Hangry Kembangkan Restoran “Multi-Brand” dengan Pendekatan Digital

Di tengah bisnis kuliner yang menggeliat kencang, ditambah dengan tren layanan on-demand seperti aplikasi pesan antar yang makin diminati, melahirkan ragam inovasi baru di bisnis terkait. Salah satunya ditawarkan oleh Hangry, sebuah bisnis multi-brand restaurant yang fokus melayani konsumen melalui kanal pesan antar (delivery).

Brand kami saat ini adalah San Gyu (japanese beef bowl), Ayam Koplo (ayam geprek), Bude Sari (nasi ayam, kulit dan paru tradisional) dan Kopi Dari Pada (aneka ragam minuman). Semua brand ini kami mulai dari nol dan semuanya tersedia di food delivery seperti Gofood, Grabfood dan Traveloka Eats,” terang Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor, yang sebelumnya juga dikenal sebagai Co-Founder Taralite.

Disampaikan juga, saat ini tim Hangry tengah merampungkan pengembangan aplikasi mobile guna menunjang bisnis – termasuk nantinya untuk sistem pemesanan dan program loyalitas. Rencananya akhir bulan Maret 2020 aplikasi tersebut akan diluncurkan ke publik.

Selain Viktor, ada dua co-founder lainnya yakni Andreas Resha dan Robin Tan. Kendati tidak menyebutkan detailnya, ia juga mengatakan bisnis yang dimulai sejak September 2019 ini telah mendapatkan pendanaan awal. Hangry juga mengikuti program akselerasi Surge yang diinisiasi Sequoia India.

Hangry sudah tersedia di seluruh Jakarta, Bintaro, Bekasi, Karawaci dan BSD. Perluasan kawasan pun terus dilakukan demi memaksimalkan bisnis.

Perekrutan talenta di bidang teknologi juga sedang jadi fokus perusahaan. Selain mengembangkan aplikasi, mereka akan berfokus mengembangkan sistem yang terintegrasi dengan aplikasi point-of-sales dan membangun supply chain internal perusahaan.

Ayam Koplo juga merupakan produk makanan yang dikelola Hangry / Hangry
Ayam Koplo juga merupakan produk makanan yang dikelola Hangry / Hangry

Unsur teknologi dalam bisnis kuliner

Hadirnya super app memberikan babak baru bagi banyak industri. Jika sebelumnya transportasi jadi yang paling merasakan dampaknya, kini bisnis ritel dan kuliner menyusul di belakangnya. Dengan puluhan juta pengguna aplikasi super app banyak model bisnis baru yang dapat diaplikasikan. Misalnya dalam kuliner ada konsep “cloud kitchen”, memungkinkan pebisnis kuliner meminimalkan investasi di awal untuk infrastruktur berlebih untuk pembuatan gerai, pembelian furnitur dll; karena hanya melayani pemesanan secara online.

Di sisi platform, beberapa startup mengembangkan aplikasi khusus untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut. Sebut saja nama-nama seperti Yummy Corp, Kulina, bahkan decacorn ala Grab juga tengah menyiapkan platform cloud kitchen. Sebagian menjembatani pebisnis makanan dengan pelanggan; sebagian lagi seperti Hangry, memproduksi dan mengantarkan makanan untuk para konsumennya.

Laporan ING Economics Department tentang “Technology in the Food Industry” mengemukakan data-data penting terkait bagaimana demokratisasi teknologi dalam menunjang bisnis kuliner. Salah satu yang menjadi sorotan adalah soal digitalisasi. Pemanfaatan data hingga kecerdasan buatan dinilai akan memberikan banyak manfaat untuk bisnis. Terlebih di tahun 2030 diproyeksikan peran serta sistem berbasis robotika akan mulai kentara di industri kuliner.

Salah satu manfaat penggunaan aplikasi memungkinkan pebisnis mendapatkan data yang lebih komprehensif yang dapat membantu meningkatkan proses analisis bisnis. Contohnya, pebisnis bisa mengetahui tren peningkatan produk sehingga dapat melakukan proyeksi pembelian bahan baku. Atau bisa juga mempelajari kebiasaan konsumen untuk meningkatkan keterikatan brand secara lebih personal.

What Happens If Gojek to Merge with Grab

The rumor of potential merger between the two Southeast Asia’s giant on-demand players Grab and Gojek backs on air. After The Ken (paywall) and Tech InAsia (paywall), now The Information (paywall) also informed the “first talk” of the issue.

It was said that the management of the two companies had met over the past two years and had intensified in recent months, including news of a meeting between Grab’s President Ming Maa with Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo.

Furthermore, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

The basic question is why. Aren’t they both want to win the Southeast Asian market? The answer is clear. The key to domination is a monopoly and this is not one unique case.

“Burn Money” and profitable plans

In the last 4-5 years, the battle between players in this industry has been characterized by the “burning money” strategy for the sake of a very fast market acquisition. Despite having a very large market in Southeast Asia, both have not yet reached the point of a profitable business. With investor funds wearing down, by 2020 promos have been decreased, both companies have to “change the game”. They must reach the level of profitability and satisfy the investors.

Uber has made it in China, Russia, and Southeast Asia. The sense of being unable to compete created a win-win solution through acquisition – with significant value of shareholder as one condition. Didi in China was formed as a result of the merger of two big local players.

The rule of monopoly is to create one winner. As for the investors that back the company.

Monopolize Southeast Asian market has been quite delish
Monopolizing Southeast Asian market has been quite delish

Monopolizing the Southeast Asian market, the potential merger between Gojek and Grab has been quite delish. Both have dominated the on-demand transportation market, food delivery, and online payments (GoPay and Ovo). The value may be greater than the two companies combined (more than $ 20 billion).

Imagine if both of them monopolized the market. There is no longer a price war. There is only one cost that must be paid by consumers and it will not be cheap in order to achieve economic value. There are not many choices left (except taxis, but Blue Bird and Gojek have just agreed on a strategic alliance).

Competition is good for consumers, but not for the players in it. What happens if the position is reversed. No more competition?

A concrete case is when Didi acquired the Uber business in China in 2016. After the acquisition, Didi controlled 90% of the market. In 2018, a complaint often comes from the driver’s partner as their incentive declining.

On the other hand, consumers find it difficult to quickly get a vehicle and it comes with a higher price. The survey in 2017 stated that 81.7% of respondents believed that it was more difficult to get a vehicle than the previous year (when Uber was still operating), while 86.6% considered the price more expensive.

The challenges

There are three main challenges. First, is about ego. As fellow leading players, it’s not easy to combine both companies in one direction. There must be one dominant party. Solving this issue will be a crucial key.

The second is regulatory issues. Market monopoly in Indonesia is listed in the KPPU domain. Usually, this issue is not likely to escape the KPPU examination, but reflecting from other countries’ experience and other cases, as for example Grab acquisition of Uber business in Southeast Asian countries, it all leads to fines. There are no more severe sanctions than this.

The last challenge is on the stakeholders. This is related to driver-partners and consumers. The risk to occurs when there is no longer a competition is a decreasing number of driver-partners (imagine there is only one company on the road) and the service costs in line with the economic unit (read: more expensive as without subsidies).

The bigger question is not about whether Grab and Gojek can merge. The must-asked question is, are we ready to have our various needs of services monopolized by just one company. What would your answer be?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

GoFood Aims for Expansion and Profitable Business in 2020

First launched in 2015, GoFood is now one of the services that builds up the Gojek’s “super app” ecosystem and contributes the most for the company. Currently, the food delivery service provides around 12 million menus from 500 merchants in Southeast Asia, 96% are SMEs.

Based on the company’s internal data, as of the end of 2019, GoFood has acquired 75% market share in its operational areas. It is also said GoFood users are 1.5 times exceeding competitors. While the total transactions have reached 50 million per month.

Gojek’s VP Corporate Affairs Food Ecosystem, Rosel Lavina told DailySocial that GoFood’s mission this year is to add some new features backed by the most advanced technology, in order to facilitate easy transaction.

“We stick to Gojek’s pillars of speed, innovation and social impact. Then, we realize that innovation is the key to aligning the user’s demand. Therefore, it is very important for GoFood to continue learning user’s demand that is getting complex in order to create new innovations as solutions to answer all those.”

The public’s high demand for food delivery is a promising opportunity for platforms, such as Gojek, to further develop GoFood as one of its core services in the ecosystem.

Previously, Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo mentioned, all investors’ support has led GoFood to a business model that is in line with its aims for profitability. GoFood benchmark has developed over time along with its achievements, starts from transaction number to gross transaction value (GTV), and now revenue.

“We are now on the right track, the progress gets along with our plan. That (information) is what I can share, for now,” she said.

GoFood’s rapid growth is actually nothing compared to similar industries in China. The food delivery industry there has reached 13% -15% of total consumption, while in Indonesia it is still far below that. As a result, various innovations implemented in the sleeping giant country often become a reference for food delivery players.

GoFood focus in 2020

(left-right) Gojek's Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group's Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood's launching of latest technology
(left-right) Gojek’s Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood’s launching of latest technology

In order to improve services and increase profits from GoFood, the company has introduced four new innovations earlier this year. Among those are GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus and collaboration with Google Assistant for users to order food through voice commands.

There are now more than 40 GoFood Kitchen corners and the GoFood Festival as their flagship program, with plans to continue for more locations. In the future, these locations can provide merchant partners with low cost and risk to expand the network of outlets due to the infrastructure that has been provided.

In case GoFood has plans to spin off or being independent outside the Gojek ecosystem is not mentioned. However, GoFood is to focus on developing three things as its long-term business strategy, which is prioritizing customer satisfaction, business expansion, and innovation.

“Through the reliability of GoFood technology, we also offer services to make it easy and fun for culinary lovers and GoFood customers when ordering food. The development of GoFood technology and facilities for driver partners is also expected to benefit the driver partners to provide maximum service to consumers,” Rosel said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fokus GoFood Perluas Bisnis dan Kantongi Profit di Tahun 2020

Diluncurkan sejak tahun 2015, GoFood kini jadi salah satu layanan yang memperkuat ekosistem “superapp” Gojek dan memberikan kontribusi paling besar untuk perusahaan. Saat ini fitur pesan-antar makanan tersebut menyediakan sekitar 12 juta menu dari 500 ribu merchant di Asia Tenggara, 96% di antaranya dari kalangan UKM.

Berdasarkan data internal perusahaan, per akhir 2019 GoFood telah memiliki market share 75% di wilayah operasionalnya. Disebutkan juga bahwa GoFood telah memiliki jumlah pengguna 1,5 kali lebih banyak dibandingkan kompetitor. Sementara total transaksinya telah sentuh angka 50 juta per bulannya.

Kepada DailySocial VP Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina menyebutkan, misi GoFood tahun ini adalah menambah beberapa fitur baru didukung dengan teknologi paling advance, bertujuan untuk memudahkan proses transaksi pengguna.

“Kami berpegang teguh pada pilar Gojek yaitu kecepatan, inovasi dan dampak sosial. Berangkat dari hal tersebut, kami menyadari bahwa inovasi menjadi kunci untuk bisa menyelaraskan kebutuhan pengguna. Sehingga sangat penting bagi GoFood untuk terus mempelajari perkembangan kebutuhan pengguna yang semakin kompleks demi menciptakan inovasi baru sebagai solusi yang menjawab segala kebutuhan.”

Besarnya minat masyarakat terhadap layanan pesan-antar makanan dilihat menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi platform seperti Gojek untuk kemudian mengembangkan GoFood menjadi salah satu core service di ekosistem aplikasi.

Sebelumnya, Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada di track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Fokus GoFood di tahun 2020

(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood
(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood

Untuk terus meningkatkan layanan dan profit dari GoFood, awal tahun ini perusahaan telah menghadirkan empat inovasi baru. Di antaranya GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus dan kolaborasi dengan Google Assistant untuk para pengguna memesan makanan lewat perintah suara.

Sekarang sudah ada lebih dari 40 lokasi GoFood Kitchen dan GoFood Festival sebagai program unggulan mereka, dengan rencana untuk terus menambahkan lokasi yang lebih banyak. Lokasi-lokasi ini ke depannya bisa memberikan mitra merchant biaya dan risiko rendah untuk memperluas jejaring outlet karena infrastrukturnya telah disediakan.

Disinggung apakah nantinya GoFood memiliki rencana untuk spin off atau berdiri sendiri diluar ekosistem Gojek, tidak disebutkan lebih lanjut. Namun ke depannya, GoFood akan fokus mengembangkan tiga hal sebagai strategi bisnis jangka panjang, yakni mengutamakan kepuasan pelanggan, ekspansi bisnis dan  inovasi.

“Lewat keandalan teknologi GoFood, kami juga menawarkan pelayanan yang memudahkan dan menyenangkan bagi para pencinta kuliner dan pelanggan GoFood saat memesan makanan. Berkembangnya teknologi GoFood dan fasilitas bagi mitra driver juga diharapkan dapat menguntungkan mitra driver untuk memberikan pelayanan maksimal kepada konsumen,” kata Rosel.

Application Information Will Show Up Here

GoFood and GoPay Optimism for Gojek to be a Profitable Company

GoFood and GoPay are known as Gojek’s two main businesses with the most significant growth of all services. Last year, GoFood is said to gain $2 billion revenue, 50 million transactions per month and grow by 2.5 times. While GoPay contributes for $6.3 billion, not to mention the growth rate.

In one of the sessions by PE-VC Summit 2020 last week (1/15), inviting Gojek’s Chief Food Officer, Catherine Hindra and Gopay’s CEO Aldi Haryopratomo to dig more insights on how the two services play role in Gojek’s business.

Aldi said, 2019 is a good year for business growth, also the beginning of efficiency strategy. How to make the most of every penny from investor’s pocket, engineer’s time management has finally paid off. “This is one of the benefits of being a low capitalized player in this industry,” he said.

The urge of efficiency actually comes from the investors and most are private equity, among those are Northstar and Warburg Pincus. Both are encouraging founders to run Gojek’s business as prudent.

Catherine also said, all the initiatives from investors have directed Gojek to the right business model into profitability. By the time, the benchmark of Gofood’s achievement grows in terms of the transaction number, into gross transaction value (GTV), and now revenue.

We’re now on the right track, the progress is in line with our plan. That’s [the information] it,” he said.

Gofood’s significant growth is actually not in comparison to a similar industry in China. Food delivery in China has reached 13%-15% of the total consumption, while Indonesia is still a long way to go. Therefore, some of China’s innovations often become a role model.

He also highlighted the achievement of Gofood and Gopay is not simply due to its features, but also each other’s bound in one ecosystem.

“we’re not working individual, but as a company that gives the holistic solution. This is what makes us different from others.”

In fact, the company’s DNA has given the whole solution to consumers. Therefore, not only about digital payment and food delivery but the whole daily aspect.

To compare with Grab, Gojek’s funding has a big gap. Since it was founded in 2010, Gojek has secured $3 billion funding in 12 rounds. While Grab reached $9 billion in 12 rounds. Therefore, Gojek has enough cash for a tech company in ASEAN.

In order to build the regional existential, Grab performs expansion in an organic and inorganic way. In a way to make Uber an acquisition in the ASEAN market. While Gojek is just begun the expansion in late 2018.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Keyakinan GoFood dan GoPay Bawa Gojek Jadi Perusahaan “Profitable”

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Pada tahun lalu, disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara Gopay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Dalam salah satu sesi yang diangkat Indonesia PE-VC Summit 2020 pekan lalu (15/1), mengundang Chief Food Officer Gojek Catherine Hindra dan CEO GoPay Aldi Haryopratomo untuk membahas lebih dalam bagaimana kedua layanan ini berperan dalam bisnis Gojek.

Aldi menerangkan, 2019 adalah tahun yang baik dalam hal pertumbuhan bisnis, sekaligus dimulainya strategi efisiensi. Bagaimana memaksimalkan setiap dolar uang investor yang keluar, pembagian waktu engineer, sudah terbayar penuh. “Inilah salah satu keuntungan menjadi pemain berkapitalisasi rendah di industri ini,” ucapnya.

Dorongan efisiensi ini sebenarnya datang tak lain dari para investor yang kebanyakan adalah private equity, di antaranya Northstar dan Warburg Pincus. Keduanya mendorong para founder untuk menjalankan Gojek dengan cara yang prudent.

Catherine menambahkan, seluruh dorongan para investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu, benchmark pencapaian GoFood berkembang dari awalnya angka transaksi, menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat, sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Dia juga menekankan pencapaian GoFood dan GoPay sebenarnya bukan karena fitur-fitur layanan yang disediakan oleh masing-masing, melainkan keterikatannya satu sama lain di dalam satu ekosistem yang sama.

“Kami tidak bekerja secara individu, tapi sebagai grup perusahaan yang memberikan solusi secara holistik. Mungkin ini yang membedakan kami dengan yang lainnya.”

Pasalnya, DNA yang ditanamkan dalam perusahaan adalah memberikan solusi kepada konsumen secara keseluruhan. Sehingga tidak hanya menyentuh soal pembayaran digital dan food delivery saja, tapi seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Dibandingkan Grab, perolehan dana yang diperoleh Gojek bisa dikatakan cukup terpaut jauh. Sejak didirikan di 2010, Gojek mengantongi pendanaan $3 miliar dalam 12 putaran. Sedangkan Grab mencapai $9 miliar dalam 12 putaran. Meski demikian, nominal yang didapat Gojek tergolong cukup besar untuk perusahaan teknologi yang beroperasi di ASEAN.

Dalam memperkuat eksistensinya di regional, Grab melakukan ekspansi baik secara organik maupun anorganik. Salah satunya melalui akuisisi Uber khusus untuk operasionalnya di ASEAN. Sementara Gojek sendiri baru mulai keluar kandang menjelang akhir 2018.

Application Information Will Show Up Here

Racikan Teknologi Bawa Kelezatan untuk Bisnis Makanan

Kita sekarang hidup di masa jaya layanan pesan antar makanan. Tidak hanya di kota-kota besar, layanan pesan antar makanan yang diprakarsai dua super app, Grab dan Gojek sudah masuk ke daerah-daerah. Layanan ini mampu mendongkrak pertumbuhan pengusaha makanan. Pengguna dimanjakan dengan kemudahan dan tentunya diskon, di sisi lain banyak yang bergabung sebagai merchant atau mitra penyedia makanan.

Di Indonesia gelombang ini dimulai ketika Gojek memperkenalkan GoFood. Gayung bersambut, ternyata banyak masyarakat yang tak hanya membutuhkan tumpangan yang mudah dan murah tetapi juga butuh mendapatkan makanan yang gampang dan terukur. Grab menyusul hadir dengan GrabFood.

Keduanya kemudian tak terbendung. Meluas setiap tahunnya hingga menjangkau banyak kota di Indonesia. GoFood bahkan tercatat berhasil memiliki 500.000 merchant kuliner, 12 juta menu dengan 96% di antaranya adalah UKM.

“Berkat kepercayaan dan loyalitas konsumen dan mitra merchant terhadap inovasi teknologi yang terus dihadirkan GoFood selama empat tahun terakhir, kami terus menjadi pemimpin pasar di layanan food delivery dan menjadi nomor satu di Asia Tenggara. Transaksi GoFood meningkat sebanyak 2,5 kali lipat dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu dan membukukan 50 juta transaksi di Asia Tenggara setiap bulannya,” klaim VP Corporate Affairs for Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina.

Teknologi di Indonesia pernah beberapa kali hadir dalam bentuk inovasi untuk bisnis makanan. Sebelum maraknya layanan pesan antar makanan ada inovasi katering online. Sebuah layanan yang memungkinkan pengguna memesan menu di tempat katering, secara online. Bedanya, layanan ini menyediakan fitur berlangganan dengan menu yang disesuaikan, seperti menu makanan sehat dan lain sebagainya.

Katering online

Sebelum ramai dengan layanan pengantaran makanan, di Indonesia lebih dulu hadir layanan katering online. Penyedia layanan katering online ini kemudian banyak berinovasi, baik menghadirkan makanan dengan menu terntu hingga bumbu masakan siap masak.

Beberapa layanan penyedia katering online sudah tinggal nama. Black Garlic sudah tak lagi beroperasi sejak tahun 2017 dan Berrykitchen diakusisi Yummy Corp.  Beberapa nama yang masih bertahan di antaranya Kulina, Mealbox, dan Gorry Gourmet. Mereka yang masih bertahan berusaha memberikan inovasi untuk menjaga dan menumbuhkan jumlah penggunanya. Inovasi hadir tak hanya dalam bentuk kecanggihan teknologi tetapi juga pilihan menu atau bentuk berlangganan.

Layanan katering online juga banyak hadir sebagai pelengkap layanan utama. Contohnya Doogether, startup yang fokus pada gaya hidup sehat ini memperkenalkan Doogether Food. Ada juga Lemonilo yang memang dari awal memposisikan diri sebagai penyedia produk sehat yang memiliki marketplace katering online.

Gojek dan Grab sendiri sudah menghadirkan inovasi lanjutan setelah layanan pesan antar yang mereka miliki mendapatkan popularitas dan terbukti bisa menarik banyak pengguna. Cloud Kitchen. Sederhananya, mereka mengumpulkan banyak “dapur” ke dalam satu tempat. Tujuannya jelas, memudahkan pengguna mendapatkan makanannya.

GO-FOOD Kurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Ramainya jasa pesan antara bukan tanpa hal negatif. Founder Kulina Andy Fajar Handika menceritakan keresehan yang dialaminya, terutama perkara hal plastik. Menurutnya tren pesan antar makanan meningkatkan konsumsi plastik di masyarakat. Kulina sendiri saat ini mulai memanfaatkan kemasan ramah lingkungan bagi para vendor, sebuah langkah kecil yang diharapkan bisa memberikan pengaruh. Hal yang juga mulai juga dilakukan Grab dan Gojek untuk layanan pesan antar mereka.

“Saya kira ini adalah masalah bersama yang perlu dibicarakan dan dipecahkan. Kita tidak bisa diam saja mengenai hal ini. Bayangkan ratusan ribu, bahkan jutaan tambahan kemasan makanan yang terbuang dan mengotori bumi setiap harinya karena behavior kita bergeser dari makan di warung [pake piring yang dicuci kembali] atau memasak di rumah atau bekal menjadi sesederhana memesan online?,” cerita Andy.

Andy juga menyoroti jika seandainya cloud kitchen hanya menyediakan makanan yang sering dipesan. Kondisi ini menurutnya hanya akan menyempitkan menu-menu yang ada. Bisa jadi pasar akan merespon negatif jika pilihan menu yang disajikan cloud kitchen ini “hanya itu-itu saja”.

Inovasi lainnya

Di sisi lain keberhasilan layanan pesan antar makanan menginspirasi banyak orang menghadirkan beragam solusi melalui teknologi untuk bidang makanan. Salah satunya Madhang, startup asal Semarang ini ingin mengangkat masakan lokal. Mereka memungkinkan mereka yang tidak punya warung sekalipun untuk bisa berjualan makanan melalui aplikasi. Mereka bekerja sama dengan Grab untuk pengantaran makanannya. Yang jadi fokus, semua orang yang bisa masak bisa berjualan, tentunya menu rumahan jadi andalannya.

Bentuk lain dari sinergi dari teknologi dan bisnis makanan hadir dalam bentuk platform direktori makanan dan/atau reservasi makanan. Beberapa di antaranya adalah Zomato, Qraved, dan Eatigo. Ketiganya menghadirkan layanan yang menampilkan informasi mengenai makanan dan restoran di suatu tempat. Tentunya dengan fitur pemesanan dan juga berbagi pengalaman.

GoFood Mulai Eksperimen “Cloud Kitchen” di 10 Lokasi

Unit layanan antar makanan dari Gojek, GoFood mulai melakukan eksperimen layanan cloud kitchen di 10 lokasi, salah satunya di Blok M, Jakarta. Kehadiran layanan ini merupakan implementasi kolaborasi dengan cloud kitchen asal India Rebel Foods yang diinvestasi melalui GoVentures.

Senior Marketing Manager GoFood Marsela Renata menerangkan, cloud kitchen ini hanya menerima pengiriman yang datang dari GoFood. Lokasi di Blok M misalnya, didesain bisa menampung lima merchant untuk memasarkan produknya. Dia enggan menyebut lokasi lain dari cloud kitchen tersebut.

Mereka yang bergabung sudah dikurasi tim GoFood berdasarkan insight yang diterima di lapangan, seperti data ketimpangan supply dan demand untuk menu makanan yang ditawarkan, padahal banyak dicari pengguna.

“Sehingga konsep kami bukan lebih pada kuantitas, tapi kualitas. Bagaimana dalam satu lokasi cloud kitchen bisa melayani kebutuhan konsumen di sekitarnya. Makanya lokasi cloud kitchen selalu ditimbang-timbang lokasinya,” terangnya, Kamis (7/11).

Monetisasi sepenuhnya menggunakan komisi. Ada persentase komisi yang diterima GoFood setiap transaksi datang. Merchant tidak dikenakan biaya sewa saat membuka toko di cloud kitchen.

Secara berangsur jumlah layanan ini akan ditambah, Marsela enggan mengungkap detail targetnya. Sebelumnya, Rebel Foods menyebut pihaknya dan Gojek akan membuka 100 cloud kitchen yang siap menyediakan berbagai menu dalam kurun waktu 18 bulan mendatang.

Sebagai perbandingan, kompetitor terdekatnya, Grab, berencana memperluas kehadiran cloud kitchen dengan bendera GrabKitchen di 50 lokasi sampai akhir tahun ini.

 

Layanan GoFood diklaim telah menggaet sekitar 500 ribu merchant di Asia Tenggara. Jumlah menu yang tersedia mencapai 12 juta. Setiap bulannya, ada lebih dari 50 juta transaksi GoFood yang dibukukan, sementara dari sisi pengguna diklaim GoFood dikunjungi 7 juta orang setiap harinya.

Application Information Will Show Up Here

Yummy Corp Luncurkan YummyKitchen, Fasilitas “Central Kitchen” untuk Bantu UKM Kuliner Perluas Bisnis

Bertujuan membantu UKM kuliner mengembangkan bisnis, Yummy Corp luncurkan layanan YummyKitchen. Yakni sebuah layanan dapur dengan fasilitas lengkap –atau disebut central kitchen— yang dapat digunakan oleh pemilik usaha untuk meningkatkan operasional bisnis mereka.

Saat ini sudah ada 15 titik YummyKitchen di kawasan Jabodetabek. Targetnya hingga tahun depan bisa menambah menjadi 30-40 titik. Kepada DailySocial Co-founder & Managing Director Yummy Corp Marbio Suntanu mengungkapkan, YummyKitchen adalah cloud-based operation yang berguna untuk membantu UKM agar mereka bisa melakukan ekspansi layanan lebih mudah dan cepat.

“Kita ingin membantu pemilik usaha kuliner yang sudah cukup populer di satu titik untuk kemudian memperluas layanan mereka memanfaatkan lokasi kami. Memanfaatkan semua layanan yang ada mulai dari dapur, pengemasan, hingga pengiriman.”

Secara keseluruhan sekitar 5500 paket makanan sudah dikirimkan setiap harinya oleh Yummy Corp. Melalui YummyKitchen, diharapkan bisa menambah jumlah mitra F&B skala kecil hingga besar. Saat ini beberapa brand F&B populer di Indonesia sudah mulai bergabung memanfaatkan dapur sentral tersebut.

“Kami juga memiliki training system bernama Yummy Academy, bertujuan untuk mengajarkan semua orang basic-nya dulu. Jadi ketika kita memegang brand orang lain kita akan melakukan transfer knowledge agar mengerti bagaimana cara memasak atau menyelesaikan makanan tersebut, supaya kualitas makanan tetap sama,” kata Marbio.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh YummyKitchen adalah kemudahan untuk bisa mengelola beberapa brand sekaligus di satu titik. Dengan teknologi, sumber daya, dan fasilitas yang dimiliki oleh YummyKitchen, dinilai bisa memangkas pengeluaran pemilik usaha kuliner.

Yummy Credit untuk pembayaran

Kemudahan lain yang juga ditawarkan kepada pelanggan adalah Yummy Credit dalam platform. Menggunakan kredit yang bisa di-top up di berbagai bank, pelanggan bisa membeli makanan dari YummyBox dan YummyKitchen dengan mudah.

Yummy Credit dinilai cukup ideal bagi korporasi yang ingin menyediakan fasilitas makan siang gratis kepada pegawai. Dengan memberikan kredit kepada pegawai, mereka secara langsung bisa membeli makanan dengan pembayaran Yummy Credit.

“Jika masih ada sisa kredit di akun perusahaan juga bisa digunakan untuk Yummy Cater untuk menyediakan makanan untuk acara internal mereka. Sehingga kredit mereka di platform tidak terbuang,” kata Marbio.

Setelah melakukan akuisisi BerryKitchen pertengahan tahun lalu, Yummy Corp masih mempertahankan pelanggan loyal mereka. Termasuk masih menawarkan beberapa produk yang sama. Untuk tahun 2020, masih banyak target yang ingin dicapai oleh Yummy Corp, salah satunya adalah penggalangan dana seri A.

“Saat ini kami masih dalam proses penjajakan untuk fundraising seri A. Nantinya jika dana segar tersebut telah kami peroleh, bakal kami gunakan untuk menambah dapur, mitra, klien, dan pelanggan,” tutup Marbio.

Application Information Will Show Up Here