Analis: 20 Juta Gamer PC Akan Beralih ke Console di Tahun 2022

Persaingan antar fans sudah ada dari sejak lahirnya video game. Setelah era keemasan Atari, Nintendo dan Sega usai, kini rivalitas panas terjadi berlangsung antara konsumen setia Sony dan Microsoft. Fitur, hardware, serta konten biasanya yang paling sering dibahas dalam perdebatan itu. Tapi mereka yang paham aspek teknis setuju, PC merupakan platform gaming paling superior di antara semunya.

Bahkan ketika lihat dari satu layanan saja, Anda bisa menakar sendiri besarnya jumlah penikmat game PC: ada 47 juta pengguna aktif mengakses Steam setiap harinya. Data Statista sendiri menyebutkan ada 1,22 miliar gamer PC di tahun 2017 dan diperkirakan akan meningkat jadi 1,4 miliar di 2021. Uniknya, Jon Peddie Research melaporkan prediksi yang sangat berbeda. Menurut mereka, akan ada sekitar 20 juta pemain di PC beralih ke console dalam periode tiga tahun ke depan.

Jon Peddie menjelaskan bahwa pergeseran ini memiliki korelasi dengan penurunan pasar komputer personal. Satu pendorong dari migrasi tersebut adalah minimnya inovasi, kemudian produsen kini juga lebih lambat dalam memperkenalkan barang-barang baru. Menurut analis, perpindahan terbesar dilakukan oleh pengguna PC ‘low end‘ yang umumnya mempunyai sistem seharga US$ 1.000 ke bawah. Transisi didorong oleh meningkatnya kualitas panel TV, bertambah canggihnya teknologi semikonduktor di console, serta ketersediaan game-game eksklusif di sana.

JPR.

Menariknya, JPR sempat melihat kenaikan pembelian produk PC entry-level hingga kelas menengah dengan maksud digunakan sebagai mesin gaming. Namun menurut tim analis, hal tersebut tidak memberi dampak besar pada peningkatan volume. Dalam lima tahun ke depan, JPR memprediksi ada ratusan juta gamer PC berpindah ke ranah ‘TV gaming‘, dan sebagian dari mereka memilih untuk memanfaatkan layanan on demand. Saat itu, kondisi pasar jauh berbeda dari sekarang dan Hukum Moore akan kehilangan signifikansinya karena pencipta prosesor tidak bisa lagi menyusutkan ukuran transistor tiap 24 bulan.

Lalu apakah ini merupakan sebuah senja bagi industri PC gaming?

Tentu tidak jika Anda melihat dari perspektif yang lebih luas. Microsoft yang baru saja dinobatkan sebagai perusahaan satu triliun dolar mengungkapkan komitmennya untuk fokus di segmen gaming di PC lewat Windows 10. Dan dalam survei di Game Developers Conference 2017, 53 persen dari 4.500 developer yang berpartisipasi mengonfirmasi tengah mengembangkan permainan untuk PC. Persentase game console tampak lebih kecil, yaitu 27 persen di PS4, 23 persen di Xbox One, dan 3 persen untuk Switch.

Dan berbicara soal teknologi semikonduktor serta transistor, kita tahu Sony telah mengonfimasi penggunaan chip Ryzen 3 dan Radeon Navi di PlayStation ‘5’. Keadaan tersebut memperlihatkan kian miripnya arsitektur console dengan PC, memastikan pengembangan game multi-platform dan proses porting jadi lebih mudah. Dan jangan heran jika PS5 tersedia nanti, prosesor 12- atau 16-core akan menjadi kian merakyat…

Via Digital Trends.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.

Info Paten Singkap Wujud Controller Pelengkap Layanan Streaming Game Google?

Sejak dicetus oleh OnLive belasan tahun silam, dalam waktu dekat kita akan menjadi saksi lepas landasnya layanan cloud gaming berskala besar setelah para raksasa teknologi mulai mencurahkan perhatian mereka ke ranah itu. Saat ini, Microsoft tengah menggodok Project xCloud yang ditopang oleh teknologi Azure, sedangkan Google dan para mitranya (salah satunya Ubisoft) sedang fokus pada Project Stream.

Menyediakan platform gaming – tradisional maupun on demand – bukanlah hal baru bagi kedua perusahaan. Namun ketika brand Xbox sudah lama mencengkeram ranah gaming dengan begitu eratnya, ada banyak pernak-pernik yang mesti dipersiapkan oleh Google demi mendukung layanan baru mereka, salah satunya ialah dari aspek periferal kendali. Dan berdasarkan informasi dari paten, tersingkaplah wujud unit gamepad wireless yang boleh jadi akan melengkapi Project Stream.

 

Paten tersebut sendiri sebetulnya membahas sistem notifikasi, ditujukan untuk memberitahu pemain sewaktu game baru sudah tersedia, ketika mendapatkan undangan bermain dari teman, ada pesan masuk, atau berubahnya status Anda di leaderboard. Hal yang menarik perhatian dari paten ini adalah ilustrasi sebuah controller, ditampilkan dari dua sudut pandang berbeda: bagian wajah dan area bawah.

Gamepad Google 1

Tanpa warna (setidaknya pada gambar), penampilan controller terlihat sangat polos. Rancangannya sederhana, tanpa ada lengkungan-lengkungan stylish, dengan layout yang mengingatkan saya pada DualShock 4. Selain directional pad dan empat action button, terdapat sepasang thumb stick yang diposisikan sejejer.

Gamepad Google 2

Namun berbeda dari DualShock 4 dengan touchpad-nya, gamepad Google ini menyajikan sejumlah tombol-tombol utility di sisi depan, dan salah satu yang menonjol adalah tombol berlogo microphone tak jauh dari joystick. Kehadirannya mengindikasikan dukungan fitur perintah suara, bisa jadi mengusung teknologi Google Assistant.

Selanjutnya, Anda akan menemukan empat buah trigger button di area depan, sebuah port micro-USB, dan (boleh jadi) panel pintu baterai seperti yang dimiliki controller Xbox One. Saya pribadi penasaran apakah Google turut membekalinya bersama opsi sambungan lain misalnya via kabel atau dongle Wi-Fi agar periferal bisa mendukung lebih banyak perangkat.

Gamepad Google, di-render oleh YankoDesign.

Menggunakan ilustrasi di paten sebagai petunjuk, YankoDesign telah menciptakan beberapa gambar versi render dari controller Google tersebut. Namun tentu saja ada peluang bagi sang produsen untuk mengubah wujud di versi retail-nya nanti. Saya menduga, Google akan mengungkap segala detail mengenainya, termasuk layanan Project Stream, di Game Developers Conference 2019 minggu depan.

Via The Verge.  Header: YankoDesign.

Alasan Mengapa Microsoft Begitu Percaya Diri Dengan Project xCloud, Yaitu Netflix-nya Video Game

Fase akhir siklus hidup console game current-gen sudah dimulai, dan dalam waktu dekat, kita dipastikan akan menyaksikan penyingkapan produk-produk generasi selanjutnya. Baik Sony dan Microsoft sudah mengonfirmasi bahwa mereka tengah menggodok hardware gaming baru, namun penyajian konten-kontennya nanti boleh jadi sedikit berbeda dari sistem lawas.

Fenomena ini bisa kita lihat dari awal penyediaan PlayStation Now dan Xbox Play Anywhere. Melalui fitur-fitur ini, para produsen mulai menawarkan game sebagai layanan – bukan sekadar produk. Dan ke depannya, kemungkinan akan ada lebih banyak platform cloud gaming bertebaran, apalagi setelah para raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft diketahui begitu serius menggarapnya.

Di bulan Oktober 2018 silam, Microsft resmi mengumumkan pengembangan layanan gaming on demand bernama Project xCloud. Seperti platform cloud gaming sekelasnya, xCloud memperkenankan pelanggan bermain game tanpa dibatasi oleh spesifikasi perangkat yang mereka miliki. Dan dalam sebuah acara yang dilakukan di markas utama Microsoft hari Senin kemarin, CEO Satya Nadella mendeskrpsikan xCloud sebagai Netflix-nya video game.

Visi di belakang pembuatan xCloud sebetulnya cukup simpel, yaitu menyuguhkan gamer permainan-permainan blockbuster berkualitas tinggi. Namun proses penyajian tidak sesederhana teorinya. Berbeda dari streaming film atau musik, video game menuntut sistem input dengan responsitivitas tinggi/seketika secara konsisten. Hal ini jadi sulit ketika data dan informasi disalurkan lewat internet.

Namun Nadella tidak khawatir. Berbeda dari Google dan Amazon (sang eCommerce juga sedang menggodok layanan gaming on demand-nya sendiri), Microsoft punya pengalaman lebih lama di ranah gaming, bahkan jauh sebelum mereka memasarkan console. Dengan Xbox, Microsoft punya keunggulan strategis, termasuk di sisi teknologi maupun konten. Sang CEO sendiri sangat membanggakan katalog permainan Xbox, terutama pada franchise-franchise besar eksklusif seperti Halo dan Forza.

Kita perlu ingat bahwa Microsoft sudah menghimpun banyak sekali pelanggan Xbox Live. Kemudian, cengkeraman Microsoft di gaming bukan hanya melalui Xbox, tapi juga PC. Seperti yang terungkap oleh survei hardware Steam, mayoritas penikmat permainan di komputer personal memanfaatkan OS Windows.

Nadella sempat bilang bahwa komunitas gamer saat ini mencapai dua miliar jiwa, namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki televisi, console serta PC sendiri. Yang mereka punyai hanyalah smartphone. xCloud adalah cara Microsoft menggapai mereka semua.

Buat sekarang, status Project xCloud masih berada di tahap pengembangan. Microsoft berencana buat melangsungkan sesi tes publik di tahun ini.

Sumber: Business Insider.

Microsoft Umumkan Pengembangan Teknologi Game Streaming Project xCloud

Sejak tersedianya internet, para console maker berupaya mengintegrasikan akses ke platform mereka demi menyajikan multiplayer online. Sega melakukannya di tahun 1990 lewat Meganet untuk Mega Drive, lalu Sony memperkenalkan mode online di PlayStation 2 pada tahun 2000. Dan belakangan, internet kembali merombak cara konsumen menikmati video game.

Setelah dicetus OnLive beberapa tahun silam, layanan cloud gaming mulai bermunculan. Beberapa nama populer yang sering kita dengar antara lain adalah PlayStation Now dan GeForce Now, lalu di Indonesia, kita bisa menemukan Skyegrid serta Emago. Selanjutnya, raksasa internet Google diketahui tengah menguji Project Stream, dan kali ini, Microsoft mengabarkan penggarapan platform gaming on demand yang mereka namai Project xCloud.

Premis Project xCloud hampir sama seperti layanan game stream lain, yakni mempersilakan kita bermain tanpa dibatasi perangkat yang dimiliki, memungkinkan pengguna menikmati konten dari mana saja. Menariknya, Microsoft tidak bermaksud menciptakan xCloud untuk menggantikan perangkat gaming konvensional seperti PC atau console, melainkan menyiapkannya sebagai alternatif mengakses permainan.

Karena Microsoft sendiri merupakan penyedia platform gaming terbesar di Bumi (mereka punya Xbox dan mayoritas gamer PC bermain di Windows), sang produsen memiliki basis yang kuat dalam membangun layanan on demand. Ketika Project xCloud tersedia nanti, ia rencananya akan dibekali lebih dari 3.000 permainan Xbox One. Microsoft juga berjanji untuk memudahkan developer menyajikan kreasi mereka di sana.

Modal krusial lain yang Microsoft miliki adalah data center Azure. Data center ini tersebar di 54 lokasi di dunia dengan layanan mencakup 140 negara. Berbekal hal tersebut, perusahaan merasa percaya diri mampu mengatasi tantangan kompleks yang menghadang dalam penyediaan layanan game streaming.

Melalui Project xCloud, Microsoft berkeinginan untuk menghidangkan pengalaman gaming berkualitas secara konsisten, terlepas dari perangkat yang konsumen gunakan. Buat melakukannya, Microsoft membangun hardware khusus di data center mereka agar sistemnya kompatibel baik ke permainan Xbox yang ada sekarang serta judul-judul yang akan dirilis di masa depan.

Proses pengujian Project xCloud tengah Microsoft lakukan. Tes dilakukan lewat perangkat berbeda seperti smartphone dan tablet yang dipasangkan ke controller Xbox via Bluetooth. Sebagai alternatifnya, game tetap dapat dikendalikan lewat layar sentuh. Microsoft sadar bahwa agar permainan tersaji intuitif, beberapa input harus diposisikan secara pas, baik pada tombol tertentu atau stik. Untuk itu, produsen mengembangkan overlay input yang mampu membaca sentuhan secara responsif – jika gamer bermain tanpa controller.

Rencananya, Microsoft akan memperkenankan publik berpartisipasi dalam sesi uji coba Project xCloud di tahun depan.

Google Perkenalkan Project Stream, Layanan Streaming Game via Chrome

Saat industri gaming semakin besar, hardware yang dibutuhkan untuk menjalankan konten hiburan interaktif juga kian terjangkau. Dan sejak beberapa belas tahun silam, sejumlah pionir bahkan mencetus ide sangat radikal: bagaimana jika game bisa dijalankan tanpa mesin, dan hanya memerlukan sambungan internet? Inilah gagasan dasar dari cloud gaming.

Konsep game streaming belakangan mulai sering terdengar. Sony sudah lama menginisiasi PlayStation Now, Nvidia punya GeForce Now, bahkan sejumlah developer lokal telah menyediakan platform gaming on demand mereka – misalnya Skyegrid serta Emago. Kali ini, sang raksasa internet Google diketahui mulai melangsungkan pengujian platform cloud yang mereka namai Project Stream.

Premis Project Stream terdengar sederhana sekaligus mengagumkan. Cukup berbekal browser Chrome di PC desktop maupun laptop, pengguna dipersilakan menikmati game-game kelas blockbuster. Dalam proses pengembangannya, Google melakukan kolaborasi bersama sejumlah publisher game internasional, salah satunya adalah Ubisoft. Saat sesi tesnya dimulai nanti, Assassin’s Creed Odyssey tersedia buat para partisipan.

Lewat Project Stream, Google bermaksud menawarkan solusi atas kendala umum di layanan gaming on demand, misalnya buffering yang memakan waktu serta penurunan kualitas grafis akibat ketidakstabilan koneksi. Dan berbeda dari streaming video, game merupakan jenis konten bergrafis kaya yang menuntut sistem interaksi instan antara unit controller dengan layar, sehingga keterlambatan dalam penyampaian informasi – meski hanya sedikit – dapat memengaruhi pengalamannya.

Google menjelaskan bagaimana dalam pengembangan game, sejumlah developer betul-betul mencurahkan perhatian mereka pada detail; dari mulai mendesain kulit karakter, pakaian, rambut, hingga membangun dunia berskala besar tempat Anda bermain, termasuk tekstur di tiap helai rumput. Kemudian setiap pixel di sana didukung juga oleh sejumlah teknologi rendering real-time, animasi, efek visual, simulasi, serta sistem fisik.

Menurut Google, segala hal tersebut harus disajikan secara optimal terlepas dari apapun platform pilihan konsumen. Mereka sendiri menetapkan resolusi 1080p dengan 60 gambar per detik sebagai standar idealnya.

Sesi uji coba Project Stream rencananya akan dimulai pada tanggal 5 Oktober nanti, namun baru bisa diikuti oleh konsumen yang tinggal di kawasan Amerika Serikat saja.

Gerbang pendaftaran sudah dibuka, tapi ada sejumlah syarat lain juga harus terpenuhi: Anda membutuhkan internet berkecepatan minimal 25 megabit per detik, kemudian program ini hanya dapat diikuti oleh individu berusia 17 tahun ke atas. Peserta yang diperkenankan Google untuk berpartisipasi dalam tes bisa menikmati Assassin’s Creed Odyssey secara gratis.

Sumber: Google.

Skyegrid Resmi Memulai Era Cloud Gaming Cross-Platform di Indonesia

Seiring bertambah besarnya industri game dan semakin canggih teknologi pendukungnya, cara konsumen menikmati konten turut mengalami transformasi. Hampir setengah abad silam, game hanya bisa dimainkan dengan mengunjungi zona arcade. Kehadiran console mengubah semua itu, membawa masuk kegiatan gaming ke dalam rumah. Lalu berkat dukungan internet, jarak yang memisahkan pemain tak lagi jadi penghalang.

Pertanyaannya kini adalah, ke arah mana industri itu akan berkembang? Di tahun 2000-an, sejumlah visioner membayangkan bahwa di masa depan nanti, aktivitas gaming tak lagi membutuhkan hardware khusus seperti console dan PC. Untuk membuktikan maksudnya, beberapa pionir mencetus konsep cloud gaming. Beberapa nama yang tak bisa dilepaskan dari upaya penggarapannya ialah Crytek dan OnLive.

Namun meski 18 tahun telah berlalu, layanan gaming on demand masih belum tersedia secara merata. PlayStation Now dan GeForce Now yang sudah diriis bertahun-tahun silam boleh dikatakan masih belum terjamah oleh konsumen di Indonesia. Mungkin absennya layanan cloud gaming itu yang mendorong Rolly Edward menggagas XenomX di tahun 2016. Sayang ide tersebut tak pernah lepas landas, hingga ia dan kawan-kawan mendirikan startup dan akhirnya resmi meluncurkan Skyegrid kemarin.

 

Apa itu Skyegrid?

Sejatinya, Skyegrid adalah layanan gaming on demand buatan developer lokal, yang memungkinkan kita menikmati berbagai judul permainan tanpa memerlukan dukungan hardware berperforma tinggi. Skyegrid mungkin bukanlah penyedia cloud gaming pertama di Indonesia, namun mereka turut memastikan konten dapat diakses dari platform berbeda, dari mulai Windows, Mac, Linux hingga perangkat Android dan unit Xbox.

Skyegrid 6

CEO Rolly Edward menjelaskan, alasan diciptakannya Skyegrid adalah karena developer sadar bahwa gaming bukanlah hobi yang murah. Agar bisa bermain, Anda setidaknya harus membeli console dan game-nya. PC memang menawarkan kualitas lebih superior, tapi menuntut biaya yang lebih tinggi pula. Lalu seiring berjalannya waktu, kita juga harus meng-upgrade hardware agar sistem mampu menghidangkan konten dengan optimal.

Skyegrid 1

Via Skyegrid, game bisa dimainkan dari PC desktop atau laptop tua hingga perangkat bergerak berspesifikasi rendah karena pada dasarnya konten diolah oleh server dan kemudian di-stream langsung ke device. Berdasarkan uji coba beta yang dilangsungkan di bulan Juni lalu dan demonstrasi langsung sang CEO di atas panggung, hasilnya terlihat ‘seamless‘. Game seolah-olah dijalankan secara lokal.

Skyegrid 8

Di sesi beta testing tertutup, saya terkesan melihat bagaimana Rise of the Tomb Raider berjalan lancar di 60-frame rate per detik dengan opsi grafis high. Namun live demo kemarin lebih mengagumkan lagi: Tom Clancy’s The Division dimainkan dari empat lokasi berbeda – Jakarta, Singapura, Bandung dan Surabaya – via Skyegrid. The Division merupakan game action role-playing multiplayer dan memerlukan sambungan konstan ke server Ubisoft. Kemampuan Skyegrid menyuguhkan game online tanpa masalah patut diacungi jempol.

Skyegrid 2

Dan karena tiap game dijalankan di server Skyegrid, kita tidak perlu memikirkan soal update. Pelanggan akan selalu disuguhkan versi terbaru dari permainan itu. Developer telah meracik layout kendali agar game-game PC nyaman dinikmati dari perangkat berlayar sentuh, tapi mereka juga sudah melakukan kolaborasi bersama produsen periferal GameSir demi mendukung penyajian konten.

Skyegrid 5

 

Konten

Di momen peluncurannya ini, Skyegrid menyajikan lebih dari 50 permainan dan berkolaborasi bersama tak kurang dari 25 publisher terkenal – misalnya Ubisoft, CD Projekt Red, Epic Games, hingga 2K Games. Developer berencana untuk terus menambah koleksi game mereka, menargetkan 120 judul di akhir tahun nanti.

Skyegrid 3

Tentu saja Skyegrid tidak melupakan developer independen lokal. Mereka juga mengumumkan kerja sama dengan studio asal Bandung pengembang DreadOut, Digital Happiness. Jika mendaftar layanan gaming on demand tersebut sekarang, DreadOut edisi Collection bisa Anda dapatkan secara gratis tanpa perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 281 ribu.

Skyegrid 9

Basis konten dari layanan Skyegrid adalah gamg-game Steam. Agar bisa menikmati layanan ini, Anda harus mempunyai akun di platform distribusi digital tersebut. Lalu untuk bermain sejumlah judul blockbuster secara on-the go – misalnya Dragon Ball FighterZ, Dishonored 2, The Witcher 3 atau PlayerUnknown’s Battlegrounds – Anda perlu membelinya terlebih dulu.

Skyegrid 7

Lalu bagaimana jika alasan Anda mendaftar di Steam adalah untuk mencicipi layanan cloud tersebut? Tidak masalah. Skyegrid sudah menyiapkan 24 permainan gratis, beberapa judul terpopulernya meliputi Fortnite, Dota 2, World of Tanks dan League of Legends. Daftar lengkapnya bisa Anda simak via tautan ini. Di PC, konten Skyegrid sepenuhnya bisa diakses via browser, sedangkan di Android, Anda perlu mengunduh app-nya.

Skyegrid 4

Skyegrid punya keinginan untuk memajukan industri game tanah air. Mereka berharap bisa menjadi ‘ruang unjuk gigi talenta-talenta dalam negeri’ dengan cara merangkul sebanyak-banyaknya permainan lokal, dan berperan sebagai publisher-nya.

Aspek menarik lain dari Skyegrid adalah cakupan wilayahnya. Selain disiapkan untuk gamer di Indonesia, layanan cloud ini dapat diakses pula oleh khalayak yang berdomisili di Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Skyegrid 10

 

Biaya yang harus Anda keluarkan

Layanan gaming on demand Skyegrid dihidangkan secara berlangganan. Buat mengakses 24 permainan gratis di sana, Anda diminta untuk mengeluarkan biaya Rp 180 ribu per bulan.

Uji Coba Beta Layanan Cloud Gaming Lokal Skyegrid Berjalan Mulus

Alasan mengapa istilah cloud gaming terdengar akrab sekaligus asing di telinga kita adalah terlepas dari makin banyaknya perusahaan hiburan global yang menyajikan layanan ini serta kian andalnya infrastuktur internet, platformgaming on demand‘ masih belum bisa diakses oleh semua konsumen 18 tahun setelah gagasan tersebut mulai lepas landas.

Di tahun 2005, developer game Crysis mencoba melakukan riset sistem game berbasis cloud, tapi mereka harus menunda proses pengembangannya selama dua tahun demi menunggu tersedianya teknologi internet kabel yang lebih reliabel. OnLive yang mempionirkan platform cloud gaming berbasis set-top box sendiri baru meluncurkan layanannya di 2010 setelah mempersiapkannya selama bertahun-tahun. Sayang sekali, OnLive bangkrut di tahun 2015, dan mayoritas asetnya diakusisi oleh Sony buat memperkuat PlayStation Now.

Mudah diaksesnya platform cloud gaming berpotensi merombak industri gaming selamanya. Bayangkan: tanpa perlu membeli hardware khusus, permainan video dapat dinikmati kapan saja, di perangkat apapun – tablet, smartphone, sampai laptop tua. Dengannya, Anda tak perlu lagi mengganti console setiap beberapa tahun, ataupun meng-upgrade hardware PC ketika ingin menikmati game baru.

Namun bahkan di penghujung era console generasi kedelapan ini, cloud gaming belum betul-betul tersedia di Indonesia. Layanan seperti PlayStation Now atau GeForce Now baru dapat dinikmati oleh konsumen di negara tertentu saja.

 

Cloud gaming di Indonesia?

Ketimbang terus menunggu, pada akhirnya semua bergantung pada developer lokal agar konsumen Indonesia bisa mencicipi ‘keajaiban’ cloud gaming. Dan kabar gembiranya, upaya tersebut sudah dilakukan sejak 2016. Dahulu berbisnis di ranah penyediaan laptop gaming, Xenom juga sempat memperkenalkan platform gaming on demand  XenomX. Namun sayang sekali layanan ini tak pernah tiba di tangan konsumen.

Meski nama XenomX telah menghilang, semangat para visioner di sana untuk meramu bisnis hiburan berbasis cloud masih ada. Mantan general manager Xenom, Rolly Edward, mendirikan startup bernama Skyegrid dan fokus mereka adalah menyediakan platform cloud gaming lokal. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu, dan saya sangat beruntung menjadi salah satu orang pertama yang mengetahui eksistensinya dan dipercaya buat memberikan tim developer masukan.

Skyegrid 2

Berbulan-bulan berlalu sejak momen itu tanpa ada kabar dari Skyegrid, hingga akhirnya CEO Rolly Edward mengundang beberapa media untuk melakukan beta testing layanan cloud gaming itu secara tertutup di tanggal 31 Mei silam. Seperti diskusi yang dahulu pernah saya dan tim Skyegrid lakukan, saya masih belum boleh mengekspos detail terkait sesi tes ini. Tapi setelah mengujinya langsung, saya sangat optimis terhadap apa yang Skyegrid coba hadirkan.

 

Skyegrid

Rolly yakin apa yang timnya racik ini bisa mengubah persepktif orang mengenai cara menikmati game. Ingatkah Anda pada dampak munculnya home console bagi industri gaming di 80-an ketika waktu itu orang cuma bisa bermain di arena arcade yang berlokasi restoran dan bar? Meledaknya kepopularitasan console ‘rumah’ menyebabkan industri arcade hampir punah. Cloud gaming punya potensi disruptive yang lebih besar lagi.

Skyegrid 1

Sang CEO menjelaskan bahwa Skyegrid dikembangkan sebagai alternatif dari membeli console atau PC secara tradisional demi menikmati video game karena tak semua orang bersedia mengeluarkan banyak uang buat memiliki produk-produk ini. Bahkan jika sudah memiliki sistem gaming dedicated, sebagian dari kita terlalu sibuk untuk duduk di sofa dan menyalakan console – hanya bisa bermain di waktu senggang berbekal perangkat bergerak.

“Dengan platform gaming baru ini, siapa pun bisa menjadi gamer; dari mana saja, kapan saja, tanpa harus memusingkan rig yang mahal atau tingginya system requirement permainan,” kata Rolly.

Skyegrid 3

Dengan begini, Skyegrid punya peluang menjangkau kalangan pemain non-hardcore, bahkan berkesempatan menggaet khalayak casual buat jadi gamer yang lebih serius. Tanpa menyebutkan detailnya, biaya akses menjadi salah satu perhatian utama developer, dan mereka berkeinginan untuk mematoknya di kisaran yang atraktif dan terjangkau.

Dari keterangan developer, Skyegrid telah melewati tahap alpha yang berlangsung selama satu tahun terhitung sejak awal 2017. Dan belum lama ini, mereka meluncurkan aplikasi beta yang bisa diakses secara terbatas oleh sejumlah media dan beberapa gamer terpilih.

Berdasarkan sesi uji coba minggu lalu, saya melihat kesiapan Skyegrid mendukung beragam judul permainan, baik blockbuster serta indie, single-player ataupun multiplayer, premium maupun free-to-play. Untuk kualitas kontennya, saya cuma bisa bilang: Anda akan terkejut melihat permainan-permainan ‘AAA’ berjalan di setting grafis high 1080p dengan 60 frame rate per detik di ‘perangkat yang tidak semestinya’.

Sejauh ini, Skyegrid belum mengabarkan kapan tepatnya mereka akan resmi meluncurkan platform cloud gaming lokal tersebut. Namun melihat gerak-gerik developer, saya menerka bahwa pelepasannya mungkin akan dilaksanakan tak lama lagi.

Catatan: karena sesi beta testing kemarin berisi info-info sensitif, saya hanya menggunakan foto yang sudah disediakan oleh Skyegrid.