Ciayo Undur Diri Setelah Lebih dari Empat Tahun Beroperasi

Tahun 2020 tidak bisa dimungkiri menjadi tahun yang berat bagi banyak sektor industri, termasuk untuk online media. Ciayo, platform komik digital pertama yang dikembangkan oleh pengembang lokal, mengumumkan penghentian operasional bisnisnya di tanggal 30 Juli 2020. Situs Ciayo masih akan tetap bisa diakses hingga akhir Agustus 2020.

Walaupun tidak disampaikan secara langsung alasan dibalik penutupan bisnisnya, kasus ini turut menambah daftar perusahaan yang tumbang di masa pandemi Covid-19.

Vertikal bisnis perusahaan

Ciayo Corp memulai bisnis perkembangan intelektual properti (IP) dari aplikasi komik digital Ciayo Comics pada akhir tahun 2016. Mereka pernah berkolaborasi dengan BBM dengan merilis BBM Comics yang menyediakan ratusan komik digital yang dibuat oleh para ilustrator di Indonesia, seperti seri Si Juki, Rumah Mice, Patrick Jonbray, dan Si Nopal. Sebelum akhirnya BBM undur diri di pertengahan tahun 2019.

Sekitar satu tahun yang lalu, Ciayo Comics Plus+ meluncur sebagai layanan premium dari aplikasi Ciayo Comics. Harga yang dipatok adalah Rp30 ribu+ untuk bisa mengakses konten eksklusif serta bebas iklan.

Di lini lain, Ciayo Corp juga mengoperasikan studio pengembangan game, Ciayo Games. Dalam perjalanannya, Ciayo Games berkolaborasi dengan Agate Studio untuk menghadirkan permainan saduran dari konten IP ternama di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga sempat meluncurkan permainan mobile arcade berjudul “CHIPS: Monster Tap!” yang berhasil menjadi finalis Indonesia Game Contest oleh Google Play serta The Best Mobile Game of The Year oleh Popcon Asia 2017.

Bergerak sebagai media, Ciayo Corp juga menaungi Ciayo Blog. Portal ini membahas tren pop culture terbaru dan disebut telah menarik lebih dari 100 ribu pembaca setiap bulannya.

Di akhir tahun 2019, perusahaan mengumumkan kolaborasi dengan studio animasi Kumata Studio untuk menghadirkan konten-konten popular terbaik dari dalam dan luar negeri. Tak selang berapa lama, sebuah program loyalitas pelanggan berupa pengumpulan poin diluncurkan, memungkinkan sekitar 7 juta pengguna berkesempatan untuk memenangkan sejumlah hadiah.

Akhir kata

Tjahjadi Handaja selaku Co-founder Ciayo turut menyampaikan bahwa pihaknya telah kurang lebih 5 tahun membangun Ciayo dari nol hingga berjumlah 160 anggota tim, mulai dari jatuh bangun mempertahankan bentuk sebagai sosial media virtual, hingga akhirnya pivot dan beralih menjadi komik online. Setelah itu, melebarkan sayap ke online game juga di tahun 2016.

Beragam inovasi telah dilakukan, berbagai usaha telah dilancarkan, namun Ciayo Corp harus mengecap kenyataan pahit untuk mengusaikan bisnisnya pada titik ini. Mereka juga turut menyampaikan selamat tinggal melalui unggahan video 15 detik di media sosial Ciayo berisi kompilasi gambar serta tulisan mengucapkan terima kasih serta undur diri.

Dilansir dari SimilarWeb, trafik Ciayo mulai berkurang dari bulan April sebesar 55 ribu pengunjung hingga Juni 2020 di angka kurang lebih 40 ribu pengunjung. Dari hasil pengamatan tim DailySocial, berita terakhir yang dipublikasi di situs Ciayo adalah 4 bulan yang lalu.

Beautytech dan Perannya Membentuk Industri Kecantikan

Industri kecantikan tak dimungkiri menjadi salah satu yang paling naik daun dalam setengah dekade terakhir. Female Daily adalah bagian dari saksi melambungnya industri ini. Sebagai platform komunitas online di bidang kecantikan.

Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar mengatakan, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop yang berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Dalam #SelasaStartup minggu keempat bulan Juli, Hanifa menjelaskan bagaimana beautytech seperti Female Daily membentuk industri kecantikan, mulai dari aspek kemunculan pelaku industri, makin beragamnya produk yang ditawarkan, hingga perubahan perilaku konsumen produk kecantikan.

Komunitas sebagai kunci

Kiprah Female Daily sebagai beautytech sejak 2005 tak bisa lepas dari peran basis komunitas mereka yang kuat. Hanifa menilai, kuatnya komunitas tak lepas dari kualitas anggotanya di masa awal mereka berdiri. Model bisnis di masa lampau membuat mereka tumbuh secara organik meski di satu sisi butuh waktu yang lebih lama untuk bisnisnya tumbuh.

Berawal dari blog, kini Female Daily adalah platform yang memiliki 50 juta anggota dengan 4 juta unique users per bulan. Besarnya komunitas berbanding lurus dengan pengaruh mereka ke industri. Hanifa memberi contoh ketika ada rencana peluncuran produk dari suatu merek, maka si pemilik produk akan menggandeng Female Daily untuk mendengar masukan dari anggota komunitas.

Tidak perlu heran jika platform review seperti Female Daily bisa punya pengaruh sekuat itu. Pasalnya pengetahuan para anggotanya tentang kosmetik dan kecantikan tak bisa diremehkan. Ada yang bekas majalah fesyen, ada yang pernah bekerja di industri fesyen. Menjadi yang paling cepat mewadahi pengetahuan orang-orang itu adalah sebuah keuntungan.

Namun besarnya komunitas Female Daily tak tercapai dalam semalam. Sebagai salah satu platform pertama yang membahas serba-serbi kecantikan, Female Daily membuka diri dan merawat anggotanya agar tempatnya jadi pilihan utama para beauty enthusiast. Salah satu bentuknya adalah mempererat hubungan antara anggota dengan perusahaan.

“Kita juga di awal nutruring lewat offline events. Walaupun kita online community tapi kedekatan itu juga lebih erat karena adanya offline event,” imbuh Hanifa.

Pengaruh ke pelaku industri 

Berkembangnya beautytech seperti Female Daily mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Menurut Hanifa perusahaan kosmetik terbantu kehadiran beautytech karena produk mereka punya kesempatan disorot ke audiens yang lebih luas serta mendapat masukan yang lebih dalam tentang produknya.

“Sekarang hampir semua perusahaan kecantikan punya satu orang khusus untuk mempelajari semua percakapan yang ada di Female Daily.”

Suara-suara konsumen itu tak hanya dijadikan bekal membuat produk berikutnya, tapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran. Menurut Hanifa hal itu terutama dilakukan oleh merek lokal. Ia juga menambahkan saat ini tren yang berkembang di industri kecantikan memang melibatkan konsumen dalam menentukan produk berikutnya.

Mengubah perilaku konsumen

Selain ke produsen kecantikan, kehadiran beautytech tentu turut mengubah perilaku konsumen produk kecantikan. Satu hal yang paling disadari oleh Hanifa adalah review sudah jadi kebiasaan tak terpisahkan dari konsumen saat ini. Konsumen juga jauh lebih lapar akan informasi produk kecantikan yang hendak dibeli.

Makin mudanya penikmat produk kecantikan juga ditengarai berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Contohnya adalah selektifnya mereka karena menyesuaikan bujet yang terbatas. Maka rekomendasi dan hasil review menjadi pegangan utama mereka.

“Yang kedua menurutku adalah kecintaan terhadap merek lokal. Jadi sekarang banyak orang yang dukung merek lokal bukan karena lokalnya saja, tapi juga karena produknya yang keren-keren,” ucap Hanifa.

Tantangan yang masih dihadapi

Hanifa menekankan tantangan mereka sebagai platform online adalah sebaran informasi tentang kecantikan yang lebih luas. Jika dahulu sumber distraksi masih cukup terbatas, kini jauh berbeda. Tanpa faktor pembeda, orang tidak bisa lagi berlama-lama di dalam satu situs saja karena sumber distraksi makin banyak. Female Daily berkeinginan menjadi satu ekosistem terpadu tentang produk kecantikan.

Salah satu masalah itu terjadi ketika seseorang hendak mencari informasi tentang suatu produk yang ingin ia beli, namun ia harus mengunjungi situs/aplikasi/tempat lain untuk membeli barang yang dicari. Maka dari itu Female Daily mendirikan Beauty Studio, e-commerce produk kecantikan yang melengkapi ekosistem mereka.

“Jadi kita mikir bagaimana caranya agar user kita enggak ke mana-mana lagi. Terekspos, diskusi, beli di situ, memberi review, jadi satu ekosistem untuk memfasilitasi journey customer di Female Daily,” lengkap Hanifa.

Menurut Hanifa sebenarnya masih ada satu hal yang ingin mereka lengkapi dalam ekosistem Female Daily yakni toko ritel fisik. Produk kecantikan memang bergantung penginderaan manusia. Namun pandemi memundurkan rencana tersebut yang tadinya ingin dieksekusi akhir tahun ini.

Di samping itu, Hanifa juga berharap mereka dapat menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang lebih jauh di platform mereka. Ia menyebut teknologi itu dapat memudahkan pengguna memperoleh rekomendasi produk kecantikan yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya.

“Yang menarik beauty itu banyak banget datanya. Jadi kalau misal aku review product, ketahuan aku sukanya produk apa saja, komposisi apa saja, dan formulasi apa saja. itu bisa ditebak dan dipelajari,”

Female Daily Rambah Layanan E-commerce Melalui “Beauty Studio”

Platform komunitas online untuk perempuan Female Daily merilis situs e-commerce khusus produk kecantikan Beauty Studio sejak Mei 2020, bertepatan dengan hari jadi perusahaan yang ke-13. Layanan ini sudah bisa diakses melalui aplikasi utama Female Daily atau mengunjungi langsung ke situsnya.

Co-Founder dan CEO Female Daily Hanifa Ambadar menjelaskan, sementara ini katalog produk yang tersedia masih berasal dari produk kecantikan lokal. Alasannya, selain punya misi untuk memajukan produk lokal yang tak kalah saing dengan brand luar, perusahaan punya hubungan yang dekat karena pernah terlibat secara langsung dari sebelum mereka dirilis resmi ke publik.

We have a very close relationship with them. [..] dan tentunya kami punya misi untuk memajukan local beauty industry dan menonjolkan local beauty entrepreneurs karena sekarang produknya udah keren-keren banget. Target berikutnya menambah international brands di e-commerce kami,” jelas Hanifa kepada DailySocial.

Tampilan situs e-commerce Female Daily
Tampilan situs e-commerce Female Daily

Menurutnya, meski sudah banyak pemain e-commerce dan marketplace yang fokus ke produk kecantikan, Studio Beauty punya proposisi yang beda. Situs ini memberikan pengalaman belanja yang lebih spesial, personal, dan seamless untuk semua anggota Female Daily karena semua perjalanan tentang kecantikannya ada di Female Daily.

Kendati belum semua fitur yang diinginkan sudah bisa dinikmati, sehingga perlu waktu supaya platformnya bisa sesuai dengan target. Terlebih, Female Daily sebagai platform komunitas memiliki keunggulan yang kuat dari sisi konten. Alhasil telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari konsumen untuk mendapatkan informasi yang edukatif dan akurat.

“Jadi kami juga ingin meng-extend service itu [Female Daily] dengan menjual produk-produk kecantikan secara langsung.”

Sebagai platform komunitas, basis pengguna Female Daily bisa dikatakan cukup kuat. Hanifa mengatakan penggunanya mencapai 50 juta dalam setahun terakhir. Dari angka tersebut, 4 juta di antaranya adalah unique users per bulannya.

Yang menarik adalah rentang usia pengguna Female Daily terbesar datang dari kelompok 18-24 tahun. “Sebelumnya lebih dewasa, ini menandakan bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik dengan beauty.”

Tim Beauty Studio / Female Daily
Tim Beauty Studio / Female Daily

Pasca bergabung dengan CT Corp

Hanifa melanjutkan akuisisi terhadap J-Tech pada 2016 sebenarnya lebih ditujukan untuk urgensi merilis aplikasi Female Daily karena belum ada. Sehingga pengembangan untuk mengembangkan layanan e-commerce belum terbersit.

“Saat itu kami belum ada app dan belum ada tech team yang kuat. Akhirnya diputuskan jalan paling cepat untuk bangun tech team adalah mengakuisisi. Dua bulan setelah akuisisi, kami launch app lalu banyak sekali menambah beragam fitur yang memudahkan konsumen mencari produk kecantikan dan me-review.”

Selain aplikasi, tim teknologi di Female Daily juga membuat platform lainnya seperti user dashboard, brand dashboard, FD Talk, GirlsBeyond, dan lainnya.

Mengenai dampak pandemi, dia menuturkan dari sisi konsumsi konten terkait kecantikan terjadi penurunan trafik pada bulan pertama. Kondisi tersebut dianggap wajar karena prioritas pengguna adalah informasi seputar kesehatan dan sedang sibuk beradaptasi dengan keadaan.

Tim akhirnya mulai geser fokus dengan memperkaya konten terkait kesehatan baik fisik maupun mental dan semua yang berhubungan dengan work from home. “Misalnya, makeup untuk video call, alat-alat yang dibutuhkan untuk work from home, dan sebagainya.”

Masuk ke bulan kedua, ada kenaikan momentum untuk konten terkait kecantikan dan sekarang mencapai rekor tertingginya. Kecenderungan konten yang paling banyak dinikmati adalah seputar perawatan kulit (skincare) dibandingkan makeup.

Selain itu, seluruh kegiatan rutin offline tahunan Female Daily juga harus dibatalkan. Baik di Jakarta, maupun kota lainnya juga bernasib sama, seperti di Surabaya dan Medan. Sebelum ada pandemi, Jakarta x Beauty mampu menarik 25 ribu pengunjung.

Hanifa melanjutkan pasca diakuisisi oleh CT Corp pada tahun lalu, dia mengaku belum ada perubahan dari internal maupun eksternal. Akan tetapi, bicara tentang rencana ke depannya akan ada banyak hal yang bisa disinergikan dengan ekosistem CT Corp. Mereka memiliki entitas usaha yang bergerak di industri media, ritel, dan unit bisnis lainnya yang bisa mengakselerasi pertumbuhan Female Daily.

“Sayangnya beberapa jadi tertunda karena pandemi. Semoga setelah ini kami bisa berlari kencang bersama,” tukasnya.

Application Information Will Show Up Here

Dorong Pertumbuhan Pengguna, IDN Media Luncurkan Aplikasi Baru

IDN Media baru-baru ini meluncurkan aplikasi “IDN App”, bertujuan untuk meningkatkan konsumsi konten untuk platform media miliknya. Selama ini perusahaan melihat, cara baru orang dalam mengonsumsi berita yakni makin personal, khususnya di kalangan milenial dan gen Z.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO IDN Media Winston Utomo mengungkapkan, UGC (user generated content) adalah fitur penting dari sebuah media. UGC dapat menciptakan konten yang lebih relevan dan hyperlocal untuk masyarakat. Selama platform mampu menerapkan filtering secara sistematis (dan menggunakan AI agar lebih akurat dan cepat), UGC dapat berjalan dengan baik.

Winston turut menambahkan, aplikasi baru ini diharapkan menjadi platform berbagi informasi dan pengetahuan untuk pengguna. Hal ini sejalan dengan visi IDN Media untuk mendemokratisasi informasi. Sejak diluncurkannya IDN App, perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pengguna yang menjanjikan dan mendapatkan respons positif.

Fitur menarik

IDN App dilengkapi dengan beberapa fitur menarik untuk para penggunanya. Ada fitur Topik, pengguna dapat memilih topik berita yang sesuai dengan minat mereka. Lalu ada pula fitur Tanya Jawab, memungkinkan pengguna menulis pertanyaan tentang topik yang diminati atau menjawab pertanyaan dari pengguna lainnya. Sekilas fitur kedua ini mirip konsep yang diterapkan Quora atau forum online ala Kaskus.

Selain itu aplikasi juga memiliki fitur Tulis Artikel yang dapat dimanfaatkan para pengguna yang tertarik untuk menulis artikel di IDN Media. Setiap artikel buatan pengguna yang berhasil tayang akan mendapatkan poin yang dapat ditukarkan ke uang tunai.

“Lebih dari itu, IDN App juga bercita-cita untuk menjadi platform di mana orang-orang dapat menyuarakan opini mereka dan saling berbagi pengetahuan. Kami sangat antusias dengan hadirnya IDN App dan berharap dapat membawa dampak positif bagi masyarakat melalui aplikasi ini,” imbuh Co-Founder & COO IDN Media William Utomo.

Application Information Will Show Up Here

kumparan Luncurkan “Pusat Informasi Corona”, Berisi Data hingga Panduan Menghadapi Pandemi

Untuk memberikan informasi yang relevan dan terjamin akurasinya, kumparan pada Minggu (19/4) meluncurkan Pusat Informasi Corona. Laman tersebut dapat diakses melalui https://kumparan.com/corona.

Platform yang dirilis menyajikan data, peta, panduan, dan berita terbaru seputar pandemi Covid-19. Panduan yang disajikan mengangkat tema yaitu Memahami Virus Corona, Pencegahan Diri & Keluarga, Prosedur Tes & Panduan Kesehatan, Happy at Home, Rumah Sakit Rujukan, Hotline Corona, Kumpulan Doa, Pengumuman Pemerintah, dan Donasi Lawan Corona.

kumparan ingin membantu masyarakat agar tidak gugup, memahami apa yang sedang terjadi, mengerti apa yang harus dilakukan dalam menghadapi pandemi corona ini. Ini alasan utamanya. Semoga kita semua selalu diberkahi keselamatan dan kesehatan,” kata Hugo Diba, CEO kumparan.

Menurut Hugo, akses terhadap informasi kredibel merupakan kunci penting dalam menghadapi pandemi ini. Semakin banyak informasi dan panduan yang diterima masyarakat maka semakin besar peluang menyelesaikan permasalahan ini dengan cepat.

Pusat Informasi Corona disusun oleh jurnalis kumparan yang selama beberapa bulan terakhir mengikuti perkembangan pandemi. Materi panduan didapatkan dari sumber-sumber kredibel yang dikurasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Peluncuran resmi Pusat Informasi Corona dilaksanakan lewat rangkaian acara online menghadirkan sejumlah menteri, tokoh nasional, dan reportase lengkap dari seluruh provinsi di Indonesia. Beberapa pembicara dalam acara ini antara lain Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menaker Ida Fauziyah, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo, mantan Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua KADIN Rosan Roeslani.

Ramai-ramai saling bahu

Salah satu dampak positif yang bisa dirasakan di tengah pandemi, berbagai elemen dalam ekosistem startup digital saling bahu memberikan solusi bagi masyarakat. Bentuknya cukup beragam, mulai yang membantu bisnis UKM agar tetap memiliki daya beli, menyediakan akses belajar gratis, hingga menyajikan kanal untuk pendamping olahraga di rumah.

Beberapa startup di bidang kesehatan juga terus berinovasi sajikan pelayanan terbaik. Beberapa mencoba membuat produk untuk membantu masyarakat melakukan pemeriksaan, beberapa lagi sajikan kanal yang memudahkan masyarakat untuk terhubung dengan tenaga medis. Menjadi sinyal yang baik, di tengah ‘banting tulang’ para pebisnis untuk memastikan usahanya bertahan, mereka masih banyak meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang bersifat sosial.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Pusat Informasi Corona yang dibesut kumparan

Perjalanan Model Bisnis Media Digital di Indonesia

Pekan lalu, Asumsi.co, sebuah perusahaan media digital yang membahas isu politik dan budaya untuk kalangan muda, meluncurkan YourMedia. Yakni sebuah platform yang mengizinkan audiensnya berdonasi terhadap sajian konten pilihan mereka – atau akrab disebut crowdfunding. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mendapatkan dana hibah dari Google News Initiative.

“Pada dasarnya, kami membuat YourMedia karena percaya pembaca dan penonton bisa dilibatkan lebih dalam proses pembuatan konten. Banyak audiens kami yang merasa konten yang disajikan informatif dan berguna. YourMedia adalah langkah pertama kami,” tutur Founder & CEO Asumsi.co Pangeran Siahaan.

Prakarsa tersebut merupakan bagian dari visi jangka panjang perusahaan yang menempatkan audiens sebagai salah satu stakeholder utama dalam ekosistem medianya.

Model bisnis berita online

Konsep serupa dengan YourMedia milik Asumsi.co sebenarnya sudah diterapkan media di luar negeri. Salah satunya pemain besar asal Inggris, The Guardian. Mereka membuka kanal yang memungkinkan pembaca mendonasikan nominal tertentu untuk mendukung jurnalisme independen yang mereka kerjakan, kendati mereka juga menawarkan model berlangganan untuk mendapatkan konten premium.

Sebenarnya ada justifikasi yang cukup mendasar kenapa crowdfunding untuk media layak dijalankan, yakni metode pembayaran yang semakin mudah. Seperti yang dilakukan Asumsi.co, mereka menerapkan integrasi dengan GoPay agar penikmat kontennya bisa memberikan donasi mulai dari 10 ribu Rupiah secara mudah.

Asumsi yang sama juga tengah divalidasi platform monetisasi kreator yang akhir-akhir ini mulai bertumbuh di Indonesia – seperti kehadiran KaryaKarsa, Trakteer, dan Socialbuzz Tribe.

Crowdfunding dapat memberikan donasi sesuka pengguna, karena pada dasarnya konten yang disajikan bisa diakses gratis. Di sisi lain, model berlangganan membutuhkan komitmen dalam jangka waktu tertentu.

Model bisnis media digital yang sudah tenar sebelumnya adalah berlangganan untuk konten premium. Di Indonesia beberapa perusahaan sudah mengaplikasikan, seperti The Jakarta Post atau Kompas.id. Ditinjau dari sisi harga, Kompas.id mengenakan biaya Rp50.000 akses penuh ke platform digital atau Rp19.900 untuk tiga rubrik favorit.

Untuk model bisnis berbasis iklan sendiri, arahnya juga sudah mulai dengan personalisasi. Fitur ads targeting yang banyak disajikan startup adtech memberikan keleluasaan kepada pemilik media untuk menghadirkan iklan secara native, dengan konten yang relevan dengan preferensi pembacanya.

Berbagai kanal mainstream masih memanfaatkan model ini untuk tetap menghadirkan publikasi yang dikonsumsi cuma-cuma. Untuk bisa untung, syaratnya memang harus punya trafik yang besar. Implikasinya mereka mengejar dengan model pemberitaan clickbait.

Sementara untuk model berlangganan atau crowdfunding, kualitas jurnalisme menjadi kunci utama. Orang akan membayar demi kepuasan terhadap konten yang dihasilkan. Media tersebut biasanya memiliki ceruk pasar spesifik – jumlahnya kecil namun potensial menghasilkan keuntungan lebih dengan mau membayar.

Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson
Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson

Gambaran data

Menurut data yang dikompilasi Statista, tahun ini pendapatan bisnis media digital (termasuk video games dan video-on-demand) di Indonesia diproyeksikan mencapai lebih dari $1,6 miliar, dengan sepersepuluhnya ada di ranah publikasi online. Trennya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2024.

Pertumbuhan keuntungan bisnis media digital di Indonesia / Statista
Proyeksi pertumbuhan pendapatan bisnis media digital di Indonesia / Statista

Menurut data Dewan Pers, saat ini (24/2) ada 1226 media pemberitaan yang terdaftar di asosiasi, baik yang cakupannya nasional maupun daerah, dengan pemberitaan umum maupun spesifik. Di luar itu masih banyak media yang berdiri secara independen – kebanyakan perusahaan media yang menyasar pangsa pembaca dari kalangan tertentu (niche).

Selama sekitar dua dekade terakhir, bisnis media di Indonesia dikuasai oleh televisi. Kendati beberapa pihak dan lembaga penelitian menilai mulai ada transisi ke media digital, namun ikatan siaran on-air melalu sambungan satelit tersebut masih sangat kuat.

Riset Nielsen Indonesia tahun 2017 menyebutkan jumlah penikmat berita online Indonesia mencapai 50,6 juta orang. Angka ini naik 35,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut terus diproyeksikan meningkat seiring dengan penetrasi broadband dan penggunaan smartphone yang lebih luas.

Peningkatan tersebut diiringi dengan makin kuatnya cengkeraman media digital, baik yang berbentuk kanal teks, video on-demad, hingga yang terbaru podcast. Terlebih ada yang tidak bisa dihadirkan televisi dan kini diakomodasi media digital: personalisasi.

Transisi

Saat ini memang masih masa transisi menuju konsumsi media yang sepenuhnya online. Belum ada pengukuran pasti tentang efektivitas dari model bisnis terkait di Indonesia. Masih perlu banyak validasi dengan beragam skenario.

Beberapa masih mencoba model bisnis tersebut di atas dan masih bertahan sampai sekarang, beberapa lagi mencoba bereksperimen dengan strategi revenue lainnya yang terus bermunculan seperti melalui kemitraan, komunitas, hingga penyelenggaraan acara dengan mengedepankan kredibilitas merek yang dimiliki.

Fragmentasi kanal dapat menjadi hambatan tersendiri untuk pebisnis media digital. Orang mengonsumsi informasi melalui media sosial, memproduksi kabar lewat YouTube, dan lain-lain. Untuk tetap kokoh, fondasi utama jurnalisme harus tetap menjadi pegangan agar menjadi diferensiasi dengan publikasi yang beredar di luar sana, seperti akurasi, objektivitas, dan kualitas.

GoPlay and the Challenges Ahead

The new original series by GoPlay, Gossip Girl Indonesia, is getting much of the public’s attention. The character names are kind of odd among society.

However, we’re not going in-depth with the series, instead, we’ll further analyze GoPlay’s strategy and future plans as the video-on-demand (VOD) platform. Gossip Girl Indonesia is not GoPlay’s first original content, after the recent ones titled Saiyo Sakato and Tunnel.

After all, GoPlay has not made any significant development in terms of strategy than the other VOD platforms, which is to make the most original content. In fact, the current scheme is quite a prerequisite to any of the video streaming.

“As a local-pride VOD platform, we have a big ambition to gather the largest catalog of Indonesian films and series. Therefore, we will continue to focus on original and exclusive content on the GoPlay platform to provide different and unique offers to Gojek users,” GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo, stated to DailySocial.

The total of GoPlay’s original content is increasing, slowly indeed. In addition to the previous ones, other titles such as Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club, and Namanya Juga Mertua have listed on GoPlay’s catalog.

Edy said that the team is currently preparing two new content in the near future, the reality show titled Bukan Keluarga Biasa, a special series of Ramadan Jadi Ngaji, some other titles are still undisclosed.

Content is not the only issue

Pushing the production of original content has become an unwritten obligation for VOD service players. However, by focusing only on this issue won’t make them win the competition.

First of all is the price aspect. Comparing to the other players, GoPlay subscription fees are more expensive. The cheapest cost per month at iFlix is Rp. While Netflix, which is the most popular video-on-demand service, pays the lowest Rp.49,000 per month for mobile-specific services.

This is not a simple matter considering the behavior of Indonesian people is relatively price sensitive. Moreover, the content offered by GoPlay does not differ much from Hooq, iFlix, and Viu which concentrate on local and Asian content.

dsvideostreaming

Another stumbling block for GoPlay is limited access to watch only on mobile phones. For the record, all content provided by previously mentioned competitors is accessible on other devices. This can be something to withstand the GoPlay’s growth rate in its early days. Edy promised that he would launch new innovations to improve the customer’s viewing experience.

“Today, there are several new features that we currently develop this year in order to improve the viewing experience, and we will further inform you of this,” he added.

GoPlay’s opportunities

GoPlay’s presence is not without solutions. In terms of subscription fees, they have at least a short-term solution that is creating cross-service promotions. For instance, they create a bundling for GoPlay subscription package for two weeks with a GoFood voucher worth Rp360,000 and to be redeemed with only Rp.49,000.

As we all know, GoFood is one of the strongest services out of a total of 20 services on the Gojek platform. This cross-promotion can also be GoPlay’s preferred technique to simply attract consumers to subscribe to their video streaming platform.

GoPlay has another ammo as a quite extensive network of resources in the film industry. GoPlay, under GoStudio, has several times contibuted in the production of the country’s popular films. Aruna & Lidahnya, Kulari to the beach, 27 Steps of May, are part of their contribution.

artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek
artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek

Well-known artists in the film industry have collaborated with GoPlay to create a persuasive content lineup. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, are a list of names which is proven that GoPlay has a reliable network of filmmakers to win the audience.

“We can also say that in just the last two months, the number of GoPlay access users has increased more than thirteen times exponentially and continues to grow according to plan in a proud manner,” Edy said confidently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoPlay dan Tantangan yang Membayanginya

Judul serial terbaru GoPlay, Gossip Girl Indonesia, cukup mendapat perhatian publik. Nama-nama karakter di dalam serial ternyata dianggap kurang lazim di kuping masyarakat pada umumnya.

Namun bukan Gossip Girl Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan strategi dan masa depan GoPlay sebagai platform video on-demand (VOD). Gossip Girl Indonesia adalah konten original kesekian dari GoPlay setelah belum lama meluncurkan Saiyo Sakato dan Tunnel.

Namun sepertinya GoPlay tak membuat banyak perbedaan dalam strategi mereka dari para pemain VOD lain yakni memproduksi koleksi konten original sebanyak mungkin. Sejatinya taktik ini pun sudah seperti keharusan bagi pelaku layanan video streaming mana pun.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Untuk itu kami akan terus fokus pada konten original dan eksklusif yang ada di platform GoPlay untuk dapat menawarkan penawaran yang berbeda dan unik bagi pengguna Gojek,” ujar CEO GoPlay, Edy Sulistyo, dalam pernyataan tertulis kepada DailySocial.

Konten original GoPlay yang dirilis memang terus bertambah meski secara perlahan. Selain yang sudah disebut sebelumnya, judul lain seperti Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club dan Namanya Juga Mertua sudah menghiasi katalog tayangan GoPlay.

Edy mengatakan pihaknya juga sedang menyiapkan dua tayangan baru dalam waktu dekat yakni reality show berjudul Bukan Keluarga Biasa, serial khusus Ramadan Jadi Ngaji, beberapa judul lain yang belum bisa mereka sampaikan.

Bukan hanya soal jumlah konten

Menggenjot produksi konten original memang sudah jadi kewajiban tak tertulis bagi pemain layanan VOD. Namun memperhatikan hal ini saja tak akan cukup membuat mereka memenangi kompetisi.

Pertama-tama adalah aspek harga. Jika membandingkan dengan pemain lain, biaya berlangganan GoPlay masih lebih mahal. Biaya paling murah per bulan di iFlix sebesar Rp39.000, Viu Rp30.000, Hooq Rp69.000, sedangkan per bulan GoPlay sebesar Rp89.000. Sementara Netflix yang berstatus sebagai layanan video on demand terpopuler mematok paling murah Rp49.000 per bulan untuk layanan khusus ponsel.

Ini bukan masalah sederhana mengingat perilaku masyarakat Indonesia masih terbilang sensitif akan harga. Terlebih konten yang ditawarkan oleh GoPlay tak berbeda jauh dari Hooq, iFlix, dan Viu yang berkonsentrasi pada konten lokal dan Asia.

video streamign platform

Kendala kedua yang bisa jadi sandungan untuk GoPlay adalah akses menonton yang terbatas di ponsel saja. Sebagai catatan, konten semua pesaing GoPlay yang disebut sebelumnya dapat diakses di perangkat lain di samping lewat layar ponsel. Hal ini yang bisa jadi dapat menahan laju pertumbuhan GoPlay di masa-masa awalnya. Edy berjanji pihaknya akan meluncuran inovasi baru untuk meningkatkan pengalaman menonton pelanggan mereka.

“Saat ini telah ada beberapa fitur terbaru yang sedang dalam pengembangan kami tahun ini dalam meningkatkan pengalaman menonton yang lebih baik lagi, dan kami akan menginformasikan lebih lanjut,” imbuhnya.

Kesempatan GoPlay

GoPlay bukannya tanpa solusi. Dalam aspek biaya berlangganan, setidaknya mereka punya solusi jangka pendek yakni menciptakan promosi silang antarlayanan. Seperti saat ini misalnya mereka memadukan paket berlangganan GoPlay selama dua minggu dengan voucher GoFood senilai Rp360.000 yang bisa ditebus dengan Rp49.000.

Seperti diketahui bersama, GoFood adalah salah satu layanan terkuat dari total 20 layanan di platform Gojek. Promosi silang ini pun dapat menjadi teknik pilihan GoPlay untuk sekadar menggaet konsumen menjajal koleksi tayangan mereka.

Amunisi lain yang dimiliki oleh GoPlay adalah jejaring sumber daya mereka dalam industri perfilman yang cukup mumpuni. GoPlay, di bawah bendera GoStudio, sudah beberapa kali ikut berperan dalam produksi film terkemuka Tanah Air. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, adalah contoh keterlibatan mereka.

Gossip Girl Indonesia
Sejumlah sineas yang berperan dalam Gossip Girl Indonesia / Gojek

Nama-nama besar dalam industri perfilman pun sudah digandeng GoPlay untuk memperkuat jajaran konten mereka. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, adalah nama-nama yang jadi bukti bahwa GoPlay punya jejaring sineas andal untuk merebut penonton.

“Kami juga dapat katakan bahwa hanya dalam dua bulan terakhir, jumlah pengguna access GoPlay naik lebih dari tiga belas kali secara eksponensial dan terus bertumbuh sesuai rencana secara membanggakan,” pungkas Edy penuh percaya diri.

Application Information Will Show Up Here

Pros and Cons of Indonesia’s Ban on Netflix

Since the original content from Netflix in 2015, the video streaming platform keeps improving in quality. One of its validation comes from the Oscars 2020 where its original content successfully took 24 nominations. Two of those, The Irishman and Marriage Story managed to be in the list of Best Movies of the year.

Apparently, the public company that used to be a Silicon Valley startup now aligns with Hollywood’s giant, such as Warner Bros, Universal Pictures and many more. The high-quality content has encouraged users to pay more (compared to similar apps), including in Indonesia.

Entering the middle of last decade, around 2014-2016, Netflix’s business model has been replicated around Southeast Asia. There’s iflix (2014), Hooq (2015), and Viu (2015). They offer identical services with coverage reached up to Indonesia. Not only purchasing the airing license, but they also create original series.

Absolute rejection since its debut

In January 7th, 2016, Netflix announced to expand globally, coverage in 130 countries, including Indonesia. The plan raised various reactions of some parties. As the regulator, Kominfo listed some administrative requirements for OTT (Over The Top) players. Two of which to be highlighted are permanent business establishment and censorship commitment.

In addition, OTT involves content, such as data, information, and multimedia which is running and accessible through internet media. In terms of regulation, those content are considered “depending” on the telco’s network.

“Netflix will be assisted in terms of regulation because of some concerns in the community that must be protected, particularly for content,” Rudiantara said as the current Kominfo Minister then.

Aside from the government, associations also signaling rejection to the NFLX-code company. Indonesia’s Telematics Communities (Mastel) said some missed regulations, the Presidential Regulation No. 39 of 2014 on questioning the provisions of the organizers of film and TV subscription services. In addition, Law No. 32 of 2002 and Law No. 33 of 2009 concerning the formation of legal entities.

On January 27th, 2019 at 12 am, Netflix is no longer accessible from any kind of Telkom’s internet network.

Remain to be the first alternative

As quoted from Statista, Netflix has a total active user of 418 thousand per 2019 in Indonesia, it’s projected to increase to 906 thousand this year. From different research, as quoted from AppAnnie’s report titled “State of Mobile 2020”, Netflix still managed to be in the top 5 streaming apps of smartphone users in Indonesia.

The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie
The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie

Outside Telkom’s internet coverage, Netflix is still accessible. In general, non-red plate operators will prohibit only the site or application that is already listed in TrustPositif – a channel for the list of officially banned websites by the Ministry of Communication and Information.

In Indonesia, there are also some similar services, such as iflix, Viu, Hooq, Genflix, even local players like Vidio and Go-Play.

Some global platforms like Netflix are starting to penetrate the market, such as HBO Go and Amazon Prime, even the specific content services such as beIN Sports and NBA League Pass in the sports category.

List of Indonesia's most popular video streaming service rate / DailySocial
List of Indonesia’s most popular video streaming service rate / DailySocial

Quoted from Tirto‘s, Telkom’s Consumer Director, Dian Rachmawan said, “OTT players are considered a latent danger for operators because without spending large investments, they make profits on operators’ networks.”

In fact, other foreign on-demand video services, such as Hooq, Iflix and Viu, has established B2B collaboration with local operators to provide business benefits to each other. Some are also coping with media owners, for example iflix with MNC Group.

However, Telkom has another argument related to this ban, it’s related to pornographic content, especially the Law on Pornography and the ITE Law.

Potential advantages from taxes

In recent years, the Ministry of Finance has been actively pursuing tax from foreign OTTs operating in Indonesia. Not only video streaming services, but they began to “hunt” big companies like Google, Facebook and others.

The lack of regulations concerning OTT corporation tax makes the mechanism is yet to be detailed. At the Omnibus Law, there will be a regulation draft by the Indonesian Parliament that should accommodate these conditions.

Quoted from Kompas, DPR RI’s Commission I member Bobby Rizaldi exemplifies that regulations in Singapore can be applied here. Digital companies are not required to make an office, but they are still subject to tax from subscription fees from Indonesian consumers.

Similar thought comes from Hestu Yoga Saksama as the Director of Information, Services and Public Relations of the Directorate General of Taxes, “Therefore, at the Omnibus Law, the regulation will be no need for physical presence, but a substantial or significant economic presence.”

Generally, for companies domiciled in Indonesia, the government requires to pay tax, either in the form of Value Added Tax (PPn) of products sold, or Income Tax (PPh) from labor.

Potential disadvantages from the creative sector

The Night Comes for Us became Indonesia’s first original content published by Netflix in 2018. In order to increase the number of local films, in mid-2019, the company began to collaborate with Indonesian content creators and film activists to create local content specifically aired on Netflix.

Netflix’s Director of Product Innovation, Ajay Arora said the investment become Netflix’s focus in Indonesia to present content that can be appreciated in this country.

Netflix collaboration with Indonesia's ministry of Education and Culture / Kemendikbud
Netflix collaboration with Indonesia’s ministry of Education and Culture / Kemendikbud

On January 9, 2020, Netflix launched a strategic partnership with the Ministry of Education and Culture to support the Indonesian film industry.

Specifically, it is to focus on developing creative writing skills, post-production training, and short film competitions. In addition, there will be training in online security and governance to deal with the dynamic growth of creative industries. In this partnership, Netflix pours up to $1 million funds or equivalent to 14 billion Rupiah.

In fact, this kind of synergy should be excellent channel for Indonesia’s creative industries to develop as rapidly. In addition to global knowledge – in this case, insights from Hollywood films – the role of OTT can also be used as a channel for creative actors to embrace the international market. Moreover, Netflix has become a standard for movies. In addition to movies, a platform like Spotify, even TikTok has allowed digital creativity to be widely marketed.

Therefore, the partnership with OTT is ideally not only viewed in terms of financial regulation but should be able to discuss with other ministries, in this case, the Ministry of Tourism and Creative Economy.

Aim to have freedom of access

Head of the Indonesian Consumers Foundation Daily, Sudaryatmo, said that the public could question the ban of certain OTT services when it’s considered detrimental. People basically have the right to access information and the right to vote.

“First, the right to access information, the right to know. Whether the ban is preventing consumers to access information, it should be open to question,” he said as quoted on CNN Indonesia.

The thing is, this kind of ban has been running for generations. In fact, to encourage the process, Kominfo has allocated 211 billion Rupiah in 2017 to buy an internet censor machine. Although, it’s no longer a secret that the banned websites still accessible through certain mechanisms.

We aim for the internet to provide high-quality content, both for entertainment and education. Aside from ban, one thing we always highlight to the government, for the public’s digital literation. Some of the real activities to do, such as:

Actively socialize to use the government institution’s network (reach the villages) to assist them with digital literacy. The taught materials should encourage them to understand the boundaries of relevant content accessible.

Provide access and support to the digital creative industry players to stuff the nation’s internet ecosystem with high-quality content, in various formats.

With the global reach, it’s possible to have the internet free from negative content. By sharing insights on the negative content, it can be a visioner act to build a better personality. Without prohibition, the public will be aware of the negative content that should not be accessed.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kunci Kesuksesan Ekspansi Regional adalah Penguatan Fondasi Bisnis Dalam Negeri

Ekspansi regional adalah suatu ambisi yang selalu ingin dicapai para founder startup. Namun, negara ini begitu luas dan menjadi incaran para pemain luar yang ingin masuk. Maka, kunci utama yang harus dilakukan sebelum mewujudkannya yakni memperkuat fondasi bisnis dalam negeri sebagai pemain dominan.

Topik ini dibahas dalam salah satu sesi Indonesia PE-VC Summit 2020 di Jakarta pekan lalu (15/1). Menghadirkan para panelis Hendrik Susanto (Traveloka), Winston Utomo (IDN Media), Ashish Saboo (General Atlantic), Jeffrey Yuwono (Sorabel) dan dimoderatori oleh Melisa Irene (East Ventures).

“Kita harus mendapatkan keuntungan di Indonesia sebelum mencari tempat lain atau mencari mesin (pertumbuhan bisnis) lalu mengakselerasinya? Menurut saya, pertumbuhan dari dalam negeri (lebih kami utamakan),” kata Co-Founder & CEO Sorabel Jeffrey Yuwono.

Menurutnya, Sorabel sudah mendekati posisi profitabilitas dan sedang dalam proses eksperimen ke sejumlah negara sebelum merealisasikan ambisinya tersebut pada tahun depan. Diklaim pertumbuhan bisnis Sorabel sepanjang tahun 2019 tumbuh hingga 3,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

“Indonesia adalah pasar besar dengan banyak peluang, pertanyaannya hanyalah apakah kamu bersedia menempatkan ekspansi regional di sisi teratas (dibandingkan Indonesia)?,” tambah dia.

Chief Investment Officer of Traveloka Hendrik Susanto menambahkan, perluasan bisnis ke pasar yang berbeda di Asia Tenggara menjadi target yang menarik buat startup Indonesia. Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah membangun posisi yang kuat di dalam negeri.

Menjadi pemain yang dominan di Indonesia memudahkan Traveloka terutama saat membangun kebiasaan traveling para penggunanya. Seluruh insight tersebut menjadi kekuatan perusahaan untuk berkembang di regional.

“Menurut kami ini, (ekspansi) adalah sifat dari bisnis kami. Traveloka ekspansi pertama kali ke Malaysia, lalu Thailand, Vietnam, kami hanya ekspansi ketika kami menemukan formula bagaimana bisa (sukses),” ucap Hendrik.

Traveloka bisa menjadi salah satu contoh paling relevan buat startup lokal. Mereka tergolong startup lokal paling awal yang ekspansi ke Asia Tenggara pada 2015, sementara di saat yang bersamaan startup luar berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

Akan tetapi, bukan menjadi jaminan meski sukses di Indonesia dapat menuai hal yang sama di negara lain. Managing Director General Atlantic Ashish Saboo menyebutkan kunci utama yang harus dipegang adalah menyesuaikan produk sesuai kebutuhan masyarakat di negara tersebut.

“Produk kamu dan layanan kamu perlu disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pasar yang berbeda. Anda harus mulai dari awal (untuk itu),” terang Saboo.

General Atlantic adalah investor terbaru untuk Ruangguru. Mereka adalah perusahaan investasi yang tergolong memiliki minat tinggi terhadap startup edtech, portofolio-nya datang dari berbagai negara.

Sementara itu, IDN Media melakukan pendekatan yang berbeda. Mereka memilih untuk hyperlocal daripada memilih ekspansi regional. Founder & CEO IDN Winston Utomo menjelaskan pada tahun lalu perusahaan mengembangkan kantor hyperlokal di 10 lokasi untuk membuat konten yang hyperlocal sesuai kebutuhan pembaca di daerah masing-masing.

Strategi ini dilatarbelakangi oleh pangkal masalah, ternyata konten informasi yang disediakan oleh media mainstream terpusat mengenai Jakarta saja. Padahal, informasi tersebut tidak dibutuhkan oleh pembaca di Medan, misalnya.

“Bagaimana kita bisa menyediakan konten yang serelevan mungkin untuk tiap pembaca kita, caranya dengan hyperlocal dan UGC adalah kekuatan kami. Ini bukan soal personalisasi konten, tapi menyediakan suplai konten yang berkualitas tinggi dan relevan sesuai kebutuhan pembaca,” kata Winston.

Eksperimen Sorabel

Tampilan situs Yabel
Tampilan situs Yabel

Di saat yang sama, Jeffrey juga menjelaskan saat ini perusahaan sedang dalam proses eksperimen di Filipina (dengan merek Yabel), Malaysia dan Vietnam untuk melihat respons pasar sebelum mereka benar-benar terjun langsung. Dalam pipeline, Sorabel juga incar eksperimen di Taiwan, Australia dan Timur Tengah.

“Kami ingin mencari tahu negara mana yang akan kita pilih dan fokuskan, cara apa yang benar, bagaimana kami bisa belajar cukup ketika scale up bisnis, kami cukup yakin itu bisa bekerja.”

Oleh karena itu, pendekatan yang dipakai adalah melakukan rangkaian eksperimen dengan modal minim. Berbeda jauh dengan yang biasa dipakai perusahaan kebanyakan, menaruh banyak investasi di tahap awal.

“Pada dasarnya kami membangun kecerdasan tanpa menghabiskan uang karena saya pikir pembelajaran ini jauh lebih berharga pada tahap (pendanaan) ini daripada menghabiskan semua. [..] Kapital itu berharga untuk masa-masa seperti ini,” pungkasnya.