Grup Ritel D2C Hypefast Kembali Berikan Pendanaan ke Pengembang Brand Lokal, Giliran NOORE Sport Hijab

Grup ritel direct-to-consumer (D2C) Hypefast kembali mengumumkan pendanaannya untuk pengembang brand lokal. Dengan nominal yang tidak disebutkan, perusahaan berinvestasi ke NOORE Sport Hijab. Startup fesyen olahraga mulsimah tersebut didirikan sejak tahun 2017 di Bandung oleh Adidharma Sudradjat.

Mengadopsi model bisnis D2C, NOORE fokus mengakomodasi penjualan melalui kanal online langsung ke konsumen. Saat ini mereka juga telah memiliki kehadiran di Malaysia, yang menjadi pasar prioritas selanjutnya setelah Indonesia.

“Sejak awal, kami telah mengagumi ambisi Hypefast untuk mendorong brand Indonesia menjadi brand regional bahkan global, dengan segala support system yang dimiliki untuk mempercepat pertumbuhan bisnis. Selain itu, kesamaan visi antara NOORE dan Hypefast menjadi pendorong yang kuat untuk kerja sama ini,” ujar Adidharma.

Selanjutnya Adidharma akan bergabung ke tim Hypefast dan terus aktif untuk mengembangkan NOORE.

Sementara itu, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri menambahkan, “NOORE adalah brand yang inovatif dan disruptif di kategori activewear, karena dirancang khusus dalam memberikan kenyamanan maksimal untuk muslimah berhijab ketika berolahraga, dengan tetap menjunjung nilai kesopanan melalui desain yang stylish dan cutting yang longgar.”

NOORE menawarkan koleksi sportwear hijab yang cukup lengkap, mulai dari hijab, atasan, celana, outerwear, hingga berbagai pilihan baju renang dan aksesoris dalam harga yang relatif terjangkau.

Akhir Desember 2020 lalu, Hypefast juga baru mengumumkan pendanaannya untuk Bonnels (brand produk kesehatan dan kecantikan) besutan Denny Santoso. Sehingga secara keseluruhan perusahaan telah berinvestasi pada 14 pengembang brand lokal dari berbagai kategori.

Bisnis Hypefast adalah mengembangkan tim, ekosistem, dan dana untuk membantu brand berkembang dan berekspansi dengan cepat. Selain modal usaha, layanan yang diberikan termasuk membantu dari sisi pemasaran, produksi, operasi, hingga pengelolaan data melalui teknologi.

Pertumbuhan sektor D2C

D2C atau new economy, mulai mewarnai industri startup di Indonesia beberapa waktu terakhir. Beberapa brand produk bermunculan, mulai dari makanan, kopi, kesehatan, kecantikan dan lain-lain. Beberapa pemodal ventura pun juga mulai melirik sektor tersebut.

Pemain besar seperti Gojek juga mulai melirik sektor tersebut. Pendekatannya sedikit berbeda, mereka memilih memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem Gojek.

Selain Hypefest, di Indonesia ada beberapa kalangan investor yang juga sudah mulai menjamah startup D2C, beberapa di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

D2C “Group Retail” Company Hypefast Pours Investment to Bonnels

Hypefast, a direct-to-consumer (D2C) group retail company, announced an undisclosed amount of investment in Bonnels, an online brand that sells natural products for mothers and children.

The participation of Bonnels adds to the Hypefast portfolios. The Founder and CEO, Achmad Alkatiri said to DailySocial that the company currently has 12 portfolios and Bonnels is their first portfolio in the health and beauty sector. Achmad ensures to double their investment in this sector.

Even though he can’t breakdown in details, Achmad said Hypefast’s business is growing a team, ecosystem, and funds to help brands develop and expand quickly. Hypefast’s target brands are those with an annual profit of more than Rp500 million and online-based for its major business.

Hypefast was founded by people with long-time experience in the industry, especially Rocket Internet alumni. Apart from Achmad, who was once Lazada Indonesia’s CMO, the company advisors are Florian Holm (former CEO of Lazada Indonesia), Ioann Fainsilber (Co-Founder of Pintek), and Jakob Rost (Co-Founder and CEO of Ayoconnect).

In his release, Bonnels’ Brand Founder Denny Santoso said, “Along with Bonnels’ journey, we need partners with strong backgrounds, experience, and resources to support my mission of bringing Bonnels to be the biggest retail brand for natural products for babies, children, and mothers in Southeast Asia. Hypefast with all its resources and ecosystem is the best choice to drive the growth of Bonnels. I am very happy to be joining the Hypefast family.”

Bonnels, apart from selling on its own e-commerce platform, also has channels in a number of leading online marketplaces.

Denny himself is not a stranger in the startup industry and has been involved in this ecosystem from the beginning. Apart from Bonnels, he also developed the Tribelio platform to make it easier for companies to build and market community-based products.

Achmad added, “Hypefast and Bonnels have the same vision and mission, namely to build an ecosystem for local Indonesian brands, therefore, they can compete not only in Indonesia but also in various other countries. I see Bonnels has enough potential and the quality of its products can compete with brands from abroad.”

The growth of the D2C sector and the new economy will decorate the Indonesian startup industry this year. Starting from coffee brands, investment in this sector also includes health, beauty, and F&B products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perusahaan “Group Retail” D2C Hypefast Berikan Investasi ke Bonnels

Hypefast, sebuah group direct-to-consumer (D2C) retail company, mengumumkan pemberian investasi ke Bonnels, sebuah brand online yang menjual produk natural untuk ibu dan anak-anak, dengan jumlah yang tidak disebutkan.

Bergabungnya Bonnels menambah portofolio yang telah dikumpulkan Hypefast. Kepada DailySocial, Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri mengatakan saat ini perusahaan telah memiliki 12 portofolio dan Bonnels adalah portofolio pertama mereka di sektor kesehatan dan kecantikan. Achmad memastikan mereka akan melipatgandakan investasi di sektor ini.

Meskipun belum bisa menjelaskan secara detail, Achmad menyebutkan bisnis Hypefast adalah mengembangkan tim, ekosistem, dan dana untuk membantu brand berkembang dan berekspansi dengan cepat. Brand yang menjadi sasaran Hypefast adalah yang memiliki keuntungan tahunan lebih dari Rp500 juta dan porsi mayoritas bisnisnya di ranah online.

Hypefast didirikan oleh orang-orang yang lama berkecimpung di industri, khususnya alumni Rocket Internet. Selain Achmad yang pernah menjadi CMO Lazada Indonesia, para penasihat perusahaan adalah Florian Holm (mantan CEO Lazada Indonesia), Ioann Fainsilber (Co-Founder Pintek), dan Jakob Rost (Co-Founder dan CEO Ayoconnect).

Dalam rilisnya, Brand Founder Bonnels Denny Santoso mengatakan, “Seiring dengan perjalanan Bonnels, kami membutuhkan partner yang memiliki latar belakang, pengalaman dan sumber daya yang kuat untuk mendukung misi saya yaitu membawa Bonnels menjadi brand retail produk natural bayi, anak-anak dan ibu terbesar di Asia Tenggara. Hypefast dengan seluruh sumber daya dan ekosistem yang dimilikinya merupakan pilihan paling tepat untuk mendorong pertumbuhan Bonnels. Saya senang sekali bisa bergabung ke dalam keluarga besar Hypefast.”

Bonnels, selain berjualan di platform e-commerce-nya sendiri, juga memiliki gerai di sejumlah online marketplace terkemuka.

Denny sendiri tak asing di industri startup dan telah mewarnai ekosistem ini sejak awal. Selain Bonnels, ia juga mengembangkan platform Tribelio untuk memudahkan perusahaan membangun dan memasarkan produk berbasis komunitas.

Achmad menambahkan, “Hypefast dan Bonnels memiliki visi dan misi yang sama, yaitu membangun ekosistem brand lokal Indonesia, hingga dapat bersaing tidak hanya di Indonesia tapi juga di berbagai negara lainnya. Saya
melihat Bonnels memiliki potensi yang cukup besar serta kualitas dari produk yang dimiliki sudah dapat bersaing dengan brand dari luar negeri.”

Pertumbuhan sektor D2C dan new economy mewarnai industri startup Indonesia tahun ini. Dimulai dari brand kopi, investasi di sektor ini juga merambah produk kesehatan, kecantikan, dan F&B.

Mad For Makeup Melawan Industri Kecantikan Konvensional dengan “Co-creating” Produk Terjangkau

Pemberdayaan aspek digital dalam menjalankan bisnis atau lebih dikenal dengan istilah new economy telah banyak diadopsi oleh pelaku bisnis baru di  Indonesia. Jenis yang digeluti biasanya adalah bisnis yang sebelumnya mengandalkan rantai pemasaran konvensional.

Mad For Makeup (Mad) merupakan salah satu pemain di new economy. Startup berbasis di Jakarta ini memproduksi produk kecantikan dan perawatan diri dengan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC). Mad memanfaatkan pemasaran dengan platform digital untuk menjangkau langsung konsumennya.

Mad adalah satu dari sekian pelaku usaha rintisan di bidang kecantikan yang mengembangkan dan mendistribusikan sendiri produk-produknya. Tentu ini menjadi model bisnis baru jika dibandingkan dengan industri kecantikan tradisional yang lazimnya memiliki rantai distribusi yang tersebar.

Jika bicara potensinya, model bisnis DTC di bidang ini sangat besar. Pasalnya, berdasarkan laporan Euromonitor, pasar kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $8,46 miliar di 2022. Di samping itu, rata-rata total belanja produk kecantikan konsumen Indonesia masih berkisar $20 per kapita.

Bagaimana perjalanan Mad For Makeup dalam mencapai posisinya sekarang? Simak wawancara DailySocial dengan sang Founder Shirley Oslan berikut ini.

Mencapai “good market-fit” dengan modal minim

Mad for Makeup memulai debut di industri kecantikan dan perawatan diri sejak 2017. Dengan posisinya saat ini yang digandrungi anak muda, pencapaiannya sekarang tersebut tentu bukan tanpa proses.

Diceritakan Shirley, ide untuk melahirkan Mad muncul ketika dia tengah berkunjung ke salah satu gerai milik brand perawatan diri asal Perancis yang memiliki jaringan operasional besar di Indonesia.

Saat itu ia mendapati bahwa harga jual beauty blender mencapai Rp300 ribu per buah. Ia menilai harga tersebut tidak masuk akal mengingat berdasarkan riset yang ia lakukan, material polimer sebetulnya tidak semahal itu. Setelah diinvestigasi lebih lanjut, ia menemukan brand tersebut menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat dari harga asli.

“Kalau melihat dari jargon mereka ‘beauty for all‘, rasanya itu tidak tepat karena harga produk tidak merefleksikan kampanye tersebut. So, we got mad and rebelled against the nonsense di industri ini,” ujar Shirley.

Berangkat dari situasi ini, Mad mencoba mengembangkan produk kecantikan di segmen high-end dengan harga yang lebih terjangkau dan berkualitas untuk konsumen di rentang usia 18-24 tahun. Rata-rata produk Mad dipasarkan dengan harga tak sampai Rp100 ribu, seperti beauty blender, lipstik, essence, hingga pelentik bulu mata.

Beberapa produk di katalog Mad for Makeup
Beberapa produk di katalog Mad for Makeup

Berbekal strategi dan penjualan online ini, Mad yang konsisten hadir dengan jargon #RebelBeauty tersebut mengaku telah berhasil menjual sebanyak 26.000 produk di tahun pertamanya berdiri.

Mencuri perhatian sejumlah VC

We started with Rp800.000 and had a good market-fit. As for capital requirements, that depends on the strategy you use. Certain markets need extensive resources and capital,” ujarnya.

Pengembangan produk kecantikan umumnya membutuhkan proses yang lama. Mad For Makeup membutuhkan waktu selama delapan bulan mulai dari proses ideation hingga ready to sale.

Secara business nature, Shirley mengaku tidak memiliki masalah pada permodalan. Pemasaran produk Mad sepenuhnya dilakukan di platform digital (kecuali Sociolla yang juga punya toko fisik). Selain itu, Mad juga memiliki tim internal untuk R&D dan inhouse creative studio. Hanya proses manufaktur saja yang diserahkan kepada pihak ketiga.

Bagi Shirley, sejak awal pihaknya tidak berupaya mencari pendanaan eksternal. Menurutnya, kebutuhan modal lebih bergantung pada strategi yang digunakan. Kecuali jika membidik pasar spesifik, tentu modal dan sumber daya yang dibutuhkan akan lebih banyak.

Malahan, dengan pertumbuhan tahun ini, jebolan program Gojek Xcelerate ini mengaku telah didekati oleh sejumlah investor, seperti Sequioa Capital, Kolibra Capital, hingga Tokopedia.

Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan eksternal tahun depan. “Sebetulnya kami lebih memilih membawa VC sebagai advisor untuk mempersiapkan skala lebih besar, meski dengan equity nol,” tambahnya.

Pengembangan inovasi dan utilisasi data

Mengenai pengembangan inovasi, Shirley mengaku sempat terpikirkan oleh beberapa konsep yang dapat diadopsi untuk pengembangan produknya, seperti skin analysis atau teknologi yang dapat membantu konsumen melakukan decision making berbasis digital.

“Secara umum, beautytech itu menarik, but still remains very much a phsyical world product. Pengembangan [teknologi] lebih cepat mungkin bisa terjadi pada bagian funneling of the sales process. Akan tetapi, slow improvement are still in the true R&D of the product with tech,” jelasnya.

Menurutnya, strategi yang paling penting saat ini adalah mengutilisasi data untuk memahami konsumen lebih baik. Menurut data perusahaan, rata-rata konsumen Mad For Makeup memiliki average order value (AOV) sekitar Rp135ribu dengan produk terlaris Poreless, Dew, dan Kok Lentik Curler. Konsumennya didominasi oleh early adopter dan early majority consumer.

Di samping itu, tambahnya, fokus utama Mad saat ini adalah mengupayakan ketersediaan stok produk. Distribusi dan touch point fisik melalui Sociolla dirasa sudah cukup untuk yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar.

“Industri kecantikan memungkinkan kami untuk memiliki margin yang lebih baik dibandingkan bisnis kebanyakan, terutama dengan model DTC agresif yang kami lakukan). Jadi sebenarnya tidak terlalu menarik jika VC hanya membawa modal. Apalagi setelah mengikuti program Gojek Xcelerate, kami sadar ada banyak sekali data yang belum kami utilisasi,” ungkapnya.

Memulihkan kembali bisnis di 2021

Ada tiga hal jika bicara target bisnis selama masa pandemi di 2021. Pertama, saat ini berbagai macam aspek sedang berada dalam situasi sulit. Maka itu, Shirley mengaku optimistis untuk untuk memulihkan kembali bisnis di 2021 ke 2022.

Untuk itu, tambah Shirley, pihaknya akan tetap konsisten untuk melakukan strategi co-creating dengan konsumen. Dengan strategi, ia meyakini produknya dapat tetap relevan dan memiliki posisi kuat di masa depan.

Shirley enggan menyebutkan strategi dan proyeksinya di 2021. Ia menyadari masih ada gap besar di pasar antara kebutuhan perawatan yang tidak bertemu dengan harga terjangkau.

“Ini menjadi tahun ketiga Mad for Makeup dan kami sudah memperoleh pencapaian lebih dari ditargetkan, yakni pertumbuhan tahunan hingga 40 persen. Jadi, saat ini pihaknya optimistis ada banyak hal yang dapat dilakukan di 2021,” katanya.

Segera Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A, Rata Fokuskan Ekspansi Domestik

Sebagai satu dari sedikit pemain teledentistry di Indonesia, Rata kian serius untuk meraih pasar yang lebih luas. Keinginan tersebut semakin terlihat seiring putaran pendanaan pra-seri A yang tak lama lagi mereka kantongi sebagai bekal pengembangan bisnis.

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata. Teknologi Rata memungkinkan aligner mereka menggerakkan gigi hingga 0,25mm di setiap nomor. Sebelum mengirim aligner, tim Rata akan meminta pasien mengisi kuesioner untuk mengetahui kondisi gigi pasien. Setelah memperoleh data, Rata akan membuat simulasi pergerakan gigi menggunakan sistem AI, dan akhirnya mencetak clear aligner yang akan dikirim ke pasien.

Rata mengklaim, selain faktor biaya, penggunaan aligner untuk memperbaiki bentuk gigi dianggap lebih praktis dalam perawatan dan lebih nyaman secara penampilan dibanding behel.

Co-Founder & CMO Rata Deviana Maria menyebut, pangsa pasar untuk clear aligner di seluruh Asia Tenggara mencapai $47,78 juta (sekitar Rp676 miliar) pada 2018 dan diprediksi akan terus meningkat. Deviana menilai porsi Indonesia dalam pangsa pasar tersebut masih begitu kecil. Namun Deviana sadar keadaan tersebut sekaligus menandakan ada ruang kesempatan yang cukup besar untuk mereka eksplorasi.

Keinginan Rata dituangkan ke dalam ekspansi bisnis ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Deviana menyebut ekspansi pasar di dalam negeri ini menjadi fokus mereka dalam satu tahun ke depan. “Kita akan melakukan ekspansi secara digital serta offline, dan Rata akan fokus di nasional terlebih dahulu pada tahun 2021,” imbuh Deviana.

Segera amankan suntikan modal baru

Rata memperoleh pendanaan awal dengan nominal tak disebutkan pada Agustus 2019. Hanya berselang setahun lebih Deviana Maria (CMO), Edward Makmur (CEO), Danny Limanto (CSO), Jason Wahono (CFO) segera mengamankan kepercayaan investor untuk menyuntikkan modal melalui putaran pendanaan pra-seri A. Rata menolak menyebut nominal pendanaan dan informasi detail lainnya. Namun bisa dipastikan di antara partisipan terdapat sejumlah investor regional.

“Terkait investasi pra-Seri A, kita masih belum bisa umumkan nama-nama investornya. Akan tetapi Alpha JWC Ventures ikut di putaran ini dan bekerja sama dengan investor regional. Untuk detail akan kami infokan nantinya,” jelas Deviana.

Pendanaan tersebut memungkinkan Rata mengebut dan memperbesar cakupan bisnisnya ke level nasional. Di samping itu mereka juga akan memanfaatkan dana segar tadi untuk mengembangkan inovasi terbaru.

Salah satunya adalah aplikasi mobile. Rata yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui situs web, kini sudah bisa dijangkau dengan aplikasi. Namun Deviana menambahkan aplikasi Rata belum bisa diakses terbuka ke semua orang. “Sifatnya masih undangan untuk para konsumen kami.”

Deviana percaya pendanaan baru yang segera mereka kantongi akan mendorong pertumbuhan bisnis lebih cepat. Mengklaim sebagai yang pertama menciptakan clear aligner secara in-house, Deviana mengatakan inovasi-inovasi mereka berikutnya akan berkutat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lebih dari itu, masa pandemi juga membawa berkah tersendiri bagi teledentistry ini. Sebagaimana diketahui luas, wabah Covid-19 memaksa orang-orang mencoba layanan digital untuk menghindari kemungkinan terpapar virus. Tak terkecuali bagi Rata. Deviana mengatakan layanan konsultasi teledentistry meningkat signifikan.

Lalu saat disinggung mengenai peta kompetisi di mana mulai bermunculan layanan teledentistry serupa, Deviana mengaku tak gentar. Menurutnya apa yang ditawarkan oleh pemain-pemain tersebut masih sebatas teledentistry secara umum saja.

“Rata fokus untuk aligner treatment. Diharapkan ke depannya Indonesia akan lebih melek terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk persaingan, kami rasa model bisnis kami cukup berbeda,” pungkas Deviana.

Brodo Bags Series A Funding from Sembrani Nusantara Venture Fund and GDP Venture

BRI Ventures, through its latest managing fund, Sembrani Nusantara, announced its participation in the Series A round of local shoe startup brand, Brodo. Gdp Venture is also joined as an investor in this round. The value remains undisclosed.

Previously, Brodo has received seed funding from 500 Startups, Cento Ventures, Chris Angkasa, and Inovasi Partners. Was founded in 2010 by Yukka Harlanda and Putera Dwi Karunia, Brodo has achieved product-market fit through hundreds of products launched. Sales are supported online and offline, utilizing digital channels for various promotional activities.

This additional funding will be used to expand its business. In addition, it’s to increase the digital marketing platform, called Boleh Dicoba Digital (BDD). This platform currently becomes a “cloud marketing” service that has been used by some local brands such as Eiger, CottonInk, Kick Avenue, Rata.id, etc.

“Looking for a partner with aligning vision and mission is not easy […] we hope this (investment) can become a momentum for the revival of the local SME brands, especially in this quite challenging moment, because we always believe that there will be an opportunity behind any crisis,” Brodo’s Co-Founder & CEO, Yukka said.

He also said that in addition to strengthen its marketing tools, Brodo will invest in product innovation and supply chains in the shoe industry which is supported by SMEs.

Meanwhile, BVI’s CEO Nicko Widjaja said, “Brodo’s understanding of the segments they serve and their ambition to support other SMEs in advancing together through the utilization of the BDD digital platform is something that we really appreciate […] I myself see it as the most important component in Brodo’s future business, such as AWS, which has become a cloud computing platform for startups who are also part of Amazon.”

Investment to the new economy

The Sembrani Nusantara Venture Fund has previously anchored a local beverage brand Haus!. Through the series A round, the startup received an investment of 30 billion Rupiah. Indeed, this is quite good news for non-digital startups in Indonesia; because venture capitalists began to allocate special funds to invest in this segment.

We define the new economy as a startup with non-technology or non-digital products. They are potential businesses for millions of SMEs throughout Indonesia. By strengthening resources, they are projected to achieve exponential growth, along with the help of a technological approach – for example for the operational, marketing, and expansion.

For BVI, one of its missions is to strengthen the BRI’s SME ecosystem as the largest microfinance institution in the world (established and assisted the most SMEs). Their hypothesis is well-known as the EARTH (Education, Agriculture, Retail, Transportation, Healthcare). Haus! and Brodo are included in the retail category.

On DailySocial’s observation, other local venture capitalists have also started allocating funds for non-digital startups. Some of them are East Ventures, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Taja Ventures, Salt Ventures, etc.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Disclosure: DailySocial.id juga merupakan portfolio GDP Venture

Brodo Dapatkan Pendanaan Seri A dari Dana Ventura Sembrani Nusantara dan GDP Venture

BRI Ventures (BVI) melalui dana kelolaan terbarunya Sembrani Nusantara mengumumkan telah terlibat dalam pendanaan seri A kepada startup pengembang produk sepatu lokal Brodo. Dalam putaran ini, GDP Venture turut terlibat menjadi investor. Tidak disebutkan besaran nilai yang diberikan.

Sebelumnya di tahap awal, Brodo mendapatkan investasi dari  500 Startups, Cento Ventures, Chris Angkasa, dan Inovasi Partners. Sejak didirikan tahun 2010 oleh Yukka Harlanda dan Putera Dwi Karunia, merek Brodo telah mendapatkan product-market fit melalui ratusan produk yang diluncurkan. Penjualannya pun ditopang secara online dan offline, memanfaatkan kanal digital untuk berbagai kegiatan promosi.

Modal tambahan ini akan dimanfaatkan Brodo untuk melakukan perluasan bisnis. Salah satunya meningkatkan platform pemasaran digital yang telah dikembangkan, bernama Boleh Dicoba Digital (BDD). Seperti diketahui, platform tersebut kini telah menjadi layanan “cloud marketing” yang sudah dimanfaatkan beberapa brand lokal seperti Eiger, CottonInk, Kick Avenue, Rata.id, dll.

“Mencari partner yang satu visi dan misi tidaklah mudah […] kami berharap (investasi) ini bisa menjadi momentum kebangkitan untuk brand UMKM lokal, terutama di momen penuh tantangan seperti sekarang, karena kami selalu dan harus percaya bahwa di balik krisis akan ada kesempatan,” ujar Yukka selaku Co-Founder & CEO Brodo.

Ia turut mengatakan, selain mempertajam alat pemasaran yang dimiliki, Brodo akan berinvestasi pada inovasi produk dan rantai pasok di industri sepatu yang ditopang oleh para pelaku UKM.

Sementara itu CEO BVI Nicko Widjaja menyampaikan, “Pemahaman Brodo akan segmen yang mereka layani serta ambisi mereka untuk mendukung UMKM lainnya naik kelas bersama lewat utilisasi platform digital BDD menjadi sesuatu yang kami sangat apresiasi […] Saya sendiri melihatnya sebagai komponen yang terpenting dalam bisnis Brodo ke depannya, seperti AWS yang telah menjadi cloud computing platform untuk para startup yang juga merupakan bagian dari Amazon.”

Berinvestasi pada new economy

Dana Ventura Sembrani Nusantara sebelumnya telah berlabuh ke brand minuman lokal Haus!. Melalui putaran seri A, startup tersebut mendapat kucuran investasi senilai 30 miliar Rupiah. Tentu kabar ini menjadi angin segar bagi startup nondigital di Indonesia; pasalnya pemodal ventura mulai mengalokasikan dana khusus untuk berinvestasi di segmen tersebut.

New economy sendiri kami definisikan sebagai usaha rintisan dengan produk nonteknologi atau nondigital. Mereka adalah bisnis potensial dari jutaan pelaku UMKM yang tersebar di Indonesia. Dengan penguatan sumber daya, diyakini mereka bisa mencapai pertumbuhan eksponensial, tak terkecuali dengan dibantu pendekatan teknologi – misalnya dari sisi operasional, pemasaran, hingga ekspansi.

Bagi BVI, salah satu misinya adalah menguatkan ekosistem UMKM BRI selaku institusi keuangan mikro terbesar di dunia (paling banyak menjalin dan membantu kalangan UMKM). Hipotesis mereka disebut dengan EARTH (Education, Agriculture, Retail, Transportation, Healthcare). Adapun Haus! dan Brodo masuk ke dalam kategori ritel.

Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Taja Ventures, Salt Ventures dll.

Disclosure: DailySocial.id juga merupakan portofolio GDP Venture

Beverage Brand “Haus!” Becomes Sembrani Nusantara’s First Portfolio, Secured 30 Billion Rupiah Funding

BRI Ventures (BVI) through the Sembrani Nusantara Venture Fund invests for the first time in non-fintech startups. It’s also not a technology service developer startup, but a new economy. It is the local beverage brand developer Haus! in the Series A funding round. The nominal has reached 30 billion Rupiah, as well as being Sembrani’s debut investment to startups.

It is said that BVI is completing several other investments through the new managed fund, which will be announced soon. As previously stated, Sembrani Nusantara‘s goal is to find and foster local startups in order to foster a sustainable SME ecosystem.

Since it was founded in 2018 by Gufron Syarif, currently Thirsty! already has 113 branch outlets in the Jabodetabek and Bandung areas. The market segmentation is Gen-Z and millennial, offering a variety of drinks and bread at relatively affordable prices, starting from IDR 5,000.

“With the Series A funding, we support SMEs to move up their game for greater scalability and carry out their expansion outside Jabodetabek. The B2C segment for this category is still very wide and we hope to open up collaboration spaces with an integrated ecosystem,” BVI’s CEO Nicko Widjaja said.

Meanwhile, Haus! CEO, Gufron Syarif said that his current focus is on bringing the business into a wider segment of society, while still promoting affordable products with good quality.

“We have a different strategy from the high-end brands on the market today. We believe that selling beverage and food products at affordable prices can attract more consumers in Indonesia. From the customer experience aspect, we design it in such a way that our outlet can provide convenience for all groups of society,” Gufron added.

The fresh beverage business, which targets a similar segment, is on the rise. Some local venture capitalists (who are used to investing in digital startups) are also starting to get there. Also Alpha JWC Ventures with Goola, Hangry, and Kopi Kenangan; then there is also East Ventures which builds and invests in Fore Coffee.

Covid-19 has definitely had an impact on the F&B industry, but at the same time tests the business mentality of its founders. Some who choose to continue to accelerate their business, carry out the transformation to take advantage of the existing range of services. For example, what Haus! did, when there were social restrictions in the city, they optimized the use of ride-hailing services such as GoFood or GrabFood.

It has not been announced whether after this funding Haus! will also focus on developing digital lines to improve various aspects of the business – just like what several other startups have done. It’s just certain, if the existing players tend to play in the upper-middle segment, Haus! is stil exploring the broader mid-market segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengembang Brand Minuman “Haus!” Jadi Portofolio Pertama Sembrani Nusantara, Bukukan Dana 30 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) melalui Dana Ventura Sembrani Nusantara untuk pertama kalinya berinvestasi ke startup di luar fintech. Bukan juga startup pengembang layanan teknologi, melainkan new economy. Yakni kepada pengembang brand minuman lokal Haus!, dalam putaran pendanaan seri A. Dana yang diberikan mencapai 30 miliar Rupiah, sekaligus menjadi debut kucuran dana Sembrani ke startup.

Turut disampaikan, BVI tengah merampungkan beberapa investasi lainnya lewat dana kelolaan baru tersebut, akan diumumkan dalam waktu dekat. Seperti disampaikan sebelumnya, tujuan Sembrani Nusantara untuk menemukan dan membina startup lokal dalam rangka menumbuhkan ekosistem UMKM yang berkelanjutan.

Sejak didirikan tahun 2018 oleh Gufron Syarif, saat ini Haus! sudah memiliki 113 cabang outlet di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Segmentasi pasarnya adalah Gen-Z dan milenial, menawarkan aneka minuman dan roti dengan harga yang relatif terjangkau, mulai dari Rp5000,-.

“Dengan pendanaan seri A ini, kami mendukung UMKM naik kelas untuk skalabilitas yang lebih besar dan melaksanakan ekspansinya ke luar Jabodetabek Segmen B2C untuk kategori ini masih sangat luas dan kami berharap untuk membuka ruang kolaborasi dengan ekosistem yang terpadu,” sambut CEO BVI Nicko Widjaja.

Sementara itu CEO Haus! Gufron Syarif mengatakan bahwa fokusnya saat ini membawa bisnis masuk ke segmen masyarakat yang lebih luas, dengan tetap mengedepankan produk berharga terjangkau dengan kualitas yang baik.

“Kami memiliki strategi berbeda dengan brand high end yang ada di pasaran sekarang. Kami percaya bahwa menjual produk minuman dan makanan dengan harga yang terjangkau dapat menarik lebih banyak konsumen di Indonesia. Dari aspek customer experience pun kami desain sedemikian rupa sehingga kunjungan ke outlet kami menjadi nyaman bagi segala golongan masyarakat,” imbuh Gufron.

Bisnis minuman segar yang menyasar segmen serupa memang tengah naik daun. Beberapa pemodal ventura lokal (yang biasa berinvestasi pada startup digital) juga mulai masuk ke sana. Sebut saja Alpha JWC Ventures dengan Goola, Hangry, dan Kopi Kenangan; lalu ada juga East Ventures yang berinvestasi dan membina Fore Coffee.

Covid-19 nyata-nyata memberikan dampak bagi industri F&B, namun sekaligus menguji mentalitas bisnis para founder-nya. Beberapa yang memilih terus mengakselerasi bisnis, lakukan transformasi memanfaatkan ragam layanan yang ada. Misalnya yang juga dilakukan Haus!, saat ada pembatasan sosial di kota, mereka mengoptimalkan menggunakan layanan pesan-antar dari ride-hailing seperti GoFood atau GrabFood.

Belum disampaikan apakah setelah pendanaan ini Haus! juga akan fokus mengembangkan lini digital untuk peningkatan berbagai aspek bisnis – layaknya yang dilakukan beberapa startup lain di atas. Hanya saja dipastikan, jika pemain yang ada tersebut cenderung main ke segmen menengah ke atas, Haus! masih akan mengeksplorasi segmen pasar menengah secara lebih luas.

Alpha JWC to Invest 29 Billion Rupiah into Culinary Startup “Mangkokku”

 

Culinary startup Mangkokku announced its seed funding worth of $2 million (nearly 29 billion Rupiah) from Alpha JWC Ventures. The fresh funds will be used for outlet expansion until next year.

For the record, Alpha JWC also invested in another culinary startup by Gibran, Goola, last year. In addition, other culinary startups that have listed in Alpha JWC’s portfolio are Kopi Kenangan, Hangry, and Lemonilo.

Mangkokku was founded last year by celebrity chef Arnold Poernomo, culinary entrepreneur Randy Kartadinata, and two children of the President of the Republic of Indonesia, Gibran Rakabuming and Kaesang Pangarep. Gibran and Kaesang serve as advisors for the day-to-day operations of the company.

Meanwhile, Arnold heads up culinary production and innovation, and Randy acts as CEO responsible for Mangkokku’s daily business and expansion. Before pioneering Mangkokku, the four founders had established at least 12 culinary companies in Indonesia and Australia, including Gioi, KOI Dessert Bart Sydney, and Markobar martabak outlets.

Mangkokku offers dishes in the form of a rice bowl or rice with side dishes served in a bowl with the taste of typical Indonesian food. There are 12 menus that are sold with prices ranging from Rp19 thousand to Rp54 thousand per portion.

Para founder Mangkokku / Mangkokku
Mangkokku Founders / Mangkokku

In an official statement, Arnold Poernomo said that his team adopted a global business perspective. He believes that to grow rapidly and sustainably, you must provide superior products at affordable prices and maintain the standard of every bowl served.

“Therefore, we operate all branches ourselves and use high-tech equipment in the main kitchen to maintain product quality and consistency,” he explained, Monday (23/11).

Randy Kartadinata added that during the pandemic, the company managed to adapt quickly to respond to changes in consumer demand, which are now moving higher. It is claimed, each Mangkokku branch can sell 400 to 600 bowls every day.

“Our big dream is to become the largest mass-market culinary group in Indonesia and build its own ecosystem consisting of various culinary brands and institutions. Not only that, we also want to be the best culinary company in terms of local and regional expansion and technical operations. That’s why we took this startup route and collaborated with Alpha JWC Ventures,” Randy continued.

Currently, Mangkokku has 22 branches in Jabodetabek and will expand to Surabaya in the near future. The company will add up to 30 store locations by the end of this year and 75 branches next year.

Also, next year they will start developing food menus outside the rice bowl concept, starting from drinks, desserts, and packaged chili sauce series. Thus, Mangkokku’s ambition as a complete culinary solution can be realized.

Alpha JWC Ventures partner Eko Kurniadi said that his team sees the culinary business as a sector that can benefit from venture funding and the use of technology. Mangkokku has performed brilliantly even during the pandemic.

“This proves that their products have been well received by the community. Our financial and business support as well as our previous experience will help Mangkokku develop into a large company faster,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian