[Tekno] Microsoft Umumkan Windows 11 SE, Versi Lebih Ringan untuk Laptop Pelajar

Microsoft hari ini meluncurkan Windows 11 SE, varian baru sistem operasinya yang ditujukan untuk bidang edukasi. Windows 11 SE — singkatan dari “Student Edition” — berbeda dari fitur S Mode, sebab varian ini tidak dibatasi agar hanya bisa mengunduh aplikasi dari Microsoft Store saja. Malahan, Microsoft Store justru tidak ada di Windows 11 SE.

Sebagai gantinya, Microsoft membatasi Windows 11 SE dengan cara yang berbeda, semisal dengan menyederhanakan fitur Snap Layout maupun menghilangkan fitur Widget. Tujuannya bukan cuma untuk mengurangi distraksi, tetapi juga untuk memastikan Windows 11 SE bisa berjalan dengan mulus di laptop dengan spesifikasi low-end.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Windows terasa berat di laptop dengan spesifikasi rendah, terutama jika dibandingkan dengan Chrome OS. Windows 11 SE pada dasarnya hadir untuk mematahkan anggapan tersebut, dan ini bisa dilihat dari perangkat terbaru yang Microsoft luncurkan bersamaan dengan OS baru tersebut: Surface Laptop SE.

Windows 11 SE akan tersedia di Surface Laptop SE dan deretan laptop pelajar lain dari berbagai pabrikan / Microsoft

Dibanderol $250, Surface Laptop SE punya spesifikasi yang mirip seperti jajaran Chromebook yang dipasarkan di kisaran harga yang sama: prosesor Intel Celeron N4020, RAM 4 GB, dan storage eMMC sebesar 64 GB. Berkat sederet optimasi yang Microsoft terapkan pada Windows 11 SE, Microsoft percaya performanya bakal mulus di spesifikasi serendah itu.

Namun Surface Laptop SE tentu bukan satu-satunya opsi yang tersedia bagi sekolah-sekolah dan institusi pendidikan yang membutuhkan alternatif terhadap Chromebook. Ke depannya, mereka juga bisa membeli laptop Windows 11 SE dari pabrikan-pabrikan seperti Acer, Asus, Dell, Dynabook, Fujitsu, HP, JK-IP, Lenovo, dan Positivo.

Windows 11 SE tidak selamanya harus digunakan selagi online. Aplikasi-aplikasi Office macam Word, PowerPoint, Excel, OneNote, dan OneDrive tetap bisa digunakan secara offline di laptop Windows 11 SE. Di saat yang sama, Windows 11 SE juga sepenuhnya mendukung pembelajaran berbasis web, baik menggunakan browser Edge maupun Chrome.

Kalau benar Windows 11 SE punya performa yang bagus di laptop berspesifikasi low-end, tentunya ini bisa jadi alternatif yang menarik terhadap Chromebook buat sekolah-sekolah, terutama yang tidak bisa meninggalkan ekosistem Windows (karena menggunakan software yang cuma tersedia di Windows, misalnya).

Sumber: Microsoft.

Satu Bulan Sejak Dirilis, Ini Komentar 3 Pelaku Kreatif yang Telah Menggunakan Windows 11

Hari ini tepat satu bulan sistem operasi terbaru Microsoft – Windows 11 mulai hadir di lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia. Penerus Windows 10 ini mengusung perubahan besar, termasuk dari segi antarmuka pengguna yang tampil lebih simpel dan minimalis dengan start menu di tengah taskbar, bukan lagi di samping kiri. Juga ada Windows store baru, dapat menjalankan aplikasi Android, serta peningkatan performa dan multitasking.

Kehadiran Windows 11 ini mendukung masuknya dunia pada era hybrid. Di mana bekerja, belajar, dan bermain semakin banyak dilakukan dari rumah, serta secara remote. Era ini mengubah cara masyarakat terkoneksi dan menempatkan komputer personal sebagai pusat aktivitas sehari-hari.

Windows 11 Untuk Mendukung Produktivitas

Windows 11 dikembangkan sebagai sistem operasi yang mendukung produktivitas. Termasuk untuk para pelaku kreatif yang banyak memerlukan ideasi, pengerjaan project secara teroganisir, dan kolaborasi.

Tiga orang pelaku kreatif Indonesia, yaitu Dinda Puspitasari, Faza Meonk, dan Raditya Dika pun memanfaatkan langsung berbagai fitur baru Windows 11, segera setelah Windows 11 mulai tersedia secara luas.

Mengusung tema “Membawa Anda Lebih Dekat dengan Apa yang Anda Sukai” (#BringsYouCloserToWhatYouLove), ketiga pelaku kreatif ini berbagi kisah mengenai bagaimana Windows 11 mendekatkan mereka dengan passion masing-masing.

Kami sangat senang dapat mendampingi Dinda, Faza, dan Radit untuk merasakan pengalaman upgrade ke Windows 11. Hal ini memungkinkan mereka untuk menginspirasi lebih banyak pengguna, termasuk pelaku kreatif lain, mengenai bagaimana teknologi seperti Windows 11 dapat meningkatkan produktivitas serta menginspirasi kreativitas. Kami berharap melalui kisah mereka, semakin banyak orang akan terinspirasi untuk mengembangkan passion-nya masing-masing, dan terus berkreasi,” ujar Wahjudi Purnama, Modern Work and Security Business Group Lead, Microsoft Indonesia.

Dalam prosesnya, setiap pelaku kreatif memiliki cara kerjanya masing-masing dan rangkaian fitur Windows 11 hadir untuk menjawab setiap kebutuhan tersebut. Yuk simak.

Ideasi

Untuk kebutuhan ini misalnya, Dinda Puspitasari, fashion illustrator dan founder Dinda Puspitasari Studio memanfaatkan fitur Widgets berbasis AI untuk mempermudah mencari inspirasi. Berbagai saran materi dan berita langsung disuguhkan di Widgets setelah mengatur preferensi di awal.

Saya juga jauh lebih fokus setelah memanfaatkan Focus Sessions, saya dapat menentukan sendiri target waktu untuk fokus setiap harinya, mematikan notifikasi email ataupun chat selama waktu fokus ini, dan mengintegrasikannya dengan to-do-list yang saya miliki,” tambah Dinda.

Eksekusi dan Organisir Pekerjaan

Dari sisi ini, Faza Meonk, komikus dan animator di balik Si Juki mengatakan, “Saya merasa fitur touch dan pen-nya telah menjadi begitu smooth, sehingga sangat memudahkan proses ilustrasi. Sejumlah karya saya yang keluar akhir-akhir ini, baik itu komik maupun video animasi, merupakan hasil kerja di Windows 11,” ungkap Faza.

Selain itu, ia juga terbantu dengan fitur Snap Layout yang memungkinkan untuk menyusun hingga empat window dalam satu layar melalui beberapa klik saja, sehingga memudahkannya dalam mengorganisasikan berbagai ide yang muncul.

Kolaborasi dan Work-life Balance

Terkait aspek ini, Raditya Dika, komika, sutradara, dan penulis mengatakan bahwa salah satu fitur yang paling disukai dari Windows 11 adalah kemampuannya untuk membagi satu PC hingga enam desktop – lebih banyak dibandingkan Windows 10. Hal ini memungkinkannya untuk memiliki desktop khusus komika, tulisan, belajar anak, hingga gaming.

Tidak hanya itu, dengan tombol mute dan unmute yang kini sudah langsung hadir di taskbar, lebih mudah bagi saya untuk multitasking. Misalnya saat call sambil mengerjakan draft tulisan, saya bisa mute dan unmute speaker saya dengan satu klik saja. Saya tidak perlu mencari-cari tombolnya lagi walaupun layar utama saya sebetulnya adalah draft tulisan, bukan virtual meeting room,” ucap Dika.

Penutup

Tentu tidak hanya pelaku kreatif, fitur-fitur Windows 11 ini bisa diaplikasikan pula bagi profesi atau kebutuhan personal lainnya. Memungkinkan setiap orang untuk terus berkarya menggunakan teknologi, sesuai dengan passion masing-masing.

Sejak 5 Oktober, pembaruan gratis dari Windows 10 ke 11 digulirkan secara bertahap. Sejauh ini Windows 11 juga telah mendapatkan banyak ulasan positif dari banyak media, Microsoft juga gerak cepat dalam mengatasi masalah teknis yang muncul. Jadi, apakah Anda siap menginstal pembaruan Windows 11 ketika tersedia atau lebih memilih menunggu lebih lama untuk memastikan kestabilannya?

[Tekno] Microsoft Perkenalkan Mesh for Teams Sebagai Prekursor Akan Metaverse

Sejak Facebook mengumumkan pergantian namanya menjadi Meta beberapa hari lalu, Anda pasti telah mendengar istilah metaverse dibahas di sana-sini. Berhubung hype-nya sedang tinggi, perusahaan lain pun tidak mau melewatkan momentum pembicaraan tentang metaverse ini, tidak terkecuali Microsoft.

Melalui sebuah blog post, Microsoft mengumumkan Mesh for Microsoft Teams. Buat yang tidak tahu, Mesh merupakan sebuah platform kolaborasi untuk mixed reality yang Microsoft umumkan bulan Maret lalu. Dengan memadukan beragam teknologi sekaligus, Mesh memungkinkan kita untuk bekerja atau sekadar berinteraksi dalam sebuah virtual shared space, baik sebagai sebuah avatar 3D atau malah hologram.

Dari penjelasan sederhana itu, bisa kita lihat bahwa Mesh memang sejalan dengan konsep metaverse yang kita kenal dalam beberapa tahun terakhir ini, dan Microsoft sudah punya rencana untuk mengintegrasikannya ke Microsoft Teams mulai tahun depan.

Jadi ketimbang mematikan atau menyalakan tampilan kamera selagi mengikuti sesi video conference, pengguna Teams nantinya bakal punya opsi untuk tampil sebagai avatar 3D yang bisa bergerak-gerak. Menggunakan AI, Microsoft akan menyesuaikan animasi dan ekspresi wajah avatarnya dengan suara masing-masing pengguna.

Ini berarti pengguna tidak diwajibkan memakai mixed reality headset ataupun perangkat khusus lainnya. Microsoft memastikan bahwa Mesh for Teams dapat dinikmati di semua perangkat, mulai dari laptop sampai smartphone.

Selain dalam tampilan video call standar, pengguna Teams nantinya juga bisa masuk ke dalam sebuah virtual spacemetaverse — yang dibangun oleh masing-masing organisasi atau perusahaan tempatnya bekerja, dan berkolaborasi langsung menggunakan aplikasi-aplikasi besutan Microsoft. Microsoft bahkan juga akan mengintegrasikan fitur-fitur yang bakal sangat membantu melancarkan komunikasi, macam real-time translation dan transcription.

Mesh for Teams mungkin belum bisa mewujudkan konsep metaverse secara utuh, tapi setidaknya ia bisa menjadi prekursor akan tren baru tersebut. Microsoft berharap inisiatif ini bisa membuka mata sekitar 250 juta pengguna Teams akan pendekatan baru di bidang remote dan hybrid working yang tengah berjalan.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Microsoft Juga Umumkan Slim Pen 2 dan Ocean Plastic Mouse Ramah Lingkungan

Kabarnya Microsoft akan mengumumkan Windows 11 untuk publik pada awal bulan depan, tepatnya tanggal 5 Oktober 2021. Untuk menyambut sistem operasi terbaru tersebut, Microsoft telah memperkuat ekosistem Surface-nya.

Total ada delapan pengumuman, lima diantaranya peluncuran perangkat Surface Laptop Studio, Surface Pro 8, Surface Duo 2, Surface Go 3, dan Surface Pro X. Di sini saya akan membahas Surface Slim Pen 2, Microsoft Ocean Plastic Mouse, dan Surface Adaptive Kit.

Surface Slim Pen 2

Lewat perangkat Surface dan OS Windows 11, Microsoft berupaya mengubah pengalaman komputasi ke level yang baru. Pena digital Surface Slim Pen 2 ini juga punya perannya tersendiri dalam menunjang produktivitas dan kreativitas dengan menyuguhkan pengalaman mencatat atau menggambar yang lebih natural.

Hal itu dapat dicapai berkat chip khusus yang disebut Microsoft G6 dan fungsionalitas haptic yang bekerja di Surface Pro 8 dan Surface Laptop Studio yang menjalankan Windows 11. Meski begitu, stylus ini tetap kompatibel dengan Surface Duo 2, Surface Go 3, Surface Pro X, dan laptop Surface model lama.

Surface Slim Pen 2 dapat menempel secara magnetis untuk mengisi ulang di sisi Surface Laptop Studio dan bisa disimpan ke dalam Surface Pro Signature Keyboard. Ujung penanya didesain ulang dan lebih tajam yang membuatnya lebih responsif dan akurat. Microsoft menjual Surface Slim Pen 2 dengan harga US$129,99 atau sekitar Rp1,8 jutaan.

Microsoft Ocean Plastic Mouse

Mouse anyar besutan Microsoft ini dibuat menggunakan material ramah lingkungan. Bagian cangkangnya menggunakan resin yang 20% dibuat dari plastik daur ulang, sampah yang ditemukan atau terdampar dari lautan dan saluran air yang kemudian diubah menjadi pelet dan kemasannya pun 100% dapat didaur ulang menggunakan bahan kayu dan serat tebu.

Untuk membuat resin yang digunakan dalam cangkang Ocean Plastic Mouse, Microsoft bekerja sama dengan Saudi Basic Industries Corporation (SABIC), yang merupakan anak perusahaan Saudi Aramco. Mouse ini menjanjikan masa pakai baterai hingga 12 bulan hanya dari satu baterai AA yang dapat diganti dan diisi ulang.

Pengguna dapat menyesuaikan tiga tombolnya melalui software Mouse and Keyboard center. Harga Ocean Plastic Mouse dibanderol US$24,99 dengan koneksi Bluetooth Low Energy wireless dan Swift Pair.

Surface Adaptive Kit

Terakhir Microsoft juga mengumumkan Surface Adaptive Kit untuk penyandang disabilitas. Kit ini membuat jajaran laptop dan tablet Surface lebih mudah diakses tanpa mengorbankan bentuk atau fungsi, terdiri dari label keycap, bump, indikator port, dan pembuka perangkat.

Label keycap dan bump memudahkan untuk mengidentifikasi kunci penting dan menemukan port dan kabel. Dukungan pembuka termasuk pull tab dan ring memberikan lebih banyak fleksibilitas untuk membuka tutup laptop.

Microsoft membuat kit tersebut bekerja sama dengan para penyandang disabilitas untuk memastikan bahwa kit tersebut mencakup spektrum kebutuhan yang luas. Rencananya Surface Adaptive Kit akan tersedia akhir tahun ini dan kompatibel dengan Surface Book 3 dan Surface Laptop Studio, serta Surface Pro 7 dan Surface Laptop 3 dan model yang lebih baru.

Sumber: Microsoft

Microsoft Umumkan Surface Pro 8, Surface Go 3, Surface Laptop Studio, dan Surface Duo 2

Menyambut perilisan Windows 11 yang sudah semakin dekat, Microsoft memperkenalkan sederet perangkat baru dari ekosistem Surface-nya. Sebagian besar adalah suksesor dari perangkat generasi sebelumnya, akan tetapi Microsoft juga memperkenalkan satu perangkat Surface yang benar-benar baru.

Total ada empat perangkat anyar yang Microsoft umumkan: Surface Pro 8, Surface Go 3, Surface Laptop Studio, dan Surface Duo 2. Langsung saja, mari kita bahas satu demi satu.

Surface Pro 8

Sesuai namanya, Surface Pro 8 merupakan penerus dari Surface Pro 7 yang dirilis dua tahun silam. Microsoft mengklaim performanya dua kali lebih kencang berkat penggunaan prosesor Intel generasi ke-11, akan tetapi konsumsi baterainya tetap irit dan bisa mencapai angka 16 jam pemakaian. Sebagai perangkat yang mengantongi sertifikasi Intel Evo, Surface Pro 8 juga dilengkapi sepasang port Thunderbolt 4.

Namun yang bakal terdengar lebih menarik justru adalah perubahan desain dan layarnya. Bezel-nya menipis dan layarnya membesar menjadi 13 inci, tapi ketajaman layarnya sama persis berkat resolusi 2880 x 1920. Yang lebih istimewa, panel layarnya sudah mengadopsi refresh rate 120 Hz.

Layarnya ini juga kompatibel dengan stylus baru bernama Surface Slim Pen 2. Saat sedang tidak digunakan, stylus-nya bisa disimpan dan dicas di dalam ceruk yang terdapat pada aksesori keyboard-nya. Pun demikian, semua aksesorinya ini opsional dan harus dibeli secara terpisah; paket penjualan Surface Pro 8 yang dihargai mulai $1.100 hanya mencakup tablet-nya saja.

Untuk mengakomodasi penggunaan selama pandemi, Microsoft tak lupa membekali Surface Pro 8 dengan kamera depan 5 megapiksel, sepasang mikrofon premium, speaker Dolby Atmos, dan kamera belakang 10 megapiksel yang juga bisa merekam video 4K.

Surface Go 3

Seperti pendahulunya, Surface Go 3 merupakan tablet termurah sekaligus terkecil yang Microsoft tawarkan, dengan banderol mulai $400 dan layar 10,5 inci. Ia tetap kompatibel dengan aksesori keyboard dan stylus, tapi sekali lagi semua itu sayangnya harus konsumen tebus secara terpisah.

Dari segi fisik, Surface Go 3 memang tidak menerima pembaruan apa-apa, akan tetapi jeroannya kini lebih bertenaga. Pada varian termahalnya, Surface Go 3 mengemas prosesor Intel Core i3 generasi ke-10, dan performanya diyakini 60% lebih gegas daripada pendahulunya yang ditenagai prosesor Intel Core m3.

Surface Laptop Studio

Inilah perangkat gres yang saya maksud. Tidak seperti kebanyakan perangkat di lini Surface, Surface Laptop Studio merupakan sebuah laptop tulen yang layarnya tidak bisa dicopot sama sekali. Sebagai gantinya, Microsoft membekalinya dengan engsel layar yang cukup unik.

Jadi saat perangkat dibuka, layarnya bisa ditarik ke arah pengguna sehingga menutupi keyboard, cocok untuk kegiatan-kegiatan seperti streaming video, gaming, atau mempresentasikan sesuatu. Dalam posisi ini, touchpad-nya tetap bisa digunakan seperti biasa.

Lalu dari posisi seperti tenda tadi, layarnya bisa didorong ke bawah hingga nyaris rata dengan keyboard. Posisi ini tentu sangat ideal untuk menggambar menggunakan stylus. Selesai menggambar, stylus-nya bisa ditempelkan secara magnetis ke celah di bagian dasar laptop.

Secara keseluruhan, perangkat ini mengingatkan saya pada Surface Studio, tapi yang wujudnya laptop ketimbang PC AIO.

Melihat skenario-skenario penggunaannya tadi, jelas sekali kalau Microsoft membidik kalangan kreator sebagai target pasar dari perangkat ini. Itulah mengapa spesifikasinya juga sangat mumpuni: prosesor Intel Core generasi ke-11 (Tiger Lake-H35), serta GPU Nvidia GeForce RTX 3050 Ti pada varian tertingginya. Di Amerika Serikat, Surface Laptop Studio dijual dengan harga mulai $1.600.

Surface Duo 2

Surface Duo yang dirilis tahun lalu bisa dibilang hadir di waktu yang kurang tepat; dunia baru saja familier dengan kategori perangkat foldable, dan spesifikasinya juga tergolong tua untuk standar 2020. Tahun ini, Microsoft setidaknya sudah bisa menjawab keluhan terkait spesifikasinya.

Surface Duo 2 ditenagai oleh chipset Qualcomm Snapdragon 888, kemajuan pesat dibanding Snapdragon 855 yang digunakan pendahulunya, dan yang pada akhirnya mendatangkan kapabilitas 5G. Kapasitas RAM-nya naik menjadi 8 GB, sementara storage-nya tersedia dalam opsi 128 GB, 256 GB, dan 512 GB.

Seperti versi pertamanya, Surface Duo 2 mengusung sepasang layar AMOLED yang identik. Masing-masing kini memiliki ukuran yang lebih besar; 5,8 inci, dengan resolusi 1344 x 1892 dan refresh rate 90 Hz (adaptif). Kalau digabung, kedua layarnya memiliki panjang diagonal 8,3 inci. Lalu saat ditutup, porsi kecil layar di bagian engselnya dapat menampilkan informasi seperti notifikasi atau sisa baterai.

Dua layar yang bersebelahan ini jelas sangat ideal untuk menunjang produktivitas, namun Microsoft rupanya juga tidak segan mempromosikan Surface Duo 2 untuk keperluan gaming. Microsoft bilang ada sekitar 150 judul game Android yang telah dioptimalkan untuk Surface Duo 2, sehingga game beserta controller virtualnya bisa ditampilkan secara terpisah di kedua layarnya.

Sektor penting lain yang ikut diperbarui adalah kamera. Kalau versi pertamanya cuma punya satu kamera saja di atas layarnya, Surface Duo 2 punya kamera belakang yang proper. Bukan cuma satu, melainkan tiga sekaligus: kamera utama 12 megapiksel f/1.7 dengan OIS, kamera ultra-wide 16 megapiksel f/2.2, dan kamera telefoto 12 megapiksel f/2.4 dengan OIS. Di saat yang sama, Surface Duo 2 tetap punya kamera selfie 12 megapiksel.

Secara fisik, Surface Duo 2 sedikit lebih tebal dari versi pertamanya; 5,5 mm saat dibuka, 11 mm saat ditutup. Kabar baiknya, kapasitas baterainya naik drastis dari 3.577 mAh menjadi 4.449 mAh. Perangkat ini belum mendukung wireless charging, tapi setidaknya ia sudah punya NFC (yang absen di versi sebelumnya).

Di AS, harga Surface Duo 2 dipatok mulai $1.500, atau $100 lebih mahal daripada pendahulunya.

Sumber: Microsoft.

Akan Ada Lebih dari 400 Mobil di Forza Horizon 5

Playground Games kelihatannya ingin membawa peningkatan di berbagai aspek di dalam Forza Horizon 5 untuk menyenangkan para fans. Mulai dari ukuran map yang lebih luas, diversifikasi alam yang semakin bervariasi, trek balap drag yang lebih panjang, dan yang terakhir adalah jumlah mobil yang bisa dikoleksi juga semakin banyak.

Secara resmi Playground Games merilis blog update yang menunjukkan daftar mobil yang sudah dikonfirmasi akan hadir di game saat dirilis pada November mendatang. Dan menakjubkannya, Forza Horizon 5 dipastikan akan memiliki 426 mobil. Daftar tersebut bahkan masih belum lengkap karena game-nya akan terus di-update.

Daftar awal ini juga memberikan berbagai macam jenis mobil mulai dari yang klasik seperti Ferrari 250 Testa Rossa, Ford De Luxe Coupe, Jaguar E-Type, hingga mobil-mobil terbaru seperti Mercedes AMG ONE, Ford Bronco, Porsche Taycan, dan tentunya masih banyak lagi.

Para penggemar mobil Jepang alias JDM juga tidak perlu khawatir karena Horizon 5 juga akan memiliki daftar mobil JDM yang memadai. Apalagi dengan kehadiran line-up Toyota yang memang cukup dinanti oleh para fans yang ingin mencoba Toyota GR Supra terbaru.

Beberapa brand besar seperti Alfa Romeo, Bugatti, BMW, dan juga Mazda masih absen total dari daftar tadi. Kemungkinan besar mobil-mobil dari brand-brand tadi akan diumumkan pada update info berikutnya.

Selain daftar tersebut, Playground Games juga menunjukkan berbagai hal baru dari game-nya pada livestream yang diadakan beberapa hari lalu. Salah satunya adalah sistem struktur campaign yang kini sudah ditata ulang. Kini setiap tipe event akan memiliki Horizon Festival-nya sendiri.

Setidaknya ada 6 macam kategori event dengan Horizon Festival-nya masing-masing. Mulai dari Apex (trek aspal), Wilds (off-roads), Baja (cross-country), Street Scene (balap jalanan). Rush (stunt), dan Horizon Main Stage yang merupakan lokasi festival paling besar di sini.

Sistem ini harusnya mempermudah para pemain, terutama yang baru bermain, untuk melacak progres yang telah mereka lakukan dan menunjukkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tidak seperti yang terjadi di game sebelumnya, yang melepas para pemain dalam map dengan berbagai event yang tersebar di seluruh map.

Microsoft akan Hentikan Dukungan Aplikasi Office pada ChromeOS

Pada Chromebook yang ada saat ini sudah terdapat Google Play Store yang bisa membuat para pengguna laptop tersebut untuk memakai aplikasi Android. Salah satu yang banyak digunakan adalah aplikasi Microsoft Office yang tersedia secara gratis. Penggunaan aplikasi Office ini memang bisa membantu pengguna untuk menyelesaikan pekerjaan mereka karena sudah familiar dengan antarmukanya. Sayangnya, Microsoft berencana untuk menghapus aplikasi Office untuk ChromeOS.

Pada bulan Juni yang lalu, Microsoft memang sudah berencana untuk memindahkan para pengguna Office di Chromebook ke aplikasi web mereka. Saat ini, mereka mengumumkan bahwa pada tanggal 18 September 2021, aplikasi mereka tidak akan bekerja lagi pada Chromebook. Hal ini juga dapat dilihat oleh mereka yang saat ini masih menggunakan aplikasi Office pada Chromebook. Oleh karena itu, para pengguna diharapkan akan menggunakan aplikasi web Microsoft pada Office.com.

Bagi beberapa pengguna, tentu saja langkah Microsoft dalam memindahkan pengguna dari aplikasi offline ke online akan terasa seperti downgrade. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan beberapa fitur yang tidak ditemukan pada aplikasi online dari Office. Untuk lebih memudahkannya, pengguna juga dapat melakukan instalasi PWA (Progressive Web App) yang membuat seakan-akan Office.com terinstal pada komputer.

Lalu bagaimana dengan para pengguna Android? Apakah dukungan Microsoft pada sistem operasi dari Google yang satu ini juga akan terhenti? Microsoft masih akan mengembangkan aplikasi Office untuk sistem operasi Android, namun hanya akan menghentikan aksesnya untuk dipakai pada Chromebook saja.

Pengguna juga masih bisa memakai alternatif aplikasi Office lainnya untuk laptop Chromebook. Sebagai informasi, Google selalu memasang Chrome extension pada setiap Chromebook untuk layanan Google Docs-nya. Google Docs pada Chromebook juga mampu digunakan untuk melakukan editing dokumen secara offline.

Selain itu, masih ada beberapa aplikasi lain seperti WPS dan Libre. Pengguna juga bisa melakukan instalasi aplikasi Office gratis lainnya dengan menggunakan Play Store atau pun dengan versi Linux-nya. Hanya saja, bagi mereka yang sudah cukup nyaman dengan Microsoft Office mau tidak mau harus berpindah ke layanan Web atau belajar menggunakan aplikasi Office lainnya tadi.

Saya juga sering menggunakan layanan Office.com dari Microsoft. Layanan gratis ini memang sudah cukup untuk kebutuhan pembuatan dokumen seperti untuk artikel dan spreadsheet ringan. Dokumen yang sudah dibuat tadi nantinya akan tersimpan langsung pada cloud milik Microsoft, yaitu OneDrive, yang memiliki kapasitas gratis 15 GB. Namun, yang paling dibutuhkan adalah koneksi internet yang cukup stabil agar semua pekerjaan kita dapat tersimpan secara real time.

Sumber: Aboutchromebooks

Age of Empire Dapatkan Versi Mobile-nya dengan Judul ‘Return to Empire’

Age of Empires tentu menjadi salah satu seri game Real-Time Strategi atau RTS paling ikonik di PC. Mekanik gameplay unik dan tema perang zaman pertengahan memang masih menarik minat banyak fans hingga sekarang.

Dan Microsoft kelihatannya mulai paham bahwa pasar mobile juga bisa menguntungkan bagi mereka. Maka tidak mengherankan bila akhirnya Microsoft mengumumkan versi mobile dari Age of Empire yang akan menggunakan nama ‘Return of Empire’.

Game terbaru ini diumumkan pertama kali pada Tencent Annual Game Conference 2021 pada Mei lalu, bertepatan dengan pengumuman kerja sama antara Microsoft Xbox dengan TiMi Studios milik Tencent. Namun game ini baru mendapat perhatian media setelah dibahas oleh analis senior video game, Daniel Ahmad di Twitter.


TiMi Studios merupakan pengembang di balik judul-judul populer Tencent seperti Honor of King (AOV), COD Mobile, Pokemon Unite, dll. Dan sekarang mereka mendapat tugas untuk mengembangkan ‘Return of Empire’.

Lewat trailer terbarunya, Return of Empire juga menunjukkan bagaimana gaya visualnya kini tampil modern. Namun untungnya mekanik inti dari game originalnya masih tetap dipertahankan. Terlihat juga dari trailer-nya bahwa tema “Three Kingdom” akan dibawa juga ke dalam game mobile ini.

Namun hal tersebut tidak mengherankan karena Return to Empire diumumkan sebagai game mobile khusus untuk region Tiongkok saja. Setidaknya untuk sekarang saat game-nya baru membuka masa pre-register pertamanya. Para gamer yang mendaftar juga dijanjikan beragam hadiah ketika game-nya dirilis nanti.

Para pemain di Tiongkok juga sudah bisa mulai menjajal demonya mulai tanggal 14 Agustus kemarin. Beberapa informasi lebih detailnya bisa dilihat di trailer gameplay di atas. Elemen real-time strategy dari game aslinya tetap dibawa dengan para pemain tetap harus mengumpulkan sumber daya, membangun kerajaan, dan juga pasukan; sebelum memutuskan untuk menyerang kerajaan lain.

Sayangnya masih belum ada informasi apapun mengenai kapan Return to Empire ini akan mendapatkan rilis globalnya. Selain game mobile ini, Microsoft juga tengah mengerjakan sekuel utama game-nya yaitu Age of Empire 4 yang direncakan untuk dirilis pada 28 Oktober mendatang.

Apa itu Metaverse: Definisi, Relevansi, dan Potensinya?

Beberapa tahun belakangan, metaverse tengah menjadi pembicaraan hangat. Microsoft sedang bereksperimen untuk membuat enterprise metaverse, sementara Facebook baru saja membuat grup metaverse di divisi Reality Labs mereka. Ketika mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar pada April 2021, Epic Games mengungkap bahwa mereka akan menggunakan dana itu untuk merealisasikan visi mereka untuk membuat metaverse.

Pertanyaannya…

Apa Definisi Metaverse?

Istilah metaverse pertama kali digunakan dalam Snow Crash, novel ber-genre cyberpunk yang diterbitkan pada 1992. Dalam novel tersebut, metaverse digambarkan sebagai dunia virtual yang bisa dikunjungi oleh orang-orang melalui perangkat VR. Namun, Snow Crash tidak menggambarkan metaverse sebagai utopia sempurna yang membuat semua orang yang masuk ke dalamnya menjadi bahagia. Sebaliknya, metaverse menciptakan masalah tersendiri, mulai dari kecanduan teknologi, diskriminasi, kekerasan, dan harassment. Sebagian dari masalah itu bahkan sampai terbawa ke dunia nyata.

Saat ini, ada banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse, mulai dari perusahaan game seperti Epic Games dan Tencent, sampai perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Facebook. Begitu banyaknya perusahaan yang tertarik dengan metaverse sehingga definisi dari metaverse itu sendiri pun masih belum seragam. Masing-masing perusahaan seolah-olah punya konsep akan metaverse yang ideal. Berikut beberapa definisi metaverse dari sejumlah tokoh dan perusahaan ternama.

Facebook baru saja membuat divisi metaverse. | Sumber: CNET

“Anda bisa membayangkan metaverse sebagai perwujudan internet yang bisa Anda masuki. Jadi, Anda tidak lagi sekadar melihat apa yang ada di internet,” kata CEO dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, seperti dikutip dari CNN. Sementara itu, Roblox mengartikan metaverse sebagai ruang virtual 3D dalam semesta virtual yang bisa diakses oleh banyak orang secara bersamaan.

Menurut Tim Sweeney, CEO dan pendiri Epic Games, metaverse adalah media sosial 3D yang bisa diakses secara realtime. Dengan menggunakan media itu, orang-orang akan bisa membuat konten di dunia virtual dan saling berbagi konten tersebut. Para pemain juga akan punya kesempatan yang sama untuk mengubah keadaaan sosioekonomi di dunia virtual tersebut.

Sementara itu, Peter Warman, CEO Newzoo menganggap metaverse sebagai tempat yang memungkinkan orang-orang untuk menjadi penggemar, pemain, dan kreator secara bersamaan. Menurutnya, hal ini akan memaksimalkan engagement, yang juga akan mendorong potensi bisnis.

Jesse Alton, bos dari Open Metaverse, grup yang membuat standar open source untuk metaverse menjelaskan bahwa idealnya, metaverse tidak tergantung pada satu teknologi milik satu perusahaan, tapi terdiri dari berbagai teknologi buatan banyak perusahaan yang saling terhubung dengan satu sama lain.

Apa saja teknologi yang terlibat dalam pengembangan metaverse? Newzoo membagi ekosistem metaverse ke dalam beberapa kategori. Pertama adalah metaverse gateways, yang merupakan pintu bagi konsumen untuk masuk ke metaverse. Newzoo kembali membagi segmen ini menjadi dua kelompok, yaitu centralized atau terpusat dan decentralized atau tersebar.

Dua bagian dari segmen metaverse gateways. | Sumber: Newzoo

Contoh perusahaan yang menyediakan centralized gateways adalah Fortnite, Minecraft, Animal Crossing, Grand Theft Auto Online, Roblox, VRChat, dan lain sebagainya. Sementara contoh platform decentralized gateways adalah The Sandbox, Decentraland, Somnium Space dan lain-lain. Avatar & identitas menjadi bagian lain dari metaverse. Sesuai namanya, perusahaan yang bergerak di bidang ini biasanya akan menawarkan jasa untuk membuat avatar atau identitas di dunia virtual. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini adalah Avatar SDK, The Fabricant, Tafi, dan lain-lain.

Selain gateways dan avatar & identitas, elemen ketiga dari metaverse adalah user interface & immersion. Ada banyak perusahaan game dan teknologi yang masuk dalam kategori ini, seperti Samsung, Apple, HP, HTC, Microsoft HoloLens, Xbox, PlayStation, dan Nintendo Switch. Elemen berikutnya dari metaverse adalah perekonomian. Perusahaan yang masuk dalam kategori ini bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pembayaran (seperti PayPal dan WeChat Pay) serta transaksi jual-beli, (seperti OpenSea, DMarket, dan Elixir). Dalam kategori ini, Anda juga akan menemukan perusahaan crypto wallet seperti Metamask dan Fortmatic, serta perusahaan yang bergerak di bidang NFT, seperti Forte, Ultra, dan Maddie’s.

Elemen sosial juga punya peran penting dalam metaverse. Karena itu, perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, LINE, Discord, TikTok, dan lain-lain, merupakan bagian dari ekosistem metaverse. Perusahaan-perusahaan yang membuat game play-to-earn atau play-to-collect, seperti DeltaTime, dan Exceedme juga punya peran tersendiri dalam pengembangan metaverse.

Sejumlah perusahaan yang menjadi bagian dari ekosisstem metaverse. | Sumber: Newzoo

Agar metaverse berjalan dengan baik, diperlukan infrastruktur yang mumpuni. Infrastruktur dari metaverse juga disokong oleh banyak perusahaan dari berbagai segmen, mulai dari segmen cloud dan hosting, visualization & digital twin, decentralized infra, artificial intelligence, sampai adtech & marketing.

Menilik sejarah, sebenarnya metaverse sudah pernah menjadi topik pembicaraan lebih dari 10 tahun lalu. Metaverse Roadmap Summit pertama digelar pada Mei 2006. Satu tahun kemudian, pada 2007, organisasi nirlaba Accelerating Studies Foundation (ASF) merilis studi tentang metaverse. Studi tersebut membahas tentang masa depan metaverse menurut prediksi para akademisi, perusahaan game, para teknisi geospatial, dan media yang ikut serta dalam Metaverse Roadmap Summit. Berdasarkan laporan tersebut, secara garis besar, ada empat skenario yang mungkin terjadi, yaitu augmented reality, lifelogging, virtual worlds, dan mirror worlds.

Saat itu, augmented reality diartikan sebagai teknologi imersif yang bisa melacak posisi pengguna secara otomatis. Sejatinya, teknologi itu berfungsi untuk membantu pengguna mendapatkan informasi tentang suatu tempat atau suatu benda secara instan. Sementara lifelogging disebutkan sebagai penggunaan teknologi AR yang fokus pada sisi komunikasi, memori, dan observasi dari pengguna. Dengan kata lain, teknologi lifelogging, sesuai namanya, memungkinkan pengguna untuk merekam segala sesuatu yang terjadi secara 3D.

Kamera untuk lifelogging. | Sumber: Wikipedia

Sementara itu, virtual world merupakan sistem untuk mengadopsi elemen sosial dan ekonomi masyarakat di dunia nyata ke dunia virtual. Dan mirror worlds adalah teknologi yang akan menampilkan gambar dari Bumi — seperti Google Earth — tapi dilengkapi dengan informasi mendetail terkait tempat-tempat yang ditampilkan. Para ahli memperkirakan, semua ini akan terjadi dalam waktu 10 tahun, yaitu pada 2016. Namun, seperti yang Anda ketahui, hal itu tidak terjadi.

Sekarang, metaverse kembali menjadi tren. Menurut Alton, kali ini, metaverse akhirnya akan bisa direalisasikan. Karena, teknologi yang dibutuhkan untuk membuat metaverse sudah tersedia, seperti prosesor perangkat mobile dan konsol game yang mumpuni, infrastruktur internet yang memadai, dan keberadaan headset VR serta cryptocurrency. Dan yang paling penting, dalam dua tahun terakhir, masyarakat semakin terbiasa untuk hidup di dunia online karena pandemi.

Relevansi Metaverse dengan Industri Game dan Keuntungan dari Metaverse

Industri game banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Tidak hanya muncul genre dan model bisnis baru, cara gamers menikmati game pun mulai melebar. Para gamers memang masih senang untuk bermain game. Namun, mereka juga senang menonton orang lain bermain game. Hal inilah yang mendorong munculnya industri streaming game dan esports. Metaverse dianggap sebagai bagian dari evolusi industri game. Di masa depan, game tak lagi menjadi sebuah layanan, tapi sebuah platform. Artinya, game tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk bermain, tapi juga untuk berkumpul bersama dengan teman atau melakukan kegiatan non-gaming lainnya.

Sekarang, sebagian kreator game telah mengintegrasikan sejumlah kegiatan non-gaming di game mereka. Salah satunya adalah Epic Games, yang pernah menggelar konser virtual di Fortnite. Sementara itu, Balenciaga, merek luxury fashion asal Prancsi, menggelar fashion show di Afterworld: The Age of Tomorrow. Ke depan, diduga akan ada semakin banyak kreator game yang memasukkan elemen non-gaming ke game mereka. Hal ini akan menguntungkan para kreator game. Karena, elemen non-gaming bisa menarik non-gamers untuk mencoba game mereka. Para gamers juga kemungkinan tidak akan keberatan dengan adanya elemen non-gaming di sebuah game. Pasalnya, saat ini pun, banyak gamers yang menggunakan game sebagai tempat untuk bersosialisasi.

Selain keberadaan elemen non-gaming, keberadaan metaverse juga akan memengaruhi game dalam hal lain. Misalnya, dari segi jumlah pemain. Menurut Newzoo, ketika tren metaverse terealisasi, jumlah pemain dalam game di satu waktu bisa mencapai lebih dari 10 ribu orang. Sementara dari segi konten, komunitas akan punya peran lebih besar dalam menyediakan konten dalam game. Karena, metaverse akan mendukung konten buatan pemain/pengguna, seperti yang terlihat di Roblox.

Metaverse juga akan mendorong munculnya model bisnis baru. Karena metaverse game bisa mendorong kegiatan non-gaming di dalam game, perusahaan game akan bisa memonetisasi hal itu. Misalnya, dengan menjual tiket untuk konser digital atau kegiatan non-gaming lainnya. Sekarang, juga mulai banyak perusahaan yang membuat game dengan model play-to-earn, memungkinkan pemain untuk menukar reward yang didapat dalam game dengan uang di dunia nyata. Keberadaan metaverse game juga akan membuka peluang bagi native ads. Karena keberadaan iklan tradisional yang mengganggu akan sulit untuk diterapkan di dunia virtual.

Tak hanya game, keberadaan metaverse juga akan mendorong pertumbuhan sejumlah industri lain, seperti live streaming, cloud, dan VR/AR. Selain itu, keberadaan metaverse juga bisa mempercepat perkembangan teknologi di bidang hardware, infrastruktur jaringan, visualisasi, dan juga AI.

Bagi perusahaan, keberadaan metaverse memberikan keuntungan yang jelas, yaitu membuka ladang bisnis baru. Jadi, tidak heran jika banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse. Namun, apakah para konsumen juga tertarik dengan metaverse? Untuk menjawab pertanyaan itu, Newzoo melakukan survei pada 5,5 ribu orang di empat negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei Newzoo, diketahui bahwa para konsumen tertarik dengan konsep metaverse. Saat ini, semua ide terkait metaverse disambut dengan hangat. Namun, tingkat antusiasme para responden di empat negara tidak sama. Jika dibandingkan dengan responden di Inggris dan Jepang, responden di AS dan Tiongkok cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse. Umur menjadi faktor lain apakah responden akan mau menerima konsep metaverse. Biasanya, responden muda cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse.

Ketertarikan responden untuk menggunakan metaverse pun cukup tinggi. Menariknya, kebanyakan responden lebih tertarik untuk menggunakan metaverse demi melakukan hal-hal sederhana, seperti berkumpul dengan teman dan keluarga, daripada melakukan sesuatu yang fantastis, seperti mengumpulkan banyak orang di dunia virtual untuk mengadakan flash mob.

Berikut data dari Newzoo terkait kegiatan apa yang hendak dilakukan para konsumen di metaverse.

Kegiatan yang ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat di atas, berkumpul dengan teman menjadi kegiatan yang paling ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. Sebanyak 42% responden mengaku sangat tertarik untuk berkumpul dengan teman mereka via metaverse, dan 32% lainnya tertarik melakukan hal tersebut. Sementara kegiatan terpopuler kedua adalah berkumpul bersama keluarga. Selain itu, beberapa kegiatan lain yang ingin dilakukan oleh responden di metaverse adalah menonton TV, mengadakan pesta, atau menghadiri konser.

Masalah yang Mungkin Ditimbulkan oleh Metaverse

Kemajuan teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia akan memudahkan kehidupan banyak orang. Di sisi lain, ia juga akan memunculkan masalah baru. Metaverse bukanlah pengecualian. Bahkan sebelum metaverse bisa direalisasikan sepenuhnya, sejumlah pakar sudah memperkirakan masalah yang mungkin muncul, seperti perbedaan pengalaman yang dialami oleh para pengguna.

Zuckerberg menyebutkan, kemungkinan, iklan akan menjadi sumber pemasukan metaverse, sama seperti Facebook. Namun, hal ini membuat sejumlah pakar khawatir. Karena, jika metaverse menjadikan iklan sebagai sumber pemasukan utama, hal ini berpotensi untuk menciptakan kesenjangan di kalangan para pengguna. Pengalaman yang didapatkan pengguna akan tidak sama: tergantung apakah mereka sanggup untuk membayar atau tidak. Hal ini sama seperti model bisnis pay-to-win di industri game. Game dengan model bisnis pay-to-win akan memanjakan para sultan, tapi menyulitkan para pemain yang bermain gratis atau mengeluarkan sedikit uang. Dan hal ini menimbulkan sejumlah masalah.

“Saya tidak ingin melihat dunia virtual yang membagi para penggunanya ke dua kelompok: kelompok berbayar yang mendapatkan pengalaman lebih baik dan kelompok pengguna gratis yang dieksploitasi dengan iklan,” kata Avi Bar-Zeev, pendiri badan konsultan AR dan VR, RealityPrime, dikutip dari CNN. Sebelum mendirikan RealityPrime, dia pernah bekerja di Apple, Amazon, serta Microsoft. Dia menambahkan, keberadaan metaverse juga bisa memperparah online harassment. Karena, di metaverse, seseorang bisa menggunakan avatarnya untuk “menyerang” avatar orang lain.

Masalah lain yang mungkin muncul adalah tentang keamanan dan privasi data. Semakin banyak informasi yang kita unggah ke internet, maka semakin besar pula risiko akan kebocoran data pribadi. Metaverse juga bisa memperburuk masalah misinformasi dan radikalisasi yang sudah marak karena internet saat ini. Bar-Zeev menjelaskan, jika kita bisa mengubah persepsi seseorang akan dunia nyata di dunia virtual, maka dia akan mempercayai semua yang kita katakan, tidak peduli apakah omongan kita benar atau tidak. Menurutnya, untuk mencegah hal-hal buruk terjadi di metaverse, semua pelaku yang terlibat dalam pengembangan teknologi tersebut harus bertanggung jawab.

Lightship adalah platform milik Niantic. | Sumber: VentureBeat

John Hanke, CEO dan pendiri dari Niantic menjadi salah satu orang yang memberikan peringatan akan bahaya dari metaverse. Dalam sebuah tulisan panjang, dia menjelaskan bahwa kita seharusnya menghindari konsep metaverse yang diangkat dalam novel Snow Crash. “Sebagai bagian dari masyarakat, kita harusnya berharap, keadaan di dunia nyata tidak menjadi begitu buruk sehingga kita ingin terus menerus melarikan diri ke dunia virtual,” katanya. “Kita bahkan seharunya berjuang demi memastikan masa depan itu tidak menjadi kenyataan.”

Namun, hal itu bukan berarti Niantic tidak tertarik dengan konsep metaverse.  Hanke sadar, meminta masyarakat untuk berhenti menggunakan teknologi sama sekali adalah hal yang mustahil. Pasalnya, teknologi memang memberikan banyak kemudahan dalam hidup, khususnya dalam mengakses informasi dan menjalin komunikasi dengan teman dan keluarga. Karena itu, Hanke mengatakan, dalam mengembangkan metaverse, Niantic memutuskan untuk fokus pada segmen “reality” dari “augmented reality“.

Dengan kata lain, Niantic ingin membuat metaverse yang justru mendorong para penggunanya untuk pergi keluar rumah dan menjalin hubungan dengan orang-orang dan dunia di sekitar kita. Hanke menyebut konsep metaverse Niantic sebagai “real world metaverse“. Dia berkata, “Teknologi seharusnya digunakan untuk membuat kehidupan sehari-hari manusia menjadi lebih baik dan bukannya digunakan untuk menjadi pengganti dunia nyata.”

Lebih lanjut, Hanke menjelaskan, dalam membuat real world metaverse, ada dua hal yang harus Niantic lakukan. Pertama, mensinkronkan kondisi dari ratusan juta pengguna di dunia virtual serta semua benda virtual yang berinteraksi dengan mereka. Kedua, menghubungkan semua pengguna dan benda itu ke dunia nyata, menurut laporan IGN.

Demi merealisasikan visi augmented world tersebut, Niantic akan terus mengembangkan platform Lightship mereka. Sebelum ini, platform tersebut telah digunakan untuk Pokemon Go. Platform itu memungkinkan para pengguna untuk berinteraksi dengan obyek digital di dunia nyata. Setiap pengguna akan mendapatkan pengalaman yang sama di dunia virtual. Jadi, jika seseorang membuat sebuah perusabahan di dunia digital (misalnya dengan mengambil sebuah objek), perubahan tersebut juga akan dapat dirasakan oleh semua orang yang terhubung ke dunia digital tersebut.

Pokemon Go menunjukkan bagaimana objek virtual bisa dihubungkan dengan dunia nyata.

Metaverse tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah negara. Korea Selatan adalah salah satu negara yang menunjukkan kepedulian akan perkembangan teknologi metaverse. Pada Mei 2021, Korea Selatan membuat alians metaverse yang berisi perusahaan telekomunikasi lokal, perusahaan internet Naver, serta peneliti universitas di negara tersebut. Tujuan dari aliansi itu adalah untuk mendorong perkembangan platform virtual dan augmented reality. Selain itu, mereka juga bertugas untuk membuat kode etik terkait dunia virtual.

Menurut laporan The Register, aliansi metaverse ini juga ditugaskan untuk mendefinisikan platform metaverse nasional. Platform itu harus bisa diakses oleh semua pihak yang ingin menyediakan layanan virtual. Cho Kyeongsik, Wakil Menteri Sains kedua menyebutkan, dia berharap, aliansi metaverse ini akan mencegah agar metaverse tidak menjadi lahan bisnis yang hanya dimonopoli oleh satu perusahaan besar.

Penutup

Metaverse memang diminati oleh banyak perusahaan besar. Meskipun begitu, selalu terbuka kemungkinan bahwa teknologi itu tidak tumbuh besar seperti yang diharapkan. Sebelum ini pun, metaverse pernah menjadi tren teknologi, tapi ia tak pernah terealisasi. Kabar baiknya, selain teknologi yang lebih canggih, sekarang, masyarakat sudah mulai terbuka dengan konsep untuk bersosialisasi di dunia virtual, khususnya melalui game. Sejak tahun lalu, game mulai digunakan sebagai tempat untuk berkumpul atau bahkan mengadakan kegiatan penting, seperti pesta ulang tahun atau pernikahan.

 Sumber header: PC Mag