Tips Gojek Bagi Startup yang Ingin Menggunakan “Machine Learning”

Kemajuan teknologi menjadi kunci cepatnya pertumbuhan ekonomi digital. Untuk hal ini machine learning bertanggung jawab menyebabkan banyak aspek dalam bisnis digital bisa melesat cepat.

Gojek adalah contoh startup yang mengimplementasikan machine learning ke dalam sistem mereka. Teknologi tersebut begitu penting sehingga memungkinkan jutaan transaksi terjadi antara jutaan pihak, mulai dari pelanggan, pengemudi, merchant, hingga berbagai penyedia jasa lainnya. Tarif GoRide, ketersediaan pengemudi, rekomendasi makanan di GoFood, adalah contoh buah pemikiran machine learning.

“Tanpa teknologi itu mungkin sepuluh tahun lagi kita baru sampai di titik ini,” ucap VP Research Gojek Group Ramda Yanurzha.

Ramda yang kesehariannya bergelut dengan data di Gojek menekankan pentingya machine learning bagi perusahaan teknologi. Namun sebelum mengaplikasikan machine learning, Ramda menilai ada sejumlah kondisi yang dipenuhi.

Pertama, startup atau pihak yang ingin melibatkan machine learning dalam sistemnya harus siap bereksperimen. Pekerjaan machine learning adalah mengotomasi proses dari data yang ada, mengolahnya hingga memperoleh hasil terbaik dapat tampil di produk atau solusi yang dihadirkan ke konsumen.

“Harus ada mindset siap eksperimen. Gagal, mencoba lagi, gagal, coba lagi, sampai berhasil. Machine learning ini bisa membuat proses itu lebih mudah,” imbuh Ramda.

Poin kedua dan yang terpenting menurut Ramda adalah fokus bisnis yang jelas. Machine learning sejatinya adalah alat. Tanpa masalah yang jelas, tujuan pemakaian yang detail, machine learning dianggap tak akan efektif.

“Jadi kalau mereka punya mindset growth dan siap menuju target growth, punya fokus bisnis yang jelas, itu suasana yang cukup kondusif untuk mengaplikasikan machine learning,” pungkasnya.

Di kesempatan terpisah, Co-Founder Gojek, Kevin Aluwi menambahkan ada dua poin penting yang perlu diperhatikan saat mengimplementasikan machine learning yakni jumlah data dan algoritma.

Jumlah data bisa begitu berpengaruh dalam kepintaran machine learning. Semakin banyak dan sulit masalah yang harus dikerjakan sang mesin, semakin akurat pula insight yang dihasilkan olehnya.

“Selanjutnya algoritma perhitungan akan semakin terlatih dengan meningkatnya volume dan kompleksitas data yang masuk,” ucap Kevin.

Kendati manfaatnya yang begitu besar, masih ada pihak-pihak yang sungkan memakai machine learning ke dalam sistem mereka. Salah satu kendala yang membuat orang ragu memakainya adalah jumlah analis data yang masih minim di Indonesia. Sekalipun ada, kerap kali startup harus merogoh kocek yang dalam untuk memperkerjakan mereka.

Hal ini bisa diukur dari besarnya kebutuhan perusahaan-perusahaan teknologi. Gojek misalnya harus jauh-jauh membuka kantor di Bengaluru, India, guna memperkuat teknologi platform mereka.

Google Luncurkan Gallery Go, Hadirkan Fitur Manajemen Foto Otomatis ala Google Photos Secara Offline

Google Photos populer karena banyak alasan. Satu yang paling utama tentu saja adalah karena layanan tersebut dapat dinikmati secara cuma-cuma. Alasan lainnya adalah fitur manajemen foto otomatis berbasiskan teknologi machine learning>

Meski kerap disepelekan, manajemen foto sangatlah penting terutama kalau jumlah foto yang disimpan begitu besar. Mayoritas jelas malas mengategorikan fotonya satu per satu agar lebih mudah dicari di lain waktu, dan di situlah Google Photos datang membantu.

Google tahu bahwa di luar sana masih banyak pengguna smartphone yang ingin dimanjakan oleh fitur manajemen otomatis Google Photos, namun masih terkendala oleh koneksi internet. Dari situ mereka mencoba menawarkan alternatif dalam bentuk aplikasi bernama Gallery Go.

Anggap saja Gallery Go ini sebagai versi offline dari Google Photos, yang berarti tidak ada fitur penyimpanan di cloud, dan fungsinya murni untuk membantu merapikan koleksi foto yang ada di smartphone (termasuk yang disimpan di SD card). Istimewanya, fitur manajemen foto otomatis berbasis machine learning ini dapat bekerja tanpa mengonsumsi kuota data perangkat sedikitpun.

Gallery Go pada dasarnya akan melabeli satu per satu foto berdasarkan kategori seperti alam, binatang, makanan, atau orang demi memudahkan pencarian. Kategori yang lebih spesifik lagi macam selfie dan dokumen pun juga dimungkinkan berkat kemampuan teknologi machine learning dalam mengenali objek pada gambar.

Selain manajemen foto, Gallery Go juga menyimpan fitur penyuntingan yang sederhana, termasuk halnya fitur auto enhance untuk yang butuh serba instan. Semua ini dikemas Google dalam aplikasi yang besarnya tak lebih dari 10 MB, dengan harapan pengguna dapat memaksimalkan kapasitas penyimpanan milik smartphone-nya untuk mengenang lebih banyak momen.

Gallery Go saat ini sudah bisa diunduh melalui Google Play Store, namun fitur face grouping yang pada dasarnya bakal mengelompokkan foto-foto selfie masih belum tersedia di semua negara.

Sumber: Google.

Application Information Will Show Up Here

Menggali Strategi dan Teknologi yang Diusung TikTok Dalam Upaya Menggaet Gen Z

Einstein pernah bilang bahwa takaran dari kecerdasan seseorang ialah kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan. Di ranah teknologi serta internet, perubahan berjalan begitu cepat sembari membawa hal baik dan buruk. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang ditimbulkan oleh TikTok. Pemerintah Indonesia sempat memblokir app ini karena berseliwearannya konten-konten negatif.

Berita gembiranya, TikTok sudah banyak berubah sejak ia meluncur kurang lebih dua tahun silam. Setelah dihantam kritisi terkait masalah privasi, ketergantungan, dan keselamatan (terutama bagi user berusia muda), developer ByteDance pelan-pelan mengimplementasikan sejumlah fitur keamanan. Contohnya: kita bisa membuat batasan akses ke app (dari mulai 40 sampai 120 menit per hari). Jika tenggat waktunya tercapai, kita perlu memasukkan password sebelum bisa kembali membuka app.

TikTok 2

Tentu saja TikTok turut dibekali fungsi pelaporan, pemblokiran, serta ‘mode terbatas’ buat menyaring video-video tertentu. Sebagai bentuk realisasi ByteDance dalam menanggulangi konten-konten negatif – dan supaya TikTok dapat dizinkan lagi beroperasi di Indonesia – mereka menugaskan tim berisi 20 orang untuk melakukan moderasi terhadap segala video yang beredar. Berkat desakan tersebut, developer turut menerapkan sistem pembatasan umur.

TikTok kini tersedia di 150 negara/wilayah, didukung 75 bahasa, dan punya 50 kantor cabang tersebar di dunia. Versi iOS-nya telah diunduh sebanyak lebih dari 104 juta kali di periode paruh pertama tahun 2018. Jumlah ini melampaui rekor yang sempat dipegang oleh PUBG Mobile, YouTube, Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Dan di acara 2019 TikTok SEA Creators & Content Marketing Conference, ByteDance berbicara banyak soal tren video singkat dan teknologi yang mereka usung di app populer tersebut.

TikTok 9

 

Karakteristik Gen Z

Saat ini masih ada banyak orang menyiapkan atau mendesain produk mereka untuk kalangan millennial. Sejujurnya, era keemasan Gen Y sudah berakhir dan sekarang adalah waktunya generasi Z buat bersinar. Di presentasinya, Surayot Aimlaor selaku head of marketing TikTok Thailand menyampaikan bahwa rata-rata penduduk Asia Tenggara menghabiskan waktu 3,6 jam sehari untuk bermain smartphone (Indonesia mencapai 3,9 jam), dan persentasenya didominasi oleh pengguna berusia 15 sampai 24 tahun.

TikTok 10

98 persen dari kelompok generasi Z punya smartphone-nya sendiri. Mereka ini tersambung ke internet selama 10 jam sehari dan 1/3 di antaranya menonton video hingga satu jam sehari, serta mengonsumsi rata-rata 68 dalam periode 24 jam. Tapi ada efek samping dari ketersediaan serta kemudahan akses konten bagi kalangan tersebut: umumnya, mereka cuma bisa menghabiskan waktu delapan detik buat memerhatikan satu topik (attention span). Selanjutnya, Gen Z akan mengalihkan fokusnya ke hal lain.

Karakteristik inilah yang dimanfaatkan oleh TikTok. ByteDance menyebut layanan ini sebagai platform short-video nomor satu di dunia – terutama di kawasan Asia dan Amerika. Pengguna dipersilakan untuk membuat video berdurasi 3 sampai 15 detik atau maksimal satu menit. Dari pengakuan sejumlah kreator, salah satunya dancer asal Surabaya Kelly Courtney, video 15 detik ternyata merupakan jenis konten yang lebih disukai dan merangsang lebih banyak komentar.

TikTok 8

Dalam diskusi panel, CEO Kantar China Rana Deepender membahas lebih jauh mengenai karakteristik Gen Z. Banyak orang menyangka, dibanding millennial, kalangan ini mempunyai loyalitas brand yang lebih rendah. Ternyata hal ini keliru. Pengguna generasi Z sangat sadar terhadap merek dan mereka cenderung setia pada nama-nama yang konsisten dalam memegang prinsip atau nilai tertentu.

TikTok 7

Menjawab pertanyaan saya, senior director global marketing Lionel Sim menjelaskan bahwa mereka tidak khawatir jika kepopuleran tren short-video akan menurun di masa depan, atau saat era Gen Z telah berlalu. Perhatian utama mereka bukan sekadar terpusat pada video singkat, tapi bagaimana memudahkan semua orang berkreasi.

TikTok 6

 

Teknologi di balik layanan TikTok

Memang mudah mengesampingkan teknologi dan upaya penggarapannya ketika sebuah layanan menawarkan kesederhanaan pemakaian. TikTok menjadi app favorit kalangan pengguna berusia muda karena kombinasi kayanya fitur serta UI yang intuitif. Di tampilan utama saja, Anda disuguhkan akses ke beragam pilihan musik, filter, serta fungsi untuk men-switch kamera atau mengubah kecepatan video. Tombol upload juga ditempatkan di layer yang sama.

TikTok 4

Namun sisi teknologi TikTok jauh lebih dalam dari itu semua. Beberapa contoh kecil misalnya filter yang bisa mengubah warna rambut, lalu saya juga sempat melihat pemanfaatan sistem augmented reality untuk menempatkan (dinosaurus) Velociraptor virtual dengan latar belakang dunia sesungguhnya. Lalu ada pula fitur stiker ala ‘3D emoji‘ yang dapat menggantikan muka sembari mengikuti raut wajah Anda.

Satu fitur lagi yang berhasil memukau saya ialah stiker dan lensa bertema hujan. Cukup berbekal lambaian tangan, pengguna dapat menghentikan tetesan air sembari mengaktifkan fungsi zoomin/out. Skenario ini sedikit mengingatkan saya adegan di film The Matrix, ketika Neo menyetop peluru. Agar bisa menyajikan hal tersebut, ByteDance menggarap sebuah sistem yang mampu melacak 21 titik di telapak tangan sehingga mampu mendeteksi tak kurang dari 19 tipe gesture dengan keakuratan 99 persen.

TikTok 3

Machine learning (dan kecerdasan buatan, jika saya tak salah dengar) juga dimanfaatkan agar penerapan filter dan stiker lebih akurat. Selain itu, algoritma pintar juga digunakan agar konten bisa sampai pada pengguna yang tepat, dalam rangka mengoptimalkan sistem rekomendasi.

Satu kesimpulan menarik yang saya tangkap dari presentasi panjang ByteDance serta wawancara bersama developer adalah, mereka mau bersusah payah mengembangkan bermacam-macam teknologi yang kompleks, kemudian mengemasnya dalam interface sederhana demi memudahkan semua orang buat jadi kreator.

TikTok 5

Sentimen negatif terhadap TikTok, terutama di Indonesia, memang masih belum sepenuhnya hilang. Tapi saya rasa upaya-upaya ByteDance dalam memoles berbagai aspek di platform short-video itu serta melihat kepatuhan developer mengikuti kebijakan pemerintah tetap mesti diapresiasi.

Perlu Anda ketahui bahwa sejumlah lembaga pemerintah seperti Kominfo dan Kemenpar turut menggunakan TikTok demi menyebarkan informasi serta menjangkau dan berinteraksi dengan masyarakat.

Mengupas Upaya Gringgo Menyediakan Solusi Pengelolaan Sampah Berbekal AI

Ada banyak hal yang bangsa Indonesia bisa banggakan: keragaman budaya, kekayaan alam, hingga potensi sumber daya manusia. Namun ada sejumlah perkecualian. Harus kita akui, masih sedikit dari penduduk Indonesia yang betul-betul peduli terhadap lingkungan. Di bulan Agustus kemarin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa kita adalah negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.

Laporan majalah Science di tahun 2015 menyebutkan ada 3,2 juta ton limbah plastik dihasilkan di kawasan indonesia tiap tahunnya dan 1,29 juta ton dibuang ke laut. Kondisi ini mendorong beberapa orang dan perusahaan untuk mengambil langkah konkret demi meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan sampah. Yayasan Gringgo Indonesia ialah salah satu nama yang menonjol berkat gagasan inovatifnya dan keberhasilan mereka terpilih mendapatkan bantuan Google di program AI Impact Challenge.

Gringgo 1

Gringgo merupakan satu dari 20 organisasi/startup non-profit di bidang sosial yang jadi penerima hibah Google.org dengan total dana senilai US$ 25 juta. Untuk memahami besarnya pencapaian mereka, perlu Anda tahu bahwa ada 2.600 pelamar Google AI Impact Challenge yang datang dari 12 negara dan Gringgo merupakan satu-satunya startup yang berasal dari kawasan Asia Tenggara.

Di luar dukungan dalam bentuk uang, Gringgo memperoleh bantuan kredit dan konsultasi dari Google Cloud, pelatihan dari pakar AI Google, serta berkesempatan mengikuti program mentoring selama enam bulan dari para ahli di Google Launchpad Accelerator. Di presentasinya, CTO Gringgo Febriadi Pratama menceritakan singkat pengalaman mereka mengikuti pertemuan selama lima hari bersama 19 penerima hibah di kota San Francisco.

Gringgo 8

 

Kompleksnya masalah limbah di Indonesia

Di sambutannya, Novrizal Tahar selaku Direktur Pengelolaan Sampah menjelaskan bahwa demi menyelamat-kan Indonesia dari bahaya laten timbunan sampah, pola pikir kita sudah mesti diubah. ‘Membuang sampah pada tempatnya’ bukan lagi jalan keluar yang bisa diandalkan. Masing-masing orang kini harus sadar dan mulai mengidentifikasi limbah yang mereka hasilkan serta menyortir jenis sampah sebelum membuangnya.

Gringgo 4

Tentu saja, prakteknya tidak sesederhana itu. Ada hanyak hal dan situasi yang membuat penanggulangan sampah bertambah pelik. Pertama, kedala datang dari keadaan sosial. Biasanya, masyarakat sangat meremehkan kesejahteraan para petugas pembersih dan pemulung. Pemasukan mereka juga sangat kecil, lalu mayoritas pengumpul sampah datang dari sektor usaha informal tanpa ada sama sekali sistem pendukung yang terintegrasi serta memadai.

Selain itu, sampah berdampak pada faktor ekonomi. Gringgo sebagai organisasi asal Bali melihat langsung bagaimana kotoran-kotoran yang terbawa arus dapat memenuhi pantai. Kondisi ini tentu saja memengaruhi turisme karena pemerintah daerah kadang terpaksa menutup area pantai buat melakukan pembersihan. Kemudian, sampah juga sangat memengaruhi sektor perikanan dan mencemari biota.

Gringgo 2

 

Memulai dari skala kecil

Gagasan di belakang penciptaan Gringgo dicetus pada tahun 2014, waktu itu mengusung tajuk Cash for Trash. Tim punya misi untuk memberi terobosan serta menciptakan dampak positif bagi lingkungan dengan cara membangun solusi perputaran ekonomi yang memprioritaskan masyarakat, planet dan kesehatan. Ketika Gringgo Indonesia Foundation resmi berdiri di 2017, proyek mereka dimulai di desa Sanur Kaja, Denpasar.

CTO Gringgo Febriadi Pratama di presentasinya.

Di tahun 2017, Denpasar memiliki populasi kurang lebih 898 ribu jiwa, dan diisi oleh 43 desa. Dalam setahun, penduduknya menghasilkan sekitar 700 ribu ton sampah, tetapi hanya 333.955 ton yang terkumpul secara benar. Waktu itu, wilayah operasi para pemungut sampah belum merata dan sering kali saling tumpang tindih. Dengan bertambahnya partisipan program, cakupan jadi lebih luas dan peluang satu pekerja kebersihan masuk ke area operasi rekannya jadi lebih kecil.

Berkat sistem garapan Gringgo, Febriadi bilang bahwa para pekerja kebersihan bisa mendapat pemasukan dua hingga tiga kali dari biasanya. Volume sampah yang terkumpul juga bertambah banyak sampai tiga kali lipat, mencapai 350-meter kubik per bulan, dan memperlihatkan kenaikan dari 9- jadi 12-ton tiap bulan. Sistem juga efektif dalam pengumpulan limbah plastik, dari yang tadinya cuma 400kg melesat jadi 5-ton per bulan.

Gringgo 3

Solusi dari Gringgo diharapkan pula mendorong partisipan untuk fokus mengumpulkan jenis sampah yang tidak begitu umum, namun sebetulnya punya nilai tinggi. Satu contohnya adalah popok bekas. Ada material di dalamnya yang bisa didaur ulang dan tak semua orang tahu. Gringgo mencoba agar detail nilai dari limbah ini lebih terekspos, dan para petugas kebersihan juga lebih tahu ke mana mereka harus menyalurkannya.

Gringgo tentu saja punya rencana untuk memperluas jangkauan operasi ke wilayah luar Denpasar. Meski begitu, mereka juga telah menetapkan kriteria: daerah-daerah itu mesti punya karakteristik demografi mirip Denpasar, dengan jumlah penduduk antara 800 ribu sampai 2 juta jiwa.

 

Solusi dari Gringgo

Teknologi pengenalan gambar berbasis kecerdasan buatan merupakan tulang punggung dari platform Gringgo. Tapi untuk bisa beroperasi secara maksimal, ada banyak hal harus terpenuhi. Mungkin Anda sudah tahu mengenai kemitraan Gringgo bersama Datanest, sebuah platform DSaaS penyedia visualisasi data, kecerdasan buatan, prediksi machine learning, serta actionability. Gringgo juga harus lebih dulu mengumpulkan ratusan ribu gambar agar sistem dapat melakukan identifikasi dan mempelajari pola.

Gringgo 9

Saat tersedia luas nanti, solusi Gringgo diharapkan mampu bekerja secara simpel. Pengguna – baik pihak pengumpul sampah atau organisasi/perusahaan – dapat memasukkan foto, video, info GPS, metadata hingga hasil survei. Setelah proses pembersihan dilakukan, engine kecerdasan buatan, machine learning dan platform labelling akan menentukan langkah yang bisa dilakukan selanjutnya. Nantinya, UI akan menampilkan nama barang serta menghitung perkiraan nilai dari semuanya.

Menjawab pertanyaan saya soal di perangkat apa rencananya Gringgo akan mengimplementasikan sistem ini, Febriadi Pratama menjelaskan bahwa timnya masih melangsungkan pengujian di sejumlah hardware berbeda dan belum mengambil keputusan (tim tengah mempertimbangkan smartphone atau kamera. Yang jelas, seluruh data diolah di cloud, jadi prosesnya hampir tidak membebani device. Febriadi juga bilang pengembangan platform saat ini berada di tahap alpha.

Live Transcribe dan Upaya Google Memberikan Kemudahan Akses Bagi Kaum Difabel

Tak perlu melihat terlalu jauh untuk mengetahui bagaimana hak penyandang disabilitas masih sering diabaikan. Meski banyak pihak – termasuk pemerintah – terus berupaya membangun beragam infrastruktur pendukung, harus diakui bahwa Indonesia saat ini belum menjadi tempat paling bersabahat bagi kaum difabel. Terlebih lagi, kita bahkan belum mempunyai sistem pendataan yang akurat.

Hal terpenting yang dibutuhkan orang-orang dengan keterbatasan fisik adalah kemudahan akses, dan kita tahu, tema ini sudah lama menjadi perhatian Google. Menyediakan aksesibilitas merupakan salah satu misi sang raksasa internet (satu lagi ialah mengorganisir seluruh informasi di Bumi), dan implementasinya dapat dilakukan oleh perangkat universal yang dimiliki hampir semua orang, yaitu smartphone ber-platform Android.

Dari perspektif Google, disabilitas bukan hanya memengaruhi hidup para penderita, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, dan pada akhirnya khalayak secara luas. Itu berarti, membuat hidup kaum difabel lebih mudah akan berdampak positif bagi masyarakat umum. Dalam presentasi teleconference hari Selasa kemarin, product manager Google AI Research Group Sagar Savla menggunakan analogi menarik:

Di beberapa negara, juga Indonesia, trotoar kini didesainn landai dan tidak lagi ‘patah’ seperti anak tangga. Awalnya, kondisi ini dibuat agar mereka yang berkursi roda bisa mudah melintas. Namun keadaan seperti ini ternyata memberikan efek positif bagi orang biasa, misalnya para ibu yang harus membawa bayi di stroller, lalu para turis jadi lebih nyaman saat membawa koper beroda mereka. Inilah namanya efek curb cut.

Transcribe 3

 

Yang Google lakukan…

Ada begitu banyak tipe keterbatasan, dan Google sudah memberikan beragam solusi lewat fitur-fitur semisal Select to Speak, TalkBack dan BrailleBack bagi mereka yang kesulitan melihat; serta Switch Access, Voice Access dan menu Accessibility buat penderita cacat fisik. Kali ini, perusahaan bermaksud menawarkan jalan keluar untuk pengidap gangguan pendengaran dan orang-orang yang sulit berbicara normal.

Transcribe 2

Mengacu pada data WHO, Sagar Savla menyampaikan bahwa saat ini penderita tunarungu dan tunawicara mencapai 446 juta jiwa. Jika angka tersebut diibaratkan sebagai penduduk negara, maka populasinya berada di urutan ketiga setelah Tiongkok dan India. Totalnya kurang lebih 1,7 kali lebih besar dari penduduk di Indonesia. WHO turut memperkirakan, jumlah pengidap gangguan berbicara dan mendengar akan melonjak jadi 900 juta jiwa di tahun 2055.

Perlu Anda ketahui bahwa sebagian penderita jenis disabilitas ini bukan karena bawaan lahir, tetapi akibat menurunnya fungsi tubuh dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut menyerang sekitar sepertiga manusia berusia 65 sampai 74 tahun. Mereka ini biasanya lebih kesulitan beradaptasi dengan kondisinya dibanding penyandang cacat sejak lahir/kecil karena tidak mudah mempelajari bahasa isyarat secara tiba-tiba. Nenek dari Savla ialah salah satu individu yang menghadapi masalah ini.

Transcribe 1

 

Live Transcribe

Keadaan inilah yang memotivasi Google untuk mengembangkan Live Transcribe, yakni sebuah layanan aksesibilitas khusus para penderita gangguan pendengaran permanen. Disajikan berupa app, Live Transcribe mampu mendengar ucapan lalu menuliskan semuanya di layar smartphone secara real-time. Anda dapat berinteraksi dengan langsung menuliskan respons di sana. Namun di balik kesederhanaannya itu tersimpan teknologi speech recognition mutakhir.

Sagar Savla menjelaskan bagaimana sistem automatic speech recognition di Live Transcribe bersandar pada kecerdasan buatan dan kapabilitas machine learning dalam mendeteksi model akustik, cara pengucapan dan bahasa – termasuk suara, fonem dan huruf. Teknologi di sana memungkinkan Live Transcribe membedakan kata ‘your‘ dan ‘you’re‘ atau ‘too‘ dan ‘two‘ walaupun Anda terbiasa mengucapkannya secara serupa berdasarkan konteks kalimat.

Transcribe 5

Live Transcribe ditopang oleh sistem pengenal suara recurrent neural network berbasis cloud yang terus-menerus mempelajari ucapa orang serta menerapkan auto-correct langsung melintasi tujuh kata. Aplikasi juga sanggup mengklasifikasi 570 tipe bunyi-bunyian, misalnya suara gonggongan anjing atau tangisan bayi. Anda dipersilakan untuk memilih 70 bahasa dan dialek, termasuk bahasa Jawa dan Sunda, serta ada fitur dua bahasa – agar kita tak perlu repot mengubahnya secara manual.

Reproduksi suara dalam teks memang dipengaruhi oleh kualitas mic, dan Live Transcribe siap mendukung mic eksternal baik yang ada di headset kabel, Bluetooth maupun varian USB. Selain itu, pengguna dapat mengaktifkan sistem sinyal haptic feedback, buat memberikan notifikasi jika seseorang memulai atau melanjutkan pembicaraan.

Transcribe 7

App Live Transcribe bisa ditemukan langsung di Google Pixel 3, tetapi semua orang sudah dipersilakan untuk mengunduh versi beta-nya di Google Play. Setelah terinstal, yang perlu Anda lakukan hanyalah menentukan bahasa (serta bahasa sekunder) dan mulai menggunakannya. Di dalam app, Anda akan menemukan lingkaran kecil di pojok kanan atas. Itu adalah indikator input suara vokal versus bunyi-bunyian eksternal.

Dari pengalaman saya menggunakannya, transkripsi yang dilakukan aplikasi ini memang belum akurat 100 persen, boleh jadi disebabkan oleh pengucapan yang kurang fasih atau rendahnya mutu microphone di smartphone entry-level milik saya. Target Google saat ini adalah terus mengulik kemampuan app untuk fokus ke satu pembicara – satu fenomena di kehidupan manusia yang dikenal dengan istilah efek cocktail party.

Transcribe 4

Ingat soal efek curb cut yang sempat saya bahas di awal artikel? Kapabilitas unik Live Transcribe sebetulnya membuka peluang pemakaian di ranah lain. Ambil contohnya saya sebagai jurnalis. Dengan app ini, saya dapat memperoleh kutipan langsung secara tertulis berbekal ucapan narasumber. Untuk sekarang, Live Transcribe memang belum mempunyai fungsi menyimpan teks (dan saya ragu Google akan membubuhkannya melihat dari tujuan awal dibuatnya aplikasi ini), tapi saya bisa saja mengakalinya dengan fitur screenshot.

Sagar Savla menceritakan sedikit kisah unik di belakang pengembangan aksesibilitas bagi penyandang cacat yang dilakukan Google. Jauh sebelum Live Transcribe digarap, pertama-tama mereka harus menentukan perangkat tempat dibangunnya sistem tersebut. Tim sempat mempertimbangkan komputer personal, tablet, hingga unit proyektor mini (dengan pengoperasian yang sangat canggung). Akhirnya, smartphone dipilih karena menurut Google, device ini paling praktis, ringkas dan adopsinya paling merata.

Transcribe 6

Dan buat melengkapi Live Transcribe, Google juga telah meluncurkan Sound Amplifier yang berguna untuk mendongkrak output speaker. Fitur ini bertugas menyaring noise dan memperkuat suara, dengan maksud agar proses mendengar percakapan lebih jadi nyaman dan natural. Sedikit berbeda dari Live Transcribe yang dapat dibuka layaknya app, fungsi Sound Amplifier bersembunyi di menu Accessibility. Seperti TalkBack, Anda perlu mengaktifkannya secara manual.

Live Transcribe mendukung seluruh smartphone Android versi 5 (Lollipop) hingga versi terbaru. App memerlukan internet agar bisa bekerja.

Volantis Ingin Bantu Perusahaan Peroleh “Insight” dari Tumpukan Data

Di tahun 2016, Bachtiar Rifai mendirikan platform yang mencoba memecahkan beberapa permasalahan di dunia periklanan dan pemasaran digital menggunakan machine learning dan analitik big data bernama Kofera. Di pertengahan tahun 2018, Bachtiar mencoba mengaplikasikan metodologi serupa ke pasar yang lebih luas dengan nama Volantis.

Kepada DailySocial, Bachtiar, yang kini menjadi CEO Volantis, mengungkapkan, langkah ini dilakukan guna melancarkan ekspansi ke bisnis multivertikal di luar bisnis pemasaran yang selama ini dijalankan Kofera.

“Bisa kami sebutkan saat ini Volantis adalah holding [company] dari Kofera Technology. Selain Kofera, terdapat juga VolantisIq.com, Volantis.io, Iklanku.id, dan Wirehub.co.id,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman memanfaatkan big data, ujar Bachtiar, teknologi yang dimanfaatkan Kofera dinilai sangat applicable untuk vertikal bisnis lainnya. Mereka juga melihat peluang pasar yang besar di big data dan AI dalam rangka menyongsong industry 4.0.

“Karena alasan itulah mengapa kami membedakan vertikal bisnis dan model bisnisnya. Setiap entitas sudah berdiri sendiri secara operation,” kata Bachtiar.

Pihak Telkom Group, selaku investor Volantis, diklaim menyambut baik transformasi yang dilakukan perusahaan saat ini.

“Respon dari mereka cukup bagus karena addressable market bisa lebih besar dan kemungkinan melakukan sinergi dengan Telkom Group bisa lebih banyak lagi,” kata Bachtiar.

Solusi Volantis

Volantis hadir menyediakan platform big data agar pengguna, baik individu ataupun perusahaan, bisa mendapatkan insight dari tumpukan data yang dimiliki dengan cepat dan tepat.

Ia mempunyai lima modul utama. Yang pertama ialah Volantis Data Universe, yakni sistem penyimpanan data yang menggabungkan berbagai fungsi dari data lake, data warehouse, dan data mart. Modul tersebut juga dapat dihubungkan dengan berbagai macam database, device/sensor dan analytics tools.

Tersedia juga Volantis Data Pipeline, sistem pengolahan data yang bisa mengubah data mentah menjadi data yang siap digunakan. Pengguna memanfaatkan fitur data cleaning, data pre-processing dan preliminary analysis.

Berikutnya Volantis Xplorer, alat visualisasi data yang didesain untuk memudahkan pengguna merepresentasikan data ke bentuk grafik.

Keempat adalah Volantis ML Studio yang merupakan modul yang memberikan kemampuan ke pengguna untuk mendesain, membuat, dan men-deploy model prediktif dengan mudah menggunakan teknologi machine learning secara drag and drop. Yang terakhir adalah Volantis Data & AI Marketplace, marketplace online yang berisi data atau algoritma AI yang asetnya bisa diperjualbelikan.

“Tahun 2019 Volantis berfokus pada inovasi dan penyempurnaan platform dan melakukan berbagai kerja sama dengan pelanggan dan rekanan strategis untuk mengimplementasikan solusi dari Volantis, terutama solusi-solusi yang berhubungan dengan transformasi industri 4.0,” kata Bachtiar.

Rencana penggalangan dana

Volantis, yang bernaung di bawah bendera PT Tri Digital Perkasa, kini memiliki sekitar 70 staf, dengan 85% di antaranya adalah software engineer dan data scientist.

Disinggung apakah ada rencana penggalangan dana dalam waktu dekat, Bachtiar menyebutkan rencana tersebut ada. Penggalangan dana ini bertujuan untuk terus mengembangkan inovasi produk dan mempercepat penetrasi ke pasar enterprise di Indonesia.

“Volantis telah memiliki puluhan pelanggan enterprise yang berasal dari berbagai industri, mulai dari BUMN, perusahaan swasta, institusi akademik, dan sebagainya hingga saat ini,” kata Bachtiar.

Tune Adalah Extension Chrome untuk Menyembunyikan Komentar Negatif di Media Sosial

Banyak faedah yang bisa kita ambil dari diskusi online di media sosial, akan tetapi tidak jarang juga percakapan yang tadinya sehat jadi buyar seketika akibat satu komentar negatif dari seseorang. Di titik itu, semuanya sudah malas melanjutkan pembahasan.

Setahun yang lalu, Jigsaw, anak perusahaan Alphabet, memperkenalkan Perspective, semacam sistem berbasis machine learning yang dirancang untuk membantu platform seperti Facebook dan Twitter dalam ‘memerangi’ komentar-komentar negatif. Masalahnya, itu masih membutuhkan moderasi dari pihak Facebook dan Twitter, sehingga terkadang masih ada saja komentar toxic yang luput dari radar mereka.

Dari situ Jigsaw mencoba memikirkan solusi yang lebih praktis sekaligus efektif. Sampai akhirnya lahir Tune, sebuah extension Chrome dengan teknologi yang sama seperti yang digunakan pada Perspective. Bedanya, Tune dapat dikendalikan langsung oleh pengguna.

Tune

Sederhananya, Tune memungkinkan kita untuk menentukan komentar-komentar seperti apa yang akan muncul ketika kita mengunjungi situs-situs seperti Facebook, Twitter, YouTube, Reddit maupun Disqus. Pengguna bisa memilih untuk mengeliminasi komentar negatif secara menyeluruh, atau menentukan batas negatifnya (contoh: komentar yang bersifat menyerang masih akan ditampilkan, tapi tidak sama sekali kalau sudah melibatkan sumpah serapah).

Harapannya, dengan Tune kita bisa lebih aktif berpartisipasi dalam diskusi online, tanpa memusingkan komentar-komentar negatif yang ada. Daripada membasmi komentar toxic (yang sejatinya nyaris mustahil), lebih baik kita menghindarinya saja, dan caranya adalah dengan tidak menjumpainya sama sekali.

Perlu dicatat, Tune masih berstatus eksperimental, dan sejauh ini baru berlaku untuk komentar dalam bahasa Inggris saja. Kita juga harus maklum apabila ternyata Tune salah mengeliminasi komentar yang sebenarnya sama sekali tidak bermaksud negatif. Itulah mengapa Jigsaw sengaja menjadikannya open-source sehingga semua bisa ikut terlibat menyempurnakannya.

Sumber: Jigsaw via Engadget.

Google Kembangkan Sistem Speech Recognition yang Bisa Bekerja Secara Offline

Fitur speech recognition pada smartphone kita kenal sebagai fitur yang sangat bergantung pada koneksi internet. Itu dikarenakan teknologinya begitu kompleks, melibatkan sejumlah bagian dengan tugasnya masing-masing yang spesifik.

Pertama-tama, ada satu bagian dari sistem yang ‘memecah-mecah’ input audio menjadi satuan suara terkecil alias fonem. Selanjutnya, bagian sistem lain akan menghubungkan fonem demi fonem menjadi kata-kata, sebelum akhirnya frasanya ditebak oleh bagian yang lain lagi.

Itulah mengapa dibutuhkan koneksi internet yang baik agar speech recognition bisa bekerja dengan lancar, sebab smartphone perlu mengirimkan input audionya ke server terlebih dulu untuk diproses. Semua yang melibatkan server tentu tidak luput dari latency alias jeda, namun Google rupanya sudah punya solusi yang menarik.

Recurrent Neural Network Transducer

Ketimbang mengandalkan sistem speech recogntion yang tersimpan di server, Google meracik sistem berbasis AI bernama Recurrent Neural Network Transducer (RNN-T) yang bisa bekerja langsung di perangkat tanpa perlu mengandalkan koneksi internet. Alhasil, input audio dapat diproses secara instan tanpa ada jeda.

Kalau Anda lihat pada gambar GIF di atas, output yang dihasilkan RNN-T muncul per huruf, dan itu menunjukkan tidak adanya latency selama prosesnya berlangsung. Bandingkan dengan sistem speech recognition berbasis server seperti biasa, yang output-nya muncul secara tidak menentu.

RNN-T nantinya bakal hadir di Gboard pada semua ponsel Pixel, tapi seperti biasa, sementara baru bisa digunakan untuk bahasa Inggris saja. Google berharap mereka bisa menerapkan teknik yang sama untuk bahasa-bahasa lain ke depannya.

Sumber: SlashGear.

Aplikasi Spectre Bantu Pengguna iPhone Ciptakan Foto Long Exposure Tanpa Ribet

Seperti yang kita tahu, perkembangan kamera smartphone tidak akan sepesat ini tanpa kemajuan di bidang computational photography. Bokeh artifisial pada hasil jepretan smartphone kita baru menggambarkan sebagian kecil dari potensi computational photography yang sebenarnya, sebab masih ada banyak yang bisa dieksplorasi.

Hal itu telah dibuktikan oleh Spectre, aplikasi kamera baru untuk iPhone yang digarap oleh tim yang sama yang mengerjakan aplikasi Halide. Spectre dirancang untuk membantu para pengguna iPhone menyalurkan hobi fotografi long exposure-nya tanpa harus melibatkan tripod maupun alat bantu lainnya, melainkan hanya dengan keterlibatan AI.

Teknik yang diterapkan Spectre cukup unik. Pada kamera biasa, foto long exposure dihasilkan dengan menyetel shutter speed dalam kecepatan selambat mungkin. Spectre tidak demikian, ia akan menjepret ratusan foto yang berbeda secara beruntun dalam beberapa detik, sebelum akhirnya disunting dan disatukan menjadi format live photo.

Spectre Camera

Dilihat dari sudut pandang yang praktis, ada banyak yang bisa dilakukan oleh Spectre. Yang pertama, Spectre bisa menghapuskan keramaian dari suatu foto, ideal untuk mengabadikan lokasi yang populer di kalangan para turis.

Yang kedua, Spectre mampu mendeteksi scene secara otomatis. Jadi ketika Anda memotret di malam hari, Spectre akan mengaktifkan mode untuk mengambil foto jejak cahaya (light trails), foto pemandangan kota, maupun foto light painting.

Saat memotret air terjun, maupun lokasi-lokasi lain di mana air menjadi sorotan utama, Spectre juga bakal secara otomatis menyulap airnya menjadi blur sampai akhirnya kelihatan mulus.

Salah satu hasil foto yang dihasilkan aplikasi Spectre / Chroma Noir
Salah satu hasil foto yang dihasilkan aplikasi Spectre / Chroma Noir

Secara teknis, Spectre bisa digunakan untuk mengambil foto dengan durasi exposure hingga 9 detik. 9 detik adalah waktu yang lama, untuk itu Spectre juga dibekali fitur stabilization berbasis AI, sehingga hasil akhirnya tetap akan kelihatan mulus.

Buat yang tertarik mencoba, Spectre saat ini sudah bisa diunduh lewat App Store dengan harga perkenalan sebesar Rp 29 ribu. Perangkat paling tua yang kompatibel adalah iPhone 6, akan tetapi Anda butuh minimal iPhone 8 untuk bisa menikmati semua fitur berbasis AI-nya.

Sumber: SlashGear.

Menakar Adopsi Teknologi Kecerdasan Buatan di Indonesia

Setelah komputasi awan dan big data, istilah teknologi yang tengah gencar diperbincangkan adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence). Definisi paling sederhana dari kecerdasan buatan adalah otomasi komputer untuk mengerjakan berbagai pekerjaan prediktif dan terukur. Pada dasarnya kecerdasan buatan mengeksekusi setiap tugas bermodalkan algoritma dan data yang terhimpun.

Jika kemunculannya berada di belakang komputasi awan dan big data, tampaknya memang seperti itu evolusinya. Diawali dengan komputasi awan yang mampu menyediakan infrastruktur dan platform untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang dinamis, dilanjutkan pemrosesan big data dalam pengelolaan aset terpenting bisnis saat ini, yakni data.

Kecerdasan buatan diprogram dalam mesin komputer berperforma tinggi untuk mempelajari tren historis aktivitas, lalu melakukan kalkulasi tindakan. Pada prinsipnya teknologi tersebut memungkinkan komputer untuk belajar, berpikir, dan melakukan aksi secara mandiri.

Perkembangan kecerdasan buatan

Riset PwC menempatkan kecerdasan buatan sebagai “game changer” dengan potensi nilai yang disumbangkan terhadap ekonomi global mencapai $15,7 triliun di tahun 2030 mendatang. Angka tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan didasari pada manfaat yang diberikan teknologi tersebut. Melihat pada aplikasi kecerdasan buatan yang mulai bermunculan saat ini, riset tersebut menyimpulkan dampak baik yang dapat dirasakan langsung dalam produktivitas bisnis.

1

Tidak mustahil jika perkembangan kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat. Sejak memasuki tahun 2000-an, riset seputar kecerdasan buatan meningkat hampir 9 kali lipat secara kuantitas publikasi. Bahkan jika melihat penelitian yang terindeks di Scopus, kuantitas publikasi kecerdasan buatan jauh melampaui komputer sains dan publikasi lainnya secara umum sejak tahun 2010-an.

Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi penyumbang terbesar penelitian berbasis kecerdasan buatan. Hingga tahun 2015, totalnya lebih dari 15 ribu publikasi dari Tiongkok dan lebih dari 10 ribu publikasi dari Amerika Serikat.

Firma investasi Pitchbook melaporkan pada tahun 2017 terdapat $6 miliar investasi yang digelontorkan melalui pemodal ventura untuk proyek berbasis kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, setidaknya ada 600 startup yang fokus di bidang tersebut pada tahun 2017. Realisasi tersebut menjadi indikasi perkembangan baik. Pasalnya konsep yang sudah diteliti dalam riset mulai dihadirkan dalam solusi yang lebih nyata.

Menurut McKinsey Global Institute, saat ini kecerdasan buatan tengah ada dalam tahap penetrasi awal di Asia Tenggara. Perkembangannya diikuti hampir semua negara di kawasan regional, didalami oleh berbagai sektor bisnis. Di kawasan tersebut, salah sektor yang terpantau paling proaktif dalam menerapkan strategi transformasi digital dengan kecerdasan buatan adalah kesehatan (healthcare) dan keuangan (financial services). Kendatipun potensi terbesar diproyeksikan tetap ada di sektor manufaktur, yakni mencapai $311 miliar.

Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda, tengah dalam tahap penetrasi awal. Produk-produk yang dikembangkan rata-rata berbentuk automated intelligence (melakukan otomasi pekerjaan rutin/manual, misalnya membantu pencatatan dengan sistem biometrik), assisted intelligence (membantu orang untuk mengerjakan tugasnya secara lebih cepat, misalnya dalam bentuk chatbot), augmented/autonomous intelligence (membantu orang membuat keputusan dengan lebih baik, berupa sistem rekomendasi).

Dari sudut padang teknologi pendukungnya, kecerdasan buatan hadir dalam beberapa fase. Dimulai tahun 1990-an, riset profesional dan akademik mulai banyak menyoroti sistem, logika, dan algoritma yang kini menjadi landasan kecerdasan buatan. Fase berikutnya ialah kematangan analisis data dengan berbagai metodologi.

Kepintaran membedakan obyek berdasarkan data yang ada melahirkan konsep deep learning, yakni kemampuan komputer untuk mengidentifikasi data dengan format yang lebih beragam hingga mampu menganalisis sentimen tertentu tren data.

Kecerdasan buatan di Indonesia

Perkembangan bisnis teknologi dipengaruhi berbagai aspek, termasuk terkait adopsi teknologi kecerdasan buatan di Indonesia. Mulai dari iklim investasi, regulasi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Tahun 2015, pemerintah provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana hingga Rp30 miliar untuk menginisiasi kota pintar (smart city). Kala itu tujuan utamanya untuk menghasilkan dasbor informasi terpusat sehingga dapat membantu pemangku kepentingan dalam memutuskan tindakan. Untuk kanal masukan data, pemerintah menyiapkan lebih dari 3000 titik CCTV untuk pemantauan. Melalui aplikasi, mereka turut menghimpun laporan langsung di lapangan oleh masyarakat.

Di tahun yang sama, aplikasi Qlue mulai dikenal masyarakat ibukota. Mereka bermitra langsung dengan pemerintah untuk menghimpun informasi dari warga kota. Didesain dengan pengalaman pengguna mirip aplikasi media sosial, Qlue nyata-nyata bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan informasi, seperti soal birokrasi, lingkungan, hingga bencana. Informasi yang masuk terpantau langsung dalam dasbor pemerintah dan ditampilkan dalam grafik yang representatif sehingga mudah dibaca.

Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial
Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial

Tahun 2017, Qlue mulai menggandeng startup Nodeflux yang fokus pada solusi pengenalan obyek yang ditangkap CCTV sehingga memungkinkan proses pendataan di solusi kota pintar lebih otomatis. Hal ini berimplikasi pada analisis data yang lebih real time. Di tahap ini, semakin banyak teknologi kecerdasan buatan yang diaplikasikan. Tidak hanya sekadar analisis data, namun pemrosesan computer vision untuk deteksi obyek.

Di tahun 2015 juga hadir sebuah startup yang mencoba menginisiasi platform berbasis kecerdasan buatan. Kala itu namanya masih YesBoss, sebelum akhirnya berubah menjadi Kata.ai. Awalnya mereka menghadirkan asisten virtual untuk memenuhi kebutuhan orang secara pribadi, termasuk membantu reservasi hotel hingga memesan makanan. Dengan brand Kata.ai, kini mereka fokus menyajikan platform asisten virtual berupa chatbot untuk bisnis.

Kini banyak perusahaan besar di berbagai sektor berbondong-bondong memulai inisiatif chatbot untuk membuat proses pelayanan pelanggan menjadi lebih efisien. Salah satunya adalah Vira, chatbot layanan pelanggan milik BCA. Hadir di bulan Februari 2017, Vira melayani pelanggan untuk memberikan info promo, lokasi ATM, pendaftaran kartu kredit, hingga pengecekan transaksi perbankan. Vira dapat diakses melalui platform Messenger, Kaskus, Line, dan Google Assistant.

Investasi untuk startup kecerdasan buatan

Di Indonesia, GDP Venture menjadi salah satu investor yang serius mendukung startup pengembang layanan kecerdasan buatan. Untuk mengetahui visi GDP Venture terkait fokus berinvestasi di solusi kecerdasan buatan, DailySocial menghubungi CTO GDP Venture yang juga menjabat sebagai CEO & CTO GDP Labs On Lee.

Menurut On Lee, kecerdasan buatan sudah sangat relevan diterapkan secara luas di sektor publik atau privat. Indikasinya saat ini banyak orang yang tidak sadar bahwa telah menggunakan aplikasi bertenaga kecerdasan buatan setiap hari, misalnya Alexa, Siri, Cortana, Google Assistant, fitur auto-complete dan auto-correct di ponsel pintar, mesin pencari, dan sebagainya.

Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa teknologi kecerdasan buatan sebenarnya sudah diaplikasikan secara luas, dimulai dari hal-hal sederhana dalam penggunaan ponsel sehari-hari. Fitur auto-correct, misalnya, memang terlihat sederhana dalam penggunaan, namun jika mendalami sistem di baliknya, dibutuhkan pemrosesan canggih yang mampu melakukan pengecekan susunan huruf, lalu melakukan pencocokan dengan basisdata kata yang dimiliki secara kilat sehingga terbentuk rekomendasi kata yang sesuai.

Terkait sejauh mana bisnis di Indonesia mengadopsi kecerdasan buatan, On Lee tidak setuju jika dikatakan secara umum masih sebatas tren atau sekadar jargon untuk pemasaran produk. Salah satu portofolio GDP Venture adalah Prosa.ai yang secara khusus mengembangkan platform Natural Language Processors (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Penerapan untuk layanan text and speech processing sudah ada di beberapa skenario, salah satunya di Kaskus untuk penyaringan dan moderasi konten.

“Meskipun benar bahwa keterampilan kecerdasan buatan belum terdistribusi secara merata, perusahaan portofolio GDP Venture, BCA, dan beberapa perusahaan sudah memiliki aplikasi yang diberdayakan kecerdasan buatan. GDP Venture telah berinvestasi pada startup kecerdasan buatan lokal maupun internasional, karena [bagi kami] kecerdasan buatan adalah teknologi strategis sekaligus investasi. Kami percaya bahwa kecerdasan buatan menjadi teknologi transformasional seperti internet, komputasi awan, dan komputasi mobile,” ujar On Lee.

CTO of GDP Venture On Lee

Penetrasi kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat dari yang dibayangkan. Untuk dapat memanfaatkan keunggulan teknologi tersebut, On Lee menuturkan secara umum sebuah bisnis perlu melakukan beberapa hal. Pertama dengan mendidik semua karyawan mengenai kecerdasan buatan. Kedua, mulai menjajaki kemitraan dengan perusahaan yang memiliki keterampilan kecerdasan buatan. Ketiga, melakukan percobaan dengan proyek kecil berbasis kecerdasan buatan.

Keempat, menetapkan strategi kecerdasan buatan di seluruh perusahaan — layaknya transformasi digital yang dilakukan dengan internet, komputasi awan dan sebagainya. Yang kelima adalah melakukan peninjauan dan pengamatan tentang pemanfaatan kecerdasan buatan di perusahaan, sehingga mendapatkan strategi implementasi yang layak.

Berikut ini perusahaan portofolio GDP Venture yang secara khusus memberikan solusi kecerdasan buatan:

Portofolio startup kecerdasan buatan GDP Venture

Selain GDP Venture, banyak startup besar yang kini mulai berinvestasi besar untuk kecerdasan buatan. Salah satunya Bukalapak. Baru-baru ini mereka meresmikan Artificial Intelligence & Cloud Computing Innovation Center di ITB. Harapannya lab kemitraan tersebut nantinya dapat menghasilkan temuan inovatif untuk mendorong perkembangan fitur-fitur di layanan marketplace ini.

Startup unicorn lain, seperti Gojek dan Traveloka, juga sudah berinvestasi untuk melakukan kegiatan serupa. Meskipun demikian, mereka cenderung mengembangkan pusat penelitian di luar negeri, seperti penerapan pusat R&D Traveloka yang baru di Bangalore, India. Misinya sama: untuk menangkap peluang baru dari potensi teknologi pintar demi meningkatkan kenyamanan pengguna.