Evermos Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 427 Miliar Rupiah, Bisnis Social Commerce Menggeliat

Startup social commerce Evermos mengumumkan telah menutup pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 427,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh UOB Venture Management melalui Asia Impact Investment Fund II. Beberapa investor lain yang terlibat termasuk MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Future Shape, dan turut didukung investor sebelumnya yakni Jungle Ventures dan Shunwei Capital.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk memperkuat tim kepemimpinan, melakukan ekspansi, dan mengembangkan teknologi. Kabar putaran seri B Evermos sebelumnya kami beritakan sejak Agustus 2021 lalu, termasuk adanya keterlibatan 2 CVC milik grup Telkom.

“Visi kami adalah memberdayakan satu juta pengusaha mikro dalam lima tahun ke depan. Salah satu faktor utama yang memengaruhi cara kami menjalankan bisnis adalah dengan mengukur keberlanjutan dan dampak sosial dari platform kami,” ujar Co-Founder & President Evermos Arip Tirta.

Ia juga mengatakan, bahwa selama ini pendapatan perusahaan banyak disokong dari individu dan UKM d kota tier-2 dan 3. Untuk menguatkan keberadaannya di wilayah tersebut, saat ini mereka tengah menjalankan percontohan program “Desa Evermos”, melibatkan hampir 100 desa. Di program itu, warga lokal yang masih kurang produktif diberdayakan menjadi mitra reseller — termasuk dilatih dengan prinsip kewirausahaan.

Konsep social commerce Evermos

Sejak didirikan pada November 2018 lalu oleh Arip, Ghufron Mustaqim, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq; saat ini Evermos telah memiliki sekitar 100 ribu reseller aktif di 500 kota. Mereka bermitra dengan lebih dari 500 brand dengan 90% di antaranya datang dari kalangan UKM lokal yang dikurasi.

Produk yang disediakan kebanyakan adalah komoditas busana muslim, produk kesehatan/kecantikan halal, makanan dan minuman, dan lain-lain — sebagian besar mengutamakan produk bernuansa halal. Dari sisi bisnis, dalam dua tahun terakhir mereka mengklaim mendapati pertumbuhan hingga 60 kali.

Aplikasi Evermos memfasilitasi masyarakat yang ingin menjadi reseller. Para pengguna tersebut selanjutnya bisa menjual produk yang ada di aplikasi ke jaringannya, melalui WhatsApp atau media sosial. Ada bagi hasil atau imbalan yang diterapkan. Pihak Evermos sendiri, selain menyediakan produk, juga membantu dari sisi pengelolaan logistik, dukungan konsumen, dan teknologi.

Co-Founder & Deputy CEO Evermos Ghufron Mustaqim menyatakan bahwa dasar filosofi bisnisnya adalah ‘Ekonomi Gotong Royong‘, mengedepankan pemberdayaan ekonomi kolaboratif. Melalui jaringan reseller yang ada, Evermos ingin menjadi sarana bagi UKM lokal untuk mengembangkan bisnis mereka, di sisi lain akan menghasilkan pendapatan tambahan bagi reseller.

Potensi social commerce di Indonesia

Total GMV yang dihasilkan dari bisnis perdagangan online memang terus bertumbuh pesat di Indonesia – sampai saat ini masih memiliki proporsi terbesar di regional. Menurut data Bain & Co., seperti divisualisasikan Statista, pada tahun 2020 total GMV untuk bisnis perdagangan online di Indonesia telah mencapai angka $47 miliar.

Kendati mayoritas datang dari e-commerce atau online marketplace, layanan social commerce memiliki sumbangsih yang tidak kecil, yakni sekitar $12 miliar.

Sementara itu menurut McKinsey, bisnis social commerce diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan pesat hingga $25 miliar pada tahun 2022 mendatang. Kondisi pandemi menjadi salah satu katalisator, hal ini terkait perubahan cara orang berbelanja dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh social commerce.

Senior Director UOB Venture Management Clarissa Loh menjelaskan, model social commerce Evermos dapat menjadi jembatan dalam menjawab kesenjangan ini, dengan memungkinkan para reseller-nya untuk memasarkan produk para UKM lokal.

“Platform Evermos juga memberdayakan brand lokal dan menciptakan sumber pendapatan bagi masyarakat menengah ke bawah yang minim akses dan kesempatan, namun memiliki dan menggunakan smartphone (underserved community),” imbuh Clarissa.

Pemain social commerce di Indonesia

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan serupa. Bahkan sepanjang tahun 2021 ini, beberapa startup social commerce lain turut mendapatkan pendanaan dari investor, meliputi:

Startup Tahapan Pendanaan
RateS Seri A
Raena Seri A
KitaBeli Seri A, 114 miliar Rupiah
Super Seri B, 405 miliar Rupiah
Dagangan Pra-Seri A
Application Information Will Show Up Here

VIDA Kantongi Pendanaan Pra-Seri A, Fokus Perluas Ekosistem Indentitas Digital

VIDA, platform pengembang solusi verifikasi identitas, tanda tangan elektronik, dan kredensial digital mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari investor yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan.

Dengan dana segar ini, perusahaan akan fokus pada perekrutan, pengembangan teknologi, dan pemasaran; serta memperluas kehadirannya di sektor fintech, perbankan, asuransi, dan perawatan kesehatan. Tercatat saat ini teknologi VIDA telah digunakan oleh startup hingga perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, Ajaib, Sicepat, Trevo, LINE, hingga HappyFresh.

“Kami percaya bahwa kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan dan memberdayakan ekosistem, serta membangun kolaborasi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam dalam ketahanan jaringan terpercaya,” kata Founder & Executive Chairman VIDA Niki Luhur.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengungkapkan, VIDA menawarkan solusi mutakhir yang akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital Asia Tenggara. “Kami telah melihat bagaimana solusi serupa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pasar Amerika Serikat dan Eropa, tetapi tidak sebanyak di Indonesia di mana tidak ada pemain dominan di sektor ini.”

Terdaftar di otoritas

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi WebTrust dan terdaftar dalam Adobe Approved Trust List (AATL). Selain itu mereka telah meraih sertifikasi ISO 27001. Sehingga tanda tangan digital VIDA adalah dapat dikenali di lebih dari 40 negara.

Saat ini VIDA juga terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK di klaster e-KYC.  Selain itu, kini mereka telah terdaftar dan berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai PSrE atau Certification Authority (CA).

“Verifikasi identitas mendasari setiap transaksi digital. Kami memanfaatkan keahlian kami dalam keamanan siber untuk membangun produk yang secara mendasar mengubah pengalaman pengguna di berbagai platform dan produk digital. Sebagai penyedia kepercayaan digital, kami memberikan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh keamanan siber saat ini,” kata Niki.

Industri tanda tangan digital

Urgensi penerapan tanda tangan digital atau sistem verifikasi pendukung makin krusial di tengah lahirnya layanan digital yang membutuhkan keamanan ekstra — seperti layanan finansial. Perannya juga makin dominan kala pandemi memaksa setiap aktivitas untuk bertransformasi secara digital, proses persetujuan untuk mengesahkan sebuah dokumen legal pun kini dituntut untuk bisa dilakukan secara daring.

Melihat potensi tersebut, beberapa startup kemudian menggarap layanan sebagai pendukung. Di klaster e-KYC IKD OJK sendiri saat ini tercatat ada empat pemain terdaftar, termasuk PrivyID, Digisign, dan ASLI RI.

Daftar penyelenggara e-KYC yang tercatat di klaster IKD OJK

Platform e-KYC membantu sebuah layanan digital untuk memverifikasi keabsahan identitas calon pengguna. Biasanya mereka juga menghubungkan sistem verifikasi dengan data yang dimiliki Dukcapil.

Sementara itu untuk penyelenggara sertifikasi elektronik atau digital signature, regulasinya melalui Kementerian Kominfo. Setiap pemain yang mendaftarkan diri akan mendapat peringkat mulai dari terdaftar, tersertifikasi, dan yang tertinggi berinduk. Untuk mencapai berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dari Kominfo

Evermos to Complete Its Series B Funding Round

Evermos social commerce platform for halal products is to complete its series B fundraising. Some investors, including the UOB venture unit, Jungle Ventures, and several others will be participated in this round. This news was confirmed by one of the company’s founders. This round is said to close in 1 or 2 weeks and to be officially announced.

Based on data, this round has generated $19.5 million or around 281 billion Rupiah. With its current status [open], the lists of investors and its valuation might still be changed.

Previously, Evermos received series A funding in late 2019. The fund worth of $8.25 million were successfully secured from Jungle Ventures, Shunwei Capital, and Alpha JWC Ventures.

Regarding business, Evermos Co-Founder Ghufron Mustaqim said in a previous interview, the business recorded a month-on-month growth of around 20% in 2020. Currently, Evermos has collaborated with around 500 brand owners (more than 90% are SMEs), gathering 50-75 thousand active resellers that reach 504 cities/regencies in Indonesia, and serve around 200-400 thousand consumers.

Efficient business model

The social commerce approach allows Evermos app to connect product owners and resellers. Each reseller partner also has the opportunity to receive training, including its relation to fiqh in business transactions. The Evermos warehouse has also been established as a fulfillment center, enabling partners to get more efficient COD and delivery features for their customers.

“Evermos is naturally more efficient with our business model. We do not have inventory and also do not burn much money for marketing as we are assisted by a team of resellers to market products to their neighbors, friends and family. Even from the start, Evermos’ contribution margin has been positive, also through 2020 when the pandemic occurred and we accelerated growth,” Ghufron said.

In Indonesia, there are already several players for social commerce services, such as Dagangan, Super, KitaBeli, RateS, etc. However, there is no specific player fully focused on halal products and sharia concepts. Also with e-commerce services or online marketplaces, halal products are also provided mingling with other brand variants, therefore, it is more fragmented.

Sharia economy opportunity

According to the “2020 Islamic Economic & Financial Report” published by Bank Indonesia, the market share of the halal industry in Indonesia has consistently increased. The most significant commodities are halal food and fashion.

Pendanaan Seri B Evermos
Indonesia’s halal industry market share towards global / Bank Indonesia

In terms of logistics movements, the volume of halal product transactions in May to December 2020 quantitatively grew 81.5% compared to the previous year period. Online shopping activity alone has experienced a 29.96% increase in e-commerce platforms and marketplaces over the past year.

With more than 200 million Muslim population, Indonesia is predicted to have tremendous potential for the halal industry. This makes players like Evermos quite optimistic to meet the market in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Evermos Segera Rampungkan Putaran Pendanaan Seri B

Platform social commerce untuk produk halal Evermos tengah merampungkan penggalangan seri B. Sejumlah investor seperti unit ventura UOB, Jungle Ventures, dan beberapa lainnya akan terlibat dalam putaran ini. Kabar ini turut dikonfirmasi oleh salah satu pendiri perusahaan. Dikatakan bahwa tidak lama lagi putaran ini akan ditutup; sekitar 1 s/d 2 minggu dan diumumkan secara resmi.

Dari data yang kami peroleh, putaran ini telah menghasilkan $19,5 juta atau sekitar 281 miliar Rupiah. Dengan posisi putaran pendanaan yang masih terbuka, ada kemungkinan susunan investor dan nilainya akan turut berubah.

Sebelumnya Evermos mendapatkan pendanaan seri A pada akhir 2019 lalu. Dana investasi senilai $8,25 juta berhasil dibukukan dari Jungle Ventures, Shunwei Capital, dan Alpha JWC Ventures.

Terkait bisnis, dalam wawancara sebelumnya Co-Founder Evermos Ghufron Mustaqim mengungkapkan, bisnisnya membukukan month-on-month growth sekitar 20% pada 2020. Saat ini Evermos telah bekerja sama dengan sekitar 500 pemilik brand (lebih dari 90%-nya adalah UMKM), memiliki 50-75 ribu reseller aktif yang menjangkau 504 kota/kabupaten di Indonesia, dan melayani sekitar 200-400 ribu konsumen.

Model bisnis efisien

Pendekatan social commerce yang diusung memungkinkan aplikasi Evermos menghubungkan pemilik produk dan reseller. Setiap mitra reseller juga mendapat kesempatan untuk mendapatkan pelatihan, termasuk kaitannya dengan fikih dalam bertransaksi bisnis. Gudang Evermos juga sudah didirikan sebagai fulfillment center, memungkinkan mitra mendapatkan fitur COD dan pengiriman yang lebih efisien untuk konsumennya.

“Evermos secara alami lebih efisien karena model bisnis kita. Kami tidak memiliki inventory dan juga tidak banyak bakar uang untuk marketing karena dibantu oleh pasukan reseller untuk memasarkan produk-produk ke tetangga, teman, dan keluarga mereka. Bahkan sejak awal secara contribution margin Evermos positif, termasuk di tahun 2020 ketika pandemi dan kami melakukan percepatan pertumbuhan,” tutup Ghufron.

Di Indonesia sendiri untuk layanan social commerce sudah ada beberapa yang bermain, seperti Dagangan, Super, KitaBeli, RateS, dll. Hanya saja memang belum ada yang sepenuhnya memfokuskan ke produk halal dan konsep syariah. Pun demikian layanan e-commerce atau online marketplace, produk halal juga tetap disediakan berbaur dengan varian brand lainnya, sehingga lebih terfragmentasi.

Potensi ekonomi syariah

Menurut “Laporan Ekonomi & Keuangan Syariah 2020” yang diterbitkan Bank Indonesia, pangsa pasar industri halal di Indonesia mengalami peningkatan konsisten. Komoditas yang paling signifikan adalah makanan halal dan fesyen.

Pendanaan Seri B Evermos
Pangsa pasar industri halal Indonesia terhadap global / Bank Indonesia

Ditinjau dari pergerakan logistik, volume transaksi produk halal pada Mei s/d Desember 2020 secara kuantitatif tumbuh 81,5% dibanding periode tahun sebelumnya. Aktivitas belanja online sendiri juga mengalami peningkatan 29,96% di platform e-commerce dan marketplace sepanjang tahun lalu.

Dengan lebih dari 200 juta penduduk muslim, Indonesia digadang-gadang memiliki potensi luar biasa untuk industri halal. Hal ini membuat pemain seperti Evermos cukup optimis untuk menyongsong pasar di kemudian hari.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Dinamika Pendanaan Startup di Asia Tenggara

Ekosistem startup di Indonesia berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Tak heran jika makin banyak startup yang menuai perolehan pendanaan besar dari berbagai venture capital.

Di video kali ini, DailySocial bersama David Gowdey dari Jungle Ventures membahas pengalamannya berinvestasi di startup-startup Asia Tenggara, mulai dari bersama Yahoo! hingga akhirnya mengelola dana sendiri di Jungle Ventures, termasuk dampak pandemi bagi tren pendanaan startup.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocial TV.

Hypefast Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri A Senilai 203,5 Miliar Rupiah (UPDATED)

*Pembaruan per 23 July 2021: Pihak Hypefast mengoreksi bahwa perusahaannya mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” alih-alih “Direct to Consumer”. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal distribusi brand produk, yakni melalui e-commerce dan kanal sendiri.

Hypefast dikabarkan telah membukukan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 203,5 miliar Rupiah. Dari data yang kami peroleh, putaran ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures dengan partisipasi Jungle Ventures, Strive, dan Amand Ventures.

Ketika dihubungi, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri memilih tidak memberikan komentar terkait pendanaan ini.

Ia menyampaikan, saat ini perusahaannya sedang fokus untuk menumbuhkan merek yang ada dalam portofolionya. Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 20 brand yang ada dalam jaringannya, mengelola lebih dari 150 tim di seluruh Asia Tenggara. Dengan model bisnis yang dijalankan, Hypefast juga mengaku sudah profitable sejak tahun pertamanya.

Seperti diketahui, Hypefast berinvestasi dan mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi brand global. Selain dukungan kapital, di dalamnya pemilik merek juga mendapatkan banyak dukungan mulai dari pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis.

Brand yang diakuisisi seperti pengembang produk busana, makanan, perawatan tubuh, dan lain sebagainya — yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual secara langsung ke konsumen melalui berbagai kanal, khususnya online marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dll. Dua contoh startupnya adalah Boonles dan NOORE Sport Hijab.

D2C mendapat momentum

Startup D2C atau new economy memang tengah menjadi perhatian di tengah perkembangan digital saat ini.  Di Indonesia juga mulai ada beberapa investor yang mulai menjamah secara serius startup D2C, di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

Di kancah global, khususnya Amerika Serikat, putaran investasi ke startup D2C sudah cukup kencang sejak beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, menurut data CBInsights, secara global performanya menurun di tahun 2020, salah satunya diakibatkan oleh pandemi.

Di Indonesia D2C justru seperti tengah mendapatkan momentum di tengah kehadiran [yang cukup marak] generasi entrepreneur baru. Faktor penting yang menjadi penyokong adalah tingginya minat konsumen dalam berbelanja di platform online marketplace – setiap tahun trennya mengalami pertumbuhan pesat membukukan GMV yang signifikan. Data terbaru dari Google, Temasek, dan Bain&Company per tahun 2020 GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk dari banyak brand. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Raksasa digital di Indonesia juga memiliki perhatian khusus ke startup D2C. Misalnya yang dilakukan decacorn Gojek, mereka memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem layanannya.

Social Bella Bags Another Funding Worth 818 Billion Rupiah Led by L Catterton

Beauty-tech startup Social Bella today (05/5) announced the latest funding of IDR 818 billion or around $57 million led by L Catterton, an investment company based in the United States. Indies Capital with two previous investors, East Ventures and Jungle Ventures, are also participated in this round.

Previously, in the middle of last year, Social Bella has received funding worth $58 million from Temasek, Pavilion Capital and Jungle Ventures. Recently, the company is aggressively expanding its omnichannel channel by opening offline shops in various cities. Currently their B2C business “Sociolla” already has 21 stores in 9 cities in Indonesia and 1 shop in Ho Chi Minh, Vietnam.

“Amidst the challenges [of the pandemic], we are very proud to see the consistent efforts of the Social Bella team to bring the best omnichannel service to our customers [..] The cooperation and investment from L Catterton, Indies Capital, East Ventures, and Jungle Ventures will drive our maximum potential to be the leading technology-based innovations as well as the best products to our customers in Indonesia, Vietnam and other regions,” Social Bella’s Co-founder & President, Christopher Madiam.

With its technology, omnichannel stores are designed to be interactive and directly integrated to the Sociolla website and the SOCO application. In order to get information and reviews about the products, visitors can simply scan the barcode on the SOCO application. In other way, if the visitor already has a wishlist of products to buy in the shopping cart on Sociolla, they can immediately make a transaction in the payment section.

In fact, the business concept is still running amidst various restrictions due to the pandemic. Last October 2020, at a media gathering, Social Bella said that there was an increase throughout the year of nearly 50% in terms of shopping at Sociolla. There are more self-care products, because the average consumer is motivated to take advantage of their moments of activity at home to take care of themselves.

“The beauty and personal care industry penetration in Southeast Asia continues to grow rapidly with innovative ‘players’ such as Sociolla providing more choice, premium products and expanding both online and offline to its consumers [..] Innovations made by Sociolla is able to satisfy both consumers and brand principal equally,” L Catterton’s Principal & Investment Lead for Southeast Asia, Yock Siong Tee said.

Meanwhile, East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca added, “Sociolla has the elements that a beauty tech-company needs to have; integrated content, community, commerce, and retail. Moreover, looking at the results of our market research as well, we’re very excited to continue working with Social Bella.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Social Bella Kembali Bukukan Pendanaan Senilai 818 Miliar Rupiah, Dipimpin L Catterton

Startup beauty-tech Social Bella hari ini (05/5) mengumumkan perolehan pendanaan terbaru senilai 818 miliar Rupiah atau sekitar $57 juta dipimpin L Catterton, sebuah perusahaan investasi berbasis di Amerika Serikat. Indies Capital bersama dua investor sebelumnya, yakni East Ventures dan Jungle Ventures, turut terlibat dalam pendanaan ini.

Sebelumnya pada pertengahan tahun lalu Social Bella juga baru mendapatkan pendanaan senilai $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Akhir-akhir ini perusahaan sedang agresif memperluas kanal omnichannel dengan membuka toko-toko offline di berbagai kota. Saat ini bisnis B2C mereka “Sociolla” sudah memiliki 21 toko di 9 kota di Indonesia dan 1 toko di Ho Chi Minh, Vietnam.

“Di tengah semua tantangan [pandemi], kami sangat bangga melihat upaya konsisten tim Social Bella untuk menghadirkan layanan omnichannel terbaik untuk pelanggan kami [..] Kerja sama dan investasi dari L Catterton, Indies Capital, East Ventures, dan Jungle Ventures akan mendorong kapabilitas kami dalam menghadirkan inovasi berbasis teknologi terdepan serta produk-produk terbaik bagi pelanggan kami di Indonesia, Vietnam, dan wilayah-wilayah lainnya,” Co-founder & Presiden Social Bella Christopher Madiam.

Memanfaatkan teknologi, gerai omnichannel yang disuguhkan ke pelanggan didesain interaktif dan terhubung langsung ke situs Sociolla dan aplikasi SOCO. Untuk mendapatkan informasi dan ulasan seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

Konsep bisnis tersebut nyatanya juga tetap jalan di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi. Oktober 2020 lalu, dalam acara temu media, pihak Social Bella mengatakan bahwa sepanjang tahun ada peningkatan hampir 50% ukuran belanja di Sociolla. Tercatat produk perawatan diri lebih, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri.

“Penetrasi industri kecantikan dan perawatan diri di Asia Tenggara terus berkembang pesat dengan ‘pemain’ yang inovatif seperti Sociolla yang menyediakan lebih banyak pilihan, produk-produk premium dan meningkatkan jangkauannya baik secara online maupun offline terhadap konsumennya [..] Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Sociolla mampu memuaskan baik konsumen serta brand principal secara seimbang,” sambut jelas Yock Siong Tee selaku Principal & Investment Lead for Southeast Asia L Catterton.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Sociolla memiliki faktor-faktor yang perlu dimiliki oleh sebuah beauty tech-company; konten, komunitas, commerce, ritel yang terintegrasi. Selain itu, melihat hasil dari riset pasar kami juga sangat bersemangat untuk melanjutkan kerja sama bersama Social Bella.”

Application Information Will Show Up Here

Jungle Ventures Jelaskan tentang Filosofi dan Target Investasinya

Jungle Ventures adalah salah satu pemodal ventura yang memiliki fokus investasi di Asia Tenggara. Baru-baru ini mereka sampaikan capaian melalui dana kelolaannya yang mencapai $352 juta. Selama lima tahun, 35 startup telah diinvestasi — beberapa di antaranya berbasis di Indonesia, seperti Sweet Escape, Kredivo, RedDoorz, Sociolla, dan Waresix.

Menariknya, banyak dari portofolionya tersebut mendapatkan laju bisnis yang cukup signifikan di tengah pandemi. Ambil contoh, Waresix yang telah capai nilai di atas $100 juta melalui pendanaan seri B. Juga Sociolla yang berhasil bukukan pendanaan $58 kita dalam putaran seri E mereka. Untuk itu, Founding Partners Jungle Ventures Amit Anand menegaskan tekadnya untuk terus mendalami kerja samanya dengan ekosistem startup di Indonesia.

DailySocial berkesempatan untuk berbincang dengan Amit mengenai beberapa rencananya di Indonesia.

Filosofi investasi

Cakupan investasi Jungle Ventures cukup merata, dari startup di tahap awal (early stage) hingga tahap lanjut (growth stage). Mengawali obrolan, kami menyuguhkan pertanyaan yang mungkin cukup “retoris” tapi penting untuk memahami dasar mereka dalam berinvestasi. “Apakah Anda berinvestasi pada founder atau model bisnis?”

Tanpa ragu Amit mengatakan, bahwa mereka selalu mengutamakan founder. “Kami berinvestasi pada pemimpin masa depan yang mampu membangun bisnis berkelanjutan. Jadi terlepas dari unit ekonomi, ukuran pasar, dan jalur profitabilitas, komitmen waktu dan modal kami bernar-benar pada ada pada founder itu sendiri,” tegasnya.

“Built to Last” menjadi filosofi yang dipegang erat oleh Jungle Ventures. Landasan prinsipil tersebut memungkinkan mereka untuk membangun portofolio melalui startup unggulan di setiap kategori. Misalnya mereka memilih fokus pada Kredivo untuk layanan keuangan, Pomelo untuk fesyen, Reddoorz untuk perjalanan, Waresix untuk logistik, dan sebagainya.

Jungle Ventures melakukan pendekatan investasi portofolio yang terkonsolidasi. Dilakukan melalui beberapa agenda termasuk membantu pengembangan kepemimpinan secara langsung, memberikan modal jangka panjang, sekaligus membantu penataan neraca keuangan, berinvestasi bersama, dan kemitraan strategis.

“Kami juga percaya akan pentingnya menarik dan mempertahankan talenta terbaik, sehingga startup dapat meningkatkan pertumbuhan [..] (Melalui pendekatan itu) saat ini, portofolio startup Jungle Ventures dihargai lebih dari $4 miliar, tumbuh hampir 4,5x lipat sejak dimulai, dan masih terus berkembang,” imbuh Amit.

Ia melanjutkan, “Kami percaya bahwa teknologi dapat menghubungkan manusia antarkota dan negara dengan tetap beradaptasi dengan budayanya. Kami berinvestasi pada founder yang memiliki visi sama dalam menghubungkan ekonomi digital ini untuk mengatasi keterbatasan dalam model bisnis dan pangsa pasar.”

Target investasi

Secara spesifik Amit menyebutkan, bahwa akan menggulirkan 5-6 investasi setiap tahunnya, terlepas dari kondisi krisis atau tidak. Setiap tahun ada beberapa tema yang difokuskan, misalnya terkait consumer tech, digitalisasi UKM, dan SaaS. Potensi pasar yang ada di Indonesia jelas menjadi pertimbangan penting. Ia juga menekankan, pentingnya bekerja sama dengan founder Indonesia dengan ambisi regional dan global yang melebihi pasar domestiknya.

Pertumbuhan bisnis menjadi upaya yang ingin dilakukan bersama. “Founder sering kali dilatih untuk membuat langkah gila menuju pertumbuhan pendapatan sebagai cara satu-satunya untuk sukses. Mencoba memaksa perusahaan $1 juta menjadi $100 juta sebelum siap, maka pasti akan gagal. Di Jungle, pendekatan kami untuk membangun bisnis adalah dengan memprioritaskan pertumbuhan berkelanjutan daripada pertumbuhan yang dipercepat,” jelas Amit.

Poinnya, komitmen mereka untuk berinvestasi jangka panjang maka berimplikasi pada pemikiran dan kemitraan jangka panjang pula. “Kami ingin membangun Microsoft atau Google berikutnya di Asia dan kami tahu bahwa ini tidak dapat dilakukan hanya dalam beberapa tahun. Lebih dari sebelumnya, kami yakin bahwa hanya bisnis yang merencanakan ketidakpastian dan mampu berpikir jangka panjang yang akan sukses ke depannya.”

Penyesuaian pandemi

Covid-19 jelas membuat pemodal ventura berbagai hal secara berbeda. Berbagai keterbatasan yang diakibatkan pandemi menggerakkan konsumen untuk mengadopsi layanan online secara lebih cepat. Amit dan tim juga melihat peningkatan transformasi digital luar biasa yang terjadi tahun ini, dibandingkan lima tahun terakhir, terutama di pasar ritel Indonesia. Diproyeksi pada Q4 nanti akan melampaui besaran di India.

“Kami melihat dampak positif di beberapa startup teknologi. Misalnya, salah satu perusahaan portofolio kami Builder.ai (platform yang memungkinkan Anda membuat dan mendesain aplikasi seluler secara mandiri) telah melihat minat konsumen yang signifikan dan pertumbuhan secara keseluruhan. Builder.ai telah berubah dari 45 hari menjadi hanya 48 jam untuk menutup kesepakatan,” imbuh Amit.

Ia juga meyakini, sepuluh tahun ke depan wilayah Asia Tenggara sebagian besar akan menjadi ekonomi digital dengan tingkat digitalisasi yang masif seperti China saat ini, dengan ritel online berkontribusi hampir sepertiga.

Namun beberapa startup di lanskap tertentu mendapatkan dampak yang kurang baik. Nasihat yang selalu disampaikan ke portofolio adalah berpegang teguh pada filosofi Build to Last. “Kami percaya bahwa kesuksesan perusahaan sangat terletak pada kemampuan pendirinya untuk belajar, beradaptasi, dan membimbing tim melalui manajemen perubahan. Mereka yang mampu melakukannya akan bisa melewati ketidakpastian, bukan hanya pandemi ini.”

Sociolla Bags 841 Billion Rupiah Fresh Funding

Social Bella, the brand owner of the beauty e-commerce service Sociolla, announced US$ 58 million (more than 841 billion Rupiah) funding from global investors, including three previous investors, Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. This round happened amid crisis in the overall business environment due to the Covid-19 pandemic.

Funding is to be used to improve technology infrastructure. Investor support is aligned with the company’s target to bring its position in unlocking growth potential with a sustainable business model and comprehensive ecosystem.

Previously, the three investors participated in the Series D round in September 2019 for $ 40 million. Also in that round was EV Growth.

Social Bella’s Co-Founder and President Christopher Madiam said the pandemic was a challenge for the entire global business. However, he claimed the company was able to adapt quickly to serve the needs of consumers.

As seen from a significant increase in organic traffic on the platform during quarantine and recorded the highest shopping basket rate online. Although, it is not followed by detailed numbers.

“We are proud that both existing and new investors see the extraordinary potential of our ecosystem and strongly support our business plan,” he said in an official statement, Monday (6/7).

Jungle Ventures’ Managing Partner, David Gowdey added, his investment in Social Bella was the company’s important milestone in Indonesia. Social Bella is the first beauty company that presents a holistic ecosystem.

“This additional investment will strengthen our partnership with Social Bella and enable Jungle Ventures to expand regional cooperation,” said Gowdey.

Lilla by Sociolla

Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid explained, with strong support from the technological aspect of daily routine, the company wanted to provide a better shopping experience for its consumers.

“We recently launched a new line of business, Lilla by Sociolla, designed for moms with the best product curation for children and themselves. We see an increasing need for quality products in this consumer segment and we are trying to provide the best,” he said.

Besides Lilla, Social Bella has continued to expand its services since it’s debut in 2015. First, SOCO, an online consumer review platform for beauty and personal care products. Second, Beauty Journal, which is an online beauty and lifestyle media with O2O marketing services from upstream to downstream.

Third, Sociolla, beauty e-commerce with six offline stores and an omnichannel concept. Finally, Brand Development, a business unit that offers end-to-end distributor services for beauty and personal care brands to leading international manufacturers.

All of these business units is believed can reach around 30 million users this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here