Platform SaaS Pendidikan EdConnect yang Tak Sekedar Menyediakan Bahan Belajar Online

Inovasi selalu menyentuh berbagai bidang. Dengan teknologi inovasi dinilai menjadi lebih mudah. Setidaknya memberikan manfaat efisiensi efektivitas waktu. EdConnect mengklaim merancang sebuah solusi untuk membantu menginovasikan sektor pendidikan, mulai dari pengelolaan kelas hingga ke skala lebih besar seperti manajemen sekolah.

Pihak EdConnect, yang asli Indonesia dan tidak terhubung dengan layanan lain di luar negeri dengan nama sama, menyebut solusi yang ditawarkan sebagai solusi yang lengkap dan terpadu untuk membantu lembaga pendidikan. Dengan sistem digitalisasi, salah satu aspek yang diminimalkan adalah human error, terutama untuk bagian administrasi.

Selain manajemen, EdConnect juga menjanjikan kemudahan untuk aksesibilitas informasi, menyediakan fasilitas komunikasi intensif dan juga menyediakan visibilitas data untuk seluruh aspek lembaga pendidikan seperti, murid, kinerja guru dan pengelolaan. EdConnect disiapkan untuk melayani berbagai jenjang, mulai TK hingga perguruan tinggi.

“Sehari-hari kita melihat begitu pesatnya kemajuan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan, akan tetapi kemajuan tersebut seakan melupakan pendidikan. Berangkat dari kesadaran atas masalah tersebut, kami memutuskan bahwa sudah saatnya sekolah pun mulai memasuki era ‘Smart School’,” ungkap CEO EdConnect Aswin Tanzil.

Aswin lebih jauh menjelaskan solusi yang ditawarkan fokus pada lima hal. Pertama adalah otomatasi proses administrasi, kontrol, analisis laporan, komunikasi dan memudahkan kinerja guru. Salah satu contoh fitur yang ada adalah fitur Automatic​ ​Scheduling yang memungkinkan generate jadwal harian guru dan murid. Data tersebut nantinya juga digunakan sebagai indikator kehadiran guru dan murid yang bisa dijadikan bagian analisis prestasi.

Fitur absensi ini juga bisa dipantau langsung orangtua atau wali murid. Selain soal kehadiran, EdConnect juga memberikan hal yang kompleks untuk perkembangan hasil belajar dan prestasi murid di sekolah.

“Contoh lain, fitur Computer​ ​Based​ ​Testing​ ​(CBT)​. Berguna bagi guru dalam hal pemberian tugas dan ujian dengan sistem penilaian yang otomatis (otomasi dan teacher assistance tools), cepat, dan akurat. Di sisi sekolah, hasil ini dianalisis untuk mengetahui kemampuan siswa di setiap pelajaran dan kemampuan guru dalam mengajar. Dengan diintegrasikan ke Lesson Plan, kekurangan setiap anak bisa dipetakan sehingga guru bisa lebih fokus dalam mengulang materi pembelajaran tertentu,” terang Aswin.

Menyikapi persaingan

Menyediakan solusi untuk pendidikan, EdConnect secara langsung terjun ke persaingan yang sudah ada, baik dengan pengembang sistem manajemen sekolah maupun perusahaan dengan menyediakan layanan sejenis. Menyikapi hal tersebut EdConnect berusaha memberikan pembeda dari segi pelayanan.

Azwin kepada DailySocial bercerita bahwa timnya berusaha memberikan yang terbaik kepada klien dengan mencoba memahami dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Pihaknya tak jarang melakukan kunjungan berkali-kali ke sekolah untuk melatih dan memastikan sistem yang digunakan berjalan dengan baik.

Untuk lebih menjangkau dan mengenalkan layanan EdConnect ke masyarakat umum, EdConnect berencana meluncurkan EdConnect Lite yang merupakan versi sederhana EdConnect di penghujung bulan September ini.

EdConnect Lite, di lain sisi, bisa dibilang sistem​ ​manajemen​ ​kelas​ ​dan​ ​komunikasi​ ​dengan orang​tua​. [..] Kami menyebut Edconnect Lite sebagai Teacher Assistance System. EdConnect Lite kami berikan secara gratis kepada semua guru di Indonesia untuk membantu meringankan pekerjaan administrasi sehari-hari, agar para guru dapat berkonsentrasi menjalankan tugas-tugasnya sebagai pendidik,” ungkap Azwin lebih lanjut.

Visi untuk memajukan pendidikan Indonesia

Sebagai salah satu layanan yang berfokus pada dunia pendidikan EdConnect menyimpan mimpi untuk bisa berkontribusi dan memajukan standar pendidikan di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi. Untuk mewujudkan mimpi tersebut saat ini EdConnect tengah fokus pada bagaimana sistem mereka bisa diimplementasikan di seluruh institusi pendidikan di Indonesia.

“Intinya, kami ingin ambil bagian dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,” tutup Azwin.

Mendidik Anak Lebih Bijak di Internet, Google Galakkan Program Be Internet Awesome

Menjaga anak-anak agar tetap aman di internet menjadi sebuah tantangan yang terus akan berkembang. Dan sebagai orang tua yang hidup di era modern seperti sekarang ini, Anda dan orang tua lainnya punya peran besar tidak hanya memastikan anak-anak tumbuh dan terekspos internet dengan aman, tapi juga memberi pengajaran bagaimana berperilaku di dunia maya. Google sepakat keamanan anak adalah prioritas teratas dengan meluncurkan program baru bernama “Be Internet Awesome”, sebuah program yang menyuguhkan akses ke pembelajaran mengenai internet aman yang menyenangkan bagi orang tua, pengajar dan anak-anak itu sendiri.

Inisiatif ini tidak dijalankan oleh Google seorang diri, melainkan didukung oleh tiga organisasi, antara lain Family Online Safety Insititute, Internet Keep Safe Coalition, dan ConnectSafely. Dalam upaya membangun keamanan digital bagi generasi muda, keseluruhan program Be Internet Awesome berfokus pada lima kunci pembelajaran, yaitu mengajarkan anak-anak untuk membangikan konten dengan bijaksana, melatih pemikiran kritis ketika menilai kejujuran konten, waspada dengan kerahasiaan dan privasi, menunjukkan kebaikan di internet dan mengutarakan pendapat tentang isu-isu terkini yang menyebabkan keraguan di antara mereka.

Untuk menarik minat para orang tua, pengajar dan anak, Google dan rekan mengemasnya dalam bentuk permainan, tool dan konten yang menyenangkan. Dirancang untuk membantu orang tua dan pengajar dalam mengajarkan generasi muda bagaimana berperilaku yang pantas di internet. Sebagai salah satu contohnya,Google telah merancang kurikulum yang akan menunjukkan kepada siswa contoh kehidupan nyata berkaitan dengan masalah-masalah di dunia internet. Misalnya bagaimana menyikapi situs-situs phishing dan email spam. Kurikulum yang dirancang oleh Google telah mendapatkan semacam persetujuan dari International Society for Technology in Education’s Standards for Students sehingga sesuai dengan standar yang ada.

Secara umum, anak-anak nantinya akan memperoleh pembelajaran yang mendorong mereka memahami dan bertindak dengan benar berkenaan dengan aktivitas peretasan, situs palsu, cyber-bully dan mempelajari perilaku yang benar dalam berinteraksi secara online.

Untuk mempelajari lebih jauh apa itu Be Internet Awesome, silahkan kunjungi tautan ini.

Sumber berita Google.

Makeblock Neuron Ajak Anak-Anak Belajar Coding Seasyik Bermain Lego

Belakangan ini konsep tangible programming sangat populer di dunia pendidikan. Pertengahan tahun lalu, Google bahkan ingin ikut berpartisipasi melalui Project Bloks. Tujuannya simpel, yakni untuk mengajarkan ilmu dasar dan logika-logika umum di balik proses coding lewat interaksi dengan objek fisik.

Project Bloks bukan satu-satunya opsi yang tersedia. Baru-baru ini, perusahaan pembuat perangkat robotik untuk anak-anak asal Tiongkok bernama Makeblock juga mengumumkan produk serupa. Dijuluki Neuron, konsepnya kurang lebih sama, dimana anak-anak pada dasarnya bisa belajar programming dengan menyusun balok-balok seperti ketika bermain Lego.

Ada lebih dari 30 jenis modul yang berbeda yang ditawarkan Neuron, mulai dari modul kamera, sensor cahaya, sensor suara, Bluetooth, ultrasonik sampai modul display. Balok-balok lain, seperti kenop dan joystick, dimaksudkan untuk menyesuaikan atau mengendalikan modul-modul itu tadi. Lebih lanjut, mereka juga bisa mengontrol Neuron via Wi-Fi.

Tampilan software mBlock yang dipakai untuk memprogram modul-modul Neuron / Makeblock
Tampilan software mBlock yang dipakai untuk memprogram modul-modul Neuron / Makeblock

Setelah disusun, anak-anak bisa memprogram masing-masing modul menggunakan software mBlock keluaran Makeblock sendiri. Makeblock cukup percaya diri bahwa anak-anak tidak perlu memahami dasar-dasar coding untuk bisa menggunakan mBlock. Meski demikian, pengetahuan akan Arduino bakal sangat membantu mereka memprogram dengan lebih cepat.

Hal lain yang dibanggakan Makeblock dari Neuron adalah kompatibilitas dengan platform atau software pihak ketiga, seperti misalnya platform Cognitive Services AI buatan Microsoft. Anak-anak bahkan bisa memanfaatkan balok-balok Lego sebagai struktur pelengkap untuk proyek buatannya masing-masing.

Makeblock Neuron rencananya akan dipasarkan melalui Kickstarter mulai pekan depan, dengan harga mulai $69. Total ada enam bundel yang akan ditawarkan ke konsumen, yang masing-masing berisikan kumpulan modul yang berbeda-beda, disesuaikan dengan minat masing-masing anak.

Sumber: Engadget dan Makeblock.

Catatan Startup Teknologi Pendidikan Indonesia Tahun 2016

Banyak permasalahan di bidang pendidikan yang saat ini coba diakselerasi penyelesaiannya dengan teknologi. Mulai permasalahan yang ada di sekolah (keterbatasan kelas, sumber daya ajar), di pendidik (kompetensi, persebaran), hingga yang ada pada siswa (meningkatkan ketertarikan belajar, memastikan kompetensi lulusan). Produk teknologi pendidikan (edtech) yang ada saat ini dan memiliki kesempatan implementasi yang besar pada umumnya mengacu pada penyelesaian masalah tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa pendekatan teknologi pendidikan merupakan langkah yang tepat. Masifnya persebaran konektivitas internet dan penetrasi perangkat pintar membawa sebuah paradigma baru digital society. Didukung dengan angka yang besar di jumlah sekolah, sebaran murid hingga anggaran tahunan untuk sektor pendidikan. Menjadi masalah krusial, karena berbagai pihak (termasuk pemerintah) mulai memahami bahwa optimalisasi pendidikan akan membawa bangsa di tingkat yang lebih maju.

Potensi edtech untuk terlibat dalam transformasi pendidikan modern

Di Indonesia belum ada riset komprehensif yang berhasil kami temukan, namun di Amerika Serikat sudah ada data (WCET Distance Education Enrollment Report of 2016) pada tahun 2016 sebanyak 28% dari mahasiswa telah memanfaatkan pembelajaran online minimal satu kali dalam masa belajar. Beberapa institusi mulai melegalkan dan mengukuhkan skema kelas maya yang dapat diikuti tanpa batasan tempat.

Spesifik di edtech sendiri, diperkirakan pada tahun 2020 mendatang nilainya mencapai $252 miliar secara global. Hal ini terbukti bahwa pada tiga tahun ke belakang investasi di sektor edtech sudah mencapai $55 miliar, dengan keterlibatan lebih dari 450 startup di seluruh dunia. Jika berbicara anggaran pendidikan secara umum, contohnya di APBN Indonesia tahun 2016, dana pendidikan yang dikucurkan mencapai Rp 419,2 triliun.

Namun demikian layanan atau produk yang disuguhkan edtech juga perlu mempertimbangkan permasalahan dasar yang ada di lapangan. Di Indonesia sendiri di tempat yang berbeda akan menghadapkan pada masalah yang berbeda. Namun secara garis besar edtech akan mendapatkan dukungan beberapa poin berikut mampu dirangkum pada visinya:

  • Memfasilitasi masyarakat dalam dinamika sosial yang terjadi atas dampak internet
  • Mampu bersinergi dengan bisnis, pemerintah dan lingkungan akademik
  • Memberikan efisiensi dalam akses dan sumber daya pengajaran
  • Membawa komponen pendidikan pada cara modern dalam penyampaian materi
  • Dan memberikan dorongan untuk perubahan di sekolah

Sejauh mana edtech hadir dan bermanuver di Indonesia

Kategori startup edtech (dari Global Edtech Startups) terdiri dari 5 bagian, yakni produk kurikulum, kebutuhan kelas, operasional sekolah, kebutuhan kampus dan produk pendidikan lainya. Di Indonesia semua kategori tersebut sudah terisi oleh startup-startup dalam negeri, beberpa di antaranya:

  • Produk Kurikulum: Bahaso, CodeSaya, Educa Studio, KelasKita, MejaKita, SekolahCoding, Zenius.
  • Kebutuhan Kelas: Cozora, HomeWork Hero, UtakAtikOtak.
  • Operasional Sekolah: 7Pagi, AIMSIS, Kelase, PesonaEdu, Quintal.
  • Kebutuhan Kampus dan Luar Kelas: Asdos, HarukaEdu, SemuaGuru, SquLine, Sukawu.
  • Produk Pendidikan Lainnya: BangsaCerdas, BulletinBoard, LeanSkill, GuruKite, RuangGuru.

[Baca juga: Daftar Startup Indonesia di Bidang Pendidikan]

Kategori tersebut dilihat dari proses bisnis juga masih terbagi ke dalam dua kelompok, yakni Business-to-Business (B2B) dan Business-to-Consumer (B2C). Singkatnya B2B mencoba memenuhi berbagai kebutuhan yang menjangkau institusi pendidikan, sedangkan B2C berhubungan langsung dengan pelajar di dunia maya. Desain kebutuhan pengajaran model gamifikasi, personalized learning, dan skill training menjadi yang banyak diminati oleh pengguna. Sedangkan layanan manajemen & administrasi dan analisis pendidikan menjadi yang terfavorit di kalangan institusi.

Berbicara tentang seberapa jauh, maka kita coba melihat tentang apa saja yang berhasil dicapai oleh startup edtech Indonesia. Dimulai dari penyedia layanan pendidikan berbasis media sosial Kelase, data terakhir menunjukkan total pengguna melebihi 102 ribu dengan keterlibatan 3 ribu kelas di dalamnya. Sebelumnya startup yang digawangi Winatswan Gora dkk ini juga telah mendapatkan dukungan funding dari Microsoft dalam bentuk Affordable Access Initiative.

Startup lain juga mulai mendapatkan kepercayaan lebih, baik dari pengguna maupun investor. Tahun ini Squline mengumumkan pendanaan Pre-Series A dari Prasetia Dwidharma, yang akan didedikasikan untuk perluasan fitur dan pemasaran produk. Pemain lama RuangGuru juga memperkenalkan aplikasi baru untuk orang tua murid. Hingga BangsaCerdas yang tengah mempersiapkan skema Online-to-Offline (O2O) untuk pemasaran produk di tahun mendatang. Banyak hal yang dilakukan sebagai langkah perluasan dan pendalaman pasar teknologi di Indonesia.

Peluang bertumbuhnya edtech di Indonesia tahun mendatang

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahun depan edtech masih akan memiliki posisi yang sangat cerah, dengan porsi pasar yang sangat besar. Namun tantangannya adalah bagaimana mampu membuat sinergi bersama berbagai komponen pendidikan lain, dan membuat layanan atau produk yang disuguhkan efektif untuk pangsa pasar Indonesia.

Beberapa catatan di atas kami coba rangkum dalam infografik berikut ini:

Infographic - EdTech in Indonesia Edited

Portal Belajar Online LinkedIn Learning Tawarkan 9.000 Topik Pembelajaran

Sejak diakuisisi Microsoft, LinkedIn sepertinya cukup sibuk melebarkan sayapnya merambah ranah-ranah baru. Sebelumnya, LinkedIn sempat menyajikan konten video orisinil, sekarang giliran ranah pendidikan yang mereka cicipi dengan diluncurkannya LinkedIn Learning.

LinkedIn Learning pada dasarnya merupakan portal belajar online untuk pengguna individu maupun yang tergabung dalam korporasi. Dalam menjalani debutnya, LinkedIn Learning siap menyuguhkan sekitar 9.000 topik pembelajaran yang mencakup hampir segala bidang, mulai dari pemrograman, menulis sampai akuntansi.

Jumlah tersebut terbilang luar biasa untuk sebuah portal elearning baru. Tapi jangan salah, sebab di tahun 2015 LinkedIn sebenarnya sempat mengakuisisi salah satu portal belajar online yang amat populer, Lynda.com, dan LinkedIn Learning bisa dibilang sebagai reinkarnasi darinya.

Yang membedakan LinkedIn Learning dari Lynda.com adalah integrasi analytics LinkedIn sehingga perusahaan bisa memonitor progress karyawan-karyawannya. Elemen kurasi turut tersedia, dimana pengguna akan diberi rekomendasi topik-topik pembelajaran yang paling populer di kalangan seprofesinya.

Untuk mengakses LinkedIn Learning, pengguna harus menjadi pelanggan LinkedIn Premium terlebih dulu. Selanjutnya, mereka akan menerima 25 topik pembelajaran baru setiap minggunya. LinkedIn rencananya juga akan menyediakan paket berlangganan khusus untuk perusahaan yang mencakup seluruh karyawannya.

Dalam kesempatan yang sama, LinkedIn juga mengumumkan sejumlah pembaruan terhadap produk utamanya yang meliputi desain baru pada versi desktop, penyajian konten berita yang lebih baik dan dukungan chat bot pada layanan messaging-nya.

Sumber: TechCrunch dan LinkedIn.

Mengecek Tingkat Kebosanan Siswa dengan Teknologi Pengenal Wajah, Kenapa Tidak?

Saat masih duduk di bangku kuliah jurusan pendidikan beberapa tahun yang lalu, saya selalu diajarkan untuk merancang kegiatan belajar-mengajar yang fun dan tidak membosankan. Ibaratnya stand-up comedy yang tidak lucu, materi belajar yang membosankan kurang efektif bagi pemahaman para murid.

Namun yang kerap menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya kita bisa tahu apakah cara kita mengajar membosankan atau tidak. Raut muka jawabannya. Dari ekspresi wajah, kita sebenarnya bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai tingkat kebosanan seseorang. Tapi ketimbang memperhatikannya sendiri satu per satu, kenapa tidak kita serahkan pada teknologi saja?

Itulah yang dilakukan oleh seorang dosen sains di Sichuan University di Tiongkok, Wei Xiaoyong. Beliau memanfaatkan teknologi facial recognition alias pengenal wajah untuk mengindikasikan tingkat kebosanan pada murid-muridnya, kemudian memakai data tersebut untuk mengoptimalkan materi dan teknik pengajarannya.

Data yang didapat bisa dipakai untuk mengecek bagian mana yang paling menarik bagi para murid dalam sebuah sesi pengajaran dan di saat yang sama bagian yang paling membosankan. Evaluasi pribadi semacam ini memungkinkan Wei untuk menentukan apakah konten yang diberikan cocok untuk murid-murid di kelas tersebut, dan lain sejenisnya.

Wei Xiaoyong sudah mulai menggunakan teknologi facial recognition di kelas sejak lima tahun yang lalu / West China Metropolis Daily
Wei Xiaoyong sudah mulai menggunakan teknologi facial recognition di kelas sejak lima tahun yang lalu / West China Metropolis Daily

Ini sebenarnya bukan pertama kali Wei memanfaatkan teknologi pengenal wajah selama karirnya sebagai pendidik. Lima tahun yang lalu, beliau mulai memakai teknologi ini sebagai alat bantu untuk mengecek presensi siswa seandainya ia kelupaan dan langsung memulai pelajaran begitu saja.

Ada-ada saja memang yang dilakukan oleh dosen asal Tiongkok ini. Pun begitu, Wei mengaku bahwa sejumlah koleganya turut menerapkan teknik serupa dalam karirnya masing-masing sebagai pengajar. Wei bahkan cukup optimis bahwa teknologi pengenal wajah ini bisa diaplikasikan pada berbagai bidang, mulai dari ilmu sosial, psikologi maupun riset pendidikan.

Sumber: The Telegraph.

Menilik Peran Virtual Reality dan Perangkat Wearable di Dunia Pendidikan

Perangkat seperti Samsung Gear VR, Apple Watch atau fitness tracker lain sepintas terkesan terlahir dari perkembangan tren gaya hidup. Padahal, kalau ditinjau dari sudut pandang lain, perangkat-perangkat yang masuk dalam kategori wearable ini punya peran besar di bidang pendidikan, seperti yang dilaporkan oleh lembaga riset pasar Technavio.

Di tahun 2020 nanti, diperkirakan pasar perangkat wearable di lingkup pendidikan Amerika Serikat akan meningkat sebesar 46 persen. Alasannya sederhana: semakin banyak universitas atau institusi pendidikan lain yang memanfaatkan perangkat seperti VR headset, smartwatch dan fitness tracker untuk meningkatkan partisipasi siswa, dan sebaliknya para siswa menggunakan perangkat wearable sebagai media pengumpul dan analisis informasi.

Mengapa institusi pendidikan bisa begitu tertarik dengan teknologi virtual reality? Well, VR headset terbukti mampu memberikan pengalaman berinteraksi dengan konten secara immersive. Sebagai contoh, menggunakan aplikasi Labster, siswa dapat melangsungkan eksperimen secara virtual maupun simulasi kompleks yang sebelumnya hanya bisa dipraktekkan di fasilitas khusus dengan perlengkapan berharga mahal.

Aplikasi-aplikasi lain, seperti yang direkomendasikan oleh Unimersiv terus menjunjung konsep ini. Aplikasi InCell misalnya, dimana siswa diajak untuk mengeksplorasi sel tubuh manusia. Tentu saja, hal ini hampir mustahil dilakukan di dunia nyata, dan itulah yang membuat citra VR sangat positif di mata institusi pendidikan.

Penerapan menarik lain terkait VR di dunia pendidikan melibatkan universitas-universitas ternama seperti Harvard dan Yale. Mereka memanfaatkan aplikasi YouVisit untuk memberikan tur kampus virtual pada calon-calon mahasiswanya.

Di sisi lain, sejumlah universitas di Amerika Serikat seperti Oral Roberts University menganjurkan para mahasiswa baru untuk menggunakan fitness tracker. Sederhananya, kalau tubuh terasa bugar, konsentrasi belajar pun bisa ditingkatkan, dan inilah yang dituju oleh universitas-universitas tersebut.

Semua ini turut didukung oleh perkembangan pesat ekosistem aplikasi dan konten untuk VR headset maupun perangkat wearable lainnya. Selagi popularitas perangkat wearable terus meningkat, pastinya akan ditemukan cara-cara baru untuk memaksimalkan potensi teknologi tersebut di ranah pendidikan.

Sumber: Technavio dan Samsung. Gambar header: Oculus.

Aplikasi Glicode Ajak Anak-Anak Belajar Coding Menggunakan Snack Pocky

Saya yakin tidak sedikit programmer yang lebih suka bekerja sambil ngemil. Entah itu keripik kentang, keripik singkong, atau snack berwujud stik berbalut coklat yang kita semua kenal dengan nama Pocky.

Namun siapa yang menyangka kalau kudapan yang terlahir di Jepang tersebut bisa dijadikan sebagai alat bantu belajar programming atau coding? Glico, yang tidak lain dari produsen Pocky, baru-baru ini ingin mewujudkan skenario tersebut melalui kampanye bertajuk “Glicode”.

Konsep yang dipakai sebenarnya bukanlah barang baru. Dikenal dengan istilah tangible programming, teknik ini lebih memfokuskan pada pengalaman fisik, serta sudah diterapkan oleh berbagai raksasa teknologi, termasuk halnya Google lewat Project Bloks.

Jadi ketimbang harus menghadap layar dan memahami baris demi baris kode, anak-anak bisa belajar coding dengan merangkai objek fisik di hadapannya. Objek tersebut bisa berupa balok-balok Lego, atau dalam kasus Glicode ini, stik Pocky.

Dalam Glicode, anak-anak akan diajak untuk menyusun stik Pocky maupun snack lain produksi Glico dalam posisi dan urutan yang benar supaya karakter di aplikasi pendampingnya dapat bergerak dan mencapai tujuannya.

Stik-stik Pocky yang sudah disusun di atas meja tersebut kemudian bisa difoto menggunakan ponsel, lalu aplikasi akan menerjemahkannya menjadi sederet instruksi seperti maju satu langkah, melompat atau mengulangi aksi sebelumnya.

Secara keseluruhan, Glicode bisa dilihat sebagai cara belajar programming atau coding yang mudah, menyenangkan sekaligus terjangkau. Namun yang mungkin menjadi halangan adalah ketersediaan snack produksi Glico selain Pocky yang mewakili instruksi-instruksi tertentu, serta dukungan bahasa yang sejauh ini baru Jepang saja.

Sumber: TheNextWeb.

BoseBuild Speaker Cube Adalah Speaker Bluetooth Unik yang Harus Dirakit Sendiri dari Nol

Perusahaan perangkat audio kenamaan asal Amerika Serikat, Bose, baru-baru ini memperkenalkan inisiatif unik yang ditujukan untuk dunia pendidikan. Berangkat dari konsep “learning by doing“, mereka merasa tergerak untuk memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar mengenai cara kerja sebuah speaker sekaligus pengetahuan dasar di bidang akustika.

Inisiatif tersebut mereka namai BoseBuild, sebuah kategori produk DIY yang secara khusus dirancang untuk kepentingan belajar anak-anak. Produk pertama dari kategori ini adalah Speaker Cube, sebuah speaker Bluetooth sederhana yang harus dirakit sendiri dari nol oleh penggunanya.

Aplikasi pendamping BoseBuild Speaker Cube menyajikan panduan langkah demi langkah yang interaktif / Bose
Aplikasi pendamping BoseBuild Speaker Cube menyajikan panduan langkah demi langkah yang interaktif / Bose

BoseBuild Speaker Cube datang bersama sebuah aplikasi pendamping untuk perangkat iOS yang akan menyajikan panduan langkah demi langkah dalam merakit speaker tersebut. Selagi merakit, anak-anak secara otomatis akan belajar tentang banyak hal, mulai dari bagaimana objek sesimpel magnet dan koil bisa menghasilkan suara, sampai bagaimana sebenarnya speaker bisa mereproduksi musik.

Setiap komponen Speaker Cube sengaja didesain untuk memudahkan proses belajar anak-anak. Papan sirkuitnya telah dilabeli dengan jelas, kabel dan konektornya sengaja dibuat berukuran besar, dan secara keseluruhan materialnya kokoh dan tahan banting.

Anak-anak bisa melakukan kustomisasi warna lampu LED milik BoseBuild Speaker Cube / Bose
Anak-anak bisa melakukan kustomisasi warna lampu LED milik BoseBuild Speaker Cube / Bose

Saat Speaker Cube sudah berhasil dirakit hingga selesai, anak-anak bisa langsung menjajalnya dengan meneruskan musik dari iPhone, iPad atau iPod Touch lewat sambungan Bluetooth. Bose memastikan kualitas suaranya tidak melenceng dari standar perusahaan, namun yang paling penting pada akhirnya adalah anak-anak bisa belajar dengan cara yang menyenangkan sekaligus merasa bangga akan hasil karyanya sendiri.

BoseBuild Speaker Cube saat ini sudah dipasarkan seharga $149. Anda tak perlu repot-repot meminjam mesin waktu dari Doraemon dan kembali menjadi anak-anak untuk bisa menjadi konsumennya; perangkat ini didesain untuk usia 8 tahun ke atas.

Sumber: PR Newswire.

Google Umumkan Project Bloks, Seperti Lego tapi untuk Belajar Coding

Tidak bisa dipungkiri, programming atau coding itu sulit. Jangankan untuk anak kecil, orang dewasa saja bisa kewalahan kalau tidak dibekali pengetahuan dasar yang cukup. Kendati demikian, di era dimana software memegang peranan penting dalam berbagai perangkat yang kita gunakan sehari-harinya, banyak pihak yang merasa tergerak untuk menciptakan cara mudah belajar coding bagi anak-anak.

Salah satu pihak tersebut adalah Google. Baru-baru ini, mereka mengumumkan Project Bloks, hasil kolaborasinya bersama Stanford University dan IDEO. Tujuan dari proyek riset ini adalah menciptakan platform hardware yang bersifat terbuka sehingga komunitas developer dapat turut berkontribusi mengembangkan sistem pembelajaran coding yang mudah untuk anak-anak.

Project Bloks dibangun di atas konsep tangible programming, yang tidak lain merupakan metode pembelajaran coding secara fisik ketimbang berkutat dengan deretan kode yang kompleks di layar. Project Bloks mungkin belum bisa mengajarkan anak-anak mengenai suatu bahasa pemrograman, namun paling tidak mereka bisa memahami logika-logika umum di balik proses coding.

Tiga komponen utama Project Bloks: Brain Board, Base Board dan Puck / Google
Tiga komponen utama Project Bloks: Brain Board, Base Board dan Puck / Google

Project Bloks terdiri dari tiga komponen kunci: Brain Board, Base Board dan Puck. Saat ketiganya digabungkan, maka kita bisa meneruskan satu set instruksi ke sejumlah perangkat – macam mainan, robot atau tablet – lewat koneksi Bluetooth atau Wi-Fi. Gampangnya, Project Bloks ini ibarat Lego, tapi untuk belajar coding.

Puck pada dasarnya merupakan objek yang bakal paling sering berinteraksi dengan anak-anak selama proses pembelajaran. Developer dapat memprogram Puck dengan instruksi yang beragam, seperti “menyala-mati”, “geser ke kiri” atau “melompat”. Wujud Puck juga bervariasi, bisa berupa tombol, kenop atau tuas.

Masing-masing Puck ini kemudian ditempelkan di atas Base Board yang membaca instruksi milik Puck dengan sensor kapasitif. Base Board dapat disusun dalam berbagai konfigurasi sesuai kebutuhan. Sifat modular ini memungkinkan anak-anak untuk bereksperimen dengan alur instruksi dalam proses coding.

Terakhir, Base Board yang paling ujung dapat disambungkan ke Brain Board yang berperan sebagai otak dari sistem secara keseluruhan. Dibuat menggunakan modul Raspberry Pi Zero, Brain Board akan meneruskan semua instruksi dari Base Board menuju ke perangkat terhubung via Bluetooth atau Wi-Fi.

Beragam wujud sistem Project Bloks dengan fungsi dan untuk kebutuhan yang berbeda / Google
Beragam wujud sistem Project Bloks dengan fungsi dan untuk kebutuhan yang berbeda / Google

Google membebaskan developer maupun produsen mainan anak-anak untuk merancang sistem Project Bloks dalam wujud yang berbeda-beda dan fungsi yang beragam. Intinya hanya satu: Project Bloks akan menjembatani rasa ingin tahu anak-anak dan bakat motoriknya dengan logika-logika komputasi yang dibutuhkan untuk mendalami proses coding kelak.

Sumber: Google Research Blog.