Membuka Seluruh Potensi Fintech di Indonesia dengan Mencontoh Negara Sahabat

Tiongkok dan India adalah dua negara yang sering disandingkan dengan Indonesia ketika membahas perkembangan teknologi dan digital. Pasalnya ada beberapa kesamaan yang dimiliki, terutama dari segi populasi penduduknya.

Sebenarnya Indonesia sedang mengalami fase yang sebelumnya sudah dilalui oleh kedua negara tersebut bertahun-tahun lalu. Sehingga langkah apa saja yang sebelumnya mereka lakukan dapat menjadi acuan bagi Indonesia.

Dari hasil konferensi IFFC 2016, pada dasarnya ada lima karakteristik pasar Indonesia yang menawarkan peluang bagi perusahaan fintech. Mulai dari kondisi ekonomi yang mendukung, pasar besar sementara penetrasi keuangan masih rendah, konsumen yang antusias terhadap teknologi, startup yang inovatif dan profitabilitas industri yang menarik.

Bersamaan dengan peluang tersebut, menyimpan sejumlah tantangan yang harus Indonesia hadapi. Untuk lebih lengkapnya dapat diunduh di link ini.

Salah satu tantangannya adalah mendorong know your customer (KYC) digital. Proses KYC secara face-to-face sebenarnya jadi penghambat potensi solusi keuangan digital dan kini belum ada tools yang mampu mengatasinya, mengingat KYC digital memiliki risiko tersendiri.

Dalam mengatasi hal ini, mungkin Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Inggris. Mereka menetapkan bahwa lembaga keuangan bisa saling menggunakan data satu sama lainnya antara kelompok bisnis. Jadinya, nasabah yang sudah memiliki rekening di suatu bank dapat membuka rekening di bank lain tanpa proses KYC tatap muka.

Nasabah hanya diminta lakukan transfer dana sebesar US $1 dari rekening bank yang telah dimiliki untuk validasi dan menyatakan bahwa proses KYC telah dilakukan untuk pembukaan rekening baru atas nama nasabah yang sama.

India menghadirkan Aadhaar, sebuah infrastruktur ID digital pertama di dunia. Aadhaar menyediakan ID secara daring melalui PIN khusus. Proses otentikasi untuk transaksi keuangan dilakukan melalu berbagai cara (biometrik, demografis, dan one time password dari ponsel atau email yang telah terdaftar), disimpan di cloud, dapat dilakukan di mana pun di India.

Semua permintaannya akan disampaikan ke Central Identities Data Repository yang bertindak sebagai sumber tunggal kebenaran verifikasi. Aadhaar terbukti dapat membantu pelanggan mengunjungi toko kelontong di pedesaan dan menarik tunai dari rekening bank yang terhubung jaringan Aadhaar, atau mengunjungi Public Distribution Outlet (PDO) untuk memperoleh beras/gandum bersubsidi dari akun pangan yang terhubung dengan Aadhaar.

Tantangan berikutnya, mendorong eksperimen lewat regulatory sandbox. Sebenarnya di Indonesia, sudah ada regulatory sandbox yang dihadirkan dalam Bank Indonesia Fintech Office saat peluncurannya beberapa waktu lalu. Konsepnya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) saat membentuk regulatory sandbox.

MAS menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi fintech. Namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik, mematuhi kerangka regulasi yang ada.

Sejak diluncurkan di Juni 2016, wadah ini mendorong lembaga keuangan serta non keuangan untuk bereksperimen dengan solusi fintech. Ini memungkinkan perusahaan menawarkan produk kepada kelompok pelanggan spesifik selama periode tertentu, selama masih mengikuti batasan persyaratan yang ditetapkan MAS.

Setelah masa sandbox berakhir, perusahaan dapat menawarkan produk lebih luas jika MAS dan perusahaan puas dengan hasil pengujian yang diperoleh serta dapat memenuhi persyaratan hukum dan regulasi terkait.

Mungkin India adalah contoh ideal untuk fintech Indonesia

Bank Sentral India (Reserve Bank of India) melakukan banyak hal inovatif untuk mendukung pengembangan fintech di negaranya, dengan membentuk platform infrastruktur yang memadai untuk pembayaran efisien dan lintas operasional.

Mereka mendirikan Immediate Payment Service (IMPS) untuk menawarkan sistem transfer dana elektronik antar bank secara real-time 24/7. Kemudian, meluncurkan United Payments Interface (UPI). Yakni rancangan umum dan interface aplikasi standar untuk memfasilitasi transfer dana antar bank tanpa perlu meminta nomor rekening atau kode bank.

Semua pengguna Android yang memiliki rekening pada bank mitra UPI dapat mengunduh apliksi UPI untuk melakukan transaksi e-commerce secara person-to-person menggunakan alamat virtual seperti (nama)@bankname. UPI dibangun terpisah dari IMPS.

Bank Sentral juga meluncurkan Aadhaar Payment Bridg, untuk membantu kelancaran transfer pembayaran dana kesejahteraan kepada warga yang berhak menerima. Nasabah tidak perlu membuka rekening di bank berbeda untuk memperoleh subsidi dan tunjangan tersebut; mereka hanya perlu membuka satu rekening dan dihubungkkan ke nomor Aadhaar.

Pencairan dana subsidi akan secara otomatis dikirimkan ke rekening bank tanpa perlu menginformasikan detil rekening bank nasabah ke pemerintah.

Tak hanya itu, Bank Sentral menginisiasikan peluncuran Payment Bank di 2014. Payment Bank adalah kategori bank model baru dengan persyaratan KYC yang lebih longgar. Pembukaan rekening dapat dilakukan dengan satu dokumen saja yang membuktikan alamat nasabah. Dokumen ini bersifat permanen maupun lokal, yang dapat diverifikasi melalui surat registrasi/lewat telepon.

Hanya saja rekening tersebut dipersyaratkan memiliki maksimal setoran dan saldo tidak lebih dari US $1,500 sepanjang waktu. Penawaran pinjaman dan kartu kredit tidak berlaku untuk rekening tersebut, namun dapat menawarkan produk dan layanan seperti kartu ATM, debit, online, dan mobile banking.

Upaya Bank Sentral India harus diapresiasi. Sebab pada dasarnya, di seluruh dunia regulator memegang peranan lebih aktif dalam mendorong inovasi fintech dengan mengupayakan pencapaian keseimbangan tepat atas regulasi yang “terlalu rendah” vs “terlalu tinggi”.

Bagaimana regulator dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendorong para pemain baru, sekaligus terus berupaya menyeimbangkan risiko yang terikat pada inovasi-inovasi tersebut.

OJK: Batas Modal Minimum Layanan Fintech Peer-to-Peer Bakal Tertinggi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menetapkan besaran modal minimum untuk pemain fintech bakal disesuaikan dengan bisnis yang dijalankan. Regulator menilai fintech yang bermain di bisnis peer-to-peer lending akan tertinggi batas modal minimumnya dibandingkan bisnis fintech lainnya.

Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, mengatakan dalam rapat dengar pendapat yang diadakan regulator seminggu yang lalu, pihaknya menerima banyak masukan dari pelaku usaha. Pada intinya, mereka meminta OJK agar tidak membuat aturan jadi terlalu keras dan rigid agar ruang gerak fintech tidak terbentur.

Mereka, sambungnya, juga meminta agar modal minimal agar tidak terlalu besar, dibedakan sesuai jenis usahanya. Terkait hal ini, Firdaus menuturkan regulator akan memberikan waktu kepada pelaku untuk memenuhi secara bertahap dalam kurun waktu tertentu. Namun dengan syarat sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu harus melapor pengajuan izin ke OJK.

“Dari semua masukan akan kami pertimbangkan, namun yang pasti aturan permodalan akan diatur sesuai jenis bisnisnya. Kepastian besarannya belum ditentukan, masih meminta tanggapan dari para pelaku. Yang pasti mereka minta syarat modal untuk P2P bakal jadi terbesar dari bisnis lainnya,” ujarnya, Rabu (9/11).

[Baca juga: Menilik Lima Poin “Policy Paper” yang Diajukan UangTeman ke OJK]

Dari catatan OJK, selama setahun ini pertumbuhan fintech di Tanah Air memang cukup signifikan. Dari 120 layanan fintech, total asetnya mencapai Rp 100 miliar, sekitar 51 perusahaan bermain di sistem pembayaran, 18 perusahaan P2P, dan sisanya di bidang lainnya.

“Besarnya perkembangan fintech, kami menilai perlu perbaikan dan sistem pengawasan untuk pengaturannya.”

OJK dapat 40 poin masukan

Saat dihubungi DailySocial, CEO dan Co-founder Modalku Reynold Wijaya mengatakan dari hasil rapat terakhir, OJK mendapat 40 poin masukan dari para pelaku. Adapun detilnya tidak bisa diungkapkan oleh Reynold sebab sifatnya yang rahasia dan tidak bisa diketahui publik.

Dia hanya menerangkan, setelah membaca Rancangan POJK (RPOJK) fintech pada umumnya seluruh pelaku usaha yang hadir menyatakan tidak ada isu sama sekali. Isinya rancangan tersebut dinilai sudah mewakili seluruh keinginan dari pelaku usaha.

Mendukung pernyataan dari Firdaus sebelumnya, Reynold menyatakan salah satu poin masukan yang didapat OJK adalah modal minimal untuk bisnis P2P memang harus dibedakan. Mengingat bisnis ini mengambil dana dari masyarakat, sehingga perlu menjaga aspek prudential.

“OJK cukup satu sepahaman dengan pelaku usaha, mereka juga terbuka dengan masukan. Apapun hasilnya kami dukung,” pungkasnya.

Tahun Depan Peluang Kolaborasi Bank dan Perusahaan Fintech Bakal Makin Marak

Geliat perusahaan fintech yang agresif, rupanya diakui oleh pihak perbankan sebagai suatu hal yang tidak bisa dibendung atau dihalang-halangi. Inovasi fintech yang dilakukan perbankan pun terbilang cukup terlambat dengan apa yang perusahaan operator telekomunikasi.

Hal ini terlihat dari perbandingan nomor ponsel yang beredar di Indonesia jumlahnya hampir 3x lipat dari rekening bank. Bisa dibilang, kini bank berada di posisi yang “memaksa” mereka untuk melakukan kolaborasi sebagai satu-satunya jalan untuk terus berkembang.

Bank termasuk industri yang sudah well regulated dan kondisi ini dapat menjadi hal yang bisa dijual ke layanan fintech. Pasalnya, bank memiliki lisensi dan jaminan yang penuh dalam proses pengambilan dana dari masyarakat untuk dikelola.

Beda halnya dengan perusahaan fintech. Mereka tidak, atau belum, memiliki lisensi tersebut, khususnya terkait dengan perlindungan konsumen. Inilah yang bisa menjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perbankan dengan startup fintech.

“Bank tidak mampu menanggulangi geliat fintech karena ini tumbuh secara natural dan berkekuatan besar sehingga ini jadi tidak bisa dihindari. Namun, kami yakin pada akhirnya mereka akan masuk ke bank karena ke depannya akan muncul issue, sebab belum well regulated. Fintech punya akses, sementara bank punya lisensi. Ini bisa jadi kolaborasi yang baik,” ujar Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI, dalam diskusi Seminar Nasional Infobank Outlook 2017, Kamis (27/10).

Di sisi lain, komitmen BRI untuk perkembangan digital banking cukup serius. Hal ini diwujudkan dengan peluncuran satelit BRIsat pada pertengahan tahun lalu. Kehadiran satelit memungkinkan BRI memberikan layanan perbankan digital yang lebih canggih, cepat, dan efisien, tak hanya untuk nasabah yang ada di perkotaan saja tetapi juga di wilayah suburban.

BRI juga akan membentuk divisi khusus modal ventura di bawah anak usahanya, BRI Finance, untuk mendorong anak muda berinovasi di bidang fintech. Nantinya inovasi yang diciptakan oleh anak muda dapat diintegrasikan dengan teknologi BRI.

Tantangan perbankan di era fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat beberapa tantangan bagi perbankan di era fintech di antaranya adalah fintech berpotensi mengurangi pendapatan bank yang berasal dari margin suku bunga (NIM) dan pendapatan non bunga (fee based income).

Ini terlihat dari mekanisme fintech yang menggunakan pola peer-to-peer lending (P2P). Skema ini dapat memitigasi risiko maturity mismatch sekaligus menghindari lembaga tersebut dari praktik bank gagal atau bank run yang dapat berakhir pada risiko sistemik.

Kemudian konsep e-wallet yang ditawarkan perusahaan fintech membuat payment ecosystem tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh perbankan. Kedua, fintech memungkinkan seseorang tidak lagi memiliki akun rekening bank untuk transfer uang secara online.

Kehadiran fintech seperti Kesles, Doku, dan Ripple memungkinkan pengguna dapat melakukan transfer uang kepada sesama pemakai aplikasi. Aplikasi berbasis e-wallet juga berpotensi mengurangi kebutuhan konsumen dalam bertransaksi melalui perbankan.

Konsumen dapat mendepositkan sejumlah uang di dalam akun aplikasi dan melakukan berbagai transaksi. Mulai dari transaksi di merchant, isi pulsa, bayar listrik, bayar transportasi publik, internet, dan lainnya.

Di sisi lain fintech juga masih memiliki beberapa isu. Dari aspek legal, seperti registrasi dan persyaratan, tanda tangan basah, persyaratan consumer due diligence (CDD) dan enhanced due diligence (EDD). Lalu, masih ada fintech yang belum diawasi oleh OJK.

Isu di sisi teknologi mencakup pengaturan dan standarisasi sistem kliring, settlement dan pembayaran, pengaturan dan standarisasi untuk sistem keamanan, back up, dan stabilitas jaringan.

Pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk fintech

Aviliani, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbankan PERBANAS, menerangkan pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk fintech selagi usianya yang masih sangat dini demi menciptakan ekosistem lebih baik lagi ke depannya. Apalagi ini menyangkut perlindungan konsumen.

Startup fintech yang bermain di peer to peer lending (P2P), sambungnya, belum memiliki perlindungan untuk peminjam dana. Sehingga, bila terjadi gagal bayar yang akan menjadi penanggung risikonya adalah peminjam dana itu sendiri.

“Mumpung pemain startup belum terlalu banyak, pemerintah harus segera perbaiki regulasinya,” pungkasnya.

Berikut Ini Klasifikasi Fintech yang Akan Diatur OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjabarkan ada dua penggolongan fintech yang akan masuk ke dalam ranah pengawasan OJK. Mereka adalah Fintech 2.0 Digital LJK dan Digital Banking dan Fintech 3.0-3.5 Startup Companies. Kedua kategori tersebut nantinya harus mematuhi segala aturan yang dibuat oleh OJK. Pada akhir tahun rencananya Peraturan OJK (POJK) untuk fintech akan terbit.

Dijabarkan bahwa kategori Fintech 2.0 melingkupi tiga ranah sektor industri diantaranya perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Untuk perbankan, ranah bisnis yang akan diatur mulai dari E-banking, Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), Digital Branch, dan Banking Anywhere (Omnichannel).

Sementara, untuk pasar modal yakni E-stocks, Bonds, Mutual Funds, dan Trading. Terakhir, dalam IKNB yang akan diatur adalah E-Gadai, E-LKM, E-Penjaminan, dan E-Asuransi.

Kategori berikutnya, Fintech 3.0-3.5 khusus mengatur perusahaan startup fintech non lembaga jasa keuangan (LJK), dengan ranah bisnis yang akan diatur adalah koperasi, bursa berjangka, dan loan-based crowdfunding (P2P Lending).

Di sisi lain, Bank Indonesia akan menaungi dan mengatur Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), E-Money, Telco Money, Blockchain (Bitcoin), dan National Payment Gateway (NPG). Sementara ini jumlah fintech yang masuk otorisasi OJK mencapai 120 perusahaan. Angka itu di luar perhitungan fintech bidang sistem pembayaran yang akan diatur oleh Bank Indonesia.

Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, menerangkan aturan yang akan diterbitkan oleh OJK tersebut nantinya hanya mengatur manajemen risiko, governance, kecukupan modal, hingga likuiditas. Namun, standar pendekatannya tidak akan sedetil peraturan yang ada di perbankan maupun asuransi.

“Peraturannya akan dibuat sesuai kondisi fintech, misal di bank ada standar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk aturan likuiditasnya. Tidak akan sedetil CAR, namun tujuannya sama, ingin mengatur tingkat likuiditas fintech karena ini menyangkut perlindungan konsumen,” ujarnya beberapa waktu lalu.

[Baca juga: OJK Jadi Penerbit Sertifikat Tanda Tangan Digital]

Dia menambahkan fintech pun ke depannya memang harus diatur karena ke depannya masyarakat Indonesia beserta industri akan semakin bergantung pada teknologi informasi, baik dalam perdagangan sekuritas, bisnis perbankan, asuransi, dan lainnya.

POJK tersebut nantinya akan memastikan bahwa layanan fintech didukung oleh undang-undang pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Poin yang akan masuk dalam POJK ada empat hal, yakni fintech innovation HUB, Certificate Authority (CA), penerbitan Sandbox Regulatory, kajian mengenai implementasi standar pengamanan data dan informasi dalam pengelolaan industri fintech dan kebutuhan Pusat Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di industri jasa keuangan, dan kajian Vulnerability Assessment Tersentralisasi.

BI terbitkan aturan fintech bulan ini

BI menyatakan pada pertengahan bulan ini akan segera mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait Penyelenggaraan Transaksi Pembayaran (PTP). Dalam aturan tersebut, akan mengatur penyelenggaraan aktivitas usaha dalam model bisnis fintech seperti penyedia payment gateway, penyelenggara e-wallet, hingga penyelenggara penunjang seperti terminal ATM/EDC, dan point of sales (POS).

Berikutnya, akan ada regulatory sandbox dan fintech office untuk penyelenggarannya. “Nanti akan kita grand launching pertengahan Oktober ini. Regulatory sandbox itu kita berdiri bareng dengan pelaku fintech, mereka melakuakan inovasi di bawah supervisi kita. Kalau oke, kita lihat potensinya lalu akan diatur dengan baik,” ujar Pungky Wibowo, Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran BI.

Menurutnya, saat ini regulator dan pemerintah sedang dalam tahap menciptakan ekosistem fintech. Regulator pun harus berhati-hati dalam mendorong akses finanseal sembari memperhatikan risiko dari perkembangan teknologi.

BI juga sedang mengkaji dan menyiapkan rancangan PBI terkait upaya meregulasi fintech yang berpotensi memicu praktik pencucian uang (money laundering).

OJK Jadi Penerbit Sertifikat Tanda Tangan Digital

Transaksi keuangan berbasis elektronik, kini dianggap hal tidak asing untuk masyarakat Indonesia. Namun, dari segi keamanannya masih banyak yang meragukannya, belum lagi masih banyak perusahaan yang menerapkan tanda tangan basah untuk keabsahan dokumen transaksi. Untuk menanggulangi itu, kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi otoritas sertifikat digital (certificate authority/CA).

Dalam aturan mainnya, OJK sebagai CA dapat bertindak sebagai pihak penerbit sertifikat suatu tanda tangan digital pelaku jasa keuangan. OJK dapat menjamin bahwa suatu transaksi yang ditandatangani secara digital telah diamankan dan berkekuatan hukum sesuai ketentuan yang ada di Indonesia.

Tujuan dari dorongan ini adalah mengatasi isu perlindungan konsumen dan kepentingan nasional. Sekaligus, mencegah fintech asing melakukan data mining.

“Pemberlakuan tanda tangan digital ini, adalah tindak lanjut dari perjanjian bersama Kemenkoinfo sebelumnya. Jadi OJK sebagai penerbit sertifikat digital signature untuk industri jasa keuangan,” ujar Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Kamis (6/10).

Pelaku industri yang diwajibkan memiliki sertifikat ini adalah para pelaku fintech yang bergerak di jasa keuangan, termasuk perbankan, pasar modal, industri keuangan non bank (IKNB), hingga startup fintech.

Dorongan penerapan tanda tangan digital, sambung Rahmat, pada akhirnya akan menjadi mandat untuk dipatuhi seluruh industri jasa keuangan. Pasalnya, OJK akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) untuk hal ini.

“Nanti akan ada aturan sebab pada akhirnya OJK akan mewajibkan seluruh industri jasa keuangan memakai tanda tangan digital. Saat ini kami masih sosialisasi ke berbagai pelaku, tahun depan baru terbitkan aturannya.”

Rencana lainnya yang masuk ke dalam pipeline OJK adalah peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan menjadi one stop contact fintech nasional untuk berhubungan dan bekerja sama dengan institusi dan lembaga yang menjadi pendukung ekosistem keuangan digital.

Kemudian, penerbitan Sandbox Regulatory untuk fintech. Peraturan ini akan mengatur hal-hal yang minimal agar perkembangan fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi, efisiensi, melindungi kepentingan konsumen, dan tumbuh berkelanjutan.

Berikutnya, kajian mengenai implementasi standar pengamanan data dan informasi dalam pengelolaan industri fintech dan kebutuhan Pusat Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di industri jasa keuangan.

Terakhir, kajian Vulnerability Assessment Tersentralisasi. Hal ini untuk memastikan postur serta keamanan atau kesiapan penanganan keamanan informasi selalu terjaga guna menekan risiko serta ancaman keamanan informasi pada industri jasa keuangan.

Dari kajian OJK, angka sementara perusahaan fintech yang masuk dalam otorisasi OJK adalah 120 perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Bank Indonesia Segera Hadirkan “Kantor Fintech”

Keseriusan pemerintah untuk mendukung industri Financial Technology (Fintech) di Indonesia ditunjukkan dengan segera meluncurkan kantor fintech bulan Oktober 2016 mendatang. Proyek pertama yang akan dikerjakan oleh kantor Fintech Indonesia adalah menerapkan pendekatan “regulatory sandbox“.  Hal tersebut diungkapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas kepada Jakarta Post.

“Rencananya bulan Oktober 2016 mendatang Bank Indonesia akan membentuk tim khusus yang bertugas untuk melakukan koordinasi dengan pelaku fintech di Indonesia,” kata Ronald.

Nantinya dengan pendekatan ini, pelaku Fintech di Indonesia memiliki ruang untuk mencoba terlebih dahulu produk yang ditawarkan hanya kepada kalangan tertentu saja, dalam hal ini adalah nasabah tertentu dengan tenor yang juga terbatas sebelum di tawarkan kepada masyarakat luas. Pendekatan ini juga merupakan cara mudah bagi regulator untuk memfasilitasi inovasi dan mencoba kebijakan berbagai isu.

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator yang bertanggung jawab langsung memonitor, melakukan koordinasi, kolaborasi dan sinergi dengan institusi keuangan, investor, startup, inkubator, asosiasi industri dan juga dari kalangan akademis.

Hingga akhir tahun 2017, Bank Indonesia dan OJK direncanakan akan membuat peraturan yang mengatur jalannya bisnis fintech di Indonesia. Salah satu hal yang menjadi fokus adalah soal transaksi pembayaran.

Menurut informasi yang kami dapatkan, setiap startup fintech yang mengelola sistem pembayaran (payment gateway) harus melaporkan sistemnya ke Bank Indonesia. Juga termasuk dalam kategori ini adalah startup yang menyediakan dompet elektronik, misalnya Go-Pay yang dikelola Go-Jek.

OJK Segera Luncurkan Aturan untuk Industri Fintech

Setelah menyelenggarakan Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 akhir Agustus kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan dalam waktu dekat akan meluncurkan sebuah aturan tentang layanan teknologi finansial (fintech). Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, aturan tersebut nantinya akan menjadi panduan manajemen risiko bagi perbankan dan lembaga keuangan yang berkolaborasi atau secara mandiri mengeluarkan layanan finansial digital.

OJK juga disebutkan akan mendata perusahaan teknologi finansial untuk membicarakan tentang regulasi dengan para founder. Perusahaan-perusahaan tersebut diminta mendaftar di OJK untuk dibuatkan panduannya.

Rencana OJK yang ingin meregulasi industri fintech bukan hanya terdengar sekarang. Di awal tahun OJK juga sempat mengatakan akan segera berdiskusi dan menerima masukan dari para pelaku bisnis finansial teknologi.

Aturan yang dikeluarkan nantinya disiapkan untuk mengatur bisnis P2P lending, layanan keuangan yang memanfaatkan teknologi digital yang mampu mempertemukan pihak pemberi pinjaman dengan peminjam melalui sebuah platform, dan juga layanan crowdfunding, sebuah kegiatan pengumpulan dana yang dikelola melalui website atau teknologi digital lainnya untuk tujuan investasi atau kegiatan sosial.

Di dalam regulasi yang akan dibuat tersebut nantinya juga akan ada aturan mengenai perlindungan konsumen. Bisnis fintech adalah bisnis yang sensitif sehingga perusahaan harus transparan mengenai risiko bisnis kepada konsumen.

“Sebab, kadang-kadang oleh konsumen dipikirnya seperti tidak ada risiko karena pada umumnya seperti peer-to-peer lending-kan konsumen tidak banyak tahu mengenai calon yang akan dia biayai,” ujar Muliaman.

Setali tiga uang dengan OJK, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo juga mengatakan bahwa bisnis finansial teknologi harus melindungi konsumen, salah satunya dengan manajemen risiko yang baik. Selain itu Agus juga mengungkapkan bahwa semua transaksi fintech harus ditempatkan di bank untuk memastikan adanya unsur pelindungan masyarakat dalam hal transaksi keuangan.

Menilik Lima Poin “Policy Paper” yang Diajukan UangTeman ke OJK

Meski masih belia, namun industri fintech Indonesia kini mulai bergeliat dan hal ini bisa dilihat dari digelarnya perhelatan akbar pertama fintech di IFFC 2016. Cepat atau lambat, regulasi juga akan hadir karena industri finansial sendiri adalah industri yang sudah mapan dan sarat aturan. UangTeman sebagai salah satu pemainnya memutuskan untuk tidak menunggu dan mereka pun menginisiasi diskusi terkait peraturan melalui policy paper yang dikirimkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagai sektor baru, fintech adalah industri yang tengah bergeliat di Indonesia namun regulasinya masih abu-abu. Pun demikian, bukan berarti tidak ada yang mengambil inisiatif. UangTeman contohnya. Salah satu pemain fintech Indonesia ini memprakasai diskusi terkait regulasi dengan pihak salah satu regulator finansial di Indonesia, yaitu OJK.

[Baca juga: Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas]

CEO UangTeman Aidil Zulkilfi mengatakan, “Kami bergerak dalam bidang finansial dan bila Anda bergerak di bidang ini, maka regulasi adalah salah satu hal yang harus dipedulikan. […] Bila regulasi [yang dibentuk] adalah ‘smart regulation’ maka akan menciptakan keseimbangan antara inovasi dan perlindungan hak konsumen. Itu adalah dasar dari policy paper yang kami ajukan dan kami juga menyarankan agar jangan membuat regulasi yang terlalu ketat, tetapi buat yang pas atau cukup untuk melindungi hak konsumen.”

Policy paper UangTeman yang terdiri dari 83 halaman dan diajukan sejak Juni 2016 ini disusun dengan berkaca pada kerangka aturan serupa untuk online lending di Australia, Tiongkok, Inggris, dan Amerika Serikat. Secara garis besar, ada lima poin utama yang menjadi fokus, yaitu Perlindungan Konsumen, Standar Sistem Online, Perlindungan Data, Penagihan Kredit, dan Manajemen Resiko dan Keuangan.

Perlindungan Konsumen

Tim UangTeman / DailySocial
Tim UangTeman / DailySocial

Ada tiga poin yang disarankan UangTeman terkait perlindungan konsumen yaitu keterbukaan dan transparasi informasi, perlindungan konsumen dari kondisi terjebak dalam utang, dan pemasaran yang wajar bagi penyedia jasa pinjaman online.

Dalam keterbukaan informasi, UangTeman menyarankan adanya kejelasan dalam hal sistem dan skema pemberian pinjaman, keuntungan pengguna jasa, resiko, biaya-biaya yang dikenakan, hingga syarat dan kondisi  yang berlaku. Keberadaan kalkulator untuk menghitung biaya pinjaman, kode etik, dan prosedur penanganan keluhan juga disarankan untuk tersedia. Hal lain yang dirasa perlu diupayakan yaitu adanya kebijakan pemerintah untuk membuka akses bagi penyedia jasa pinjama online terhadap sistem informasi debitur yang diselenggarakan Bank Indonesia.

Di sisi perlindungan konsumen dari kondisi terjebak dalam utang, UangTeman menyarankan untuk melarang praktik roll over atau pengajuan utang kembali untuk pinjaman dengan bunga yang tinggi. Sedangkan untuk pemasaran, Uang Teman mengusulkan agar terdapat pengaturan yang memiliki ketentuan yang mengadopsi SE OJK 12/2014 yang diberlakukan kepada penyedia jasa pinjaman online atau dengan mengikutsertakan penyedia jasa pinjaman online ke dalam pengertian di pasal 1 POJK1/2013 sehingga penyedia jasa pinjaman online tunduk terhadapnya.

Standar Sistem Online

Tiga poin usulan UangTeman untuk standar sistem online yaitu penggunaan protokol SSL atau TLS, perlindungan dan pemeliharaan sistem, dan pedoman perilaku dalam menerima data atau informasi.

UangTeman mengusulkan bahwa pemerintah wajib menentukan tingkat SSL apa yang digunakan oleh penyedia jasa dan mempertimbangkan besar kecilnya dampak bila terjadi peretasan. Keperluan untuk audit sistem secara berkala, baik itu oleh penyedia jasa atau pemerintah, juga disarankan untuk perlindungan dan pemeliharaan sistem. Terakhir, pemerintah juga disarankan untuk menerbitkan panduan perilaku dalam menerima data atau informasi agar konsumen lebih berhati-hati terhadap segala informasi yang diterimanya.

Perlindungan Data

Dalam hal perlindungan data, UangTeman mengklaim bahwa semua data mereka ada di data center lokal yang sesuai dengan UU ITE No 82 tahun 2012 dan Aidil mengusulkan agar pemerintah menegaskan ini kepada semua penyedia jasa pinjaman online. Selain itu, kewajiban untuk memasang privacy policies di situs, menggunakan perangkat lunak perlindungan data yang terpercaya, dan memiliki kebijakan internal dalam hal siapa yang berhak mengakses dan mengelola data juga diusulkan untuk diatur.

[Baca juga: Daftar Startup Fintech di Indonesia]

Penagihan Kredit

Penagihan kredit di Indonesia tidak selalu berjalan dengan baik yang biasanya dekat dengan kekerasan. UangTeman mengusulkan bahwa pemerintah perlu membuat panduan yang lebih ketat terhadap proses penagihan kredit ini yang sesuai dengan etika dan bisa melindugi konsumen. Izin mengenai aktivitas penagihan dan juga pihak yang berhak untuk melakukan penagihan pun perlu dipertimbangkan kembali mengingat perusahaan pinjaman online hanya bertindak sebaga fasilitator.

Manajemen Resiko dan Keuangan

[Kiri] CEO UangTeman Aidil Zulkilfli / DailySocial
[Kiri] CEO UangTeman Aidil Zulkilfli / DailySocial
Usulan UangTeman dalam hal manajemen resiko meliputi kualitas keuangan dan kelembagaan perusahaan pinjaman online dan pelaksanaan manajemen resiko perusahaan.

Dalam hal kualitas keuangan dan kelembagaan, UangTeman mengusulkan untuk adanya aturan mengenai modal minimum, kewajiban untuk menjaga rasio-rasio keuangan, dan kewajiban melaporkan kondisi keuangan kepada OJK. Sedangkan dalam hal pelaksanaan, resiko kredit, resiko teknologi, dan resiko operasional adalah hal yang perlu dipertimbangkan regulasinya.

[Baca juga: Kadin Prediksikan Investasi Fintech Indonesia Capai $8 Miliar Pada 2018]

Aidil sendiri berharap bahwa policy paper UangTeman yang diajukan dapat menjadi bahan pertimbangan regulator dalam menyusun regulasi industri fintech di Indonesia. Meski demikian, ia juga menyerahkan kembali sepenuhnya kepada pihak regulator untuk hal-hal lebih detail seperti modal minimum yang diperlukan oleh perusahaan. OJK sendiri memiliki rencana untuk mengeluarkan aturan terkait industri fintech di Indonesia pada akhir tahun 2016 ini.

Application Information Will Show Up Here

Banyak Inisiatif Baru Lahir di Indonesia Fintech Festival & Conference Hari Kedua

Selesai sudah perhelatan ajang terbesar bagi industri keuangan dan teknologi di Indonesia, hasil kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Banyak tamu kehormatan yang hadir di sini, mulai dari Presiden RI Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Agus D Martowadojo, dan menteri lainnya.

Pemerintah secara terang-terangan mendukung perkembangan industri financial technology (fintech) dengan mengeluarkan berbagai aturan untuk mendorong perkembangan ekosistemnya. Presiden Joko Widodo mengatakan fintech bisa menjadi solusi untuk memperluas akses masyarakat Indonesia yang ada di pelosok daerah dan belum terjangkau oleh jasa keuangan dari perbankan.

“Misalnya untuk UKM, masih jarang ada catatan keuangannya karena mereka merasa ribet. Hal inilah yang membuat mereka sulit mengakses permodalan ke bank. Ini juga menandakan tingkat keuangan inklusi perlu ditingkatkan dari hal yang paling dasar yakni dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat,” kata Presiden, Selasa (31/8).

Presiden juga ingin mengajak semua masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi, terutama anak muda yang bergerak di fintech agar dapat terus menghasilkan terobosan seperti aplikasi digital yang berguna dalam meningkatkan inklusi keuangan.

Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016
Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan pemerintah akan membuat formulasi kebijakan, pengaturan, dan kerangka aturan untuk mendorong industri fintech bisa lebih berkembang. Bahkan, sambung dia, apabila diperlukan akan ada insentif dan fasilitas tertentu yang bisa dinikmati fintech agar industri tersebut ke depannya bisa menjadi kekuatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampak lanjutnya, akan dapat mengurangi pengangguran, menambah lapangan pekerjaan, dan akhirnya dapat memecahkan masalah kemiskinan dan kesejahteraan. “Oleh karena itu, saya bersedia untuk duduk bersama agar kita semua bisa mengidentifikasi kerangka kebijakan apa saja yang diperlukan sehingga Indonesia bisa dengan cepat menumbuhkan fintech yang dapat memperluas kesempatan,” terang Sri.

Regulator akan terbitkan aturan

BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius
BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius

Sebagai bank sentral, Gubernur BI Agus D Martowadojo mengatakan bulan depan BI akan menerbitkan Peraturan BI (PBI) terkait fintech, yakni mengenai pemrosesan transaksi pembayaran. Beberapa poin yang akan dimasukkan oleh BI, mulai dari perusahaan fintech harus berbadan hukum, wajib melakukan transaksi dalam mata uang Rupiah, dan wajib menyimpan likuiditasnya di bank. “Kami ingin berikan arahan umum kalau seandainya ada pelaku fintech dari internasional yang masuk ke Indonesia. Kemudian, melakukan transaksi harus dalam Rupiah, dan penyimpanan dananya harus di bank,” kata Agus.

Secara umum BI membedakan perusahaan fintech ke dalam empat kelompok utama. Pertama, kelompok deposit, lending, dan capital rising. Dalam kelompok ini juga mencakup model bisnis crowdfunding dan peer-to-peer lending.

Kedua, kelompok payments, clearing, dan settlement, termasuk pembayaran melalui situs mobile dan desktop. Terakhir, kelompok market provisioning dan investasi, dan manajemen risiko.

BI, lanjut dia, akan membangun fintech office, suatu pendampingan khusus dalam mengembangkan bisnisnya. Lalu, akan diberikan pandangan mengenai kebijakan moneter dan makroprudensial Indonesia agar lebih mengenal iklim usaha. Lalu, BI juga akan berinisiatif meluncurkan inkubator.

Berikutnya, OJK akan menerbitkan aturan untuk dua segmen fintech. Pertama, untuk peraturan fintech akan lebih diarahkan ke perusahaannya. Sementara, untuk fintech startup akan diberikan kelonggaran.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan peraturan akan dibuat sederhana guna menghindari startup fintech jadi sulit berkembang. “Peraturan sedang kita matangkan supaya pas, kalau kebanyakan aturan akan mati,” ujarnya.

Untuk fintech baru, ada dua segmen yang akan diatur OJK yaitu crowdfunding dan pembayaran digital. Crowdfunding dalam kerangka aturan OJK, akan mengatur dan mengawas aspek pendanaan dari angle investor yang harus tunduk terhadap regulasi terkait (BI, BKPM, dan DJP) disclosure, prudential, dan keamanan data personal.

Pembayaran digital akan diatur mengenai pengawasan terhadap aspek disclosure, prudential terkait produk yang ditawarkan, keamanan data personal, dan keamanan deposit dana dalam bentuk digital. Lalu pengaturan koordinasi dan pengawasan dengan BI dan Kemkominfo atas aspek dana digital.

Sementara itu, OJK juga akan menerbitkan aturan baru untuk IKNB yang bertransformasi fintech. Ada tiga segmen industri yang akan diatur, pembiayaan & ventura menjadi marketplace lending, asuransi menjadi specialist insurance market, dan agen & broker IKNB fintech advisor.

“Kami targetkan seluruh aturan ini dapat terbit paling cepat Oktober mendatang atau paling lambat sebelum akhir tahun ini,” kata Kepala Eksekutif Pengawas IKNB Firdaus Djaelani.

Bentuk kolaborasi

Dari kalangan pelaku usaha, di hari kedua IFFC telah meresmikan beberapa kerja sama strategis. Pertama, antara portal investasi digital Bareksa dengan penyedia pembayaran elektronik DOKU. Kerja sama ini memungkinkan pengguna DOKU bisa menginvestasikan uangnya ke instrumen reksadana.

Kemudian, kerja sama antara Bank Danamon dengan Investree untuk tujuan sistem cash management. Terakhir, antara Bank Sinarmas dengan Dimo Pay dan Cashlez.

[Baca juga: Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas]

Dari hasil survey Deloitte Consulting, lebih dari 70 fintech di Indonesia sangat berharap adanya kolaborasi dengan lembaga keuangan. Lebih dari separuh menyebut kolaborasi menjadi sangat penting untuk mengembangkan potensi industri keuangan Indonesia di masa mendatang.

Lebih detil diterangkan dalam survey, mayoritas fintech ingin berkolaborasi dengan institusi keuangan lokal (66,2%), fintech lokal (47,1%). Mereka juga ingin membentuk kolaborasi dengan korporasi atau konglomerasi lokal (44,1%) dan perusahaan teknologi startup lokal dari industri lain (44,1%).


Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

BCA Persiapkan Pendirian Modal Ventura

PT Bank Central Asia Tbk (BCA), bank swasta terbesar di Indonesia, tengah mempersiapkan pendirian modal ventura. Seluruh dokumen sudah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sedang menunggu persetujuan diberikan.

“Kami sudah ajukan seluruh persyaratannya ke OJK dan tinggal menunggu persetujuan dari OJK keluar,” ujar Armand Hartono, Wakil Presiden Direktur BCA, di sela-sela acara Indonesia Fintech Festival & Conference, Selasa (30/8).

Pihaknya enggan memberi tahu lebih detil berapa modal yang disiapkan untuk mendirikan perusahaan modal ventura tersebut. Armand melanjutkan sebenarnya BCA ingin membuka seluruh opsi bisnis yang bisa dijalankan demi melancarkan ambisinya untuk memiliki modal ventura, entah itu lewat cara organik maupun anorganik. Pada akhirnya perusahaan lebih memilih untuk membangun perusahaan sendiri.

Bila rencana BCA mulus, artinya akan ada pemain modal ventura lainnya yang berasal dari anak usaha perbankan setelah Bank Mandiri mendirikan PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) pada awal tahun ini.

MCI merupakan perusahaan patungan (joint venture) yang dimiliki oleh Bank Mandiri sebesar 99% dan Mandiri Sekuritas 1%. Bank Mandiri mendirikan perusahaan tersebut dengan menyuntikkan dana sebesar Rp 500 miliar. Nilai tersebut lebih tinggi daripada ketentuan modal minimal yang sudah diatur oleh OJK sebesar Rp 50 miliar.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri, mengatakan pendirian awal MCI untuk memajukan industri startup financial technology (fintech) di Tanah Air. Nantinya seluruh startup yang dibiayai oleh perusahaan berpotensi bisa menggarap captive market nasabah Bank Mandiri yang sudah mencapai 20 juta orang.

Rencanakan bentuk JV fintech baru

Kartika, yang akrab dipanggil Tiko, melanjutkan dalam pipeline perusahaan rencananya akan membidik satu fintech baru paling lambat pada pertengahan tahun depan.

Saat ini, Bank Mandiri sudah memiliki dua perusahaan fintech berbentuk JV di bawah bendera MCI. Pertama, dengan perusahaan fintech asal Korea Selatan BC Card untuk pengembangan electronic data capture (EDC).

Kemudian, dengan PT Kresna Graha Investama Tbk membentuk PT Digital Artha Media (DAM) untuk pengembangan produk Mandiri E-Cash. Pihaknya pun membuka seluruh opsi ingin membidik pemain fintech yang sudah memiliki model bisnis yang berkembang dan memiliki basis konsumen.

“Bila pipeline bisnis berjalan sesuai rencana, paling lambat pertengahan tahun depan kami akan menambah satu perusahaan fintech baru. Kami akan menempatkan saham di sana,” ujar Tiko.