HP Mendominasi Pasar PC di Tahun 2017

Seperti di tahun-tahun sebelumnya, para analis pasar terus melihat turunnya angka pengapalan PC di 2017. Tapi hal ini juga diiringi transisi menarik: terhitung di kuartal pertama tahun lalu, Lenovo tak lagi jadi brand komputer nomor satu. Posisinya itu kini digantikan oleh Hewlett-Packard. Dan sepertinya, produsen asal Amerika itu terus mendominasi sepanjang tahun.

Berdasarkan data dari Gartner dan IDC, HP adalah produsen PC dengan angka distribusi terbesar di 2017. Selanjutnya, Lenovo berada di urutan kedua, dibuntuti oleh Dell di tempat ketiga; baru setelah itu ada Apple, Asus, kemudian Acer. Menariknya, kedua firma ini punya hasil perhitungan berbeda soal penjualan. Menurut Gartner, pasar PC masih merosot landai, sedangkan IDC melihat adanya peningkatan.

Di kuartal empat 2017, data pengapalan PC dari Gartner dan IDC tak jauh berbeda. HP menguasai pasar sebesar 22,5 (Gartner) sampai 23,5 (IDC) persen, kemudian Lenovo berada di 22-22,5 persen. Meski tampak ketat, laju pertumbuhan kedua merek sebetulnya cukup kontras. Dari komparasi di triwulan empat tahun 2016 dan 2017, distribusi PC HP meningkat antara 6,6 sampai 8,3 persen; sedangkan Lenovo dilaporkan menurun 0,7 persen (Gartner) atau stagnan (IDC).

Dari data kedua firma, hanya ada tiga merek yang mengalami kenaikan pengapalan selama setahun: HP, Dell dan Apple. Sisanya menyusut. Asus merupakan brand dengan penurunan terbesar, yaitu 10,6-11,3 persen.

Gartner memperkirakan bahwa distribusi PC global di triwulan terakhir 2017 merosot sebesar 2 persen ke 71,6 juta unit, namun menurut IDC, angkanya naik 0,7 persen dengan jumlah pengapalan 70,6 juta PC. Kedua firma sepertinya setuju penurunan tersebut hampir mencapai level paling rendah, dan dalam waktu dekat, titik baliknya akan segera tiba.

idc_pc_shipments_2017

 

gartner_pc_shipments_2017

Gartner mengabarkan ada 262,5 juta unit PC yang dikapalkan di tahun 2017, menurun 2,8 persen dibanding 2016. Mikako Kitagawa selaku principal analyst Gartner berpendapat, para brand ternama mulai memanfaatkan kemampuan operasional mereka untuk mengurangi ongkos produksi, menyingkirkan sejumlah vendor kecil hingga kelas menengah.

Menurut IDC, distribusi PC dari 2016 ke 2017 berkurang sebesar 2 persen ke 259,5 juta unit. Research manager Jay Chou menyampaikan, “Hasil di triwulan keempat menunjukkan adanya potensi peningkatan di ranah retail dan PC kelas konsumen. Hal ini dipicu oleh sejumlah produk yang menjanjikan daya tahan baterai, portabilitas tinggi, dan munculnya perangkat-perangkat dengan performa tinggi, sehingga konsumen kembali melihat segmen PC secara lebih serius.”

Sumber: VentureBeat.

Pengapalan PC di Kuartal Kedua 2017 Kembali Turun, HP Salip Lenovo ke Posisi Pertama

Lesunya penjualan PC bukan lagi cerita baru. Beberapa tahun lalu, penurunan angka distribusi membuat banyak orang berpikir bahwa era komputer personal akan segera berakhir, digantikan oleh perangkat-perangkat berukuran kecil yang lebih fleksibel dan ekonomis. Nyatanya PC tidak sekarat, ekosistemnya perangkat olah data ini hanya mengalami revolusi.

Namun jika sekedar menakar dari penjualan komputer ‘tradisional’, angkanya memang menurun. Berdasarkan data dari Gartner, distribusi PC kembali melemah di kuartal kedua tahun 2017. Itu berarti, pengapalan komputer personal terpantau menyusut 11 kuartal berturut-turut. Persentasenya cukup signifikan, yakni 4,3 persen ke angka 61,1 juta unit, rekor paling buruk sejak tahun 2007.

Terhitung di triwulan pertama 2017, penurunan distribusi dialami oleh hampir semua vendor PC besar, seperti Lenovo, Apple, Asus dan Acer. Hanya HP dan Dell yang mengalami peningkatan. Menariknya lagi, dua perusahaan inilah yang merasakan efek naiknya pengapalan selama lima kuartal. Di triwulan terakhir ini, HP dan Dell memperoleh kenaikan masing-masing sebesar 3,3 persen dan 1,4 persen.

Lenovo yang dahulu menempati urutan pertama sebagai brand PC terbesar terperosok 8,4 persen, sehingga posisi bergengsi itu berhasil direbut oleh HP dengan market share 20,8 persen versus 19,9 persen. Acer dan Asus sendiri dihantam turunnya pengapalan sebesar 12,5 dan 10,3 persen.

Data dari IDC cukup serasi dengan Gartner, juga memperlihatkan keberhasilan HP menyusul Lenovo, dengan angka kenaikan/penurunan yang kurang lebih sama. Perbedaan terbesar dari kalkulasi mereka ada pada Apple. Menurut pemaparan Gartner, pengapalan komputer Apple berkurang 0,4 persen, sedangkan berdasarkan IDC, angkanya malah meningkat 1,7 persen.

Jadi sekali lagi, apakah PC betul-betul sedang sekarat? Tidak juga, jika kita beralih ke informasi dari Jon Peddie Research. Tim analis di sana menyampaikan bahwa keuntungan dari penjualan hardware PC diperkirakan bakal mencapai US$ 856 juta di tahun 2017, dengan lonjakan per tahun (CAGR) yang mencengangkan di 42 persen. Menurut JPR, faktor pendorong perkembangannya adalah eSport.

Kabarnya, kepopularitasan eSport memicu pembelian hardware dan periferal oleh konsumen-konsumen baru – misalnya layar beresolusi/refresh rate tinggi, keyboard dan mouse, headphone, hingga unit PC gaming siap pakai. Nilai transaksinya tidak tanggung-tanggung, sering kali melampaui US$ 1.000.

JPR mengestimasi, angka pembelian hardware PC berpotensi menyentuh US$ 2,2 miliar di tahun 2020. Dan jika kita memasukkan nilai dari iklan, software, dan pemasukan dari event dalam perhitungan tersebut, Jon Peddie Research yakin nilai pasar hardware PC saat ini telah menembus US$ 1,5 miliar.

Sumber: VentureBeat. Gambar header: Flickr.

IDC Prediksi Konsumsi IoT Pemerintah Indonesia Capai 20 Persen di Tahun 2019

International Data Corporation (IDC) Indonesia memprediksikan pada 2019 pemerintah Indonesia akan mulai gencar mengimplementasikan teknologi Internet of Things (IoT) untuk infrastruktur publik, seperti jalan raya, lampu jalan, dan rambu lalu lintas.

Kondisi tahun tersebut cukup kontradiktif dengan hasil prediksi IDC untuk tahun 2017 ini, IDC menyebut sebanyak 90% kota di Indonesia akan gagal mengimplementasikan secara penuh konsep kota pintar (smart city) dan aset digital lainnya. Hal ini disebabkan kurangnya proses pemahaman, manajemen proyek, dan keterampilan diri.

Seperti diketahui, pemerintah kota dan regional Indonesia saat ini giat menerapkan konsep kota pintar ke berbagai kota. Di antaranya DKI Jakarta, Balikpapan, Makassar, Surabaya, Bandung, Malang, Yogyakarta, serta kota-kota lapis kedua/ketiga lainnya seperti Boyolali, Berau, Pandeglang, Palopo, Tanjungbalai dan lain-lain.

Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan aplikasi Qlue untuk pelaporan keluhan yang ditemukan di lapangan lewat media sosial. Tak hanya itu, yang terbaru pemprov bekerja sama dengan aplikasi penyedia informasi transportasi umum Trafi untuk mendukung TransJakarta.

“Di Indonesia, transformasi digital belum diimplementasikan secara penuh dalam perusahaan. Hal ini berdampak pada perbedaan gaya kepemimpinan, di mana kecepatan pengambilan keputusan jadi lambat, sehingga ada efek negatif yang timbul. Timing itu penting dan cara berpikir yang kuno tidak relevan lagi dengan gaya kepemimpinan saat ini,” kata Country Manager IDC Indonesia Sudev Bangah saat Briefing IDC FutureScape Media.

IDC menyoroti bahwa transformasi digital akan mencapai skala ekonomi makro Indonesia selama dua hingga tahun depan mendatang, mulai dari mengubah cara perusahaan beroperasi dan membentuk kembali ekonomi global. IDC menyebutnya dengan “Ekonomi DX.”

Menurut IDC, agar implementasi teknologi bisa dilakukan secara penuh pemilik perusahaan harus mulai memikirkan relevansi bisnis mereka dalam 10 tahun mendatang. Serta bagaimana harus bereaksi saat menghadapi teknologi yang sifatnya disruptive.

Selain membahas prediksi IoT, IDC juga memprediksi hal lainnya di sektor usaha. Misalnya, pada 2019 sebanyak 50% dari perusahaan TI di Indonesia akan menciptakan layanan consumer-facing dan ecosystem-facing memenuhi kebutuhan DX.

Kemudian, di 2020, perusahaan lokal akan mulai memanfaatkan inovasi terbuka untuk mengalokasikan keahlian untuk 15% proyek baru. Tujuannya untuk meningkatkan persentase tingkat kesuksesan pengenalan produk hingga lebih dari 50%.

IDC juga memprediksi di 2018 online brand ambassador dan social media influencer akan memiliki kekuasaan pemasaran dari iklan digital tradisional. Akan tetapi di tahun berikutnya akan situasi akan mereda dan tahun seterusnya.

Selain itu, di 2019 IDC memprediksi hanya 30% produsen manufaktur yang berinvestasi untuk dukung transformasi digital dan memaksimalkan pendapatannya, sementara sisanya masih memakai model bisnis dan teknologi yang masih konvensional.

Prediksi belanja ICT Indonesia

Secara terpisah, IDC juga memprediksikan belanja ICT (Information, Communication, and Technology) Indonesia sepanjang tahun ini menembus angka Rp339 triliun. Jumlahnya naik dari realisasi belanja ICT di tahun lalu sebesar Rp320 triliun.

Sementara itu, belanja IT diprediksi tembus Rp293 triliun. Adapun komposisinya terdiri atas perangkat (device) sebesar Rp92 triliun, IT services Rp18 triliun, software Rp9 triliun, mobile data Rp112 triliun, dan mobile voice Rp62 triliun.

“2017 akan menjadi momentum di beberapa industri, mulai dari hardware hingga services. Services akan terus tumbuh, bahkan menjadi kunci pendorong untuk belanja IT,” terang Head of Consulting Department IDC Indonesia Mevina Munindra.

Sementara, belanja ICT di 2020 diprediksi menjadi Rp394 triliun. Adapun komponen belanjanya, devices Rp106 triliun, IT services Rp29 triliun, software Rp12 triliun, mobile data Rp137 triliun, dan mobile devices Rp59 triliun.

“Dengan pertumbuhan ini, industri dituntut untuk terus berinovasi menjadi perusahaan berbasis teknologi seperti otomatisasi proses bisnis. Tapi infrastruktur TI yang ada harus tetap dijalankan kalau memang itu baik bagi perusahaan,” pungkas Mevina.

Potensi dan Tantangan Indonesia Menghadapi Penguatan Ekonomi Digital

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) selama lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami lonjakan hingga 10,7 persen. Lebih tinggi dari perekonomian nasional sebesar 6,56 persen. Diperkirakan angka ini masih akan terus bertumbuh bebarengan dengan berbagai insiatif nasional seperti cita-cita Presiden menjadikan Indonesia kuat di ekonomi digital pada tahun 2020.

Selain regulasi, dukungan infrastruktur yang mulai merata turut memberikan sumbangsih. Pasalnya dengan akses ke teknologi yang lebih mudah, digitalisasi layanan bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Dari kelas atas hingga akar rumput. Yang paling signifikan tak lain adalah pemanfaatan internet. Peningkatan penggunaannya mengantarkan berbagai peluang di bisnis digital nasional.

Dalam diskusi yang diikuti oleh Menkominfo, pakar, dan perwakilan korporasi beberapa waktu lalu, disampaikan bahwa saat ini sudah banyak indikasi kemajuan industri TIK Indonesia. Alokasi belanja modal di sektor TIK pun terpantau naik. Data IDC menunjukkan tahun ini nilainya akan mencapai Rp 201,76 triliun atau mengalami pertumbuhan 8,5 persen dari tahun sebelumnya.

Peluang, tantangan dan keyakinan terhadap sektor TIK

Presiden meyakini bahwa kekuatan ekonomi digital Indonesia dapat menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Tahun 2020 ditargetkan potensi industri tersebut mencapai $130 miliar. Untuk merealisasikan visi tersebut, Presiden memprioritaskan startup digital agar mudah mendapatkan akses permodalan. Salah satunya lewat deregulasi besar-besaran terhadap bisnis e-commerce.

Berbagai rancangan, roadmap, perundangan, hingga sokongan terus digencarkan melalui bermacam program. Terlihat cukup ideal saat melihat ragam industri teknologi yang terus berkembang memberikan solusi alternatif di Indonesia. Pemodal pun tak sepi meramaikan hiruk-pikuk ini. Artinya kepercayaan mulai terbentuk, dari sisi konsumen, pemangku, hingga investor. Nyatanya keyakinan saja tak cukup menjadi awal cerita manis.

Banyak tantangan yang juga harus diselesaikan. Yang sudah jelas di depan mata ialah persaingan. Untuk mengukuhkan sektor digital sebagai tonggak ekonomi nasional, diperlukan keterlibatan yang besar dari stakeholder dan penggerak ekonomi nasional. Jika melihat lanskap digital di Indonesia saat ini, di setiap segmen sudah hadir para pemain asing memperebutkan potensi yang sama.

Persaingan tak bisa dihindari karena menjadi simpul penggerak bisnis. Hal ini bisa diantisipasi dengan berbagai pendekatan yang telah tersusun sejak dini. Bisa dikatakan bahwa sektor ini masih hijau, belum terlalu carut-marut. Peran regulator untuk mengkaryakan sektor ini menjadi subur adalah prioritas, baik melalui regulasi yang tepat, akses yang dipermudah, dan upaya peningkatan kualitas di sektor pendukungnya.

Konsumen menyadari pentingnya digitalisasi

Berbagai hasil survei mengemukakan bahwa konsumen Indonesia sudah mulai membentuk pola konsumsi yang relevan. Berbagai pertumbuhan terjadi di sana-sini. Pada dasarnya konsumen sudah mulai paham tentang peranan teknologi digital dalam mempermudah kehidupannya dan pelaku digital menangkap dengan baik kesempatan tersebut. Kekuatan konsumen Indonesia ini yang banyak disebutkan juga menjadi magnet para perusahaan dan investor asing untuk datang.

Salah satu contoh indikasi menguatnya konsumsi digital nasional adalah hasil riset DailySocial terkait keyakinan masyarakat terhadap alat pembayaran non-tunai untuk beragam kebutuhan. Pertumbuhan ini sejalan dengan kebutuhan para pemain digital dalam mendapatkan traksi layanannya. Kendati layanan on-demand dan e-commerce masih menjadi yang terfavorit diyakini kategori lain tengah menyusul popularitasnya dalam akuisisi pengguna.

Konsumen telah menyadari pentingnya digitalisasi untuk membuat kesehariannya lebih efektif. Kesadaran tersebut kini menjadi potensi besar yang diburu banyak pihak. Sudah selayaknya apa yang dibutuhkan oleh konsumen dapat dipenuhi oleh penyedia jasa dan produk dalam negeri. Banyak yang masih perlu dimatangkan untuk merealisasikan cita-cita itu semua dengan uluran berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, hingga insan mandiri sebagai inovator.

Adopsi Cloud di Perusahaan Sudah Tinggi dan Mulai Mencari Pemanfaatan Baru

Cloud computing menjadi salah satu teknologi yang menjadi tulang punggung startup. Pasalnya cloud computing menawarkan kemudahan integrasi dan juga nilai investasi yang terjangkau, sehingga dengan biaya minimal startup sudah bisa menjalankan produk atau layanan mereka di infrastruktur cloud untuk dengan segera menjangkau calon pengguna alih-alih membangun infrastruktur sendiri. Perlahan atau pasti cloud menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan bagi industri digital era modern. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan IDC, yang didukung Cisco,dijelaskan bahwa sekarang sudah semakin jamak perusahaan menggunakan cloud, bahkan sekarang sudah masuk pada babak menuai keuntungan dan mulai mencari peluang pemanfaatan baru teknologi cloud.

Dalam laporan tersebut dipaparkan bahwa ada peningkatan sekitar 61% perusahaan pengguna cloud dibanding tahun lalu. Dari total semua responden sebanyak 68% mengungkapkan telah mengadopsi dan menggunakan cloud untuk bisnis mereka. Sisanya masih dalam tahap edukasi, perencanaan, dan ada juga yang tidak tertarik sama sekali.

Survei IDS mengenai cloud

Baik itu private cloud, public cloud, atau hybrid cloud sama-sama mendapat porsi perhatian yang lebih di perusahaan-perusahaan. Salah satu yang banyak digunakan adalah hybrid cloud, alasannya perusahaan menggunakan layanan cloud dari beberapa penyedia yang berbeda dan bisa dengan mudah menggabungkan aset yang ada di public cloud dan private cloud.

Teknologi cloud hadir untuk jawaban bagi mereka yang membutuhkan sebuah infrastruktur IT yang fleksibel dan mudah untuk diintegrasikan satu sama lain. Cloud sendiri difungsikan dalam berbagai bentuk di masing-masing perusahaan. Ada yang menggunakan cloud untuk arsitektur micro service , DevOps, bahkan sampai pada implementasi penggunaan IoT.

Untuk beberapa perusahaan yang sudah matang, penggunaan cloud tidak semata-mata sebagai bagian dari menghemat anggaran biaya untuk membangun infrastruktur. Cloud di perusahaan-perusahaan tersebut malah kebanyakan diharapkan bisa membantu meningkatkan revenue.

Selain itu untuk perusahaan yang matang dalam penggunaan teknologi cloud mulai melirik IoT sebagai “jodoh” teknologi cloud yang baru. Ada sekitar 62% responden perusahaan yang sudah matang dalam penggunaan cloud melihat atau berencana menjadikan cloud sebagai teknologi untuk mendukung penerapan IoT.

Laporan Experian: Pola Perilaku Konsumen Digital di Indonesia 2016

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu pasar yang sangat diperhitungkan. Sehingga wajar banyak penelitian mengenai pasar dan kebiasaan pengguna di Indonesia. Tujuannya sama, mencari pola dan data mengenai seberapa besar potensi dan strategi apa yang sekiranya cocok dilakukan untuk bisa memenangi pasar Indonesia.

Yang paling baru adalah laporan bertajuk The Digital Consumer View 2016 (Asia) yang dikeluarkan oleh Experian dengan analisis dan penelitian oleh International Data Corporation (IDC). Meski tidak spesifik melaporkan kondisi di Indonesia, laporan ini banyak menyinggung tentang bagaimana pola perilaku konsumen digital di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya.

Menurut laporan yang diambil dari survei dengan 1.200 responden ini, Indonesia menunjukkan angka tertinggi untuk konsumen yang melakukan pencarian produk dan mencari harga terbaik menggunakan media sosial dengan angka 67-68%, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan Thailand (58%) dan Malaysia (49%).

Sementara itu, untuk memicu ketertarikan terhadap suatu produk, SMS disebutkan masih menjadi media paling ampuh di Indonesia dengan persentase 62%. Sementara Malaysia dan Thailand media sosial masih menjadi media yang cukup digandrungi untuk memicu ketertarikan produk.

Laporan Consumer Behaviour / Experian

Untuk kategori ketertarikan untuk membeli, dengan pendekatan online to offline lagi-lagi SMS masih menjadi media yang ampuh di Indonesia. Sementara Singapura dengan media email, dan Malaysia dan Thailand melalui media sosial. Kategori lainnya yang dipaparkan dalam laporan ini adalah brand engagement, untuk kategori ini banner ads masih menjadi yang tertinggi di Indonesia dengan 56%.

Yang paling mencengangkan adalah ternyata hampir semua pelanggan di Indonesia memasukan identitas palsu jika merujuk pada keperluan-keperluan marketing. Tercatat hampir 93% untuk nama, 94% untuk nomor telepon, dan 95% persen untuk email diisikan dengan salah atau palsu oleh konsumen Indonesia kepada pemasar.

Managing Director of Southeast Asia Experian Jeff Price berkesimpulan bahwa pasar Asia Tenggara ini merupakan pasar dengan pertumbuhan yang cepat dan dengan perilaku konsumen yang unik. Ada peta perbedaan yang signifikan bagaimana konsumen mencari produk, membandingkan harga, dan memutuskan untuk membeli.

Makin Populer di Dunia, Vivo Sukses Gusur Xiaomi dan Oppo Kalahkan Lenovo

International Data Corporation (IDC) baru saja merilis laporan terbaru mengenai penjualan smartphone di dunia untuk kuartal pertama tahun 2016. Dalam laporannya tersebut selain memaparkan data penjualan lima vendor terlaris, IDC juga menyoroti kegagalan Lenovo dan Xiaomi bertahan di posisinya di kuartal pertama tahun lalu.

Secara total, IDC mencatat terdapat 334,9 juta unit smartphone dipasarkan ke seluruh dunia. Angka ini sedikit lebih tinggi dari pada catatan di kuartal yang sama di tahun lalu sebanyak 334,4 juta unit.

Dalam daftar lima besar vendor paling laris, Samsung dan Apple masih berkuasa di puncak pimpinan dan peringkat kedua. Disusul oleh Huawei di posisi ketiga. Namun Samsung dan Apple mengalami penurunan penjualan, masing-masing 0,6% dan 16,3%. Jika Samsung dan Apple mengalami penurunan, beda halnya dengan Huawei. Huawei justru mencatatkan peningkatan jumlah penjualan secara signifikan, sebesar 58,4% atau dalam jumlah unit mereka berhasil menjual sebanyak 27,5 juta smartphone.

Daftar 5 besar vendor paling laris versi IDC
Daftar 5 besar vendor paling laris versi IDC

Posisi keempat dihuni oleh Oppo yang mencatatkan penjualan sebanyak 18,5 juta unit smartphone atau meningkat sebanyak 153,2% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu. Terakhir di posisi kelima ada Vivo yang berhasil menggeser Xiaomi. Di kuartal pertama 2016, Vivo membukukan penjualan total 14,3 juta unit smartphone ke seluruh dunia. Angka ini meningkat tajam sebesar 123,8% dari catatan kuartal di tahun lalu.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan Lenovo dan Xiaomi? Menurut IDC, tergusurnya Lenovo dan Xiaomi dari posisinya disebabkan oleh rendahnya pengapalan smartphone di Tiongkok, sementara kedua brand lebih populer di sana. Pada tahun 2013, pengapalan smartphone di Tiongkok tumbuh sebesar 62,5%. Tapi di tahun 2015, angka ini jatuh hanya 2,5%.

Di Tiongkok juga terjadi pergeseran rata-rata titik jual atau ASP (Average selling point) yang naik dari $207 ke $257 dalam rentang tahun yang sama. Artinya, di tahun 2013 konsumen di Tiongkok lebih memilih produk-produk Lenovo dan Xiaomi yang dijual murah di kisaran $200 per unit. Tapi kini, di tahun 2016 terjadi pergeseran, di mana orang lebih menyukai smartphone yang lebih mahal di kisaran harga $257 ke atas.

Sumber berita IDC dan gambar header.

IDC: Pemasukan Dari Penjualan Hardware VR Diperkirakan Lewati $ 2 Miliar di 2016

Keputusan para produsen untuk melepas perangkat virtual reality high-end di tahun ini membuat VR menjadi pusat perhatian. Di sejumlah negara, konsumen sudah bisa memiliki Rift dan Vive. Beberapa minggu silam mungkin Anda sudah membaca artikel soal perkiraan penjualan hardware VR oleh Strategy Analytics. Menariknya, perhitungan IDC bahkan lebih tinggi lagi.

Via press release, firma analis dan riset pasar Amerika itu memprediksi angka pengapalan hardware VR akan melonjak naik di 2016, mampu mencapai 9,6 juta unit. Penjualan diujungtombaki oleh produk-produk Samsung, Sony, HTC dan Facebook. Berdasarkan estimasi IDC, hal tersebut memberikan pemasukan lebih dari US$ 2 miliar bagi perusahaan-perusahaan ini – tepatnya US$ 2,3 miliar.

Berdasarkan pengamatan IDC, mereka mengidentifikasi tiga kategori utama di pasar head-mounted display: pertama adalah penonton screenless, yaitu mereka yang menggunakan smartphone buat menikmati VR (contohnya melalui Gear VR); lalu user Tethered Head Mounted Display, umumnya memanfaatkan PC dan console untuk menopang device (Rift/PSVR/Vive); serta Standalone HMD, yakni device yang tidak memerlukan sistem pendukung, misalnya Sulon Q atau HoloLens.

Menurut penjelasan Lewis Ward selaku direktur riset gaming, video game merupakan alasan orang membeli Rift, Vive atau PlayStation VR di tahun ini. Meskipun ada jeda di proses distribusi, ia yakin penjualan jadi lebih mulus sebelum musim liburan. Ward menuturkan bahwa judul-judul permainan baru berperan besar dalam mendongkrak minat konsumen – di antara mereka berbelanja buat diri sendiri, dan sebagian lainnya membeli untuk keluarga atau teman.

Virtual reality akan mendominasi persentase volume headset di 2016, sedangkan augmented reality sendiri baru menyusul beberapa tahun kemudian. Ketika VR dan AR dikombinasikan, jumlahnya diestimasi International Data Corporation melampaui 110 juta unit di 2020. Namun adaptasi konsumen terhadap AR memang tidak berjalan sekejap. Vice president Devices & Displays IDC Tom Mainelli menyampaikan, produk memerlukan waktu untuk dibawa ke pasar.

“Walaupun development kit dari Microsoft, Meta dan lain-lain menjaga ketertarikan khalayak akan augmented reality tetap tinggi, perangkat-perangkat itu lebih sulit diproduksi dibanding device VR,” tutur Mainelli. “Bagi produsen, mengeksekusinya dengan jitu lebih penting dari menggarapnya cepat-cepat, dan kami menyarankan mereka buat tetap mengerjakannya secara lambat namun stabil.”

Mengapa begitu? Ketika VR ‘sekedar’ berpotensi mengubah arah perkembangan industri hiburan digital, AR berpeluang merevolusi cara manusia melakukan pekerjaan sehari-hari…

Sumber: IDC.

Jumlah Pengapalan PC Menurun, Gaming PC Malah Naik?

Anda mungkin sudah familier dengan kabar penurunan jumlah shipment PC, biasanya dikaitkan ke minat konsumen. Beberapa kali, analis menyebutkan bahwa ini ialah akhir era komputer personal, dan laporan Gartner serta IDC yang belum lama diungkap kembali memperkuat kabar buruk tersebut. Tapi Anda tak perlu cemas, informasi itu ternyata tidak mewakilkan industri hardware gaming.

Di awal minggu, IDC mengungkap bahwa angka pengapalan PC di triwulan pertama 2016 terus berkurang seperti yang diperkirakan, totalnya ada 60,6 juta unit. Informasi dari Gartner juga cukup senada, mereka menghitung ada 64,8 juta unit, turun 9,6 persen dari kuartal pertama 2015. Gartner berpendapat, salah satu penyebab hal ini adalah merosotnya nilai mata uang lokal terhadap dolar Amerika.

Research manager IDC Jay Chou menyampaikan bahwa pasar PC harus berjuang untuk mendongrak animo konsumen. Meski demikian, IDC memproyeksikan bisnis PC secara keseluruhan tetap berkembang dibanding tahun lalu, turut terbantu berkat Windows 10. Untuk sekarang, permintaan akan PC di negara besar seperti Amerika masih rendah, namun periode pembelian baru dimulai di triwulan kedua, khususnya oleh ranah edukasi dan korporat.

Tapi perlu Anda ketahui, IDC tidak menyertakan PC handheld, tablet ber-OS Windows, serta perangkat yang mempunyai keyboard detachable ke variabel mereka. Kemudian pengertian IDC dan Gartner terhadap istilah ‘shipment‘ juga dipertanyakan (Anda bisa membaca lebih lengkapnya di artikel Moor Insight & Strategy). Lalu yang terpenting, angka di atas hanya mewakilkan produk-produk low-end – garapan Lenovo, HP, Dell dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjabaran Jon Peddie Research, penjualan hardware PC akan meningkat stabil setelah penurunan kecil di 2015. Potensi keuntungan dari upgrade komponen saja bisa mencapai miliaran dolar hingga tahun-tahun berikutnya. Monitor seluas 27-inci serta panel-panel UHD akan jadi incaran konsumen, belum lagi mereka memerlukan sistem berperforma tinggi buat menjalankan permainan-permainan blockbuster. 60 frame rate per detik ialah standar gaming di PC, dan kita tahu virtual reality juga sedang naik daun.

Gaming notebook serta PC kelas low-end diestimasi akan menghadapi tantangan cukup berat karena di tingkat ini khalayak lebih memilih tablet atau console. Namun produsen-produsen semisal Alienware, iBuyPower dan kawan-kawan berpeluang mengubah tren tersebut dengan menyediakan PC yang dioptimalkan buat ruang keluarga. Hal ini didukung lagi oleh permintaan terhadap gaming gear – misalnya mouse, keyboard dan headset.

Dihitung dari hardware, angkanya diprediksi menunjukkan peningkatan: US$ 26,118 miliar di 2016, US$ 28,253 miliar di 2017, dan US$ 30,092 miliar di 2018.

Sumber: PC Gamer & Jon Peddie.

Pemerintah Segera Longgarkan Kebijakan Pembangunan Data Center di Indonesia

Layanan teknologi yang makin dibutuhkan di berbagai lini kegiatan masyarakat membuat para penyedia jasa/layanan untuk memperkuat infrastruktur pendukung. Data center menjadi salah satu infrastruktur krusial yang harus dikuatkan untuk menjamin kelancaran proses operasionalitas. Melihat persaingan industri yang semakin ketat, Menkominfo Rudiantara mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan revisi draft peraturan terkait data center untuk bisa menjadi lebih longgar.

Persyaratan pembangunan data center di Indonesia akan berkurang, karena selain akan memberikan efisiensi harga jual suatu layanan, juga akan menumbuhkan kekuatan lokal untuk persaingan global, begitu ujar Rudiantara seperti dikutip dari The Jakarta Post. Pemerintah sendiri mengatur kebijakan pendirian data center dalam peraturan No. 82 Tahun 2012 pada pasal pengelolaan transaksi dan sistem elektronik. Pusat pemulihan data akibat bencana untuk pelayanan publik harus berada perangkat fisiknya di dalam negeri.

Upaya ini dilakukan Rudiantara didasarkan pada masukan dari para pemain industri, khususnya dari perusahaan perbankan dan penerbangan, untuk meningkatkan daya saing dan harga konsumen yang lebih bersahabat.

Sebelumnya pada Oktober tahun lalu OJK juga pernah menerbitkan peraturan tentang kewajiban bagi bank asing untuk membangun onshore data center (ODC) di Indonesia. Rudiantara juga menanggapi baik aturan tersebut, namun ia menekankan bahwa regulasi juga harus disesuaikan, karena beberapa perusahaan hanya bertindak sebagai cabang, tanpa operasionalitas penuh di sini.

Agus Kurniadi selaku Manajer IDC Indonesia menerangkan bahwa kelonggaran aturan pendirian data center (khususnya untuk perusahaan perbankan) akan memiliki efek signifikan untuk Bank di Indonesia, karena data nasabah dan berbagai transaksi lainnya akan disimpan di Indonesia. Dari penelitian IDC tahun 2014 juga disebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang minim akan data center. Sebagian besar data center perusahaan asing ditempatkan di Singapura untuk wilayah Asia Tenggara.

Kurangnya infrastruktur yang memadai dan distribusi listrik yang tidak merata disebutkan sebagai tantangan utama para perusahaan luar untuk membangun data center di Indonesia. Di Indonesia setiap harinya juga ada 8 miliar transaksi perbankan asing. Seluruh bank asing tersebut masih menempatkan data center dan data recovery center di luar negeri. Kendati demikian sebenarnya di Indonesia sudah ada sekitar 14 perusahaan data center yang siap menjadi mitra.