Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti di Indonesia Semakin Marak, Risiko Masih Tinggi

Dalam era gaya hidup digital-first, berbelanja tidak pernah semudah ini, berkat e-commerce dan fintech. Ketika melihat barang yang diinginkan di media sosial atau di pasar, Anda dapat membelinya dan langsung mengirimkannya dengan beberapa ketukan di ponsel pintar. Lalu, jika kekurangan uang tunai, Anda bahkan dapat membayarnya nanti dengan menggunakan metode BNPL.

BNPL adalah singkatan dari buy now pay later atau dalam bahasa Indonesia “beli sekarang, bayar nanti.” Hal ini memungkinkan pelanggan berkomitmen untuk pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu sampai saldo diselesaikan. Konsep BNPL bukanlah hal baru, karena mirip dengan produk pembiayaan angsuran yang sudah ada. Namun, penawaran BNPL berbasis aplikasi mendapatkan momentum di kalangan pembeli milenial dan Gen Z di Asia Tenggara di balik ledakan e-commerce, berkat kemudahan dan kepraktisannya.

Kesenjangan pinjaman di Indonesia masih signifikan, sementara penetrasi kartu kredit masih rendah di angka 5%. Ini menjadi peluang bagi BNPL untuk mengisi celah ini dan memberikan pinjaman pribadi untuk pelanggan yang kurang terlayani.

“Dengan meningkatnya adopsi smartphone di seluruh wilayah, layanan berbasis aplikasi seperti BNPL membuat akses ke layanan keuangan menjadi sangat mudah. Banyak orang Indonesia yang tersisih secara finansial, jadi BNPL menawarkan cara bagi mereka untuk mengakses kredit,” Zennon Kapron, direktur perusahaan riset dan konsultan fintech Kapronasia, mengatakan kepada KrASIA.

Saat ini, hampir semua platform e-commerce di Indonesia mengadopsi metode checkout BNPL dengan bermitra dengan berbagai penyedia fintech. Kredivo yang berkantor pusat di Jakarta telah menjadi salah satu pionir di segmen fintech BNPL sejak 2016, sementara pemain BNPL besar lainnya di tanah air termasuk Akulaku, Home Credit, Traveloka PayLater, dan Shopee PayLater.

Meningkatkan transaksi e-commerce

BNPL membawa banyak manfaat bagi merchant. Hal ini membantu vendor meningkatkan tingkat konversi dan nilai transaksi add-to-cart, serta menjangkau calon pelanggan baru. Pada tahun 2020, 55% pengguna e-commerce baru di Indonesia memilih untuk menggunakan opsi BNPL saat melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut didasarkan pada 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020.

“Penyedia BNPL mengendarai gelombang e-commerce, yang merupakan perkembangan alami karena kredit akan meningkatkan daya beli konsumen pada platform e-commerce,” ujar Kenneth Li, mitra di MDI Ventures, pendukung beberapa perusahaan fintech, termasuk Kredivo. Dengan bermitra dengan platform e-commerce, penyedia BNPL dapat melacak kebiasaan belanja pengguna, yang selanjutnya akan menambah wawasan ke mesin penilaian kredit mereka untuk mengevaluasi potensi risiko saat meminjamkan uang atau memberikan kredit, tambahnya.

Platform online dan operator fintech telah melaporkan pertumbuhan yang stabil dalam transaksi BNPL selama setahun terakhir. Traveloka—perusahaan non-fintech pertama yang menawarkan layanan ini di Indonesia sejak 2018—mendapatkan peningkatan pengguna PayLater sebesar 750% sejak program diluncurkan.

Pada saat yang sama, di Tokopedia, transaksi BNPL meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Platform e-commerce ini bermitra dengan pemain seperti GoPay, Ovo, Kredivo, dan Indodana untuk program BNPL-nya. Blibli, yang juga bekerja sama dengan Indodana untuk layanan BNPL-nya, melaporkan pertumbuhan bulanan 63% antara Mei dan Oktober tahun lalu. KrASIA tidak dapat menemukan data tentang transaksi BNPL di platform e-commerce lain seperti Shopee, Bukalapak, dan Lazada.

Adapun Kredivo, total basis penggunanya telah berlipat ganda dalam sepuluh bulan terakhir, dan pendapatan tahunannya juga berlipat ganda selama tujuh bulan sebelumnya, VP pemasaran dan komunikasi perusahaan, Indina Andamari, mengatakan kepada KrASIA. Kredivo saat ini bermitra dengan sepuluh platform e-commerce dan memiliki hampir 4 juta pelanggan. “Kami menawarkan batas saldo hingga Rp 30 juta (USD 2.105), yang merupakan tertinggi di antara pemain BNPL di negara ini,” kata Indina.

Sisi lain paylater: Meningkatkan konsumerisme dan potensi terjebak hutang

Ide untuk membeli suatu produk tanpa langsung mengeluarkan uang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Konsumen mungkin mendapatkan rasa aman yang salah, yang dapat menyebabkan belanja impulsif, dan mereka mungkin menghabiskan uang yang tidak mereka miliki.

Penelusuran cepat di Media Konsumen, situs yang membantu konsumen menyuarakan pendapatnya, menunjukkan banyak keluhan terkait penawaran BNPL. Beberapa pelanggan menulis surat terbuka di situs web yang meminta pengurangan tingkat bunga atau biaya keterlambatan, karena mereka tidak dapat melunasi hutang mereka. Beberapa pengguna bahkan menggambarkan praktik penagihan utang yang tidak etis oleh penyedia BNPL, sementara yang lain melaporkan transaksi misterius dan tidak sah pada rekening pembayaran mereka nanti.

Termasuk juga kurangnya pendidikan seputar BNPL, yang dapat menyebabkan konsumsi berlebihan. Mengajukan akun BNPL itu mudah—pada sebagian besar platform, hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk diverifikasi, dan kemudian akun pengguna diaktifkan. BNPL tidak memerlukan laporan gaji atau pendapatan, sehingga lebih sederhana daripada aplikasi kartu kredit. Namun, BNPL dapat memberi konsumen akses ke kredit yang tidak mampu mereka bayar, yang dapat menyebabkan jebakan utang yang semakin sulit untuk dilepaskan dengan setiap keterlambatan pembayaran.

“Secara global, regulasi seputar BNPL sangat sedikit, hal ini memastikan adanya risiko dalam model yang ada. Masih harus dilihat apa dampaknya bagi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak terbiasa dengan model jenis ini dan mungkin terjebak oleh biaya tersembunyi atau sulit dipahami,” kata Zennon.

Sumber pendapatan terbesar bagi penyedia BNPL adalah biaya transaksi yang diperoleh dari pengecer atau pasar digital. Biaya ini cenderung lebih tinggi daripada transaksi kartu kredit atau debit biasa, dengan biaya pemrosesan mulai dari 2% hingga 8% per transaksi, dibandingkan dengan 1,3% hingga 3,5% pada mobil kredit biasa. Pemotongan yang lebih besar sering kali datang dengan janji nilai transaksi yang lebih tinggi untuk pedagang.

Namun, perusahaan juga memperoleh pendapatan tambahan dari penalti yang diterapkan pada pembayaran yang terlambat, sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh pelanggan. Opsi bayar kemudian dari Shopee dan Traveloka membebankan biaya keterlambatan sebesar 5% per bulan dari total tagihan. Sementara itu, Kredivo mengenakan tarif 6%.

“Mirip dengan perusahaan kartu kredit, kami membebankan bunga kepada pelanggan kami, tetapi tarif kami termasuk yang terendah di negara ini. Kami menawarkan paket 0% untuk pembayaran nanti dalam 30 hari atau tiga bulan cicilan. Biaya merchant kami juga rendah,” kata Indina dari Kredivo, tanpa mengungkapkan jumlah pastinya. Dia menambahkan, rasio kredit bermasalah pada platform saat ini rendah, sekitar 2,5% hingga 3%.

Terlepas dari beberapa risiko yang disebutkan, Kenneth dari MDI Ventures berpendapat bahwa manfaat BNPL lebih besar daripada ancamannya, karena layanan ini memungkinkan pelanggan yang tidak memiliki rekening bank dan yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses kredit. Ini dapat membantu pelanggan menjaga arus kas mereka tetap terkendali dan pada akhirnya meningkatkan mata pencaharian mereka.

“Penyedia jasa BNPL tentunya harus bertanggung jawab dalam memberikan limit saldo kepada pelanggan. Mereka dapat melakukannya dengan melatih mesin penilaian kredit dengan benar agar tidak membebani individu dengan pengeluaran yang berlebihan,” pungkas Kenneth.

Perbandingan antar penyedia layanan di Indonesia

 

Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan terkait

Pertumbuhan berkelanjutan

Sepertinya BNPL ada untuk tinggal. Pembayaran “Beli sekarang, bayar nanti” di negara ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 72,8% per tahun mencapai USD 1,537 miliar pada tahun 2021, menurut sebuah laporan oleh PayNXT360, platform intelijen bisnis yang berfokus pada pembayaran. Nilai barang dagangan bruto BNPL di dalam negeri diproyeksikan meningkat dari USD 889,7 juta pada tahun 2020 menjadi USD 9,2 miliar pada tahun 2028.

Penyedia BNPL juga bekerja sama dengan bank untuk memberikan pinjaman kepada lebih banyak pelanggan. Pada bulan September, Traveloka bermitra dengan Bank Negara Indonesia untuk meluncurkan “nomor kartu bayar nanti virtual”, yang pertama di Asia Tenggara. Pelanggan dapat menggunakan nomor kartu virtual untuk berbelanja di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, JD.id, Bukalapak, dan Tokopedia. Perusahaan juga bermitra dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Bank Mandiri untuk Traveloka PayLater Card dan Traveloka Mandiri Card, dua penawaran yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan pedagang offline dan online yang didukung oleh jaringan Visa.

Bank-bank besar di seluruh negeri juga mengejar pangsa pasar yang lebih besar dan telah mulai mengembangkan produk bayar nanti mereka sendiri untuk menjangkau pelanggan baru, terutama mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Namun, Kenneth berharap untuk melihat lebih banyak kolaborasi antara fintech dan bank tradisional serta lembaga keuangan lainnya dalam waktu dekat. “Pasar BNPL masih dalam tahap awal di Indonesia. Karena adopsi pembayaran digital terus tumbuh, BNPL juga akan berkembang,” katanya.

Saat pasar matang, pihak berwenang kemungkinan akan memberlakukan pedoman yang lebih ketat untuk segmen ini. Misalnya, Otoritas Moneter Singapura saat ini sedang mengkaji pendekatan regulasi yang tepat untuk BNPL di tengah kekhawatiran atas utang konsumen. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh para pelaku fintech BNPL untuk beroperasi. Belum diketahui apakah organ tersebut akan merevisi kerangka tersebut dalam waktu dekat.

“Kami mengharapkan regulator untuk lebih memperhatikan segmen di masa depan, yang kemungkinan akan membatasi keuntungan bagi penyedia BNPL dalam jangka panjang,” kata Kapron.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

MDI Ventures and Some Investors Pour 1.79 Trillion Rupiah to Kredivo Through PIPE

Kredivo’s parent company, FinAccel received another investment of $125 million or 1.79 trillion Rupiah from MDI Ventures, Cathay Innovation, and Endeavor Catalyst through Private Investment in Public Equity (PIPE). This additional investment will strengthen its position ahead of the IPO preparation through the SPAC scheme.

In his official statement, MDI Ventures CEO Donald Wihardja said he was impressed with the company’s vision to build an AI-based digital consumer credit platform through the use of its first post-funding alternative data for the series B round. Kredivo is also supported by ongoing partnerships with eight leading e-commerce platforms in Indonesia.

On the same occasion, FinAccel also announced three new ranks to fill the position of the Board of Commissioners of Kredivo Indonesia, Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, and Karen Brooks. All three are still waiting for approval from the regulator. Meanwhile, the new Board of Commissioners will play a role in helping to design the strategic growth and expansion of Kredivo’s market.

The brief profiles of the three consist of Arsjad Rasjid currently serving as CEO of PT Indika Energy Tbk and General Chair of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN Indonesia); Darmin Nasution is a leading economist in Indonesia who is also the former Coordinating Minister for Economic Affairs (2015-2019), and former Governor of Bank Indonesia (2010-2013); and Karen Brooks, who served on the White House National Security Council Officer, with more than a decade of experience in private equity and global investment management.

In a joint statement, the three said that Indonesia is still one of the largest unbanked markets in the world despite an increase in financial inclusion in recent years. “We are committed to helping Kredivo make an impact on tens of millions of customers over the next few years because we are optimistic about their innovative credit scoring system,” he explained.

In general note, FinAccel announced its action to become a public company on the NASDAQ through the SPAC scheme. In order to realize this plan, Kredivo will merge with shell company VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) which is an affiliate of Victory Park Capital (VPC). From the two company merger, FinAccel will obtain a pro-forma equity valuation of $2.5 billion, assuming no redemption.

Digital loan market

According to data quoted by DSInnovate in the report “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021”, paylater services will grow 76.7% compared to the previous year, posting a GMV of $1.5 billion in 2021. It is projected to continue to increase to reach $8.5 billion in 2028. This is also supported by an understanding of the paylater business model which is increasingly familiar in the community.

Besides Kredivo, in Indonesia there are several other players such as Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, and Home Credit. In addition, the super application has also developed similar services, such as Gopaylater, Traveloka Paylater, and SPayLater from Shopee.

In terms of funding, several startups have also backed by the investors. We have collected the data, Akulaku is one of the players with the largest valuation after Kredivo, its value is close to $1 billion.

Indonesia’s paylater startup funding / DSInnovate


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures dan Sejumlah Investor Berikan Pendanaan 1,79 Triliun Rupiah ke Kredivo Melalui PIPE

FinAccel selaku induk usaha Kredivo kembali memperoleh investasi sebesar $125 juta atau 1,79 triliun Rupiah dari MDI Ventures, Cathay Innovation, dan Endeavour Catalyst melalui Private Investment in Public Equity (PIPE). Investasi tambahan ini akan memperkuat posisinya menjelang persiapan IPO lewat skema SPAC.

Dalam keterangan resminya, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku terkesan dengan visi perusahaan dalam membangun platform kredit konsumen digital berbasis AI lewat pemanfaatan data alternatif pasca-pendanaan pertamanya ke putaran seri B. Kredivo juga didukung dengan kemitraan berkelanjutan dengan delapan platform e-commerce terkemuka di Indonesia.

Dalam kesempatan sama, FinAccel turut mengumumkan tiga jajaran baru yang akan mengisi posisi Dewan Komisaris Kredivo Indonesia, yaitu Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, dan Karen Brooks. Ketiganya masih menunggu persetujuan dari regulator. Adapun, Dewan Komisaris baru ini akan berperan untuk membantu merancang pertumbuhan strategis dan perluasan pasar Kredivo.

Profil singkat ketiganya terdiri dari Arsjad Rasjid saat ini menjabat sebagai CEO PT Indika Energy Tbk serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia); Darmin Nasution merupakan ekonom terkemuka di Indonesia yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2015-2019), dan mantan Gubernur Bank Indonesia (2010-2013); serta Karen Brooks yang pernah bertugas sebagai Staf Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih, memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di private equity dan pengelolaan investasi global.

Dalam pernyataan bersama, ketiganya mengatakan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu pasar unbanked terbesar di dunia meski beberapa tahun terakhir ada peningkatan inklusi keuangan. “Kami berkomitmen membantu Kredivo untuk memberikan dampak kepada puluhan juta pelanggan selama beberapa tahun ke depan karena kami optimistis dengan sistem sistem penilaian kredit mereka yang inovatif,” paparnya.

Seperti diketahui, FinAccel mengumumkan langkahnya menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Untuk memuluskan rencana ini, Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC). Dari peleburan keduanya, FinAccel akan mengantongi valuasi pro-forma ekuitas sebesar $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Pasar pinjaman digital

Menurut data yang dikutip DSInnovate dalam laporan “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, layanan paylater akan bertumbuh 76,7% dibanding tahun sebelumnya, membukukan GMV $1,5 miliar pada 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat mencapai $8,5 miliar pada tahun 2028. Hal ini turut didukung pemahaman tentang model bisnis paylater yang semakin akrab di masyarakat.

Selain Kredivo, di Indonesia ada beberapa pemain lainnya seperti Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, dan Home Credit. Selain itu, aplikasi super juga turut mengembangkan layanan serupa, seperti Gopaylater, Traveloka Paylater, dan SPayLater dari Shopee.

Terkait pendanaan, beberapa startup juga telah menerima dukungan dari investor. Dari data yang kami himpun, Akulaku menjadi salah satu pemain dengan valuasi terbesar setelah Kredivo, nilainya sudah mendekati $1 miliar.

Pendanaan startup paylater di Indonesia / DSInnovate
Application Information Will Show Up Here

Kredivo Ekspansi ke Vietnam Melalui Joint Venture dengan Phoenix Holding

Pengembang platform paylater Kredivo hari ini (27/8) mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Perluasan layanan ini dilakukan melalui joint venture dengan Phoenix Holding, perusahaan investasi (family office) setempat. “Kredivo Vietnam Joint Stock Company”, nama entitas barunya, juga bermitra dengan VietCredit Joint Stock Company, perusahaan pembiayaan di Vietnam untuk mengoperasikan bisnis paylater.

“Peluncuran Kredivo di Vietnam sebagai pangsa pasar pertama di luar Indonesia merupakan pencapaian dan tonggak lain yang membanggakan dalam tahun ini. Vietnam merupakan pilihan yang logis mengingat penetrasi kartu kredit yang rendah di negara tersebut dan kelas menengah yang berkembang pesat; pasar e-commerce yang berkembang pesat; dan kesamaan pola demografi dan konsumsi dengan Indonesia,” sambut COO Kredivo Valery Crottaz.

Produk inti Kredivo akan diluncurkan secara bertahap, dimulai dengan pembayaran tagihan kebutuhan sehari-hari dan pinjaman pribadi, dilanjutkan dengan fitur paylater di e-commerce pada kuartal keempat 2021 nanti.

“Di Vietnam, dengan generasi emas yang mobile dan digital native, layanan kami seperti paylater akan memenuhi kebutuhan konsumen di mana layanan kredit yang ada saat ini memiliki hambatan yang terlalu besar. Seperti di pasar lain, kami percaya paylater akan membuka dan mengkatalisasi tahap pertumbuhan penting lainnya dari ekonomi Vietnam,” imbuh CEO Phoenix Holdings Nguyen Lan Trung Anh.

Ekonomi internet di Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar internet di Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025. Sektor e-commerce memberikan sumbangsih terbesar, diikuti online media, travel, dan transportasi.

Total populasi di Vietnam sendiri berkisar 96 juta penduduk. Terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Indonesia (271 juta) dan Filipina (108 juta); jelas ini menjadi pangsa pasar yang menarik untuk digarap. Untuk itu beberapa startup tanah air pun juga beberapa telah debut di sana, di antaranya Gojek, Traveloka, dan Ruangguru.

Menurut data yang disampaikan Cekindo, kurang lebih ada 67 perusahaan fintech terdaftar di Vietnam, dengan 66% di antaranya terkait layanan pembayaran digital. Per tahun 2020, estimasi ukuran pasarnya telah mencapai $7,8 miliar.

Menjelang go-public

Sebelumnya FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg mengatakan, dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Sebelumnya, perusahaan juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan, baik debt ataupun equity, dari investor, meliputi:

Pengumuman Investor Tipe Pendanaan Nilai
Juni 2021 Victory Park Capital Debt $100 juta
November 2020 Victory Park Capital Debt $100 juta
Desember 2019 Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Square Peg, dll Equity (Seri C) $500 juta
September 2019 Partners for Growth V, L.P Debt $20 juta
Juli 2018 Square Peg Capital, MDI Ventures, Atami Capital dll Equity (Seri B) $30 juta

Di Indonesia sendiri, selain layanan paylater, saat ini Kredivo juga memiliki unit bisnis di bidang fintech lending Kredifazz. Tugasnya untuk menyalurkan pembiayaan tunai ke konsumer lewat aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Go-Public via SPAC, Aiming for 6.1 Trillion Rupiah Funding

Kredivo’s parent company FinAccel, announced to become a public company on the NASDAQ through SPAC. Kredivo is to merge with VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) shell company, an affiliate of Victory Park Capital (VPC), a global investment firm provided credit facilities to Kredivo several times.

Both FinAccel and VPCB have entered a definitive agreement for merger and filed documents with the US Securities and Exchange Commission (SEC). VPCB alone has completed its IPO in March 2021.

With this merger, FinAccel will have a pro-forma equity valuation around $2.5 billion, assuming no redemption. FinAccel will be the next unicorn startup from Indonesia once the transaction is finalized.

In a virtual press conference held by the company for several media (03/8), FinAccel’s Co-Founder and CEO, Akhsay Garg explained that the opportunity to become a public company arrived as FinAccel and VPC have a strong business relation. He values VPC as a quality and reputable firm.

Moreover, in terms of a huge fresh funds at one time is not possible for a company if it is only through private funding. Therefore, when this opportunity arrived, FinAccel wanted to make the most of it.

“We did not choose to IPO, but the best funding option. This is not a sudden decision, but an opportunity appeared at its finest,” Garg said.

Regarding the NASDAQ listing process, this transaction is expected to generate over $430 million (over 6.1 trillion Rupiah) in cash on the company’s combined balance sheet. The total funds represents a contribution of up to $256 million in cash sent into the account of the VPCB representative (assuming no PVCB shareholders redeem their shares).

Furthermore, $120 million in private placement (PIPE) led by Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, and VPC sponsors, along with an additional $55 million equity commitment from former investor NAVER (via NAVER Financial) and Square Peg.

Garg explained that the market access opening on the US stock exchange creates opportunities for companies to get much greater liquidity. The United States Stock Exchange is indeed the “home” for many big tech companies worldwide. From Asia alone, Sea, Alibaba, and Grab ware to be listed in the near future.

He also stated dual listing is an option, by going public on the Indonesia Stock Exchange. Although the decision is yet to be further specified.

Furthermore, Garg explained that the merger’s fresh funds will later become the company’s ammo to strengthen its position in Southeast Asia, there will be regional expansion plans to Vietnam and Thailand, and the development of new business lines.

His comments on the unicorn status in the future, Garg confirms this. However, he said, unicorn and IPOs were not something the first company’s target since the establishment. He wants to continue the company’s vision of deepening the penetration of digital credit cards, which still have wide opportunities in Southeast Asia.

Kredivo’s growth

PayLater becomes a popular payment option for Indonesia’s e-commerce / Kredivo-Katadata

In its track record, Kredivo disburses instant credit financing to users for e-commerce purchases and offline as well as cash loans, based on real-time decisioning powered by self-made AI technology. The company’s total user has nearly reached 4 million and collaborates with 8 of the 10 leading e-commerce platforms in Indonesia.

Kredivo’s user base has doubled over the past 10 months and its annual revenue has also doubled over the past seven months. The company claims to lead the Buy Now, Pay Later (BNPL) industry, with a wallet share of at least 50% in the majority of e-commerce merchants in Indonesia.

In Indonesia, credit card user penetration from the middle class segment is less than 10%, through a partnership with Kredivo, merchants are able to increase the value of their consumer spending.

The surveyed Kredivo merchants were able to record an increase over two times up in average number of purchases (average basket size), up to three times increase in the frequency of transactions, with more than 50% of these merchants saying Kredivo could increase its cart conversion rate or the number of transactions they made. successful at checkout time.

SPAC trends

SPAC becomes a buzzword since the beginning of this year. Besides Kredivo, other local companies are also interested to use this scheme, including Tiket.com. The company, which is now valued at more than $1 billion, is reportedly considering SPAC to be its vehicle for listing on the stock exchange. Rumor has it that they will cooperate with the COVA Acquisition Corp. (COVA) blank check company, forming a combined company worth more than $2 billion.

In addition, in a statement quoted by Kumparan, GoTo CEO Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint company is also targeted to be listed on the stock exchange before the end of 2021.

And as previously known, other unicorns Traveloka and Bukalapak have also reportedly started exploring the option of going public with SPAC vehicles.

SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for tech startups. In the United States, 2020 is a significant growth momentum for going public through blank check vehicles. There are more than 200 SPACs raising approximately $799 billion.

However, currently there is a decline in SPAC prices and institutional investors’ interest in entering PIPE; it is possible for startups to rethink going public through this mechanism.

Withersworldwide partner Joel Shen argues that the resurgence of SPAC’s popularity can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus from the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in the technology sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kredivo Segera Go-Public via SPAC, Bidik Dana Segar 6,1 Triliun Rupiah

FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Baik FinAccel dan VPCB telah memasuki tahap perjanjian definitif untuk penggabungan bisnis mereka dan mengajukan dokumen kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission/SEC). VPCB sendiri telah menyelesaikan IPO pada Maret 2021.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. FinAccel akan menjadi startup unicorn berikutnya dari Indonesia setelah transaksi ini selesai.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan perusahaan untuk sejumlah media pada hari ini (03/8), Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg menjelaskan kesempatan untuk menjadi perusahaan terbuka ini datang karena FinAccel dan VPC punya hubungan bisnis yang kuat. Ia melihat VPC sebagai firma yang berkualitas dan reputasi baik.

Lagipula, untuk mendapatkan dana segar dalam jumlah banyak dan dalam satu waktu tidak memungkinkan bagi sebuah perusahaan bila dilakukan melalui pendanaan secara privat. Oleh karena itu, kesempatan ini datang dan ingin dimanfaatkan FinAccel sebaik mungkin.

“Jadi kita bukan memilih untuk IPO, tapi memilih opsi pendanaan yang terbaik. Keputusan ini pun tidak mendadak tapi ada kesempatan yang datang dengan sendirinya,” ujar Garg.

Terkait proses listing di NASDAQ, transaksi ini diharapkan akan menghasilkan dana segar lebih dari $430 juta (lebih dari 6,1 triliun Rupiah) dalam bentuk tunai pada neraca keuangan perusahaan gabungan. Dari total dana tersebut, menggambarkan kontribusi hingga $256 juta secara tunai yang telah masuk dalam rekening perwakilan VPCB (dengan asumsi tidak ada pemegang saham PVCB yang menebus sahamnya).

Kemudian, sebesar $120 juta dalam bentuk private placement (PIPE) yang dipimpin oleh Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, dan sponsor VPC, bersamaan dengan tambahan komitmen ekuitas sebesar $55 juta dari investor terdahulu, yakni NAVER (melalui NAVER Financial) dan Square Peg.

Garg menjelaskan dengan terbukanya akses pasar di bursa Amerika Serikat membuka kesempatan bagi perusahaan untuk mendapatkan likuiditas yang jauh lebih besar. Bursa Amerika Serikat memang menjadi “rumah” untuk banyak perusahaan teknologi besar di seluruh belahan dunia. Dari Asia saja, terhitung sudah hadir Sea, Alibaba, dan Grab dalam waktu dekat.

Ia pun membuka opsi untuk dual listing, dengan ikut melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski keputusan tersebut belum bisa dispesifikkan lebih lanjut.

Lebih lanjut, Garg menerangkan dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Komentarnya mengenai label unicorn yang akan disandang perusahaan, Garg mengonfimasi hal tersebut. Tapi menurutnya, label unicorn dan IPO bukanlah hal yang ingin dibidik perusahaan sejak awal didirikan. Ia ingin melanjutkan visi perusahaan dalam memperdalam penetrasi kartu kredit digital yang masih begitu luas kesempatannya di Asia Tenggara.

Perkembangan Kredivo

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Dalam rekam jejaknya, Kredivo menyalurkan pembiayaan kredit instan kepada pengguna untuk pembelian di e-commerce dan offline serta dana pinjaman tunai, berdasarkan real-time decisioning yang didukung oleh teknologi AI buatan sendiri. Total penggunanya hampir mencapai 4 juta orang dan kerja sama dengan 8 dari 10 platform e-commerce terdepan di Indonesia.

Basis pengguna Kredivo tumbuh dua kali lipat selama 10 bulan terakhir dan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama tujuh bulan terakhir. Diklaim perusahaan, memimpin industri untuk kategori Buy Now, Pay Later (BNPL), dengan wallet share setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce di Indonesia.

Di Indonesia, penetrasi pengguna kartu kredit dari segmen kelas menengah kurang dari 10%, melalui kemitraan dengan Kredivo, merchant mampu meningkatkan nilai pembelanjaan konsumennya.

Merchant Kredivo yang disurvei mampu mencatatkan peningkatan untuk rata-rata jumlah pembelian (average basket size) lebih dari dua kali lipat, peningkatan frekuensi transaksi hingga tiga kali lipat, dengan lebih dari 50% merchant tersebut mengatakan Kredivo dapat memperbesar cart conversion rate atau jumlah transaksi yang berhasil pada waktu checkout.

Tren SPAC

SPAC menjadi kata kunci yang ramai sejak awal tahun ini. Selain Kredivo, perusahaan lokal yang ikut tertarik ada Tiket.com. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Kredivo Bags 1.4 Trillion Rupiah Debt Funding from Victory Park Capital

The multi-finance startup Kredivo announced additional credit from a US-based investment company, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) worth of $100 million (more than 1.4 trillion Rupiah). This is the VPC’s second time to top up with the same nominal for Kredivo, the first collaboration occurred in July 2020.

In a virtual press conference with media held by the company today (22/6), Kredivo Indonesia’s CEO, Umang Rustagi said that the funds will be fully channeled to Kredivo’s consumers in Indonesia in need for credit. The company plans to expand financing products beyond just cash loans and transactions on e-commerce platforms.

Positioned as a multi-finance company, Kredivo is preparing financing products for health, education, and vehicles. “The funds provided through this collaboration will be able to accelerate our business scale in 2021 and in the following years, also help achieve our target to serve 10 million customers in Indonesia by 2025,” Rustagi said.

Currently, Kredivo claims to have more than three million users in Indonesia. This number is equivalent to 40% of credit card users totaling 8 million people, after being deducted by an estimate that one person has more than one credit card.

“Kredivo’s consumer growth and disbursement needs in Indonesia are growing rapidly. Through our research, new users have been using the paylater for the past year,” Kredivo’s VP Marketing & Communications, Indina Andamari said.

Rustagi continued, VPC’s decision to top up credit at Kredivo was due to the large potential for the unbanked group in Indonesia. In addition, the company’s ability to maintain risk management and successfully become a sustainable business in the midst of a pandemic over the past year.

Separately, in an official statement, VPC’s Partner, Gordon Watson said, “We are very impressed with Kredivo’s resilience and business growth and are certainly very pleased to continue to strengthen our collaboration with Kredivo. The company represents a unique combination of growth, scale, risk management and financial inclusion in one of the world’s most attractive emerging markets.”

In addition to VPC, Kredivo has previously partnered with a number of local banks as institutional lenders, including Bank Permata with a value of IDR 1 trillion and Partners for Growth with a value of IDR 283 billion. Both institutions entered last year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Kembali Peroleh Pinjaman Kredit 1,4 Triliun Rupiah dari Victory Park Capital

Startup multifinance Kredivo kembali mengumumkan tambahan kredit dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) sebesar $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Ini kedua kalinya VPC melakukan top up dengan nominal yang sama untuk Kredivo, kerja sama pertama kali terjadi pada Juli 2020.

Dalam konferensi pers virtual bersama sejumlah media yang digelar perusahaan hari ini (22/6), CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi menyampaikan, dana tersebut akan disalurkan sepenuhnya ke konsumen Kredivo di Indonesia yang membutuhkan kredit dalam memenuhi kebutuhannya. Perusahaan berencana untuk memperluas produk pembiayaan tidak hanya sekadar pinjaman cepat (cash loan) dan transaksi di platform e-commerce saja.

Dengan status sebagai multifinance, Kredivo sedang mempersiapkan produk pembiayaan untuk kesehatan, pendidikan, dan kendaraan bermotor. “Dana yang tersedia melalui kerja sama ini akan mampu mengakselerasi skala bisnis kami pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya, juga membantu mencapai target kami untuk melayani 10 juta pelanggan di Indonesia pada 2025,” ujar Rustagi.

Saat ini Kredivo mengklaim telah memiliki lebih dari tiga juta pengguna di Indonesia. Angka tersebut setara dengan 40% pengguna kartu kredit yang berjumlah 8 juta orang, setelah dikurangi dengan diestimasi satu orang memiliki lebih dari satu kartu kredit.

“Pertumbuhan konsumen Kredivo dan kebutuhan disbursement di Indonesia sangat cepat. Dalam riset kami disampaikan pengguna baru menggunakan paylater itu satu tahun belakangan,” tambah VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari.

Rustagi melanjutkan, keputusan VPC untuk melakukan top up kredit di Kredivo tak lain karena masih besarnya potensi kelompok unbankable di Indonesia. Serta, kemampuan perusahaan dalam menjaga manajemen risiko dan berhasil menjadi bisnis yang sustain di tengah pandemi selama setahun terakhir.

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Partner VPC Gordon Watson mengatakan, “Kami sangat terkesan dengan resiliensi dan pertumbuhan bisnis Kredivo dan tentunya sangat senang dapat terus mempererat kerja sama kami dengan Kredivo. Perusahaan ini merepresentasikan kombinasi unik antara pertumbuhan, skala bisnis, manajemen risiko, dan inklusi keuangan di salah satu pasar berkembang paling atraktif di dunia.”

Selain VPC, sebelumnya Kredivo telah bermitra dengan sejumlah bank lokal sebagai lender institusi, di antaranya Bank Permata senilai Rp1 triliun dan Partners for Growth senilai Rp283 miliar. Keduanya masuk pada tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Riset Kredivo: Opsi Paylater Makin Dipertimbangkan untuk Bayar Belanja Online

Riset Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan sebanyak 27% dari 3560 responden memanfaatkan metode pembayaran paylater saat berbelanja di platform e-commerce selama setahun lalu. Kendati, opsi pembayaran dengan dompet digital masih jadi pilihan utama responden.

Direktur Riset KIC Mulya Amri menjelaskan, dompet digital masih menjadi pilihan utama responden selama setahun terakhir. Namun jumlah pengguna paylater di platform e-commerce mulai meningkat. “Lebih dari 50% pengguna baru menggunakan paylater di e-commerce setahun terakhir atau saat pandemi corona,” ucapnya saat konferensi pers virtual, Rabu (9/6).

Ini adalah tahun kedua KIC dan Kredivo berkolaborasi membuat riset. Pada edisi kali ini “Perilaku Konsumen E-Commerce Indonesia 2021”, juga menganalisis perilaku pembayaran konsumen dan penggunaan paylater di tengah pandemi. KIC memanfaatkan data primer lebih dari 10 juta sampel transaksi dari enam pemain e-commerce terbesar Indonesia sepanjang 2020 dan hampir satu juta sampel pengguna Kredivo dari seluruh Indonesia yang dikumpulkan langsung oleh Kredivo.

Lebih lanjut, dari riset ini mayoritas responden menilai bahwa paylater merupakan alternatif kredit, namun dengan proses yang mudah. Berikut rinciannya:

Selain itu, dalam survei juga turut menanyakan sejauh mana pengetahuan responden terhadap produk paylater. Sebanyak 86% orang menyatakan sudah mengetahui dengan tingkat pengetahuan sedang. Bisa dikatakan, bahwa orang-orang sudah mulai tahu dengan konsep paylater, meski belum memanfaatkan produknya secara langsung. Ini bisa menjadi peluang yang bisa digarap para pemain paylater ke depannya.

Mulya turut menambahkan, hampir seluruh responden (71%) yang menggunakan paylater akan terus menggunakannya. Bahkan sebanyak 49% menyatakan akan meningkatkan penggunaannya.

Hasil riset ini dilakukan dengan melakukan survei online selama 26-30 Maret 2021. Responden mayoritas perempuan (64%), laki-laki (36%). Dari segi usia, sebanyak 68% responden adalah kelompok milenial atau 23-38 tahun. Kemudian, generasi Z (13-22 tahun) 16%, generasi X (39-54 tahun) 15%, dan baby boomer (55-70 tahun) 1%.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, sebanyak 36% responden memiliki pengeluaran Rp2 juta-Rp4 juta, 30% kurang dari Rp2 juta, 21% lebih dari Rp6 juta, dan 13% antara Rp4 juta-Rp6 juta.

Dari data primer Kredivo, KIC menganalisis mengenai Perilaku Konsumen E-Commerce Indonesia 2021. Ditemukan sejumlah temuan bahwa:

  1. Terjadi peningkatan rata-rata nilai transaksi secara konsisten di hampir semua kategori produk yang disebabkan oleh konsumen yang bergeser ke pembelanjaan secara online. Hal ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap transaksi digital, walaupun distribusi belum merata di beberapa wilayah.
  1. Konsumen yang berusia lebih tua semakin nyaman berbelanja online. Di tengah dominasi gen Z dan milenial, generasi X (kelompok usia 36-45) mengalami peningkatan jumlah transaksi berbelanja online dari 13% pada 2019 menjadi 19% pada 2020.
  1. Pandemi ubah preferensi belanja konsumen saat bertransaksi online. Karena konsumen lebih banyak beraktivitas dari rumah, pandemi mendorong konsumen untuk membeli produk yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi belanja produk non-pokok. Ini terlihat dari penurunan volume transaksi produk fashion (30% di tahun 2019 menjadi 22% di tahun 2020) sedangkan terjadi peningkatan signifikan di kategori produk seperti peralatan rumah tangga, isi ulang pulsa dan voucher, serta makanan.
  1. Promosi dan festival belanja online masih efektif tarik konsumen untuk berbelanja. Hari Belanja Online Nasional (12.12) dan festival belanja tanggal kembar seperti 9.9 dan 11.11 terbukti masih efektif dalam menarik konsumen untuk berbelanja. Jumlah rata-rata transaksi pada tanggal 11.11 dan 12.12 tahun 2020 meningkat hingga 3 kali rata-rata transaksi harian tahun 2020.

“Riset yang dilakukan Kredivo bersama Katadata Insight Center tahun ini memperkuat kesimpulan kami bahwa adopsi e-commerce akan terus meningkat tiap tahunnya. Di samping meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap e-commerce, pandemi juga mendorong masyarakat untuk berpindah ke transaksi digital [..],” tandas VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Consider SPAC; Expecting “Go-Public” Testimony from Indonesian Tech Giants

The fintech paylater company, Kredivo, is reportedly considering an option to go public on the New York stock exchange through SPAC. The company plans to partner with Victory Park Capital’s unit, an investment company that also provided debt funding facilities to Kredivo worth $100 million in November 2020.

This news was first reported by DealStreetAsia. As we continue to follow up, Kredivo executives were reluctant to comment on the rumors.

From the existing funding rounds, Kredivo’s current estimated valuation has reached $500 million. The ranks of investors include Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, and Kejora Intervest.

Meanwhile, the value of the blank check company to be partnered with is estimated at $255 million.

Go-public plans

Recently, Tiket.com’s plan to go-public resurfaced. The company, which has now valued more than $1 billion, is reportedly considering SPAC as its vehicle to go-public on the stock exchange. Rumor has it that they will collaborate with a blank check company COVA Acquisition Corp. (COVA), forming a unity valued at more than $2 billion.

In addition, as quoted by Kumparan, GoTo’s CEO, Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint venture also plans to go-public on the stock exchange before the end of 2021.

In a general note, other unicorns, including Traveloka and Bukalapak have reportedly begun exploring the option of going public with SPAC.

The SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for technology startups. In the United States, 2020 is a significant momentum for go-public through blank check scheme. There are more than 200 SPACs raising an estimated $799 billion.

However, there has been a decline in SPAC prices and interest in institutional investors to enter the PIPE; it is possible for startups to rethink about going public through this mechanism.

Withersworldwide’s partner, Joel Shen argues, SPAC’s resurgence can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus of the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in technology.

Expecting testimony

The plan remains, even the companies above avoid to openly discuss or admit about the SPAC. Some have already given the signal to immediately conduct an IPO.

If these market-leading startups can succeed with SPAC, it will be both a measure and a good benchmark for the ecosystem. One of them is related to the company’s acceptance on foreign exchanges, even though its business is focused on local [regional] markets.

In his  analysis, Gabriel Li as an expert from Withers KhattarWong Singapore said that the [global] public market has currently showing interest to invest in Southeast Asian technology startups. The success of Sea Group in bringing e-commerce, video games and payments businesses is said to be one of the early triggers. Investments in Southeast Asian or Indonesian companies are seen to be complementary for most investors.

Investors in the capital market, the government, and even the general public are now waiting for concrete steps of the tech-giants to go-public on the stock exchange. It is expected with careful steps, local startups can really give their best performance, therefore, it turns out to be extraordinary examples for innovators following in the same direction.

Indonesian capital market

All the news about unicorns planning to go-public, the Indonesia Stock Exchange (IDX) did not sit still. Various adjustments were made as “inducements” to local technology companies to consider domestic IPOs.

IDX’s Development Director, Hasan Fawzi said some adjustment points compiled through conversations with industry players. It is related to the listing option on the main board, expand the classification of sub-sectors, and to the rights of the founder to do a dual class share.

Dual listing is predicted to be an option for startups, as it is undeniable that investors from the United States stock exchange are connecting companies to embrace a wider circle of investors. On the other hand, an IPO on a local stock exchange will spice up the Indonesian market, while being a manifestation of nationalism.

IDX’ Commissioner, Pandu Sjahrir’s also said, as quoted by Tempo, currently three unicorns have registered to the local stock exchange, although no further details have been identified.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com