Peroleh Investasi Tambahan, Rey Assurance Rilis Kartu Klaim “Cashless”

Startup insurtech Rey Assurance mengumumkan perolehan tambahan pendanaan tahap pra-awal dengan nominal dan investor yang dirahasiakan. Seebelumnya, pada pertengahan September, perusahaan mengumumkan pendanaan tahap pra-awal sebesar $1 juta dari Trans-Pacific Technology Fund. Di Indonesia, portofolio TPTF lainnya adalah Prixa, dan Kata.ai.

Bersamaan kabar teranyar ini, perusahaan mengumumkan kemitraan baru dengan Xendit, reasuransi global terkemuka AXA Life & Health Reinsurance Solutions (ALHRS), dan pemimpin industri lainnya. Kemitraan ini merupakan bagian dari peluncuran produk baru Rey, yakni klaim tanpa uang tunai (cashless) yang menjadi pembeda utama ekosistem terintegrasi asuransi yang diusung Perusahaan. Kartu klaim tanpa uang tunai ini sedang memasuki tahap integrasi ke dalam rangkaian lengkap penawaran produk Rey.

Model klaim tanpa uang tunai dari Rey memungkinkan para anggotanya untuk mengakses layanan kesehatan di penyedia offline pilihan mereka. Selain itu, platform klaim ini menghilangkan proses administrasi yang memakan waktu yang sebelumnya berlaku di semua penyedia layanan kesehatan. Kini pengguna cukup menggesek Kartu Rey.

Dalam keterangan resmi, Co-founder dan CEO Rey Evan Tanotogono menjelaskan, dalam waktu singkat perusahaan telah memanfaatkan pendanaan dan perluasan pendanaan untuk menarik mitra kelas dunia dalam mematangkan kualitas ekosistem Rey. “Pengumuman hari ini adalah tonggak utama dalam tujuan kami menciptakan jenis asuransi baru di Indonesia dengan produk dan layanan digital pertama, membuat cakupan kesehatan, jiwa dan penyakit kritis lebih mudah diakses. terjangkau, dan menyenangkan bagi masyarakat,” ujarnya.

Kemitraan dengan Xendit

Dia melanjutkan, kemitraan dengan Xendit memungkinkan platform teknologi masing-masing saling terintegrasi untuk menangani proses penanganan klaim dan membuat proses pembayaran yang lancar bagi anggota Rey dan penyedia layanan kesehatan. Rey akan memanfaatkan keahlian mendalam ALHRS dalam risiko kesehatan, kehidupan, dan penyakit kritis untuk bersama-sama mengembangkan produk eksklusif yang ditawarkan melalui keanggotaan asuransi berbasis langganan Rey, serta proses dan pendekatan berbasis data yang mendukungnya.

Kombinasi ALHRS dan Xendit memungkinkan Rey membangun proses klaim tanpa uang tunai yang didukung oleh analitik canggih dan proses otomatis. Sistem klaim tanpa uang tunai yang baru akan diimplementasikan sebagai bagian integral dari platform perawatan terkelola yang fleksibel dan cerdas milik Rey yang terdiri dari telemedis, pengiriman farmasi, dan kesehatan.

Apabila Anggota Rey baru mendaftar, mereka akan menerima kartu Rey setelah lolos verifikasi dari Bank Sahabat Sampoerna selaku penerbit kartu. Setelah diaktifkan, kartu siap digunakan untuk perawatan tertentu setelah klaim kesehatan yang memenuhi syarat telah diproses melalui proses ajudikasi Rey. Administrasi dan ajudikasi klaim akan dikelola oleh Rey dan terus ditingkatkan dengan memanfaatkan keahlian operasional ALHRS.

Rey juga berencana untuk membuat kartu Rey dan ekosistem tersedia sebagai layanan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan lain. Dengan menggunakan klaim baru tanpa uang tunai dari Rey, perusahaan asuransi dan perusahaan akan memiliki pengalaman tanpa uang tunai di penyedia layanan kesehatan mana pun, yang awalnya berfokus di Indonesia, sambil juga menikmati layanan yang jauh lebih baik dan risiko klaim yang dioptimalkan.

Model klaim sebagai tanpa uang tunai ini merupakan sumber revenue baru bagi Rey. Rencananya akan diperluas secara internasional setelah diluncurkan di Indonesia, dengan memanfaatkan jaringan ALHRS yang memiliki lebih dari 1 juta penyedia di seluruh dunia.

Ambil pendekatan baru

Evan menjelaskan, Rey mengambil model berlangganan sebagai pendekatan yang diambil dalam memasarkan produk asuransi. Menurutnya, industri asuransi memiliki isu yang begitu pelik, lantaran penetrasinya yang masih rendah sehingga sulit untuk tumbuh signifikan.

Oleh karenanya, model berlangganan diyakini dapat mengubah mindset masyarakat dalam membeli produk asuransi. Mindset yang ingin diciptakan adalah membeli sebuah produk sebagai bagian dari ekosistem besar di mana Rey memiliki akses ke ekosistem tersebut.

“Yang kami lakukan sebetulnya mengubah konsep dari ‘product that is just a policy’ menjadi ‘product that takes care of you’. Kami pikir perlu melakukan pendekatan berbeda, dan orang tidak mungkin memiliki ekspektasi hasil berbeda kalau hanya melakukan hal yang sama,” ujar Evan kepada DailySocial.id.

Saat ini, Rey baru menawarkan tiga opsi langganan, yaitu di harga Rp69 ribu/bulan, Rp89 ribu/bulan, dan Rp99 ribu/bulan yang di dalamnya sudah termasuk bundle layanan rawat jalan, telekonsultasi, pengecekan gejala, dan asuransi.

Menurut data OJK, penetrasi asuransi di Indonesia pada semester I 2021 memang masih relatif stagnan, akan tetapi meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, penetrasi asuransi tercatat hanya 2,81%, lalu naik menjadi 2,92% di 2020. Kemudian, angka tersebut tumbuh menjadi 3,11% pada Juni 2021 yang menunjukkan sinyal pertumbuhan positif bagi industri asuransi Indonesia.

Berdasarkan “Insurtech Ecosystem in Indonesia Report” oleh DSInnovate, penetrasi asuransi dinilai masih sangat rendah akibat kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap produk asuransi beserta manfaatnya. Maka itu, kolaborasi asuransi dan teknologi dinilai dapat meningkatkan awareness dan membuka akses produk di kalangan masyarakat.

DSInnovate

Edtech Startup Rolmo Officially Launches, Providing Learning Concept from Industry’s Role Model

The pandemic has accelerated the Indonesian edutech platform. Not only for the formal education, but also informal education in a broad sense. From education regarding finance and investment, programming languages, to parenting. One of the local platforms that strives to contribute to the informal education sector is Rolmo.

Rolmo’s Founder, Jonathan Aditya revealed to DailySocial, althoug using a similar concept with most edtech platforms, they provide different approach for content by focusing on the role model. For example, there is a class on the platform featuring Andra Matin with his life experiences, knowledge, and lessons learned in a career as an architect.

“To date, there are still very few learning options in Indonesia to achieve success and life goals based on experiences, mistakes, and suggestions from role models. Most of the current solution is to offer engineering study, which can be found free or paid on the platforms. We believe that this solution [Rolmo] is well received, especially by people around the productive age,” Jonathan said.

Aside from Indonesia, Rolmo expects its platform to be available in other countries. Therefore, the platform is not simply a website, but also an application. Rolmo has equipped with translations in 12 languages ​​in every course offered.

Along with other founders, Johanes Adika, Rolmo is expected to be ‘the’ platform for the wider community who wants to gain insights, learn directly from their role model.

“Through Rolmo, we want to create opportunities for as many individuals as possible to have access to good education. Another thing Rolmo wants to achieve is to create equal opportunities for anyone to be able to learn from these role models. We believe that by being able to learn from role models, everyone can achieve their goals,” Johanes said.

The VR/AR technology

Currently, courses are available to purchase by users. After making a purchase, they can access it for one year. Using the video-based learning method, every content is available via smartphone and desktop. Not only videos, Rolmo also provides a more intimate experience using 360° Virtual Reality (VR) and Augmented Reality (AR) technology.

By implementing 360 ° VR, users can get closer to role models. Previously, Rolmo has applied it in various cases, one example is a course by Andra Matin. Users are invited for tour of one of the buildings designed by Andra Matin. The user can look around as if they were there.

In the next five years, Rolmo projects the AR technology will be available not only through smartphones, but also with new tools like glasses.

“We get that not everyone has the funds, access and time to be able to see and meet Andra Matin directly. The AR technology will help visualize learning materials in three dimensions. For instance, users can see the Andra Matin project mockup,” Jonathan said.

In the future, Rolmo will add learning materials from other role models from other fields such as interior design, graphic design, product design, business, fashion, photography, film, music, and others.

“This year we are targeting to be able to present more than 20 role models in various fields. We also plan to raise funds in the pre-seed stage,” Jonathan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech Rolmo Meluncur, Tawarkan Konsep Belajar dari “Role Model” di Berbagai Bidang

Pandemi telah mengakselerasi platform edutech di tanah air. Bukan hanya yang menyasar pendidikan formal, namun juga pendidikan informal secara meluas. Mulai dari edukasi mengenai finansial dan investasi, bahasa pemrograman, hingga parenting. Salah satu platform lokal yang kemudian tertarik untuk berkontribusi kepada sektor edukasi informal adalah Rolmo.

Kepada DailySocial, Founder Rolmo Jonathan Aditya mengungkapkan, meskipun memiliki cara kerja yang serupa dengan kebanyakan platform edtech, namun pendekatan konten mereka berbeda, yakni dengan menitikberatkan pada sosok role model. Sebagai contoh, di platform terdapat kelas dari Andra Matin yang berisi pengalaman, ilmu, dan pembelajaran hidupnya dalam berkarier sebagai arsitek.

“Di Indonesia hingga kini masih sedikit sekali pilihan belajar untuk meraih kesuksesan dan tujuan hidup dari pengalaman, kesalahan, dan saran dari para role model. Mayoritas, solusi yang ada sekarang yaitu menawarkan pembelajaran keteknikan, yang dapat ditemukan di platform berbayar maupun gratis. Kami yakin bahwa solusi ini [Rolmo] diterima dengan baik, terutama oleh masyarakat di rentang usia produktif,” kata Jonathan.

Selain di Indonesia, Rolmo berharap platform mereka bisa digunakan di negara lainnya. Hal tersebut yang kemudian menjadikan platform tidak hanya berupa situs, namun juga berupa aplikasi. Rolmo juga telah dilengkapi dengan terjemahan dalam 12 bahasa dalam setiap kursus yang diluncurkan.

Bersama dengan pendiri lainnya yaitu Johanes Adika, Rolmo diharapkan bisa menjadi platform pilihan bagi masyarakat luas yang ingin menambah ilmu, belajar langsung dari tokoh idola mereka.

“Lewat Rolmo, kami ingin membuka kesempatan bagi sebanyak mungkin individu untuk memiliki akses edukasi yang baik. Hal utama lain yang juga ingin dicapai oleh Rolmo adalah menciptakan kesetaraan peluang bagi siapa pun untuk bisa mendapatkan pembelajaran dari para role model tersebut. Kami percaya bahwa dengan bisa belajar dari para role model, setiap orang bisa meraih tujuan mereka,” kata Johanes.

Pemanfaatan teknologi VR/AR

Untuk saat ini pengguna bisa melakukan pembelian untuk masing-masing pilihan kursus. Setelah melakukan pembelian, pengguna dapat mengaksesnya selama satu tahun. Menggunakan metode video base learning, setiap pengguna bisa mengaksesnya melalui smartphone dan desktop. Tidak hanya berupa video, Rolmo juga memberikan pengalaman yang lebih intim menggunakan teknologi 360° Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR).

Dengan menerapkan 360° VR bisa mendekatkan pengguna dengan role model. Sebelumnya Rolmo juga telah mengaplikasikannya di berbagai kasus, salah satu contohnya pada kursus oleh Andra Matin. Pengguna diajak berkeliling di salah satu bangunan yang didesain oleh Andra Matin. Pengguna dapat melihat sekeliling, seakan-akan berada di sana.

Dalam lima tahun ke depan, Rolmo melihat penggunaan AR dapat dinikmati tidak hanya melalui smartphone, tetapi juga dengan alat perangkap baru seperti kacamata.

“Kami sadar tidak setiap orang memiliki dana, akses dan waktu untuk dapat melihat dan bertemu langsung dengan Andra Matin. Penerapan AR akan membantu visualisasi materi pembelajaran secara tiga dimensi. Salah satu contohnya yaitu pengguna dapat melihat maket proyek Andra Matin,” kata Jonathan.

Ke depannya Rolmo juga akan menambah materi pembelajaran dari role model lain dari bidang lain seperti desain interior, desain grafis, desain produk, bisnis, fesyen, fotografi, film, musik, dan lainnya.

“Tahun ini kami menargetkan untuk bisa menghadirkan lebih dari 20 role model di berbagai bidang. Kami juga berencana melakukan penggalangan dana tahap pre-seed,” kata Jonathan.

Application Information Will Show Up Here

Dropezy dan Misinya Permudah Belanja Harian dengan Kuantitas Kecil dan Berulang

Di tengah menjamurnya layanan online grocery yang hadir selama pandemi, masih memiliki celah yang luput dari perhatian. Salah satunya adalah ketidaknyamanan saat konsumen harus memesan produk dengan ketentuan minimum yang telah ditentukan.

Dropezy memainkan kesempatan tersebut dengan fokus pengantaran dalam jumlah mikro, sehingga memungkinkan konsumen untuk memesan mulai dari satu produk saja dengan ongkos kirim terjangkau. Mengutip dari berbagai temuan, misalnya yang dilakukan BPS, menemukan transaksi belanja untuk bahan-bahan makanan meningkat tajam hingga 51%.

Namun, karena masyarakat diimbau untuk menghindari tempat-tempat umum yang ramai – seperti pasar dan supermarket – mereka beralih ke platform digital. Karena itulah, sekitar 46% responden BPS mengaku membeli kebutuhan pokok melalui aplikasi belanja online.

Konsep mikro sengaja dipilih untuk menyesuaikan dengan preferensi belanja konsumen di Indonesia yang gemar dengan sistem langganan. Berdasarkan hasil riset Nielsen selama pandemi, sebanyak 71% masyarakat Indonesia berbelanja makanan segar secara harian.

Nitesh Chellaram dan Chandni Chainani memutuskan untuk menyeriusi Dropezy berbekal pengalaman dari berbagai pekerjaan sebelumnya. Nitesh sebelumnya  pernah memimpin startup online rekrutmen Talent Search Recruitment yang membantu perusahaan seperti Oyo Rooms, Gojek, dan Tokopedia dalam merekrut talenta terbaiknya. Ia juga turut membantu bisnis keluarga di bidang FMCG yang sudah berjalan puluhan tahun.

Sementara itu, Chandni kuat di bidang sales setelah bekerja untuk berbagai startup, seperti Zomato, Matahari Mall, dan Zilingo Indonesia. Menggabukan kekuatan dari keduanya, akhirnya Dropezy dirintis pada akhir 2019.

Kepada DailySocial, Nitesh menuturkan meski ada banyak platform online tetapi faktor ketidaknyamanan masih belum optimal karena konsumen tetap harus membeli kebutuhan sehari-hari dalam jumlah yang lebih sedikit. Aplikasi yang ada saat ini menetapkan batas minimum pemesanan yang tinggi, belum lagi ongkos kirimnya yang mahal.

“Selain itu, belum ada satu platform pun yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga. Padahal saat memesan secara online, namun ada barang tidak terpenuhi, akhirnya konsumen harus pergi ke supermarket untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kami memulai Dropezy untuk memperbaiki masalah ini,” terangnya.

Model bisnis Dropezy

Perusahaan menempatkan dirinya sebagai platform kebutuhan sehari-hari (daily needs platform), bukan grocery platform. Dengan konsep itu, konsumen dapat membeli dalam kuantitas lebih kecil secara beberapa kali dalam sebulan. “Kami percaya pada konsep ‘Buy small, eat fresh’ dan ‘Top up, don’t stock up’. Kami yakin bahwa orang Indonesia tidak suka melakukan pembelian massal di awal bulan, tetapi memilih membeli dalam jumlah kecil setiap hari atau pada hari yang berbeda.”

Ia melanjutkan, “Juga orang Indonesia lebih suka membeli segar dan tidak menyimpan di rumah mereka. Orang Indonesia juga suka pergi ke pasar dan membeli dari Langganan mereka setiap saat. Inilah yang coba kami tiru. Dengan menjadikan Dropezy sebagai langganan, di mana mereka bisa datang dan berbelanja setiap beberapa hari dalam jumlah yang lebih sedikit, fresh dan hanya membayar sedikit ongkos kirim tanpa minimum order.”

Perusahaan membeli produk sehari-hari dari brand prinsipal, distributor, agen, grosir, dan partner B2B untuk dijual kembali ke konsumen Dropezy. Alhasil seluruh produk yang dibeli dari Dropezy datang langsung dari gudang perusahaan dengan logistik sendiri. “Karena sumbernya langsung dari prinsipal, kami bisa membuat margin yang layak.”

Seluruh pemesanan akan dikirim pada hari berikutnya, tidak diberlakukan minimum order, ongkos kirim mulai dari Rp5 ribu (gratis jika belanja di atas Rp150 ribu), dan terdapat fitur baru, yakni pemesanan berulang (recurring) untuk mengakomodasi konsumen dapat memilih item sebelumnya dan merencanakan untuk terus memesannya secara rutin.

Sementara ini Dropezy baru melayani pengiriman khusus area Jakarta. Para penggunanya adalah para ibu-ibu dari generasi milenial dan belakangan ini semenjak pandemi, mulai bermunculan laki-laki yang malas atau takut berbelanja di luar rumah.

“Covid-19 telah menjadi berkah tersembunyi bagi kami. Sebelumnya sulit untuk meyakinkan seseorang untuk berbelanja bahan makanan secara online, tetapi Covid-19 telah melakukan pekerjaan itu untuk kami. Dan kami percaya bahkan ketika Covid-19 berakhir, orang-orang yang terbiasa berbelanja online akan tetap melanjutkan. Perilaku telah diubah.”

Dengan prospek yang cerah tersebut, perusahaan berhasil mengantongi pendanaan pra-awal dengan nilai dirahasiakan dari Taurus Ventures dan Kopi Kenangan Fund. Dana segar ini akan digunakan untuk meningkatkan platform, merekrut talenta baru, menambah fitur baru, menyiapkan hub distribusi mikro untuk memastikan pengiriman yang cepat dan efisien.

Lalu, mengembangkan private-label untuk lebih banyak unit penyimpanan stok (SKU) dan memperkenalkan metode pembayaran “paylater”. “Kami akan luncurkan aplikasi Dropezy bulan depan (baca: April 2021), memperluas gudang & fokus pada pemasaran untuk menjangkau pelanggan baru,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Finantier Obtains Seed Funding, to Offer API service for Financial Business

Finantier is an open finance service developer startup, enabling financial companies to use an API (Application Programming Interface) connection to streamline multiple processes. In the Finantier service, there are three main features, verification of identity through data owned by users or bank data; help businesses manage raw data with machine learning; and provides features to accommodate regular payments or subscriptions.

The startup founded by Diego Rojas, Keng Low, and Edwin Kusuma, today (23/11) announced its pre-seed funding led by East Ventures with the participation of AC Ventures, Genesia Ventures, and several other investors. There is no further detail of the nominal funding obtained. The investment fund will be focused on strengthening the team and accelerating the development of their API technology, including preparing services to expand in various countries in Southeast Asia.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Finantier’s Co-Founders : Diego Rojas & Keng Low

“Open finance is a framework built on the principles of open banking that gives consumers the flexibility to access their data securely and use it optimally across multiple platforms,” ​​Finantier Co-Founder & CEO Diego Rojas said.

In Indonesia, open banking regulation is the responsibility of Bank Indonesia. Until now, the Open API standard is in its developing stage. Since last July 2020, BI has announced the release of the Open API standard, enabling collaboration between banks and fintechs to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems.

In Indonesia, there are several API service startups to accommodate various payments. One of the most comprehensive is Ayoconnect, which offers an API for transactions, payments, and even transaction data management. With a different approach, there is also an API-based open banking solution provided by Brankas, enabling developers to facilitate various transactions from user to bank.

“We are leveraging the digital footprint of consumers and businesses to provide them with safe access in Southeast Asia to customized financial services, which in turn help improve consumers’ financial well-being,” Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low added.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder & COO Edwin Kusuma outlined one of the issues that fintech players in Indonesia have often encountered. “P2P lending companies often have difficulty channeling loans to individuals and SMEs. Usually, this is due to a lack of information or because fintech companies are unable to get a complete financial picture of prospective borrowers, even though this data is needed to reduce loan risk and reduce costs.”

Finantier was founded in the middle of this year aiming to provide the infrastructure and data needed by businesses to build the next generation of financial products. Finantier enables fintech platforms and financial institutions to collaborate securely to provide consumers with flexibility, convenience and security in utilizing their financial data.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Finantier Dapat Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API untuk Bisnis Finansial

Finantier adalah startup pengembang layanan open finance, memungkinkan perusahaan finansial menggunakan sambungan API (Application Programming Interface) untuk mengefisiensikan beberapa proses. Di layanan Finantier ada tiga kapabilitas utama yang ditawarkan, yakni melakukan verifikasi identitas melalui data yang dimasukkan pengguna atau data bank yang sudah dimiliki; membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning; dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan.

Startup yang didirikan Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut, hari ini (23/11) mengumumkan perolehan pendanaan pre-seed yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures, Genesia Ventures, dan beberapa investor lainnya. Tidak disebutkan detail nominal pendanaan yang didapat. Dana investasi akan difokuskan untuk memperkuat tim dan mengakselerasi pengembangan teknologi API mereka, termasuk mempersiapkan layanan agar bisa berkembang di berbagai negara di Asia Tenggara.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low

Open finance adalah sebuah kerangka yang dibangun di atas prinsip-prinsip open banking yang memberikan konsumen keleluasaan untuk mengakses data mereka dengan aman dan menggunakannya dengan optimal di berbagai platform,” kata Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Di Indonesia sendiri aturan open banking ada di ranah Bank Indonesia. Sampai saat ini, standar Open API sedang dalam tahap pematangan. Sejak Juli 2020 lalu, BI sudah mengumumkan segera merilis standar Open API, memungkinkan kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem.

Di Indonesia sendiri beberapa startup layanan API untuk mengakomodasi berbagai pembayaran. Salah satu yang terlengkap adalah Ayoconnect, menawarkan API untuk transaksi, pembayaran, sampai ke pengelolaan data transaksi. Dengan pendekatan berbeda, ada juga solusi open banking berbasis API yang disediakan Brankas, memungkinkan pengembang memfasilitasi berbagai transaksi dari pengguna ke bank.

“Kami memanfaatkan jejak digital konsumen dan bisnis untuk memberikan mereka akses yang aman di Asia Tenggara ke layanan finansial yang disesuaikan dengan kebutuhan, yang kemudian turut membantu meningkatkan kesejahteraan finansial konsumen,” tambah Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low.

Sementara itu, Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma menjabarkan salah satu isu yang selama ini kerap ditemui pemain fintech di Indonesia. “Perusahaan p2p lending seringkali kesulitan dalam menyalurkan pinjaman ke individu dan UMKM. Biasanya, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi atau karena perusahaan fintech tidak bisa mendapatkan gambaran finansial yang lengkap dari calon peminjam, padahal data tersebut dibutuhkan untuk mengurangi risiko pinjaman dan menekan biaya.”

Finantier didirikan pada pertengahan tahun ini dengan tujuan menyediakan infrastruktur dan data yang dibutuhkan oleh bisnis dalam membangun produk finansial generasi selanjutnya. Finantier membuat platform fintech dan institusi keuangan bisa berkolaborasi dengan aman untuk memberikan konsumen keleluasaan, kenyamanan, dan keamanan dalam memanfaatkan data finansial milik mereka.

Strategi Monetisasi Startup Edtech MejaKita dengan Dompet Digital Besutannya

Selama kurang lebih empat tahun beroperasi, Mejakita startup yang menawarkan konsep peer tutoring bagi pelajar Indonesia, menegaskan komitmen mereka untuk semakin berkiprah dalam meningkatkan kualitas pendidikan tanah air. Hal ini ditunjukkan dengan pengembangan fitur serta strategi monetisasi yang mulai diterapkan di bulan Juni 2020.

Aktsa Efendy selaku Founder & CEO MejaKita turut menyampaikan, “Sebelumnya MejaKita tidak menuangkan kampanye pemasaran apapun dalam skala besar, betul-betul hanya hidup dari dana bootstrap untuk membangun branding terlebih dulu, sembari para founder menggodok model bisnis, brand DNA, serta product offerings yang solid.”

Di masa pandemi ini, perusahaan melihat potensi besar dalam dunia teknologi pendidikan. MejaKita menyediakan materi pembelajaran untuk pelajar SD s/d SMA secara gratis, disertai ribuan catatan yang sudah diunggah oleh murid-murid di komunitas pelajar di seluruh Indonesia.

Penyajian materi dilakukan secara tematis dan dilengkapi forum diskusi yang bisa dimanfaatkan untuk tanya jawab. MejaKita mendukung siswa yang harus belajar di rumah untuk tetap dapat berdiskusi PR, soal dan tugas, serta berbagi catatan dan materi pembelajaran lainnya

Sejak Juni 2020,  MejaKita mulai mencatat kenaikan traksi yang signifikan. Sampai saat ini sudah ada 1300+ pengguna premium serta 12.000+ murid terdaftar dari 223 kota dalam tiga bulan terakhir. Tercatat kenaikan rata-rata pengguna sebesar 22% serta MAU yang mencapai 16%-20% per bulan. Hal ini diimbangi dengan dengan kenaikan traffic yang signifikan hingga 700.000+ unique traffic per bulan.

Analisis pasar

Dari segi konsep, MejaKita mengaku bahwa mereka tidak bersaing secara langsung dengan kebanyakan platform edtech di Indonesia.

“Dari awal, value proposition kami memang bukan untuk head-to-head dengan bimbingan belajar, baik offline maupun online. Sebagai P2P learning solution, tujuan kami adalah membantu murid-murid Indonesia supaya dapat terhubung dan berkolaborasi dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Jadi, lain dari bimbingan belajar yang kebutuhannya bersifat musiman, kami berniat membantu mendukung kebutuhan murid-murid yang bersifat daily & spontaneous.” pungkas Aktsa.

Dengan konsep yang sedikit berbeda dengan kebanyakan pemain edtech di Indonesia, MejaKita mencoba menangkap pasar pendidikan yang lebih spesifik. Target utama mereka adalah siswa/i di kelas 12 SMA yang mengejar jenjang pendidikan lebih tinggi di universitas. Berdasarkan data analisis pasar mereka, terdapat potensi pengguna sejumlah 4,8 juta di jenjang SMA serta lebih dari 700 ribu dari mereka mengikuti seleksi masuk universitas di Indonesia.

Sementara itu, untuk menyasar pasar yang lebih luas, MejaKita mencatat total market sebesar 40,5 juta yang bisa dijangkau serta 11,9 juta pengguna potensial. Mereka adalah pelajar dari setiap jenjang pendidikan yang memiliki tujuan jangka panjang di bidang akademik.

Platform ini sendiri terbuka bagi siapa saja yang ingin berdiskusi ataupun berkontribusi. Di dalamnya juga terdapat fitur Community Safety Net, pengguna bisa memberi vote dan flag pada konten yang tersedia. Validasi dari komunitas ini yang kemudian akan dijadikan rekomendasi bagi para pengguna terkait. Di sinilah aspek data-driven bekerja, untuk menghubungkan mereka yang butuh diskusi mengenai materi yang sulit dengan kontributor yang memiliki keahlian di bidang terkait.

Skema monetisasi

Dengan berbagai fitur berbasis data dan konsep peer-to-peer learning yang ditawarkan, MejaKita kini menerapkan skema berbayar dalam platform mereka. Ada beberapa paket berlangganan yang ditawarkan mulai dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Semakin lama paket yang diambil, semakin murah biaya per bulan, mulai dari 20 ribu Rupiah.

Dalam skema berbayar ini, MejaKita mengelola dompet digital sendiri yang dinamakan MejaKocek dengan MejaKoin & MejaKash sebagai mata uang. 1 MejaKoin sama dengan IDR 20, sementara 1 MejaKash senilai dengan IDR 2 atau 1 MejaKoin.

Dengan sistem mata uang digital ini, pengguna bisa berlangganan untuk bisa menggunakan fitur di MejaKita, contohnya dalam membeli paket soal try out, menyampaikan pertanyaan, membaca catatan, dst. Sementara itu, kontributor dalam platform akan mendapatkan dividen dalam bentuk MejaKash, yakni 80% dari tiap transaksi MejaKoin yang ada.

“Target kami adalah untuk bisa menjangkau 6,000+ active premium subscribers per bulan untuk bisa mencapai breakeven point dengan harapan besar untuk bisa mencapai traffic rata-rata per kuartal melebihi 1 juta. Keduanya, jika berjalan lancar, akan menjadi bekal kami untuk bisa closing seed round dan seterusnya mengembangkan produk serta jangkauan pasar kami di Indonesia dan regional,” tutup Aktsa.

Application Information Will Show Up Here

SYCA Official Secures Seed Funding from Salt Ventures, Working on the Direct to Consumer Strategy

Utilizing social media and beauty products that are currently increasingly popular with young women in Indonesia, SYCA Official is here to offer lip tint beauty products. SYCA Official’s Co-founder, Pamela Wirjadinata said, judging from the current trends and developments in the industry, it was the right time for her with the other co-founder, Monica Tan to present a special platform for beauty products online.

“Starting with Japan in 2019, I saw many local brands with their own independent shops, especially in the beauty section. Next, Monica and I saw many opportunities to take the business in Indonesia. We feel everyone started to gain trust in beauty brands in Indonesia,” Pamela said.

Using social media accounts and marketplace services, SYCA Official wants to give options to its target users to enjoy local beauty products with quality at affordable prices. SYCA also tries to present natural products that refer to beauty trends from South Korea.

Direct to consumer business model

With the direct-to-consumer (DTC) concept, SYCA Official claims to have around 10 thousand customers who transact using marketplace services such as Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, and Love and Flair.

Currently, the company is preparing a website that can later be accessed by customers. In terms of approach, Pamela said the strategic step became more ideal and in accordance with their concept of selling directly to the target market (DTC). The company is also trying to focus on retail and how to get the best profit margins while at the same time gaining wider brand awareness.

“This year, we target to launch a website. In accordance with the plan, within the next 1-2 months, we will release it. In terms of application, we’ll see in the future,” Pamela said.

Although they did not experience any significant changes or impacts during the Covid-19 deployment, because what they did from the beginning was online; but in terms of production of goods, Pamela mentioned having experienced problems in the matter of production because the factory could not operate normally. The delivery of goods also briefly interrupted.

“To date, we’ve sold around 17 thousand products with an average of 2000 units per month since the launch of SYCA Official. For partners, we’ve collaborated with two partners which products we bought,” Pamela said.

Backed by Salt Ventures

As a startup that offers a “new economy” approach, SYCA Official is one of the portfolios owned by Salt Ventures, which so far has invested quite a lot in new startups that offer similar business models. After securing the seed funding, with undisclosed value, SYCA Official has several business plans.

“We raised our pre-seed funding in February 2020. Next, we want to expand our line product, which is certainly in line with this marketing and brand awareness strategy with this first funding. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” Pamela said.

There are several reasons why Salt Ventures is interested in investing in startups that target beauty products and fully utilize online channels. Salt Ventures Indonesia’s Managing Partner, Danny Sutradewa mentioned three basic things that are the focus of their investment.

“Among these are the founder’s character and ability to turn ideas into reality and to navigate businesses in a variety of circumstances. We also see the SYCA business model that uses online infrastructure to make its business scalable and focus on the right target market. SYCA currently has an online presence that “In addition, the cosmetics industry is a fast-growing industry in Indonesia,” Danny said.

In addition to SYCA Official, another portfolio owned by Salt Ventures that has run a business with a similar concept but with a different product is Sneakershoot.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kantongi Pendanaan Awal dari Salt Ventures, SYCA Official Makin Mantap Perdalam Strategi “Direct-to-Consumer”

Memanfaatkan media sosial dan produk kecantikan yang saat ini makin populer di kalangan perempuan muda di Indonesia, SYCA Official hadir menawarkan produk kecantikan yaitu lip tint. Kepada DailySocial Co-founder SYCA Official Pamela Wirjadinata mengungkapkan, dilihat dari tren dan perkembangan industri keantikan saat ini, menjadi waktu yang tepat baginya bersama dengan co-founder lainnya yaitu Monica Tan untuk menghadirkan platform khusus untuk produk kecantikan secara online.

“Berawal dari inspirasi ke Jepang tahun 2019, saya melihat di sana banyak local brand yang punya independent shop sendiri, terutama di beauty section. Selanjutnya saya bersama Monica melihat banyak kesempatan yang bisa diambil untuk mengembangkan bisnis tersebut di Indonesia. We feel everyone mulai gain trust kepada beauty brand di Indonesia,” kata Pamela.

Memanfaatkan akun media sosial dan layanan marketplace, SYCA Official ingin memberikan pilihan lebih kepada target penggunanya untuk menikmati produk kecantikan lokal dengan kualitas dan harga yang terjangkau. SYCA juga mencoba untuk menghadirkan produk yang natural mengacu kepada tren kecantikan dari Korea Selatan.

Model bisnis direct-to-consumer

Mengusung konsep direct-to-consumer (DTC) saat ini SYCA Official mengklaim telah memiliki sekitar 10 ribu pelanggan yang melakukan transaksi memanfaatkan layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, dan Love and Flair.

Untuk saat ini perusahaan tengah mempersiapkan website yang nantinya bisa diakses oleh pelanggan. Disinggung mengapa pendekatan tersebut yang diambil oleh mereka, menurut Pamela langkah strategis tersebut menjadi lebih ideal dan sesuai dengan konsep mereka yaitu menjual langsung ke target pasar (DTC). Perusahaan juga mencoba untuk fokus kepada ritel dan bagaimana nantinya bisa mendapatkan profit margin yang terbaik sekaligus mendapatkan brand awareness yang lebih luas lagi.

“Tahun ini kita memiliki target untuk bisa meluncurkan website. Jika sesuai dengan rencana dalam waktu 1-2 bulan ke depan akan kita rilis. Untuk aplikasi masih melihat kondisi ke depannya,” kata Pamela.

Meskipun tidak mengalami perubahan atau dampak yang signifikan selama penyebaran Covid-19, karena yang mereka lakukan sejak awal adalah secara online; namun dari sisi produksi barang, Pamela menyebutkan sempat mengalami kendala dalam soal produksi karena pabrik tidak bisa beroperasi secara normal. Pengiriman barang juga sempat terganggu.

“Sejauh ini kita telah menjual sekitar 17 ribu produk dengan rata-rata 2000 unit per bulannya sejak diluncurkannya SYCA Official. Untuk mitra kami menjalin dengan dua mitra yang semua produknya kami beli putus dari mereka,” kata Pamela.

Didukung oleh Salt Ventures

Sebagai startup yang menawarkan pendekatan “new economy”, SYCA Official merupakan salah satu portofolio milik Salt Ventures, yang selama ini cukup banyak berinvestasi kepada startup baru yang menawarkan model bisnis serupa. Setelah mengantongi pendanaan awal nominal yang tidak disebutkan, SYCA Official memiliki beberapa rencana bisnis.

We raised our pre-seed funding bulan Februari 2020 lalu. Selanjutnya kami ingin melakukan ekspansi produk line, yang tentunya in line with marketing and brand awareness strategy dengan pendanaan pertama ini. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” kata Pamela.

Ada beberapa alasan mengapa Salt Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada startup yang menyasar kepada produk kecantikan dan sepenuhnya memanfaatkan channel online. Menurut Managing Partner Salt Ventures Indonesia Danny Sutradewa, terdapat 3 hal mendasar yang menjadi fokus investasi mereka.

“Di antaranya adalah karakter dan kemampuan pendiri untuk menjalankan ide menjadi kenyataan dan untuk menavigasi bisnis dalam berbagai keadaan. Kami juga melihat model bisnis SYCA yang menggunakan infrastruktur online untuk membuat bisnisnya scalable dan fokus pada target pasar yang tepat. SYCA saat ini memiliki kehadiran online yang kuat. Selain itu industri kosmetik adalah industri yang berkembang pesat di Indonesia,” kata Danny.

Selain SYCA Official, portofolio milik Salt Ventures lainnya yang telah menjalankan bisnis dengan konsep serupa namun dengan produk yang berbeda adalah Sneakershoot.

Sneakershoot Akomodasi Jasa Cuci Sepatu dan Tas Melalui Aplikasi

Memanfaatkan besarnya minat layanan on-demand, platform Sneakershoot dihadirkan. Mereka menyuguhkan jasa pembersihan sepatu plus antar-jemputnya memanfaatkan aplikasi. Startup ini didirikan pada tahun 2019 oleh Donni Irawan, Ikhsan Senja Anchan, Dedy Haryadi, dan Noffian Triyadi. Visi mereka menjadi pioneer untuk jasa cuci sepatu berbasis teknologi.

“Perkembangan tren sneakers di Indonesia kini tumbuh semakin cepat, bukan hanya brand internasional yang berdatangan kini brand lokal Indonesia hadir dan berlomba untuk menaikkan popularitasnya. Kami hadir sebagai penyedia jasa perawatan sepatu,” kata CEO Sneakershoot Donni Irawan kepada DailySocial.

Meskipun baru berjalan selama 1,5 tahun,  Sneakershoot telah melayani lebih dari 5 ribu pelanggan dan telah membersihkan lebih dari 30 ribu pasang sepatu.

“Kami menyediakan jasa free pick up dan delivery di kawasan Jabodetabek kepada pelanggan yang ingin mencuci sepatu dan tas mereka. Kami juga menawarkan jasa, repair, repaint, un-yellowing, dan re-coloring. Kepada pelanggan kami  berikan opsi berlangganan dan mendapatkan harga promosi,” kata Donni.

Meskipun saat ini masih fokus di kawasan Jabodetabek, namun beberapa kali juga menerima pelanggan yang bermukim di luar Jabodetabek. Biasanya mereka mengirim sepatu yang akan dibersihkan dan di re-paint melalui jasa ekspedisi.

“Saat ini kami belum berencana untuk melakukan fundraising. Akhir Februari 2020, perusahaan baru saja merampungkan penggalangan dana putaran pre-seed dari SALT Ventures,” kata Donni.

Penggunaan aplikasi

Saat ini Sneakershoot telah memiliki sekitar 15 tim internal dan beberapa tenaga paruh waktu (freelancer) untuk membantu operasional sehari-hari. Tenaga paruh waktu tersebut di antaranya adalah shoes technician dan tenaga kurir yang melakukan antar jemput sepatu.

Mereka yang menjadi tenaga freelance tersebut berhak mendapat komisi dari Sneakershoot, menyesuaikan perhitungan harian dan mendapatkan bonus jika telah mencapai target. Semua proses dilakukan di workshop milik mereka. Saat ini Sneakershoot baru memiliki satu workshop. Ke depannya perusahaan memiliki rencana untuk menambah jumlah workshop di kawasan lainnya.

Untuk memudahkan pelanggan melakukan pembayaran, Sneakershoot yang bisa diakses di Play Store dan App Store, menyediakan pilihan pembayaran beragam. Mulai dari dompet digital (Gopay, Dana, LinkAja, dan OVO), hingga transfer bank (Mandiri, BNI, Permata, dan BRI). Dalam waktu dekat juga berencana untuk menghadirkan pembayaran menggunakan kartu kredit.

Dalam melakukan treatment yang sepenuhnya memanfaatkan aplikasi, semua proses pengambilan sepatu kotor sampai proses pengantaran sepatu bersih itu semua dilakukan oleh pihak Sneakershoot. Pelanggan juga dapat mengatur jadwal yang diinginkan sehingga mereka tidak perlu repot datang membawa atau mengambil ke mall atau store laundry sepatu. Semua proses tersebut telah di asuransi-kan.

“Semua proses adalah penggunaan aplikasi menyeluruh. Ke depannya kami juga berencana untuk menghadirkan opsi akses di website,” kata Donni.

Application Information Will Show Up Here