Kaleidoskop Startup Teknologi Asuransi Sepanjang 2019

Asuransi adalah produk keuangan yang secara umum penetrasinya masih rendah di Indonesia. Kemunculan insurtech beberapa tahun terakhir berpeluang menambal kekosongan besar itu.

Sepanjang 2019 ini, industri insurtech di Indonesia dapat dikatakan cukup berkembang. Kami mencatat sejumlah cerita penting yang dihasilkan dari perjalanan setahun ini oleh para startup insurtech mulai dari pendanaan, ekspansi, hingga kolaborasi. Berikut ulasan lengkap dari kami.

Pendanaan dan investasi

Kabar pertama datang dari MDI Ventures yang mengumumkan rencananya untuk mengucurkan uang ke startup asuransi digital asal Singapura bernama CXA Group pada Maret silam. CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengatakan pendanaan tersebut akan bersinergi dengan jaringan Telkom Group perihal bisnis dan inovasi CXA.

Berita berikutnya berasal dari startup Qoala. Pada Mei lalu Qoala berhasil mengamankan pendanaan seed round sebesar US$1,5 juta atau sekitar Rp21,6 miliar dari Sequoia Capital India (Surge). Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin menyebut pendanaan ditujukan untuk inovasi teknologi asurasi bermacam industri dengan harapan memperluas jangkauan dan edukasi produk asuransi mikro di kota-kota kecil Indonesia.

Terakhir pada November lalu, Mandiri Capital Indonesia (MCI) menyebut ketertarikannya terhadap insurtech sebagai bagian dari rencana pendanaan mereka di tahun depan. CEO MCI Eddi Danusuputro mengungkap pihaknya menyiapkan sekitar Rp50 miliar untuk tiga startup yang bergerak di fintech dan insurtech yang masih di tahap pra seri A.

Go International

Dari sejumlah pemain insurtech di Tanah Air, nama PasarPolis bergaung ketika mereka mengumumkan ekspansi bisnisnya ke level Vietnam dan Thailand. Ekspansi ini tak bisa dilepaskan dari kucuran pendanaan seri A yang mereka peroleh dari Gojek, Tokopedia, dan Traveloka pada tahun sebelumnya.

Langkah berani PasarPolis ini diikuti dengan penunjukkan country manager untuk masing-masing negara. Adapun produk yang mereka tawarkan dalam ekspansi itu meliputi asuransi keselamatan konsumen ride-hailing, pengiriman barang, serta pengiriman makanan.

Kolaborasi

Beberapa startup insurtech menghiasi pemberitaan melalui aksi kerja sama mereka dengan startup lain. Langkah ini dilakukan tentu untuk melebarkan jangkauan layanan mereka demi meraup pasar yang lebih besar.

Yang paling anyar adalah kerja sama antara Futuready dengan e-commerce Ralali. Dalam kolaborasi ini Futuready menjadi penyedia asuransi B2B untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lewat kolaborasi ini, kedua startup menargetkan satu juta UMKM menjadi nasabah asuransi mereka.

Kolaborasi berikutnya datang dari Grab dan Qoala. Produk asuransi yang ditawarkan melalui kerja sama tersebut berupa asuransi proteksi ponsel, lebih tepatnya terhadap layar ponsel. Namun perlu dicatat kolaborasi yang diumumkan pada awal November ini masih bersifat eksperimen. Dengan produk ini Grab menyusul super app rival mereka, Gojek, yang sudah memiliki layanan asuransi sejak empat tahun lalu.

Mundur dua bulan sebelumnya, kabar kolaborasi juga datang dari tanamduit dengan Premiro. Sebagai platfrom investasi, tanamduit menggandeng Premiro untuk merambah pasar asuransi terutama untuk segmen milenial. Produk yang mereka tawarkan meliputi perlindungan ponsel hingga perlindungan dari sejumlah penyakit seperti demam berdarah (DB).

Hal lain yang perlu dicermati

Penting untuk diingat industri asuransi sedang tumbuh. Penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat rendah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut penetrasi asuransi hanya 2-3% dari total populasi. Insurance Technology Survey 2019 yang diterbitkan DSResearch menunjukkan ada sejumlah penyebab rendahnya penetrasi tersebut mulai dari aksesibilitas produk asuransi, harga yang terlalu mahal, hingga minimnya pengetahuan akan manfaat asuransi.

Namun hal itulah yang membuat mereka yang menggeluti insurtech kian berlomba-lomba berebut pasar. Dengan dasar demikian regulator, dalam hal ini OJK, tampak masih memberi kelonggaran lebih untuk mendukung pertumbuhan pasar.

Namun kelonggaran itu tak akan berlangsung lama lagi. Pasalnya OJK kini tengah menggodok peraturan baru untuk insurtech. Menurut laporan Kontan, aturan yang sedang diracang itu terkait dengan aspek salura distribusi seperti agregator, marketplace, dan peer to peer insurance, serta proses model asuransi yang lebih terdigitalisasi.

Kaleidoskop Industri Fintech Pembayaran dan Lending Selama Tahun 2019

Dinamika perjalanan startup fintech terus menggeliat hingga tahun ini, terutama untuk dua industri fintech terbesar, yakni pembayaran dan lending. Masih tajamnya jumlah underbanked dan unbanked masih menjadi optimisme pemain fintech untuk terus bergerak maju.

Berbekal laporan e-Conomy SEA 2019, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%. Sementara, secara umum, 75% penduduk di Asia Tenggara masuk kategori underbanked dan unbanked. Mereka ini kurang terlayani karena berbagai alasan, salah satunya infrastruktur dan regulasi yang ketat.

Satu data ini menjadi pendukung bahwa baik di Indonesia, maupun negara lain di ASEAN punya peluang yang besar untuk menggarap lini pembayaran dan lending. Maka, tak heran, bila pada tahun ini ada sejumlah pemain lending yang ekspansi ke luar Indonesia.

Investasi terbesar dipegang oleh sektor fintech

Menurut laporan DSResearch, tercatat ada 110 investasi yang diumumkan startup dan/atau investor per 18 Desember 2019. Dari jumlah ini, fintech mendapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Bila dijabar lebih dalam, mengutip dari Fintech Report 2019, pendanaan untuk startup fintech lending dengan tahap tertinggi adalah Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri D sebesar $100 juta dipimpin Ant Financial.

Kemudian menyusul kompetitor terdekatnya, Kredivo dengan pendanaan Seri C senilai $90 juta (lebih dari Rp1,2 triliun) dipimpin Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Square Peg.

Berikutnya untuk Seri B, terdapat Investree, Amartha, KoinWorks, dan UangTeman. Besar kemungkinan perusahaan ini akan kembali menggalang dana untuk tahun depan, seperti halnya Investree yang sudah sesumbar sedang dalam penggalangan Seri C untuk ekspansi regional tahun depan.

Bagaimana dengan fintech pembayaran? Menurut laporan kami, dari 23 transaksi, hanya ada satu pendanaan yang masuk ke vertikal fintech ini, yakni Aino. Startup ini memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $4 juta dari TIS.

Mereka bergerak di bidang platform pembayaran non tunai dengan menggunakan uang elektronik di sektor publik, seperti tiket transportasi, bayar parkir, tol, vending machine, hingga tiket wahana wisata.

Ekspansi ke negara ASEAN

Kembali ke premis awal, baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura, punya potensi yang besar untuk menggalakkan bisnis lending dan pembayaran.

Indonesia selalu menjadi benchmark suatu perusahaan, bila sukses menjadi pemain terdepan di sini, artinya ada optimisme yang tinggi ketika ekspansi ke negara lain. Mereplikasinya lalu menyesuaikan dengan unsur lokalisasi yang berlaku di negara tersebut.

Keyakinan inilah yang membuat pemain lending yakin untuk ekspansi ke negara tetangga. Diantaranya adalah Kredivo dan Investree. Kredivo berencana untuk masuk ke Filipina pada tahun ini. Wacana ini kembali menyeruak, setelah pending sejak pertama kali sesumbar di 2018.

Sementara, Investree akan melanjutkan ekspansinya ke Filipina, setelah sukses hadir di Thailand dan Vietnam. Di Vietnam, Investree hadir dengan brand eLoan. Sementara di Thailand tetap dengan brand Investree Thailand. Model bisnis yang ditawarkan kurang lebih mirip dengan Indonesia, pembiayaan invoice dan modal usaha.

Pemain lainnya adalah Kredit Pintar yang masuk ke pasar Filipina dengan brand Atome. Layanan yang disajikan juga kurang lebih sama yakni payday loan dengan nominal dari Rp270 ribu sampai Rp2,7 juta.

Kolaborasi incar vertikal fintech yang lain

Pergerakan vertikal fintech, berkat teknologi, tidak harus melulu menyediakan satu lini produk saja. Sebabnya, kebutuhan finansial seorang manusia itu selalu berkembang.

Jalur pertama masuk ke layanan finansial adalah melalui e-wallet ketika ia hanya punya smartphone, tapi tidak punya rekening bank (unbanked). Semakin ia terbiasa transaksi non tunai, di tambah hadirnya asumsi bahwa ekonominya meningkat.

Disitulah muncul kebutuhan produk pinjaman payday loan, mengingat mereka belum masuk sebagai nasabah bank. Bila mereka adalah pengusaha, maka ada kebutuhan pinjaman untuk mengembangkan usahanya.

Semakin terbentuklah skoring kredit yang bisa dipakai untuk menentukan kualitas finansial seseorang. Di saat yang sama, mereka bisa masuk sebagai nasabah bank untuk menerima fasilitas finansial lebih dalam, atau bisa membeli produk asuransi, dan mulai berinvestasi.

Logika inilah yang melatarbelakangi perkembangan produk fintech, terlihat dari pergerakan para pemain fintech pembayaran dari awal hingga kini. Ovo segera menghadirkan produk reksa dana, bekerja sama secara strategis, sekaligus menunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra sebagai Presiden Direktur Ovo.

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Di saat yang bersamaan, Ovo merilis dua produk turunan lending bersama Taralite, portofolio di bidang lending, untuk menyasar pinjaman produktif untuk pengusaha dan payday loan untuk mitra GrabCar. Vertikal bisnis Ovo diperluas untuk bisnis big data dengan membuat smart vending machine “Ovo SmartCube.”

Perusahaan bersama Tokopedia pada awal tahun ini merilis Ovo PayLater untuk memudahkan transaksi dalam platform tanpa harus memiliki kartu kredit.

Kompetitor terdekatnya, GoPay perluas fungsinya tidak hanya mendukung seluruh layanan dalam ekosistem Gojek saja. Kini menyentuh berbagai fasilitas baik di sektor publik, hadir sebagai salah satu opsi pembayaran di Samsung Pay bersama Dana.

Tak lupa, bermitra dengan pemain global lainnya seperti Boku dari Inggris, membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia untuk menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Saldo GoPay kini mendukung untuk pembelian reksa dana di aplikasi Bibit atau beli emas lewat Pluang. Untuk produk lending, GoPay memanfaatkan Findaya dalam merilis PayLater pada tahun lalu.

Pluang juga menjadi mitra untuk salah satu produk di Bukalapak yakni Cicil Emas, dalam rangka memperkuat jajaran produk finansial sebelumnya BukaEmas dan BukaReksa.

Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik
Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik

Rumor terpanas yang terjadi tahun ini adalah konsolidasi Dana dan Ovo untuk mengalahkan dominasi GoPay. Dikatakan selambat-lambatnya pada kuartal pertama tahun depan rampung. Kedua belah pihak kompak tidak mau berkomentar terkait rumor yang beredar.

Pemain pembayaran berikutnya ada LinkAja yang agresif merilis berbagai produk, seperti syariah, produk PayLater kerja sama dengan Kredivo. Terakhir, hadir sebagai alternatif metode pembayaran di aplikasi Gojek dan Grab, yang sebelumnya dimonopoli oleh GoPay dan Ovo.

LinkAja memperkuat kehadirannya di jaringan publik milik negara, misalnya untuk Commuter Line dan dalam waktu dekat segera hadir di MRT Jakarta.

Dari sisi pemain lending, semakin banyak yang tertarik sebagai agen penjualan SBN agar memberikan nilai tambah buat para investor. Di samping itu, platform mereka juga dijadikan sebagai channel penjualan produk asuransi. Seperti yang dilakukan oleh Tanamduit dengan Premiro.

Peluang e-commerce dan merchant online-nya tidak menyurutkan incaran para pemain lending untuk bermitra dengan platform marketplace. Seperti yang dilakukan Modalku untuk Tokopedia yang merilis produk Modal Toko.

Catatan fintech lending, belajar dari Tiongkok

Sebelum mengawali kaleidoskop, Indonesia boleh bernafas lega karena regulatornya yang aktif mengawal perkembangan fintech karena belajar dari negara lain. Tiongkok menjadi contoh negara yang memiliki bahan ajar terbaik untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, sekaligus patut diwaspadai gerak geriknya.

Tahun ini menjadi senjakala untuk industri p2p lending di Tiongkok. Regulator memerintahkan kepada seluruh pemain p2p lending untuk transisi jadi penyedia pinjaman kecil dalam dua tahun mendatang.

Mereka harus memenuhi syarat modal minimal tidak kurang dari RMB 50 juta (hampir Rp100 miliar) untuk menjadi perusahaan pinjaman kecil regional. Sementara untuk operasi nasional, nominalnya naik tidak kurang dari RMB 1 miliar (hampir Rp2 triliun).

Di saat yang bersamaan, mereka harus membersihkan pinjaman outstanding dalam waktu kurang dari setahun sebelum beralih ke pinjaman kecil. Platform yang diindikasi fraud dan memiliki risiko kredit serius akan dilarang melakukan transisi dan dipaksa tutup.

Penertiban ekstrem ini diambil karena ingin menghapus praktek shadow banking dan skema ponzi yang dianut para pemain p2p lending ‘nakal’, mengakibatkan gurita skandal.

Bisnis p2p lending di Tiongkok mulai tumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume penyaluran RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor tercatat di platform ini tersebar di sekitar 6.200 platform.

Saking menggeliatnya, disebutkan muncul tiga platform baru setiap harinya. Pertimbangan regulator untuk tidak meregulasi secara disengaja dengan harapan lebih mudahnya akses menerima pendanaan buat pengusaha kecil di sana, tapi malah jadi malapetaka.

Tercatat, saat ini hanya 427 platform p2p lending yang beroperasi pada akhir Oktober 2019, menurut data termutakhir dari China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC).

Pengetatan aturan yang ekstrem akhirnya membuat Lufax, salah satu pemain p2p lending terbesar di sana, menyatakan untuk keluar total dari ranah ini dan beralih ke pinjaman komersial biasa di bawah bank.

Lufax berdiri pada 2011, disebutkan pada akhir tahun lalu memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar (setara Rp752 triliun), 80% dana tersebut berasal dari portofolio p2p lending.

Pengalaman mahal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian buat semua stakeholder di industri terkait. Pendekatan yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu di Tiongkok agar tidak terjadi di Indonesia, kian hari kian ketat.

Untuk mencegah skema ponzi, OJK menerapkan kewajiban escrow account. Sementara untuk risiko borrower meninggal atau masa sulit, dibuka peluang kerja sama dengan asuransi kredit, atau restrukturisasi hutang.

Terobosan lainnya, OJK menerapkan collection dengan menggunakan jasa collector yang bersertifikasi resmi, memanfaatkan Fintech Data Center dan membatasi akses smartphone konsumen untuk skoring kredit, membatasi tingkat bunga dan penalti tidak boleh melewati pokok, wajib menggunakan digital signature, dan masih banyak lagi.

Pemain yang tidak mematuhi aturan tersebut, jangan harap bisa mendapat izin usaha dari OJK. Terhitung OJK baru memberikan izin untuk 25 pemain p2p dan 119 pemain yang lain tengah dalam proses perizinan.

Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial
Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial

Jumlah penambahan izin ini sempat mandeg dari 2017 hanya ada satu, baru terjadi penambahan pada awal 2019 berangsur-angsur hingga menjelang akhir tahun. OJK mengeluarkan sekaligus untuk 12 perusahaan dalam satu waktu.

Bukan tanpa sebab, fintech lending ini melibatkan uang publik sehingga regulator harus berhati-hati dalam memberikan izin. Sejak 2018 sampai November 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 1.898 fintech lending ilegal.

Mereka mencoba tindakan fraud karena ada beberapa server-nya dioperasikan di negara lain. Protocol internet-nya berjalan dinamis, tidak dari satu negara saja yang terdeteksi, melainkan ada dari Amerika Serikat, kemudian berubah ke Tiongkok, dan Eropa.

Selain mengencangkan aturan dari berbagai sisi, bahkan OJK sudah mewacanakan rencana pembatasan pemain lending. Kendati, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi masih menunggu rekomendasi dari AFPI terkait angka idealnya.

“AFPI belum pernah menyampaikan kepada kami, sebab kalaupun kami mau batasi harus ada dasarnya yaitu dari AFPI sebab mereka yang paling paham, apa sebenarnya kebutuhan dari publik. Tentunya kami akan tunggu usulan mereka,” katanya, Kamis (19/12).

Kaleidoskop Startup Teknologi Pendidikan Selama Tahun 2019

Tahun 2019 ini bisa dibilang tahun yang penting untuk industri teknologi pendidikan di Indonesia. Selain inovasi yang tak berhenti sejumlah startup menunjukkan potensi lebih untuk bisa menjadi lebih berkembang.

Beberapa investasi didapat para pemain di industri teknologi pendidikan, bahkan ada yang sudah mencoba peruntungan di negara tetangga. Berikut kami rangkum beberapa hal penting yang terjadi di industri teknologi pendidikan Indonesia.

Investasi datang menghampiri

Di sepanjang tahun ini ada tiga startup pendidikan yang dikabarkan mendapat pendanaan. Pertama adalah Zenius. Perusahaan yang mencoba merevolusi cara belajar siswa di Indonesia ini dikabarkan mengantongi pendanaan sebesar Rp283 miliar dari Northstar Group. Pendanaan kali ini merupakan pendanaan eksternal pertama bagi Zenius sejak diluncurkan pada 2007 silam.

Startup kedua yang mendapat pendanaan adalah HarukaEdu. Startup yang memiliki tagline “Solusi Teknologi Edukasi Terintegrasi” ini bulan Desember ini mengamankan pendanaan Seri C dengan nominal yang dirahasiakan. Pendanaan kali ini dipimpin oleh SIG dengan melibatkan beberapa pihak lain, seperti AppWorks, sebuah akeselerator startup yang berbasis di Taipei, GDP Venture dan Gunung Sewu, dan investor yang sebelumnya Samator Group.

Kabar pendanaan ketiga hadir dari Ruangguru. Startup yang sempat menjadi perhatian karena salah satu co-founder mereka dijadikan staf khusus presiden ini disebut sudah mengantongi pendanaan Seri C dari General Atlantic. Hanya saja pihak Ruangguru belum mau mengomentari kabar pendanaan ini.

Sebagai perusahaan teknologi, Ruangguru memang digadang-gadang akan menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia, menyusul Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Ovo, dan Gojek.

Ekspansi

Tahun ini bisa dibilang tahun yang penting bagi industri teknologi pendidikan di Indonesia. Salah satu pemainnya, Ruangguru, mengumumkan kehadirannya di Vietnam. Ruangguru memutuskan Vietnam sebagai negara pertama target ekspansi karena dirasa memiliki kemiripan permasalahan dengan Indonesia.

Ekspansi ini selain menjadi kali pertama bagi Ruangguru juga menjadi yang pertama bagi startup teknologi pendidikan di Indonesia. Sebuah langkah historis yang kembali menegaskan bahwa solusi teknologi di Indonesia juga bisa menjadi solusi di negara lain, terutama yang memiliki karakteristik yang serupa dengan Indonesia.

Selain startup Indonesia yang ekspansi, Indonesia juga kedatangan startup teknologi pendidikan dari luar negeri, Udemy. Layanan belajar MOOC (Massive Open Online Course) ini hadir di Indonesia dan menargetkan masyarakat luas, non akademik, dan lainnya.

Yang menghiasi tahun ini

Selain investasi dan ekspansi sejumlah inovasi dan strategi pun tercatat dilakukan para pemain startup teknologi pendidikan. Seperti branding, produk baru, bahkan vertikal baru.

Di tahun 2019 ini startup yang fokus pada pembelajaran bahasa Squline, memutuskan untuk branding menjadi Cakap (Cakap by Squline). Di tahun ke enamnya beroperasi startup besutan Tomy Yunus juga meluncurkan sejumlah inovasi dan pembaruan. Salah satunya adalah menghadirkan Cakap Chat, sebuah fitur yang memungkinkan pengguna Cakap belajar bahasa inggris melalui media pesan singkat.

Tahun ini juga bisa dibilang sebagai tahun “produk baru”. Selain kabar pendanaan dan ekspansi, Ruangguru juga melakukan sejumlah perubahan dan meluncurkan beberapa produk baru. Perubahan paling kentara dilakukan Ruangguru pada Februari tahun ini guna menyambut UN dan SBMPTN tahun 2018/2019. Ruangguru juga meluncurkan sejumlah produk baru, seperti Brain Academy, sebuah bimbingan belajar yang memadukan pendekatan online dan offline, dan Skill Academy, sebuah layanan yang menyediakan kursus atau pembelajaran untuk non akademik.

HarukaEdu juga tak ketinggalan. Mereka memperkenalkan CorporateEdu, sebuah sistem pembelajaran online yang diterapkan bagi korporasi. Model binsis CorporateEdu juga rencanakan akan menjadi model bisnis utama. Mitra pertama yang akan menggunakan siste CorporateEdu adalah Samator Group, yang juga termasuk salah satu investor mereka.

Inovasi berupa produk baru juga diluncurkan Kelase. Bekerja sama dengan RingerLaktat, mereka meluncurkan platform kursus online di bidang kedokteran. Platform belajar ini diharapkan bisa membuka akses lebih lebar kepada para mahasiswa kedokteran kepada informasi atau materi pembelajaran.

Dicoding, startup yang  berusaha memberikan kursus pembelajaran teknologi juga meluncurkan inovasinya tahun ini. Mereka memperkenalkan fitur job marketplace yang diharapkan bisa membantu lulusannya mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Fitur ini juga sekaligus berusaha menjembatani perusahaan dengan talenta-talenta IT yang mumpuni.

Selain inovasi industri teknologi pendidikan di tahun ini juga mendapat pendatang baru, di vertikal baru, Neliti. Platform ini semacam perpustakaan online dan jurnal ilmiah online. Platform ini dikembangkan dengan tujuan memudahkan siapa pun mencari rujukan materi ilmiah dan insitusi untuk mengelola repositori ilmiah mereka.

Menerka yang terjadi di tahun 2020

Tahun 2020 tampaknya akan menjadi tahun penting bagi industri teknologi pendidikan di Indonesia. Bukan hanya karena berkaca dari apa yang telah terjadi di tahun 2019, tetapi juga karena sekarang pemangku kebijakan, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan orang yang sangat dekat dengan teknologi. Kebijakan baru yang nantinya dikeluarkan bisa menjadi peluang untuk kembali berinovasi.

Yang pasti, industri ini terus tumbuh. Pemain baru semakin melengkapi ekosistemnya dengan fitur atau layanan baru. Beberapa model bisnis terbukti sudah diminati banyak pengguna, beberapa lainnya mulai menjajaki model bisnis baru bersama masuk ke segmen korporasi untuk menyediakan solusi lebih lengkap.