OJK Setups “Fintech Center” to Support Digital Business

OJK, Indonesia’s Financial Services Authority, is soon to launch “Fintech Center” to support the innovation and development of fintech ecosystem in Indonesia. The grand opening will be held next month.

Triyono, OJK’s Head of Micro Financial Development and Digital Financial Innovation Group, said that Indonesia’s fintech development is growing fast, therefore, the Fintech Center should be the place for all digital business developments.

“It’s a part of fintech introduction in Indonesia. In addition, we’ll also build a fintech study program in university,” he said, quoted from Kompas.com.

OJK, he added, pays enough attention in fintech sector for the service has been entering the micro level. One of the well-developed sectors is p2p lending.

Until May 2018, the total distributed fund has reached Rp6.16 trillion from 64 p2p companies operating in Indonesia. The number has increased 140.26% since early this year.

Moreover, the p2p lending business has reached 1.8 million total customers, with 199,439 entity lenders.

P2p lending registration status

In the different occasion, until the mid-year of 2018, there are 63 fintech companies registered and acquired the license from OJK.

According to OJK, the total registered company is increasing. Until the first quarter of this year, there are 27 fintech companies waiting for approval from the regulator. On the other hand, OJK has returned 44 applications from companies which haven’t met the standard, of stock ownership, required data profile of commissioners and directors.

“We’re very careful in returning applications. We need to know precisely who’s the stock owner/s, the commissioners, and the directors. It is because they are running a business involving public’s personal data,” Hendrikus Passagi, OJK’s Fintech Supervising and Licensing Control Director, quoted from Kontan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Siapkan Fintech Center untuk Dukung Bisnis Digital

OJK segera meluncurkan Fintech Center untuk mendukung inovasi dan pengembangan ekosistem fintech di Indonesia. Rencananya Fintech Center akan diresmikan bulan depan.

Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Triyono mengatakan perkembangan fintech di Indonesia cukup pesat, sehingga diharapkan Fintech Center dapat menjadi pusat pengembangan bisnis digital.

“Ini juga bagian dari pengenalan fintech di Indonesia. Selain itu, kami juga akan mendirikan program studi mengenai fintech di perguruan tinggi,” kata Triyono, dikutip dari Kompas.com.

OJK, sambungnya, memberi perhatian yang cukup besar untuk sektor fintech karena layanan ini telah bergerak masuk ke level mikro. Salah satu sektor fintech yang cukup berkembang adalah p2p lending.

Hingga Mei 2018, total dana yang telah disalurkan mencapai Rp6,16 triliun dari 64 perusahaan p2p yang beroperasi di Indonesia. Jumlah penyaluran tersebut naik 140,26 dari awal tahun ini.

Adapun total nasabah p2p lending saat ini mencapai 1,8 juta orang, dengan jumlah pemberi pinjaman 199.439 entitas.

Status pendaftaran p2p lending

Dalam kesempatan terpisah, sampai pertengahan tahun ini, terdapat 63 perusahaan fintech yang terdaftar dan memperoleh izin dari OJK.

Menurut OJK, jumlah perusahaan yang mendaftar terus bertambah. Hingga pertengahan tahun ada 27 perusahaan fintech yang mengantre restu dari regulator. Sementara itu, OJK juga telah mengembalikan berkas ke 44 perusahaan fintech karena dinilai belum memenuhi syarat, dari sisi kepemilikan saham, kelengkapan data identitas komisaris dan direksi.

“Kami sangat berhati-hati dalam mengembalikan berkas tersebut. Pertimbangannya untuk mengetahui secara benar siapa pemilik saham, siapa komisaris, siapa direksi. Sebab mereka yang menjalankan bisnis ini dan melibatkan data pribadi masyarakat,” ucap Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi dikutip dari Kontan.

Layanan P2P Lending Investree Luncurkan Investree Syariah

Layanan teknologi finansial peer-to-peer lending (P2P Lending) Investree (PT Investree Radhika Jaya) hari ini (30/01) meluncurkan layanan terbaru berupa layanan P2P lending Syariah. Kepada media, Co-Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mengutarakan, diluncurkannya layanan terbaru ini merupakan rencana dari Investree, usai terdaftar dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Kami juga melihat besarnya antusiasme dari masyarakat terhadap layanan fintech (Financial Technology) mendorong kami bersama dengan OJK dan Dewan Syariah Nasional (DSN) menggarap fatwa fintech financing  berbasis syariah yang akan dikeluarkan dalam waktu dekat,” kata Adrian.

Nantinya bagi peminjam (borrower) dan pemberi pinjaman (lender) bisa menerapkan prinsip syariah dalam hal pembiayaan yang dihadirkan oleh Investree syariah. Investree juga telah melakukan koordinasi dengan pihak regulator seperti OJK dan DSN MUI untuk meluncurkan layanan Investree Syariah yang uji coba layanannya sudah dilakukan sejak bulan November 2017 lalu.

Dari hasil uji coba yang telah dilakukan, hingga bulan Januari 2018 jumlah pembiayaan Investree syariah telah mencapai Rp 2,7 miliar dengan 313 jumlah borrower dan 1340 lender syariah.

“Kami harapkan skema yang kami miliki bisa menjadi acuan bagi pemain layanan P2P lending lainnya yang ingin mengembangkan layanan syariah. Bukan hanya itu, Investree juga ingin menjalin kolaborasi dengan bisnis syariah lainnya,” kata Adrian.

Investree merupakan layanan fintech syariah pertama yang mendapatkan Surat Rekomendasi Penunjukkan Tim Ahli Syariah dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk turut merancang, memberi masukan, dan mengawasi berjalannya produk yang berbasis syariah, sebagai bagian dari proses hadirnya Fatwa Fintech Syariah dalam waktu dekat. Surat rekomendasi tersebut juga menempatkan Profesor AH Azharuddin Lathif M.Ag M.H, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai penasihat teknis syariah khusus untuk Investree.

Keuntungan bagi peminjam dan pemberi pinjaman mengusung prinsip syariah

Investree syariah merupakan layanan usaha syariah yang dijamin menggunakan tagihan atau invoice (invoice financing). Secara umum terdapat beberapa keuntungan yang diklaim akan didapat oleh peminjam dan pemberi pinjaman jika memanfaatkan pembiayaan bisnis dengan prinsip syariah. Bagi peminjam keuntungan di antaranya adalah fasilitas dan layanan sesuai dengan prinsip syariah, sehingga peminjam dapat mengajukan pembiayaan secara aman, menganut konsep tanpa riba dan dijamin pembiayaan bebas bunga dan biaya tambahan.

Sementara untuk pemberi pinjaman keuntungan yang bisa didapatkan adalah, pendanaan yang sesuai dengan prinsip syariah, peminjam akan langsung menerima pengembalian dana sekaligus pendapatan berupa imbah hasil atas jasa penagihan yang dibayarkan pemberi pinjaman tanpa bebas biaya apapun, pendanaan dengan resiko yang terukur dan dana pembiayaan yang ditawarkan mulai dari 5 juta Rupiah.

“Kami menjamin borrower akan dapat mengembangkan bisnisnya dengan pembiayaan usaha yang prosedurnya mudah, berdasarkan prinsip syariah dan credit scoring modern,” kata Adrian.

Layanan fintech membuka akses keuangan untuk masyarakat

Turut hadir dalam acara tersebut adalah Muliaman D Haddad, praktisi dan pengamat ekonomi syariah serta Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah. Dalam sambutannya Muliaman mengungkapkan, layanan terbaru yang dihadirkan oleh Investree bukan hanya memberikan akses terbuka kepada masyarakat, namun juga sebagai acuan bagi pemain lainnya.

“Investree sudah memanfaatkan peluang yang tidak bisa dilakukan oleh bank, yaitu memberikan layanan pembiayaan secara online yang mudah dengan prinsip syariah, yang sebentar lagi akan dikeluarkan fatwanya oleh DSN MUI. Dengan demikian selanjutnya layanan ini bisa menjadi nasional,” kata Muliaman.

Sementara itu Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengungkapkan, sebagai salah satu layanan fintech lokal, Investree memiliki track record yang baik dalam hal inovasi keuangan digital. Diharapkan ke depannya, Investree syariah bisa memberikan porsi yang besar dan tidak kalah dengan layanan pembiayaan konvensional lainnya.

“Saya melihat Investree dengan rencana dan inovasinya mampu menggerakan kami dari OJK hingga Kementrian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengeluarkan peraturan terbaru, mulai dari pengembangan sistem penjualan Surat Berharga Negara (SBN) untuk investor ritel secara online hingga fintech syariah,” kata Hendrikus.

Application Information Will Show Up Here

Fintech’s POJK Derivative Regulation: “Escrow Account” Is an Issue

In OJK’s Hearing Meeting (RDP) held on (11/22), to get viewpoint from industry related to derivative regulation draft (SE) of POJK No 77/2016 regarding the Implementation of IT-based Money Lending Service (LPMUBTI), one of the interesting point for industry player is the limit of escrow account and virtual account usage for organizers. Industry players propose the extension of p2p lending for escrow account users to 60 days, or a removal.

In POJK’s circular letter, mentioned the user’s maximal fund placement period which can not be used for money lending transaction to escrow account is seven working days.

Escrow account is a bank checking account on organizer’s name which is a deposit for specific purposes of debit and credit transaction from and to the IT-based money lending service users.

The organizer has no right to collect money from users in the form of deposit to escrow account as banking regulation.

Reynold Wijaya, Modalku’s CEO and Co-Founder, said regarding escrow account regulation, it is not beneficial for the p2p lending industry player. Changing it into 60 days will certainly give space for industry players.

For him, if the time extended, regulators are worried about money laundry. However, with that purpose, he’s afraid it is not possible. As no one wants to deposit money on escrow account without any interest.

“For seven days, is not an ideal period. This industry might not be growing,” he said.

As for banking also against the regulation. In seven days, they must divert funds to other banks. It will surely affect bank liquidity.

He added, the p2p lending business is 100% under the banking system. Therefore, he finds the regulator doesn’t need to add industry-burdening rules.

“p2p lending is alive by regulation but we can also drown by regulation. Please notice whether there is any objection”

Dickie Widjaja, Investree’s CIO said similar thing. For him, if there is any concern of inactive lender, a time-limit is necessary. However, whether regulator wants to set a limit, 60 days is enough.

Collecting Opinions

Related to industry player about escrow account, Hendrikus Passagi, OJK’s Organizing, Licensing and Controlling Director said the regulator will accommodate and consider some provisions which potentially burden the industry players.

“We always put transparent regulation of OJK. Every chapter we made always asks for player opinions. The existing draft has gone through a long process” he said.

From POJK fintech, at least six regulation will be included in the circular letter(SE). Regulator expects to complete all regulations no later than the end of this year.

“If the spirit is one [between regulator and industry players], OJK’s circular letter can be finished. If you asking how fast, as soon as possible, yes”

At least two new drafts is being asked for public opinion. First, on LPMUBTI’s implementation. Second, on LPMUBTI’s Registration, Licensing and Institutions.

A few discussed points in the LPMUBTI’s circular letter, among others are borrowing procedures and IT-based money lending service’s contract, risk mitigation, consumer protection and resolution mechanism.

Meanwhile, discussed points in LPMUBTI Registration, Licensing and Institution’s circular letter includes the requirements and procedures for organizer’s permission of registration, licensing as well as revocation of business license and ownership changes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aturan Turunan POJK Fintech: “Escrow Account” Jadi Isu

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan OJK, (22/11), untuk meminta masukan dari pelaku industri terkait draf aturan turunan (SE) dari POJK No 77/2016 tentang Penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis TI (LPMUBTI), salah satu poin yang cukup menyita perhatian pelaku industri adalah batasan penggunaan escrow account dan virtual account bagi penyelenggara. Pelaku industri mengusulkan penggunaan escrow account dalam praktek p2p lending untuk diperpanjang jadi 60 hari atau dihapuskan.

Dalam draf surat edaran POJK, disebutkan jangka waktu maksimal penempatan dana dari pengguna yang tidak digunakan untuk transaksi pemberian pinjaman pada escrow account tidak melebih tujuh hari kerja.

Escrow account merupakan rekening giro di bank atas nama penyelenggara yang merupakan titipan dan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu penerimaan dan pengeluaran dana dari dan kepada pengguna jasa penyelenggara pinjam meminjam uang berbasis TI.

Penyelenggara dilarang melakukan penghimpunan dana dari pengguna dalam bentuk simpanan pada escrow account sebagaimana diatur dalam aturan di perbankan.

CEO dan Co-Founder Modalku Reynold Wijaya menuturkan pihaknya merasa aturan escrow account tersebut dinilai kurang menguntungkan bagi pemain industri p2p lending. Setidaknya kalau bisa diubah menjadi 60 hari, tentunya akan memberi kelonggaran bagi pelaku industri.

Sebab menurutnya, jika waktu diperpanjang, regulator memang mengkhawatirkan terjadi risiko pencucian uang. Akan tetapi, jika tujuannya demikian, dia berpandangan itu tidak mungkin dilakukan. Pasalnya, tidak mungkin orang ingin mengendapkan uang di escrow account yang tidak memiliki bunga sama sekali.

“Kalau tetap tujuh hari, menurut saya kurang ideal. Bisa-bisa industri ini tidak bisa tumbuh,” katanya.

Sisi perbankan pun juga kurang setuju mengenai aturan tersebut. Sebab dalam kurun waktu tujuh hari, mereka harus mengalihkan dana ke bank lain. Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi likuiditas perbankan.

Dia menambahkan, bisnis p2p lending itu sudah 100% tunduk di bawah sistem perbankan. Sehingga, mau tak mau mereka harus mematuhi aturan perbankan yang berlaku. Oleh karenanya, dia merasa regulator tidak perlu menambah aturan yang dinilai memberatkan industri.

“P2p lending itu hidup karena regulasi, tapi kita juga bisa mati karena regulasi. Kalau ada sesuatu yang menghambat coba diperhatikan lagi.”

Hal senada diungkapkan CIO Investree Dickie Widjaja. Menurutnya, apabila memang ada kekhawatiran lender tidak aktif, memang perlu pembatasan jangka waktu. Namun dia merasa, bila regulator memang ingin memberi batasan, 60 hari adalah jangka waktu yang cukup.

Kumpulkan masukan

Terkait usulan pelaku industri mengenai escrow account, Direktur Pengaturan, Perijinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan regulator akan menampung dan mempertimbangkan beberapa ketentuan yang berpotensi memberatkan pelaku industri.

“Dari OJK yang selalu kami kedepankan adalah buat aturan yang transparan. Setiap pasal yang kami buat selalu undang pelaku untuk memintai masukannya. Draf yang ada saat ini sudah melewati hasil diskusi yang panjang,” ujarnya.

Dari POJK fintech, menurutnya setidaknya bakal ada enam aturan turunan yang tertuang dalam bentuk surat edaran (SE). Regulator berharap dapat menyelesaikan seluruh aturan turunan tersebut sesegera mungkin sampai akhir tahun ini.

“Kalau semangatnya sama [antara regulator dan pelaku industri], SE OJK ini bisa selesai tahun ini. Kalau ditanya seberapa cepat, ya sesegera mungkin.”

Setidaknya baru ada dua draf yang sedang dimintai masukan oleh publik. Pertama, mengenai Penyelenggaraan LPMUBTI. Kedua, mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI.

Poin-poin yang dibahas dalam SE Penyelenggaraan LPMUBTI, antara lain tata cara pinjam meminjam serta kontrak dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam berbasis TI, mitigasi risiko, perlindungan konsumen, dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Sementara, poin yang dibahas dalam SE Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI meliputi persyaratan dan tata cara permohonan pendaftaran, perizinan, persetujuan penyelenggara, serta pencabutan izin usaha dan perubahan kepemilikan.

Pemain P2P Lending Telah Kucurkan Pinjaman Rp1,44 Triliun Hingga Agustus 2017

Data statistik internal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut jumlah dana yang telah disalurkan oleh pemain peer-to-peer (P2P) lending mencapai Rp1,44 triliun, tumbuh 496,51% atau senilai Rp242,48 miliar secara year-to-date (ytd) dibandingkan posisi pada Desember 2016. Angka perolehan tersebut merupakan akumulasi 22 perusahaan P2P lending yang telah mendapat surat tanda terdaftar dari OJK.

Kenaikan penyaluran pinjaman, menurut Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, dipicu makin dikenalnya perusahaan p2p lending sebagai alternatif pemberi pinjaman sekaligus instrumen instrumen baru yang memiliki tingkat pengembalian yang kompetitif.

Selain itu, hal ini juga dipicu peningkatan kepercayaan konsumen terhadap status sektor usaha tersebut. Lantaran sudah diawasi oleh regulator dan memiliki regulasi yang mengatur aturan mainnya.

“Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan P2P lending meningkat, tercermin dari hasil kinerja yang dicapai teman-teman kita,” terangnya saat diskusi panel yang diselenggarakan Modalku, kemarin (27/9).

Bila ditelusuri lebih dalam, dari total penyaluran tersebut mayoritas berasal dari Pulau Jawa dengan porsi 83,2% atau senilai Rp1,2 triliun. Sisanya, dikucurkan untuk peminjam di luar Pulau Jawa senilai Rp242,75 miliar.

Yang menarik, penyaluran untuk luar Pulau Jawa bila dibandingkan secara ytd mengalami pertumbuhan yang cukup drastis yakni 1694,98% dari sebelumnya Rp13,52 miliar. Ini menandakan masyarakat luar Pulau Jawa mulai melirik pinjaman dari perusahaan P2P lending sebagai alternatif sumber dana. Tingkat kepercayaannya pun mulai bertambah.

Bila dilihat dari total peminjam (borrower), angkanya mencapai 120.174 peminjam, tumbuh 136,27%. Porsi peminjam dari Pulau Jawa masih mendominasi dengan persentase 94,79% dengan angka 113.912 peminjam. Sisanya, sebanyak 6.145 berasal dari luar Pulau Jawa.

Adapun untuk pemberi pinjaman, hingga Agustus 2017 mencapai 48.034 orang, tumbuh 295,5%. Mayoritas dikuasai oleh pemberi pinjaman dari Pulau Jawa sebanyak 39.706 dan dari luar Pulau Jawa sebanyak 7.918.

Proses pendaftaran masih berlanjut

Selain memaparkan kinerja pemain P2P lending, Hendrikus juga mengungkapkan sebanyak 35 perusahaan tengah memproses permohonan pendaftaran. Sementara, yang menyatakan berminat sebanyak 22 perusahaan. Hingga kini, OJK telah memberikan surat tanda terdaftar ke 22 perusahaan.

Bila dirinci secara lokasi, dari 22 perusahaan terdaftar, 21 perusahaan diantaranya memiliki kantor yang berlokasi di Jabodetabek, sementara sisanya bertempat di Surabaya. Adapun dilihat dari status kepemilikan usaha, 14 perusahaan merupakan perusahaan milik lokal, sementara 8 perusahaan adalah milik asing.

OJK sendiri sebenarnya memutuskan untuk memperpanjang proses pendaftaran kepada pemain P2P lending sampai akhir tahun ini, dari batas waktu yang ditentukan pada tahap awal sampai 29 Juni 2017 sesuai isi POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Setelah menerima surat tanda bukti terdaftar, dalam jangka waktu maksimal satu tahun perusahaan harus menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mendapatkan izin usaha.

POJK Fintech Lending Terbit, OJK Persiapkan 14 Surat Edaran

Penghujung tahun 2016 lalu, OJK diam-diam menerbitkan Peraturan OJK (POJK) nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Beleid ini ditandatangani Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad pada 28 Desember 2016.

Secara isi, tidak begitu banyak perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan isi draft yang sebelumnya diumumkan OJK. Misalnya, dalam Pasal 3 pihak asing dapat bertindak sebagai penyelenggara jasa fintech lending berbentuk warga negara asing dan/atau badan hukum asing maksimal 85%.

[Baca juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Pasal 4 penyelenggara harus berbentuk PT atau koperasi dengan modal disetor saat pendaftaran sebesar Rp 1 miliar, kemudian saat mengajukan izin lisensi harus memenuhi nominalnya jadi Rp 2,5 miliar.

Kemudian di pasal 24 penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman dan penerima pinjaman harus melakukan pelunasan pembayaran melalui escrow account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.

Beleid ini juga mengatur penetapan besaran tingkat bunga pinjaman. Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional (Pasal 17).

Kemudian di pasal 19 ayat (5c), disebutkan besaran bunga pinjaman sebelumnya sudah harus disepakati antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman.

Yang terbaru, misalnya OJK menetapkan penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman sebesar Rp 2 miliar (Pasal 6). Akan tetapi, OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total tersebut.

OJK siap menerbitkan 14 surat edaran

Dalam beleid ini, tepatnya di Pasal 51 disebutkan bahwa ada sekitar 14 aturan turunan yang berbentuk surat edaran (SE) yang bakal diterbitkan OJK pasca POJK ini diresmikan. Mulai dari perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman dana, tata cara pemberian pinjaman, kerja sama antara penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung lainnya berbasis teknologi informasi, hingga tata cara penggunaan tanda tangan elektronik.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan diskusi mengenai SE tersebut akan dimulai secara internal OJK mulai bulan Januari ini. Bisa jadi, OJK akan mengeluarkan 14 SE tersebut secara sekaligus atau satu SE bisa mencakup 14 aturan tersebut.

“SE langsung dibuat serempak, ada sekitar 14 SE. Itu mudah membuatnya, sebab prinsip utama sudah diatur di POJK Fintech Lending. Mulai bulan ini [Januari] pembicaraan akan didiskusikan dalam internal OJK,” ucapnya saat dihubungi DailySocial, Selasa (3/1).

Peraturan Fintech OJK Hanya Fokus Soal P2P Lending, Bagaimana Nasib UangTeman dan Pinjam?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa regulator tidak akan membuat aturan fintech untuk pemain yang bergerak di bidang on lending. Pertimbangan ini diambil, pasalnya sudah ada aturan on balance sheet yang sudah diterbitkan untuk perbankan, perusahaan pembiayaan (multifinance), dan gadai swasta.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK mengatakan dalam tata peraturan Indonesia tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan. Menurutnya, regulasi yang sudah diatur oleh pemerintah pada dasarnya tidak bisa diatur lagi pada peraturan lain dengan hierarki yang sama.

[Baca juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Layanan on lending telah diatur di POJK di bidang perbankan dengan jaminan kredit adalah hak tanggungan, POJK di bidang perusahaan pembiayaan dengan jaminan fidusia, dan POJK tentang gadai swasta dengan jaminan barang.

“Dalam tata peraturan Indonesia tidak boleh ada aturan yang saling bertentangan. Aturan yang sudah diatur tidak boleh diatur lagi dengan hierarki yang sama. On lending adalah pinjaman on balance sheet yang sudah diatur di bank, multifinance, dan gadai swasta. RPOJK yang baru untuk off lending di P2P yang akan segera terbit,” ucapnya.

Menurut Hendrikus, pengertian dari P2P lending adalah pinjaman tanpa jaminan dan ada larangan penyelenggara fintech P2P untuk ikut memberi pinjaman. Alasannya, demi mencegah kegiatan “front runner”, di mana penyelenggara akan mengambil manfaat lebih dahulu dengan memberi pinjaman pada penerima dana (borrower) yang berkualitas tinggi.

Mereka juga tidak diperbolehkan mencatatkan seluruh dana yang mengalir lewat platform untuk dimasukkan ke dalam neraca keuangan dan tercatat sebagai aset atau kewajiban.

Larangan lainnya yang tercantum dalam draft POJK fintech lending, penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman dan memberikan jaminan dalam segala bentuk usaha atas pemenuhan kewajiban pihak lain dengan menerbitkan surat hutang untuk perkuat permodalannya.

“Kami persempit cakupannya agar bisnisnya tidak bertabrakan dengan multifinance atau jasa keuangan lainnya. Mereka hanya bisa perkuat modalnya dan melakukan ekspansi, dengan mencari investor baru untuk suntik modal.”

Dia melanjutkan, untuk fintech on lending yang sudah terlanjur beroperasi. Mereka hanya memiliki dua opsi yang bisa dipilih, mengikuti aturan P2P lending atau mengajukan izin usaha jadi multifinance atau gadai.

“Yang sudah beroperasi seperti UangTeman, mereka bisa memilih salah satu dari dua aturan yang ada. Mengajukan izin jadi multifinance atau menaati aturan P2P lending dengan segala konsekuensinya.”

Adapun, berdasarkan POJK mengenai multifinance dan gadai swasta, modal minimal yang diperlukan untuk izin pengajuan multifinace adalah Rp 100 miliar (berbadan PT) dan Rp 50 miliar (berbadan koperasi). Sementara untuk gadai swasta, syarat modal disetor bergantung lokasinya.

Untuk gadai yang beroperasi di tingkat kabupaten/kota, modal disetornya minimal Rp 500 juta, sementara di tingkat provinsi minimalnya Rp 2,5 miliar.

Pemain fintech on lending perlu ambil langkah

Tim UangTeman / DailySocial
Tim UangTeman / DailySocial

Di Indonesia, sudah cukup banyak pemain fintech P2P lending. Beberapa diantaranya, KoinWorks, Investree, Modalku, Amartha, Crowdo, dan lainnya. Namun pemain fintech on lending juga cukup ramai, seperti Pinjam dan UangTeman.

Terkait pernyataan OJK ini, DailySocial berusaha menghubungi kedua pemain tersebut untuk dimintai komentarnya.

Teguh B Ariwibowo, Founder dan CEO Pinjam mengungkapkan saat ini pihaknya sedang dalam proses untuk mengajukan izin pegadaian sesuai POJK Nomor 31/POJK.05/2016.

Kendati demikian, dia terus berharap agar OJK akan terus mengembangkan peraturan lain, sebab fintech itu tidak hanya lending saja. Dan, lending tidak hanya off balance sheet, namun juga ada yang on balance sheet.

“Terkait hal ini, kami sekarang sedang proses apply izin pergadaian. Pinjam kini mengembangkan produk pinjaman yang masih pilot, ke depannya kami akan mengikuti atran yang ada jika memang on lending untuk platform digital belum diatur dan akan terus menjaga hubungan baik dengan OJK melalui asosiasi,” terangnya.

Pada dasarnya, sambungnya, Pinjam sangat mengapresiasi langkah dari OJK untuk mengatur P2P lending, sebab akan mendorong pertumbuhan industri fintech demi terdorongnya inklusi finansial di Indonesia.

Beda halnya dengan Pinjam, Aidil Zulkifli selaku Co-Founder dan CEO UangTeman tidak memberikan jawaban pasti bagaimana langkah bisnis berikutnya. Dia hanya menjelaskan pihaknya akan mengikuti apapun arahan dari OJK dan bagaimana bentuk hukumnya yang sesuai dengan model bisnis UangTeman.

Menurut dia, UangTeman percaya pada dasarnya aturan jasa keuangan harus terus dikaji dan harus mengakomodasi fintech di Indonesia, di mana mereka tidak bisa berdiri sendiri tanpa dipayungi landasan aturan. Fintech itu menyentuh segalanya di jasa keuangan.

“RPOJK tentang Fintech Lending memang tidak berlaku dengan model bisnis UangTeman. Namun kami akan terus mengikuti seluruh arahan dari OJK. Kami percaya aturan jasa keuangan harus terus di-review agar semakin komprehensif dan mengakomodasi fintech yang tidak dapat berdiri sendiri,” ucap Aidil.

Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending

DailySocial baru saja mendapat draft rancangan Peraturan OJK untuk Fintech Lending. Dalam draft RPOJK, sementara ini masih dinamai “POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”, fokus aturannya hanya mengatur perusahaan fintech yang menjalani bisnis meminjam uang antar personal atau lebih dikenal peer-to-peer lending (P2P lending). Karena pembahasan yang molor, RPOJK ini berpotensi tidak jadi disahkan akhir tahun ini.

Bisnis peminjaman online di luar P2P lending tidak akan diatur OJK. Ada 59 pasal dan terbagi menjadi 12 bab yang termuat dalam draft rancangan POJK ini.

Semua isi dalam draft membahas mulai dari penyelenggara fintech lending, kegiatan usaha, perizinan, pengguna jasa fintech lending, perjanjian, mitigasi risiko, tata kelola sistem teknologi informasi, tanda tangan elektronik, laporan, hingga laporan tata kelola.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan draft judul RPOJK sedang diupayakan untuk menjadi “Layanan Pinjam Meminjam Online Secara Langsung Berbasis Teknologi Informasi”.

“Kita akan menuju ke judul ini agar lebih pas dengan model binis yang akan diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lain, serta tidak melampaui UU OJK,” ucapnya.

Dia melanjutkan, ada kata “langsung” disematkan di antara judul. Hal ini bertujuan untuk memberi identifikasi yang jelas kepada penyelenggara jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung bertindak sebagai marketplace atau fasilitator yang mempertemukan pemberi pinjam (lender) dengan penerima pinjaman (borrower).

Mereka itu sifatnya off balancing sebab penyelenggara tidak mencatatkan penyaluran pembiayaan tersebut ke dalam neraca keuangan untuk dihitung sebagai aset atau kewajibannya. Beda halnya dengan on balancing, di mana sudah lumrah dilakukan oleh perbankan.

“Harus ditambahkan kata “langsung” karena penyelenggara hanya bisa memfasilitasi tidak bisa ikut meminjamkan dana. Sifatnya benar-benar off balancing tidak masuk aset atau kewajiban perusahaan.”

Diberi limitasi agar tidak bertabrakan dengan aturan sebelumnya

Hendrikus mengatakan, dalam proses pembuatan RPOJK ini diusahakan untuk tidak terlalu rigid aturannya, bersifat global, sekaligus tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya. Agar nantinya dalam pengembangan berikutnya tinggal diatur dalam penerbitan Surat Edaran OJK saja.

Ada beberapa aturan acuan yang bakal dikaitkan dengan POJK, diantaranya untuk pencucian uang akan mengikuti pedoman dan prosedur standar terkait penerapan program anti cuci uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT).

Untuk hal yang terkait stabilitas sistem keuangan akan mengacu ke UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), sementara untuk penyalahgunaan data akan mengacu ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Selain itu, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh penyelenggara jasa fintech. Seperti tertuang dalam pasal 54, disebutkan penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman.

Juga penyelenggara tidak bisa memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain. Caranya dengan menerbitkan surat hutang, sebagai strategi untuk perkuat permodalannya.

“Intinya penyelenggara jasa fintech tidak bisa menggunakan dananya sendiri untuk disalurkan ke publik sebagai pinjaman. Juga, tidak bisa menerbitkan surat berharga apapun untuk memperkuat permodalannya. Kami persempit cakupannya agar tidak bertabrakan dengan multifinance. Jadi untuk perkuat modalnya, caranya hanya satu yakni cari investor baru.”

Usulan modal disetor untuk fintech lending sebesar Rp2,5 miliar

Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial
Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial

Dalam draft Pasal 2 hingga 6, cukup detil menerangkan bagaimana proses penyelenggara fintech lending bisa mendapat lisensi izin penuh dari OJK. Mereka harus berbentuk badan hukum lokal (PT maupun koperasi) yang bisa dikuasai sahamnya maksimal 85% oleh asing.

Adapun sebelum mendapat lisensi, semua penyelenggara (baik existing maupun baru) harus melewati proses pendaftaran dengan memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar. Sebab, pada saat itu pihak OJK akan mengevaluasi model bisnis penyelenggara mulai dari kesiapan bisnis, status direksi, hingga bagaimana melakukan mitigasi risikonya.

Setelah evaluasi selesai, OJK akan mengeluarkan keputusan apakah penyelenggara bisa langsung mengajukan lisensi penuh dengan memenuhi modal disetor jadi Rp2,5 miliar. Bila penyelenggara dinilai OJK belum siap, artinya mereka akan menempuh masa uji coba selama satu tahun untuk belajar bersama dengan OJK untuk pendampingannya.

“Semua penyelenggara fintech yang sudah beroperasi pun harus menempuh proses pendaftaran. Bila bisnis sudah matang, tidak harus menunggu satu tahun, bisa jadi sebulan kemudian [lisensi diberikan]. Untuk yang belum [matang], OJK akan beri coaching, untuk dikawal terus selama satu tahun lamanya.”

Mitigasi yang diwajibkan OJK ada empat cara pengalihan. Hal ini tertuang dalam Pasal 19, melalui mekanisme asuransi kredit, penjaminan kredit, diversifikasi portofolio pinjaman, atau mitigasi risiko sesuai dengan rencana bisnis penyelenggara.

Peranan penyelenggara fintech lending diperluas

Draft juga menyebutkan, peranan penyelenggara fintech lending tidak hanya sekadar fasilitator antara lender dengan borrower saja. Tetapi juga dengan pertukaran data penyelenggara fintech scoring, informasi kredit, sertifikat elektronik, dan fintech pendukung lainnya yang terdaftar di OJK.

Hendrikus mencontohkan, lewat kolaborasi dengan fintech aggregator yang bergerak di bidang pemotretan lokasi dari satelit untuk memeriksa cuaca dan prediksinya di masa mendatang. Fintech lending nantinya akan mendapat rekomendasi yang bisa diberikan ke lender bagaimana cuaca dan iklim bila berinvestasi di sektor perkebunan dan bagaimana kondisi ke depannya.

“Dengan demikian, peran fintech lending bisa lebih luas lagi. Sekilas memang mirip perannya modal ventura (VC) karena memberikan insight ke investor. Tapi ini berbeda, sebab VC masuk akibat adanya intervensi. Beda dengan fintech lending, hanya memberi rekomendasi. Ini adalah value yang tidak bisa diberikan oleh bank,” pungkas dia.

Menakar Keseriusan Investor Asing di Sektor Fintech Indonesia

Seiring dengan ancaman perlambatan ekonomi global yang terus terjadi, mau tak mau negara maju harus terus mencari peluang dari negara-negara berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak potensial yang dapat menjadi magnet, rupanya berhasil menarik minat negara maju untuk masuk ke Indonesia untuk berinvestasi.

Apalagi ketika membahas financial technology (fintech), Indonesia saat ini sedang giat membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung ekosistemnya. Peranan fintech pun sangat luas, tidak hanya sebagai transaksi keuangan online, juga telah merambah ke uang elektronik, virtual account, aggregator, lending, crowdfunding, asuransi elektronik, dan lainnya.

Secara global, industri fintech terus tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Lanskap industri perbankan digital mencatat Asia sebagai yang terdepan dalam proses adopsi teknologi ini.

Korea Selatan merupakan salah satu negara maju di Asia yang mengalami pertumbuhan jumlah penggunaan teknologi keuangan tertinggi (63%), sementara Indonesia mengalami pertumbuhan sebanyak 28% (data McKinsey Asia PFS survey 2007-2014). Data ini menunjukkan kesempatan tumbuh untuk inovasi fintech di Indonesia masih terbuka lebar.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menerangkan sejauh ini sudah ada beberapa delegasi dari luar negeri yang datang ke Indonesia khusus untuk observasi kondisi fintech di Tanah Air. Beberapa diantaranya, Amerika, Singapura, Hong Kong, Tiongkok, dan yang terbaru Korea Selatan.

Namun, sambungnya, dari seluruh delegasi tersebut yang menunjukkan keseriusan dan niatan yang tinggi adalah Korea Selatan. Terlihat dari kunjungan perwakilan industri fintech Korea yang terdiri dari pejabat Ministry of Science, ICT dan Future Planning Korea, Korea Internet & Security Agency (KISA), serta 10 perusahaan fintech Korea melakukan lawatan selama tiga hari pada 30 November – 2 Desember 2016.

“Semua negara maju pasti punya kepentingan soal ini [investasi fintech]. Amerika [Serikat] dan Singapura yang paling paling dekat juga sudah merealisasikannya. Bisa dibilang lawatan delegasi Korea [Selatan] adalah terniat dan paling serius dibandingkan negara lainnya. Mereka melakukan roadshow ke kawasan Asia, Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi,” terangnya, Kamis (1/12).

Selain menyuntikkan dana investasi untuk pengembangan usaha, negara maju tersebut juga berniat untuk mengalirkan dananya sebagai lender atau pemberi pinjaman kepada fintech yang bergerak di jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung.

Menurut dia, fintech jadi sarana tercepat bagi negara maju untuk mengalirkan dana ke negara berkembang, ketimbang melakukan jasa keuangan lainnya karena terbentur masalah aturan.

Dari kegiatan lawatan ini, delegasi Korea menekankan pihaknya membuka kesempatan yang lebar bagi dengan pemain lokal untuk bermitra demi mencapai berbagai tujuan. Seperti, peningkatan akses pasar, peningkatan produk, dan peningkatan operasional.

“Indonesia dan Korea perlu mengembangkan eksosistem yang kuat dan terintegrasi lewat hubungan kerja sama kolaboratif, baik di dalam ekosistem fintech maupun antar eksistem yang berbeda,” ucap Lee Keunjoo selaku Sekjen Korea Fintech Industry Association.

Saat ini delegasi Korea Selatan masih dalam mempelajari pasar fintech di Indonesia, seperti yang terlihat dari rencana observasi 10 pemain fintech Korea Selatan saat berkunjung ke sini. Salah satunya, Paycock, sebuah aplikasi pembayaran mobile, berencana ingin menjajaki pasar mobile payment Indonesia dengan mitra terpercaya dan berpengalaman.

Berikutnya Crizen (P2P lending brokerage platform) berencana ingin kerja sama bisnis dengan lembaga atau perusahaan fintech Indonesia.

Ajisatria Suleiman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia menambahkan kedatangan delegasi dari Korea Selatan ini bisa menciptakan peluang bagi lokal untuk mengadopsti teknologi yang mereka miliki untuk produk yang dihasilkan.

Perusahaan fintech Korea Selatan bernama Fount adalah robo advisor yang dapat bertindak sebagai manajer investasi untuk menyarankan portofolio investasi kepada investor berdasarkan algoritma komputer.

Pihak asing berpotensi kuasai 85% kepemilikan perusahaan fintech Indonesia

Hendrikus melanjutkan, dalam draft regulasi yang mengatur fintech peer-to-peer lending, sudah ada peluang untuk asing dalam rangka mendukung perkembangan fintech di Tanah Air.

Hal ini tertuang dalam Pasal 3 Rancangan Peraturan OJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Uang Berbasis Teknologi Informasi, menyebutkan saham Fintech Lending harus berbentuk perseroan terbatas dan dapat dimiliki warga negara asing dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 85%.

Dia bilang, angka tersebut memang belum final dan pembahasan dengan industri masih terus bergulir. Namun, pertimbangan dari regulator mengenai angka 85% timbul karena ingin membesarkan sektor jasa yang menjadi alternatif dari industri jasa keuangan konvensional.

Belum lagi, layanan fintech yang didominasi oleh perusahaan startup sangat rentan dengan kegagalan yang cukup tinggi.

“Orang lokal banyak tidak mau investasi di startup karena tergolong sangat konservatif. Makanya untuk memajukan startup fintech Indonesia, butuh tenaga asing untuk masuk ke Indonesia. Jangan terlalu buru-buru bilang asing itu jelek untuk Indonesia.”

Menurutnya, bila asing masuk tanpa ada filter pun belum tentu mereka bakal berhasil di Indonesia. Pasalnya, untuk berbisnis membutuhkan adanya ekosistem yang mendukung industri pendukung lainnya. Lagipula, pihak lokal juga tidak bisa menampikkan kebutuhan modal yang sangat tinggi ketika bisnis fintechnya sudah mulai berjalan.