[Video] Strategi Ekspansi Layanan Foodtech Haus!

DailySocial bersama CEO Haus! Gufron Syarif membahas tren perkembangan bisnis foodtech di Indonesia. Gufron mengklaim, efek pandemi tidak terlalu berdampak pada kelangsungan bisnis perusahaannya. Mereka disebut masih memiliki tren pertumbuhan profit positif sejak berdiri.

Seperti apa strategi bisnis Haus! demi profit yang berkelanjutan? Apa rencana dan target perusahaan sepanjang 2023?

Simak pembahasannya di video berikut ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Jungle Ventures Dikabarkan Suntik 22 Miliar Rupiah Startup “Alt-Protein” Off Foods

Startup foodtech Off Foods dikabarkan mengantongi dana segar tambahan dari Jungle Ventures. Menurut sumber, dana yang diguyur sebesar $1,5 juta (lebih dari 22 miliar Rupiah).

Ketika dihubungi, pihak manajemen maupun investor sebelumnya memilih tidak memberikan komentar terkait kabar ini.

Sebelumnya Off Foods mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $1,7 juta yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures bersama investor strategis lainnya, seperti Global Founders Capital (GFC), Lemonilo, dan lainnya.

Jungle Ventures sendiri merupakan VC yang cukup aktif berinvestasi di Indonesia. Sejumlah startup telah masuk ke dalam portofolionya, seperti Social Bella, Waresix, Desty, Hypefast, Evermos, VIDA, hinga Lifepack.

Off Foods merupakan startup yang dirintis pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif (alt-protein) dari Indonesia, menyasar lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Startup lokal dengan konsep yang serupa ada Green Rebel, yang juga telah mendapatkan suntikan dana dari pemodal ventura.

Perusahaan sendiri tak hanya berambisi jadi pemimpin pasar di negara sendiri juga berencana untuk ekspansi regional yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang.

Produk flagship Off Foods yang sudah dirilis adalah Off Meat, protein serupa daging ayam. Dengan menggunakan model B2B, Off Meat jadi alternatif buat bisnis jasa makanan dalam memasok daging tanpa tulang (fillet). Terhitung, mitra perusahaan mayoritas datang dari usaha kuliner, seperti Mangkokku, Zenbu, Byurger, Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, Fitco Eats, dan lainnya.

Perusahaan juga membuka gerai sendiri yang berlokasi di Bali. Bali dipilih karena secara prospek adalah salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia.

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah terhambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengannya. Tantangan untuk berkompetisi di vertikal ini tak hanya soal rasa yang tepat, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan manufaktur dan efisiensi untuk mendekati keseimbangan harga. Off Meat mencoba untuk memecahkan masalah lama ini karena ia hadir dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein nabati dengan setidaknya setengah dari harga pesaingnya.

Startup “Foodtech” Greens Terima Suntikan Dana Pra-Awal Dipimpin East Ventures

Startup foodtech Greens mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan putaran pra-awal dengan nominal tidak diungkapkan. Putaran tersebut dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari AAG Ventures, perusahaan infrastruktur web3 dengan misi menghadirkan peluang ekonomi di global melalui ekonomi metaverse untuk pengguna mainstream.

Dalam keterangan resmi, CEO Greens Andi Sie menuturkan dukungan investasi ini menjadi bukti kuat terhadap solusi dan misi startupnya. Greens menghadirkan teknologi pangan terintegrasi untuk menciptakan ekosistem pangan baru, guna meningkatkan cara masyarakat menanam dan mendapatkan makanan.

“Makanan adalah kebutuhan pokok setiap orang dan kami yakin solusi Greens dapat meningkatkan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui kebutuhan terdekat masyarakat,” ucap Andi, Selasa (2/8).

Greens didirikan oleh Andi Sie (CEO), Geraldi Tjoa (CPO), dan Erwin Gunawan (CBO). Keahlian yang beragam dari ketiga founder ini menyatukan visi dalam pendirian Greens. Andi sebelumnya berpengalaman sebagai ahli transformasi startup dengan lebih dari 15 tahun pengalaman di Amerika Serikat dan Indonesia dengan berbagai pengalaman exit. Erwin punya pengalaman lebih dari 15 tahun di bidang rantai pasok, F&B, distribusi, dan mengantongi sertifikat blockchain.

Adapun Geraldi kuat dalam produksi dan automasi makanan, dengan latar belakang robotika, lulusan Computer Science dari Universitas Pelita Harapan. Sementara itu, Andi dan Erwin merupakan lulusan Bachelor of Science dari The Ohio State University.

Latar belakang pendirian Greens ini berasal dari fakta bahwa di Indonesia ada sebanyak 48 juta metrik ton makanan terbuang secara percuma setiap tahunnya. Sebagian besar terbuang karena pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan penjualan hasil pangan yang tidak efisien. Sebagai negara dengan sumber daya pertanian yang melimpah, alhasil Indonesia memiliki risiko erosi tanah yang sangat tinggi.

Kondisi tersebut mengancam ketahanan pangan karena kurangnya kandungan organik dalam tanah, yang mana akan merusak hasil panen, dan berujung pada berbagai masalah terkait kekurangan gizi bahkan kelangkaan pangan.

Sumber lain yang dikutip perusahaan, berdasarkan skor kualitas dan keamanan sistem pengendalian pangan, Indonesia menduduki peringkat ke-7 dari 9 negara ASEAN pada 2020. Masalah-masalah di atas akan terus berlanjut dan saling berkaitan dalam sistem pangan Indonesia. “Permasalahan yang berkelanjutan ini menjadi pendorong bagi para pendiri Greens untuk memajukan transformasi sistem pangan di Indonesia.”

Solusi Greens

Greens memiliki misi untuk menghadirkan kesetaraan pangan untuk semua masyarakat melalui meta farming. Solusi yang dihadirkan berupa ekosistem makanan hiperlokal baru, yang memungkinkan masyarakat dapat mengonsumsi makanan bernutrisi tinggi (super food) yang ditanam dan dipanen di tempat, disebut microGREENS (yang mengandung hingga 40 kali lebih banyak vitamin, mineral dan tingkat antioksidan dibanding dengan sayuran biasa) dari mana pun mereka berada melalui meta farming. Serta, menggunakan 90% lebih sedikit air, 70% lebih sedikit lahan, dan tanpa proses perpindahan jarak dari tahap penanaman hingga menjadi makanan.

Dengan meta farming, Greens mendemokratisasikan makanan hiperlokal dengan web3 menggunakan inovasi teknologi pertanian berupa pod (Greens pod) yang memanfaatkan sistem budidaya dalam ruangan, Blockchain, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT) untuk membuat sumber makanan terdesentralisasi.

Greens menciptakan platform teknologi dengan jaringan blockchain yang akan digunakan secara paralel di dunia nyata maupun di metaverse. Perusahaan telah membangun teknologi CEA (Controlled Enviroment Agriculter) portabel pertama di blockhain dengan beberapa algoritma tanam.

“Platform Greens terdiri dari unit taman yang sepenuhnya otomatis, dinamakan Greens pod yang bersifat modular, portabel, dan plug-and-play. Platform Greens pod terintegrasi secara penuh untuk memproduksi makanan bernutrisi tinggi, mulai dari biji hingga menjadi hidangan salad dan berbagai hidangan lainnya, yang dapat diakses dari mana pun Anda berada,” tambah Co-founder dan CPO Greeens Geraldi Tjoa.

Perusahaan akan mengalokasikan dana segar ini untuk membangun ekosistem desentralisasi pangan dalam dua tahap. Tahap pertama akan berfokus untuk mengaktifkan ekosistem makanan hiperlokal dengan membuat jaringan cloud untuk outlet makanan hiperlokal yang terhubung dengan platform Greens. Kemudian pada tahap kedua, akan berfokus pada meta farming yang memungkinkan masyarakat untuk menanamkan makanan di metaverse, baik untuk dikonsumsi pribadi maupun dijual.

Saat ini, solusi GREENS telah berkontribusi pada beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB; dengan beberapa dampak utama termasuk: Tujuan No 1 & 2 dengan mendukung masyarakat dalam menanam makanan mereka sendiri melalui platform, No 3 dengan menyediakan mikronutrien esensial, No 6 dengan menggunakan 90% lebih sedikit air dan tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya untuk pertanian, dan lain-lainnya.

Partner East Ventures Melisa Irene turut memberikan pernyataannya, “Greens membantu mengurangi inefisiensi distribusi makanan dengan mendekatkan jarak antara tempat makanan ditanam dan dipanen sehingga Anda dapat menanam bahan makanan sendiri di tempat Anda. Kami senang menyambut GREENS sebagai bagian dari portofolio East Ventures dan mendukung penuh misi GREENS untuk melokalisasi produksi pangan guna meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan sistem pangan di Indonesia.”

Pada Oktober 2022 mendatang, Greens akan membuka outlet hiperlokal pertamanya di Plaza Indonesia, Jakarta.

Green Rebel Dapat Pendanaan 100 Miliar Rupiah, Gencarkan Ekspansi Asia Tenggara

Salah satu startup pertama di segmen protein alternatif Indonesia, Green Rebel, berhasil meraih pendanaan pra-seri A senilai $7 juta atau setara 100 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini diikuti oleh beberapa investor termasuk Unovis, Betterbite Ventures, AgFunder, Teja Ventures, Grup CJ, dan pengusaha kelahiran Singapura Kane Lim.

Pendanaan kali ini disebut akan digunakan untuk mendorong ekspansi regional dan pengembangan produk baru, menjelang pendanaan seri A. Singapura adalah negara pertama di luar Indonesia yang jadi tujuan Green Rebel, diikuti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Australia yang dijadwalkan pada akhir tahun 2022.

“Pendanaan putaran baru ini akan membantu kami memperluas tim R&D kami lebih jauh dan meningkatkan produksi, untuk memungkinkan kami meluncurkan ke pasar baru dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Helga, salah satu Founder Green Rebel.

Diluncurkan di Indonesia pada September 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Green Rebel tersedia di lebih dari 800 perusahaan F&B di Indonesia termasuk Starbucks, Ikea dan Domino, dan lebih dari 100 pengecer nasional.

Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh pasangan Indonesia Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias — keduanya vegan lama — yang berkomitmen untuk mendemokratisasi makanan nabati dengan membuatnya terjangkau dan mudah diakses.

“Tujuan kami dengan Green Rebel adalah membuat lebih banyak orang terbuka untuk makan nabati lebih sering — memungkinkan konsumen Asia untuk menganut pola makan fleksibel yang berpusat pada tumbuhan,” kata Helga.

Green Rebel telah menggabungkan keahlian kuliner, pengetahuan nutrisi, dan teknologi pangan untuk menciptakan bahan dasar alternatif daging nabati yang benar-benar lezat. Semua produk Green Rebel dikuratori dan dibuat dari bahan nabati alami, dan tanpa tambahan MSG, pengawet, dan gula rafinasi. Hasilnya adalah rangkaian cita rasa khas Indonesia dan Asia yang menarik dan menggugah selera di belahan dunia ini.

Semua produk Green Rebel dirancang dengan cermat untuk dimasak dengan metode berbeda yang populer di wilayah ini, mulai dari hotpot dan tumis hingga memanggang, mengukus, dan banyak lagi. Perusahaan telah memiliki sejumlah kemitraan makanan dan minuman yang signifikan di seluruh Indonesia, bekerja dengan Domino’s Pizza, Starbucks dan IKEA, serta jaringan lokal ABUBA Steak dan Pepperlunch. Green Rebel juga menawarkan produknya di rantai pabrik Burgreens, yang juga dimiliki Angelina dan Andias.

Rencana ke depan

Belum lama ini, Green Rebel telah diluncurkan di Singapura. Pengunjung dapat merasakan cita rasa yang unik di kawasan ini, mulai dari masakan klasik Tiongkok nabati seperti daging sapi lada hitam dan babi asam manis, masakan favorit Asia Tenggara tanpa daging seperti rendang dan sate, dan bahkan makanan pokok Barat yang sangat disukai seperti steak dan pasta yang lezat

Dinamai berdasarkan salah satu pendiri dan kepala inovasi Max Mandias, ini adalah serangkaian proses unik yang berhasil meniru pengalaman makan daging asli. Di antaranya adalah formulasi eksklusif dari minyak kelapa, air dan bumbu vegan alami. Dibuat melalui teknologi emulsi, ia bertindak sebagai pengganti lemak hewani untuk mencapai rasa, aroma, dan kesegaran khas yang diasosiasikan dengan protein hewani.

“Kami ingin membuktikan bahwa alternatif daging nabati bisa lezat dan sehat,” kata Max, yang memanfaatkan pengalaman kulinernya di Amsterdam untuk menghadirkan cita rasa khas Green Rebel. “Buktinya ada di makan.”

Untuk peluncurannya di Singapura, Green Rebel telah bermitra dengan restoran-restoran populer untuk menawarkan kepada para pengunjung di sini sajian hidangan populer yang lezat, menggunakan produk-produknya seperti Rendang Tanpa Daging yang laris dan Steak Tanpa Daging yang inovatif, serta Potongan Tanpa Daging Sapi, Fillet Chick’n dan Chick’n Karaage. Selain itu, perusahaan katering Invictus Asia juga akan memperkenalkan produk Green Rebel ke dalam pilihan hidangan mereka.

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya “western food”, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Dalam beberapa bulan mendatang, daging Green Rebel akan ditampilkan di restoran lain termasuk restoran speakeasy Dragon Chamber, roastery kopi Indonesia dan kafe Tanamera Coffee, dan kafe kasual Grain Traders. Green Rebel juga akan bermitra dengan pusat gaya hidup F&B multi-label, The Refectory untuk menu khusus untuk bazaar artisanal dua bulanan yang terakhir pada akhir April. Green Rebel akan didistribusikan secara eksklusif oleh penyedia solusi makanan terkemuka, Indoguna Singapura di seluruh dunia F&B kota, dan dalam beberapa bulan ke depan, paket ritel yang ditujukan untuk masakan rumahan akan diluncurkan untuk konsumen

Strategi Ekspansi dan Akuisisi Yummy Corp

DailySocial bersama Co-founder & CEO Yummy Corp Mario Suntanu membahas bagaimana peran perusahaannya di bisnis penyedia fasilitas makanan, khususnya cloud kitchen (dapur bersama), di Indonesia.

Usai menerima pendanaan tahap Seri B, Mario mengaku memiliki strategi untuk memperluas jaringan dan mempercepat pertumbuhan bisnisnya.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Akuisisi Breadlife, Startup F&B DailyBox Ingin Terus Tambah Portofolio

Salah satu rencana yang ingin dilancarkan DailyBox akhir tahun ini adalah memperluas kolaborasi. Setelah menjalin kerja sama strategis dengan koki selebritas dan masyarakat umum yang memiliki passion di dunia kuliner,  DailyBox juga telah resmi mengakuisisi brand Breadlife. Kepada DailySocial, CEO DailyBox Kelvin Subowo mengungkapkan, Breadlife adalah salah satu brand roti terkemuka di Indonesia.

“Sudah menjadi brand top-of-mind di kategori roti serta memiliki tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi. Hal ini tidak lepas dari tim manajemen Breadlife yang diisi oleh orang-orang berpengalaman di bidangnya dan juga memiliki line-up produk yang melengkapi produk dari DailyBox.”

Pasca diakuisisi DailyBox Group, pelanggan Breadlife ini dapat memesan makanan melalui platform antar makanan, yaitu GoFood, GrabFood, ShopeeFoods, dan TravelokaEats.

“Sebagian besar outlet Breadlife berada di luar pulau Jawa sedangkan sebaran titik DailyBox Group terkonsentrasi di pulau Jawa. Tahun depan kami ingin fokus pengembangan diluar pulau Jawa. Hal ini sesuai dengan misi Dailybox Group untuk menjangkau lebih banyak lokasi di seluruh Indonesia,” kata Kelvin.

Terdapat 4 implementasi terkait dengan DailyBox dan Breadlife. Yang pertama adalah dalam hal jaringan. Breadlife dapat menggunakan jaringan DailyBox yang sudah ada di 120 titik untuk memperluas jangkauannya dengan kapital yang minimal. Sebaliknya, DailyBox dapat menggunakan jaringan Breadlife yang terkonsentrasi di luar pulau Jawa. Kolaborasi juga dilakukan untuk meningkatkan visibilitas brand.

Dalam hal resources, untuk meningkatkan inovasi produk yang diibantu  jajaran chef Dailybox Group, Breadlife akan menghadirkan produk roti secara tersentralisasi.

“Dulu roti-roti Breadlife dibuat dari awal di masing-masing outlet. Sekarang proses pengadonan dan baking dilakukan di central kitchen Dailybox Group untuk menjamin konsistensi rasa dan tekstur roti,” kata Kelvin.

Setelah mengakuisisi Breadlife sebagai brand keempat di portofolio (setelah Dailybox, Dailymeals, dan Shirato), rencana DailyBox tahun depan adalah mengakuisisi brand baru untuk memperkaya portfolio Dailybox Group dan menambahkan titik lokasi di luar pulau Jawa.

Fokus ke profit

Sebagai platform restoran online multi-brand, DailyBox selalu berupaya untuk fokus ke capaian profit. Meskipun sempat mengalami kendala saat awal pandemi tahun 2020 lalu, DailyBox mampu untuk bertahan sebagai early adopter cloud kitchen di Indonesia.

Dalam perbincangan sesi DScussion beberapa waktu lalu, Kelvin menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa DailyBox mendapat pendanaan Seri A oleh dua VC, yaitu Vertex Ventures SEA dan Kinesys Group.

“Meskipun kita hadir sebagai startup, namun cara main kita sangat konservatif, yaitu menjaga bottom line dan fokus kepada profit. Karena unit economics sudah jelas untuk bisnis kuliner. Mindset ini yang kemudian dilihat oleh investor kepada DailyBox yaitu untuk selalu menjaga profitable level,” ujar Kelvin.

AC Ventures Leads Series A+ Funding of Malaysian Based SaaS F&B Startup Food Market Hub

AC Ventures led Series A+ funding for Malaysian based SaaS startup Food Market Hub (FMH) worth of $8.5 million (over 121 billion IDR). As for the latest funding, FMH’s valuation is estimated to reach $40 million. FMH is a platform provider that simplifies and automates back-end operations for food and beverage (F&B) businesses.

In this round, AC Ventures invested through a special fund in Malaysia named Penjana Kapital Fund. Participated also new investors, including East Ventures, Velocity Ventures, Capital Code, and several angel investors. There are also  previous investors, including Go-Ventures, SIG, and 500 Global.

FMH received a total fresh funds of $12.5 million (more than 179 billion Rupiah) through the Series A and Series A+ rounds due to the company’s rapid growth and the digital acceleration in the F&B sector.

The funding allows FMH to accelerate its expansion to Indonesia, deeper penetration into the Malaysian market, and strengthen its presence in Singapore and Thailand by 2022.

In an official statement, Food Market Hub‘s CEO, Anthony See said, the platform built by FMH has helped many F&B businesses reduce their food costs. In addition, it helps them thrive, especially during the difficult times caused by this pandemic.

“We have observed a significant increase in demand for our solutions as more and more businesses recognize the value of technology in enabling them to achieve greater efficiencies – especially in today’s evolving business climate,” Anthony said.

Founded in 2017, the FMH platform automates the purchasing process and inventory tracking, helping F&B businesses minimize waste while managing food and inventory costs more efficiently.

By leveraging FMH function, F&B restaurants can easily order from the existing and new suppliers while automatically synchronizing data from Point-of-Sales (POS), inventory, and accounting systems for procurement decision making on a single platform. In addition, other integrations to third-party software, provide comprehensive real-time data for business owners to enable them to manage their business efficiently.

Today, many businesses have been forced to digitize in order to address the challenges posed by the COVID-19 pandemic. Since early 2020, FMH has experienced exponential growth, doubling its active users to 5,000 with an overall retention rate of 87%. Its total annual order value has quadrupled in the past 12 months to $600 million in October 2021.

Most FMH users use the platform daily to process 90% of all purchase transactions, showing how important FMH is to their operations. Some FMH users come from cafe chains, large restaurant groups, and franchises, such as The Coffee Academics, Din Tai Fung, Yum Brands, KFC, and Pizza Hut.

The company recently expanded its offerings by launching a payment service in Malaysia, enabling F&B businesses to seamlessly send invoices and collect payments within the platform.

“Our mission is to support disruptions that will create value through their technological innovations, especially in the ASEAN. Food Market Hub’s track record in Hong Kong, Singapore, Malaysia and Taiwan has shown strong potential to accelerate the transformation of the F&B business. We look forward to their continued growth across the region and beyond,” AC Ventures’ Partner, Ng Yi Chung said.

This year, FMH becomes one of three winners of HLB Launchpad 2020 collaborating with Hong Leong Bank on a pilot project. The company recently signed a Memorandum of Understanding (MoU) with Saladplate, a marketplace for F&B and hospitality, to help provide local businesses source F&B digitally.

Moreover, they also partner with Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) in the virtual Go-eCommerce Expo 2021 to encourage local businesses to adopt eCommerce. It also encourages partnership with Southeast Asia’s first Hospitality and Travel technology investor, Velocity Ventures to strengthen its position in the FMH F&B industry and expand into new markets rapidly.

Aside from Malaysia, FMH has a footprint in other Asian markets such as Hong Kong, Taiwan, Thailand and Singapore. With its recent expansion into Indonesia, the company is already available in six countries.

The company will continue to support the digitization of Southeast Asian businesses with deeper regional coverage and a desire to enter new markets such as Vietnam. Over the next year, FMH plans to provide financing tools to support the recovery of the regional F&B business.

SaaS solution in Indonesia

In the list AC Ventures portfolios, there is a startups that offers similar solutions for the F&B industry like Esensi Solusi Buana (ESB). ESB is an all-in-one culinary business operational system software provider that connects front-end, back-end, consumers, and supply chain partners for restaurants.

On a general note, based on the 2021 MSME Empowerment Report published by DSInnovate, there are several basic problems experienced by MSME players in Indonesia, including:

In order to overcome this problem, 83% of MSME players admit to using services from digital startups. From this hypothesis, the founders are passionate about presenting a variety of products with different value propositions. Currently, there are dozens of startups that present various types of SaaS in this segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Pimpin Pendanaan Seri A+ untuk Startup SaaS F&B Malaysia Food Market Hub

AC Ventures memimpin pendanaan Seri A+ untuk startup SaaS Malaysia Food Market Hub (FMH) sebesar $8,5 juta (lebih dari 121 miliar Rupiah). Pasca perolehan dana ini, valuasi FMH diperkirakan mendekati $40 juta. FMH adalah penyedia platform yang menyederhanakan dan mengautomatisasi operasi back-end untuk bisnis makanan dan minuman (F&B).

Di putaran ini, AC Ventures berinvestasi melalui fund khusus di Malaysia bernama Penjana Kapital Fund. Juga menjadi investor baru adalah East Ventures, Velocity Ventures, Capital Code, dan beberapa angel investor. Investor terdahulu yang turut berpartisipasi termasuk Go-Ventures, SIG, dan 500 Global.

Secara total, di putaran Seri A dan Seri A+, FMH memperoleh dana segar $12,5 juta (lebih dari 179 miliar Rupiah) akibat pertumbuhan perusahaan diklaim sangat cepat dan dorongan percepatan digitalisasi di sektor F&B.

Pendanaan ini memungkinkan FMH mempercepat rencana ekspansinya ke Indonesia, menembus lebih dalam ke pasar Malaysia, dan memperkuat kehadirannya di Singapura dan Thailand pada tahun 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Food Market Hub Anthony See menuturkan, platform yang dibangun FMH berhasil membantu banyak bisnis F&B mengurangi biaya makanan dan pemborosan mereka. Tak hanya itu, membantu mereka berkembang pesat, terutama selama masa-masa sulit yang disebabkan oleh pandemi ini.

“Kami telah mengamati peningkatan permintaan yang signifikan untuk solusi yang kami berikan karena semakin banyak bisnis menyadari nilai teknologi dalam memungkinkan mereka mencapai efisiensi yang lebih besar – terutama dalam iklim bisnis yang terus berkembang saat ini,” kata See.

Didirikan pada tahun 2017, platform FMH mengotomatiskan proses pembelian dan pelacakan inventaris, membantu bisnis F&B meminimalkan pemborosan sambil mengelola biaya makanan dan inventaris dengan lebih efisien.

Dengan memanfaatkan FMH, restoran F&B dapat dengan mudah memesan dari pemasok mereka yang sudah ada dan yang baru sambil secara otomatis menyinkronkan data dari Point-of-Sales (POS), inventaris, dan sistem akuntansi untuk pengambilan keputusan pengadaan pada satu platform. Selain itu, integrasi lain ke perangkat lunak pihak ketiga, menyediakan data yang komprehensif secara real-time untuk pemilik bisnis agar mereka dapat mengelola bisnis secara efisien.

Saat ini, banyak bisnis telah dipaksa untuk melakukan digitalisasi dalam mengatasi tantangan yang dibawa oleh pandemi COVID-19. Sejak awal 2020, FMH telah mengalami pertumbuhan eksponensial, menggandakan pengguna aktifnya menjadi 5.000 dengan tingkat retensi keseluruhan 87%. Nilai total pesanan tahunannya telah tumbuh lebih dari empat kali lipat dalam 12 bulan terakhir menjadi US$600 juta pada Oktober 2021.

Para pengguna FMH sebagian besar menggunakan platform setiap hari untuk memproses 90% dari semua transaksi pembelian, menunjukkan betapa pentingnya FMH untuk operasi sehari-hari mereka. Beberapa pengguna FMH datang dari jaringan kafe (cafe chain), grup restoran besar, dan waralaba, seperti The Coffee Academics, Din Tai Fung, Yum Brands, KFC, dan Pizza Hut.

Perusahaan baru-baru ini memperluas penawarannya dengan meluncurkan layanan pembayaran di Malaysia, memungkinkan bisnis F&B untuk mengirim faktur dan mengumpulkan pembayaran dengan lancar di dalam platform.

“Misi kami adalah untuk mendukung disrupsi yang akan menciptakan nilai melalui inovasi teknologi mereka, terutama di kawasan ASEAN. Rekam jejak Food Market Hub di Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan telah menunjukkan potensi yang kuat untuk mempercepat transformasi bisnis F&B. Kami menantikan pertumbuhan berkelanjutan mereka di seluruh kawasan dan sekitarnya,” kata Partner AC Ventures Ng Yi Chung.

Pada tahun ini, FMH adalah salah satu dari tiga pemenang HLB Launchpad 2020 yang berkolaborasi dengan Hong Leong Bank dalam proyek percontohan. Perusahaan baru-baru ini menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Saladplate, marketplace untuk F&B dan perhotelan, untuk membantu bisnis lokal mendapatkan sumber F&B secara digital.

Serta, bermitra dengan Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC) dalam virtual Go-eCommerce Expo 2021 untuk mendorong bisnis lokal mengadopsi eCommerce. Ini juga menandai dimulainya kemitraan dengan investor teknologi Perhotelan dan Perjalanan pertama di Asia Tenggara, Velocity Ventures untuk memperdalam pijakan industri F&B FMH dan memperluas ke pasar baru dengan cepat.

Di luar Malaysia, FMH telah memiliki jejak di pasar Asia lainnya seperti Hong Kong, Taiwan, Thailand, dan Singapura. Dengan ekspansi baru-baru ini ke Indonesia, perusahaan kini hadir di enam negara.

Perusahaan akan terus mendukung digitalisasi bisnis Asia Tenggara dengan cakupan wilayah yang lebih dalam dan keinginan untuk memasuki pasar baru seperti Vietnam. Selama tahun depan, FMH berencana untuk menyediakan alat pembiayaan untuk mendukung pemulihan bisnis F&B regional.

Solusi SaaS di Indonesia

Dalam portofolio AC Ventures, juga terdapat startup dengan solusi sejenis untuk industri F&B, yakni Esensi Solusi Buana (ESB). ESB adalah penyedia software sistem operasional bisnis kuliner all-in-one yang menghubungkan front-end, back-end, konsumen, dan mitra rantai pasokan untuk restoran.

Secara umum, menurut laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

ShopeeFood Beri Sinyal Masuk Persaingan Layanan “Food Delivery”

ShopeeFood mulai hadir meramaikan pasar food delivery di Indonesia. Layanan tersebut bisa diakses melalui platform Shopee, baik di situs web maupun di aplikasi mobile. Belum seperti layanan pesan-antar kilat layaknya GrabFood atau GoFood, sebagian besar produk makanan/minuman yang disajikan sifatnya lebih tahan lama, seperti makanan beku, aneka kue, atau minuman kemasan. Sementara cakupannya sudah cukup luas, di berbagai provinsi di seluruh Indonesia.

Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web
Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web

Diperkenalkannya layanan tersebut tentu memicu banyak spekulasi di pasar. Yang jelas, layanan pesan-antar makanan memang tengah naik daun di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19. Di Indonesia sendiri, menurut penelitian McKinsey (2020), ada peningkatan 34% untuk penggunaan jasa pesan antar makanan selama masa pandemi. Survei yang dilakukan DailySocial dan Populix juga mengemukakan fakta, selama periode karantina mandiri, 53% responden mengatakan bahwa aplikasi pesan-antar makanan menjadi yang banyak digunakan.

Berkompetisi dengan pendahulu

Sebagai raksasa digital di Asia Tenggara, Sea Limited (Sea), induk Shopee, tentu memiliki ambisi untuk masuk pada berbagai model bisnis potensial. Sebagai informasi, per hari ini (21/1) kapitalisasi pasar perusahaan mencapai $118,72 juta – jadi perusahaan teknologi paling bernilai di regional. Dan jika diamati lebih dalam, pendekatan yang dilakukan oleh berbagai unit perusahaannya juga cukup unik, seperti ‘tidak ada kata terlambat.’

Ambil contoh layanan online marketplace Shopee, mereka baru mulai masuk ke pasar Indonesia pada bulan Mei 2015. Kala itu segmen bisnis ini sudah cukup ramai, dengan dominasi pendahulunya seperti Lazada, Tokopedia, Bukalapak, elevenia, Blibli, Alfacart, dll. Namun dua tahun terakhir, ditinjau dari volume penjualan dan transaksi, Shopee justru mampu memimpin pasar.

Ada banyak faktor, salah satu yang paling kentara karena berhasil ‘bakar duit’ di waktu yang tepat. Mereka melakukan akuisisi pelanggan dengan sangat maksimal saat pasar sudah berhasil teredukasi oleh pemain sebelumnya. Jargon ‘gratis ongkir’ pun kini sangat melekat di platform yang khas dengan warna oranye tersebut.

Strategi sama bisa saja dilakukan, dengan kondisi pasar food delivery yang sudah semakin matang dan masif di Indonesia. PR-nya bagi Shopee tentu melakukan penguatan infrastruktur yang diperlukan – yang sudah dimiliki saat ini adalah platform pemesanan dan pembayaran (ShopeePay), sementara yang belum adalah logistik first-mile.

Di last-mile, mereka sudah memiliki Shopee Xpress (SPX) yang kini sudah melayani sebagian pengguna di online marketplace. Beberapa waktu terakhir tersiar kabar bahwa Shopee tengah merekrut mitra pengemudi untuk melayani pesanan ShopeeFood. Ditambah, tim pemasaran mereka mulai mempromosikan layanan ShopeeFood yang nantinya dapat digunakan untuk memesan makanan favorit seperti bakso, soto, martabak, dll (makanan cepat saji).

Kami sudah mencoba meminta konfirmasi terkait beberapa informasi secara langsung ke tim Shopee di Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada respons.

Proposisi nilai

Mengutip temuan survei GlobalWebIndex, ada beberapa alasan yang mendorong orang untuk memesan makanan melalui aplikasi food delivery, lima teratas meliputi: gratis ongkos kirim (51%), pengiriman cepat (48%), penawaran diskon (43%), ketersediaan dan kelengkapan item (36%), kemudahan proses pemesanan (30%). Kendari survei tersebut tidak dilakukan spesifik kepada pengguna di Indonesia, namun cukup representatif menggambarkan kondisi pangsa pasar.

Untuk memenangkan pasar, platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut. Beberapa strategi mulai digulirkan beberapa pemain, misalnya melalui insiatif cloud kitchen. Konsep dapur bersama tersebut memungkinkan platform mengumpulkan beberapa merchant kuliner di satu tempat. Dari sisi konsumen, memudahkan mereka untuk mendapatkan opsi lebih banyak ketika ingin membeli makanan dengan 1x pemesanan dan pengantaran.

Dari sisi merchant, platform bisa menentukan (berdasarkan data) mengenai produk potensial di wilayah tertentu sehingga turut membantu mereka untuk memastikan bisnisnya mendapatkan pasar yang relevan. Selain itu tentu menghemat biaya modal dan ongkos operasional, karena hanya fokus melayani pesan-antar.

Detail seperti ini yang harus jeli dilihat oleh ShopeeFood sebagai penantang baru di lanskap bisnis ini. Tapi sebenarnya Shopee juga sudah melakukan beberapa aksi permulaan terkait pasar food delivery di Indonesia. Misalnya mereka mendukung Weyland Tech dalam peluncuran AtozGo di Jakarta — ShopeePay digunakan sebagai sistem pembayaran utama. Sehingga banyak kemungkinan sinergi yang dapat dilakukan ketika nantinya ShopeeFood benar-benar mulai dimaksimalkan.

Mendorong konsolidasi

Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek
Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek

Dengan kekuatan kapital dan jangkauan pasar yang dimiliki Sea, jelas ini bukan kabar menyenangkan untuk para kompetitornya. Di Indonesia, sejauh ini Gojek dan Grab jadi penyedia food delivery dengan jangkauan paling luas dan mitra terbanyak. Untuk menghadapi raksasa digital tersebut, bahkan sebelumnya dikabarkan keduanya hendak melakukan merger. Sayangnya kabar terakhir mengatakan, founder tidak mencapai titik sepakat soal pembagian saham.

Rumor yang tengah beredar justru rencana merger antara Gojek dan Tokopedia. Platform online marketplace besutan William Tanuwijaya tersebut kini juga bersaing ketat dengan Shopee – dari berbagai riset dikatakan Tokopedia ada di peringkat kedua persis di bawah Shopee. Konsolidasi jelas membuka peluang kolaborasi di banyak elemen, tak terkecuali perluasan layanan food delivery menggabungkan mitra UKM kuliner yang dimiliki Tokopedia, sampai perluasan layanan GoPay untuk pembayaran di Tokopedia.

Kue pasar untuk food delivery di Asia Tenggara juga menggiurkan. Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 mengatakan, GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun lalu mencapai $6 miliar, bahkan lebih besar dari transportasi on-demand yang nilainya $5 miliar (turun akibat pandemi).

Sementara di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada beberapa pemain lainnya yang mencoba mengakomodasi urusan pesan makanan, di antaranya:

Platform Keterangan
Yummy Corp Terafiliasi dengan perusahaan kuliner Ismaya Group. Memiliki beberapa lini bisnis, salah satunya YummyBox layanan pemesanan katering lewat aplikasi.
Kulina, Wakuliner, Homade Layanan pemesanan katering berbasis aplikasi untuk konsumer ataupun bisnis, bekerja sama dengan merchant F&B.
Gorry Holdings Startup pengembang aplikasi wellness, miliki unit bisnis Gorry Gourmet untuk menyediakan jasa pemesanan makanan sehat secara online.

 

Application Information Will Show Up Here

“Ngebulnya” Dapur Platform Resep Online Sejak Pandemi

Bicara urusan perut memang tidak pernah kelar, di tengah pandemi sekalipun. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya permintaan untuk semua vertikal bisnis yang berhubungan bisnis makanan secara online, mulai dari layanan food discovery, pesan antar makanan, hingga resep online.

Vertikal bisnis yang pertama dan kedua sudah dimuat DailySocial. Kali ini kami membahas platform resep online. Tiga pemain situs resep online yang beroperasi di Indonesia, seperti Endeus, Yummy, dan Cookpad Indonesia, semuanya kompak menyebutkan terjadi kenaikan yang drastis dari sisi kunjungan situs selama pandemi.

Kenaikan ini punya hipotesis sederhana bahwa untuk tetap bahagia tinggal di dalam rumah selama pandemi, perlu variasi menu makanan sehari-hari. Tidak bisa terus menerus pakai jasa antar makan demi menghemat dana. Salah satu cara adalah mencari inspirasi yang disediakan berbagai situs resep online atau media sosial.

Trafik kunjungan melonjak selama pandemi

Founder dan CEO Kurio David Wayne Ika menceritakan, Endeus ikut terciprat rezeki karena masuk ke dalam industri F&B. Ketertarikan orang yang membentuk kebiasaan baru mengenai dunia memasak naik pesat. Kunjungan ke situs dan aplikasi Endeus bahkan naik sampai 250% sejak awal pandemi.

Endeus adalah online media khusus resep online yang berdiri sejak 2018 dan menjadi bagian Kurio. Dengan tim terpisah, Endeus memproduksi rata-rata 10-12 video masak setiap minggu dibantu oleh tim internal dan tim chef dari sekolah kuliner, dan chef profesional. Kini Endeus memiliki lebih dari 2 ribu konten yang diproduksi eksklusif dari studionya.

Awareness orang-orang mengenai makanan sehat, imun, dan makanan rumah mungkin salah satu yang paling mengubah kebiasaan hidup yang akan tetap bertahan walaupun pandemi berakhir. Kami melihat perubahan lifestyle ini tetap bertahan karena orang makin sadar pentingnya healthy lifestyle ini, Walaupun sekolah dan kantor berangsur normal kembali, kami antisipasi many of them will pack their food from home,” katanya.

Semantara Yummy juga mengklaim lonjakan traffic untuk seluruh platform-nya, baik dari aplikasi maupun media sosial, meski tidak disertai dengan angka pendukung. Menurut penuturan Product Manager Yummy Muhammad Iqbal Zehan, kenaikan ini didukung kondisi kebiasaan baru masyarakat selama pandemi yang sangat memerhatikan faktor higienis dan memilih untuk masak di rumah daripada beli makanan dari luar.

“Untuk mendukung kebiasaan tersebut, kami mengadakan berbagai aktivitas seputar inspirasi kuliner yang bisa dinikmati dari rumah dan virtual event kuliner terbesar di Indonesia: Memasak by Yummy,” terang Iqbal.

Sama seperti Endeus, Yummy merupakan bagian dari media online IDN Media yang dirilis resmi sejak Juli 2019 setelah hampir tiga tahun beroperasi melalui akun media sosialnya. Ambisi Yummy adalah memudahkan generasi milenial dan gen Z yang ingin mulai memasak dengan fitur-fitur sesuai dengan kebutuhan mereka.

Cookpad Indonesia (selanjutnya disebut Cookpad) mengklaim turut mencatatkan kenaikan traffic kunjungan, meski tidak disertai data pendukung. Public Relations and Community Lead Cookpad Indonesia Aprina Dwi Pancasari menuturkan, traffic Cookpad tumbuh organik sepanjang pandemi. Cookpad Indonesia hadir sejak sembilan tahun lalu dan kini memiliki lebih dari 1,5 juta resep yang ditulis pengguna.

“Saat itu banyak pengguna berinteraksi di Cookpad, sebab [kondisi pandemi] ini menjadi momen di mana orang terpaksa harus di rumah dan akses terbatas untuk pergi. Jadi mereka terpacu untuk membuat sesuatu dari rumah. Kami mencoba untuk ajak author untuk berbagi tips ringan, seperti cara menyimpan bahan makanan yang cepat rusak agar dapat bertahan lama,” terangnya.

Kondisi pandemi mendorong banyak pengguna Cookpad mencari inspirasi resep makanan untuk memulai usaha rumahan. Alhasil Cookpad memfasilitasi komunitas di tiap kota untuk bertemu secara virtual agar sesama anggota dapat berbagi bagaimana hasil masakan sebelum layak dijual.

“Komunitas kita bentuk berdasarkan kota. Terbanyak masih dari [Pulau] Jawa, tapi ada juga di Sumatera dan Kalimantan. Kita bentuk komunitas ini melihat dari keaktifan para pengguna Cookpad sebagai author. Selain itu kami cukup idealis karena ingin orang asli di daerah sana yang jadi author untuk memperluas variasi makanan lokal di sana tetap terjaga.”

Peluang bisnis

Hampir separuh pengunjung Endeus mayoritas adalah generasi milenial dengan rentang usia dari 24-35 tahun. Mereka datang dari 10 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, dan sebagainya. David menuturkan seluruh pengunjung ini rata-rata menyukai mengunjungi konten makanan mengenai modern fusion, hidangan sederhana, dan makanan lokal.

“Selama pandemi, kami melihat kenaikan minat pengunjung untuk mencari konten makanan ringan rumahan, baking, maupun restaurant look a like recipe karena mungkin banyak yang kangen makanan restoran.”

Dari kacamata bisnis, kenaikan traffic ini berdampak pada ekosistem kuliner itu sendiri. Perkembangan inovasi ragam makanan bergerak cepat, mulai dari makanan beku hingga restoran yang mulai agresif mempersiapkan cloud kitchen untuk bertahan. Langkah yang diambil pemilik restoran cukup rasional, mengingat saat ini orang-orang mengurangi aktivitas di tempat keramaian seperti mal dan restoran.

Pada saat yang sama, kebanyakan klien Endeus datang dari sektor makanan, entah itu brand bumbu makanan atau alat masak. Saat pandemi, bisnis mereka tumbuh pesat dan bisa dipastikan tahun depan akan makin agresif karena terus berinovasi merilis produk baru.

David mengaku, ada 3-4 pemain online groceries yang sedang dalam tahap diskusi untuk bekerja sama untuk kemitraan pemasaran, integrasi produk (strategis maupun taktis). Dari sana, ia meyakini posisi Endeus sebagai platform online food media dapat menjembatani kebutuhan online groceries dalam menjangkau para penggunanya.

Dari berbagai survei yang ia kutip, mengatakan online groceries akan menjadi salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat. “Mungkin secara persentase belum besar, namun melalui pandemi, kategori ini berhasil membuka market lebih besar dengan “memaksa” orang belajar dan mencoba belanja grocery dipesan lewat ponselnya.”

Sebelum ada pandemi, media niche seperti Niche ini hadir karena ada pangsa pasar kosong di kategori tersebut, seiring tumbuhnya permintaan terhadap konten makanan, masak sederhana yang digabung dengan milenial dan first time home buyer.

Food category is one of the largest addressable market, baik dari jumlah viewers/users sekaligus business potential. [..] Juga memiliki berbagai potensi revenue stream, selain advertising, as the market and user grow.

Sementara demografi Yummy kurang lebih mirip dengan Endeus, datang dari kalangan usia 18-34 tahun. Mereka juga menyukai konten masakan, dari makanan ringan, jajanan, hingga resep kue. Seluruh konten tersebut diproduksi dengan dua cara, dari tim internal Yummy dan user generated content (UGC) dari komunitas chef (panggilan pengguna Yummy).

Iqbal menuturkan, konten internal dibuat dengan matang,melalui proses brainstorming mengenai apa saja makanan yang sedang tren dan menarik bagi milenial dan Gen Z.

“Lalu chef Yummy akan mengkreasikan makanan tersebut dan dikemas menjadi resep makanan dengan lima langkah mudah, lalu video tutorial dikerjakan. Sedangkan [untuk] konten UGC, semua user dapat membagikan ke aplikasi setelah dikurasi oleh Yummy.”

Diharapkan seluruh konten Yummy dapat memberi inspirasi kaum muda untuk meningkatkan kemampuan memasak, bahkan mendapat ide usaha kuliner. Secara bisnis, Iqbal mengaku perusahaan pernah bekerja sama dengan pemain online grocery dan memperoleh respons positif.

“Saat ini kami masih terus fokus pada tutorial resep masakan berbentuk konten digital. Pada dasarnya, kami akan terus mengeksplorasi dan berinovasi dalam berbagai hal yang dapat mewujudkan visi kami, yakni menginspirasi generasi milenial dan Gen Z untuk cook well, eat well, dan live well.”

Hal yang sama diungkapkan Aprina untuk Cookpad. Mayoritas pengguna Cookpad adalah perempuan dengan rentang usia 25-45 tahun. Malah, saat pandemi ini, pengguna Cookpad datang dari kalangan usia 18 tahun.

Ia mengaku fokus perusahaan adalah mendorong orang untuk kembali ke dapur. Dengan big data yang dimiliki perusahaan, dibangun sistem algoritma yang dapat merekomendasikan resep makanan berdasarkan histori pencarian atau bahan spesifik yang ada di rumah atau berdasarkan momen spesial agar inspirasi masak lebih cepat didapat.

Cookpad tidak ikut memproduksi konten, tetapi sepenuhnya memanfaatkan UGC yang diunggah para pengguna.

Fitur berbasis sosial juga ditambah agar pengguna dapat berinteraksi dengan komunitas di sekitar mereka, dengan mengirimkan Recook, emoji, komentar, atau pertanyaan terkait resep. “Kami merilis video langkah pada awal tahun untuk bantu memvisualkan resep, daripada hanya foto, yang berdurasi maksimal 10 detik.”

Model bisnis Cookpad adalah freemium yang dibanderol seharga Rp40 ribu per bulan. Cookpad Premium membuka akses fitur resep teruji untuk pengguna yang ingin mengurangi risiko gagal dalam memasak. Tampilan resep akan diurutkan berdasarkan tingkat popularitas resep-resep yang sudah teruji pengguna Cookpad.

Sebenarnya, seluruh resep di Cookpad juga bisa diakses secara gratis, tapi pengguna hanya bisa mengurutkan dari resep yang paling baru dirilis. “Cookpad Premium untuk orang-orang yang butuh resep dalam waktu cepat dan enggak mau gagal, biasanya mereka cari untuk resep yang agak kompleks.”

Cookpad berasal dari Jepang dan berdiri sejak 1988. Di negara asalnya, Cookpad memiliki lebih dari 50 juta pengguna aktif. Sementara di luar Jepang, Cookpad telah hadir di 74 negara di seluruh dunia dengan kantor pusat di Inggris. Basis penggunanya disebutkan ada lebih dari 42 juta.


Gambar header: Depositphotos.com