Klinik Pintar Secures 58 Billion Rupiah Series A Funding

Healthtech startup Klinik Pintar announced the series A funding of $4.15 million or around 58 billion Rupiah. Golden Gate Ventures led the funding, with the participation of Bundamedik Healthcare System (BMHS), Skystar Ventures, and Sequis Life.

Golden Gate Ventures previously invested in Klinik Pintar in a pre-series A funding round in November 2020, along with two other investors, Venturra Discovery and Kenangan Kapital, an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his official statement, Golden Gate Ventures’ representative, Justin Hall expressed optimism about the Indonesian health industry. Hall said, Indonesia has a great potential growth and Klinik Pintar is taking part in this growth by building an integrated health ecosystem. “The previously mentioned convinces us to support Klinik Pintar in advancing the health system through this funding support,” he explained.

Meanwhile, the BMHS’ representative, dr. Ivan Sini said that his participation in Klinik Pintar funding signifies the company’s commitment to developing an integrated health service ecosystem with Smart Clinics in Indonesia. “This synergy can be started from the referral system, laboratory, and supply chain,” he said.

For information, the Smart Clinic under the auspices of PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) offers a solution through a profit sharing system with the clinic owner. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their businesses and increase value-based care.

In order to realize this integrated health ecosystem, Klinik Pintar continues to develop the Klinik OS (Operating System) digital platform that digitizes operations and empowers clinics through digital. It includes online and offline end-to-end services, comprehensive standardization of SOPs, inventory and managerial management, and digitally connecting between clinics in the network and other supporting partners.

Service development in 2022

DailySocial.id had a chance to interview Medigo’s Co-founder & CEO, Harya Bimo regarding the future business plan using this new funding. On this occasion, the man who is familiarly called Bimo emphasized that from now on, Medigo will use Klinik Pintar as the branding of its services in the future.

In accordance with its mission to become a clinic supply chain provider in Indonesia, this new funding will be used to expand the Klinik Pintar network and services. Currently, Klinik Pintar already has 120 clinics available in 60 cities throughout Indonesia.

“We have proven that the framework [through the clinical supply chain model] is successful. Therefore, in the next two years, we want to strengthen existing services by increasing the value of the Smart network through service interoperability,” he said.

One of which is service synergy with the ecosystem owned by BMHS. To strengthen this synergy, BMHS has invested in series A shares totaling 2339 shares which were issued and issued in Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, with a direct share investment of $1.5 million or equivalent to Rp21 billion on 8 November. BMHS is part of the clinic’s operational partner through the Smart Clinic digital network.

This synergy will be performed by the Bundamedik Healthcare System, which is an integrated health service ecosystem belonging to PT Bundamedik Tbk, and consists of a network of hospitals, clinics, laboratories, to medical evacuation.

His team will implement a digital-based referral system, both to hospitals and laboratories, by utilizing the ecosystem owned by BMHS. According to Bimo, so far the referral system in Indonesia is still paper-based, which is considered inefficient for patients and health workers.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

With digital referrals, doctors and health workers can see the patient’s previous track record. In another example, a patient who is referred for laboratory tests can collect the results at the Klinik Pintar.

“We are trying to empower existing clinics. Considering that not all clinics have laboratories, we take an approach with a network strategy. Now, BMHS has a similar idea to what we are looking for. Our main synergy is to address the needs in areas that so far do not have access to laboratories. We “We will develop this network synergy with BMHS. Our target next year is to build 400 clinics,” he explained.

In another use case, Klinik Pintar will also improve interoperability in the supply chain by connecting clinics and suppliers (principals). Thus, clinics can order various medical equipment and health products, such as pharmaceuticals, vaccines, syringes, and gloves.

“We want to go national now. Currently, we supply gradually in Jabodetabek. Our next target is Java and outside Java. At the very least, our target is to be able to penetrate new cities every quarter. We are also collaborating with big pharmaceutical players because our permits are not distributors,” Bimo said.

In addition, his team will open new access for maternal and child services. Bimo assessed that this segment was still underserved in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. Klinik Pintar will provide a number of services, including home care and telemedicine through video calls.

Finally, his team is also developing a number of health programs as a preventive measure for serious diseases (diabetes, hypertension, heart) through a health plan. Currently, the program is only marketed to B2B consumers.

“Many internal diseases can’t actually be handled via chat and one meeting. An offline and online approach is required, not only teleconsultation, but also monitoring. This is one of the challenges we see in hospitals and clinics, not in handling severe symptoms,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Klinik Pintar Memperoleh Pendanaan Seri A Sebesar 58 Miliar Rupiah

Startup healthtech Klinik Pintar mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $4,15 juta atau sekitar 58 miliar Rupiah. Golden Gate Ventures kembali terlibat dan kali ini memimpin pendanaan, ditambah partisipasi PT Bundamedik Tbk (BMHS), Skystar Capital, dan Sequis Life.

Golden Gate Ventures sebelumnya berinvestasi di Klinik Pintar pada putaran pendanaan pra-seri A yang diumumkan November 2020, bersama dua investor lainnya, yaitu Venturra Discovery dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam keterangan resminya, perwakilan Golden Gate Ventures Justin Hall mengungkap optimistis terhadap industri kesehatan Indonesia. Menurut Hall, potensi pertumbuhan di Indonesia sangat besar dan Klinik Pintar mengambil peran dalam pertumbuhan tersebut dengan membangun ekosistem kesehatan terintegrasi. “Hal di atas meyakinkan kami mendukung Klinik Pintar dalam memajukan sistem kesehatan melalui sokongan pendanaan ini,” paparnya.

Sementara itu, perwakilan BMHS dr. Ivan Sini menambahkan bahwa partisipasinya di pendanaan Klinik Pintar menandakan komitmen perusahaan untuk mengembangkan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi bersama Klinik Pintar di Indonesia. “Sinergi ini dapat dimulai dari sistem rujukan, laboratorium, dan supply chain,” katanya.

Sebagai informasi, Klinik Pintar di bawah naungan PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based-care.

Demi mewujudkan ekosistem kesehatan terintegrasi ini, Klinik Pintar terus mengembangkan platform digital Klinik OS (Operating System) yang mendigitalkan operasional dan memberdayakan klinik melalui digital. Digitalisasi ini meliputi layanan end-to-end secara online dan offline, standardisasi SOP menyeluruh, pengelolaan inventaris dan manajerial, dan menghubungkan antar-klinik di jaringan dan mitra pendukung lainnya secara digital.

Rencana pengembangan layanan di 2022

DailySocial.id berkesempatan mewawancarai Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo terkait rencana bisnis ke depan dengan pendanaan baru ini. Pada kesempatan ini, pria yang karib disapa Bimo ini menegaskan bahwa kini Medigo akan memakai nama Klinik Pintar sebagai branding layanannya ke depan.

Sesuai misinya untuk menjadi penyedia supply chain klinik di Indonesia, pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengekspansi jaringan dan layanan Klinik Pintar. Saat ini, Klinik Pintar sudah memiliki 120 klinik yang tersedia di 60 kota di seluruh Indonesia.

“Kami sudah membuktikan bahwa framework [melalui model supply chain klinik] ini berhasil. Maka itu, dalam dua tahun ke depan, kami ingin memperkuat layanan yang sudah ada dengan meningkatkan value jaringan Pintar lewat interoperabilitas layanan,” ungkapnya.

Salah satunya adalah sinergi layanan dengan ekosistem yang dimiliki BMHS. Untuk memperkuat sinergi ini, BMHS melakukan penyertaan saham seri A sejumlah 2339 lembar saham yang ditempatkan dan dikeluarkan dalam Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, dengan penyertaan saham langsung $1,5 juta atau setara Rp21 miliar pada 8 November lalu. BMHS menjadi bagian dari mitra operasional klinik melalui jaringan digital Klinik Pintar.

Sinergi ini akan dilakukan Bundamedik Healthcare System yang merupakan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi milik PT Bundamedik Tbk, dan terdiri dari jaringan rumah sakit, klinik, laboratorium, hingga evakuasi medis.

Pihaknya akan mengimplementasi sistem rujukan berbasis digital, baik ke rumah sakit maupun laboratorium, dengan memanfaatkan ekosistem yang dimiliki BMHS. Menurut Bimo, selama ini sistem rujukan di Indonesia masih berbasis kertas yang dinilai kurang efisien bagi pasien dan petugas kesehatan.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

Dengan rujukan digital, dokter dan petugas kesehatan dapat melihat rekam jejak pasien sebelumnya. Pada contoh lain, pasien yang dirujuk untuk melakukan tes laboratorium, dapat mengambil hasilnya di Klinik Pintar.

“Kami berupaya empower klinik existing. Mengingat tidak semua klinik punya laboratorium, kami mengambil approach dengan strategi jaringan. Nah, BMHS punya pemikiran serupa dengan yang kami cari. Sinergi utama kami untuk address kebutuhan di daerah yang selama ini tidak punya akses ke laboratorium. Kami akan mengembangkan sinergi jaringan ini bersama BMHS. Target kami tahun depan membangun 400 klinik,” jelasnya.

Pada use case lain, Klinik Pintar juga akan meningkatkan interoperabilitas di supply chain dengan menghubungkan klinik dan supplier (principal). Dengan demikian, klinik dapat memesan berbagai peralatan medis dan produk kesehatan, seperti farmasi, vaksin, jarum suntik, dan sarung tangan.

“Kami ingin go national sekarang. Saat ini, supply kami lakukan bertahap di Jabodetabek. Target kami selanjutnya adalah Jawa dan luar Jawa. Paling tidak, kami target bisa tembus kota baru setiap kuartal. Kami juga kerja sama dengan pemain farmasi besar karena izin kami bukan distributor,” ujar Bimo.

Selain itu, pihaknya akan membuka akses baru bagi layanan ibu dan anak. Bimo menilai, segmen ini masih underserved di Indonesia, terutama selama pandemi Covid-19 terjadi. Klinik Pintar akan menyediakan sejumlah layanan, termasuk home care dan telemedicine melalui video call.

Terakhir, pihaknya juga tengah mengembangkan sejumlah program kesehatan sebagai tindakan preventif penyakit berat (diabetes, hipertensi, jantung) melalui health plan. Saat ini, program tersebut baru dipasarkan ke konsumen B2B.

“Banyak penyakit dalam yang sebetulnya tidak dapat ditangani via chat dan sekali pertemuan saja. Perlu approach offline dan online, tidak hanya telekonsultasi, tetapi juga monitoring. Ini salah satu tantangan yang kami lihat di rumah sakit dan klinik, bukan di penanganan gejala berat,” katanya.

Application Information Will Show Up Here

Medigo Announces Pre Series A Funding, to Expand with Clinic Supply Chain

Healthtech startup Medigo announced it has secured pre-series A funding of an undisclosed amount. There are three investors involved in this new funding, the existing Venturra Discovery, and two new investors: Golden Gate Ventures and Kenangan Kapital participated as an angel investor by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his interview with DailySocial, Co-founder and CEO of Medigo Harya Bimo revealed that this new funding will support the company’s expansion plan to focus on becoming a clinic chain provider in Indonesia.

“Previously, the clinic chain was one of Medigo’s initiatives to strengthen the healthcare ecosystem in Indonesia. We are now focus on becoming a clinic chain. So, our revenue stream will be mainly from clinics,” said the man better known as Bimo.

On a separate occasion, Edward Tirtanata revealed his reasons for being involved as an angel investor in Medigo. He considered that currently there is still a big gap in the Indonesian health industry. It is undeniable that the clinic is quite the main goal of the Indonesian people considering the high cost of the hospital (RS).

The standardization of clinics in Indonesia is currently still low, so not all people are able to obtain the same health care in every region. With the support of digital platforms, Indonesia can improve the standardization of its clinic ecosystem.

“This is why this pivot can be a game changer. Not only for Medigo’s business, but also for Indonesia’s [health industry]. We made a small bet in the beginning, but Medigo is now showing promising results, even during the pandemic,” he said.

Aim to transform Indonesia’s health industry

Currently, Medigo has partnered with 73 clinics in 42 cities in Indonesia. According to Bimo, the number of partnerships will continue to be increased next year and will be followed by the presence of new services, such as telemedicine.

Klink Pintar offers a solution through a profit sharing system with clinic owners. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their business and increase value-based care. Two clinics have been built by the end of 2019.

Medigo has started to fully focus on becoming the clinic supply chain since the beginning of 2019. This is because the first approach through the hospital is considered difficult to accelerate. Initially, Medigo had a mission to connect all health ecosystems in Indonesia from upstream to downstream, from patients, medical personnel, clinics, hospitals, to laboratories.

It turns out that in his journey, Medigo realized that the nature of the hospital industry is to have a long bureaucratic chain. Bimo admitted that it took him almost one year per hospital to carry out the implementation, such as platform integration and HR training.

He said this strategy is quite the right one because it reaches more on the grassroots segment. In addition, there are more clinics than hospitals in Indonesia. According to the data from the Ministry of Health per 2018, there are 2,813 hospitals in Indonesia, while there are 8,841 clinics and 9,993 health centers.

“When developing the clinic management system, more than 300 clinics registered on our platform. Only, the usage is quite low. We started to research the clinic to find out what the problem is. Is technology the main problem or is there anything else that hasn’t been resolved?” Bimo explained.

From this research, Medigo continued to prepare plans in July 2019. One of the realizations was to build a Klinik Pintar (Smart Clinic) by collaborating with the Indonesian Doctors Association (IDI) in December 2019 and officially launched in February 2020.

Pivot during pandemic

Before the pandemic, Klinik Pintar was divided into two models, independent development or collaboration with existing clinics. For the second option, Medigo can manage all existing clinic operations. There are clinics managed jointly with its owner.

When the Covid-19 pandemic occurred, the third Klinik Pintar planned to be built in March was hampered. This development requires face-to-face and continuous monitoring, while the social distancing policy does not allow this plan to continue. Even though his team has tried to provide a seamless experience to reduce interactions, people still tend to be reluctant to come to hospitals or clinics during a pandemic.

Medigo then decided to re-evaluate its pivot strategy considering the pandemic situation did not allow the startup which was founded in 2018 to continue with the Klinik Pintar partnership model at that time.

“At first, we thought this [pivot] should partner with several hundred physical clinics that can be managed by yourself. Due to pandemic, we are trying to see what are the real focus and values we aim for from the entire healthcare ecosystem. Now, we have strengths where there aren’t many who play in [the clinic supply chain],” he explained.

Medigo finally performed a repositioning strategy with two new business models, (1) continuing to build a physical clinic that would be 100 percent managed by Medigo and (2) increasing cooperation with existing clinics. He said his main focus was on the second model by expanding services rather than building a new physical clinic.

Bimo said pivot with the new business model can be effective. Even during the pandemic situation, the presence of digital communication platforms (Zoom, WhatsApp, Google Meet, and others) has greatly helped companies build trust with clinics throughout Indonesia.

Although it was down for several months, Medigo’s business is progressively growing. The peak, last May, Medigo obtained an increased rate of service up to four times compared to April. In fact, Bimo said that Medigo’s business has earned healthy margins every month until now.

Apart from that, it has also noted a significant increase in interactions on its platform. The interaction referred to is the connection among stakeholders in the health industry. Bimo admitted that this was his main KPI when Medigo was founded.

Currently, Medigo manages patient medical record data at its clinic partners. Of the 73 registered clinics, a clinic can have 100 patients per day. Along with the increasing number of Medigo partners in the future, his team targets the interactivity in the Indonesian health ecosystem will be even higher.

“Our pivot already has validation and the business model is clear. We have a demand that we can answer, the numbers prove it. It’s just how we proceed vertically, such as clinical acquisitions and service scale-up, and horizontally,” Bimo added.

To date, Medigo is focusing on expanding access to Covid-19 testing in clinics to all regions in Indonesia. His team is also conducting a proof of concept (POV) for teleconsulting specialist doctor services.

“We are aware that Covid-19 has an impact on mothers. They are not brave enough to go out for vaccines for their children because of this pandemic. We are worried that there will be a generation gap. Therefore, in the future we also want to become a distribution network for any vaccine. clinic, our ultimate goal is transparency and reduce monopoly potential.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Medigo Umumkan Pendanaan Pra Seri A, Berencana Ekspansi ke Rantai Suplai Klinik

Startup healthtech Medigo mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Ada tiga investor yang terlibat dalam pendanaan baru kali ini, yakni investor existing Venturra Discovery serta dua investor baru: Golden Gate Ventures dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-founder dan CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini akan mendukung rencana ekspansi perusahaan untuk fokus menjadi menjadi penyedia rantai suplai klinik (clinic chain) di Indonesia.

“Tadinya clinic chain adalah satu dari sekian inisiatif Medigo untuk memperkuat ekosistem healthcare di Indonesia. Sekarang kami fokus untuk menjadi clinic chain saja. Jadi, revenue stream kami nanti [mainly] dari klinik,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dihubungi secara terpisah, Edward Tirtanata mengungkapkan alasannya terlibat sebagai angel investor di Medigo. Ia menilai saat ini masih ada gap besar di industri kesehatan Indonesia. Tak dipungkiri, klinik masih menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia mengingat biaya rumah sakit (RS) masih mahal.

Standardisasi klinik di Indonesia saat ini terbilang masih rendah sehingga tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan kesehatan yang sama di setiap wilayah. Dengan dukungan platform digital, Indonesia dapat meningkatkan standardisasi ekosistem kliniknya.

“Inilah mengapa pivot ini dapat menjadi game changer. Tak hanya bagi bisnis Medigo, tetapi juga bagi [industri kesehatan] Indonesia. Kami bertaruh di awal dengan jumlah yang masih kecil, tetapi sekarang Medigo menunjukkan hasil yang menjanjikan, bahkan selama pandemi,” ungkapnya.

Ingin ubah wajah industri kesehatan Indonesia

Saat ini, Medigo telah bermitra dengan 73 klinik di 42 kota di Indonesia. Menurut Bimo, jumlah kemitraan ini akan terus ditingkatkan di tahun depan dan akan diikuti dengan kehadiran layanan-layanan baru, seperti telemedicine.

Klinik Pintar menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standarisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care. Dua Klinik Pintar telah dibangun per akhir 2019.

Fokus untuk sepenuhnya menjadi rantai suplai klinik sudah mulai dieksekusi Medigo sejak awal 2019. Hal ini karena pendekatan awal melalui RS dinilai sulit diakselerasi. Semula Medigo memang memiliki misi untuk menghubungkan seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir, mulai dari pasien, petugas medis, klinik, RS, hingga laboratorium.

Ternyata dalam perjalanannya, Medigo menyadari bahwa nature dari industri RS adalah memiliki rantai birokrasi yang panjang. Bimo mengaku pihaknya membutuhkan hampir satu tahun per RS untuk melakukan implementasi, seperti integrasi platform dan training SDM.

Menurutnya, strategi ini sudah tepat karena lebih banyak menyentuh segmen grassroots. Selain itu, jumlah klinik di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan RS. Data Kementerian Kesehatan per 2018 mencatat ada 2.813 RS di Indonesia, sedangkan klinik mencapai 8.841 dan puskesmas 9.993 unit.

“Saat mengembangkan clinic management system, lebih dari 300 klinik mendaftar di paltform kami. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?” jelas Bimo.

Dari riset tersebut, Medigo berlanjut pada persiapan rencana pada Juli 2019. Salah satu realisasinya saat itu adalah membangun Klinik Pintar dengan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Desember 2019 meresmikannya pada Februari 2020.

Mengeksekusi pivot selama pandemi

Sebelum pandemi, Klinik Pintar terbagi atas dua model kerja sama, yakni membangun sendiri atau berkolaborasi dengan klinik existing. Untuk opsi kedua, Medigo dapat mengelola seluruh operasional klinik existing. Ada juga yang dikelola secara bersama dengan pemilik klinik tersebut.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Klinik Pintar ketiga yang direncanakan dibangun pada Maret menjadi terhambat. Pembangunan ini membutuhkan tatap muka dan monitoring berkelanjutan, sedangkan kebijakan pembatasan sosial tak memungkinkan untuk meneruskan rencana ini. Meskipun pihaknya sudah mencoba memberikan seamless experience untuk mengurangi interaksi, masyarakat tetap cenderung enggan datang ke RS atau klinik selama pandemi.

Medigo pun memutuskan mengevaluasi ulang strategi pivot-nya mengingat situasi pandemi tidak memungkinkan startup yang berdiri pada 2018 tersebut melanjutkan model partnership Klinik Pintar saat itu.

“Semula, kami pikir [pivot ini] harus menggandeng sekian ratus klinik fisik yang dapat dikelola sendiri. Karena pandemi ini, kami coba lihat apa sebetulnya fokus dan value yang ingin kami tuju dari seluruh ekoistem healthcare. Nah, kami punya strength di mana belum banyak yang bermain di [rantai suplai klinik],” jelasnya.

Medigo akhirnya melakukan repositioning strategi dengan dua model bisnis baru, yakni (1) tetap membangun klinik fisik yang akan 100 persen dikelola oleh Medigo dan (2) memperbanyak kerja sama dengan klinik existing. Ia menyebut fokus utamanya pada model kedua dengan memperbanyak layanan ketimbang membangun klinik fisik baru.

Menurut Bimo, pivot dengan model bisnis baru ini dapat dikatakan efektif. Meski di situasi pandemi ini, kehadiran platform komunikasi digital (Zoom, WhatsApp, Google Meet, dan lainnya) sangat membantu perusahaan membangun kepercayaan dengan klinik di seluruh Indonesia.

Meski sempat turun selama beberapa bulan, kini bisnis Medigo berangsur meningkat kembali. Puncaknya, pada Mei lalu, Medigo mengantongi kenaikan layanan hingga empat kali lipat dibandingkan April. Bahkan, Bimo menyebut bisnis Medigo sudah meraup margin yang sehat setiap bulan hingga saat ini.

Selain itu, pihaknya juga mencatat peningkatan signifikan pada interaksi di platform-nya. Interaksi yang dimaksud adalah keterhubungan para stakeholder di industri kesehatan. Bimo mengaku bahwa ini menjadi KPI utamanya ketika Medigo didirikan.

Saat ini, Medigo mengelola data rekam medis pasien pada mitra kliniknya. Dari 73 klinik yang dikelolanya, per klinik saja dapat memiliki 100 pasien per hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah mitra Medigo ke depan, pihaknya menargetkan interactivity di ekosistem kesehatan Indonesia akan semakin tinggi.

“Kini pivot kami sudah memiliki validasi dan sudah jelas model bisnisnya. Kami punya demand yang dapat kami jawab, the numbers prove it. Tinggal bagaimana selanjutnya kami mengeksekusi vertikal, seperti akuisisi klinik dan scale up layanan, dan horizontal,” tambah Bimo.

Saat ini, Medigo tengah fokus untuk memperluas akses tes Covid-19 di klinik hingga ke seluruh wilayah di Indonesia. Pihaknya juga tengah melakukan proof of concept (POV) untuk telekonsultasi layanan dokter spesialis.

“Kami menyadari bahwa Covid-19 berdampak pada ibu-ibu. Mereka menjadi tidak berani keluar untuk vaksin anaknya karena pandemi ini. Kami khawatir bakal ada generation gap. Maka itu, ke depannya kami juga ingin menjadi jaringan distribusi vaksin apapun. Dengan dukungan rantai suplai klinik, tujuan akhir kami adalah transparansi dan mengurangi potensi monopoli.”

Application Information Will Show Up Here

Edward Tirtanata’s New Role: An Angel Investor through Kenangan Kapital

The new retail startup Kopi Kenangan has received a lot of attention, thanks to the Indonesian coffee chain business which has received large funding from a number of well-known VCs, including Sequoia Capital and Facebook Co-Founder Eduardo Saverin.

The success of this business cannot be separated from the efforts of its founders, Edward Tirtanata and James Prananto. Kopi Kenangan has now transformed into one of the top-tier coffee brands, especially among young adults in Indonesia.

DailySocial had the opportunity to interview Edward Tirtanata, not as a business founder, but his new experience as an angel investor through Kenangan Kapital. How does Edward define his new role?

Passion for entrepreneurship

Edward’s role as an angel investor has been going on since last year. Through his angel fund (called the Kenangan Investment Fund), he has invested in some of Indonesian startups, including BukuKas, GudangAda, OtoKlix, and Medigo (Smart Clinic).

From the beginning, he declared his big passion for entrepreneurship. This is visible from his efforts to build Kopi Kenangan. However, his success in building a business does not end there.

For him, entrepreneurship can be said as “good wealth management” which involves asset class in diverse. This means that if he wants to make a distinction, he doesn’t want to invest in just blue chips or deposits.

“A good investor must be able to diversify. Angel investing class assets, to increase ten times in a year is normal. I find it interesting,” Edward said.

Through Kenangan Kapital, he expects to contribute more to the Indonesian startup industry. This also encourages Edward to experience new role by being involved in startup funding.

Interest in the consumer tech

Consumer tech is one of the business verticals that attracts many investors. Consumer products combined with technology are the reasons why this business can be easily scalable.

The most obvious example is the mushrooming startups entering traditional businesses and utilizing technology with a direct-to-consumer (DTC) approach. Either eyewear or beauty products can now be marketed without having to build distribution channels.

Realizing this trend, Edward admits that he is interested to top up in the consumer tech sector through Kenangan Kapital. He said that there is still a missing gap in Indonesian consumer tech.

He said Indonesia needs more disruption, considering that products/services targeting the consumer segment are still underrated in terms of technology. On the other hand, Edward curious to what extent this vertical leads him to new experiences in entrepreneurship.

This is reflected in a number of his portfolios that mostly running in the B2C segment. A somewhat different hypothesis is taken when investing in Medigo.

Medigo’s business model is considered to have an impact on the consumer segment. Clinics are the main pillars of the health ecosystem in Indonesia. Currently, there are many clinics that are yet to be standardized, while being hospitalized costs quite expensive and is yet to reach the grassroots segment.

“We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” Edward said.

Challenges

Apart from his main focus on consumer tech, Edward revealed that he did not set any portfolio targets in 2021. Likewise, the target range of investment for Kenangan Kapital.

In his opinion, angel investors do not have a certain pressure in providing funding. This is in contrast to the way VCs work, which is to follow KPIs. He tends to choose to invest if there’s a sight of opportunities.

“I think being an angel investor doesn’t require an investment target [issued]. It all depends on the deal per deal. In fact, if there are exceptions for certain companies, I can invest as much as I can,” he added.

Without any specific KPI, Edward emphasized that the most important thing in following the growth of his portfolio business is the product-market fit. If a startup is gaining organic traction, the metric is at least customer acquisition cost (CAC).

However, Edward admits that the challenge of becoming an angel investor is not that different from a venture capitalist. The most common issue is selecting portfolios. He tends to choose founders who can run/find the right business.

“There are many good founders, but not many of them pick a good business. Better to invest in a good business even though the founder is quite Mediocre. The most important thing for me is conviction. That is, no matter what happens, they stick around and make the best out of it. The term is determination,” he said.

Become the CEO and investor at a time

How come Edward manages his role as CEO and angel investor as the number of Capital Memories portfolios grows in the future?

“First, I need to emphasize that my main full-time job is the CEO of Kopi Kenangan. I don’t want my passion to help entrepreneurs interfere with my main job at Kopi Kenangan,” he said.

Second, he thinks it is not good for every businessman to be too dependent on their investors for a long time. Ideally, these founders are expected to be independent and focused on their business in three to six months.

“Because Kenangan Kapital is like a family office and there are no outside investors, I have no pressure to deploy capital like private equity or VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” he said.

In fact, he admits that he is happy when his portfolio joins a well-known accelerator program. According to Edward, that could mean they won’t need his further involvement in terms of business.

Accommodating the angel investor ecosystem

It can’t be denied that the angel investor ecosystem in Indonesia is quite silent. Even though angel investors play a big role in providing startup funding in the early phase.

Edward said, the existence of angel investors in Indonesia is very different from the one in the United States (US). The country which is the mecca for the startup industry has a database platform that attracts thousands of angel investors. That way, startups can get direct access and find it easier to find funding from angel investors.

“Here, access to angel investors is rather difficult, so they tend to look for funding options from their families. Therefore, this is what makes them unable to provide [relevant] experience to invested startups because the investors are not from a startup background,” Edward said.

He is aware of the situation. He thought the phenomenon is similar to when the new VC industry has emerged and popular in recent years. As the industry develops, he expects the angel investor ecosystem to develop along the way in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Effectivity of Business Pivot from Three Startups Amid Pandemic

Business pivot is not a new thing for startups. Usually, this action is taken when a business is difficult to progress, aka not growing. In the Covid-19 pandemic situation, many startups have pivoted. This is not because the business is not growing, but the act must be taken due to survival.

The pandemic has hit all business sectors, especially the aviation, tourism, and hospitality sectors. As a result, startups that depend a lot on their main income from this sector are forced to rethink their business strategy and take new steps.

It has been eight months since Covid-19 broke out in Indonesia. DailySocial interviewed three CEOs of three Indonesian startups regarding the realization and effectiveness of their business pivots during the pandemic.

Market research before pivot

Before talking about effectiveness and realization, doing a pivot must be accompanied by careful readiness for the target market and business model to be explored. In their interview with DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, and Izy admitted to doing market research and survey first.

Please note, the three startups are both playing in the Business-to-Business (B2B) segment. The difference is, both Izy and Kedai Sayur decided to pivot to B2C because of the pandemic. Meanwhile, Medigo, whose pivot has been planned since 2019, has actually been impacted by the pandemic.

Izy’s business model is closely related to hospitality where it provides digitalization of services to encourage increased consumption of hotel and accommodation guests through the platform. For example room service and laundry.

Izy started pivoting in April 2020 after conducting simple market research with several clients and related parties to get initial input. With the same business model, Izy creates new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

Meanwhile, Kedai Sayur, which initially served B2B, such as vegetable vendors, cafes, and restaurants, is forced to enter the B2C segment or end-users. Social restrictions have resulted in a decrease in visitor transactions at restaurants and cafes, therefore, managers have to reduce the volume of orders for ingredients.

“We do market research to determine consumer behavior, the need for fresh products that are of interest, and on the lifestyle. This is because B2C and B2B consumer behavior is different,” Kedai Sayur’s Co-Founder and CEO, Adrian Hernanto said.

In Medigo’s case, this platform initially attempted to connect all ecosystems in the health industry from upstream to downstream with hospitals (RS) as an initial approach.

Given the hospital bureaucracy that required a long integration process, Medigo finally pivoted by focusing on clinical management only. In December 2019, Medigo built a Smart Clinic and opened it in February 2020.

“When we developed the clinic management system in early 2019, there were indeed more than 300 clinics that registered. It’s just that the usage is still small. We start researching and surveying the clinic to find out what the problem is. Is technology or is there any major problem that hasn’t been resolved yet?,” Medigo Indonesia’s Co-Founder and CEO Harya Bimo said.

Along the way, Medigo encountered difficulty in executing the pivot. Smart Clinics are run with two business models, namely building their own and collaborating with existing clinics. Problems arise when a pandemic hits.

“When we wanted to build a second Smart Clinic, the situation was not possible because the model had to be monitoring, renovating, where it requires high touch. Meanwhile, we had to be low touch as that time were social restrictions. Here we are rethinking our pivot strategy and partnership model,” said the man who is better known as Bimo.

Pivot realization during pandemic

Approximately almost eight months after the pandemic occurred in Indonesia, the three startups said that they had reaped positive results or responses from the new services they offered to the market.

Although this pivot is temporary, Izy’s Co-Founder and CEO, Gerry Mangentang admitted that he has managed to earn revenue. Even so, his team avoids sharing details regarding the increase in revenue because it is related to internal data with its partners.

“For the core product/service, we will remain the same as before, focusing on the hotel industry. However, this pivoting will be very useful in the future to complement the Izy platform and ecosystem,” he said.

Meanwhile, Kedai Sayur recorded an increase in sales with the demand of more than 50 percent after entering the B2C segment. Adrian said the demand continues to increase because people are getting used to buying foodstuffs, vegetables, and fruits online.

Apart from sales, Adrian said, the company also recorded other positive responses. For example, the number of customer complaints at Kedai Sayur continues to decline every month, followed by an increase in traffic engagement and the number of new users through social media. “To maintain customer satisfaction and loyalty, we accelerate the delivery process from H + 2 to H + 1,” he explained.

Medigo’s entry into the clinical supply chain also recorded a significant increase. At the beginning of the period of social distancing, the company did not immediately reap a business increase because people tend to be afraid to go to hospitals or clinics during that period.

However, its services began to increase with a peak in May up to four times compared to April. He claims that since May until now, the increase has more than quadrupled. “In fact, we already have a healthy margin every month. Therefore, our income is higher than our burn rate,” he said.

Effectivity and metrics used

By optimizing technology, operations, and the right business model, Medigo, Izy, and Kedai Sayur reveal that this pivot is working effectively. However, there is still room for improvement in the future.

In measuring the effectiveness of pivots, Adrian said that his team did not rely solely on traction metrics or the number of transactions alone. They seek to maximize Customer Relationship Management (CRM) by utilizing quality data to get better business prospects.

Previously, Adrian had mentioned that data plays an important role in reading a trend or phenomenon in the digital era. In the context of a pandemic, Adrian said data can show trends in demand for orders or product prices in certain areas.

“The biggest challenge of pivoting into B2C is the big effort in bringing the [name] brand to the wider community with various characteristics. Therefore, we pay close attention to details that can be essential updates to improve our services in the future,”

However, Bimo added, his team did not rely solely on sales metrics to measure the effectiveness of this pivot. Since its debut, Medigo has defined interactivity in the healthcare ecosystem as its “North Star Metric”. This means that these metrics are at the core of growing its main business.

“Our pivot is very effective because it is not only measured from commercial, but also non-commercial. It’s useless if non-commercial is good, but it can’t be monetized because the business model is not yet supported. After the pivot, [non-commercial metric] interactions on our platform increase extraordinary,” Bimo added.

He said the success of this pivot can be maintained if the two metrics can work together. “We run many clinics where patient medical records are stored in our system. If one hospital can handle 900 patients per day, we can manage 60 clinics with 100 patients each per day. This becomes our ‘North Star Metric’ to encourage the interaction of healthcare stakeholders,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Efektivitas Pivot Bisnis Tiga Startup di Masa Pandemi

Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.

Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.

Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.

Riset pasar sebelum pivot

Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.

Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.

Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.

Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.

“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.

Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.

“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.

Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.

“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.

Realisasi pivot selama pandemi

Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.

Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.

“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.

Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.

Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.

Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.

Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.

Efektivitas dan metrik yang digunakan

Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.

Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.

Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”

Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.

Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.

Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.

Kaleidoskop Startup Kesehatan dan Wellness Selama Tahun 2019

Sepanjang tahun ini Indonesia diramaikan dengan berita investasi di startup yang menyasar sektor kesehatan dan makin maraknya layanan wellness.

Tidak hanya layanan kesehatan yang mencoba untuk meng-cater konsumen secara langsung, startup yang berbasis teknologi kesehatan juga mulai menawarkan teknologi yang bisa digunakan pihak rumah sakit, dokter, dan klinik. Hal tersebut membuktikan teknologi sudah mulai diadopsi sektor kesehatan yang selama ini dikenal paling sulit untuk di-disrupt.

Munculnya layanan wellness

Salah satu layanan yang makin menjamur kehadirannya sepanjang tahun 2019 adalah layanan menyediakan pilihan aktivitas atau kegiatan olahraga. Konsep yang mengedepankan kemitraan dan agregator pusat kebugaran ditawarkan oleh layanan seperti The Fit Company, ClassPass hingga R Fitness.

Bulan Agustus 2019 lalu The Fit Company meluncurkan aplikasi bernama “Fitco” dan berkomitmen untuk menciptakan gaya hidup aktif dan sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Aplikasi Fitco merupakan produk unggulan yang memungkinkan masyarakat mengakses layanan gaya hidup aktif dan sehat dengan mudah. Sementara itu usai mengantongi pendanaan Pra-Seri A sebesar Rp17,7 miliar, R Fitness melakukan rebranding dan menawarkan tiga pilihan aktivitas olah raga yang lengkap untuk warga penggunannya. Setelah sebelumnya dikenal dengan nama Ride, startup wellness yang menghadirkan layanan kebugaran, khususnya indoor cycling, melakukan rebranding menjadi R Fitness.

Sementara platform asal Amerika Serikat “ClassPass” meresmikan kehadiran mereka di Indonesia. Kepada DailySocial, Country Manager ClassPass Indonesia Anjani Percaya mengungkapkan, makin besarnya minat warga ibukota peduli akan olahraga dan gaya hidup yang sehat, menjadikan platform seperti ClassPass mulai banyak diminati saat ini. ClassPass merupakan platform wellness asal Amerika Serikat, saat ini telah memiliki 20 ribu mitra secara global.

Khusus untuk suplemen, Jovee menjadi pendatang baru yang menawarkan kebutuhan suplemen untuk pengguna milenial. Jovee didirikan oleh veteran industri, Natali Ardianto, yang sebelumnya adalah Co-Founder Tiket.com.

Hadirnya berbagai layanan kesehatan baru

Jika di tahun 2017-2018 banyak bermunculan startup healthtech yang menawarkan layanan konsultasi dokter (telemedicine) dan pengantaran obat langsung ke rumah pelanggan, sepanjang tahun 2019 makin banyak bermunculan layanan kesehatan berbasis teknologi yang menawarkan ragam layanan baru, mulai dari jasa perawat yang bisa dipesan seperti MHomecare hingga platform yang menghadirkan informasi dan berita kesehatan terkurasi SehatQ.

Kedua layanan tersebut mencoba untuk meng-cater target pasar dari berbagai kalangan untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan hingga informasi kesehatan yang diinginkan.

Layanan kesehatan yang lebih fokus kepada kosmetik atau perawatan dental (gigi) juga mulai hadir di Indonesia, diprakarsai platform lokal Rata dan platform Singapura yang merupakan alumni program Surge Sequoia India bernama Zenyum. Tahun 2020 mendatang diprediksi makin banyak lagi layanan kesehatan kosmetik berbasis teknologi.

Sementara itu, Grab melalui GrabHealth meresmikan layanan kesehatan bersama Good Doctor Technology Indonesia (anak usaha Ping An Good Doctor). President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan, GrabHealth adalah salah satu buah investasi SoftBank senilai $2 miliar yang diumumkan pada Juli 2019 untuk Indonesia. Perusahaan percaya pemanfaatan teknologi yang tepat bisa membawa manfaat positif buat masyarakat.

Ada empat fitur yang dihadirkan, di antaranya tanya jawab kesehatan dengan dokter, membuat janji konsultasi tatap muka dengan dokter, belanja produk kesehatan dan kebugaran (Health Mall), dan konten kesehatan dan gaya hidup yang dikurasi oleh tim dokter. Seluruh fitur ini dapat diakses secara gratis, sementara tersedia di Jabodetabek, dan segera digulirkan ke kota lain di dalam cakupan operasional Grab secara bertahap.

Layanan lain untuk rumah sakit dan klinik

Dengan regulasi yang ketat di industri, belum banyak startup healthtech yang menyasar konsumen rumah sakit dan klinik. Didukung Ikatan Dokter Indonesia, tahun ini beberapa startup healtech mencoba mengakomodir konsumen ini. Salah satunya adalah Medigo yang menawarkan joint venture dengan pihak klinik untuk memberikan sistem manajemen layanan kesehatan terpadu dan proses digitalisasi klinik melalui Klinik Pintar. Dikabarkan IDI juga berniat untuk merangkul lebih banyak investor untuk mendukung klinik yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mengadopsi teknologi melalui kemitraan.

Sementara fitur unik lainnya adalah ulasan rumah sakit melalui Dokter.id. melalui fitur ini nantinya Pengguna bisa memberikan pendapat, kritik, dan testimoni kepuasan pelanggan terhadap layanan dokter, perawat, dan proses pengobatan selama berada di rumah sakit.

Layanan yang sudah dikenal publik, seperti Halodoc dan Alodokter, terus menambah lini bisnis baru, termasuk menyasar konsumen korporasi dan peningkatan variasi layanan. Pengembangan teknologi dan strategi bisnis yang ada membuktikan bahwa layanan kesehatan berbasis teknologi mendapatkan momentum yang tepat tahun ini.

Medigo Hadirkan “Klinik Pintar”, Program Digitalisasi Layanan Kesehatan Berbasis Kemitraan (Updated)

Startup di bidang kesehatan Medigo akhir tahun ini merilis terobosan baru. Diberi nama “Klinik Pintar”, perusahaan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menghadirkan solusi untuk permasalahan umum yang sering dialami pemilik klinik dan dokter, terutama dalam hal pelayanan kesehatan primer di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-BPJS).

Medigo percaya bahwa klinik harusnya menjadi ujung tombak sistem pelayanan kesehatan Indonesia dalam bertransformasi secara digital ke arah yang lebih terhubung dan efisien. Namun kebanyakan pemilik klinik masih menjalankan usahanya secara konvensional dan kebanyakan dokter juga masih enggan beralih ke teknologi digital. Inilah yang ingin Medigo pecahkan dengan program Klinik Pintar,” cerita Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo.

Klinik Pintar menawarkan solusi total berbentuk joint operation melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik pratama. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan; solusi standarisasi; dan solusi investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usahanya dan meningkatkan value based care.

“Tulang punggung Klinik Pintar adalah sebuah ekosistem yang dibangun Medigo untuk memudahkan pasien mengakses layanan, memudahkan manajemen klinik menjalankan operasional secara digital, dan menghubungkan klinik dengan mitra pendukung (mitra rujukan rumah sakit, mitra asuransi, mitra farmasi dan alat kesehatan, dan lain-lain),” lanjut Bimo.

Pendanaan Klinik

Konsep joint venture yang ditawarkan oleh Medigo kepada klinik yang berhasil lolos verifikasi dari IDI dan Medigo adalah dalam bentuk pendanaan. Terdapat dua model pendanaan yang ditawarkan yaitu kepada pemilik klinik yang sudah ada dan kepada mereka yang ingin membangun klinik pintar baru.

Secara khusus Medigo akan memberikan pendanaan dalam bentuk teknologi sementara IDI dalam hal ini akan memonitor semua proses dan tentunya melakukan pengawasan kepada klinik agar bisa mencapai standar akreditasi. Meskipun untuk fase awal Medigo dan IDI hanya fokus kepada klinik pratama, namun untuk merangkul lebih banyak lagi pemilik klinik untuk mengadopsi klinik miliki mereka menjadi klinik pintar, IDI berencana untuk mengajak investor yang berminat untuk melakukan joint venture dengan pemilik klink tersebut.

“Tentunya rencana tersebut sudah ada adalam road map kita, harapannya tentu saja agar semakin banyak klinik di Indonesia yang bertarnsformasi menjadi klinik pintar,” kata Ketua bidang usaha & kesejahteraan anggota PB IDI dr. Efmansyah Iken Lubis, M.M.

Lengkap dan berbeda

Pihak Medigo cukup optimis dengan Klinik Pintar. Karena selain berbasis teknologi yang mampu membuat operasional lebih efektif, solusi yang ditawarkan juga terkait dengan standarisasi pelayanan. Pihak Medigo percaya bahwa mereka hadir di saat yang tepat, di era JKN dan transformasi digital di industri kesehatan.

“Berbeda dengan banyak solusi aplikasi kesehatan digital yang langsung berpengaruh ke konsumen atau pasien, Medigo melalui Klinik Pintar menawarkan solusinya dengan cara memberdayakan fasilitas kesehatan atau klinik yang sudah menjadi destinasi puluhan juta masyarakat Indonesia sehari-hari. Nah, puluhan juta pasien yang datang ke klinik inilah yang merupakan captive market dari Klinik Pintar. Kami percaya dengan kemudahan akses dan peningkatan kualitas layanan kesehatan yang dirasakan pasien, Klinik Pintar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia,” terang Bimo.

Bimo menargetkan pihaknya bisa membangun 20 sampai 30 Klinik Pintar dan mulai membangun Klinik Pintar Plus, sebuah solusi untuk klinik utama dan rumah sakit yang fokus di praktik rawat jalan dokter spesialis. Dalam waktu dekat rencananya 2 klink pintar akan segera dibangun di Bekasi. Sementara fokus kawasan pembangun klinik pintar adalah Jabodetabek terlebih dahulu.

Update : Tambahan informasi mengenai model pendanaan klinik