. Dan hanya 6% yang pernah mencoba untuk menjadi investor yang meminjamkan dananya kepada untuk orang lain melalui platform online.

Dalam survei tersebut DailySocial juga menanyakan tentang ketertarikan peminjaman untuk kebutuhan bisnis ataupun konsumsi. Hingga faktor apa saja yang akhirnya menentukan masyarakat untuk mengajukan peminjaman, termasuk perbandingannya antara meminjam melalui layanan online ataupun institusi keuangan yang didatangi secara fisik. Untuk selengkapnya tentang laporan “Fintech Lending in Indonesia – Consumer Awareness 2017” dapat diunduh secara gratis.

Simak juga kabar terkini tentang perkembangan startup lending di Indonesia.

POJK Fintech Lending Terbit, OJK Persiapkan 14 Surat Edaran

Penghujung tahun 2016 lalu, OJK diam-diam menerbitkan Peraturan OJK (POJK) nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Beleid ini ditandatangani Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad pada 28 Desember 2016.

Secara isi, tidak begitu banyak perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan isi draft yang sebelumnya diumumkan OJK. Misalnya, dalam Pasal 3 pihak asing dapat bertindak sebagai penyelenggara jasa fintech lending berbentuk warga negara asing dan/atau badan hukum asing maksimal 85%.

[Baca juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Pasal 4 penyelenggara harus berbentuk PT atau koperasi dengan modal disetor saat pendaftaran sebesar Rp 1 miliar, kemudian saat mengajukan izin lisensi harus memenuhi nominalnya jadi Rp 2,5 miliar.

Kemudian di pasal 24 penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman dan penerima pinjaman harus melakukan pelunasan pembayaran melalui escrow account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.

Beleid ini juga mengatur penetapan besaran tingkat bunga pinjaman. Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional (Pasal 17).

Kemudian di pasal 19 ayat (5c), disebutkan besaran bunga pinjaman sebelumnya sudah harus disepakati antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman.

Yang terbaru, misalnya OJK menetapkan penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman sebesar Rp 2 miliar (Pasal 6). Akan tetapi, OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total tersebut.

OJK siap menerbitkan 14 surat edaran

Dalam beleid ini, tepatnya di Pasal 51 disebutkan bahwa ada sekitar 14 aturan turunan yang berbentuk surat edaran (SE) yang bakal diterbitkan OJK pasca POJK ini diresmikan. Mulai dari perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman dana, tata cara pemberian pinjaman, kerja sama antara penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung lainnya berbasis teknologi informasi, hingga tata cara penggunaan tanda tangan elektronik.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan diskusi mengenai SE tersebut akan dimulai secara internal OJK mulai bulan Januari ini. Bisa jadi, OJK akan mengeluarkan 14 SE tersebut secara sekaligus atau satu SE bisa mencakup 14 aturan tersebut.

“SE langsung dibuat serempak, ada sekitar 14 SE. Itu mudah membuatnya, sebab prinsip utama sudah diatur di POJK Fintech Lending. Mulai bulan ini [Januari] pembicaraan akan didiskusikan dalam internal OJK,” ucapnya saat dihubungi DailySocial, Selasa (3/1).

Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending

DailySocial baru saja mendapat draft rancangan Peraturan OJK untuk Fintech Lending. Dalam draft RPOJK, sementara ini masih dinamai “POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”, fokus aturannya hanya mengatur perusahaan fintech yang menjalani bisnis meminjam uang antar personal atau lebih dikenal peer-to-peer lending (P2P lending). Karena pembahasan yang molor, RPOJK ini berpotensi tidak jadi disahkan akhir tahun ini.

Bisnis peminjaman online di luar P2P lending tidak akan diatur OJK. Ada 59 pasal dan terbagi menjadi 12 bab yang termuat dalam draft rancangan POJK ini.

Semua isi dalam draft membahas mulai dari penyelenggara fintech lending, kegiatan usaha, perizinan, pengguna jasa fintech lending, perjanjian, mitigasi risiko, tata kelola sistem teknologi informasi, tanda tangan elektronik, laporan, hingga laporan tata kelola.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan draft judul RPOJK sedang diupayakan untuk menjadi “Layanan Pinjam Meminjam Online Secara Langsung Berbasis Teknologi Informasi”.

“Kita akan menuju ke judul ini agar lebih pas dengan model binis yang akan diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lain, serta tidak melampaui UU OJK,” ucapnya.

Dia melanjutkan, ada kata “langsung” disematkan di antara judul. Hal ini bertujuan untuk memberi identifikasi yang jelas kepada penyelenggara jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung bertindak sebagai marketplace atau fasilitator yang mempertemukan pemberi pinjam (lender) dengan penerima pinjaman (borrower).

Mereka itu sifatnya off balancing sebab penyelenggara tidak mencatatkan penyaluran pembiayaan tersebut ke dalam neraca keuangan untuk dihitung sebagai aset atau kewajibannya. Beda halnya dengan on balancing, di mana sudah lumrah dilakukan oleh perbankan.

“Harus ditambahkan kata “langsung” karena penyelenggara hanya bisa memfasilitasi tidak bisa ikut meminjamkan dana. Sifatnya benar-benar off balancing tidak masuk aset atau kewajiban perusahaan.”

Diberi limitasi agar tidak bertabrakan dengan aturan sebelumnya

Hendrikus mengatakan, dalam proses pembuatan RPOJK ini diusahakan untuk tidak terlalu rigid aturannya, bersifat global, sekaligus tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya. Agar nantinya dalam pengembangan berikutnya tinggal diatur dalam penerbitan Surat Edaran OJK saja.

Ada beberapa aturan acuan yang bakal dikaitkan dengan POJK, diantaranya untuk pencucian uang akan mengikuti pedoman dan prosedur standar terkait penerapan program anti cuci uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT).

Untuk hal yang terkait stabilitas sistem keuangan akan mengacu ke UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), sementara untuk penyalahgunaan data akan mengacu ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Selain itu, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh penyelenggara jasa fintech. Seperti tertuang dalam pasal 54, disebutkan penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman.

Juga penyelenggara tidak bisa memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain. Caranya dengan menerbitkan surat hutang, sebagai strategi untuk perkuat permodalannya.

“Intinya penyelenggara jasa fintech tidak bisa menggunakan dananya sendiri untuk disalurkan ke publik sebagai pinjaman. Juga, tidak bisa menerbitkan surat berharga apapun untuk memperkuat permodalannya. Kami persempit cakupannya agar tidak bertabrakan dengan multifinance. Jadi untuk perkuat modalnya, caranya hanya satu yakni cari investor baru.”

Usulan modal disetor untuk fintech lending sebesar Rp2,5 miliar

Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial
Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial

Dalam draft Pasal 2 hingga 6, cukup detil menerangkan bagaimana proses penyelenggara fintech lending bisa mendapat lisensi izin penuh dari OJK. Mereka harus berbentuk badan hukum lokal (PT maupun koperasi) yang bisa dikuasai sahamnya maksimal 85% oleh asing.

Adapun sebelum mendapat lisensi, semua penyelenggara (baik existing maupun baru) harus melewati proses pendaftaran dengan memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar. Sebab, pada saat itu pihak OJK akan mengevaluasi model bisnis penyelenggara mulai dari kesiapan bisnis, status direksi, hingga bagaimana melakukan mitigasi risikonya.

Setelah evaluasi selesai, OJK akan mengeluarkan keputusan apakah penyelenggara bisa langsung mengajukan lisensi penuh dengan memenuhi modal disetor jadi Rp2,5 miliar. Bila penyelenggara dinilai OJK belum siap, artinya mereka akan menempuh masa uji coba selama satu tahun untuk belajar bersama dengan OJK untuk pendampingannya.

“Semua penyelenggara fintech yang sudah beroperasi pun harus menempuh proses pendaftaran. Bila bisnis sudah matang, tidak harus menunggu satu tahun, bisa jadi sebulan kemudian [lisensi diberikan]. Untuk yang belum [matang], OJK akan beri coaching, untuk dikawal terus selama satu tahun lamanya.”

Mitigasi yang diwajibkan OJK ada empat cara pengalihan. Hal ini tertuang dalam Pasal 19, melalui mekanisme asuransi kredit, penjaminan kredit, diversifikasi portofolio pinjaman, atau mitigasi risiko sesuai dengan rencana bisnis penyelenggara.

Peranan penyelenggara fintech lending diperluas

Draft juga menyebutkan, peranan penyelenggara fintech lending tidak hanya sekadar fasilitator antara lender dengan borrower saja. Tetapi juga dengan pertukaran data penyelenggara fintech scoring, informasi kredit, sertifikat elektronik, dan fintech pendukung lainnya yang terdaftar di OJK.

Hendrikus mencontohkan, lewat kolaborasi dengan fintech aggregator yang bergerak di bidang pemotretan lokasi dari satelit untuk memeriksa cuaca dan prediksinya di masa mendatang. Fintech lending nantinya akan mendapat rekomendasi yang bisa diberikan ke lender bagaimana cuaca dan iklim bila berinvestasi di sektor perkebunan dan bagaimana kondisi ke depannya.

“Dengan demikian, peran fintech lending bisa lebih luas lagi. Sekilas memang mirip perannya modal ventura (VC) karena memberikan insight ke investor. Tapi ini berbeda, sebab VC masuk akibat adanya intervensi. Beda dengan fintech lending, hanya memberi rekomendasi. Ini adalah value yang tidak bisa diberikan oleh bank,” pungkas dia.