Mengenal Istilah B2B, Begini Cara Kerja hingga Contoh Bisnisnya

Istilah B2B adalah akronim dari Business to Business. B2B merupakan salah satu dari berbagai macam model bisnis e-commerce. Selain model bisnis tersebut, terdapat beberapa model bisnis e-commerce lainnya, seperti B2C, C2B, C2C.

Sebelum membangun bisnis, penting untuk memahami model bisnis yang akan dijalani. Sehingga, strategi bisnis dapat disusun dan dijalankan dengan baik. Ada pun berikut ini penjelasan terkait pengertian, karakteristik hingga contoh usaha dari konsep B2B.

Apa Itu B2B (Business to Business)?

Business to Business adalah model bisnis di mana kegiatan atau transaksi bisnisnya terjadi antara sesama pelaku bisnis, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Model bisnis macam ini umumnya dijalankan oleh produsen, distributor, retailer, dropshipper dan pelaku bisnis sejenis.

Perusahaan B2B menyediakan atau menyuplai kebutuhan operasional perusahaan lain agar bisnisnya tetap berjalan. Perusahaan dengan model bisnis ini juga mendukung semua jenis usaha, yang menghasilkan barang atau jasa, untuk ditawarkan ke perusahaan lainnya.

Konsep dan Cara Kerja B2B

Konsep business to business ini yakni dengan berawal dari hubungan antar pelaku bisnis yang saling membutuhkan. Biasanya, masing-masing pelaku bisnis terkait, telah mengenal latar belakang perusahaan satu sama lain.

Dari jalinan hubungan antar perusahaan, terjadilah pertukaran data dan informasi, dalam sebuah transaksi B2B. Transaksi tersebut dijalani secara jangka panjang, dengan kontrak yang disepakati bersama. Sehingga akan tercipta layanan dan standar yang sama.

Ada pun cara kerjanya, antara lain sebagai berikut:

  • Terjadi permintaan sebuah perusahaan akan kebutuhan barang atau jasa dari perusahaan lain.
  • Perusahaan lain mengajukan penawaran bahan baku untuk digunakan dalam sebuah proses produksi atau operasional perusahaan peminta.
  • Adanya proses negosiasi hingga persetujuan kontrak antar kedua belah pihak.
  • Terjalin kerja sama antar perusahaan tersebut guna memenuhi kebutuhan konsumen akhir mereka.

Sebagai informasi, tak semua perusahaan B2B menargetkan produknya kepada konsumen akhir, beberapa perusahaan B2B hanya menargetkan produknya kepada perusahaan saja, tanpa menjangkau konsumen akhir secara langsung.

Karakteristik Konsep Business to Business

Lain dengan model bisnis umumnya, berikut ini beberapa karakteristik konsep business to business:

  • Transaksi B2B berlaku hingga jangka panjang untuk menjaga rantai pasokan dan kontinuitas produksi.
  • Relasi dan hubungan jangka panjang antara perusahaan B2B dengan perusahaan pembeli umumnya yang telah lama terjalin.
  • Transaksi B2B dilakukan dengan melewati prosedur yang kompleks, hingga mencapai tahap kecocokan dan kesepakatan antar perusahaan yang terlibat.

Beberapa Contoh Usaha B2B

Ada pun contoh-contoh usaha yang biasanya terlibat dalam model Business to Business ini, antara lain seperti:

  • Pemasok Bahan Baku

Suatu perusahaan B2B sebagai penyedia bahan baku akan memasok kebutuhan perusahaan lainnya. Di mana perusahaan lainnya sebagai perusahaan penyedia produk siap pakai bagi konsumen akhir. Dampak dari kegiatan ini adalah menunjang rantai pasokan pada kegiatan ekonomi.

  • Jasa Marketing

Dalam memperkenalkan produknya di mata masyarakat hingga menjangkau konsumen, perusahaan memerlukan kegiatan marketing. Bagi perusahaan yang tak memiliki sumber daya di bidang itu, bisa memanfaatkan jasa perusahaan marketing yang menyediakan beberapa layanan seperti content marketing hingga social media marketing.

  • Jasa Keuangan

Dalam menjalankan bisnis, tentu tak terlepas dari kegiatan hitung-menghitung keuangan. Perusahaan tersebut dapat memanfaatkan jasa perusahaan lain sebagai penyedia jasa keuangan, dalam mengoptimasi keuangan bisnis yang kompleks, sesuai dengan standar dan aturan yang berlaku. Misalnya, dengan jasa akuntansi, pembukuan, perpajakan, manajemen dan lainnya.

Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Tips Membangun Model Bisnis Berkelanjutan dari Tanihub

Ketika seorang founder membangun startup, pastinya ia ingin membentuk bisnis yang bertahan lama. Untuk mencapai hal itu, diperlukan model bisnis yang berkelanjutan. Namun, pada prosesnya ada banyak sekali faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian mempengaruhi. Khususnya dalam industri teknologi tanah air yang memiliki dinamika tinggi.

Dalam sesi DSLaunchpad ULTRA, Co-Founder dan CEO Tanihub Pamitra Wineka berbagi pengalamannya ketika proses awal mula pembentukan TaniHub hingga sampai pada model bisnis yang dijalankan saat ini.

Berawal dari sebuah misi sosial untuk membantu petani melariskan dagangan, TaniHub kini telah menjadi agregator untuk petani; dan kini telah terhubung dengan ribuan pengguna.

Berangkat dari pain points

Lima tahun yang lalu, sosok Pamitra yang lebih akrab dipanggil Eka ini memulai proyek sosial bersama para petani. Menurutnya, sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Ia mulai dengan membantu petani untuk bisa melariskan hasil panen. Dari situ ia menemukan beberapa pain points, yaitu kurangnya edukasi petani terkait produksi serta akses pada permodalan.

“Banyak petani Indonesia yang masih menanam tanpa memiliki perhitungan ke depan untuk hasil produksinya nanti akan di jual ke mana. Akibatnya, mereka kurang dipercaya untuk akses pinjaman modal. Saya lihat teknologi bisa membantu menyelesaikan masalah ini.” ujarnya.

Selain itu, Eka juga menyinggung soal industri agrikultur di Indonesia yang masih fragmented, ada banyak pemain kecil yang menjual hasil produksi yang serupa. Lalu muncul ide sebuah marketplace yang mempertemukan petani dengan pembeli. Dalam hal ini, tantangan datang dari beberapa sektor yang saat itu belum matang dan waktunya yang kurang tepat.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, perusahaan memutuskan untuk beralih konsep menjadi agregator, membuat pembagian, menyediakan gudang dan inventorinya. Model bisnis ini terbilang membutuhkan modal yang besar atau asset-heavy, namun Eka yakin selama bisa mencetak trafik dan revenue, maka bisnis akan terus berjalan. “Terkadang, beberapa model bisnis memang harus asset-heavy menjelang pasar semakin matang dan pengguna lebih teredukasi,” tambahnya.

Business model canvas

Dalam merencanakan model bisnis diperlukan strategi, manajemen, maupun sistem yang mempermudah orang-orang di dalamnya untuk bekerja secara efektif dan sesuai tujuan yang dimiliki perusahaan. Satu hal yang penting untuk diterapkan adalah business model canvas, sebuah konsep yang mengandalkan gambar-gambar ide sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama dan riil terhadap tipe-tipe konsumen mereka, pengeluaran biaya, cara kerja perusahaan dan sebagainya.

Sumber: Global Leadership World

Seperti yang sebelumnya disebutkan, setiap solusi yang dibuat harus bisa menyelesaikan pain points yang ada di masyarakat. Sementara demand dari pasar semakin bertumbuh, dari situ akan lebih mudah untuk menentukan strategi untuk melancarkan revenue. Maka dari itu, penting sekali untuk mulai observasi kebutuhan pasar sebelum mulai memetakan model bisnis. “Kita harus bisa menjadi painkiller instead of vitamins,” sebut Eka.

Terkait sumber revenue, ia juga menyampaikan bahwa dalam menentukan strategi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah penentuan harga, strategi mengambil komisi dari marked up harga sudah umum terjadi. Namun, jangan sampai strategi ini malah membuat produk tidak kompetitif lalu gagal. Perusahaan harus bisa membentuk satu kesatuan, sehingga disparitas harga pun bisa lebih pendek.

Tinjauan yang berkelanjutan

Belajar dari perjalanan bisnis TaniHub, model bisnis bisa berubah sewaktu-waktu atau sering disebut pivot. Selalu ada faktor eksternal bahkan internal yang mempengaruhi operasional bisnis secara keseluruhan. Eka sendiri mengakui bahwa perusahaannya punya tim khusus untuk testing model bisnis yang sudah ada secara regular.

Ada beberapa cara untuk mengetahui bahwa sebuah bisnis model masih efektif atau tidak di dalam pasar. Ketika produk diluncurkan namun tidak ada antusiasme dari pasar menjadi salah satu yang paling sering terjadi pada startup tahap awal. Maka dari itu, harus dilakukan penyesuaian. Dengan dinamika yang tinggi di dunia startup, hal ini harus bisa dilakukan dengan cepat untuk menghindari konsumsi waktu dan biaya yang tidak efisien.

Sebuah perusahaan seharusnya bukan hanya mengenai produk, melainkan bagaimana cara mengeksekusi dan melakukan kegiatan pemasaran yang berarti. Seorang founder juga harus bisa berpikir secara realistis mengenai distribusi, promosi produk, dan komunikasi.

Menentukan Business Model yang Tepat di Awal Perjalanan Startup

Memiliki ide bisnis yang tervalidasi dengan baik memang dapat menjadi bekal yang bagi suatu startup untuk menjalankan bisnisnya. Akan tetapi, ide bisnis tersebut akan menjadi sia-sia bila tidak dieksekusi dengan business model yang tepat. Business model merupakan aspek yang menjelaskan bagaimana startup dapat mengoperasikan dan menghasilkan value dan revenue pada bisnisnya.

Menyusun business model yang tepat di awal perjalanan startup bukan lah hal yang mudah.  Founder tidak hanya perlu memikirkan bagaimana solusinya sesuai dengan kebutuhan pengguna, tetapi juga harus memikirkan bagaimana solusi tersebut juga dapat menghasilkan pemasukan untuk keberlangsungan dan pengembangan bisnisnya. Demi mencapai hal tersebut, founder harus terus bereksperimen untuk menemukan komposisi business model yang tepat bagi startupnya.

Untuk itu, penyusunan business model ini menjadi topik dalam kegiatan mentoring program akselerasi DSLaunchpad 2.0 yang berkolaborasi dengan Amazon Web Services (AWS). Melalui topik ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk mempelajari pembuatan business model yang tepat bagi bisnisnya bersama Edy Sulistyo (CEO of Go-Play), Markus Liman Rahardja (VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures), dan Steve Patuwo (Business Development Manager of AWS).

Menyusun dan Memvisualisasikan Business Model Canvas (BMC)

Dalam membuat sebuah business model, kerangka umum yang cukup banyak digunakan oleh startup adalah business model canvas (BMC). Melalui kanvas ini, startup dapat menyusun, memvisualisasikan, serta menjelaskan elemen-elemen bisnis yang saling memiliki keterkaitan.

Founder dapat menggunakan BMC untuk mengembangkan ide atau membuat sebuah business model baru. Menyusun business model canvas dengan baik juga dapat memperlihatkan kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan kekurangan yang perlu diperbaiki dari sebuah bisnis. “Business model itu menunjukkan kemampuan kalian (startup) berelasi dengan customer dan juga bagaimana Anda mendatangkan revenue untuk bisnis Anda.” jelas Markus Liman Rahardja.

Ada sembilan elemen yang perlu dicantumkan dalam BMC, yaitu: Key Activities, Key Partners, Key Resources, Channels, Value Proposition, Customer Segments, Customer Relationships,  Revenue Streams, dan Cost Structure. “This structure enables you to basically set out what elements needed to operationalize your business, elemen-elemen ini yang penting untuk diperhatikan sebelum Anda mengeksekusi your startup.” ujar Steve Patuwo terkait penggunaan BMC.

business model startup
Business Model Canvas (strategyzer)

Business Model juga Harus Divalidasi

Di awal perjalanan bisnisnya, bukan hanya ide bisnis yang harus divalidasi oleh para startup, melainkan juga business model yang mereka usung. Pada awalnya, founder mungkin perlu sedikit melakukan eksperimen untuk berhasil menemukan formula yang tepat terkait ide dan business model startupnya. “Business model itu sebetulnya harus divalidasi juga, gak bisa kita asal asumsi karena just because competitor doing it, berarti artinya kita bisa doing it, belum tentu juga.” terang Edy Sulistyo.

Pada proses validasi ini, penting bagi startup untuk dapat melibatkan pengguna secara langsung. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh user ketika mereka menggunakan produk yang dimiliki.

“Bagaimana kita mau get our hands dirty, trying to understand from the customer directly, trying to understand apa yang benar-benar mereka butuhkan atau problem apa yang mereka punya instead of apa yang kita pikirkan mereka punya problem.” tambah Edy Sulistyo.

Terkait validasi ide dan model bisnis ini, Edy menjabarkan bahwa salah satu indikator yang dapat dilihat apabila problem yang disasar benar-benar ada dan dirasakan pengguna adalah adanya pengguna yang mau membayar untuk produk ataupun jasa yang disediakan oleh startup kita. “If the customer is actually willing to pay, then we know there is a real problem.” ujarnya.

Menerka Business Model yang Baik untuk Startup

Saat ditanya terkait seperti apa business model yang dikatakan baik untuk suatu startup, Steve Patuwo mengatakan bahwa apabila business model tersebut selaras dengan apa yang ingin dicapai oleh para founder melalui startupnya. “The one that is true to your heart, what you really want to solve, what you passionate about.” jelas Steve.

Menurut Edy, tidak ada sebuah business model yang benar dan salah, namun apakah business model tersebut tepat atau tidak untuk startup kita. Baginya, business model terbaik adalah yang memberikan keuntungan bagi setiap pihak yang terlibat. “There is no such thing as right or wrong business model, tapi sebetulnya yang jelas business model yang baik pastinya customer berasa happy, dari bisnis kita merasa customer willing to pay, and the same time secara market juga growing, I think that is the best Business Model, everybody win-win.” tutup Edy.

Dari sudut pandang investor, Markus menilai business model yang baik juga bisa dilihat dari profitabilitasnya. Hal ini juga bisa menjadi indikator apakah suatu startup dapat dikatakan gagal atau tidak, bukan dari apakah startup tersebut dapat menghadirkan produk atau tidak. “Buat saya startup yang fail itu bukan berarti startup yang tidak berhasil menciptakan produk, tapi startup yang tidak bisa menciptakan business model yang baik untuk mencapai profitability. Sehingga perlu dipikirkan masak-masak, sebelum kita mempersiapkan startup kita kepada customer.” ujar Markus.

Membuat business model memang hal yang menantang bagi para founder baru. Namun, bila seorang founder dapat menyusun dan menjelaskan business model yang dimiliki dengan baik, nantinya tidak hanya berguna untuk perkembangan perusahaan, tetapi juga dapat menarik hati para investor saat melihat startup Anda.

[Founders Library] Model Bisnis dan Pendapatan

Bagian yang tak kalah penting dari menjalankan bisnis startup adalah menentukan model bisnis yang tepat. Analisis peluang akan menjadi sia-sia jika tidak diikuti dengan bentuk atau model bisnis yang tepat, karena model bisnis bersinggungan langsung dengan pendapatan.

Kami merangkum beberapa artikel, video, dan podcast yang mungkin bisa menjadi referensi untuk belajar bagaimana menentukan model bisnis agar bisa mendapatkan pendapatan yang terukur.

Artikel

Video & Podcast

Kartumuu Siapkan Tampilan dan Model Bisnis Baru

Kartumuu.com sedang mempersiapkan berbagai hal baru dari layanan mereka, termasuk rencana pivot model bisnis, yang sebelumnya fokus di media sosial kini akan memfokuskan diri pada e-commerce.

Kartmuu sendiri sebelumnya adalah layanan yang memberikan fasilitas bagi pengguna mereka untuk mengirimkan kartu ucapan dalam bentuk digital. Saat ini situs dan layanan mereka sedang dalam persiapan untuk tampilan dan strategi baru jadi sedang dalam tahap maintenance.

Hadikusuma Wahab, founder dari Kartumuu yang akrab dipanggil Dhiku menjelaskan lewat email bahwa model bisnis Kartumuu nantinya akan berupa jualan kartu ucapan cetak. Dengan tagline baru ‘Delivering Feelings’, Dhiku berpendapat bahwa dengan berkembangannya media digital untuk menyampaikan pesan, maka ada saatnya orang akan kangen untuk menyampaikan perasaan dengan kartu ucapan cetak. Kartumuu ingin mengambil kesempatan ini. Mereka juga telah melakukan survei sehingga bisa mendapatkan hasil kartu cetak yang baik.

Nantinya Kartumuu akan menyediakan berbagai fasilitas di layanan mereka yang baru, seperti memilih desain/upload sendiri, custom message, sampai pengiriman kartu ke alamat yang dituju. Target pasar yang akan dituju adalah individu serta perusahaan.

Continue reading Kartumuu Siapkan Tampilan dan Model Bisnis Baru

[Guest Post] Online Game di Indonesia dan Monetisasinya

Editor : Topik hari ini adalah gaming, sebuah industri yang tidak mengenal umur dan terus ada dalam berbagai bentuk mulai dari konsol hingga social mobile gaming. Pertanyaan paling penting bagi gaming startup, bagaimana monetisasinya? Disini Didiet dari OneBit Media akan mencoba berbagi insight mengenai bisnis model gaming di Indonesia.

Ada yang menarik dengan fenomena media sosial akhir-akhir ini di Indonesia. Beberapa platform mulai mendeklarasikan dirinya sebagai platform permainan (game) online. Friendster, seperti yang ditulis dalam blog dailysocial sebuah platform media sosial yang pernah naik daun dan sangat populer di Indonesia, me-relaunch dirinya sebagai online gaming platform. Selain Friendster,mig33 yang mempunyai user puluhan juta di Asia Tenggara mulai merencanakan untuk menjual virtual goods di pasar Asia dan memindahkan kantornya ke Singapura. Bahkan Nokia pun mengadakan Game Developer War yang saya lihat cukup sukses menjaring dan mempublikasi bibit-bibit potensial game developer lokal Indonesia.

Continue reading [Guest Post] Online Game di Indonesia dan Monetisasinya

Model Bisnis Freemium Untuk Startup Lokal

Meski SparxUp Award telah lebih dari dua minggu berlalu, namun ada beberapa hal yang saya ingat, terutama dari diskusi panel pada hari pertama yang dihadiri Rama (DailySocial), Dhanny (Kaskus), Satya (Koprol) dan David (LintasBerita). Ada satu pembahasan tentang bagaimana seharusnya para startup mendapatkan pemasukan dari layanan mereka.

Ada beberapa jawaban yang muncul dan salah satu yang saya ingat adalah jawaban dari Rama. Dia menjelaskan bahwa salah satu pemasukan yang bisa dijalankan oleh para startup adalah dengan mengenakan biaya pada layanan yang diberikan, salah satu model yang bisa dijalankan adalah freemium.

Model ini sebenarnya sudah banyak diterapkan oleh berbagai startup, terutama di luar negeri. Saya kemudian mencoba mencari beberapa ide atau beberapa contoh layanan freemium yang dianggap sukses, dan saya menemukan beberapa contoh dilayanan Quora. Anda bisa mengaksesnya di tautan ini.

Continue reading Model Bisnis Freemium Untuk Startup Lokal

HootSuite Terapkan Model Bisnis Freemium

Bagi para pengguna layanan social media dashboard HootSuite, kini harus bersiap untuk melihat layanan favorit mereka menerapkan model bisnis freemium. Mulai tanggal 11 Agustus 2010 kemarin, para pengguna baru HootSuite akan diminta untuk menentukan rencana penggunaan akun HootSuite mereka, apakah akan menggunakan fasilitas gratis atau fasilitas berbayar, sedangkan untuk pengguna lama, penerapan model bisnis freemium akan dilaksanakan mulai minggu depan.

Layanan gratis HootSuite akan tetap tersedia, namun dengan fasilitas yang tidak lengkap, berbeda dengan akun berbayar. Ada dua paket utama yang ditawarkan HootSuite yaitu Enterprise Package serta Pro Plans.

Continue reading HootSuite Terapkan Model Bisnis Freemium

Skype Siapkan Model Bisnis Baru: Iklan

Setelah meluncurkan fitur panggilan video group, yang memungkinkan user untuk melakukan percakapan telepon lewat internet dengan 5 orang sekaligus, yang saat ini masih dalam versi beta, Skype dikabarkan sedang mempersiapkan model bisnis tambahan berbentuk iklan.

Continue reading Skype Siapkan Model Bisnis Baru: Iklan