Melihat Komitmen Perusahaan Asuransi pada Pengembangan Inovasi digital

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana teknologi merevolusi industri keuangan, atau yang kini akrab disebut fintech. Tren ini tidak hanya dimonopoli beberapa kaum bisnis saja, seperti pembayaran digital dan peer-to-peer lending, tetapi juga telah membuka peluang besar terhadap insurtech.

Sejalan dengan semakin berkembangnya platform insurtech, semakin banyak yang meyakini teknologi dapat menjadi kunci untuk memberikan akses lebih ke masyarakat yang selama ini tidak tahu-menahu dan merasa perlu terhadap produk asuransi.

Memang anggapan ini belum dapat tervalidasi seutuhnya mengingat tren insurtech baru ramai beberapa tahun belakangan. Selain itu, penetrasi asuransi di Indonesia masih sangat rendah, atau berkisar 2-3 persen dari total populasi, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di 2019.

Di sisi lain, sebetulnya kita dapat melihat momentum pertumbuhan insurtech di Indonesia sebagai tanda dimulainya kesadaran digital dalam industri yang selama ini dicap sebagai “late adopter” di bidang teknologi.

Sejumlah startup, seperti PasarPolis, RajaPremi, Qoala, Wowpremi, hingga Futuready, mulai meramaikan pasar insurtech. Jumlah pemain ini tentu akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya literasi terhadap produk asuransi.

Sejumlah perusahaan asuransi berskala besar yang bertahun-tahun menjalankan model bisnisnya secara tradisional, kini sudah memulai berbagai inisiasi untuk berkomitmen di digital. Beberapa di antaranya adalah Axa MyPage, Asuransiku, eAZy Connect, dan MiMo.

Inisiatif digital melalui pengembangan aplikasi

Jika bicara inisiatif digital, hal ini akan tergantung bagaimana perusahaan memandang kebutuhan. Namun, langkah awal biasanya dimulai melalui pengembangan aplikasi, baik untuk pelanggan maupun kebutuhan internal.

Tujuannya bermacam-macam. Bisa untuk mempermudah proses klaim, proses penjualan dari pihak agen, penambahan customer baru, atau peningkatan customer experience.

PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), misalnya, meluncurkan digiAsk atau aplikasi Personal Accident Insurance yang dapat diakses melalui desktop maupun perangkat mobile di 2018.

Mengutip Kompas.com, Direktur Utama Askrindo Asmawi Syam mengungkap bahwa pihaknya tidak lagi menyasar segmen asuransi kredit, melainkan masuk ke bisnis asuransi umum melalui peluncuran aplikasi digiAsk.

Di tahun yang berikutnya, Mandiri Inhealth mengomersialisasikan aplikasi MI-Mobile (MIMO) yang berfungsi untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh data dan informasi manfaat asuransi bagi para penggunanya.

Komitmen anak usaha Bank Mandiri untuk membuka diri terhadap produk digital juga dibuktikan untuk memperluas target pasar premi yang tadinya hanya untuk korporat atau B2B menjadi ke pasar individual.

Kepala Divisi Teknologi dan Informasi Mandiri Inhealth Andang Nugroho mengungkap bahwa perusahaan juga tengah mengembangkan produk digital baru yang akan menjadi turunan dari aplikasi MiMo, yakni aplikasi Dokter Keluarga.

Menurutnya, aplikasi ini akan memperkuat ekosistem produk asuransi Mandiri Inhealth dengan mengintegrasikan kepada para pesertanya di masa depan.

“Aplikasi ini akan memberikan gambaran penuh tentang layanan Mandiri Inhealth ke peserta hingga dokter. Aplikasi ini dikembangkan seluruhnya di internal, dan saat ini masih pilot, karena tidak semua dokter sudah digital-minded,” tuturnya kepada DailySocial.

Komitmen melalui innovation lab dan kolaborasi

Salah satu perusahaan asuransi yang telah menaruh komitmen penuh pada digital adalah Allianz Indonesia. Hal ini dibuktikan melalui kehadiran Allianz Innovation Lab yang dibangun sejak 2018.

Bahkan sebelum innovation lab didirikan, perusahaan sudah menelurkan berbagai inisiatif digital yang berfokus pada peningkatan customer experience melalui layanan eAZy Connect dan eAZy Med.

“Kami berbeda dari yang lain karena kami betul-betul berinvestasi di digital. Maka itu, innovation lab ini dibangun ketika kami memutuskan untuk fokus pada customer experience,” kata Direktur Utama Allianz Indonesia Joos Louwerier kepada DailySocial.

Di samping melakukan inovasi secara internal, ia juga menyebutkan pentingnya kolaborasi dan sinergi dengan startup sebagai bagian dari pengembangan produk. Allianz sudah bermitra dengan Bukalapak, Gojek, dan Halodoc untuk memasarkan produknya.

Saat ini, kolaborasi Allianz dengan para marketplace masih dalam kapasitas learning phase. Namun, ia tidak menutup pintu terhadap potensi kolaborasi dengan startup lainnya di 2020.

“Fokus kami ke depan adalah berkolaborasi dengan pemain sukses yang memiliki basis customer yang besar. Bagi kami insurtech itu penting, karena inovasi justru datang dari mereka [startup],” tuturnya.

Data terintegrasi menjadi kunci

Sebagaimana disampaikan di awal, rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia menandakan buruknya literasi asuransi di kalangan masyarakat. Bagi Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dadang Sukresna, kolaborasi antar-perusahaan asuransi dan startup tidak cukup untuk meningkatkan literasi.

“Sinergi menjadi jalur yang dapat diandalkan, tetapi bukan kunci utama, karena asosiasi asuransi dan OJK tetap harus mengedukasi pasar untuk meningkatkan penetrasi,” ungkap Dadang kepada DailySocial.

Di sisi lain, pengamat asuransi Azuarini Diah Parwati menilai tren insurtech di Indonesia akan memiliki masa depan cerah. Menurutnya, cepat atau lambat seluruh perusahaan asuransi harus mulai memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produknya.

“Pemasaran asuransi melalui digital dapat meningkatkan literasi kesadaran masyarakat untuk berasuransi. Terlebih masyarakat juga semakin melek teknologi,” tutur Azuarini kepada DailySocial.

Akses terhadap data terintegrasi masih menjadi kendala utama untuk dapat memaksimalkan peran utama pelaku insurtech di Indonesia. Artinya belum semua perusahaan asuransi mau berbagai atau membuka datanya terhadap pemain digital.

Padahal, data tersebut dapat diolah menjadi sebuah produk atau penilaian risiko (scoring) yang nantinya dapat bermanfaat terhadap peningkatan literasi dan penetrasi asuransi di Indonesia.

Mengutip data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Azuarini menyebutkan kontribusi penjualan premi melalui online atau digital baru mencapai 0,01 persen dari total penjualan premi sebesar Rp54,57 triliun di Indonesia.

Kaleidoskop Startup Teknologi Asuransi Sepanjang 2019

Asuransi adalah produk keuangan yang secara umum penetrasinya masih rendah di Indonesia. Kemunculan insurtech beberapa tahun terakhir berpeluang menambal kekosongan besar itu.

Sepanjang 2019 ini, industri insurtech di Indonesia dapat dikatakan cukup berkembang. Kami mencatat sejumlah cerita penting yang dihasilkan dari perjalanan setahun ini oleh para startup insurtech mulai dari pendanaan, ekspansi, hingga kolaborasi. Berikut ulasan lengkap dari kami.

Pendanaan dan investasi

Kabar pertama datang dari MDI Ventures yang mengumumkan rencananya untuk mengucurkan uang ke startup asuransi digital asal Singapura bernama CXA Group pada Maret silam. CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengatakan pendanaan tersebut akan bersinergi dengan jaringan Telkom Group perihal bisnis dan inovasi CXA.

Berita berikutnya berasal dari startup Qoala. Pada Mei lalu Qoala berhasil mengamankan pendanaan seed round sebesar US$1,5 juta atau sekitar Rp21,6 miliar dari Sequoia Capital India (Surge). Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin menyebut pendanaan ditujukan untuk inovasi teknologi asurasi bermacam industri dengan harapan memperluas jangkauan dan edukasi produk asuransi mikro di kota-kota kecil Indonesia.

Terakhir pada November lalu, Mandiri Capital Indonesia (MCI) menyebut ketertarikannya terhadap insurtech sebagai bagian dari rencana pendanaan mereka di tahun depan. CEO MCI Eddi Danusuputro mengungkap pihaknya menyiapkan sekitar Rp50 miliar untuk tiga startup yang bergerak di fintech dan insurtech yang masih di tahap pra seri A.

Go International

Dari sejumlah pemain insurtech di Tanah Air, nama PasarPolis bergaung ketika mereka mengumumkan ekspansi bisnisnya ke level Vietnam dan Thailand. Ekspansi ini tak bisa dilepaskan dari kucuran pendanaan seri A yang mereka peroleh dari Gojek, Tokopedia, dan Traveloka pada tahun sebelumnya.

Langkah berani PasarPolis ini diikuti dengan penunjukkan country manager untuk masing-masing negara. Adapun produk yang mereka tawarkan dalam ekspansi itu meliputi asuransi keselamatan konsumen ride-hailing, pengiriman barang, serta pengiriman makanan.

Kolaborasi

Beberapa startup insurtech menghiasi pemberitaan melalui aksi kerja sama mereka dengan startup lain. Langkah ini dilakukan tentu untuk melebarkan jangkauan layanan mereka demi meraup pasar yang lebih besar.

Yang paling anyar adalah kerja sama antara Futuready dengan e-commerce Ralali. Dalam kolaborasi ini Futuready menjadi penyedia asuransi B2B untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lewat kolaborasi ini, kedua startup menargetkan satu juta UMKM menjadi nasabah asuransi mereka.

Kolaborasi berikutnya datang dari Grab dan Qoala. Produk asuransi yang ditawarkan melalui kerja sama tersebut berupa asuransi proteksi ponsel, lebih tepatnya terhadap layar ponsel. Namun perlu dicatat kolaborasi yang diumumkan pada awal November ini masih bersifat eksperimen. Dengan produk ini Grab menyusul super app rival mereka, Gojek, yang sudah memiliki layanan asuransi sejak empat tahun lalu.

Mundur dua bulan sebelumnya, kabar kolaborasi juga datang dari tanamduit dengan Premiro. Sebagai platfrom investasi, tanamduit menggandeng Premiro untuk merambah pasar asuransi terutama untuk segmen milenial. Produk yang mereka tawarkan meliputi perlindungan ponsel hingga perlindungan dari sejumlah penyakit seperti demam berdarah (DB).

Hal lain yang perlu dicermati

Penting untuk diingat industri asuransi sedang tumbuh. Penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat rendah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut penetrasi asuransi hanya 2-3% dari total populasi. Insurance Technology Survey 2019 yang diterbitkan DSResearch menunjukkan ada sejumlah penyebab rendahnya penetrasi tersebut mulai dari aksesibilitas produk asuransi, harga yang terlalu mahal, hingga minimnya pengetahuan akan manfaat asuransi.

Namun hal itulah yang membuat mereka yang menggeluti insurtech kian berlomba-lomba berebut pasar. Dengan dasar demikian regulator, dalam hal ini OJK, tampak masih memberi kelonggaran lebih untuk mendukung pertumbuhan pasar.

Namun kelonggaran itu tak akan berlangsung lama lagi. Pasalnya OJK kini tengah menggodok peraturan baru untuk insurtech. Menurut laporan Kontan, aturan yang sedang diracang itu terkait dengan aspek salura distribusi seperti agregator, marketplace, dan peer to peer insurance, serta proses model asuransi yang lebih terdigitalisasi.

Ralali dan Futuready Sasar Pasar Asuransi B2B untuk UMKM

Ralali resmi mengumumkan kerja samanya dengan Futuready pada Selasa ini. Lewat kerja sama tersebut, Ralali dan Futuready mematok target 1 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebagai nasabah asuransi B2B, hingga akhir tahun depan.

“Itu target akhir. Target awalnya 10.000-20.000 dari jumlah UMKM yang ada sudah bisa merasakan asuransi tersebut, tapi tetap target akhirnya 1 juta,” ujar SVP of Financial Business Ralali, Alvin Aulia Akbar.

Penyediaan produk asuransi untuk UMKM menjadi fokus Ralali dalam kerja sama ini. Pertama-tama hal ini tak lepas dari jumlah pengusaha UMKM yang berkisar 60 juta lebih. Sebagian kecil atau tepatnya 8 persen dari jumlah itu belum memanfaatkan layanan digital.

Alvin melanjutkan dalam produk ini UMKM mana pun bisa bergabung dengan membeli produk asuransi mulai dari harga Rp5.000 per bulan. Namun dari sekian banyak UMKM yang ada, mereka mengaku masih berfokus ke UMKM seperti warung, restoran, kafe, hingga toko elektronik.

“Dua segmen ini yang paling potensial di Indonesia, paling tidak ada 5 juta untuk kedua segmen ini,” imbuhnya.

Selain jenis-jenis usaha tersebut COO Ralali Alexander Lukman mengatakan pihaknya juga mempersilakan bagi para pelaku UMKM yang beroperasi mengandalkan gerobak. Dengan asuransi dari Futuready ini, Alex meyakini UMKM dapat terlindungi dari risiko-risiko tak terduga seperti huru-hara, banjir, hingga pemadaman listrik.

“Mungkin tidak semuanya, tapi setidaknya sekitar 70-80 persen bisa ter-cover,” ungkap Alex.

Ada sejumlah faktor yang membuat Ralali dan Futuready yakin produk asuransi mereka dapat dilirik oleh pelaku UMKM. Selain harga yang terjangkau, mereka mengandalkan Big Agent milik Ralali.

Big Agent yang merupakan agen lepas dengan sistem komisi yang melaksanakan tugas promosi, akuisisi, dan survei pasar. Sebanyak 300.000 agen yang biasanya terdiri dari mahasiswa, karyawan, hingga pengemudi ojek online, di seluruh Indonesia inilah yang nantinya memberi pengertian kepada pemilik UMKM untuk melindungi usahanya yang mayoritas merupakan single-income business.

“Mungkin sudah ada rumah toko yang bisa diasuransi. Tapi ini gerobak dan saya kira ini belum ada sebelumnya padahal kita tahu sendiri banyak sekali gerobak UMKM di Indonesia. Makanya untuk aksesibilitas kita mengandalkan Big Agent,” aku Head of Corporate Business Futuready, Gretel Griselda.

Setidaknya ada tiga jenis asuransi yang ditawarkan oleh Ralali dan Futuready ini. Mereka adalah Asuransi Fire yang ditujukan pemilik properti usaha bergerak seperti gerobak, Asuransi Pendidikan untuk melindungi pendidikan anak pemilik usaha, dan Asuransi Perlindungan Bisnis yang dapat membantu pemilik bisnis tetappunya pemasukan meski usaha sedang tidak beroperasi.

Rencana Tahun Depan

Produk asuransi baru ini memantapkan upaya Ralali membangun ekosistem pengembangan bisnis UMKM di platform mereka yang terdiri dari pembayaran, pinjaman, investasi, dan asuransi.

Alex tak menutup kemungkinan tahun depan akan ada perluasan keempat hal tadi dengan menyediakan infrastruktur logistik B2B di platform mereka. Hal ini memungkinkan bagi mereka dengan kembali menggandeng sejumlah penyedia jasa logistik pihak ketiga maupun pengiriman kargo bisnis.

Di samping itu, Ralali juga membuka kemungkinan membuka layanan gudang di platform mereka. Caranya dengan menggandeng mitra startup yang sudah bermain di sektor tersebut

“Saat ini kami sudah ekspansi di 35 kota, per akhir tahun ini akan di 55 kota. Di sana kami akan bangun fulfilment center. Lagi-lagi ini kan industri 4.0, ngakunya punya gudang tapi bukan punya kita. Kita kerja sama dengan mitra di kota tersebut agar bisa melayani lebih cepat dan lebih murah,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

With Rp50 Billion In Hand, Mandiri Capital Indonesia Aims for Three Indonesian Startups Next Year

As a CVC under Bank Mandiri focusing on investment for fintech startups and its supports, Mandiri Capital Indonesia (MCI) claims to have around Rp50 billion funding ready to pour on Indonesian startups.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said at the announcement of funding to Halofina, that startups focusing on fintech and insurtech have become the main priority. In fact, it’s to be integrated with Bank Mandiri ecosystem and its subsidiaries.

Invested in 13 fintech startups

In total, MCI has invested in 13 fintech startups, including Amartha, PrivyID, Moka, and Investree. In 2020 MCI has plans to invest in 2 or 3 more startups.

“From the beginning we’re not to be very aggressive investing in many startups. Therefore, we only choose the finest local startups interested in developing fintech and insuretech by focusing on product innovation and processing,” he said.

Despite the lack of local players in this sector, MCI has been interested in local remittance services that is to provide relevant services and technologies. Eddie thought, this is quite a great potential, considered the number of migrant workers in need for these services.

“It is probable that we will start focusing on this potential at MCI. For this reason, we are still looking for local startups that have this potential,” he added.

Meanwhile, a service like Halofina that offers digital investment assistant is expected to be implemented into groups or subsidiaries.

“With Halofina, we’re planning to embed the technology into all services available in the ecosystem of Mandiri subsidiaries. One of which is Mandiri Investment Management,” Eddie said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Siapkan Rp50 Miliar, Mandiri Capital Indonesia Bidik Investasi ke Tiga Startup Indonesia Tahun Depan

Sebagai CVC kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengklaim masih memiliki dana sekitar Rp50 miliar yang siap digelontorkan bagi startup Indonesia.

Ditemui saat pengumuman pendanaan ke Halofina, CEO MCI Eddi Danusaputro menyebutkan, startup yang menyasar fintech dan insurtech masih menjadi prioritas utama mereka. Tentu saja agar bisa diintegrasikan ke dalam ekosistem Bank Mandiri dan anak-anak perusahaannya.

Telah berinvestasi di 13 startup fintech

Secara keseluruhan, MCI telah melakukan penyertaan modal di 13 startup fintech, termasuk Amartha, PrivyID, Moka, dan Investree. Tahun 2020 mendatang MCI memiliki rencana untuk berinvestasi kepada 2 atau 3 startup lagi.

“Sejak awal kita memang tidak mau agresif untuk berinvestasi kepada banyak startup. Untuk itu kita sengaja memilih startup lokal terbaik yang tertarik untuk mengembangkan layanan fintech hingga insuretech dengan memfokuskan kepada inovasi produk dan processing,” kata Eddie.

Meskipun masih belum banyak pemain lokal yang bermain dalam sektor ini, MCI juga mulai melirik layanan remittance lokal yang bisa menyediakan layanan dan teknologi yang relevan. Menurut Eddie, potensi tersebut dinilai cukup besar, dilihat dari jumlah TKI dan TKW yang membutuhkan layanan tersebut.

“Besar kemungkinan potensi tersebut akan mulai kita fokuskan di MCI. Untuk itu kita masih mencari startup lokal yang memiliki potensi tersebut,” kata Eddie.

Sementara layanan seperti Halofina yang menawarkan asisten digital investasi diharapkan bisa diimplementasikan ke dalam grup atau anak perusahaan.

“Dengan Halofina saja rencananya kami akan menyematkan teknologi tersebut ke dalam semua layanan yang tersedia di anak perusahaan Mandiri. Salah satunya adalah Mandiri Investment Management,” kata Eddie.

Klarifikasi Country Director: GoBear Tidak Menutup Bisnisnya di Indonesia

Kemarin (20/11) platform agregator produk finansial GoBear ramai diperbincangkan setelah dua co-founder mereka menyatakan pengunduran diri. Salah satu rumor yang beredar adalah rencana penutupan operasional GoBear di Indonesia.

Namun hari ini (22/11) rumor tersebut dibantah olah Country Director GoBear Indonesia Tris Rasika. Dalam pernyataannya kepada DailySocial, ia mengatakan GoBear tidak akan menutup bisnisnya di Indonesia.

“GoBear sangat berkomitmen untuk menjalankan misi perusahaannya, yaitu meningkatkan kesehatan finansial masyarakat melalui literasi keuangan, yang juga sesuai dengan hasil temuan GoBear FHI yang kami luncurkan Oktober lalu,” ujar Tris.

Layanan GoBear memudahkan pengguna untuk menemukan dan membandingkan berbagai produk asuransi, kartu kredit, dan pinjaman. Secara berkala, mereka juga mempublikasikan mengenai promo-promo layanan finansial yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Dalam operasionalnya, GoBear Indonesia telah terdaftar dan diawasi OJK. Saat ini mereka juga menjadi bagian dari Asosiasi Fintech Indonesia.

Gaet Qoala, Grab Bereksperimen Rambah Insurtech

Grab resmi menambah layanan insurtech dengan menggaet Qoala, seiring upaya mengukuhkan posisinya sebagai super app. Qoala adalah salah satu peserta dari Grab Ventures Velocity (GVV) batch kedua.

Kompetitornya, Gojek, telah lebih dahulu merilis layanan insurtech “GoSure” melalui portofolio investasinya, PasarPolis.

Saat ini layanan insurtech baru tersedia dalam bentuk shuffle card di laman utama aplikasi Grab. Produk asuransi yang tersedia untuk saat ini hanya asuransi proteksi layar ponsel.

Tampilan Qoala dalam aplikasi Grab
Tampilan Qoala dalam aplikasi Grab

Untuk menggunakan fitur ini, pengguna Grab cukup memilih merek ponsel dan modelnya. Setelah itu, konsumen memilih masa perlindungan, bisa satu, tiga, atau enam bulan. Harga preminya bergantung tipe ponsel. Pembayaran sepenuhnya cashless menggunakan Ovo.

Klaim, jika ada, diajukan melalui situs Qoala. Perbaikan ponsel dilakukan di salah satu service center rekanan Qoala. Dalam kurun waktu tujuh hari, barang digaransi selesai diperbaiki dan siap digunakan kembali.

Sebelum menggandeng Qoala, Grab lebih dahulu melakukan uji coba serupa dengan SayurBox dalam bentuk shuffle card. BookMyShow dan Sejasa pun melalui fase serupa sebelum mereka menjadi layanan resmi Tickets dan Clean & Fix.

Executive Director Grab Indonesia Ongki Kurniawan menjelaskan, dalam proses uji coba seperti ini perusahaan sedang mempelajari sejauh apa relevansinya dengan kebutuhan pengguna. “Apabila ini proven, baru kita berani untuk perkenalkan sebagai real feature dan harapannya mereka bisa scale up bisnis lebih cepat,” katanya.

Beberapa peserta GVV tidak hanya melakukan uji coba layanan di layanan Grab, tapi juga di Kudo. Langkah ini bertujuan menyesuaikan dengan target pasar mereka, apakah cenderung B2B atau B2B2C, atau langung ke B2C. Bila B2C langsung diarahkan ke aplikasi Grab, sementara jika fokusnya ke konsumen bisnis diarahkan ke Kudo.

Di dalam aplikasi Kudo (kini bernama GrabKios) tersedia sejumlah tambahan produk, termasuk layanan nabung emas dan umroh sebagai hasil kolaborasi dengan Tamasia dan PergiUmroh.

Peserta GVV terdiri atas 10 startup, tujuh datang dari Indonesia, dua dari Singapura, dan satu dari Malaysia. Mereka adalah Eragano, PergiUmroh, Porter, Sayurbox, Tanihub, Tamasia, Qoala, Treedots, GLife, dan MyCash Online.

Gandeng Premiro, tanamduit Luncurkan Produk Ausransi di Aplikasi

Menggandeng Premiro yang merupakan pialang asuransi digital dan telah terdaftar di OJK, tanamduit meluncurkan produk asuransi dalam aplikasinya. Platform asuransi yang ditawarkan memiliki berbagai cakupan produk, menargetkan pangsa pasar milenial.

Salah satunya yang saat ini menjadi andalan adalah asuransi perlindungan gadget atau smartphone. Ada juga asuransi untuk perlindungan demam berdarah dengue (DBD) dan Hospital Cash Plan 5 Disease yang bekerja sama Adira Insurance. tanamduit juga berencana untuk menambah produk asuransinya sampai 20 item hingga akhir tahun 2019.

“Mulai dari asuransi untuk gadget, nantinya tanamduit juga akan menambah berbagai produk asuransi lainnya yang relevan dan dibutuhkan oleh target pasar. Untuk fase awal kita meluncurkan 5 produk asuransi dulu,” kata Director Insurtech tanamduit Itha Sargianitha.

Melalui aplikasi asuransi tanamduit menghadirkan informasi yang transparan dengan tujuan memberikan pilihan yang lebih fleksibel untuk calon nasabah memilih produk asuransi yang dibutuhkan. tanamduit juga menawarkan premi yang terjangkau dan benefit menarik, informasi polis, layanan klaim dan metode secara digital dengan proses mudah dan cepat hanya dalam aplikasi.

“Usai pengguna memilih produk asuransi dan melakukan pembayaran secara langsung e-polis akan langsung diterbitkan untuk nasabah. Tersedia pula dalam versi e-mail ke nasabah,” kata Itha.

Pilihan pembayaran yang ditawarkan oleh tanamduit bukan hanya bank transfer dan kartu kredit, tapi juga melalui Gopay, Dana dan LinkAja. Dengan pilihan pembayaran yang lumayan banyak digunakan oleh target pasar, diharapkan bisa mempermudah dan mempercepat transaksi.

Integrasi asuransi dan reksa dana

Meskipun saat ini mulai menyasar produk asuransi, tidak mengalihkan fokus tanamduit terhadap produk andalan mereka yaitu reksa dana. Sejak diluncurkan dua tahun yang lalu, mereka telah memiliki sekitar 60 produk reksa dana yang dikelola oleh 16 perusahaan manajer investasi dan Surat Berharga Negara Ritel. Perusahaan mengklaim saat ini telah memiliki sekitar 125 ribu pengguna aktif. Dengan dihadirkannya produk asuransi, mereka menargetkan hingga akhir tahun 2019 bisa mendapatkan sekitar 300 ribu pengguna aktif.

“Untuk memaksimalkan produk yang kami miliki, kami juga menawarkan bonus produk reksa dana bagi nasabah yang membeli e-polis di asuransi tanamduit. Hal sebaliknya juga rencananya akan kita berlakukan. Dengan demikian integrasi kedua produk bisa kita dapatkan,” kata Director Business Development tanamduit Muhammad Hanif.

Disinggung apakah tanamduit memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahun ini, Hanif menegaskan masih belum memiliki rencana tersebut. Fokus dari tanamduit adalah memperkenalkan produk paling anyar milik mereka yaitu asuransi digital, kemudian mulai melancarkan kampanye pemasaran yang masif secara online dan offline.

“Dengan dana yang ada saat ini kami belum memiliki rencana melakukan penggalangan dana saat ini atau dalam waktu dekat. Masih fokus mengakuisisi nasabah baru untuk asuransi dan reksa dana juga produk lainnya di platform, kami harapkan jumlah tersebut bisa bertambah hingga akhir tahun,” tutup Hanif.

Application Information Will Show Up Here

DStour #74: Berkunjung ke Kantor Futuready

Terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, kantor Futuready memiliki konsep minimalis yang saat ini menampung sekitar 60 orang pegawai. Sebagai startup insurtech, Futuready memanfaatkan berbagai ruangan secara optimal untuk bekerja, kolaborasi, dan bersantai para pegawai.

Dipandu Head of HR and GA Procurement Futuready Indonesia Asia Ayu Anditry Carmina, berikut liputan #DStour selengkapnya.

Digital insurance, Indonesia’s next innovation gold rush

Following the fintech boom in Indonesia, here comes the next wave: insurance technology. “Insurtech” encompasses a variety of digital tools and platforms, including aggregators and marketplaces, that offer or provide access to insurance products. Startups and conventional insurers are exploring the field to find more efficient ways of linking up with consumers.

They see a huge untapped potential. Just like how Indonesians are “underbanked”—meaning many people still lack access to banks and financial services—they are also “underinsured.”

According to data from Indonesia’s financial services regulator, OJK, as quoted in a CB Insights report, insurance literacy in Indonesia was only at 15.8% in 2017. Big strides have been made with the country’s new mandatory basic health insurance known as BPJS. In all, 193 million Indonesians are now registered as part of the BPJS scheme, which means more than half the population are in the program. But this covers only the necessities, and patients are required to seek treatment at public healthcare facilities that are part of the scheme.

For everything outside of BPJS, insurance penetration in Indonesia is as low 2%. In other words, only 4.5 million out of 264 million Indonesians carry any additional insurance policy, most commonly life insurance.

A slow start

At the moment, the development of insurtech in Indonesia lags behind that of fintech, especially online lending platforms. Insurtech platforms haven’t blossomed in the same way as lenders, perhaps because many Indonesians have a different perception and attitude towards insurance.

“[Online] lending was easy to grow because it gives access for people to get cash conveniently. But with insurance, it is the other way around. People need to pay money on a regular basis and won’t feel the benefits instantly. It will be challenging [for insurance providers] to get the trust, especially from older, more conventional people,” JP Ellis told KrASIA. He is the founder of the financial services marketplace C88, which aggregates a variety of credit and insurance products.

The commonly held view is that insurance is expensive, and that getting insured and eventually having claims settled is a complicated process. This all contributes toward the low adoption of insurance in Indonesia.

According to EY’s Global Insurance survey, the traditional insurance industry lags behind in developing innovative and customer-friendly digital experiences like information transparency, customer engagement through social media, and the use of analytics for tailor-made solutions.

This only exacerbates the adoption gap because insurance products fail to match current consumer habits and expectations.

Image by Kalhh from Pixabay
Image by Kalhh from Pixabay

A conventional insurer’s view

Like other sectors, we are nearing a point of digital disruption for insurance.

As Indonesia’s digital economy grows, insurtech businesses focusing on bringing conventional insurance online will play a more significant role and take up a bigger portion of the country’s digital economy.

Bianto Surodjo, the chief partnership and distribution officer at Allianz Indonesia, believes two factors contribute to a growing insurtech business opportunity in the country. The first is the government’s agenda to accelerate “insurance inclusion,” just as it did with financial inclusion. The second factor is the rapid growth of e-commerce, fintech, and general online business in Indonesia.

“While the current life insurance market is growing well, its penetration is at less than 2%,” Surodjo told KrASIA.

If the industry is able to grow with a CAGR of 15–20%, he predicts, then within ten years the estimate gross written premium (or the total value customers paid for their policies, before deductions for reinsurance and ceding commissions) will have exceeded IDR 1 quadrillion (USD 70.2 billion) with a profit pool of more than IDR 100 trillion (USD 7 billion), excluding those enjoyed by distributions including banks, agents, and reinsurance.

Surodjo said that like other industries, such as commerce, transportation, and banking, where the adoption of technology inside the business has vastly accelerated, we can expect a similar trend to happen in the insurance industry in the next three to six years.

Digital insurance and distribution will complement existing conventional insurance services, he believes. New, simple, and low-priced insurance products will find a better acceptance via digital distribution channels, but more complex products will still require face-to-face interactions with an insurance expert for customers to buy-in.

“Nevertheless, the digital aspect is not only about selling but also about post-selling activities. [Digital tools] we expect to adopt more quickly are in payments, claim processing, as well as the integration with an online doctor as well as pharmacists,” Surodjo continued.

Supportive regulation is needed

As the business in this sector is starting to grow, government regulations that specifically regulate digital insurance are needed to support insurance companies to continue developing digital-based products that are accessible for everyone.

Today, the insurtech platforms still refer to OJK’s regulations about financial digital innovation that mostly highlights fintech platforms.

“Indonesia has been a progressive regulator and it has a very involved fintech association. The regulation in fintech is pretty clear, especially about digital financing innovation, online lending, and so forth. However, we haven’t seen any regulation that addresses digital insurance in the country,” said JP Ellis.

According to local media reports, OJK is currently preparing regulations related to insurtech. The new set of rules will include provisions for the business models, as well as payment mechanisms for claims and complaints, aimed at protecting consumers. OJK is reportedly involving industry players to draft this regulation, but it is not clear when exactly the regulation will be issued.

There will likely be a push and pull process as the rules are laid out, with the interests of startups and innovators on one side, and the traditional insurers on the other.

“We need a regulation that is able to balance between the ‘innovation stimulators’ as well as safeguard all stakeholders of the industry, such as customers and insurance companies,” Surodjo points out.

Image by William Iven from Pixabay
Image by William Iven from Pixabay

The intersection of insurance and digital platforms

While regulators are still catching up, insurers and insurtech startups have begun paving their own way.

One major trend that can be observed in Indonesia is the integration of insurance products with digital platforms like Gojek, Grab, Traveloka, Tokopedia, and Bukalapak, which already have a massive user base.

Many Indonesian consumers are familiar with these apps, so buying insurance products through them is an easy first step to adopt digital insurance.

What’s more, these platforms are equipped with seamless payment options, which makes the transactions convenient.

“Through strategic business cooperation with several digital partners, we ensure that the benefits of insurance products and services can be experienced by more people, readily accessible and understood by all types of customers,” said Surodjo.

Trends in Indonesia’s digital business sectors tend to take a leaf from China, and the same is true for insurtech. In China, partnerships between digital platforms and insurers are common.

Let’s take, for instance, Zhong An, touted as the biggest insurtech company in the world. The company uses an aggressive B2B2C distribution strategy that allows it to target a variety of customers with specialized insurance offerings, also sometimes called microinsurance. Zhong An offers these through its more than 300 partners across health, travel, auto, e-commerce, banking, and other sectors.

A similar strategy has been adopted by a number of traditional insurers and insurtech companies in Indonesia.

In May, Allianz Indonesia formed a partnership with the country’s e-commerce unicorn Bukalapak to launch an insurance product called “Buka Proteksi Diri.” Allianz also invested in Gojek and collaborates to provide protection for Gojek drivers.

Besides Allianz, another company that continuously adds strategic partners to its portfolio is local insurtech platform PasarPolis. Founded in 2015 by Cleosant Randing, PasarPolis is the only startup that counts all of Indonesia’s three unicorns—Gojek, Tokopedia, and Traveloka—as its investors.

PasarPolis integrates its products into their systems allowing them to target millions of Indonesians. Similar to Zhong An, PasarPolis offers various microinsurance products. The company has over 100 products including health and accident coverage for Gojek’s drivers and passengers, damaged goods protection for Tokopedia’s shoppers and sellers, as well as flight and train delay insurance for customers who buy tickets in Traveloka.

PasarPolis CEO Cleosant Randing believes that it would be very difficult, if not impossible, for insurtech platforms to stand alone without being integrated with bigger digital platforms in the network.

“I think it is very unlikely for a customer to buy a train ticket on one platform and then look for separate insurance elsewhere,” Randing said. “In my opinion, being a part of the ecosystem is the best way for an insurtech company to scale up the business quickly while making a bigger impact on society.”

Fintech adoption within insurtech is crucial

While digital platforms help insurers deliver the right insurance product to the right people, they also offer another crucial advantage: seamless, cashless payments.

One of the reasons why many people are reluctant to sign up for conventional insurance is because of its complicated payment and claims processes. To address this issue, digital insurance platforms are collaborating with digital payment channels in order to provide a simple payment method to their customers.

“It does not matter whether you’re a standalone app or part of an integrated app. At the end of the day, people base their decisions on whether you are providing fast, reliable service at low cost,” Asheesh Birla, senior VP of product management at Ripple, told KrASIA.

Adoption of digital services comes down to having an efficient payments infrastructure, he stresses.

Insurtech platforms also need to provide tools for quick and easy claims in order to bring a seamless experience to customers. The tools should simplify claims settlements and reduce the cycle time so they can be performed completely virtually. Therefore, it’s not surprising to see that “instant claims” has become insurtech platforms’ favorite offering for its clients.

The existence and widespread adoption of fintech channels is a prerequisite for making insurance an attractive premise for Indonesians.

Image by William Iven from Pixabay
Image by William Iven from Pixabay

New horizons: Lifestyle-focused microinsurance

Lastly, it’s not only the ways people discover and pay for insurance products that are undertaking a digital shift. It’s going down to the core of what an insurance product is.

When we think of insurance plans, conventional life and health insurance services might be the first to come to mind. These two services are included in BPJS, Indonesia’s mandatory insurance scheme.

But insurtech has given rise to more and more lifestyle-focused microinsurance products that cover specific scenarios.

According to Daily Social’s Insurance Technology Survey 2019, five top insurtech platforms in Indonesia are Asuransiku, AXA MyPage, insurance88.com, PasarPolis, and Jagadiri. All offer various lifestyle-focused insurance products in addition to health and life protection.

And some are really going the extra mile to provide creative service packages in this area. For instance, JagaDiri has a Jaga Gamers product that protects game-addicts from possible health problems caused by spending too much time in front of a computer screen.

PasarPolis claims to have over 100 insurance products, some as specific as a cinema and event tickets cancellation hedge for users who buy tickets via Gojek’s ticket platform GoTix.

These kinds of services might sound strange, but the demand is actually high, according to PasarPolis’ CEO Cleosant Randing. Microinsurance products are designed with smaller premiums and a limited coverage scope to support those who might not have access to conventional plans.

“Insurance products are often seen as ‘luxury,’ but more people actually long for simple and affordable insurance facilities to cover their daily lives,” said Randing.

Microinsurance products are usually sold at very affordable prices—as low as IDR 10,000 (USD 0.70) for the Jaga Gamers policy– therefore the market for this segment is growing and attractive for young consumers.

PasarPolis sells around two million policies per day, and its consumers are mostly from digital generations or millennials, Randing told KrASIA.

Although Indonesia’s financial services authority OJK does not have regulations that specifically address digital insurance yet, it has long been aware of microinsurance’s potential.

In 2013, OJK rolled out a Grand Design for Microinsurance. Since then, many companies have entered the sector.

Falling short of functioning as actual regulation, the document served as a framework and reference for insurance operators, regulators, and all stakeholders in developing microinsurance services in Indonesia. Several important points mentioned in this outline are that insurance policies should be written in simple Indonesian that is easy to read and understand, and that claim payments should be processed no later than ten days after the required claim documents have been handed over by the policyholder.

Microinsurance, married with digital technology, is seen to have a big potential in countries like Indonesia where people have been traditionally adverse toward insurance products.

With convenience, specific and affordable policies, as well as greater transparency in the claims process, most Indonesians might come to accept the benefits of protecting themselves against a variety of potential risks–even if it means spending money on it now.

This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.