The Latest Regulation Allows Startup and SMEs to Merely Enter the Stock Exhange

The new record for small-medium asset companies on the Acceleration board officially issued on July 22nd, 2019. Using the new board, startup and SMEs are now having access to funding through the stock exchange.

The Acceleration board officially run as the issuance of Financial Service Authority Regulation (POJK) Number 53/POJK.04/2017 on Registration Statement in terms of General Offering and Capital Investment using Pre-Emptive Rights from Small-Medium Asset Emittances.

On the issuance of POJK 53, Shanghai Stock Exchange also create STAR Market for China’s tech companies. It’s a challenge to Nasdaq, where the US’ giant tech was born.

The STAR Market has given positive results. Seen from the first exchange that reaches profit on average from 84% to 400%.

Loss happens, yet income is more important

The new regulation allows companies with Rp50 to Rp250 billion asset, which usually startups or SMEs to submit to the Indonesian Stock Exchange. Indonesian Stock Exchange’s Head of Registered Company Developer Division, Saptono Adi Junarso also said, the company in loss can still submit for the Acceleration board.

“Loss can happen, the more important is to gain income. There’s no room for empty pocket,” he said at the Accelerator board socialization in IDX.

Although, IDX still preparing for the exchange regulation in this board. For the interested partners, they can only register and wait for the regulation to be issued for stock exchange.

“The exchange regulation is to be issued by late September or early October, the can make it to IPO by October 2019,” Junarso said.

The tight regulation of FSA and IDX has become the reason behind SMEs and startups difficulty in fundraising at the stock exchange. The acceleration board which should have been issued by this year is their answer to accommodate funds for startups and SMEs.

There are only four startups registered before the Accelerator board issued. Those are Kioson, MCash, NFC, and Passpod.

He also mentioned that emittance could possibly be promoted to the Main or Development Board as long as they keep up the good work. Although, the IDX team never set a target on this Acceleration board.

“Our management has considered that liquidity is not the highest priority. This is merely about providing funding access for companies,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aturan Baru Terbit, Startup dan UKM Semakin Mudah Melantai di Bursa Saham

Pencatatan baru untuk perusahaan beraset kecil dan menengah dalam Papan Akselerasi resmi terbit pada 22 Juli 2019. Dengan papan baru ini, startup dan UKM memiliki akses pendanaan baru melalui bursa saham.

Papan Akselerasi resmi berjalan seiring terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 53/POJK.04/2017 tentang Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum dan Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah.

Bersamaan dengan terbitnya POJK 53, Bursa Efek Shanghai juga menciptakan STAR Market, bursa khusus perusahaan teknologi Tiongkok. Bursa ini menjadi tantangan bagi Nasdaq, bursa saham tempat besarnya para raksasa teknologi Amerika Serikat.

Kehadiran STAR Market pun mendapat sambutan positif. Hal ini bisa dilihat dari hasil perdagangan perdana yang rata-rata membukukan hasil positif mulai dari 84 persen hingga 400 persen.

Boleh rugi, yang penting punya pendapatan

Ketentuan baru ini memungkinkan perusahaan beraset Rp50 miliar hingga Rp250 miliar, yang umumnya berbentuk startup dan UKM, untuk melantai di bursa saham. Kepala Divisi Pengembangan Perusahaan Tercatat Bursa Efek Indonesia (BEI) Saptono Adi Junarso juga menegaskan, perusahaan yang sedang merugi masih bisa mendaftar ke dalam Papan Akselerasi.

“Rugi boleh, yang penting punya pendapatan usaha. Yang enggak boleh itu enggak punya pendapatan,” ujar Saptono dalam sosialisasi Papan Akselerasi di BEI.

Kendati demikian, BEI masih menyiapkan peraturan perdagangan dalam Papan Akselerasi ini. Alhasil bagi perusahaan peminat, mereka hanya bisa sebatas mendaftar dan menunggu peraturan perdagangan terbit agar bisa melantai di bursa.

“Target akhir September atau awal Oktober peraturan perdagangan bisa kita luncurkan agar IPO sudah bisa pada Oktober 2019,” imbuh Saptono.

Ketatnya peraturan dari OJK dan BEI selama ini disebut-sebut menjadi penyebab sulitnya startup dan UKM menggalang dana di bursa saham. Papan Akselerasi yang sudah direncanakan terbit sejak tahun lalu ini menjadi jawaban BEI dan OJK dalam mengakomodasi kebutuhan dana bagi startup dan UKM.

Tercatat baru empat startup yang sudah melantai di bursa sebelum Papan Akselerasi ini diterbitkan. Mereka adalah Kioson, MCash, NFC, dan Passpod.

Saptono mengingatkan emiten di Papan Akselerasi sewaktu-waktu bisa dipromosikan ke Papan Utama atau Pengembangan seiring kinerja perusahaan yang baik. Kendati demikian, pihaknya mengaku tak menargetkan jumlah kapitalisasi pasar dalam Papan Akselerasi ini.

“Dari manajemen kami sudah mencanangkan likuiditas bukan prioritas tertinggi. Ini lebih kepada memberi akses pendanaan buat perusahaan,” pungkasnya.

 

Achiko, Induk Perusahaan Mimopay dan Gamespark, Rencanakan IPO di Swiss

Achiko Limited, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi finansial dan media, beberapa waktu lalu mengumumkan niatnya untuk melakukan direct listing (pencatatan saham secara langsung) di SIX Swiss Exchange (Bursa Efek Swiss). Inisiatif “go-public” tersebut menargetkan penjualan 100 juta lembar saham.

Di Indonesia, beberapa layanan Achiko termasuk Mimopay (e-money), MimoStore (marketplace voucher game), dan Gamespark (kanal e-sports). Dalam debutnya, mereka mendapatkan investasi dari MNC dan MOX. Selain di Indonesia, beberapa layanan yang dikembangkan –berupa payment gateway, social community dan brand engagement platform—juga dijajakan di pasar Korea dan Taiwan.

Dalam rilisnya pihak Achiko menyebutkan, bahwa bisnis utama mereka adalah Mimopay di Indonesia. Platform tersebut sudah dikembangkan sebagai layanan pembayaran sejak tahun 2012. Fokus untuk pembelian konten dan game digital. Namun sebagai sistem pembayaran, sejauh ini dari pantauan kami Mimopay belum terdaftar di Bank Indonesia, baik sebagai penyelenggara uang elektronik atau teknologi finansial — pun tidak terdaftar di OJK.

Ketika tulisan ini dipublikasikan, kami juga tidak menemukan aplikasi Mimopay di Google Play. Kendati Achiko mengklaim layanan Mimopay sudah digunakan oleh 2 juta pengguna di Indonesia dan akan membawanya ekspansi di pasar Myanmar, Filipina, dan Vietnam dalam 18 bulan ke depan.

Dengan produk utama yang menargetkan basis pasar di Indonesia, rencana Achiko IPO di Swiss menarik untuk didalami, alih-alih di Bursa Efek Indonesia. Terkait IPO dan platform yang disuguhkan, kami sudah mencoba mengirimkan pertanyaan ke pihak terkait sejak minggu lalu.

Sebelumnya Mimopay dikembangkan oleh tim Andy Zain, saat ini dikenal sebagai Founder & Managing Partner Kejora Venture. Terkait platform tersebut kami telah menanyakan juga kepadanya.

“(Mimopay) sudah dijual beberapa waktu lalu. Itu proyek lama saya sebelum di Kejora,” terang Andy kepada DailySocial.

Selain Mimopay, ada platform e-money lain yang juga merencanakan IPO. Mereka adalah Netzme dan DavestPay. Keduanya sudah terdaftar di BI sebagai penyelenggara teknologi finansial. Kepada DailySocial, CEO Netzme Vicky Saputra pernah mengatakan, realisasi go-public ditargetkan tahun ini, saat ini tengah merampungkan prasyarat untuk mendapatkan lisensi e-money BI.

Aplikasi Titipku Didesain untuk Libatkan Masyarakat Bantu UKM “Go-Digital”

Penetrasi internet dan ponsel pintar membuat Indonesia menjadi pangsa pasar digital yang sangat menjanjikan. Ini menjadi kesempatan emas bagi para pebisnis untuk menjangkau konsumen yang lebih luas. Sayangnya kesempatan ini tidak serta merta bisa dinikmati oleh semua pemilik bisnis, khususnya para UKM yang belum memiliki literasi digital tinggi — mereka belum paham bagaimana konsep marketplace bekerja, pemasaran melalui layanan on-demand dan lainnya.

Melihat kondisi tersebut, Titipku hadir membawa misi untuk membantu UKM melakukan digitalisasi. Caranya menarik, yakni dengan melibatkan masyarakat berkontribusi langsung membantu UKM di sekitarnya. Aplikasi Titipku didesain layaknya media sosial, setiap pengguna dapat mengunggah informasi mengenai UKM yang telah ditemui. Setiap konten yang diunggah akan dikurasi dan diverifikasi.

Konten tersebut ditampilkan pada fitur Jelajah di aplikasi. Umumnya berisi foto dan cerita mengenai pedagang kecil atau UKM yang disorot. Tidak hanya itu, para pengunggah konten juga bisa membuatkan toko online di platform Titipku dan memberikan jasa titip (jatip). Sehingga pengguna lain bisa membeli barang yang disediakan UKM tadi. Proses transaksi difasilitasi melalui aplikasi Titipku.

“Misalnya di sekitar rumah ada seorang pedagang jajanan, pengguna Titipku bisa mengunggah profil dan cerita mengenai pedagang tersebut dan bertindak sebagai jatiper (orang yang dititipi untuk membelikan). Pengguna lain bisa menikmati cerita tersebut dan turut berpartisipasi membeli dagangan yang dimiliki. Kurang lebih seperti itu gambaran sederhana bagaimana Titipku membantu UKM di daerah-daerah yang belum tersentuh layanan online,” ujar Founder & CEO Titipku Henri Suhardja saat ditemui di sela-sela acara Australia Awards Startup Ecosystem 2019.

Aplikasi Titipku
Tim pengembang layanan Titipku / Titipku

Mekanisme bagi hasil ke pengguna

Henri turut menjelaskan mengenai nilai bagi hasil yang diberikan kepada pengguna untuk setiap transaksi yang terjadi melalui Titipku. Komisi yang diberikan kepada jatiper diambil dari biaya kirim ke tempat tujuan, sehingga UKM mendapatkan nominal penuh atas pembelian barang yang dilakukan. Titipku turut menyediakan rekening bersama untuk memastikan proses transaksi berjalan dengan baik.

Tidak hanya itu, untuk setiap transaksi yang berhasil diciptakan di aplikasi Titipku, pengguna akan mendapatkan voucher kepemilikan saham perusahaan Titipku (PT Terang Bagi Bangsa). Salah satu target Titipku adalah membawa perusahaan IPO. Konsep ini dinilai dapat meningkatkan rasa memiliki bagi para pengguna, sehingga dapat bersama-sama mewujudkan visi misi yang telah ditentukan.

“Kami sudah mendapatkan pendanaan awal dari angel investor. Belum ada rencana fundraising, pengennya bisa IPO,” ujar Henri.

Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 800 pengguna yang telah berkontribusi untuk membantu 6.000 UKM untuk go-digital. Aplikasi yang sudah diluncurkan juga telah diunduh lebih dari 15 ribu kali. Adapun kategori UKM yang sudah ada saat ini meliputi pengrajin, penjual makanan/minuman, pedagang sembako, pedagang produk fesyen, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

Netzme “Grand Launching” in Pekalongan, Soon to IPO

The social media-based payment app Netzme has just held a grand launching on March 2nd, 2019 in Pekalongan, Central Java. Unlike any other fintech payment, Netzme feature and capability was designed to facilitate SMEs and creative workers in monetization.

Post the launching, some things will be implemented, one is to initiate public offering (IPO). Netzme is planned to enter the stock market in mid-2019. Since March last year, Netzme has listed as fintech organizers in Bank Indonesia.

User’s feature updates

Along with user’s growth (currently said to reach 2 million), Netzme keep making new features. One leading feature is Truquiz, it allows users to make quiz to be followed by Trufans (nickname for the followers on Netzme) by giving Trulikes (the likes given for the posts with cash nominal). The prize collected from users and distributed for them automatically.

The social media approach is still the main service. What makes it different with others is, Trufans can appreciate a post with Trulikes, in addition, content creator also get additional cash from their Trufans. Currently, Netzme comes from various classes, from entrepreneurs, content creator, artist, musician, and common citizens.

While the previous features getting improved, such as cross-account transfer through chatting, cash transfer to bank account, PPOB voucher transaction, cash register, and QR-Code payment feature for Sellers/SMEs. As its mission to provide financial inclusion in rural, Netzme intensified content strategy and community events.

Content strategy is getting realized by launching web series video in YouTube called “Kolaborasa”. While the community events getting intensified through user acquisition, i.e. by building Kampung Digital Netzme or SME’s festival – some are held in West Java.

Why Pekalongan city?

Netzme team and brand ambassador in Funtastic Fest 2019 / Netzme
Netzme team and brand ambassador in Funtastic Fest 2019 / Netzme

Pekalongan is known as Batik City, it’s internationally recognized. The identity goes along with Netzme’s effort as a local creation financial app. In addition, Pekalongan also considered suitable with Netzme target market that focuses on SMEs, particularly beginners in entrepreneurship, those people with no information of conventional financial service, workers, and creative community.

Netzme’s CEO, Vicky G. Saputra said in his speech, “Collaboration in this series of events is expected to help SMEs business development, creative workers, and various community classes, also better financial inclusion around Pekalongan City with the latest technology.”

The main title is “Funtastic Fest Pekalongan 2019”, it was held along to celebrate Pekalongan City 113th Anniversary. Aside from its launching, there’s also Funtastic Run (5K and 10K distance run), artist performances, and local SMEs fest.

“In this Funtastic Fest Pekalongan 2019 moment, Netzme as 100% loca lcreativity-based payment app can reach more people in rural area and become the best fintech app for SMEs and creative workers in Indonesia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Netzme “Grand Launching” di Pekalongan, Segerakan IPO Tahun Ini

Aplikasi pembayaran berbasis media sosial Netzme baru saja melakukan grand launching, tepatnya di tanggal 2 Maret 2019 bertempat di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Berbeda dengan layanan fintech payement yang ada sebelumnya, fitur dan kapabilitas yang dimiliki Netzme sengaja didesain untuk memfasilitasi UKM dan pekerja kreatif dalam melakukan monetisasi.

Pasca peluncuran ini banyak hal yang akan direalisasikan oleh perusahaan, salah satunya melakukan penawaran publik (IPO). Direncanakan Netzme akan melantai di pasar modal pada pertengahan tahun 2019. Sejak Maret tahun lalu, Netzme sudah terdaftar sebagai penyelenggara teknologi finansial di Bank Indonesia.

Pembaruan fitur untuk pengguna

Seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna (saat ini diklaim sudah mencapai 2 juta), Netzme terus melakukan penambahan fitur. Salah satu yang kini menjadi andalan adalah Truquiz, memungkinkan pengguna membuat kuis yang dapat diikuti oleh para Trufans (sebutan untuk “follower” di aplikasi Netzme) dengan memberikan Trulikes (sebutan untuk “like” postingan yang menyertakan nominal uang). Hadiah dihimpun dari pengguna dan didistribusikan untuk pengguna secara otomatis.

Pendekatan media sosial juga masih menjadi layanan utama. Di sini yang membedakan dengan media sosial lainnya, Trufans bisa mengapresiasi sebuah postingan dengan Trulikes, sehingga tidak sekadar mendapatkan like, pembuat konten turut mendapatkan nominal uang yang diberikan para penggemarnya. Saat ini pengguna Netzme datang dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, pembuat konten, artis, musisi, hingga masyarakat pada umumnya.

Sementara fitur yang ada sebelumnya juga makin diperkuat, seperti transfer antar akun melalui laman chatting, mengirim uang ke rekening bank, jual-beli voucher PPOB, kasir (cash register) hingga fitur pembayaran QR code untuk pedagang/UKM. Miliki misi untuk hadirkan inlkusi keuangan di daerah rural, Netzme galakkan strategi konten dan acara-acara komunitas.

Strategi konten direalisasikan dengan peluncuran video web series di YouTube berjudul “Kolaborasa”. Sementara kegiatan komunitas gecar dilakukan dengan menggandeng pengguna, misalnya dengan mendirikan Kampung Digital Netzme atau festival UKM — beberapa kali telah dilakukan di wilayah Jawa Barat.

Pemilihan Kota Pekalongan

Netzme
Tim dan brand ambassador Netzme dalam acara Funtastic Fest 2019 / Netzme

Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik, sudah diakui secara internasional. Identitas tersebut sejalan dengan semangat Netzme sebagai aplikasi keuangan karya anak bangsa. Selain itu Kota Pekalongan juga dinilai sesuai dengan target pasar Netzme yang memfokuskan pada pelaku UKM, terutama pemula di dunia usaha, masyarakat yang belum terjangkau layanan keuangan konvensional, pekerja dan komunitas kreatif.

Dalam sambutannya CEO Netzme Vicky G. Saputra mengatakan, “Kolaborasi dalam rangkaian acara peluncuran ini diharapkan dapat membantu pengembangan kegiatan usaha UKM, pekerja kreatif dan berbagai kalangan komunitas serta inklusi keuangan yang lebih baik di Kota Pekalongan dan sekitarnya dengan teknologi terkini.”

Rangkaian acara peluncuran tersebut bertajuk “Funtactic Fest Pekalongan 2019”, diadakan bebarengan untuk menyambut Hari Jadi Kota Pekalongan yang ke-113. Selain peluncuran Netzme, ada acara lain seperti Funtastic Run (lari dengan jarak 5K dan 10K), hiburan artis ibukota, hingga festival UKM setempat.

“Dengan momentum Funtastic Fest Pekalongan 2019, diharapkan Netzme sebagai aplikasi pembayaran berbasis kreativitas 100% karya anak bangsa dapat lebih menjangkau masyarakat di seluruh pelosok Indonesia dan menjadi aplikasi teknologi finansial (fintech) terbaik untuk kalangan UMKM dan pekerja kreatif di Indonesia,” ujar Vicky.

Application Information Will Show Up Here

IPO is Postponed, Bhinneka Aims for Series C Funding This Year

Bhinneka is preparing Series C funding to support business development in B2B segment. It’s to be finalized in the middle of this year.

Hendrik Tio, Bhinneka’s CEO and Founder avoid to mention the funds needed in this round. He said the funds will be used to support the whole business growth, especially in the B2B segment, not only the IT.

He considers B2B segment to have better prospect in the future, it means an opportunity for Bhinneka to win this segment.

“We’ll keep doing it [external funding]. Hopefully, to make another one this year, [now] on progress. The final, should be in the first semester [this year],” he said, Tuesday (1/8).

In Bhinneka’s business plan, they’re building an integrated system to connect all of Bhinneka’s core business from upstream to downstream. It’s a part of company’s big plan to put omni channel strategy first.

He gave an example when a consumer cancelled a transaction at Bhinneka for some reasons. Data will be stored in a system to support their transaction in the nearest outlets by adding interesting gimmicks.

“It’s why we keep using offline and online strategy, not only one sided, because the multi channel supports our whole strategy. The key is to stay consistent and innovative in developing technology.”

The company has also completed the Bhinneka app with better UI / UX to adjust to the target consumers. This app is made for B2C market.

He commented on the same occasion related to Bhinneka’s plan for IPO. He said this year was not the right moment to make a corporate action considering the political situation, it had to be postponed for the next two to three years.

In fact, based on company’s readiness, he claimed to have met all the requirements by IDX long time ago. The company has tried to register and get approval.

“We actually have passed the trial and ready to go ublic. However, we’re waiting for the moment, due to this year’s political condition, it’s not the right time, maybe two to three years later.”

Bhinneka business accomplishment

In 2018, Bhinneka claimed an increased revenue by 40% in the past five years. It’s B2G segment contribution with nearly 50% percentage, followed by B2B (30%) and other from B2C (20%).

In terms of online and offline sales, B2C segment only, is quite equal at 10% for each channel.

“This year, it [revenue] should’ve at least same with last year, at 40%.”

In order to support the omni channel strategy, Bhinneka will continue to open new offline outlets, not as massive as others. The plan is to add five more outlets in Bandung, Yogyakarta, and Jakarta.

Bhinneka currently has eight outlets, seven are located in Jakarta, and the rest is in Surabaya. Including 33 representative offices in all provinces in Indonesia to handle B2B and B2G segments.

Bhinneka has partnered with 3 thousand brands, more than 9 thousand supplier vendors, and 40 thousand consumers from B2B and B2G segments.

Since it was founded in 1993, Bhinneka’s business started from Digital Printing Solution. In 1995, it expanded to IT product sales, and four years later they entered e-commerce industry with Bhinneka.com site.

In 2001, they try to enter offline business as the company’s mission to gain consumer’s trust. B2B segment is started to be in demand 10 years later, by releasing Bhinneka Business.

B2G segment was started a year later, and officially operating in 2015 through e-procurement and e-catalog launching. Within the same year, Bhinneka’s revenue has reached Rp1 trillion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

Tunda IPO, Bhinneka Rencanakan Pendanaan Seri C Tahun Ini

Bhinneka tengah mempersiapkan pendanaan seri C untuk dukung percepatan bisnis, terutama di segmen B2B. Pendanaan ini ditargetkan akan rampung pada pertengahan tahun ini.

CEO dan Founder Bhinneka Hendrik Tio enggan menuturkan kebutuhan dana yang dibidik Bhinneka untuk putaran kali ini. Menurutnya dana tersebut nantinya akan dipakai untuk mendukung pertumbuhan bisnis Bhinneka secara keseluruhan, terutama di segmen B2B dan tidak hanya untuk TI saja.

Hendrik menilai segmen B2B memiliki prospek yang cukup baik ke depannya, sehingga ada peluang buat Bhinneka seriusi agar menjadi pemenang di segmen tersebut.

“Kami terus melakukan itu [pendanaan eksternal]. Mudah-mudahan tahun ini akan dapat lagi, [sekarang] sudah proses. Final-nya mungkin semester pertama [tahun ini] sudah selesai,” terangnya, Selasa (8/1).

Dalam pipeline rencana bisnis Bhinneka, perusahaan tengah membangun sistem terintegrasi yang bisa menghubungkan semua inti bisnis Bhinneka dari hulu ke hilir. Sistem ini merupakan bagian dari rencana besar perusahaan yang ingin mengedepankan strategi omni channel.

Dia memberi contoh, saat konsumen tidak jadi bertransaksi di Bhinneka karena berbagai hal. Datanya akan tersimpan dalam sistem yang bakal dimanfaatkan untuk dorong mereka bertransaksi di gerai Bhinneka terdekat lokasi dengan menyertakan gimmick yang menarik.

“Makanya kami tetap mengedepankan strategi online dan offline, tidak hanya di salah satu sisi saja sebab multi channel ini mendukung seluruh strategi kami. Untuk itu kuncinya adalah konsisten dan terus inovatif dalam mengembangkan teknologi.”

Perusahaan juga tengah menyempurnakan aplikasi Bhinneka dengan tampilan UI/UX yang lebih matang demi menyesuaikan dengan target konsumen. Aplikasi ini dikhususkan untuk pasar B2C.

Dalam kesempatan yang sama, Hendrik juga mengomentari rencana Bhinneka terkait IPO. Dia bilang tahun ini bukan momentum yang tepat untuk melaksanakan aksi korporasi tersebut karena sudah masuk tahun politik, sehingga harus ditunda sampai dua sampai tiga tahun mendatang.

Padahal, berdasarkan kesiapan perusahaan dia mengaku sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah sejak lama. Bahkan perusahaan sudah mencoba untuk mendaftarkan diri dan mendapatkan persetujuan.

“Jadi sebenarnya kita sudah lolos uji coba dan sudah sangat siap untuk go public. Tapi kita sedang menunggu momentum ya karena kalau tahun ini masih tahun politik sehingga bukan waktu yang tepat, mungkin dua sampai tiga tahun ke depan.”

Pencapaian bisnis Bhinneka

Pada tahun 2018, Bhinneka mengklaim revenue rata-rata naik hingga 40% sejak lima tahun belakangan. Kenaikan ini dikontribusikan dari segmen B2G dengan persentase hampir 50%, kemudian diikuti segmen B2B (30%) dan sisanya dari B2C (20%).

Dilihat dari penjualan secara online dan offline, untuk segmen B2C saja, disebutkan cukup seimbang sebesar 10% untuk masing-masing kanal.

“Tahun ini ditargetkan [revenue] minimal bisa mengimbangi dari tahun lalu yang mencapai 40%.”

Untuk dukung strategi omni channel, Bhinneka akan terus membuka gerai offline baru meski tidak masif seperti peritel kebanyakan. Rencananya ada lima tambahan gerai yang bakal terletak di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta.

Adapun saat ini Bhinneka memiliki delapan gerai, tujuh di antaranya ada di Jakarta dan sisanya di Surabaya. Juga 33 kantor representatif di seluruh provinsi di Indonesia untuk melayani segmen B2B dan B2G.

Bhinneka telah bermitra dengan 3 ribu brand, lebih dari 9 ribu vendor penyuplai, dan 40 ribu konsumen dari segmen B2B dan B2G.

Sejak pertama kali hadir di tahun 1993, awal mula bisnis Bhinneka dimulai dari Bhinneka Digital Printing Solution. Lalu tahun 1995 merambah ke penjualan produk TI dan empat tahun kemudian masuk ke ranah e-commerce dengan situs Bhinneka.com.

Pada 2001 mulai mencoba masuk ke gerai offline sebagai langkah perusahaan dalam menambah unsur kepercayaan buat para konsumen. Segmen B2B akhirnya mulai dilirik pada 10 tahun kemudian, dengan merilis Bhinneka Bisnis.

Segmen B2G dirintis setahun kemudian, namun baru resmi pada 2015 lewat peluncuran e-katalog dan e-procurement. Pada tahun yang sama, revenue Bhinneka tembus Rp1 triliun.

Application Information Will Show Up Here

4 Hal yang Perlu Diketahui tentang Startup IPO

Tak hanya melalui pemodal ventura, startup dapat mencari pendanaan baru melalui cara “konvensional” yang sudah banyak dipraktikkan korporasi, yakni dengan melakukan initial public offering (IPO). Kabarnya, Bursa Efek Indonesia memberi sejumlah kemudahan bagi startup yang ingin go-public.

Namun bagi Passpod, startup penyedia bisnis sewa WiFi portabel yang baru-baru ini melantai di bursa saham, hal ini tentu tidaklah mudah. Startup yang kini menyandang kode emiten “YELO” ini menilai ada keuntungan dan juga tantangan yang dihadapi untuk mencapainya.

Untuk mengetahui selengkapnya, simak cerita dan pengalaman yang dibagikan oleh Hiro Whardana, CEO Passpod, di sesi #SelasaStartup kali ini.

Alasan IPO dan besaran funding yang ingin dikumpulkan

Alasan utama yang mendorong Passpod melakukan IPO adalah pihaknya butuh pendanaan baru untuk menambah lebih banyak perangkat modem. Keputusan ini diambil setelah perusahaan berkali-kali mencoba menutupi biaya tersebut, mulai dari modal sendiri hingga biaya operasional (opex).

Dalam proses melakukan IPO, Hiro mengamati bahwa dana yang ingin dikumpulkan terbilang setara dengan pendanaan seri A. Karena hal itu pula, proses due dilligence terbilang lebih ketat ketimbang pendanaan setara seeds.

Menurut Hiro, jika melihat nilai pendanaan yang ingin dikumpulkan besar, startup perlu lebih rinci dalam menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan bisnis perusahaan, seperti model bisnis dan risk management.

“Untuk raise funding sebesar itu, perusahaan harus punya size [pasar] tertentu,” ujarnya.

Rencana bisnis dan keuntungan menjadi perusahaan publik

Mengambil langkah untuk menjadi perusahaan publik tentu tidak mudah. Selain perlu persiapan matang, melakukan IPO membutuhkan biaya besar untuk menyewa notaris, akuntan publik, pengacara dan semua yang terlibat di dalamnya. Hiro sendiri menuturkan pihaknya merogoh kocek hampir 3 miliar Rupiah untuk itu semua, meskipun pembayarannya dapat diatur pencairannya.

Namun  penting untuk tidak terfokus pada IPO, melainkan rencana bisnis perusahaan di masa mendatang.

“Bukan IPO yang direncanakan, tetapi funding yang ingin dikumpulkan, untuk kapan dan berapa,” paparnya.

Ia juga mengungkap beberapa keuntungan menjadi startup yang go-public. Beberapa inovasi yang dilakukan memiliki limitasi regulasi dengan menjadi perusahaan publik. Misalnya, status perusahaan tetap tercatat sebagai perusahaan dalam negeri meskipun saham dibeli dari investor luar negeri.

“Ini menandakan ada kontrol kredibilitas, berarti kami sudah dicap sebagai perusahaan transparan. Justru ini mempermudah kami kalau ekspansi ke luar negeri.”

Kendali perusahaan paling utama

Ia mengungkap menjadi perusahaan publik memberinya opsi kuat untuk tetap memiliki kendali terhadap perusahaannya sendiri.

“Menurut saya, yang terpenting bagi startup [yang IPO] bukan jumlah sahamnya. Itu tetap penting, saham memang akan terdelusi, tetapi kita tetap punya kontrol terhadap perusahaan,” tuturnya.

Ia mencontohkan pendiri sekaligus CEO Facebook Mark Zuckerberg yang tetap memiliki kontrol terhadap perusahaan meskipun tak lagi memiliki saham mayoritas di Facebook.

“Mungkin kami juga kurang sabar cari venture capital, [karena kalau VC] semua ingin kontrol. Justru kalau kami ingin kontrol untuk mengembangkan Passpod. Pasarnya masih besar, bayangkan dari 7 juta traveler, yang terkover penyewaan modem baru 200 ribu,” ungkap Hiro.

Kolaborasi Startup Tetap Diperlukan

Salah satu perubahan yang cukup signifikan ketika telah menjadi perusahaan publik adalah laporan keuangan. Perlu diketahui, perusahaan yang melantai di bursa diawasi oleh Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Segala aktivitas harus memiliki pertanggungjawaban lewat laporan keuangan.

Dengan budaya startup yang senang melakukan eksplorasi dan inovasi, menurut Hiro, hal ini tentu tidak bisa lagi dilakukan sembarangan.

“Ketika kami meluncurkan sesuatu, pasti itu akan reflektif ke laporan buku mendatang. Orang tidak bisa lagi main-lempar-jelek-buang,” tuturnya.

Agar tidak membatasi perusahaan dalam bereksplorasi dan mengembangkan inovasi, kolaborasi dengan startup lain perlu dilakukan. Dengan demikian, bisnis dan inovasi tetap bisa jalan beriringan.

“Yang menjadi tantangannya adalah gimana bisa scale up, tapi tetap agile. Nah, strategi agar tetap bisa agile dengan kolaborasi. Di Passpod, kami ada budget R&D yang digunakan untuk kerja sama dengan startup.”

Zalora’s Parent Company Looks for IPO Early Next Year

Global Fashion Group (GFG), fashion commerce company by Rocket Internet which also Zalora’s parent company, is rumored to IPO in Q1 2019, probably in March. The expected valuation is €1.8-2.5 billion (30-40 trillion rupiah). The biggest investor is Kinnevik.

According to Manager Magazin, Rocket Internet is in a position to IPO almost all of its startup entities in the last two years and GFG is said to be the last one. GFG is a unit of fashion commerce companies in various regions, including Dafiti, Lamoda, Namshi, The Iconic, and Zalora. Previously, they had sold the India-based Jabong to Myntra, a Flipkart’s subsidiary.

In Southeast Asia, Zalora is considered as the leading company in this industry. However, the tight competition has made them sold its business in Vietnam and Thailand, focusing the business in five Southeast Asia countries (including Indonesia), Hong Kong, and Taiwan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here