Track1 Ialah Skateboard Elektrik Segala Medan

Gagasan skateboard terbang yang diajukan oleh film Back to the Future Part II membuka mata kita terhadap potensi pemanfaatannya. Tanpa roda, teorinya papan luncur ini memungkinkan user melesat di atas permukaan apapun – jalan raya atau jalan berbatu, hingga air. Tapi bahkan penjelmaan tercanggihnya pun belum bisa menawarkan penggunaan yang praktis.

Jika menginginkan skateboard yang dapat membawa penggunanya menjelajahi medan berbeda, Flux Design Co. punya jalan keluarnya. Perusahaan asal Seattle itu belum lama memperkenalkan Track1, yaitu ‘papan luncur off-road bermesin elektrik’ berdasarkan deskripsi tim penciptanya. Track1 mungkin masih belum bisa melaju di atas air, namun dengannya, Anda dapat bertualang ke lokasi-lokasi yang sebelumnya mustahil dijamah skateboard biasa.

Track1 boleh dibilang merupakan perpaduan antara papan luncur dengan allterrain vehicle. Flux Design Co. merancangnya agar ukuran Track1 tetap ringkas dan mungil agar bisa dimasukkan ke bagasi mobil, serta memastikannya cukup ringan agar mudah dipindah-pindahkan. Ia mempunyai bobot hanya 27-kilogram.

Track1 1

Track1 adalah alat transportasi pertama di kelasnya. Penyajiannya sendiri tak berbeda dari skateboard: pengendara tinggal berdiri di atasnya. Bedanya, ia memiliki sepasang roda raksasa (untuk ukuran papan luncur) di depan, dan track ala tank di belakang – seperti versi mini kendaraan milimeter half-track. Bagian tersebut memberikannya kemampuan menangani kondisi jalan berbeda: pasir, tanah hingga salju.

Track1 3

Flux Design Co. menerapkan sistem kendali yang intuitif. Metodenya mirip seperti menggunakan papan selancar atau skateboard standar, yakni dengan memiringkan tubuh buat belok. Dan karena motor dan pusat gravitasi berada di area belakang, pengguna dapat melakukan manuver-manuver dramatis. Sebagai alternatif, developer juga menyediakan aksesori setang tambahan untuk membuat pengendara berdiri lebih stabil, dipasang di sisi depan sehingga membuatnya terlihat seperti otopet.

Track1 2

Papan luncur off-road ini dibekali motor elektrik bertenaga 5-horse power, mampu melaju di kecepatan 23-kilometer per jam, menjangkau jarak hampir 20-kilometer, mendaki hingga level kemiringan 50 derajat, dan membawa beban maksimal 104-kilogram (developer berjanji untuk meningkatkannya lagi di versi retail). Track1 juga dilengkapi unit baterai built-in, dapat terisi penuh dengan menyambungkannya ke sumber listrik selama tiga jam.

Flux Design Co. sudah mempersilakan Anda memesan Track1 via Indie Gogo sembari berupaya mengumpulkan dukungan dana. Di situs crowdfunding itu, produk ditawarkan seharga mulai dari US$ 2.500, dan rencananya akan mulai didistribusikan pada bulan November 2018.

 

Ojo Adalah Proyektor Portable Mini Untuk Nintendo Switch

Meski bukan jadi pilihan utama gamer, proyektor gaming mempunyai pasarnya sendiri karena perangkat ini menawarkan sejumlah faktor yang tak ada pada solusi display standar seperti monitor atau TV: lebih portable, hemat ruang, dan bisa menampilkan ukuran ‘layar’ sangat lebar. Beberapa produsen hardware terkenal telah menyiapkannya untuk PC, namun belum ada banyak pilihan buat console.

Tapi ada kabar gembira buat para pemilik Nintendo Switch. Anda semua mungkin sudah tahu, keunggulan console ini dibanding perangkat game lain adalah keleluasaan dalam penggunaan. Ia bisa dinikmati layaknya home console standar, serta dibawa-bawa ala platform handheld ketika bepergian. Dan dengan Ojo, Anda bisa membawa sensasi bermain game di ruang keluarga saat sedang berkemah atau mengadakan acara outdoor.

Ojo 1

Ojo ialah proyektor mini pertama untuk Nintendo Switch. Portabilitas menjadi kekuatan utamanya. Selain bisa menampilkan konten permainan, Ojo juga dibekali speaker 5-Watt serta baterai berkapasitas besar. Proyektor memiliki dimensi 172x80x70-milimeter, mengusung desain balok yang hampir menyerupai docking Switch (buat perbandingan, docking Switch berukuran 172x104x53,8mm).

Ojo 2

Seperti docking Nintendo Switch, Ojo mempunyai celah/slot untuk tempat duduk unit tablet. Aktifkan, dan proyektor segera menampilkan display seluas 30- sampai 120-inci dengan tingkat kecerahan 200-lumen. Ojo memanfaatkan teknologi LED OSRAM Jerman, dipersenjatai chip DMD persembahan Texas Instruments demi memastikan output gambar yang jernih, juga mengusung engine eViewTek sehingga konsumsi listriknya 20 persen lebih rendah dari proyektor sekelasnya.

Ojo 3

Tim penciptanya, YesOJO Studio, menjelaskan bahwa pemanfaatan proyektor untuk gaming juga lebih aman buat mata dibanding TV/monitor karena gambar yang Anda lihat merupakan pantulan di objek – tidak langsung dikeluarkan oleh display. Ojo menyuguhkan resolusi 854×480, dengan rasio kontras 1000 banding 1 dan aspek rasio 16:9.

Uniknya lagi, baterai rechargeable built-in di dalam memungkinkan Ojo untuk bekerja tanpa perlu tersambung ke sumber listrik hingga 4 jam. Dan berkat baterai LG 20.400mAh-nya, Ojo bisa bekerja sebagai power bank buat mengisi ulang daya perangkat Anda lainnya. Dan tak cuma Nintendo Switch, Ojo bahkan dapat Anda sambungkan ke laptop, smartphone atau perangkat lain via kabel HDMI atau Lightning.

YesOJO Studio rencananya akan menjajakan Ojo di harga retail US$ 370, mulai tersedia kira-kira pada bulan Desember 2017 nanti. Namun selama periode crowdfunding-nya masih berlangsung di Indie Gogo, proyektor portable untuk Nintendo Switch ini bisa Anda miliki seharga US$ 270 saja.

Terlahir Kembali, Commodore 64 Mini Siap Saingi NES Classic Edition

Retrogaming memang punya konsumen setianya sendiri, namun kepopularitasan segmen ini meroket di triwulan keempat 2016 berkat pelepasan NES Classic Edition. Kesuksesan tak terduga dari console ‘klasik modern’ tersebut mendorong Nintendo untuk menggarap penerusnya, Super Nintendo Entertainment System Classic Edition, yang belum lama ini dirilis.

Namun sebelum perusahaan hiburan Jepang itu mengungkap eksistensi dari NES Mini, startup bernama Retro Games telah lebih dulu menyingkap gagasan serupa. Lewat situs crowdfunding Indie Gogo, tim asal Inggris tersebut memperkenalkan versi baru komputer 8-bit yang dilepas kurang lebih 35 tahun silam. Namun langkah mereka sempat terhenti karena developer gagal mengumpulkan modal yang dibutuhkan.

Commodore 64 Mini 2

Namun mereka tidak kehilangan semangat. Minggu lalu, Retro Games memperkenalkan kembali produk itu, kini mengusung nama baru, Commodore 64 Mini (di-update dari ‘The 64’). Dan mungkin sudah bisa Anda terka, perangkat ini merupakan miniatur dari PC terlaris di zamannya itu, dengan penyajian yang khas, dipadu konektivitas modern.

Meski lebih mungil, Commodore 64 Mini memiliki arahan desain identik dengan C64 klasik: papan ketik berwarna hitam berada di sisi atasnya, dipadu empat tombol function abu-abu di sebelah kanan. Tubuhnya dibalut warna biege familier, kemudian device juga dilengkapi branding warna-warni, pola garis-garis horisontal di area atas keyboard, serta lampu indikator power di pojok kanan atas.

Commodore 64 Mini 1

Volume tubuhnya sendiri hanya separuh dari Commodore 64, sehingga bisa lebih mudah dibawa-bawa. C64 Mini dilengkapi dua port USB di sebelah kanan, sehingga siap mendukung dua periferal kendali tambahan buat dimainkan dua orang; HDMI agar dapat tersambung ke display modern, dan port micro-USB untuk mentenagainya. Selain itu, paket penjualan turut disertai unit joystick ‘bergaya klasik’.

Commodore 64 Mini 4

Commodore 64 Mini menjanjikan pengalaman pengoperasian serupa C64 lawas. Koleksi permainan yang dibundel di sana juga lebih banyak dari punya NES ataupun SNES Classic Edition, dengan total 40 game. Di daftar itu, Anda bisa menemukan judul-judul legendaris semisal Uridium, Paradroid, Hawkeye, Nebulus dan Monty Mole. Lalu buat menyempurnakan sensasi menggunakan Commodore 64, device turut dibekali opsi filter – di antaranya ada CRT, scanline emulation, serta Pixel Perfect.

Commodore 64 Mini 3

Retro Games belum mengabarkan kapan tepatnya Commodore 64 Mini akan dirilis (yang pasti dilepas tahun ini), namun mereka sudah membuka lagi gerbang pre-order. Harganya jauh lebih murah dibanding saat produk ini diperkenalkan tahun lalu, yaitu hanya US$ 70.

Sumber: The64.com.

Beberapa Info Terkait Spesifikasi Ataribox Terungkap, Diotaki Chip AMD

Pelepasan Jaguar dua dekade silam merupakan upaya Atari untuk berkompetisi dengan Sega Genesis dan SNES. Namun karena arsitekturnya yang kompleks, pengembangan game jadi sulit, menyebabkannya kekurangan dukungan developer third-party. Akhirnya, Jaguar hanya terjual sebanyak 250 ribu unit dan Atari memutuskan buat menghentikan produksinya di tahun 1996. Sejak saat itu, Atari tak pernah memproduksi console lagi.

Itulah salah satu alasan mengapa pengumuman mendadak Ataribox di E3 2017 membuat khalayak terkejut. Hampir tidak ada yang menyangka Atari punya agenda untuk meluncurkan hardware gaming baru ketika segmen ini sudah dikuasai nama-nama familier seperti PlayStation, Xbox dan Nintendo. Dan setelah produsen mengungkap wujudnya di bulan Juli lalu, kini tersingkaplah sejumlah detail mengenai spesifikasinya.

Saat pertama kali diperkenalkan, Atari hanya bilang bahwa Ataribox dibangun berdasarkan teknologi PC. Lalu dalam newsletter, sang produsen sempat menyebutkan sejumlah konektivitas fisik di sana: empat buah port USB, HDMI,  serta card reader SD. Dan baru lewat wawancara eksklusif GamesBeat bersama GM Feargal Mac, Atari memberikan info terkait prosesor, sistem operasi, harga, serta waktu perilisan Ataribox.

Ataribox 1

Ataribox kabarnya akan diotaki prosesor AMD kustom dengan GPU Radeon dan berjalan di platform Linux. UI-nya didesain untuk memudahkan pengguna navigasi konten via televisi, dan selain permainan-permainan PC, console juga siap mendukung streaming, menjalankan app non-game, musik, serta menemani Anda berselanjar di web.

Atari memang belum menginformasikan kecepatan prosesor serta performa grafis dalam bentuk angka, tapi mereka bilang, kinerja hardware Ataribox setara dengan PC kelas menengah. Besar kemungkinan, ‘PC rasa console‘ Atari itu masih belum cukup kuat menangani judul-judul blockbuster bergrafis berat. Dan menakar dari hal itu, Ataribox sepertinya ditargetkan untuk anak-anak, remaja dan penikmat game casual – bukan hardcore gamer.

Saat tersedia nanti, Feargal Mac dan timnya akan membundel Ataribox bersama koleksi permainan Atari klasik agar Anda bisa segera bernostalgia. Dan tentu saja, console juga siap menyajikan judul-judul populer semisal Minecraft dan Terraria. Mac menjelaskan, dua game indie itu merupakan salah satu pencetus ide dibuatnya Ataribox, tepatnya saat ia melihat beberapa anak mencoba menyambungkan laptop dengan TV untuk memainkan Minecraft.

Ataribox dirancang buat menjadi jembatan antara fleksibilitas ekosistem PC dan kemudahan penggunan ala console.

Atari berencana  untuk memulai kampanye crowdfunding Ataribox di Indie Gogo pada musim gugur tahun ini, dan akan memasarkannya di musim semi 2018. Produk nantinya dijajakan di harga antara US$ 250 sampai US$ 300.

Jammy Ialah Gitar Digital Portable yang Siap Menenami Anda Bertamasya

Portabilitas ialah aspek penting penunjang hobi yang biasanya dilupakan dan baru disadari saat ketiadaannya menimbulkan masalah. Beberapa hal sudah ada sudah ada jalan keluarnya: laptop gaming buat gamer yang sering bepergian dan tablet eReader untuk mereka yang tidak bisa jauh dari buku. Tapi bagaimana jika hobi Anda adalah bermain gitar?

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika Anda ingin membawa gitar kesayangan sewaktu berlibur: ia harus terlindung dari benturan dan suhu ekstrem. Sejauh ini, cara paling logisnya hanyalah menggunakan hard case yang berat dan menghabiskan tempat. Namun sebuah solusi inovatif diajukan oleh inventor Dmitry Shemet, dihadirkan dalam bentuk gitar digital portable bernama Jammy.

Jammy 2

Menjanjikan sensasi bermain gitar sejati, Jammy dapat bekerja tanpa memerlukan komponen-komponen krusial yang memakan tempat. Ketika tidak dipakai, tubuh Jammy bisa disusutkan hingga memiliki panjang 32-sentimeter saja, sehingga dapat diselipkan dalam koper. Lalu jika Anda ingin bermain gitar, fretboard bisa ditarik, dengan panjang maksimal 50-sentimeter.

Selanjutnya, Anda bisa memasangkan pickguard serta strap. Jammy menyajikan senar gitar dari bahan kawat baja yang dipilin, sehingga pengalamannya tak berbeda dari menggunakan gitar sungguhan. Perangkat ini dibekali port USB type-C, port audio 1/8-inci, LED sebagai indikator posisi fret perama, sensor sentuh, serta rangkaian tombol navigasi. Jammy juga dilengkapi baterai internal 1.000mAh, mampu menyuguhkan sesi bermusik selama dua jam.

Jammy 1

Untuk memainkannya, Jammy dapat bekerja tanpa memerlukan app – tinggal pasangkan headphone apapun atau sekalian sambungkan ke amplifier. Tak seperti gitar 6-senar biasa, instrumen musik digital unik ini mampu mengemulasikan suara 17 gitar legendaris, dari mulai glam rock 80-an hingga rockabilly tahun 50-an. Jammy menyimpan processor built-in yang sanggup memproduksi output analog maupun MIDI, memungkinkan senarnya mendeteksi level tekanan berbeda serta membaca posisi jari secara via sensor di lima fret.

Jammy 3

Tentu saja developer tak lupa menyiapkan aplikasi companion untuk Jammy, tersedia buat perangkat iOS ataupun Android. Dengan app ini, Anda bisa memilih genre musik, mengkases opsi suara gitar berbeda, hingga berlatih memainkan lagu-lagu favorit ala game Rockband.

Dmitry Shemet dan tim Play Jammy saat ini sedang melangsungkan kampanye crowdfunding di Indie Gogo, dan kabar gembiranya, target stretch sudah terpenuhi. Di sana, Jammy dijajakan seharga US$ 350 – US$ 100 lebih murah dari harga retail – dan akan mulai didistribusikan pada bulan April 2018.

Mouse Vertikal Delux Siap Dukung Para Pekerja Kantor Hingga Gamer Pro

Tak banyak orang menyadari tapi ada kelemahan pada desain mayoritas mouse yang kita pakai sehari-hari, meskipun Anda mengeluarkan banyak uang untuk membelinya. Selama mouse didesain secara horisontal, maka periferal tersebut sebetulnya membebani pergelangan tangan Anda. Alasannya? Posisi tangan paling rileks sebetulnya ialah ketika Anda bersalaman.

Itu sebabnya mulai banyak produsen dan desainer memanfaatkan arahan desain berbeda. Bukannya menggunakan rancangan standar, beberapa mouse ergonomis kini mengusung tubuh vertikal. Dan kreasi baru startup asal Tiongkok yang dinamai Delux Mouse ini kabarnya tak hanya disiapkan buat mendukung kegiatan kerja, tapi juga menunjang kebutuhan para gamer profesional.

Delux Mouse 1

Delux adalah mouse berdesain unik, wujudnya cukup kontras dengan periferal sejenis. Penampilan mouse menyerupai adonan roti yang dilipat, lalu rangkaian tombol utama dan scroll wheel diposisikan berlawanan dari sisi thumb button. Rancangannya dibuat sedikit miring ke kiri (jika dilihat dari belakang) untuk menumpu telapak tangan kanan Anda. Tubuhnya berwarna hitam, dibingkai garis lampu LED di area pinggir Delux.

Delux Mouse 4

Menurut tim pencipta Delux, gerakan horisontal saat memakai mouse biasa menyebabkan otot jadi terpelintir dan membuat tangan jadi cepat lelah, apalagi ketika Anda menggunakannya untuk ber-gaming secara intens. Desain Delux diklaim memastikan tangan tetap lemas, walau Anda memakainya selama lima jam non-stop. Selanjutnya, faktor kenyamanan Delux disempurnakan dengan penggunaan bahan Fellowes gel di bagian wrist rest.

Delux Mouse 3

Delux mempunyai empat tombol: klik kiri, kanan dan tombol pada scroll wheel; beserta sepasang thumb button di atas dan bawah ceruk tempat Anda memposisikan jempol. Periferal ini berdimensi 148,85X94,82×98,93-milimeter dengan berat 210-gram. Ada dua varian Delux, yaitu wired dan wireless. Perbedaan antar keduanya di sisi penampilan hanya terletak pada kehadiran LED (hanya versi kabel yang dibekali LED RGB).

Di varian berkabel, Delux menyajikan lima level DPI, yaitu 800/1200/1600/2400/400; sedangkan model wireless hanya memiliki tiga level DPI, 800/1600/2400. Keduanya menyuguhkan polling rate 500Hz dan dijanjikan mampu bekerja sempurna di semua tipe komputer. Khusus di model wireless, Delux membutuhkan baterai AA, tapi pemakaian dayanya sangat irit, dapat bertahan hingga delapan bulan.

Produsen saat ini sedang melangsungkan kampanye pengumpulan dana di Indie Gogo. Di situs crowdfunding tersebut, varian wired dan wireless Delux Mouse dijajakan di harga yang terjangkau, masing-masing hanya dibanderol US$ 56 dan US$ 63.

Spacemap Beoncam Ialah Kamera 360 yang Bisa Anda Kenakan Seperti Jam Tangan

Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan kamera omnidirectional untuk konsumen biasa: merekam video 360 derajat dan memungkinkan fotografi VR. Kepopularitasannya terus membumbung setelah platform sharing video dan sosial media raksasa mulai memberikan dukungannya terhadap dua tipe konten tersebut. Dan saat ini tersedia banyak sekali pilihan kamera 360.

Masing-masing produk seperti Ricoh Theta SC, LG 360 Cam, Samsung Gear 360, Kodak Pixpro SP360 menjanjikan fitur andalan, namun meskipun mengusung desain berbeda, pemakaiannya kurang lebih sama. Mencoba menawarkan alternatif penggunaan yang lebih portable, tim asal Singapura Spacemap memperkenalkan Beoncam, kamera omnidirectional wearable yang bisa Anda kenakan di pergelangan tangan.

Spacemap Beoncam 2

Sekilas, Spacemap Beoncam terlihat seperti arloji biasa, mempunyai ukuran 46,6×24,5mm. Desainnya sangat menarik (meski sedikit tebal), bobotnya ringan (55g), anti-cipratan air, dan layaknya jam tangan, Beoncam dapat menunjukkan waktu. Modul utama itu diposisikan di wristband dan bisa dilepas. Dengan menambahkan mounting, Anda dapat menempatkannya di setang sepeda, helm, hingga tripod. Produsen melengkapinya dengan tiga tombol fisik, berfungsi sebagai tombol power, shutter foto, dan memulai rekaman.

Spacemap Beoncam 3

Beberapa faktor andalan di Beoncam adalah fitur ‘always on‘ di mana Anda bisa segera mengaktifkannya dari mode standby melalui satu sentuhan, dipadu baterai rechargeable yang awet. Lewat dua kemampuan itu, sang produsen berjanji Anda tidak akan pernah lagi melewatkan momen-momen berharga. Baterai tersebut dapat diisi ulang lewat port microUSB, sanggup bertahan hingga empat hari sekali charge.

Spacemap Beoncam 1

Lewat aplikasi companion untuk smartphone (ada di iOS ataupun Android) yang tersambung ke kamera 360 via Bluetooth atau Wi-Fi, Anda dapat mengakses live preview, mengendalikan Beoncam dari jauh, serta mengunduh gambar dan video ke handset. App juga terintegrasi ke sosial media, memungkinkan Anda menggunggah foto dan video langsung ke Facebook, WhatsApp ataupun YouTube.

Spacemap Beoncam menyuguhkan field of view 360 plus 190 derajat, didukung lensa wide-angle serta sensor CMOS 5-megapixel. Kamera mampu menjepret gambar di resolusi 2592×1920 dan 2960×1680 dalam format JPEG, merekam video 1200x1200p di 25fps, serta streaming (buat live preview) 720p di 15fps. Beoncam hanya bisa menahan cipratan air, tapi Spacemap sudah menyiapkan casing anti-air.

Saat ini Spacemap sedang melangsungkan kampanye penggalangan dana di situs crowdfunding Indie Gogo, menargetkan angka US$ 30 ribu. Selama prosesnya masih berlangsung, Beoncam dapat Anda pesan cukup dengan mengeluarkan uang US$ 100 saja.

Sumber: PR Newswire.

GPD Pocket Adalah Netbook Sebesar Console Handheld

Dengan mengusung nama GamePad Digital, tidak sulit menebak bisnis apa yang jadi fokus perusahaan asal Shenzhen itu. Sejak 2010, GPD bermain di ranah penyediaan console portable Android, hingga akhirnya mereka memperkenalkan console handheld Windows awal tahun lalu. Dan di 2017, GPD punya agenda untuk melangkah ke segmen yang ‘lebih produktif’.

Kembali menggunakan platform crowdfunding untuk mempresentasikan perangkat barunya, GamePad Digital kali ini menyingkap GPD Pocket, sebuah netbook super-mungil dengan pilihan sistem operasi Windows 10 atau Ubuntu. Menurut sang produsen, laptop di masa depan tak hanya dirancang agar bertubuh ringan dan tipis, namun juga dibuat agar wujudnya kecil sehingga mudah dibawa-bawa seperti smartphone.

GPD Pocket 1

Memang seberapa mungilkah GPD Pocket? Perangkat memiliki lebar 180x106mm, berketebalan hanya 18,5mm, dengan bobot tak sampai setengah kilogram (tepatnya 480-gram). Sebagai jendela mengakses konten, GamePad Digital menyiapkan layar 7-inci. Dan kabar gembiranya, produsen tidak berkompromi pada kualitas panel. Pocket menghidangkan display IPS 1920×1200 323,5ppi – lebih padat dari Apple Macbook Air dan Microsoft Surface 3.

GPD Pocket 2

Tubuh dari GPD Pocket tersusun atas material serupa device-device populer itu, memanfaatkan logam magnesium yang dibentuk secara detail. Buat mendukung faktor daya tahannya, layar GPD Pocket diproteksi lapisan Corning Gorilla Glass 3. Aspek konektivitas fisiknya juga tidak dilupakan. Pocket didukung sebuah port USB 3.0, microHDMI, USB type-C dan port audio 3,5mm.

GPD Pocket 3

Untuk input-nya, GPD Pocket mengadopsi rancangan papan ketik ‘chocolate‘; tuts-nya tipis, ergonomis, dan permukannya dibuat agar tidak lengket di jari. GamePad Digital mengklaim bahwa keyboard tersebut lebih nyaman serta lebih akurat dibanding metode input Microsoft Surface 3. Lalu untuk mengendalikan kursor mouse, Pocket menyuguhkan trackpoint beserta sepasang tombol.

GPD Pocket diotaki chip Intel Atom x7-Z8750 quad-core 1,6GHz, didukung GPU Intel HD Graphics 405, RAM LPDDR3 8GB, penyimpanan internal 128GB, dan tenaganya dipasok unit baterai lithium 7.000mAh, memastikan device bisa aktif hingga 12-jam pemakaian. GamePad Digital menawarkan dua pilihan sistem operasi, yakni Windows 10 Home dan Ubuntu 16.04 LTS – OS Linux paling populer dan bersahabat buat pengguna awam.

Kampanye GPD Pocket yang dilangsungkan GamePad Digital di Indie Gogo sangat sukses, mereka berhasil mengumpulkan dana hampir tujuh kali target awal (lebih dari US$ 1,345 juta). Produk rencananya akan dijajakan di harga retail US$ 600, tapi selama periode crowdfunding berlangsung, Anda bisa memilikinya dengan mengeluarkan uang US$ 400 saja.

Sumber: GPD.

The MotherBox Bisa Isi Ulang Baterai Smartphone Anda Dari Jauh

Wireless charger memanfaatkan gelombang elektromagnetik agar bisa melakukan proses isi ulang baterai tanpa kabel. Daya dikirimkan via teknik induksi: medan elektromagnetik dihasilkan oleh kumparan di base, lalu diubah lagi menjadi energi oleh kumparan di perangkat bergerak. Tapi sejauh ini, metode tersebut mengharuskan kita menempelkan device di charger.

Inventor bernama Josh Yank dan tim asal Columbia University mengajukan solusi atas keterbatasan itu lewat device bernama The MotherBox. Diklaim sebagai ‘charger wireless sesungguhnya’, The MotherBox memungkinkan kita men-charge smartphone dari jarak jauh secara nirkabel – sama sekali tidak perlu menyentuh unit charger. Kabar baiknya lagi, device dapat dimanfaatkan baik oleh pemilik perangkat iOS maupun Android.

The MotherBox sebetulnya terdiri dari dua bagian. Jantung dari kemampuannya adalah unit base berbentuk bola poligon. Yank Technologies, startup yang dipimpin oleh Josh Yank, menawarkan dua model, yaitu varian standar (berukuran 15,24×15,24cm) dan MotherBox Mini (8,9×8,9cm). Charger tersebut mampu mengisi baterai beberapa perangkat berbeda, dan bisa tetap berfungsi meski ada penghalang antara charger dan smartphone.

Komponen kedua ialah lapisan receiver tipis buat disematkan ke bagian dalam case. Developer mengabarkan bahwa The MotherBox sudah mendukung handset-handset populer buatan Apple, Samsung, Huawei, LG, HTC dan Google; memanfaatkan connector Lightning, microUSB serta USB type-C untuk menyalurkan tenaga yang diperoleh receiver ke baterai di smartphone.

Dengan The MotherBox, Yank menjanjikan kebebasan pemakaian smartphone meskipun Anda harus mengisi ulang baterai karena perangkat tidak lagi tertahan di suatu tempat. Pengguna bisa tetap melakukan panggilan dan ber-video call tanpa terganggu, atau menonton video sembari tidur-tiduran di atas sofa.

The MotherBox 2

Tentu saja efektivitas performa charging The MotherBox dipengaruhi oleh jarak. Semakin dekat, maka jumlah transfer daya juga jadi lebih besar. Versi standar The MotherBox bekerja efektif di jarak 1,5- sampai 6,1-meter dengan tenaga 2-Watt (waktu charge setara USB 2.0) hingga 10-Watt; sedangkan The MotherBox Mini beroperasi dari jarak 1,5- sampai 3-meter. Walaupun tipe Mini menjangkau jarak lebih pendek, ia dapat mengirimkan notifikasi ketika baterai internal mulai menipis karena tipe ini saja yang menyimpan fitur ala power bank.

Saat ini Josh Yank dan timnya sedang melangsungkan kampanye pengumpulan dana di situs Indie Gogo, menargetkan angka US$ 25 ribu. Di situs crowdfunding itu, The MotherBox bisa Anda pesan seharga US$ 80 (versi biasa) atau US$ 90 (Mini).

Bertubuh Mungil, Cisor Suguhkan Suara 10 Kali Lebih Bertenaga Dari Speaker Portable Lain

Speaker portable lahir karena meningkatnya permintaan konsumen terhadap perangkat musik buat digunakan di luar ruangan atau untuk menemani mereka dalam perjalanan. Demi memenuhinya, produk umumnya didesain agar bertubuh mungil dan beberapa dari mereka juga dibekali fitur-anti air. Tapi tak bisa dipungkiri, volume tubuh seringkali memengaruhi performa.

Kendala inilah yang kabarnya berhasil disingkirkan oleh Damson Audio. Beberapa tahun silam, perusahaan asal Yorkshire itu mengajukan sebuah terobosan di ranah suara lewat produk bernama Cisor. Orang-orang yang telah menjajalnya mengakui bahwa Cisor merupakan salah satu speaker portable terbaik. Bermaksud menyajikannya ke lebih banyak orang, kali ini developer menggunakan platform crowdfunding buat memasarkannya.

Sistem yang diusung perangkat ini membuatnya berbeda dari speaker portable lain. Ketika speaker tradisional mengandalkan cone buat mengubah gelombang jadi suara sehingga bisa didengar telinga kita, Cisor memanfaatkan teknologi incisor diffusion, yaitu menggunakan permukaan benda sebagai ‘cone‘. Lewat teknik tersebut, Cisor mampu menghidangkan jangkauan suara sangat luas, dari mulai serendah 30Hz (efeknya ialah bass yang dalam) hingga setinggi 15KHz.

Damson Cisor 1

Efek lainnya adalah, Cisor mampu menyuguhkan suara lebih kuat sepuluh kali lipat dibanding device sekelas. Kombinasi dari dua unit sanggup mengisi ruang seluas 42 meter persegi dengan suara stereo. Tambatkan ia di kaca mobil via mount, maka seluruh kendaraan Anda berubah jadi speaker berjalan – suaranya terdengar baik di sisi luar maupun dalam. Menariknya lagi, permukaan berbeda (misalnya kaca, kayu dan logam) menghidangkan karakteristik bunyi yang distingtif pula.

Damson Cisor 2

Alasan Damson susah-susah mengadopsi teknologi ini adalah keterbatasan speaker portable biasa dalam menyajikan bass dan nada tinggi. Itu sebabnya sistem Hi-Fi memanfaatkan unit subwoofer terpisah. Walaupun solusi ini diandalkan banyak produsen, pemakaian terus-menerus membuat cone kehilangan kemampuan amplifikasinya. Akibatnya, kualitas musik lama-kelamaan jadi berkurang.

Teknologi incisor diffusion Damson di Cisor menggantikan peran kumparan yang tertambat di magnet pada speaker tradisional, bertugas ‘mengarahkan’ frekuensi ke area bawah menuju permukaan. Selanjutnya, gelombang disebar di sana.

Cisor mempunyai tubuh berbentuk tabung yang tersusun atas kombinasi material aluminium, silikon serta ABS, dengan dimensi 78×58-milimeter dan bobot 320g. Baterai build-in di sana memberikan waktu playback hingga enam jam, bisa diisi ulang via port USB type-C.

Damson Cisor bisa Anda beli seharga mulai dari US$ 50 di Indie Gogo (bundel bersama mount dijajakan di US$ 70).