Menerka Prospek Startup AI di Indonesia

Kecanggihan ChatGPT, sukses membuat narasi soal AI diperbincangkan di seluruh dunia, bahwa teknologi kecerdasan buatan generatif (genAI) dirancang untuk merevolusi cara organisasi menjalankan bisnis.

Menurut riset yang dirilis Bain pada Agustus 2023, disampaikan bahwa genAI mempercepat pekerjaan hingga 41%. Responden menyampaikan sebanyak 81% pengguna mengatakan lebih produktif berkat genAI. Penelitian menunjukkan bahwa AI membantu mereka mengautomasi email dan komunikasi (50%), analisis dan pelaporan data (45%), dan penelitian (42%).

Data investasi global yang diungkap CB Insights mengungkapkan pada 2023, startup AI mengumpulkan $42,5 miliar dalam 2.500 putaran ekuitas. Startup genAI mendominasi hingga 48% dari seluruh pendanaan AI. Pada tahun sebelumnya, startup genAI hanya meraih 8% dari total pendanaan.

Lonjakan ini didorong oleh putaran besar-besaran ke pengembang large language model (LLM), seperti OpenAI, Anthropic, dan Inflection. Startup asal Amerika Serikat paling banyak mengambil porsi hingga 73% (naik 14%), lalu disusul Asia (25%) dan Eropa (24%).

“Kami memperkirakan startup genAI akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan hal ini pada tahun 2024, karena booming genAI masih jauh dari selesai,” tulis CB Insights.

Namun, tidak semua startup AI diciptakan sama. Sebelum membahas AI lebih dalam, artikel ini akan membahas lebih terlebih dulu perbedaan antara startup AI horizontal dan vertikal.

Startup AI horizontal:

  • Definisi: Solusinya dirancang agar serbaguna dan dapat diterapkan secara luas, serta berfungsi sebagai landasan bagi berbagai industri. Punya cakupan yang luas dan dapat diintegrasikan ke dalam berbagai domain, termasuk layanan pelanggan, pembuatan konten, dan pengambilan informasi umum, untuk menghasilkan respons mirip manusia, terlibat dalam percakapan bahasa alami, dan memberikan wawasan berharga. Fleksibilitasnya menjadikannya tersedia bagi bisnis yang mencari solusi AI yang dapat dengan cepat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik mereka.
  • Contoh: ChatGPT (OpenAI), Gemini (Google), Claude (Anthropic), Cohere, Tongyi Qianwen (Alibaba). Di ASEAN ada SEA-LION (AI Singapore) dan WIZ LLM (WIZ.AI).

Startup AI vertikal:

  • Definisi: solusi AI vertikal disesuaikan dengan industri tertentu, guna menjawab kebutuhan dan tantangan unik mereka. Solusi yang ditawarkan punya fungsionalitas tingkat lanjut dan kemampuan khusus, memberikan wawasan spesifik industri, mengoptimalkan proses, dan meningkatkan pengambilan keputusan, sehingga merevolusi operasi dalam sektor-sektor seperti jasa, hukum, pemasaran, dan lainnya.
  • Contoh: di Indonesia ada Nodeflux (image processing), Verihubs (automation), Kata.ai (conversational AI), dan Prosa.ai (data analytics & insight).

Kondisi di Indonesia

DailySocial.id merangkum dari hasil wawancara bersama tiga narasumber. Mereka sepakat bahwa prospek startup AI di Indonesia sangat cerah karena perjalanannya baru dimulai. Salah satu faktor pendukungnya karena munculnya ChatGPT.

“Pemetaan startup AI lokal menunjukkan bahwa hampir setengah startup AI di Indonesia adalah pemain baru yang berusia kurang dari satu tahun. Mayoritas dari mereka telah mendapatkan pendanaan dari VC,” ucap Partner Antler Indonesia Agung Bezharie.

Dari total pendaftaran yang masuk di Antler Indonesia, startup AI yang mendaftarkan diri untuk batch I dan II di 2022 sampai awal 2023 jumlahnya hanya 1-2 startup. Sementara, kini jumlahnya terus meningkat.

CTO GDP Venture, CEO & CTO GDP Labs On Lee menambahkan, sebelum ChatGPT booming, perusahaan yang sudah mengadopsi AI pada umumnya masih sangat terbatas. Salah satu alasan terbesarnya karena biayanya yang mahal. “Tapi karena ChatGPT jadi ter-consumerize, semua orang jadi tahu,” ucapnya.

Dia juga mencontohkan, BCA merupakan salah satu perusahaan mature yang terdepan dalam mengadopsi teknologi ini sejak lama. Proses awalnya saat adopsi juga tidak instan, perbankan tersebut mencoba untuk satu per satu usecase. Begitu terasa peningkatan produktivitasnya, makin ditambah usecase yang dibantu dengan AI.

Digandrunginya ChatGPT, On berharap membuat awareness di tingkat perusahaan dari multi-industri makin banyak yang terdorong untuk mulai mengadopsinya.

“Indonesia itu baru aware dengan AI sejak tahun lalu, sebelum-sebelumnya belum banyak yang aware. [..] Saya mengharapkan lima tahun lagi banyak hal yang akan berubah. Kalau yang kemarin [ChatGPT] dapat hype buat marketing [adopsi AI], lalu terasa produktivitasnya naik [setelah adopsi AI), perusahaan akhirnya mulai banyak yang berani investasi,” kata dia.

“Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin canggih, maka aplikasinya akan semakin banyak. AI juga sama, makin banyak yang pakai, makin banyak orang yang mau investasi ke sana, makin banyak solusi yang dihasilkan dari AI. Akhirnya menciptakan positive feedback loop,” sambung On.

GDP Venture merupakan VC yang tergolong aktif mendanai startup AI di Indonesia. Beberapa portofolionya adalah Balesin, Datasaur.ai, Glair.ai, Prosa.ai, dan Qlue.

Co-founder & CEO of Nodeflux Meidy Fitranto menyoroti kehadiran genAI membuat tingkat halangan kesulitannya jauh lebih ringan karena solusinya dibangun di atas model fondasi yang sudah dibuat. Namun bisa jadi bumerang karena tingkat kompetisinya jadi sengit lantaran tidak ada diferensiasi yang berarti.

Ambience di global pun lagi seperti ada ekuilibrium (mencari titik keseimbangan) karena value proposition-nya belum clear. Bahkan di global pun [startup AI horizontal] belum sekuat itu, masih banyak juga yang baru-baru muncul,” terang dia.

AI Players Mapping by Industry in Indonesia

Kesempatan jadi pemimpin di negara sendiri

Akan tetapi, Agung memercayai bahwa kesempatan besar startup AI bisa berkembang pesat di Indonesia bukan dari AI horizontal, seperti OpenAI, melainkan dari vertikal. Mengutip dari pendapat Jussi Salovaara (Managing Partner, Co-founder Antler), hipotesis Antler untuk kawasan Asia Tenggara diprediksi akan terdorong pesat berkat kehadiran startup AI vertikal. Berbeda jauh dengan kondisi di AS yang berlomba-lomba di AI horizontal, seperti co-pilot coding atau language modelling.

Verticalize AI berfokus pada solusi spesifik untuk industri, kegiatan, dan masalah di region ini. Solusi AI paling efektif digunakan untuk mengotomatiskan kegiatan yang berulang atau repetitif. Di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya, banyak aktivitas berulang dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Terdapat tiga startup AI vertikal yang masuk ke dalam portofolio Antler Indonesia, yakni SPUN, Konstruksi.AI, dan Lunash. Secara global, terdapat 11 startup AI yang telah mendapat pendanaan pre-seed dari Antler.

Menurut Agung, peluang untuk bersaing di tingkat global bagi startup AI vertikal, peluangnya jauh lebih besar. Sebab strategi untuk bertahan hanya satu, fokus pada vertikal bisnis. Dicontohkan, sepak terjang Nodeflux yang yang mampu bertahan dan berkembang karena memiliki keunikan teknologi dan bisnis.

“Pemanfaatan data unik ini menghasilkan solusi yang tidak dapat dibuat oleh startup global. Keunikan tersebut memungkinkan mereka bekerja sama dengan institusi yang biasanya sulit dijangkau startup.”

AI Players Mapping by Vertical in Indonesia

Melanjutkan ini, On juga sepakat bahwa startup AI lokal yang bermain dalam pengembangan Bahasa Indonesia dan mengombinasikannya dengan solusi-solusi lokal yang saling terkait, punya peluang untuk jadi pemimpin di negara sendiri.

“Kita bisa menang karena ini keahlian kita [lokal]. Misal, Glair.ai itu paperless OCR untuk digitalisasi dokumen, seperti NPWP, KTP, itu unik hanya Indonesia yang punya. Barang-barang lokal seperti ini harusnya kita yang menang,” tuturnya.

Dalam rangka mendukung LLM, dua portofolionya, Glair.ai & Datasaur.ai, berpartisipasi dalam proyek kolaboratif bersama BRIN, KORIKA, dan AI Singapore (AISG) untuk mengembangkan LLM Bahasa Indonesia di bawah model fondasi SEA-LION. Target yang diharapkan dari proyek ini adalah mendorong pembuatan platform seperti ChatGPT dengan tujuan penggunaannya yang lebih dispesialisasikan sesuai target konsumen.

Tantangan serius

Meidy melanjutkan, di balik peluang yang ditawarkan, ekosistem AI di Indonesia sangat memerlukan dukungan dari seluruh pihak, terutama untuk kebutuhan riset dan pengembangan (R&D). Cerita yang dialami Nodeflux bisa jadi acuan.

Mengingat target pengguna utamanya adalah pemerintahan untuk kebutuhan sistem pengawasan (surveillance system), ternyata proses tendernya masih kurang dianggap bernilai sebagai produk lokal karena disamakan dengan produk impor. Padahal proses pengembangan produk ini membutuhkan tim R&D yang tidak sembarang dan memakan waktu yang tidak sedikit, minimal punya gelar S3 dan kuliah di luar negeri, beli alat yang harganya mahal, dan sebagainya.

“Jadi kompetisi di market-nya secara bisnis lebih masuk akal kalau kita berdagang sebagai makelar/distributor karena hitung-hitungannya enggak masuk. Tinggal bawa produk white label dari luar, yang kemudian di-brand lokal sendiri. Dalam konteks Nodeflux, dukungan negara terhadap R&D untuk AI enggak terlalu berasa.”

Ia pun membandingkan situasi ini dengan dukungan pemerintah Tiongkok. Pada 2017, pemerintah mengumumkan program ambisius untuk pengembangan teknologi AI di dalam negeri, dengan tujuan menjadi ‘pusat inovasi AI utama’ dunia pada 2030. Kemudian pada 2019, mengumumkan “National AI Team” berisi beberapa perusahaan terpilih di masing-masing vertikal yang didukung pemerintah pusat dan daerah untuk mengerjakan proyek-proyek regional.

“Makanya pergerakan di sana luar biasa. Kalau di Indonesia, fight-nya jadi mirip jualan baju di Tanah Abang sama baju impor Tiongkok. Jadi market-nya enggak terlalu growing.”

Dampak inilah yang membuat pemain VisionAI seperti Nodeflux, tidak ada yang mampu bertahan. Di Indonesia, Nodeflux jadi ‘single fighter’. Padahal sebelumnya, ada sekitar empat pemain, termasuk Nodeflux yang masuk di area ini.

“Nodeflux termasuk paling heavy [deep-tech-nya], sehingga untuk buat kayak kita itu enggak gampang. Dari skala 10, bisa dibilang kita di 8,5, tapi kompetitor di skala 5. Gap-nya panjang [untuk mengejarnya].”

Sebagai sebuah perusahaan, Nodeflux sudah tidak lagi seperti startup pada umumnya. Perusahaan telah mencapai profitabilitas dan tidak mengandalkan lagi pendanaan dari investor sejak putaran terakhir di 2019.

Nodeflux memiliki sejumlah solusi berbasis AI untuk para kliennya dari B2B dan B2G, yakni Visionaire (Surveillace-Analytics-as-a-Service), Identifai (e-KYC untuk industri keuangan), dan RetailMatix (SaaS Vision AI & Sales Force Automation untuk industri ritel). Masing-masing menyelesaikan isu yang dihadapi para klien yang datang dari berbagai industri.

Proyek “Large Language Model” Bahasa Indonesia Diumumkan, Hasil Kolaborasi Sektor Publik dan Privat

BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), KORIKA (Kolaborasi Riset & Inovasi Kecerdasan Artifisial), dan dua portfolio GDP Venture (Glair.ai & Datasaur.ai) bersama dengan AI Singapore (AISG) mengumumkan inisiatif proyek kolaboratif untuk mengembangkan Large Language Model (LLM) Bahasa Indonesia yang terbuka agar dapat dimanfaatkan secara luas oleh berbagai pihak.

“Model LLM yang ada saat ini sangat dipengaruhi oleh budaya barat, semakin kecil kemungkinan ChatGPT berperilaku seperti manusia di wilayah tersebut. ASEAN dalam perekonomian global punya peranan penting, tapi kita masih kurang terepresentasi,” ucap Head of Strategy, Partnerships & Growth AI Singapore Darius Liu dalam konferensi pers, Kamis (30/11).

AISG adalah pengembang SEA-LION (Southeast Asian Languages in One Network), sebuah open-source LLM yang dikembangkan untuk lebih memahami dan mewakili beragam konteks, bahasa, dan budaya di Asia Tenggara. AISG adalah program nasional yang didukung oleh National Research Foundation Singapura dan diselenggarakan oleh National University of Singapore.

SEA-LION dibangun di atas arsitektur MPT (Mosaic Pretained Transformers) yang kuat dan memiliki ukuran kosakata 256 ribu. Untuk tokenisasi, model ini menggunakan SEABPETokenizer, dirancang khusus untuk bahasa-bahasa di Asia Tenggara, sehingga memastikan performa model yang optimal.

LLM merupakan jenis model kecerdasan buatan yang dirancang untuk memahami dan menghasilkan bahasa manusia. Mereka dilatih menggunakan data teks dalam jumlah besar dan dapat melakukan berbagai tugas seperti menerjemahkan, meringkas, menjawab pertanyaan, dan bahkan menulis kode.

LLM yang ada saat ini (ChatGPT dari Open AI, Bard dari Google) menunjukkan bias yang kuat dalam hal nilai-nilai budaya, keyakinan politik dan sikap sosial. Hal ini disebabkan oleh data pelatihan, terutama yang diambil dari internet, seringkali condong pada pengaruh WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, Democratic).

Fenomena ini menyisakan kekosangan di pasar bahasa lain dan memusatkan keunggulan teknologi di antara negara-negara berbahasa Inggris. Berdasarkan data Statista pada Januari 2023, dominasi bahasa Inggris mencapai 58,8% untuk konten web, sedangkan bahasa Indonesia porsinya hanya 0,6%. Fakta ini menggarisbawahi perlunya penelitian dan pengembangan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan bahasa Indonesia.

Diklaim, dibandingkan open source LLM milik negara barat, SEA-LION mampu menjawab seolah-olah berbicara dengan manusia karena penggunaan bahasanya tidak kaku. Ada beberapa konteks lokal pula yang tidak mampu dijawab oleh LLM, seperti ChatGPT. Sejak inisiatif SEA-LION dilakukan, LLM ini telah banyak melatih bahasa Indonesia dan Thai. Lalu disusul Bahasa Melayu dan Vietnam, bahasa dari negara lain masih perlu dilatih lagi.

Proyek kolaboratif

CTO GDP Venture/CEO & CTO GDP Labs On Lee menyampaikan, sejalan dengan visi AISG yang ingin menciptakan LLM khusus bahasa Indonesia yang dapat bermanfaat di Asia Tenggara. GDP Venture, melalui portofolionya Glair.ai dan Datasaur.ai, tengah menyesuaikan platform SEA-LION agar sesuai dengan konteks Indonesia demi menciptakan LLM bahasa Indonesia yang terbuka secara komprehensif.

“Inisiatif ini menjanjikan manfaat seperti pengurangan biaya operasional, peningkatan pendapatan dan produktivitas, serta kolaborasi manusia dan AI yang efektif, semuanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi di Indonesia dan Asia Tenggara,” kata On Lee.

Sementara itu, bagi BRIN, adopsi LLM bahasa Indonesia dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi penelitian, meningkatkan aksesibilitas kepada publik, mendukung pengembangan teknologi, dan meningkatkan sumber daya manusia. Selain itu juga memberikan peluang dalam akuisisi pengetahuan baik yang bersifat saintifik maupun budaya lokal.

Datasaur.ai, Glair.ai, BRIN, dan AISG menargetkan pengembangan LLM ini pada akhirnya mendorong pembuatan platform AI, seperti ChatGPT. Pembedanya adalah tujuan penggunaannya yang bakal lebih dispesialisasikan sesuai target konsumen. “ChatGPT itu lebih ke general purpose, jadi sulit untuk bersaing langsung. Kita harus pintar-pintar bagaimana bisa memenuhi konsumer kita,” tambah On Lee.

Easy Crypto Obtains 140 Billion Funding from GDP Venture and Other Investors

New Zealand based crypto marketplace platform Easy Crypto announced a series A funding round worth of $12 million or 170 billion Rupiah, led by Nuance Connected Capital involving venture firm GDP Venture that belongs to Djarum Group.

Also, a series of other foreign investors participated in this funding, including pension fund managers Pathfinder KiwiSaver, Icehouse Ventures, Even Capital, Hutt Capital, and Seven Peaks Ventures.

In the official statement, Easy Crypto’s Co-founder & CEO, Janine Grainger said she was targeting the Indonesian and Southeast Asian markets for their next business expansion. This is in line with the involvement of institutional investors believe in the role of crypto assets in the financial ecosystem.

“This capital is an important milestone for Easy Crypto and the future of blockchain in the world. The rising interest in crypto investing is a support for Easy Crypto’s growth on a global scale,” Grainger said.

He claimed, this investment is the largest first round funding the company has ever secured in New Zealand. Prior to this, Easy Crypto had never received investment from angel investors or other investors in the seed stage.

Easy Crypto allows users to trade more than 150 crypto assets. The platform was founded by brothers Janine and Alan Grainger in 2018. To date, Easy Crypto has posted sales of over $750 million with a fivefold increase in the number of users over the past year.

Currently, Easy Crypto only operates in South Africa, Australia, Philippines, New Zealand and Brazil. With the support of venture capitalist GDP Venture, Easy Crypto can push its expansion plans to Indonesia as a top priority.

GDP Venture’s CTO, On Lee said, currently millions of Indonesians already own crypto. The trend of crypto growth in Indonesia will allow Easy Crypto to penetrate with the ease of the buying and selling process.

A bit of information, GDP Venture also has a subsidiary, GDP Labs, which focuses on developing technology products, such as blockchain, cloud computing, mobile computing, big data, and machine learning. This investment enables Easy Crypto synergies with products developed by GDP Labs.

“GDP Venture through GDP Labs has built a blockchain consulting business unit to assist our partners’ blockchain implementation,” he said as contacted by DailySocial.id separately.

Meanwhile, Nuance Connected Capital’s Founding Partner, Adrien Gheur added, the adoption of crypto and blockchain assets is increasing, both in the form of trading, payments, and exchanges. “The number of global crypto users is expected to grow 80% per year in the next three years.”

Crypto’s opportunity in Indonesia

Quoting Katadata, the phenomenon of the growth of crypto asset transactions in Indonesia still continues even though it only contributes 1% to the total global volume of transactions. Based on data from the Ministry of Trade, the value of crypto asset transactions in the country skyrocketed by IDR 478.5 trillion from IDR 65 trillion in 2020.

The number of crypto customers has also reached 7.4 million or doubled from the previous year of 4 million. There are a number of types of crypto assets that have a lot of interest in Indonesia, including Bitcoin, Ethereum, and Cardano.

Sumber: Katadata

The growth momentum also led to the presence of new crypto or blockchain startups in Indonesia. A number of investors started to eye this investing sector. In fact, foreign players have begun to penetrate the Indonesian market by seeing the market’s enthusiasm for crypto assets.

Referring to Pitchbook data as reported by CNBC, venture capitalists have disbursed investments of $14 billion or equivalent to Rp202 trillion per Q2 2021. The total investment is said to increase from the same perion last year at $600 million or Rp8.6 trillion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan 140 Miliar Rupiah Diperoleh Easy Crypto dari GDP Venture dan Sejumlah Investor

Platform marketplace kripto asal Selandia Baru, Easy Crypto mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $12 juta atau setara 170 miliar Rupiah, yang dipimpin oleh Nuance Connected Capital dan melibatkan perusahaan ventura GDP Venture milik Grup Djarum.

Selain itu, sejumlah investor asing lainnya turut berpartisipasi dalam pendanaan ini di antaranya pengelola dana pensiun Pathfinder KiwiSaver, Icehouse Ventures, Even Capital, Hutt Capital, dan Seven Peaks Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Easy Crypto Janine Grainger mengatakan tengah membidik pasar Indonesia dan Asia Tenggara sebagai target ekspansi bisnis berikutnya. Hal ini sejalan dengan keterlibatan investor institusional yang meyakini peran aset kripto dalam ekosistem keuangan.

“Permodalan ini menjadi tonggak penting bagi Easy Crypto dan masa depan blockchain di dunia. Meningkatnya minat investasi terhadap kripto menjadi dukungan bagi pertumbuhan Easy Crypto dalam skala global,” ungkap Grainger.

Menurut klaimnya, investasi tersebut menjadi putaran pendanaan pertama terbesar yang pernah diperoleh perusahaan di Selandia Baru. Sebelum ini, Easy Crypto belum pernah menerima investasi dari angel investor maupun pemodal lainnya di tahapan seed.

Easy Crypto memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi jual-beli dan memperdagangkan lebih dari 150 aset kripto. Platform ini didirikan oleh kakak-beradik Janine dan Alan Grainger pada 2018. Hingga saat ini, Easy Crypto telah membukukan penjualan lebih dari $750 juta dengan peningkatan jumlah pengguna sebesar lima kali lipat selama satu tahun terakhir.

Untuk saat ini, Easy Crypto baru beroperasi di Afrika Selatan, Australia, Filipina, Selandia Baru, dan Brasil. Dengan dukungan pemodal ventura GDP Venture, Easy Crypto dapat mendorong rencana ekspansinya ke Indonesia sebagai prioritas utama.

CTO GDP Venture On Lee mengatakan, saat ini jutaan orang Indonesia telah memiliki kripto. Tren pertumbuhan kripto di Indonesia akan memungkinkan Easy Crypto untuk melakukan penetrasinya dengan kemudahan proses jual-beli.

Sedikit informasi, GDP Venture juga memiliki anak usaha GDP Labs yang fokus terhadap pengembangan produk teknologi, seperti blockchain, cloud computing, mobile computing, big data, hingga machine learning. Investasi ini memungkinkan sinergi Easy Crypto dengan produk yang dikembangkan GDP Labs.

“GDP Venture melalui GDP Labs telah membangun unit bisnis consulting blockchain untuk membantu implementasi blockchain dari mitra kami,” ungkapnya dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Sementara, Founding Partner Nuance Connected Capital Adrien Gheur menambahkan, adopsi aset kripto dan blockchain semakin meningkat, baik dalam bentuk perdagangan, pembayaran, dan pertukaran. “Jumlah pengguna kripto global diperkirakan tumbuh 80% per tahun dalam tiga tahun ke depan.”

Potensi kripto di Indonesia

Melansir Katadata, fenomena pertumbuhan transaksi aset kripto di Indonesia masih berlanjut meskipun hanya berkontribusi 1% terhadap total transaksi volume global. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai transaksi aset kripto di Tanah Air meroket sebesar Rp478,5 triliun dari Rp65 triliun di 2020.

Jumlah pelanggan kripto juga sudah mencapai 7,4 juta atau naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar 4 juta. Adapun sejumlah jenis aset kripto yang memiliki banyak peminat di Indonesia antara lain Bitcoin, Ethereum, dan Cardano.

Sumber: Katadata

Momentum pertumbuhan turut memunculkan kehadiran startup kripto atau blockchain baru di Indonesia. Sejumlah investor mulai tertarik untuk berinvestasi di sektor ini. Bahkan, pemain asing pun mulai melebarkan sayapnya ke pasar Indonesia dengan melihat antusiasme pasar terhadap aset kripto.

Mengacu data Pitchbook seperti diberitakan CNBC, pemodal ventura telah mengucurkan investasi sebesar $14 miliar atau setara Rp202 triliun per kuartal II 2021. Total investasi ini naik drastis dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar $600 juta atau Rp8,6 triliun.

 

On Lee dari GDP Membahas Potensi AI dalam Industri Teknologi Tanah Air

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Menghabiskan hampir lebih dari tiga puluh tahun di negeri orang, CEO & CTO GDP Labs juga sebagai CTO GDP Venture, On Lee akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 10 tahun, ia berhasil mengembangkan GDP Venture dan membangun GDP Labs dari awal berbekal pengalaman matang hasil merantau. Selain itu, ia sebelumnya menjabat sebagai CEO & CTO Kaskus, forum komunitas online Indonesia terbesar di Indonesia.

Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman dalam dunia internet, seluler, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, pengembangan perangkat lunak konsumen dan perusahaan, ia telah memegang berbagai posisi manajemen dan teknis sebagai salah satu pendiri, CEO, CTO, Wakil Presiden Eksekutif Teknik, dan teknisi di perusahaan startup dan Fortune 500 di AS.

On Lee sangat tertarik dengan inovasi Artificial Intelligence. Beliau sempat mengampu jurusan teknik elektro sebelum akhirnya beralih jurusan ke ilmu komputer. Keyakinannya pada industri teknologi Indonesia dan teknisi lokal telah memberinya inspirasi untuk mendirikan GDP Labs. Dari tahun 2012 hingga saat ini, GDP Labs telah mempekerjakan 160 orang [kebanyakan insinyur] di lima kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Melalui GDP Venture, sebagai venture builder, dengan fokus pada komunitas digital, media, perdagangan, dan perusahaan solusi di industri internet konsumen Indonesia. Mereka telah berinvestasi di lebih dari 50 portofolio dan masih terus bertambah. Selain itu, ia telah membangun tim untuk memulai produk baru yang strategis di perusahaan rintisan dan perusahaan besar di AS, Indonesia, Cina, dan India.

DailySocial berhasil mendapat waktu beliau untuk berbagi cerita penuh wawasan sepanjang perjalanan entrepreneurship-nya.

Sebagai CTO GDP Ventures, juga CEO & CTO GDP Labs, menurut Anda apakah industri teknologi Indonesia berpotensi untuk membangun pusat global untuk teknologi tinggi dan inovasi atau menjadi sebuah hub?

Pastinya. Teknologi digital dan AI mewakili peluang emas bagi Indonesia, dengan populasi yang relatif muda dan bersemangat lebih dari 260 juta orang. Negara ini menawarkan usia rata-rata produktif 30 tahun dan tingkat literasi 95 persen. Ekosistem start-up digital Indonesia sudah prima dan siap mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, Taiwan, Korea, dan China yang telah berhasil mentransformasi negaranya melalui teknologi. Mereka telah secara signifikan meningkatkan keterampilan individu, standar hidup, dan produktivitas serta telah diakui sebagai pemain global utama di dunia. Pemerintah Indonesia memiliki banyak inisiatif teknologi; kebanyakan universitas menawarkan kelas ilmu komputer; dan investor lokal dan asing berinvestasi besar-besaran dalam ekonomi digital, dan semua hal ini meningkat selama pandemi.

Setelah sekian lama merantau, hampir tiga puluh tahun menggali ilmu di negeri Paman Sam. Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan memulai GDP Labs? Apa yang menjadi mimpi Anda?

Saya kembali ke Indonesia karena alasan keluarga. Orang tua kami semakin tua, dan kami perlu merawat mereka.

Saya kemudian menemukan banyak talenta teknisi perangkat lunak yang hebat tetapi masih mentah di Indonesia. Banyak dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan yang tepat, bimbingan, dll. Pak Martin Hartono, CEO di GDP Venture, dan saya membina beberapa pemimpin muda yang paling cemerlang dan paling menjanjikan yang akan menjadi ahli teknologi dan berpengetahuan luas dalam bisnis dan kepemimpinan di GDP Labs. Upaya kami menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee dalam acara GDP Labs Team Building 2018 bersama Martin Hartono

Kapan pertama kali Anda mengecap industri teknologi? Apakah hal ini memang menjadi passion Anda?

Awalnya saya mengambil jurusan teknik elektro, sebelum kemudian beralih ke jurusan ilmu komputer dengan minor dalam matematika.

Salah satu hobi saya adalah bermain catur. Dulu saya sempat menjadi pemain catur profesional. Saya tertarik pada ilmu komputer, matematika, dan catur karena keduanya memiliki dua kesamaan: logika dan pemecahan masalah. Hal ini membantu meningkatkan hidup saya secara pribadi dan profesional.

on lee 9
On Lee sedang bermain catur secara simultan dengan 2 orang teknisinya

Saya sempat membaca beberapa artikel Anda terkait Artificial Intelligence (AI). Apa yang menjadi alasan Anda percaya bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia?

McKinsey memprediksi AI memiliki potensi untuk menambah aktivitas ekonomi global sekitar USD13 triliun pada tahun 2030. Betul sekali, besarnya USD13 triliun. Beberapa ahli mengatakan bahwa AI sama pentingnya dengan penemuan api dan listrik. Meskipun itu mungkin tampak berlebihan, intinya adalah bahwa AI akan menjadi salah satu teknologi terpenting yang pernah ditemukan manusia, meninggalkan dampak pada masyarakat dan bisnis dengan cara yang sangat mendalam. Kemungkinan besar akan memiliki kelasnya sendiri. Hal ini akan menjadi bagian dari kehidupan pribadi kita, di hampir semua industri. AI akan membantu mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global serta memposisikan Indonesia dengan baik untuk masa depan dunia baru di hadapan kita.

2020 bukanlah situasi yang ideal bagi semua orang, namun apakah Anda yakin bahwa industri teknologi tanah air berperan penting dalam pemulihan kondisi negara ini?

Tahun 2020 menjadi sulit bagi semua orang karena pandemi yang menyebabkan kebangkrutan, pengangguran, dan masalah sosial. Selain mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas dan kenyamanan, teknologi akan membantu kita menjadi lebih aman dan sehat. Hal ini akan turut membantu mempercepat pemulihan ekonomi.

Bagaimana dengan GDP Venture dan GDP Labs sendiri? Apakah situasi ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan?

Tentunya, tidak ada yang kebal. Kami telah meminta perusahaan kami untuk merevisi rencana tahun 2020 mereka tentang bagaimana bertahan dalam jangka pendek dan berkembang dalam jangka panjang. Pandemi ini bisa diibaratkan seperti kaca pembesar dan akselerator. Ia menyoroti apa yang telah Anda lakukan dengan benar tetapi juga apa yang telah Anda lakukan salah. Kami telah memilih untuk mempercepat beberapa inisiatif. Singkatnya, kami mencoba beradaptasi.

Dalam hal investasi, apakah menurut Anda Indonesia sudah memiliki iklim yang bagus untuk industri teknologinya? Apakah Anda melihat perubahan pada lanskap investasi sebelum dan sesudah pandemi?

Iya. Kami mendapat dukungan pemerintah yang cukup baik. Universitas menghasilkan banyak teknisi perangkat lunak setiap tahunnya, dan terdapat hampir 200 juta pengguna Internet di Indonesia, pengusaha, investor lokal dan asing.

Pandemi adalah salah satu bentuk peringatan yang baik. Startup fokus pada apa yang paling penting untuk bertahan dan berkembang, penilaian dan ekspektasi perusahaan menjadi lebih realistis. Ini adalah pengalaman yang mengajarkan banyak hal.

Beberapa portofolio GDP

Sebagai serial entrepreneur dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam dunia teknologi, Anda pasti pernah ditempatkan dalam situasi yang sulit sebelumnya. Apakah Anda berkenan berbagi kisah jatuh bangun membangun perusahaan? Serta bagaimana Anda berhasil melewati masa-masa sulit itu?

Benar. Waktu dan keberuntungan memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan perusahaan mapan dan startup. Salah satu perusahaan rintisan tempat saya bekerja berada di jalur yang tepat untuk mencapai valuasi miliaran dolar di Silicon Valley. Sayangnya, resesi 2008 melanda AS serta perkara hutang teknis. Perusahaan itu dijual dengan harga lebih rendah dari ekspektasi kami meskipun kami masih mendapat untung.

Apakah Anda memiliki sosok panutan (mentor) untuk melewati masa-masa sulit? Mungkin semacam support system.

Pastinya. Saya beruntung mendapat bantuan dari banyak orang – teman, keluarga, pembimbing, rekan kerja, guru, dan bahkan orang asing.

Setiap orang akan memiliki titik terendah dalam hidup mereka. Mereka membutuhkan support system untuk melewati kesulitan. Saya belum melihat ada orang yang berhasil melakukannya sendiri.

Siapa yang menginspirasi Anda hingga seperti saat ini? Apakah Anda masih punya mimpi yang belum tercapai?

Banyak orang – ahli teknologi, ilmuwan, olahragawan, seniman – menginspirasi saya. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka terus-menerus belajar untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam kepemimpinan, bisnis, dan pemimpin dalam domain masing-masing.

Saya percaya, adalah hal yang penting untuk membantu generasi muda karena banyak orang membantu dan memberi saya kesempatan ketika saya masih muda dan belum berpengalaman. Ada begitu banyak peluang untuk mendisrupsi banyak bidang dengan menggunakan teknologi, sementara beberapa perusahaan mapan masih menggunakan teknologi abad ke-20. Tetaplah sehat.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para tech enthusiast yang masih berjuang menapaki jalan menuju industri namun terhadang oleh pandemi?

Kejelasan. Kepercayaan. Keyakinan. Memiliki kejelasan tentang apa yang ingin Anda lakukan. Jalankan dengan kepercayaan dan keyakinan tanpa henti. Ada peluang tersembunyi selama pandemi.

Artificial Intelligence disebut akan menggantikan pekerjaan manusia. Sebagai seorang individu, pernahkah Anda memikirkan tentang skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi ini?

AI akan menggantikan beberapa pekerjaan yang ada. Tapi, itu juga akan menciptakan jenis pekerjaan baru; lebih dari itu menghilangkan. Mari kita lihat dua skenario berikut.

Pertama, industri mobil menggantikan industri kuda. Ada lebih dari 1,4 miliar mobil dan hanya ada 58 juta kuda di dunia sekarang. Industri mobil – produksi, layanan, mobilitas yang baru ditemukan, dll. – telah menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang dihilangkan dari industri kuda.

Kedua, ada perusahaan yang mengimplementasikan robot bertenaga AI di gudang mereka. Banyak karyawan yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Ternyata perusahaan mempekerjakan lebih banyak orang karena robot. Ini mungkin tampak kontra-intuitif. Mengapa? Karena robot efisien dan bekerja 24 jam sehari sehingga menghasilkan lebih banyak; manusia menjadi penghambat dan lebih banyak manusia perlu disewa untuk mengimbangi robot. Meskipun robot dapat melakukan tugas tertentu, mereka tidak dapat melakukan segala hal.

Manusia akan bebas melakukan pekerjaan yang lebih kreatif, sementara teknologi dan AI menangani pekerjaan mekanis. Selain itu, teknologi dan AI membebaskan sebagian waktu umat manusia sehingga kita dapat menghabiskan waktu kita dengan orang lain.

Singkatnya, AI meningkatkan kreativitas manusia dan pada akhirnya menjadikan kita lebih manusiawi.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

GDP’s On Lee Talks about The Potential of AI in Indonesian Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Spending almost over thirty years outside the nation, the CEO & CTO of GDP Labs and CTO of GDP Venture, On Lee finally returned to Indonesia in 2011. In the span of 10 years, he managed to grow GDP Venture and build GDP Labs from scratch, based on the best practice he learned from overseas. Meanwhile, he previously served as the CEO & CTO of Kaskus, the largest Indonesian online community forum in Indonesia.

With over 30 years of experience in internet, mobile, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, consumer and enterprise software development, he has held various management and technical positions as a co-founder, CEO, CTO, Executive VP of Engineering, and engineer in both startup and Fortune 500 companies in the US.

On Lee has quite an interest in Artificial Intelligence innovation. He was doing electrical engineering before eventually shifting major into computer science. His belief in the Indonesian tech industry and local engineers has brought him the inspiration for GDP Labs. From 2012 to date, GDP has employed 160 people [mostly engineers] in five cities in Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, and Surabaya.

Through GDP Venture, as a venture builder, focusing on digital communities, media, commerce, and solution companies in the Indonesian consumer internet industry. They have invested in over 50 portfolios and still counting. Additionally, he has built teams to start strategic new products in startups and large companies in the US, Indonesia, China, and India.

DailySocial managed to convince him to share some insightful stories along his entrepreneurial journey.

As the CTO of GDP Ventures, also the CEO & CTO of GDP Labs, do you think the Indonesian tech industry has the potential to develop the global center for high technology and innovation or become a tech hub?

Definitely. Digital technology and AI represent a golden opportunity for Indonesia, with a relatively young and vibrant population of over 260 million people. The country boasts a median age of 30 and a literacy rate of 95 percent. Indonesian digital start-ups are primed and ready to follow in the footsteps of other Asian countries such as Japan, India, Taiwan, Korea, and China, which have been successful in transforming their countries through technology. They have significantly improved people’s skills, the standard of living, and productivity and have been recognized as key global players in the world. The Indonesian government has multiple technology initiatives; most universities offer computer science classes; and local and foreign investors are investing heavily in the digital economy, and this has only accelerated during the pandemic.

You’ve been away for almost thirty years, growing knowledge in the U.S. What drives you back to Indonesia and finally started GDP Labs? What was your dream?

I returned to Indonesia due to family reasons. Our parents were getting old, and we needed to take care of them.

I then discovered many great but raw software engineering talents distributed in Indonesia. Many of them did not have the opportunity to receive the right training, mentoring, etc. Mr. Martin Hartono, CEO at GDP Venture, and I are nurturing some of the brightest and most promising young leaders who would become technology savvy and well-rounded in business and leadership at GDP Labs. Our efforts show promising early results.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono

When was the first time you encountered the tech industry? Does technology always been your passion?

I originally majored in electrical engineering. I then switched to a computer science major with a minor in mathematics.

One of my hobbies is playing chess. I used to be a professional chess player. I am interested in computer science, mathematics, and chess because they have two things in common: logic and problem-solving. They helped improve my life personally and professionally.

on lee 9
On Lee was playing chess simultaneously with 2 of his engineers

I read some of your articles about Artificial Intelligence (AI). What makes you believe in the first place that this technology can be a key solution for most problems in the world?

McKinsey predicts AI has the potential to deliver additional global economic activity of around USD 13 trillion by 2030. Yes, that’s USD 13 trillion. Some experts have said that AI is as important as the discovery of fire and electricity. Although that may seem like an exaggeration, the point is that AI is going to be one of the most important technologies humanity will ever invent, leaving an impact on society and business in a deeply profound way. It will likely be in a class by itself. It is going to be part of our personal lives, across virtually all industries. AI will help accelerate the global economy’s recovery and growth and position Indonesia well for the future of a new world before us.

2020 is not an ideal situation for everyone, do you believe our tech industry can play a big part in our country’s recovery?

2020 has been hard for everyone due to the pandemic which leads to bankruptcies, unemployment, and social issues. In addition to reducing costs, increasing productivity and convenience, technology will help us be safer and healthier. This will help to lead economic recovery faster.

Many companies and governments are accelerating their digital transformation using cloud computing, mobile computing, and AI during the pandemic.

How about GDP Venture and GDP Labs, does this pandemic situation affect the company in a significant way?

Yes, no one is immune. We have asked our companies to revise their 2020 plan on how to survive in the short term and thrive in the long term. Pandemic is like a magnifying glass and accelerator. It highlights what you have been doing right but also what you have been doing wrong. We have chosen to accelerate some initiatives. In short, we needed to adapt.

In terms of investment, do you think Indonesia has provided a good investment climate for its tech industry? Do you see any significant change in the tech investment scene before and after the pandemic?

Yes. We get good government support. Universities produce many software engineers annually, and almost 200 million Internet users in Indonesia, entrepreneurs, local and foreign investors.

The pandemic is a good wake up call. Startups focus on what matters most to survive and thrive, company valuations and expectations become more realistic. It is a humbling experience.

Some of GDP Venture’s portfolios

As a serial entrepreneur with over 30 years of experience in technology, I believe you’ve been put in a bad situation before. Are you willing to share some of the hardships in building a venture? And how you come up with a solution amid the pressure?

Yes. Timing and luck play a big part in both established companies’ and startups’ success or failure. One of the startups that I worked at was on track to hit a billion-dollar valuation in Silicon Valley. Unfortunately, the 2008 recession hit the US and technical debts. The company was sold for lower than our expectations even though we still made some profit.

Do you have certain figures(mentors) to help you through the hard days? Some kind of support system?

Definitely. I was fortunate to get help from many people — friends, family, mentors, colleagues, teachers, and even strangers.

Everyone will have low points in their lives. They need a support system to go through hardship. I haven’t seen anyone successful by doing it alone.

Who inspired you to be the person you are now? Do you have goals you’re yet to achieve?

Many people — technologists, scientists, sportspeople, artists — inspired me. They have the following characteristics: they were constantly learning to be well-rounded in leadership, business, and master in their domain.

I believe it’s important to help young people because many people helped and gave me opportunities when I was young and inexperienced. There are so many opportunities to disrupt many areas using technology, while some established companies are still using 20th-century technology. Stay healthy.

What will you say to those tech enthusiasts struggling to pave their paths into the industry yet stumble upon the current pandemic situation?

Clarity. Confidence. Conviction. Have clarity on what you want to do. Execute on it with confidence and conviction relentlessly. There are hidden opportunities during the pandemic.

Artificial Intelligence (AI) is said to replace a human’s job. As a human, has it ever occurred to you that there’s the worst scenario that can result from this technology?

AI will replace some existing jobs. But, it will also create new types of jobs; more than it eliminates. Let’s look at the following two scenarios.

First, the car industry replaced the horse industry. There are over 1.4 billion cars and there are only 58 million horses in the world now. The car industry – production, services, newfound mobility, etc. – has created more jobs than it eliminated from the horse industry.

Second, there was a company implementing AI-powered robots in their warehouses. Many employees were worried they would lose their jobs. It turned out that the company hired more people due to robots. This may seem counter-intuitive. Why? Because robots are efficient and work 24 hours a day so they produce more; humans became the bottleneck and more humans needed to be hired to keep up with the robot. Although robots could do certain tasks, they couldn’t do anything.

Humans will be free to do more creative work while technology and AI take care of mechanical work. Also, technology and AI free up some of humanity’s time so we could spend our time with other people.

In short, AI augments humans’ creativity and ultimately makes us more human.

Prosa.ai Dapatkan Pendanaan Seri A dari GDP Venture

Prosa.ai startup pengembang platform artificial intelligence (AI) untuk teknologi pemrosesan teks (NLP – Natural Language Processing) dan pengenalan suara dalam Bahasa Indonesia, hari ini (20/6) mengumumkan perolehan pendanaan seri A yang dipimpin oleh GDP Venture. Tidak disebutkan nominal dana diterima. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun lalu dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture)

“Walaupun jumlah talent AI terbatas termasuk di Indonesia, tetapi para pendiri Prosa.ai menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk mengembangkan teknologi AI dan Prosa.ai pun telah menunjukkan progress yang sangat baik dalam waktu singkat,” sambut CEO GDP Venture Martin Hartono.

Ia juga mengatakan, AI merupakan teknologi yang sedang berkembang dan sangat dibutuhkan untuk menunjang berbagai industri. Sehingga berinvestasi pada teknologi AI merupakan langkah strategis bagi perusahaannya dan diharapkan dapat berpartisipasi dalam kemajuan teknologi di Indonesia.

Prosa.ai didirikan sejak tahun 2018, berawal dari hasil riset para co-founder yakni Ayu Purwarianti, Dessi Puji Lestari dan Teguh Eko Budiarto. Belum lama ini, Prosa.ai bekerja sama dengan Kominfo meluncurkan Chatbot AntiHoaks yang berfungsi untuk mengecek berita, artikel atau tautan yang diberikan oleh masyarakat melalui fitur chat.

“Pendanaan yang kami dapatkan akan kami gunakan untuk memperkuat tim kami, meningkatkan kualitas produk dan data kami menjadi lebih baik lagi. Beberapa produk yang akan kami tingkatkan lagi kualitasnya, seperti Prosa Hoax Intel, NLP Toolkit API, Concept-Sentiment, Chatbot NLP Processing, Text Data Sets, Voice Biometrics, Speech Datasets, Speech-to-Text, Text-to-Speech, Conversational Analytics and Meeting Analytics for Bahasa Indonesia,” ungkap CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto.

On Lee selaku CTO GDP Venture dan CEO & CTO GDP Labs yang merupakan salah satu Board Directors dari Prosa.ai mengatakan, “GDP Venture sangat senang diberi kesempatan untuk mendanai Prosa.ai karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan AI terbaik di Indonesia yang didirikan oleh founders yang kredibel dan mempunyai pengalaman dibidang AI dibarengi dengan tim yang solid dan teknologi yang andal.”

Startup Kecerdasan Buatan 6Estates Bukukan Pendanaan Seri B dari GDP Venture dan Central Capital Ventura

6Estates, startup pengembang solusi berbasis kecerdasan buatan dan data besar asal Singapura, mengumumkan telah berhasil menyelesaikan putaran pendanaan seri B. Pendanaan ini dipimpin oleh GDP Venture dengan partisipasi Central Capital Venturacorporate venture milik BCA. Penambahan modal ini difokuskan dalam pengembangan solusi cognitive data intelligence miliknya dan ekspansi global.

Pasca pendanaan, perusahaan juga berencana mendirikan kantor di Indonesia untuk memanfaatkan peluang pasar. Termasuk untuk mengakselerasi pengembangan kemampuan Natural Language Processing Bahasa Indonesia dan berkolaborasi lebih dalam dengan BCA guna meningkatkan kompetensi kecerdasan buatan di perbankan.

“6Estates telah mendapatkan traksi pasar yang mengesankan dengan teknologi AI mereka di ruang data besar yang tengah berembang. Dengan DNA inovatif, mereka secara progresif mendorong batas-batas untuk memecahkan tantangan dunia nyata yang disajikan oleh ledakan data pada platform digital yang berbeda. Kami sangat bersemangat untuk berinvestasi di perusahaan dan memimpin putaran seri B-nya,” sambut CEO GDP Venture Martin Hartono.

Salah satu produk 6Estates adalah Market Innovation Knowledge Advisor (MIKA), solusi data berbasis kecerdasan buatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi setiap atribut penjualan produk. MIKA mengidentifikasi tren konsumen mendatang dan atribut pembelian utama yang memungkinkan brand untuk menjalankan desain produk dan kegiatan pemasaran dengan lebih baik.

Solusi yang dikembangkan 6Estates kebanyakan berpusat pada intelijen pasar untuk industri consumer goods dan keuangan. Pendekatan teknologi seperti Natural Language Processing, Explainable Neural Network, dan Knowledge Graph diterapkan pada produk-produk yang dikembangkan.

“Karena kebutuhan konsumen yang terus berubah, klien kami mencari cara untuk tidak hanya memahami tren dengan lebih baik, tetapi mencari solusi yang dapat menjelaskan mengapa fenomena itu terjadi. Di 6Estates, kami menggunakan terobosan penelitian terbaru untuk menciptakan solusi inovatif untuk memberdayakan klien kami,” ujar Co-Founder & CEO 6Estates Luan Huanbo.

Luat turut menerangkan, bahwa di sektor keuangan 6Estates menerapkan teknologi ekstraksi informasi dan mesin pembaca yang komprehensif untuk membantu klien mentransformasikan dokumen tidak terstruktur menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Selanjutnya informasi tersebut akan berguna untuk otomasi intelijen. Saat ini 6Estates juga tengah mengeksplorasi pemanfaatan teknologinya untuk industri perdagangan dan pasar modal.

6Estates
Tim 6Estates di Singapura / 6Estates

“Didirikan oleh pemenang ACM Achievements Award, Prof Chua Tat-Seng, CEO Dr Luan Huanbo dan CTO Dr Wang Chao, 6Estates adalah salah satu ahli kecerdasan buatan dunia. Mereka telah membentuk tim kecerdasan buatan kelas dunia. Mereka adalah salah satu perusahaan kecerdasan buatan terbaik di dunia, yang mampu menggabungkan pengalaman industri dan keahlian akademis,” ujar CTO GDP Venture, CEO/CTO GDP Labs On Lee, yang juga akan turut bergabung dalam dewan direksi 6Estates.

Kepercayaan investor juga didorong oleh prestasi bisnis yang mengesankan. Disampaikan pertumbuhan 6Estate mencapai 300% YoY dalam 12 bulan terakhir, didorong permintaan solusi intelijen pasar dari perusahaan Fortune 500 seperti P&G, Nestle, dan Unilever. Untuk solusi finansial yang dikembangkan, saat ini tengah diterapkan di beberapa perusahaan, seperti HengFeng Bank dan South-West Securities.

Menakar Adopsi Teknologi Kecerdasan Buatan di Indonesia

Setelah komputasi awan dan big data, istilah teknologi yang tengah gencar diperbincangkan adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence). Definisi paling sederhana dari kecerdasan buatan adalah otomasi komputer untuk mengerjakan berbagai pekerjaan prediktif dan terukur. Pada dasarnya kecerdasan buatan mengeksekusi setiap tugas bermodalkan algoritma dan data yang terhimpun.

Jika kemunculannya berada di belakang komputasi awan dan big data, tampaknya memang seperti itu evolusinya. Diawali dengan komputasi awan yang mampu menyediakan infrastruktur dan platform untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang dinamis, dilanjutkan pemrosesan big data dalam pengelolaan aset terpenting bisnis saat ini, yakni data.

Kecerdasan buatan diprogram dalam mesin komputer berperforma tinggi untuk mempelajari tren historis aktivitas, lalu melakukan kalkulasi tindakan. Pada prinsipnya teknologi tersebut memungkinkan komputer untuk belajar, berpikir, dan melakukan aksi secara mandiri.

Perkembangan kecerdasan buatan

Riset PwC menempatkan kecerdasan buatan sebagai “game changer” dengan potensi nilai yang disumbangkan terhadap ekonomi global mencapai $15,7 triliun di tahun 2030 mendatang. Angka tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan didasari pada manfaat yang diberikan teknologi tersebut. Melihat pada aplikasi kecerdasan buatan yang mulai bermunculan saat ini, riset tersebut menyimpulkan dampak baik yang dapat dirasakan langsung dalam produktivitas bisnis.

1

Tidak mustahil jika perkembangan kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat. Sejak memasuki tahun 2000-an, riset seputar kecerdasan buatan meningkat hampir 9 kali lipat secara kuantitas publikasi. Bahkan jika melihat penelitian yang terindeks di Scopus, kuantitas publikasi kecerdasan buatan jauh melampaui komputer sains dan publikasi lainnya secara umum sejak tahun 2010-an.

Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi penyumbang terbesar penelitian berbasis kecerdasan buatan. Hingga tahun 2015, totalnya lebih dari 15 ribu publikasi dari Tiongkok dan lebih dari 10 ribu publikasi dari Amerika Serikat.

Firma investasi Pitchbook melaporkan pada tahun 2017 terdapat $6 miliar investasi yang digelontorkan melalui pemodal ventura untuk proyek berbasis kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, setidaknya ada 600 startup yang fokus di bidang tersebut pada tahun 2017. Realisasi tersebut menjadi indikasi perkembangan baik. Pasalnya konsep yang sudah diteliti dalam riset mulai dihadirkan dalam solusi yang lebih nyata.

Menurut McKinsey Global Institute, saat ini kecerdasan buatan tengah ada dalam tahap penetrasi awal di Asia Tenggara. Perkembangannya diikuti hampir semua negara di kawasan regional, didalami oleh berbagai sektor bisnis. Di kawasan tersebut, salah sektor yang terpantau paling proaktif dalam menerapkan strategi transformasi digital dengan kecerdasan buatan adalah kesehatan (healthcare) dan keuangan (financial services). Kendatipun potensi terbesar diproyeksikan tetap ada di sektor manufaktur, yakni mencapai $311 miliar.

Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda, tengah dalam tahap penetrasi awal. Produk-produk yang dikembangkan rata-rata berbentuk automated intelligence (melakukan otomasi pekerjaan rutin/manual, misalnya membantu pencatatan dengan sistem biometrik), assisted intelligence (membantu orang untuk mengerjakan tugasnya secara lebih cepat, misalnya dalam bentuk chatbot), augmented/autonomous intelligence (membantu orang membuat keputusan dengan lebih baik, berupa sistem rekomendasi).

Dari sudut padang teknologi pendukungnya, kecerdasan buatan hadir dalam beberapa fase. Dimulai tahun 1990-an, riset profesional dan akademik mulai banyak menyoroti sistem, logika, dan algoritma yang kini menjadi landasan kecerdasan buatan. Fase berikutnya ialah kematangan analisis data dengan berbagai metodologi.

Kepintaran membedakan obyek berdasarkan data yang ada melahirkan konsep deep learning, yakni kemampuan komputer untuk mengidentifikasi data dengan format yang lebih beragam hingga mampu menganalisis sentimen tertentu tren data.

Kecerdasan buatan di Indonesia

Perkembangan bisnis teknologi dipengaruhi berbagai aspek, termasuk terkait adopsi teknologi kecerdasan buatan di Indonesia. Mulai dari iklim investasi, regulasi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Tahun 2015, pemerintah provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana hingga Rp30 miliar untuk menginisiasi kota pintar (smart city). Kala itu tujuan utamanya untuk menghasilkan dasbor informasi terpusat sehingga dapat membantu pemangku kepentingan dalam memutuskan tindakan. Untuk kanal masukan data, pemerintah menyiapkan lebih dari 3000 titik CCTV untuk pemantauan. Melalui aplikasi, mereka turut menghimpun laporan langsung di lapangan oleh masyarakat.

Di tahun yang sama, aplikasi Qlue mulai dikenal masyarakat ibukota. Mereka bermitra langsung dengan pemerintah untuk menghimpun informasi dari warga kota. Didesain dengan pengalaman pengguna mirip aplikasi media sosial, Qlue nyata-nyata bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan informasi, seperti soal birokrasi, lingkungan, hingga bencana. Informasi yang masuk terpantau langsung dalam dasbor pemerintah dan ditampilkan dalam grafik yang representatif sehingga mudah dibaca.

Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial
Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial

Tahun 2017, Qlue mulai menggandeng startup Nodeflux yang fokus pada solusi pengenalan obyek yang ditangkap CCTV sehingga memungkinkan proses pendataan di solusi kota pintar lebih otomatis. Hal ini berimplikasi pada analisis data yang lebih real time. Di tahap ini, semakin banyak teknologi kecerdasan buatan yang diaplikasikan. Tidak hanya sekadar analisis data, namun pemrosesan computer vision untuk deteksi obyek.

Di tahun 2015 juga hadir sebuah startup yang mencoba menginisiasi platform berbasis kecerdasan buatan. Kala itu namanya masih YesBoss, sebelum akhirnya berubah menjadi Kata.ai. Awalnya mereka menghadirkan asisten virtual untuk memenuhi kebutuhan orang secara pribadi, termasuk membantu reservasi hotel hingga memesan makanan. Dengan brand Kata.ai, kini mereka fokus menyajikan platform asisten virtual berupa chatbot untuk bisnis.

Kini banyak perusahaan besar di berbagai sektor berbondong-bondong memulai inisiatif chatbot untuk membuat proses pelayanan pelanggan menjadi lebih efisien. Salah satunya adalah Vira, chatbot layanan pelanggan milik BCA. Hadir di bulan Februari 2017, Vira melayani pelanggan untuk memberikan info promo, lokasi ATM, pendaftaran kartu kredit, hingga pengecekan transaksi perbankan. Vira dapat diakses melalui platform Messenger, Kaskus, Line, dan Google Assistant.

Investasi untuk startup kecerdasan buatan

Di Indonesia, GDP Venture menjadi salah satu investor yang serius mendukung startup pengembang layanan kecerdasan buatan. Untuk mengetahui visi GDP Venture terkait fokus berinvestasi di solusi kecerdasan buatan, DailySocial menghubungi CTO GDP Venture yang juga menjabat sebagai CEO & CTO GDP Labs On Lee.

Menurut On Lee, kecerdasan buatan sudah sangat relevan diterapkan secara luas di sektor publik atau privat. Indikasinya saat ini banyak orang yang tidak sadar bahwa telah menggunakan aplikasi bertenaga kecerdasan buatan setiap hari, misalnya Alexa, Siri, Cortana, Google Assistant, fitur auto-complete dan auto-correct di ponsel pintar, mesin pencari, dan sebagainya.

Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa teknologi kecerdasan buatan sebenarnya sudah diaplikasikan secara luas, dimulai dari hal-hal sederhana dalam penggunaan ponsel sehari-hari. Fitur auto-correct, misalnya, memang terlihat sederhana dalam penggunaan, namun jika mendalami sistem di baliknya, dibutuhkan pemrosesan canggih yang mampu melakukan pengecekan susunan huruf, lalu melakukan pencocokan dengan basisdata kata yang dimiliki secara kilat sehingga terbentuk rekomendasi kata yang sesuai.

Terkait sejauh mana bisnis di Indonesia mengadopsi kecerdasan buatan, On Lee tidak setuju jika dikatakan secara umum masih sebatas tren atau sekadar jargon untuk pemasaran produk. Salah satu portofolio GDP Venture adalah Prosa.ai yang secara khusus mengembangkan platform Natural Language Processors (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Penerapan untuk layanan text and speech processing sudah ada di beberapa skenario, salah satunya di Kaskus untuk penyaringan dan moderasi konten.

“Meskipun benar bahwa keterampilan kecerdasan buatan belum terdistribusi secara merata, perusahaan portofolio GDP Venture, BCA, dan beberapa perusahaan sudah memiliki aplikasi yang diberdayakan kecerdasan buatan. GDP Venture telah berinvestasi pada startup kecerdasan buatan lokal maupun internasional, karena [bagi kami] kecerdasan buatan adalah teknologi strategis sekaligus investasi. Kami percaya bahwa kecerdasan buatan menjadi teknologi transformasional seperti internet, komputasi awan, dan komputasi mobile,” ujar On Lee.

CTO of GDP Venture On Lee

Penetrasi kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat dari yang dibayangkan. Untuk dapat memanfaatkan keunggulan teknologi tersebut, On Lee menuturkan secara umum sebuah bisnis perlu melakukan beberapa hal. Pertama dengan mendidik semua karyawan mengenai kecerdasan buatan. Kedua, mulai menjajaki kemitraan dengan perusahaan yang memiliki keterampilan kecerdasan buatan. Ketiga, melakukan percobaan dengan proyek kecil berbasis kecerdasan buatan.

Keempat, menetapkan strategi kecerdasan buatan di seluruh perusahaan — layaknya transformasi digital yang dilakukan dengan internet, komputasi awan dan sebagainya. Yang kelima adalah melakukan peninjauan dan pengamatan tentang pemanfaatan kecerdasan buatan di perusahaan, sehingga mendapatkan strategi implementasi yang layak.

Berikut ini perusahaan portofolio GDP Venture yang secara khusus memberikan solusi kecerdasan buatan:

Portofolio startup kecerdasan buatan GDP Venture

Selain GDP Venture, banyak startup besar yang kini mulai berinvestasi besar untuk kecerdasan buatan. Salah satunya Bukalapak. Baru-baru ini mereka meresmikan Artificial Intelligence & Cloud Computing Innovation Center di ITB. Harapannya lab kemitraan tersebut nantinya dapat menghasilkan temuan inovatif untuk mendorong perkembangan fitur-fitur di layanan marketplace ini.

Startup unicorn lain, seperti Gojek dan Traveloka, juga sudah berinvestasi untuk melakukan kegiatan serupa. Meskipun demikian, mereka cenderung mengembangkan pusat penelitian di luar negeri, seperti penerapan pusat R&D Traveloka yang baru di Bangalore, India. Misinya sama: untuk menangkap peluang baru dari potensi teknologi pintar demi meningkatkan kenyamanan pengguna.

GDP Venture and PTB Venture Lead Investment for AI Startup Element Inc

Artificial Intelligence (AI) Startup, Element Inc, announces Series A funding of $12 million (about Rp171 billion) led by GDP Ventures and PTB Ventures. Also participating are some of Indonesia’s top-tier corporates, such as BCA (through its investment company, Central Capital Ventura), BRI (through its investment unit), Telkom Indonesia (through MDI Ventures), and Maloekoe Ventures (partner of Ayala Corporation, the Philippines).

David Fields, PTB Ventures’ Managing Partner and GDP Venture’s CTO On Lee will join Element Inc’s board of Directors. Pandu Sjahrir also continues his investment in this round.

Element Inc was founded by Adam Perold (Stanford’s graduate in product design) and Yann LeCun (machine learning expert) in the US. LeCun is a professor in NYU and previously was Facebook’s AI Research Director.

This startup develops and distributes mobile-based software platform creating a biometric identity. The company produces a thorough biometric solution that mostly used to build global vaccination platform. It allows initiate diagnose, gives identity source to the health services, and creates access for financial services.

“Our mission in Element is to provide an identity for billions of people in need. We want to build an efficient and inclusive public. Currently, the opportunity for digital transformation in Asia and Africa is very engaging. We are honored to be able to partner with these world-class companies,” Adam Perold, Element Inc’s CEO and Co-Founder, said in the release.

In Indonesia, Element Inc has built the operational team by recruiting Rizki Suluh Adi as the Head of Indonesia.

Martin Hartono, CEO of GDP Venture, said on this funding, “GDP is always open for global investment that can give a big impact on Indonesia’s development, world’s fourth-largest population. By investing in Element Inc, we spot a chance to advance Artificial Intelligence technology, particularly for digital identity safety to be implemented in various sector.”

“After years of operation, we’ve observed the well-known companies using Artificial Intelligence in Asia, US, Canada, and Europe. The end-to-end AI produced by Element for mobile and cloud is very unique,” On Lee, CTO of GDP Venture, added.

David Bangun, Telkom Indonesia’s Director of Digital & Strategic Portfolio, said, “Currently, Telkom has 180 million customers and business unit that provides national-scale IT infrastructure includes cloud, security, and broadband solution. With Element, we notice a big opportunity for partnerships that can give numerous advantage to our customers on a big scale.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian