Jaygan Fu Ponnudurai Kini Jadi CEO OVO, Gantikan Jason Thompson

OVO mengangkat Jaygan Fu Ponnudurai sebagai CEO baru menggantikan Jason Thompson per September 2021 ini. Jaygan sebelumnya adalah COO OVO sejak Juni 2018, setelah menempati berbagai posisi di Grab Malaysia dan Grab Indonesia.

Terkait suksesi ini, Jaygan Fu telah mengonfirmasi posisi barunya tersebut kepada tim DailySocial.id. Jaygan sebelumnya adalah COO perusahaan.

Pihak Ovo mengatakan, Jaygan Fu menggantikan Jason Thompson yang sudah menyelesaikan masa jabatannya dan telah pindah ke Singapura. Pengalamannya bersama OVO sejak 2018 diyakini akan memberikan nilai lebih bagi pertumbuhan dan peran OVO dalam mengakselerasi transformasi pembayaran dan layanan keuangan digital, menuju literasi dan inklusi keuangan yang merata di seluruh Indonesia.

Baik Jaygan Fu maupun Thompson adalah mantan petinggi Grab sebelum memimpin OVO. Thompson sebelumnya juga menjabat sebagai Managing Director GrabPay sebelum menjadi orang nomor satu di OVO. Sebelum Thompson bergabung di OVO, pada awal berdirinya OVO dipimpin oleh Adrian Suherman yang merupakan bagian dari grup Lippo.

Setelah Thomson mengisi posisi CEO, Adrian berpindah posisi menjadi Presiden Direktur OVO, hingga akhirnya posisi tersebut diisi oleh Karaniya Dharmasaputra sampai saat ini. Kini Adrian menjadi Presiden Direktur Matahari Putra Prima (MPPA).

Secara terpisah, dalam konferensi pers yang digelar kemarin (28/9), OVO kini telah memasuki usianya yang ke-4 dan telah bertransformasi dari awalnya hanya sekadar platform e-money, kini mulai masuk ke layanan keuangan digital. “Salah satu inovasinya di area investasi bersama Bareksa, ada deep integration antara e-money dengan e-investment. Ini yang saya rasa pertama di Indonesia,” ujar Karaniya.

Bahkan, pada tahun ke-2 OVO, telah menyabet posisi sebagai unicorn ke-5 di Indonesia. Alias perusahaan termuda dibandingkan peers-nya.

Di tengah persaingan layanan pembayaran digital yang begitu ketat, sambung dia, menurut riset yang diungkapkan Kadence International Indonesia menyebutkan bahwa OVO merupakan pembayaran digital nomor satu yang paling sering digunakan. Disebutkan OVO memiliki 71% pengguna aktif dan tingkat brand awareness hingga 96%. Diungkapkan juga, profil pengguna OVO datang dari kalangan usia 25-45 tahun dengan komposisi 51% laki-laki dan 49% perempuan.

Beberapa alasan konsumen memilih OVO antara lain bisa digunakan di banyak aplikasi atau merchant online, dapat melakukan transfer saldo ke rekening bank, memiliki banyak promo dan cashback, biaya top-up paling rendah, dan dipergunakan banyak toko dan merchant online.

Dalam riset tersebut juga mengungkapkan sebanyak 8 dari 10 pengguna OVO memesan makanan secara online dan 7 dari 10 pengguna menggunakan OVO untuk transaksi pembayaran di restoran secara offline.

OVO kini telah hadir di lebih dari 430 kota dan kabupaten, dengan lebih dari 1,2 juta merchant dari berbagai industri, termasuk UMKM yang telah mengimplementasikan QRIS.

Kompetisi aplikasi pembayaran digital

Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2020 jumlah transaksi uang elektronik telah mencapai Rp161 triliun dengan 4,6 miliar volume transaksi. Trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, per Agustus 2021 ini saja sudah membukukan nilai transaksi Rp161 triliun dengan 3,3 miliar transaksi.

OVO sendiri memiliki posisi yang cukup kuat di pasar, terlebih saat ini digunakan sebagai layanan pembayaran utama di Tokopedia dan Grab. Menurut laporan BOKU 2021, didasarkan pada market share dari total pemain yang ada, didapati beberapa peringkat sebagai berikut: OVO (38,2%), ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), dan DANA (12,2%).

Kendati demikian OVO jelas tidak bisa berleha-leha, dinamika bisnis yang terjadi akhir-akhir ini berpotensi ‘mengancam posisinya’. Sebut saja penggabungan usaha Gojek-Tokopedia, secara khusus mereka turut mendirikan GoTo Financial yang akan mengakomodasi seluruh fintech di kedua platform. Gojek sendiri punya Gopay dan Gopaylater yang bersaing langsung dengan OVO. Akhir-akhir ini layanannya juga mulai diintegrasikan ke Tokopedia.

Pun demikian untuk posisi di Grab, kemesraan raksasa ride-hailing tersebut dengan EMTEK makin rekat akhir-akhir ini. Sementara konglomerasi teknologi tersebut juga mengoperasikan DANA di lini bisnisnya. Sejauh ini belum ada gelagat yang akan menggeser posisi OVO di Grab; yang ada justru rencana merger antara OVO dan DANA.

Pemain lain juga memiliki strateginya sendiri-sendiri. ShopeePay masih fokus mengakomodasi para pelanggannya yang sangat masif, sembari mulai terjun ke ranah O2O. Sementara LinkAja juga terus memperkuat keberadaannya sebagai pembayaran di merchant offline — dengan terus meningkatkan integrasi ke platform konsumer seperti Gojek.

Application Information Will Show Up Here

Jumlah Pengguna Baru OVO Meningkat 267% Selama Pandemi: Sesi Tanya Jawab Bersama CEO Jason Thompson

Ketika COVID-19 menghantam laju bisnis di seluruh dunia, sebuah perusahaan memutuskan untuk melawan. Jason Thompson, CEO dari platform pembayaran digital Indonesia OVO, mengatakan kepada KrASIA bahwa perusahaan telah mengadopsi mentalitas “ruang perang” —dengan memperkenalkan gugus tugas khusus untuk meninjau strategi bisnisnya dan mengoptimalkan alokasi sumber daya.

Namun, Thompson percaya bahwa krisis dapat mendorong adopsi dompet elektronik dan lebih meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pembayaran tanpa uang tunai atau cashless. “Kami mengharapkan adanya peningkatan penggunaan platform pembayaran digital karena lebih banyak orang beralih ke pembayaran elektronik untuk biaya bantuan serta memenuhi kebutuhan esensial,” ujarnya dalam sebuah sesi wawancara.

Tujuan jangka panjang OVO adalah mengembangkan layanan untuk mengatasi kesenjangan dalam ekosistem keuangan dan memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang. “Orang Indonesia menjadi lebih terbuka dan bergantung pada layanan digital selama ini dan kami berharap lanskap keuangan di Indonesia tidak semakin terfragmentasi selama COVID-19 dan ke depannya,” tambahnya.

KrASIA berdiskusi dengan Thompson tentang pandemi dan bisnis OVO secara umum.

KrASIA (Kr): Bagaimana imbas dari krisis COVID-19 pada bisnis OVO? Apakah OVO mengalami peningkatan jumlah transaksi dan pengguna?

Jason Thompson (JT): Dengan kehadiran COVID-19, kami melihat pertumbuhan signifikan lebih dari 110% dalam perdagangan online, 15% dalam pengiriman makanan, serta hampir 50% dalam penyaluran pinjaman. Pengguna baru kami telah tumbuh 267% dibandingkan dengan waktu sebelum adanya PSBB dan kami melakukan banyak upaya dalam pengenalan dan penggunaan pertama untuk pembayaran digital serta layanan keuangan.

Kami melihat bahwa konsumen mulai mengalihkan kebiasaan belanja mereka secara online dan mengadopsi metode pembayaran tanpa uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kami telah meningkatkan upaya dalam memperluas strategi ekosistem terbuka untuk beradaptasi dengan kebutuhan konsumen, dengan fokus sebagai e-commerce enabler, pengiriman makanan dan bahan makanan, serta pengobatan jarak jauh melalui kemitraan kami dengan Grab, Tokopedia, dan lainnya. Kami juga telah mengalokasikan sumber daya khusus untuk mendukung inisiatif Bank Indonesia dan pemerintah dalam memerangi COVID-19. Misalnya, teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis untuk prakarsa kartu pra-kerja pemerintah.

Kr: Mengenai kartu prakerja, bagaimana kolaborasi dengan pemerintah membawa dampak positif bagi OVO serta komunitas?

JT: Kami benar-benar melihat ini sebagai program jaring pengaman sosial yang disediakan oleh pemerintah untuk melawan dampak COVID-19. Dengan keterlibatan penyedia uang elektronik, seperti OVO, dalam pencairan bantuan sosial, kami mempersingkat proses yang telah umum dalam program bantuan sosial di Indonesia. Kami telah mendukung orientasi pelanggan baru dan pemberian bantuan tanpa batas kepada para pencari kerja muda dan warga negara Indonesia yang menganggur dengan memungkinkan mereka untuk mengaktifkan e-wallet, melakukan e-KYC, dan merasakan manfaat tanpa interaksi fisik apa pun.

Semua pemegang kartu pra-kerja yang memilih OVO untuk distribusi insentif memiliki akses ke asuransi gratis COVID-19 dan kematian karena kecelakaan pribadi yang disediakan oleh Prudential, dengan mendaftar pada aplikasi OVO. Teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis. Lima dari mereka telah secara aktif terlibat dalam pengembangan sistem kartu pra-kerja, serta berhubungan langsung dengan Kantor Staf Presiden.

Kr: Bagaimana OVO membantu usaha kecil menengah yang terdampak secara signifikan oleh pandemi?

JT: OVO memfasilitasi transaksi tanpa uang tunai untuk ratusan gerai F&B dan pedagang grosir lokal melalui peluncuran metode “chat and pay” yang mendukung mereka dalam mempertahankan bisnis selama PSBB. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membeli dan membayar kebutuhan sehari-hari melalui obrolan dan membantu pedagang lokal. Kami akan terus meninjau inisiatif yang sesuai dan akan mengeksplorasi segala kemungkinan untuk mendukung mitra dan pedagang UMKM selama COVID-19 dan ke depannya.

Kami juga berencana untuk meluncurkan fitur yang memungkinkan pelanggan melakukan pembayaran QR Indonesia Standard (QRIS) dengan UMKM dari rumah. Kami memungkinkan bisnis untuk mengelola penggajian dan pencairan insentif dan ingin memperkenalkan B2B serta pinjaman rantai pasok, dengan tujuan untuk membantu UKM mempertahankan arus kas mereka.

Kr: Salah satu partner terdekat OVO, Tokopedia, diduga menjadi korban kebocoran data yang membahayakan data jutaan pengguna. Bagaimana Anda meyakinkan keselamatan data pelanggan OVO yang terintegrasi dengan sistem Tokopedia?

JT: Secara alami, cybersecurity merupakan faktor kunci yang sangat dipertimbangkan pada sektor ini, tidak terkecuali OVO, mengingat sensitivitas layanan keuangan online. OVO tidak memberi kompromi untuk datanya. Sistem keamanan berlapis kami memungkinkan untuk melindungi pengguna dari serangan cyber, dengan fitur keamanan termasuk OTP, PIN, dan pemberitahuan jika seseorang masuk ke akun di perangkat yang berbeda. OVO adalah organisasi independen dengan sistem independen. Kami mengelola privasi data dan keamanan informasi kami sendiri, mematuhi peraturan pemerintah dan standar global tentang privasi dan keamanan data. Komitmen OVO untuk memastikan keamanan data tersebar di seluruh ekosistem mitra kami, termasuk Tokopedia.

Kr: Apa yang menjadi pelajaran berharga OVO selama COVID-19 ini dan bagaimana strategi untuk bertahan di masa setelah pandemi?

JT: Pertama, kami melihat poros global menuju digitalisasi bisnis dan adopsi digital di antara konsumen dan kami percaya perubahan ini cenderung permanen. Karena itu, para pemula perlu memanfaatkan infrastruktur fleksibel mereka untuk beradaptasi dengan cepat dan bertindak tegas dalam menghadapi krisis. Kedua, kemitraan adalah kunci. Startup dapat memainkan peran yang sama besar dengan entitas yang didirikan melalui kemitraan strategis dengan pemerintah dan perusahaan lain. Kemitraan kami dengan pemerintah Indonesia telah memungkinkan kami untuk memainkan peran yang lebih besar dalam memerangi krisis COVID-19.

Akhirnya, kita harus melihat kembali ke internal, memastikan bahwa karyawan kita didukung dengan baik. Dengan kerja jarak jauh yang mungkin menjadi norma baru selama beberapa waktu, kami telah menjelajahi serangkaian interaksi virtual reguler, seperti sesi talk show virtual dengan pakar kesehatan masyarakat, dan balai kota dengan tokoh-tokoh politik juga industri utama. Kami juga telah memperluas layanan pengobatan jarak jauh gratis ke semua karyawan OVO, untuk memberi mereka alat dan layanan untuk menerima perawatan medis dari jarak jauh, jika mereka membutuhkannya.

Kr: Pada wawancara tahun lalu, OVO menyampaikan fokusnya di 2020 untuk produk pinjaman, investasi, dan layanan asuransi digital. Bagaimana pandemi ini mempengaruhi rencana dan strategi OVO ke depan?

JT: Fokus kami tetap konsisten, kami ingin memperkenalkan lebih banyak penawaran asuransi dan investasi bagi konsumen, untuk memperkuat proposisi kami untuk menyediakan rangkaian layanan keuangan paling komprehensif untuk semua orang Indonesia. Awal tahun ini, kami mengumumkan kemitraan strategis dengan Bareksa di mana pengguna OVO dapat dengan mudah membeli reksa dana melalui Bareksa. Kami juga telah bermitra dengan Prudential Indonesia untuk meluncurkan premi kematian kecelakaan pribadi dan perlindungan COVID-19 gratis, yang dapat diakses melalui aplikasi OVO. Program ini telah berjalan sejak pertengahan April dan telah dipenuhi dengan permintaan tinggi dari masyarakat.

Untuk layanan pinjaman konsumen, kami secara proaktif mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi metode pembayaran dan pembayaran pinjaman untuk melindungi pengguna kami dan menawarkan opsi pembayaran yang fleksibel. Kami juga secara aktif berinvestasi dalam produk dan sumber daya teknologi, khususnya dalam tim untuk peminjaman, investasi, dan asuransi B2B, dan kami membangun saluran komunikasi dengan regulator dan pemerintah untuk mendukung berbagai inisiatif. Akan ada lebih banyak informasi yang bisa dibagikan mengenai produk-produk ini ketika sampai pada waktu peluncuran.

Kr: Facebook Pay sedang mencari partner dan OVO menjadi salah satu kandidat. Jika hal ini terjadi, bagaimana kerjasama ini bisa mendukung OVO dan bagaimana Facebook Pay akan mempengaruhi ekosistem pembayaran mobile di Indonesia?

JT: Meskipun kami tidak dapat membagikan diskusi kemitraan yang sedang berlangsung, kami selalu terbuka untuk mengeksplorasi peluang baru untuk meningkatkan transaksi tanpa uang tunai, termasuk dengan Facebook atau organisasi lain. Sebagai platform ekosistem terbuka, kami berada di posisi yang tepat untuk bekerja sama dengan mitra industri lainnya untuk memanfaatkan basis data pengguna dan layanan kami untuk mendukung pelanggan kami, terutama pada saat seperti ini, di mana ada global pivot menuju pembayaran tanpa uang tunai.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

CEO Ovo, Jason Thompson Membahas Strategi Bisnis, Investasi, dan Rumor

Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.

Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.

Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.

KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.

Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo
Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo

KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?

Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.

Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.

Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.

Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.

Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?

JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.

Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.

Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.

Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.
Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.

Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?

JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.

Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.

Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?

JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.

Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.

Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?

JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.

Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.

Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?

JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.

Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.

Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.

Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.

Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].

Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.

Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?

JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.

Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?

JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].

Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.

Application Information Will Show Up Here


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Ovo CEO Jason Thompson talks company strategy, investments, and rumors

Indonesian digital payments player Ovo is undoubtedly a newsmaker in the country’s digital ecosystem. The company has grown rapidly in the past year and it has achieved many important milestones: it acquired lending platform Taralite and online investment platform Bareksa, invested in two tech startups, and rolled out the PayLater feature.

Ovo recently made headlines when Indonesia’s then-IT minister Rudiantara announced that the company has entered the “unicorn club” as its valuation is USD 1 billion. According to the 2019 Indonesian Fintech Report by Daily Social, Ovo is the most popular e-wallet platform among Indonesians and it secured the second spot as the most used digital wallet in the country.

The tallest trees catch the most wind, as Ovo has been in the media spotlight in the past few months because of merger issues with a competitor, Ant Financial-backed Dana. Most recently, its parent company, Indonesian conglomerate Lippo Group, reportedly sold 70% of its stake in Ovo due to the latter’s large expenditure.

Responding to the rumors, Ovo CEO Jason Thompson, remained neutral and said that he doesn’t really think of market speculation and wants to focus on further growing the business instead. With such dynamic competition in the Indonesian fintech landscape today, it is likely that we’ll see more of Ovo in many local and international news outlets in the future.

KrASIA recently met with Jason Thompson at the 2019 Wild Digital Conference in Jakarta, and he discussed the company’s strategies going forward.

Jason Thompson. Courtesy of Ovo
Jason Thompson. Courtesy of Ovo

KrASIA (Kr): Looking back at what Ovo has achieved this year, what stage is the company at now?

Jason Thompson (JT): Firstly, we are genuinely humbled to be recognized as the fifth unicorn. The whole team was really excited, and this accolade is great for business. It shows external investment, how rapid the growth of fintech in Indonesia has been and we are the only true fintech unicorn, but honestly, we feel that we just started.

However, it also forces a lot of pressure on us because the expectations are higher than ever—from Bank Indonesia, the government, and more importantly, from our customers. Looking back at this year, we’ve had a really tough but successful year. Our organization is growing, we really cemented ourselves as the number one payment platform in the country, we developed new services, and we’ve had a great year working with Grab and Tokopedia.

We’ve got some great metrics, as well. In 2019, we had more people transact with us thanks to the many partnerships we created in the ecosystem. Our annual transactions were 27.7 times higher than the previous year. We have increased total payment value by 18.5 times and in-store value facilities by 6.8 times. Ovo’s monthly active users grew 400% per annum this year.

I believe that financial literacy and inclusion have five challenges. The first is to get people to register on the platform, the second for them to top up, and the third is to encourage them to pay with our platform. The fourth and the fifth are to make them re-top up and finally, pay again with the same app. Now that people store their money with Ovo, we believe that we can drive financial literacy for savings, investments, and others.

Kr: What is Ovo’s focus in 2020?

JT: The three focus areas for me in 2020 include accelerating growth for lending, most of that will focus on merchants and some on consumer lending. The number two priority is to execute with Bareksa for e-investment.

I think we can learn from China’s success story with digital investment players like Yu’e Bao and see how we can execute it here in Indonesia. Number three is a focus on insurance via a partnership with Prudential. We’re still developing insurance products and expect to release them next year. So we are moving from payments into financial services this and next year.

As with payments, we’ll apply the open ecosystem for financial services. For example, for lending, we have consumer lending with Tokopedia through our PayLater feature. We also have Ovo Dana Tara, a capital loan specifically for our merchants, and Ovo Talangan Siaga, a special short-term loan for Grab partners and agents. It’s a hybrid of merchants and consumer lending agents, and we’ll scale this next year.

Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.
Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.

Kr: How have you positioned Ovo among its Indonesian digital wallet competitors?

JT: Our biggest competition is still cash because e-money payments currently only make up of 2.3% [of payments] in Indonesia, so I don’t think that the [mobile wallet] market is congested. Although many people want to enter the market by launching an e-wallet platform, it is difficult to sustain in Indonesia unless you have the right partnerships and usage model.

Our focus is to achieve sustainability, and that’s why we are investing more in financial services as we believe this is the right path to maturity and sustainability in the long run. We believe that as long as we serve our partners, merchants, and customers well, we will be successful in this market.

Kr: Entering Ovo’s third year, do you think that money-burning strategies like cashback and promotions are still relevant?

JT: I think cashback is important as a stimulus at a point in time, but it is not sustainable. It’s like a physics problem; if you’re going to move a large object, you need to have a huge amount of energy at the beginning of the movement, but once you get the momentum, then you can reduce that energy. With payments, the energy comes from subsidies.

We have a clear roadmap to sustainability and profitability, and we’ll reduce this [money-burning marketing] significantly next year. It’s not just us, I believe that our peers have also invested in a similar way to establish their business. So cashback or other promotions are still important but we have to rationalize them and there must be a path of subsidies’ corrections.

Kr: What’s the nature of Ovo’s partnership with Grab now, considering that Ovo is no longer the sole payment partner in Grab’s ecosystem?

JT: We’re an independent organization, so our relationships with Grab, also with Tokopedia, are mostly focused on execution. My teams spend a lot of time to think and plan about what can we do with Grab or Tokopedia. We have to serve them in the best way but we are not in an exclusive contract.

Now Grab has LinkAja in its ecosystem and Tokopedia has many payment offerings. We’re not in a privileged position with our partners, we have to work hard, otherwise, we’ll lose our position because the partnership is based on value exchange. We don’t believe in exclusivity as it is not good for the market and consumers.

Kr: Ovo has invested in two startups this year, new retail startup Warung Pintar and ad tech platform StickEarn. Are investments also part of your strategy going forward?

JT: These were very strategic moves, although relatively low in value. For StickEarn, we believe that engaging consumers through interactive marketing is critical, so we felt that the value exchange between the companies was very close. StickEarn is doing great things and they will be successful in Indonesia.

As for Warung Pintar, their existence is critical because nobody was defending the warung or street stalls before. When I first came to Indonesia, I quickly realized that warungs are central to Indonesian culture, but nobody really takes care of them.

Warung Pintar learned their problems and thought about how they could bring a different model for warungs so they can serve more in the community. They provide the warungs with digital support and infrastructure including payments, and I’m really excited about the work we’re doing here.

Investments in these two companies involve specific purposes. It is really about working strategically to drive financial inclusion but I wouldn’t expect to invest in more five or ten companies in the future because we’re not a platform for entrepreneurs. Our mission is to serve the market, and one way is by establishing a strategic partnership with other organizations and see how we can exchange and maximize our values.

Kr: Ovo has been dealing with many rumors this year, one of the biggest is the merger with Dana. How are you addressing this issue?

JT: What I can tell you is I don’t really think about noisy speculations out there. The fintech landscape is dynamic, I feel that people like to speculate about fintech players like what they do in football, you know, every season football fans will predict which clubs will buy which players, and so on [laughs].

What will happen in 2020 is that the market will start to fracture. It may lose people because the global investment environment is changing rapidly, and if businesses don’t have a clear strategy, it will be a tough year for them. So we’re focusing on execution and closely watching the market, which already takes 18 hours a day of my life so I have no capacity for anything else.

Kr: Are you planning to raise capital soon?

JT: We probably will raise the capital sometime during the first half of next year. We’re exploring that opportunity but we have no announcement yet about the potential investors or clear timeline for now.

Kr: How do you view the mobile payments landscape in Indonesia today?

JT: Globally, Indonesia is the centre of fintech right now. China, to a large degree, is hard to touch because there are already too many dominant players with Ant Financial currently leading [the market].

What I see is that the fintech revolution is happening here and that more organizations are trying to come to Indonesia, both legally or illegally. We have to ensure that we protect our ecosystem, economy, and domestic income. The development of regulations is the key to ensuring a healthy business and ecosystem, and I genuinely think that Bank Indonesia has been doing well and been supportive so far. I believe fintech in Indonesia is maturing and will reach its inflection point in three to five years.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Ovo Segera Hadirkan Produk Reksa Dana, Tunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra Jadi Presdir

Bareksa dan Ovo mengumumkan kolaborasi bisnis terbaru, memungkinkan hadirnya produk reksa dana di dalam aplikasi Ovo. Inisiasi tersebut diharapkan dapat mendongkrak jumlah investor dengan semakin mempermudah akses pembayaran melalui uang elektronik.

Hanya saja, kedua perusahaan masih menunggu restu dari Bank Indonesia dan OJK selaku regulator di masing-masing industri. BI mengarahkan saldo reksa dana akan terpisah dari saldo Ovo, namun itu belum menjadi keputusan final, lantaran inovasi ini adalah pertama kalinya hadir di Indonesia.

Co-Founder & CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra menerangkan sebelumnya konsep penjualan reksa dana dengan memanfaatkan channel distribusi dari platform e-commerce Bukalapak dan Tokopedia telah terbukti sukses dan bisa dilaksanakan. Dia pun optimis, regulator akan sangat mendukung inisiasi bisnis dari Bareksa dan Ovo.

“Kami sedang minta arahan dari BI dan OJK terkait integrasi bisnis e-investing dan e-money. Ini adalah hal yang baru, namun kita bisa lihat sebelumnya konsep e-commerce dan e-investing berhasil dilakukan dan memberikan hasil yang luar biasa,” terangnya di acara Bareksa-Kontan 3rd Fund Awards 2019, kemarin (18/9).

CEO Ovo Jason Thompson menambahkan, kemitraan dengan kedua perusahaan diharapkan dapat mendorong pendalaman pasar. Alhasil, siapapun dan di manapun bisa berinvestasi reksa dana lewat Ovo. Dari data yang ia kutip, ada 99,7% orang Indonesia yang belum memiliki akun SID.

Pihaknya mendesain ambang minimum investasi yang terjangkau, mudah untuk membeli dan menjualnya, dan imbal hasil yang menarik. “Kami ingin menyelesaikan masalah nyata terjadi di Indonesia dengan cara termudah yang bisa langsung diadopsi oleh konsumen,” terangnya.

Bakal ada panduan dari OJK

Turut hadir dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Investasi OJK Solihin. Ia mengatakan sebenarnya kolaborasi Bareksa sebagai APERD dengan pemain uang elektronik sudah diakomodasi dalam POJK Nomor 23 Tahun 2016. Di dalamnya menyebutkan pembayaran transaksi bisa memakai sistem pembayaran elektronik.

“Namun, yang ini [Bareksa dan Ovo] agak sedikit berbeda karena ada integrasi saldo e-money-nya dengan dana di reksa dana, sehingga butuh kajian dulu. Kita sudah berdiskusi dengan BI, nanti akan kita keluarkan panduan bagaimana seharusnya penempatan produk reksa dana di dalam aplikasinya karena kita harus tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan pemasarannya harus sesuai,” terang Solihin.

Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti menambahkan, baik Bareksa maupun Ovo harus memperhatikan bahwasanya bank sentral telah membuat aturan main dari uang elektronik. Artinya, ketika akan digunakan untuk membeli reksa dana, haruslah konsumennya sudah terdaftar dalam sistem.

Lalu, maksimal dana yang dapat disimpan dalam satu akun adalah Rp10 juta dan transaksi dalam sebulan tidak boleh lebih dari Rp20 juta. Rambu-rambulah ini harus diperhatikan.

Bank sentral juga tidak ingin tutup mata, apabila ke depannya masyarakat makin menikmati penggunaan transaksi lewat uang elektronik untuk menaikkan ambang batas (capping) dari sebelumnya.

“Nanti bisa saja kita evaluasi dari maksimal dana di uang elektronik, tentunya masukan dari masyarakat sangat kami harapkan,” kata Ida.

Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor reksa dana melonjak pesat dari sebelumnya stagnan di 350 ribu pada empat tahun lalu. Kini, per 9 Agustus 2019 telah mencapai 1,39 juta. Kenaikan juga didukung oleh meningkatnya dana kelolaan (AUM) naik 98% dari 2015 menjadi Rp538,4 triliun.

Pencapaian dari Bareksa sendiri telah menggaet 1,3 juta investor per Agustus 2019, atau diklaim merepresentasikan 42% investor reksa dana di seluruh Indonesia.

Penggunaan uang elektronik dipercaya akan semakin mendorong jumlah investor reksa dana. Mengacu dari data BI, nilai transaksi pembayaran uang elektronik mencapai Rp47,19 triliun pada tahun lalu. Nilai itu melonjak empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp12,37 triliun.

Karaniya Dharmasaputra ditunjuk jadi Presiden Direktur Ovo

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Sejalan dengan kemitraan, Karaniya kini resmi ditunjuk sebagai Presiden Direktur Ovo menggantikan posisi Adrian Suherman yang telah menjabat selama 3 tahun. Sejauh ini belum ada kabar tentang pengganti posisinya sebagai CEO di Bareksa, sehingga bisa dibilang ia kini memegang kendali dua perusahaan sekaligus.

“Kepercayaan ini merupakan sebuah amanah untuk terus membangun Ovo, bukan hanya sebagai pelaku industri fintech terpercaya tapi juga sebagai aset nasional strategis yang akan menjadi mitra pemerintah dan pemangku kepentingan lain, dalam mendorong laju inklusi keuangan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui teknologi digital,” sambut Karaniya.

Pengumuman kolaborasi dengan Ovo ini sebenarnya memperkuat indikasi terjadinya akuisisi yang sudah diisukan sejak beberapa waktu lalu, hanya saja kedua belah pihak masih enggan menanggapinya. Techcrunch bahkan sudah mempublikasi akuisisi Bareksa oleh Ovo pada April 2019 senilai $20 juta (sekitar 281 miliar Rupiah).

Dalam presentasinya Jason menjelaskan, Ovo menerapkan konsep open ecosystem sehingga semua pihak bisa bergabung ke dalamnya. Bareksa menjadi salah satu perusahaan yang melengkapi portofolio Ovo, bersama dengan Tokopedia dan Grab.

Rangkaian bisnis Ovo menyangkut tiga pilar, yakni sistem pembayaran, reward, dan fintech. Dalam bisnis fintech, Ovo telah menyediakan layanan merchant lending, asuransi, big data enabled consumer, dan terintegrasi dengan instrumen manajemen dan investasi.

Di ritel offline, Ovo telah dimanfaatkan oleh 122 juta pengguna dan 500 ribu merchant. Saldo Ovo bisa dipakai untuk berbagai kebutuhan, seperti transfer dana ke antar pengguna, bayar tagihan, dan sebagainya.

Bicara capaian bisnis, tanpa menyebut angka detail, Jason memaparkan pertumbuhan MAU tembus 11,5 kali lipat di Juli 2019 dibandingkan Mei 2018 dan annualized transactions naik 27,8 kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, secara nominal, annualized TPV (Total Payment Volume) naik 18,6 kali lipat, dan SVF (Stored Value Facilities) naik 6,9 kali lipat.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ovo is Indeed Indonesia’s Fifth Unicorn

Ovo’s former Director, Johnny Widodo (now the CEO of BeliMobilGue) said earlier this year at the interview with CNBC Indonesia that the digital payment platform has reached valuation over $1 billion or so-called unicorn. The news might be sealed and Indonesia’s “officially” still the country with four unicorns, Gojek, Tokopedia, Traveloka, and Bukalapak.

Last week, Finance Asia with its source, stated Ovo’s valuation at the latest round has reached $2.9 million (over 40 trillion Rupiah) – the number which may be obsolete today.

Regarding this news, our source at Ovo didn’t deny the Lippo Group initiated company supported by Tokyo Century Corp, Grab and Tokopedia, is indeed at the unicorn stage.

DSResearch’s Startup Report 2018 put Ovo as the closest unicorn-to-be, among all those startups with over $100 million valuation.

As the leading company of digital payment with GoPay, the company is clearly proceeding a big amount of funds that touch trillion Rupiahs per year. Ovo’s selection as the primary payment method on Tokopedia also boosts the increasing use of this instrument on average for every user.

A piece of news arose last weekend of Ovo and Dana merger in an effort to dominate the digital payment head to head with Gojek in Indonesia.

In fact, the unicorn title is not to solve all problems. The rumor of Bukalapak’s layoff due to profitability is an example of running a business won’t be that easy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

Startup Unicorn Kelima Indonesia Memang adalah Ovo

Awal tahun ini, mantan Direktur Ovo Johnny Widodo (kini menjadi CEO BeliMobilGue) dalam wawancara dengan CBNC Indonesia sudah menyebut platform pembayaran digital itu sebagai salah satu yang bervaluasi lebih dari $1 miliar atau sering kita kenal sebagai unicorn. Narasi tersebut tampaknya diredam sehingga Indonesia saat ini “secara resmi” masih memiliki empat unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.

Finance Asia minggu lalu, menurut sumber yang dikutipnya, menyebutkan valuasi Ovo saat pendanaan putaran terakhir mencapai $2,9 miliar (atau lebih dari 40 triliun Rupiah)–angka yang bahkan mungkin sudah obsolete hari ini.

Menanggapi hal ini, sumber kami di Ovo tidak menolak bahwa perusahaan yang diinisiasi Lippo Group dan didukung Tokyo Century Corp, Grab, dan Tokopedia ini memang sudah mencapai kondisi unicorn.

Startup Report 2018 yang disusun DSResearch menempatkan Ovo sebagai calon terdekat untuk status unicorn, di antara jajaran startup yang memiliki valuasi di atas $100 juta.

Sebagai perusahaan yang memimpin industri pembayaran digital bersama GoPay, perusahaan ini jelas memproses perputaran dana yang sangat besar yang mencapai triliunan Rupiah per tahunnya. Dipilihnya Ovo sebagai pilihan pembayaran primer di Tokopedia mendorong peningkatan penggunaan instrumen ini secara rata-rata untuk setiap pengguna.

Akhir pekan lalu sempat diberitakan ada potensi menyandingkan Ovo dan Dana untuk mendukung usaha mendominasi segmen pembayaran digital dalam kompetisinya menghadapi Gojek di Indonesia.

Tentu saja menyandang status unicorn bukan berarti bisa menyelesaikan semua permasalahan. Kabar perampingan pegawai Bukalapak demi alasan profitabilitas menjadi contoh menjalankan startup, yang memiliki kebutuhan pertumbuhan dan keuntungan, tidak semudah yang dibayangkan.

Application Information Will Show Up Here

Ovo Umumkan Kemitraan dengan Platform Fintech Bareksa, Taralite, dan Do-It

Ovo mengumumkan kemitraan strategis dengan tiga perusahaan fintech Bareksa, Taralite, dan Do-It dalam rangka merealisasikan ambisinya sebagai platform fintech dengan ekosistem terbuka. Dalam keterangan resmi, pihak Ovo tidak memberikan konfirmasi langsung terkait kabar berinvestasinya perusahaan ke Taralite.

“Kemitraan ini merupakan bentuk nyata komitmen Ovo untuk menghadirkan layanan finansial yang mampu merangkul seluruh masyarakat Indonesia. [..] Ovo terus menghadirkan solusi untuk menjawab kebutuhan pengguna dan merchant serta tercapainya inklusi keuangan yang berkesinambungan,” kata CEO Ovo Jason Thompson, Selasa (19/3).

Langkah strategis ini, sambungnya, mempertegas cakupan layanan Ovo di luar pembayaran, menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia untuk memperoleh pembiayaan yang cepat dan dapat diandalkan. Demikian pula untuk pelaku UKM yang kini berkesempatan memperoleh modal pengembangan usaha.

Secara terpisah, Co-Founder dan CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra mengonfirmasi bahwa ini hanya sebatas kemitraan strategis, sehingga tidak ada investasi khusus yang diberikan Ovo kepada perusahaan.

“Ini dalam rangka kolaborasi atau sinergi bisnis. [Selain dengan Ovo] Kami beberapa waktu ini sedang melakukan penjajakan strategic partnership dengan beberapa pihak untuk scaling up bisnis Bareksa ke depan,” ujarnya kepada DailySocial.

Dia melanjutkan, teknis implementasi dengan Ovo masih dalam proses pematangan. Bareksa juga bermitra dengan Tokopedia untuk produk reksa dana online.

Buat Do-It, kemitraan ini menandai momen penting perusahaan untuk mempercepat laju pertumbuhan. Sementara Taralite, lewat kolaborasi antara Ovo dan Tokopedia (lewat Ovo PayLater), menjadi peluang untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang belum memperoleh layanan finansial secara optimal.

“Sebagai platform pinjaman online terpercaya, kerja sama ini akan diharapkan mampu meningkatkan pemerataan akses terhadap ekonomi digital,” ujar CEO Taralite Abraham Viktor.

Ovo Segera Perluas Layanan Finansial di Tahun 2019

Ovo segera perluas layanan finansial untuk para penggunanya, setelah mengawali bisnis sebagai platform pembayaran. Layanan finansial yang tengah dikembangkan adalah asuransi, cicilan online tanpa kartu kredit, dan pinjaman online. Rencananya seluruh layanan ini akan hadir secara paralel pada kuartal pertama tahun 2019.

CPO Ovo Albert Lucius menjelaskan, untuk menyediakan seluruh layanan ini perusahaan terbuka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai mitra. Hal tersebut ditekankan mengingat konsep Ovo adalah open platform.

Ia enggan merinci seperti apa bentuk konkret dari layanan baru yang akan dirilis. Namun ia menggambarkan pengguna Ovo terdiri dari berbagai segmen, di antaranya kalangan UKM dan pengemudi Grab. Para pengguna tersebut nantinya bisa mengajukan pinjaman buat mengembangkan usaha mereka.

Khusus untuk cicilan online, Albert menuturkan saat ini baru berjalan uji cobanya dengan Tokopedia, bekerja sama dengan startup fintech lending Taralite. Produk tersebut dinamai OVO PayLater.

“Jadi kan ada merchant, driver, dan agen; kalau mereka butuh capital bisa langsung dari partner-nya. Sementara partner-nya Ovo ada banyak, seperti Grab punya partner-nya sendiri misalnya Toyota. Nah kami bisa hadir di situ, intinya Ovo sebagai wadahnya,” terang Albert, yang dulunya memegang posisi sebagai Co-Founder dan CEO Kudo, Kamis (20/12).

Dengan jaringan pengguna yang besar, menurut Albert, inovasi ini merupakan nilai tambah yang bisa diberikan perusahaan kepada seluruh merchant, pengemudi, dan agen pengguna Ovo.

Tak hanya mengembangkan layanan finansial, sambungnya, Ovo juga bakal memperbaiki aplikasi untuk end-user. Menurut Albert, masih banyak hal dari aplikasi yang perlu diperbaiki agar memberikan nilai lebih.

Aplikasi Ovo sejauh ini sebatas digunakan apabila pengguna ingin melakukan pembayaran ke merchant. Padahal di dalam aplikasi ada voucher dan deals yang bisa dipakai, namun masih jarang yang memanfaatkannya.

“Sekarang kita ada akses jaringan ke merchant, banyak kesempatan bisnis yang bisa kita kembangkan buat mereka. Tujuan kita adalah mendukung bisnis ​merchant, khususnya dari sektor UKM untuk mengembangkan bisnis dan mencapai inklusi keuangan yang berkesinambungan.”

Perkembangan setahun Ovo

CEO Ovo Jason Thompson menerangkan, fondasi Ovo dibangun secara perlahan per kuartalnya. Pada kuartal pertama, mempelajari pasar Indonesia dan mulai membangun teknologi untuk strategi awal sebagai platform pembayaran offline di mall.

Kemudian pada kuartal kedua dilanjutkan dengan kemitraan strategis dengan Bank Mandiri, Grab, dan Moka untuk strategi O2O. Berikutnya, merambah kemitraan strategis lainnya dengan Alfamart, Kudo, dan Tokopedia untuk pembayaran online.

“Pada tahun pertama, Ovo tidak ingin menjadi platform pembayaran seperti kebanyakan. Kami ingin melayani pasar sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Jadi langkah yang kami ambil adalah menjadikan Ovo sebagai open platform yang bisa menghubungkan berbagai partner,” terang Thompson.

Dari data yang diumumkan, Ovo mengklaim memiliki 115 juta basis pengguna, sekitar 77% di antaranya berlokasi di luar Jabodetabek. Volume transaksi tembus lebih dari 1 miliar dalam setahun dengan pertumbuhan 400%, mayoritas berasal dari sektor transportasi, ritel, dan e-commerce.

Volume transaksi pembayaran yang telah diproses (Total Payments Value/TPV) naik 75x lipat. Adapun dana yang mengendap (stored value) tiap kuartalnya tumbuh 52%.

Ovo dapat dipakai sebagai platform pembayaran digital di lebih dari 500 ribu gerai offline. Berikutnya, hampir 180 ribu merchant UKM yang sudah bermitra dapat menerima pembayaran dengan kode QR.

Untuk top up dompet digital Ovo kini dapat dilakukan melalui lebih dari 1 juta top-up points, termasuk pengemudi Grab, ATM Mandiri, dan Alfamart. Cakupan layanan Ovo menjangkau 93% layanan di Indonesia.

Seluruh pencapaian tersebut membuat Ovo percaya diri untuk mengklaim sebagai platform pembayaran terbesar dengan jangkauan terluas se-Indonesia.

“Kini Ovo menjadi platform yang paling lengkap untuk semua use case. Ini sesuai dengan ambisi kami yang ingin hadir di setiap touch point para pengguna di kehidupan sehari-harinya dengan menganut konsep open platform. Kami juga bakal perbanyak kemitraan dengan pemerintah dan swasta untuk mewujudkan inklusi keuangan yang rata,” tutup Direktur Ovo Harianto Gunawan.

Application Information Will Show Up Here

Ovo Partners with Hooq, Introducing Service Integration

Hooq and Ovo announce the strategic partnership. Users can now pay subscription fees via Ovo and they’ll get special offers to access content on Hooq.

The partnership is to extend opportunities in acquiring users. Hooq is currently one of the biggest movie and video on demand service in Indonesia, in terms of many Indonesian movie productions supported by Hooq.

On the other hand, Ovo is a major competitor for Go-Pay as the leading e-money platform. Some of Ovo’s strategic partnership in 2018 have succeeded in boosting popularity and increasing users. One is the strategic partnership with Tokopedia, replacing TokoCash as “digital money” and an instant payment method.

Both Hooq and Ovo are trying to top the market in each segment. Ovo with its plan to acquire more users by making innovations and strategic partnerships. It is said that Ovo currently has 350,000 merchant partners in 212 cities. Hooq, is trying to make it as the first choice by providing box office movies with “budget” price or daily subscription for Rp3,900.

“We’re glad to announce the partnership with Ovo. This is our first strategic move in this area. It unites two popular brands in each industry with the same goal, to provide users with seamless experience in browsing, payment, and entertainment,” Peter Bithos, Hooq‘s CEO, said.

Bithos explained further that this partnership shows Hooq uniqueness, and an innovative investment in their platform to integrate with others.

Hooq users, through this partnership, can use Ovo balance to make subscription payment. In terms of Ovo users, there will be special offers at cut-price to attract new users.

“Our vision is to be accessible for everyone. Thus, we’ll continue to expand and develop strategic partnership as part of our open economy strategy. Through the partnership with Hooq, we expect to provide the best experience for our 60 million users by allowing them to browse, pay, and watch entertainment on our platform,” Jason Thompson, Ovo‘s CEO, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here