Google Singkap Controller Eksperimental untuk VR Headset Lenovo Mirage Solo

Lenovo Mirage Solo yang dirilis pada bulan Januari lalu adalah VR headset tipe standalone pertama untuk platform Google Daydream. Selain dapat beroperasi sendiri tanpa perlu tersambung ke PC maupun diselipi smartphone, perangkat itu juga mengemas hardware yang kapabel untuk tracking 6DoF (six degrees of freedom), yang memungkinkan pergerakan tubuh pengguna di dunia nyata untuk merepresentasikan pergerakannya di dunia virtual.

Biasanya, kapabilitas seperti ini hanya bisa terwujud dengan bantuan sensor atau kamera eksternal, seperti kasusnya pada HTC Vive. Di sini, sensor pada headset akan langsung melacak posisi controller guna mengestimasikan koordinat pengguna. Itu berarti controller-nya pun juga harus mengemas sensor yang kapabel, dan sayangnya itu tidak terjadi pada Mirage Solo.

Headset-nya memang mendukung tracking 6DoF, tapi ternyata controller-nya tidak, sehingga pada akhirnya pengalaman VR yang ditawarkan platform Daydream masih belum bisa se-immersive HTC Vive. Namun ke depannya ini sudah pasti bakal dibenahi, dan indikasinya sudah mulai terlihat sekarang.

Kepada para developer, Google baru saja menyingkap controller 6DoF untuk headset Daydream tipe standalone, spesifiknya Lenovo Mirage Solo tadi. Controller eksperimental ini dilengkapi sejumlah tombol, termasuk sebuah touchpad kecil yang juga dapat diklik. ‘Bola’ di bagian ujungnya adalah bagian yang akan dilacak oleh sensor pada headset.

Lenovo Mirage Solo
Lenovo Mirage Solo / Lenovo

Di samping controller khusus, tracking 6DoF pada platform Daydream rupanya juga banyak bergantung pada software, spesifiknya machine learning. Ini dibutuhkan untuk mengestimasikan posisi dan orientasi controller dalam konteks 3D secara akurat. Pemanfaatan software jelas jauh lebih ekonomis ketimbang mengandalkan hardware ekstra.

Sebelum konsumen dapat membelinya, developer bakal lebih dulu kebagian jatah supaya mereka bisa mengembangkan konten yang sesuai. Google juga sama sekali tidak menyinggung soal perilisannya untuk publik, bisa jadi skenario itu baru terwujud ketika headset Daydream standalone generasi kedua meluncur.

Pada kesempatan yang sama, Google turut mengumumkan fitur untuk headset Daydream standalone bernama “See-Through Mode”. Fitur ini memungkinkan pengguna headset untuk melihat kondisi di sekitarnya menggunakan kamera yang tertanam di sisi depan perangkat, sehingga konten AR pun juga dapat dinikmati menggunakan headset yang sama.

Sumber: Road to VR dan The Verge.

Google Luncurkan Chrome untuk VR Headset Daydream

Google merancang Chrome supaya dapat digunakan di semua perangkat dan platform. Namun sampai kemarin masih ada yang terlewatkan, yakni Daydream VR bikinan Google sendiri. Beruntung Google sudah menyadarinya sejak lama, dan baru saja merilis Chrome untuk Daydream.

Bukan cuma headset Google Daydream View yang kebagian jatah, tapi juga yang bertipe standalone seperti Lenovo Mirage Solo. Pada prakteknya, Chrome edisi VR ini justru lebih berguna di VR headset tipe standalone macam Mirage Solo, sebab kalau dengan Daydream View asumsinya Anda bisa membuka browser lewat smartphone.

Google memastikan bahwa semua fitur Chrome versi desktop maupun mobile juga tersedia di sini, mulai dari bookmark, incognito mode sampai voice search. Tidak ketinggalan juga fitur yang diracik khusus untuk Chrome versi Daydream, yakni Cinema Mode, yang akan mengoptimalkan tampilan video dalam medium VR.

Kehadiran Chrome di Daydream ini juga berarti konsumen dapat menikmati konten VR lebih banyak lagi. Pasalnya, sejak tahun lalu Chrome sudah mengemas dukungan standar WebVR. Jadi seandainya ada konten VR yang tidak dikemas menjadi aplikasi oleh pengembangnya, pengguna headset Daydream masih bisa menikmatinya secara immersive lewat Chrome.

Sumber: Google.

Aplikasi Media Streamer Plex Kini Bisa Diakses Lewat VR Headset Daydream

Setelah dinanti-nanti oleh banyak konsumennya, Plex akhirnya meluncurkan dukungan resmi untuk medium virtual reality. Platform VR yang dipilih salah satu aplikasi media streamer terpopuler itu adalah Google Daydream, di mana Plex mencoba memaksimalkan segala potensinya, termasuk sampai ke remote kecilnya.

Selain menawarkan kemampuan untuk memutar video 3D maupun video 180/360 derajat, Plex VR masih menyimpan satu keunikan tersendiri yang tak bisa pengguna dapatkan saat keluar dari realitas virtual, yakni kemampuan untuk menonton bersama tiga orang lain meskipun semuanya sedang saling berjauhan.

Plex VR akan menempatkan pengguna di sebuah apartemen atau teater mobil virtual bersama rekan-rekannya. Pengguna dapat saling melihat avatar satu sama lain, dan pergerakan kepalanya pun akan disinkronisasikan secara real-time. Selagi menonton, pengguna bisa saling bercakap-cakap dengan menekan tombol pada remote headset Daydream yang dipakai.

Plex VR

Fitur ini sepintas memang terdengar gimmicky, tapi setidaknya bisa menjadi solusi bagi mereka yang tidak suka menonton sendiri dan sedang malas keluar rumah. Cukup kenakan headset Daydream, buka Plex VR, ajak teman yang berkenan, lalu semuanya bakal berlanjut secara alami asalkan tidak ada masalah dengan koneksi internet.

Plex VR awalnya terlahir dari proyek sampingan seorang developer sekaligus pengguna Plex. Ketika itu ia menciptakan Plevr, client Plex untuk HTC Vive dan Oculus Rift, sebelum akhirnya direkrut untuk bekerja secara full-time oleh Plex. Sekarang, aplikasi Plex VR sudah bisa didapat melalui Google Play, dan tidak terbatas untuk pelanggan layanan premium Plex saja.

Sumber: Plex.

Application Information Will Show Up Here

Dokumen FCC Singkap Info Mengenai Headset VR Standalone Lenovo, Mirage Solo

Perjalanan mencari perangkat penyaji konten virtual reality yang ideal terus berlangsung dan kini, headset standalone jadi fokus para produsen elektronik. Tak lama selepas penyingkapan resmi HTC Vive Focus di Vive Developer Conference di Beijing, kali ini giliran Lenovo yang ketahuan sedang menggarap HMD pendukung platform Google Daydream.

Upaya pengembangan headset immersive reality Lenovo mulai menarik perhatian saat mereka mengumumkan kolaborasi bersama Disney buat menyajikan konten hiburan interaktif bertajuk Star Wars: Jedi Challenges. Lalu di ajang IFA Berling 2017 September kemarin, sang raksasa teknologi asal Tiongkok itu akhirnya memamerkan head-mounted display AR bernama Mirage tersebut.

Mengacu pada informasi dari Google di acara I/O 2017 bulan Mei silam, proyek pengerjaan HMD AR/VR standalone Lenovo tentu tidak berhenti sampai di sana, meski sejauh ini produsen belum memberikan update secara resmi. Dan belum lama, kabar ini kembali dipertegas oleh kemunculan dokumen FCC yang menyebutkan perangkat bernama ‘Lenovo Mirage Solo’ dengan nomor model VR-1541F dan Google Daydream.

Dokumen FCC

Namun berbeda dari headset Daydream View, Lenovo Mirage Solo dapat bekerja mandiri tanpa memerlukan smartphone. Berdasarkan dokumen FCC, HMD tersebut dilengkapi baterai Li-Ion 4.000mAh dan konektivitas Bluetooth 5.0. Dokumen tidak menyebutkan jenis chip yang jadi otaknya, tapi kita boleh berasumsi bahwa komponen ini disediakan oleh Qualcomm. Sebagai acuan, Vive Focus memanfaatkan Snapdragon 835.

Buat menunjang penggunaan, Mirage Solo turut dibekali unit kendali motion, dinamai ‘Lenovo Daydream controller’ (dengan nomor model DG1CA), komponen earphone wired, serta kabel USB sepanjang 1-meter – kemungkinan berfungsi untuk mengisi ulang baterai. Menakar penyajiannya itu, Lenovo sepertinya bermaksud buat memberikan pengguna satu solusi lengkap.

Dengan disetujuinya Lenovo Mirage Solo oleh Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC), kita boleh berasumsi agenda pengungkapannya dilakukan dalam waktu dekat. Ada cukup besar kemungkinan Lenovo akan mengumumkan Mirage Solo di acara CES 2018, digelar pada tanggal 9 sampai 12 Januari 2018 di Las Vegas.

Mirage sendiri bisa jadi merupakan keluarga produk penunjang konten immersive reality, bukan hanya terdiri dari HMD saja. Bulan lalu, situs LetsGoDigital sempat menemukan device bernama VR180 Mirage Camera dalam database Eurasian Customs Union, yaitu kamera 180 derajat yang dioptimalkan untuk menciptakan video YouTube.

Dokumen mengenai Lenovo Mirage Solo bisa Anda baca lebih lengkap melalui tautan ini.

Via Android Central. Sumber: LetsGoDigital. Header: 9to5Google.

Intel Demonstrasikan Prototipe Google Daydream yang Dapat Menjalankan Game untuk HTC Vive

Bulan Juni lalu, Intel memodifikasi VR headset HTC Vive menjadi wireless. Namun Intel rupanya tidak puas dengan satu ide saja guna mewujudkan tren wireless VR. Baru-baru ini, giliran Google Daydream View yang mereka utak-atik hingga bisa menjalankan game dari platform SteamVR.

Daydream yang berbasis smartphone memang sudah masuk kategori wireless, akan tetapi ketergantungannya dengan smartphone membuatnya tidak mampu menjalankan konten yang lebih berat, macam yang dikembangkan untuk HTC Vive. Intel membuktikan kalau anggapan itu salah.

Mereka pun menunjukkan sebuah Google Daydream yang berpenampilan agak nyeleneh. Di dalamnya memang terpasang ponsel Google Pixel, tapi di bagian depannya ada sebuah Vive Tracker yang menancap. Melengkapi semua itu adalah sepasang controller milik HTC Vive.

Tim Wareable yang mencobanya langsung lalu menjalankan game VR eksperimental karya Valve sendiri yang berjudul The Lab. Game ini bukannya dijalankan oleh ponsel yang terpasang, melainkan di-stream dari sebuah PC di dekat area demonstrasinya via Wi-Fi.

Intel turns Daydream into Wireless VR

Kualitas grafiknya memang tidak sebagus yang kita bisa dapati pada Vive yang tersambung langsung ke PC, dan perwakilan Wareable juga menjumpai problem latency meski tidak sampai membuatnya merasa mual. Terlepas dari itu, tracking headset dan kedua controller-nya masih bisa berjalan dengan lancar.

Rahasianya terletak pada pembagian kerja antara smartphone dan PC. Hampir semua pemrosesan ditangani oleh PC, sedangkan smartphone yang terpasang bertugas untuk menerapkan teknik timewarp, memproyeksikan ulang grafik yang di-render berdasarkan pergerakan kepala guna mengurangi latency.

Intel memang tidak punya rencana pasti akan kelanjutan dari ide ini. Pun begitu, ke depannya bukan tidak mungkin konsep ini dapat diterapkan, sehingga pada akhirnya VR bisa lebih menyebar luas karena konsumen tidak harus membayar terlalu mahal untuk HTC Vive; mereka bisa sekadar membeli headset Daydream, base station dan controller untuk menikmati konten SteamVR.

Sumber: Wareable.

Google Janjikan Ada 11 Ponsel yang Kompatibel dengan Daydream Sebelum 2018

Sejak diperkenalkan tahun lalu, VR headset Daydream View besutan Google baru kompatibel dengan segelintir perangkat saja. Hal ini boleh dibilang sedikit meresahkan, sebab kecil sekali kemungkinan konsumen mempertimbangkan kompatibilitas dengan Daydream saat hendak membeli smartphone baru.

Pastinya faktor lain seperti desain, display dan performa jauh lebih diprioritaskan oleh konsumen. Pun begitu, mereka yang semisal memutuskan untuk membeli LG G6 bakal sedikit kecewa mengetahui ponsel tersebut tidak kompatibel dengan platform Daydream dan hanya bisa menikmati pengalaman VR yang biasa-biasa saja dengan Cardboard.

Namun berdasarkan keterangan dari CEO Google, Sundar Pichai, saat mengumumkan laporan keuangannya baru-baru ini, dijelaskan bahwa akan ada total 11 ponsel dari pabrikan seperti Samsung, LG, Motorola dan Asus yang kompatibel dengan Daydream pada akhir tahun ini.

Saya kurang paham bagaimana cara Google menghitungnya; apakah deretan perangkat yang terdaftar di situs resmi Daydream ini dihitung enam atau malah sepuluh termasuk varian-variannya (Pixel XL, Moto Z Force, Porsche Design Mate 9, dll)? Saya pribadi lebih condong ke cara menghitung yang pertama, sebab kalau benar sudah ada 10, berarti hanya kurang satu lagi ponsel yang belum diungkap, dan itu bisa dipastikan adalah penerus Google Pixel.

Namun kalau diamati, Sundar juga menyebut LG sebagai salah satu pabrikan yang bakal menawarkan ponsel berlabel “Daydream-ready”. Kemungkinan besar ponsel yang dimaksud adalah suksesor LG V20. Belum lagi ditambah informasi dari juru bicara Motorola yang menjelaskan kalau Moto Z2 Force yang baru saja dirilis juga kompatibel dengan Daydream.

Lebih lanjut, saya kira memutuskan untuk membeli smartphone baru berdasarkan kompatibilitasnya dengan Daydream bakal semakin tidak relevan setelah standalone VR headset dari HTC dan Lenovo dirilis nanti. Harganya memang lebih mahal, tapi saya yakin ini bukan masalah besar untuk konsumen yang budget-nya berlebih dan memprioritaskan kenyamanan serta portabilitas.

Sumber: CNET.

HTC dan Lenovo Sedang Kembangkan VR Headset Standalone untuk Platform Google Daydream

Platform Daydream dan headset Daydream View merupakan bukti keseriusan Google dalam memajukan ranah virtual reality. Daydream View sendiri barulah awal dari visi besar Google untuk VR, seperti yang mereka tunjukkan pada ajang Google I/O tahun ini.

Dalam konferensi developer tahunan itu, Google mengumumkan bahwa produk selanjutnya untuk platform Daydream adalah VR headset bersifat standalone. Sekadar mengingatkan, standalone berarti headset tersebut sama sekali tidak perlu disambungkan ke PC ataupun dijejali smartphone; cukup pasangkan di kepala, maka Anda sudah langsung masuk ke realita maya.

Istimewanya, headset ini bakal mengusung sistem tracking luar-dalam, mirip seperti headset Windows Mixed Reality besutan Acer dan HP. Sederhananya, sistem ini memungkinkan perangkat untuk membaca pergerakan pengguna tanpa perlu mengandalkan perangkat terpisah seperti HTC Vive atau Oculus Rift.

Untuk mewujudkannya, Google mengadaptasikan teknologi augmented reality besutannya sendiri, Tango, menjadi sebuah sistem tracking VR yang mereka sebut dengan istilah WorldSense. WorldSense menjanjikan pengalaman bergerak yang sangat alami dalam VR, seperti yang bisa Anda lihat pada video di bawah ini.

Saat ini Google sudah punya prototipe VR headset standalone ini, dan mereka pun juga telah bekerja sama dengan Qualcomm untuk menciptakan desain blueprint yang bisa dijadikan referensi oleh pabrikan yang tertarik. Sejauh ini sudah ada dua yang berminat, yakni HTC dan Lenovo.

Baik HTC dan Lenovo dikabarkan siap merilis VR headset standalone-nya masing-masing dalam beberapa bulan mendatang. Harganya diperkirakan berada di kisaran $600 – $700, sekelas dengan HTC Vive maupun Oculus Rift.

Sumber: The Verge dan Google.

Jakarta XR Meetup 6.0, Mengedukasi VR/AR untuk Sistem Edukasi

Kehadiran VR/AR di dunia digital di tahun 2016 menyajikan poros baru bagi sebagian aspek industri. Paska ledakan tersebut, ranah hiburan boleh jadi terlihat paling menonjol dalam hal penerapan VR/AR, meski di sisi lain, adopsi teknologi visualisasi ini dapat dinikmati untuk bidang lain seperti pemasaran, periklanan, hingga kemiliteran.

Lingkup pendidikan juga turut mencicipi teknologi VR/AR dalam pengembangannya, seperti dalam metode pengajaran yang dilakukan tenaga pendidik. Nah, untuk menyelaraskan dan mengkaji VR/AR bagi dunia edukasi, OmniVR kembali mengadakan meetup bernama Jakarta XR Meetup 6.0 yang bertajuk “VR/AR and Tech Education”, di Binus fX Campus, fX Sudirman lantai 6.

Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial
Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial

“Kenapa bukan VR tapi XR? Karena ‘X’ itu artinya extended. Jadi meetup ini enggak akan cuma membahas dunia virtual reality, tapi juga augmented reality dan mixed reality,” jelas Nico Alyus, Co-founder OmniVR yang secara sederhana menjelaskan perubahan nama dari Jakarta VR Meetup menjadi Jakarta XR Meetup.

Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial
Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial

Dan seperti judulnya, Jakarta XR Meetup keenam ini secara menyeluruh bercerita mengenai pengembangan VR/AR yang dijahit dalam cakupan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari daftar empat pembicara malam itu yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda namun masing-masing memiliki keahlian dan ketertarikan yang besar dalam dunia VR/AR.

Setelah dibuka oleh Nico, Head of Program of Games Application & Technology Binus University Michael Yoseph menjadi pembicara pertama malam itu. Sebagai seorang dosen, Yoseph tentunya menerangkan dari sudut pandang pendidikan, di mana ia berpendapat bahwa VR/AR secara nyata dapat menawarkan metode lain dalam mempelajari sesuatu. “Contohnya saat belajar sejarah atau ekosistem bawah laut. Kita tidak perlu ada di sana namun bisa merasakan pengalaman yang nyata untuk mempelajarinya,” ujarnya.

Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial
Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial

Poin tersebut juga diamini oleh pembicara kedua Irving Hutagalung, Audience Evangelism Manager Microsoft Indonesia. Lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini beranggapan bahwa AR kini, misalnya, dapat membantu mempelajari organ tubuh dengan real-time interaction.

Membawa perspektif baru bagi VR/AR dalam dunia pendidikan, Dosen dari Telkom University Fat’hah Noor Prawita menjelaskan seputar virtual reality untuk disabilitas. “4,7% dari masyarakat Indonesia adalah penyandang tuna daksa,” ujar Fat’hah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, para penyandang tuna daksa dan jenis difabel lainnya seringkali lebih memilih untuk beraktivitas dan bermain di dalam rumah.

Untuk itu, Fat’hah dan mahasiswanya kerap kali berkesempatan membuat proyek akhir studi dan bekerja sama dengan beberapa komunitas difabel dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk membuat produk VR/AR yang membantu kaum difabel untuk merasakan pengalaman akan banyak hal. “Seperti misalnya, kami membuat proyek virtual reality mengenai flying fox untuk mereka yang tuna daksa,” terangnya.

Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial
Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial

Pembicara keempat ialah Sidiq Permana, seorang Google Developer Expert for Android yang malam itu menjelaskan Project Tango dari Google. Menurut Sidiq, saat mengembangkan produk AR, salah satu tantangan yang seringkali dihadapi ialah ketika pengguna melihat suatu objek, kemudian ia mengubah sudut pandangnya, objeknya seringkali hilang atau berpindah (drifting). “Nah, kemampuan ini yang dimiliki Google Tango; kemampuan mengingat dan merekam,” tutur Sidiq.

Sesi terakhir di acara bulanan keenam Jakarta XR Meetup ini merupakan sesi yang biasanya ditunggu-tunggu oleh para peserta meetup ini, yakni mencoba virtual reality device. Malam itu, tiga device tersedia untuk dicoba secara bebas oleh pengunjung Jakarta XR Meetup, antara lain Google Daydream, HTC Vive, dan Lenovo Phab 2 Pro Google Tango.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari event Jakarta XR Meetup 6.0.

Selain Google Pixel, Inilah 4 Smartphone yang Kompatibel dengan VR Headset Daydream View

Lewat Cardboard, Google sejatinya ingin memperkenalkan semua konsumen tanpa terkecuali kepada teknologi virtual reality. Setelah VR jadi cukup dikenal, waktunya menyuguhkan pengalaman VR yang lebih superior, tapi di saat yang sama masih mempertahankan aspek portable dari Cardboard. Demikianlah kira-kira premis di balik lahirnya Daydream View.

Demi menjaga kualitas, Google pun menetapkan sejumlah standar minimum untuk Daydream View. Utamanya, ponsel harus mengemas layar AMOLED, chipset Snapdragon 820, RAM minimum 4 GB, dan yang tidak kalah penting, menjalankan OS Android 7.0 Nougat. Sejauh ini, baru Google Pixel dan Moto Z saja yang memenuhi syarat-syarat tersebut.

Kalau melihat syarat yang ditetapkan, sebenarnya tidak sulit bagi pabrikan smartphone untuk membuat produknya kompatibel. Tantangan terbesar mereka sejatinya hanya mengirimkan update Android 7.0 Nougat, tapi kalau belajar dari pengalaman, vendorvendor ponsel Android memang terbilang lamban dalam merilis update.

VR headset buatan Huawei yang dikategorikan Daydream-ready / Google
VR headset buatan Huawei yang dikategorikan Daydream-ready / Google

Dalam waktu dekat ini, setidaknya akan ada empat smartphone lain yang kompatibel dengan headset Daydream View. Mereka adalah ZTE Axon 7, Asus ZenFone AR, Huawei Mate 9 Pro dan Mate 9 versi Porsche Design.

Khusus untuk Mate 9 Pro dan Porsche Design Mate 9, Huawei ternyata sudah menyisihkan sejumlah waktunya untuk menggarap VR headset Daydream versinya sendiri. Mengikuti standar yang ditetapkan Google, headset ini dapat tetap digunakan dengan nyaman oleh konsumen yang berkacamata, dengan field of view seluas 95 derajat. Tentu saja, akan ada sebuah remote control yang menemaninya.

Ke depannya dipastikan akan ada lebih banyak lagi, apalagi mengingat event Mobile World Congress bakal dihelat tidak lama lagi di akhir Februari. Di sana pastinya akan bermunculan smartphonesmartphone anyar yang sudah menjalankan Android 7.0 dari sejak dirakit di pabriknya masing-masing, dan Google berjanji untuk mencantumkan semua yang kompatibel di sini.

Sumber: Google Blog.

Hands-On Smartphone Tango Asus ZenFone AR di CES 2017

Eksistensi dari perangkat Tango kedua dikonfirmasi di bulan November 2016 silam. Lewat laporan Digitimes, Asus diketahui mempunyai rencana untuk menggarap smartphone berkemampuan computer vision dan 3D mapping. Meski CEO Jerry Shen tidak segan menyebutkan namanya, baru di CES 2017-lah sang produsen resmi menyingkap wujud serta fitur-fiturnya.

ZenFone AR 1

ZenFone AR 6

ZenFone AR sengaja difokuskan pada penyajian konten augmented reality serta diklaim sebagai device Tango pertama yang kompatibel dengan platform Google Daydream. Kombinasi keduanya menghasilkan pengalaman AR serta VR berkualitas tinggi berbekal smartphone dan unit head-mounted display (Asus merekomendasikan Daydream View).

ZenFone AR 2

ZenFone AR 7

Lewat rangkaian sensor dan dukungan software computer vision-nya, ZenFone AR mampu mengetahui ruang dan gerakan seperti manusia. Handset ini bisa melacak perubahan posisi sebuah objek, mendeteksi kedalaman, hingga membedakan lantai, tembok serta barang-barang yang bergeletakan di sana – melihat layaknya mata orang melalui sistem TriCam berisi tiga kamera.

ZenFone AR 8

ZenFone AR 9

Masing-masing kamera belakang mempunyai tugas berbeda: untuk fungsi motion tracking, depth sensing dengan proyektor inframerah, serta kamera beresolusi 23-megapixel; semuanya memungkinkan ZenFone AR membaca benda secara tiga dimensi. Kamera 23Mp-nya sendiri dirancang agar sanggup melihat dunia secara detail. ZenFone AR dirancang sebagai sebuah tool canggih, fleksibel dan serbaguna dalam berkreasi, contohnya buat mempermudah visualisasi saat mendekorasi ulang ruang keluarga hingga buat bermain game.

ZenFone AR 4

ZenFone AR 5

ZenFone AR mempunyai spesifikasi yang cukup high-end dan didesain agar tampil lebih premium, mempunyai dimensi 158,67×77,7×4,6~8,95mm berbobot 170-gram. Tak seperti perangkat ZenFone lain, Asus sedikit memodifikasi penampilan tombol navigasi – ada sensor sidik jari sekaligus tombol home di sana. Pendekatan ini membuat rasio layar ke tubuhnya jadi lebih besar, yaitu 79 persen. Saat dibalik, Anda dapat melihat punggung berlapis kulit sintetis hitam dan modul kamera yang cukup besar.

ZenFone AR 10

Karena memang dirancang untuk dipergunakan dekat dengan mata Anda, Asus tidak main-main dalam meracik layarnya. Sang produsen memanfaatkan panel seluas 5,7-inci Super AMOLED beresolusi 256×1440, lalu membekalinya bersama teknologi Tru2life dan filter Bluelight, dan memastikan device menyajikan kontras 3.000.000 banding 1. Layar tersebut mampu membaca 10 titik sentuhan serta tak lupa diproteksi Corning Gorilla Glass 4.

ZenFone AR 11

Perwakilan dari Asus belum menginformasikan kapan tepatnya ZenFone AR akan dirilis, hanya bilang bahwa harganya sudah pasti lebih mahal dari ZenFone 3 Zoom. Spesifikasi lengkap dari ZenFone AR bisa Anda lihat di tautan ini.