Startup Bioenergi Octayne Amankan Pendanaan Awal Rp8,5 Miliar dari Wavemaker Impact

Octayne, startup dengan solusi pengolahan limbah pertanian menjadi energi mengumumkan pendanaan tahap awal $525 ribu (sekitar Rp8,5 miliar) dari Wavemaker Impact (WMi). Pendanaan ini akan mempercepat misi perusahaan dalam memanfaatkan limbah pertanian sebagai komponen utama bahan bakar alternatif netral karbon.

Pasar energi di Asia Tenggara tengah berkembang pesat dengan perekonomian yang cepat bergerak menuju rantai nilai yang lebih tinggi. Namun, kurangnya pendanaan dan insentif membatasi adopsi teknologi energi hijau skala besar. Tren ini diprediksi akan terus berlanjut dengan dominasi pembangkit listrik tenaga batu bara.

Octayne melihat peluang menyediakan bahan bakar alternatif yang rendah biaya, mudah dikembangkan, dan netral karbon sebagai pengganti batu bara tanpa banyak disrupsi teknis dan logistik.

Asia Tenggara menghasilkan lebih dari 400 juta ton sisa tanaman pascapanen setiap tahunnya. Octayne berencana mengubah limbah organik yang sebelumnya tidak dimanfaatkan ini menjadi sumber bahan bakar terbarukan dan berkelanjutan. Selain menyediakan bahan bakar alternatif, Octayne juga bertujuan mengatasi masalah kabut asap akibat pembakaran sisa tanaman yang kerap melanda wilayah ini.

Banyak perusahaan bahan bakar berkelanjutan menghadapi tantangan terkait tingginya biaya produksi dan dominasi pasar oleh perusahaan minyak besar. Octayne mengatasi ini dengan model operasional yang terdesentralisasi, rendah biaya, dan minim jejak karbon, serta dapat diterapkan di wilayah dengan infrastruktur logistik yang kurang memadai. Mereka juga bekerja sama dengan perusahaan energi terbesar di Asia Tenggara untuk menciptakan rantai pasokan yang membantu mencapai tujuan keberlanjutan jangka panjang tanpa menambah beban keuangan.

Founder & CEO Octayne Rohan Vinekar mengatakan, “Pendanaan ini memvalidasi visi kami untuk mentransformasi lanskap energi di Asia Tenggara. Dengan memanfaatkan sumber daya yang kurang dimanfaatkan, Octayne tidak hanya menciptakan paradigma pasar baru tetapi juga menyediakan solusi pengelolaan limbah yang berkelanjutan bagi para petani.”

Octayne berfokus pada pasar energi Asia Tenggara yang bernilai $800 miliar dengan pendekatan berjenjang, dimulai dari Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Visi jangka panjang mereka adalah mencapai pendapatan $100 juta dan mengurangi 100 juta ton emisi CO2 dalam satu dekade ke depan, menjadi pemasok terkemuka bahan bakar berkelanjutan di wilayah ini.

Principal Wavemaker Impact Guillem Segara menambahkan, “Misi Octayne untuk mengubah sisa tanaman panen menjadi bioenergi netral karbon adalah contoh pemanfaatan profil agrikultur Asia Tenggara untuk mendekarbonisasi sektor-sektor yang sulit mengurangi emisi. Pengalaman Rohan di bidang energi menempatkannya pada posisi kuat untuk mewujudkan potensi Octayne.”

Dengan langkah ini, Octayne berkomitmen mendukung keberlanjutan dan pengembangan energi hijau di Asia Tenggara, membawa perubahan nyata dalam pengelolaan limbah dan penyediaan energi terbarukan.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Pengembang Tenaga Surya SUN Energy Peroleh Pinjaman Senilai Rp326 Miliar

Pengembang proyek tenaga surya PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy) memperoleh pendanaan dalam bentuk pinjaman jangka panjang senilai $21 juta (sekitar Rp325,7 miliar) dari DEG, lembaga keuangan asal Jerman.

Ini adalah pinjaman kedua dari DEG yang diteken pada Oktober 2023. Sebelumnya, pada 2021, SUN Energy memperoleh pendanaan seri A sebesar Rp360 miliar, salah satunya dari TBS Energi Utama, yang juga mendirikan perusahaan patungan motor listrik Electrum.

Menurut keterangan di situs resminya, dana tersebut akan dipakai untuk membiayai tambahan kapasitas sebesar 50 MW di lebih dari 50 lokasi proyek baru untuk pembangkit listrik tenaga surya atap komersial dan industri di Indonesia.

Didirikan pada 2016, SUN Energy mengembangkan dan menyewakan instalasi photovoltaic (PV) solar ke perusahaan dan industri, seperti pusat perbelanjaan, dengan perjanjian sewa jangka panjang. Hingga saat ini, perusahaan telah mengamankan kontrak proyek dengan total kapasitas sebesar 280MW, di mana 89 proyek sudah selesai, 3 proyek berlokasi di luar negeri, dan sisanya tersebar di 25 kota di Indonesia.

Lebih lanjut disampaikan DEG, Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi terbarukan dan dampak pembangunan yang didorong oleh upaya elektrifikasi di daerah pedesaan dan luar Pulau Jawa. Hal ini sejalan dengan upaya SUN Energy dalam mengembangkan solar panel.

Selain itu, investasi ini juga berkontribusi terhadap strategi DEG dalam mendukung transformasi energi ramah lingkungan di Asia. Selain mendukung pelaku usaha muda dan inovatif di negara-negara berkembang, ini menjadi langkah penting dalam upaya Indonesia mendorong bauran energi terbarukan pada 2030.

“Transaksi ini terutama berkontribusi pada goal ke-7 SDG terkait penyediaan energi yang terjangkau dan bersih, dan goal ke-13 terkait aksi iklim,” demikian pernyataan DEG.

PV surya atap komersial dan industri masih merupakan segmen muda dan berkembang yang memiliki peran penting dalam rencana Indonesia untuk meningkatkan pangsa Energi Terbarukan hingga 20% hingga tahun 2030.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi bauran energi baru terbarukan baru mencapai 12,5% pada paruh pertama 2023, meleset dari target yang ditetapkan tahun lalu di level 17,9%. Target ini disebut tidak tercapai karena sebagian besar commercial operation date (OCD) pembangkit EBT diperkirakan baru bisa dieksekusi setahun setelahnya.

Selain SUN Energy, beberapa startup pengembang solar panel di Indonesia antara lain Xurya, Suryanesia, dan SolarKita.

CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro Paparkan tentang Energy Fund

Energy Fund, dana kelolaan bentukan PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power & New Renewable Energy (NRE), siap diinvestasikan ke startup tahap lanjut pada 2024. Perusahaan kini tengah mematangkan pendirian dana kelolaan tersebuttermasuk komitmen nilai investasinya.

Sekadar informasi, Energy Fund adalah satu dari tiga dana kelolaan yang telah diluncurkan oleh Kementerian BUMN pada September 2022, dan disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA). Energy Fund nantinya akan dikelola oleh MDI Ventures.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengungkap Energy Fund sedang dalam tahap pendirian untuk memastikan proses administrasi dan tata kelolanya sesuai. Ia juga memastikan Pertamina belum melakukan investasi apapun ke startup hingga saat ini.

“Kami menunggu proses fund establishment selesai dengan komitmen dan tesis investasi yang direncanakan. Pertamina NRE mengestimasi deployment [Energy Fund] terealisasi pada 2024. Pada saat initial closing, Pertamina NRE masih bertindak sebagai Limited Partner (LP) utama. Namun, kami juga membuka akses terhadap LP lain untuk berinvestasi melalui Energy Fund ini,” tutur Dannif.

Pihaknya belum dapat mengungkap nilai investasi yang disiapkan dan perkiraan ticket size. Namun, Energy Fund membidik startup tahap pertumbuhan (growth stage) dan lanjutan (later stage). Ini menunjukkan bahwa Pertamina NRE mengutamakan startup yang telah memiliki sumber pendapatan, dan tidak mengincar startup dengan ide/produk yang masih diinkubasi.

Pertamina NRE diketahui kini tengah mengeksplorasi dan memproduksi sumber energi terbarukan (EBT) dengan cakupan usaha meliputi wilayah kerja geothermal, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga gas, dan pengembangan EBT.

Dannif menambahkan, terlepas dari situasi bubble yang menghantam industri teknologi sejak beberapa tahun terakhir, saat ini justru menjadi momentum yang tepat bagi perusahaan untuk melirik kembali ekosistem startup. Ia meyakini masih ada pertumbuhan di sektor teknologi.

“Upaya transisi energi tidak dapat dilakukan pemerintah dan korporasi saja, ekosistem juga dibutuhkan. Kami percaya investasi di perusahaan rintisan teknologi dan inovasi di sektor EBT akan mendukung pembentukan ekosistemnya dan mempercepat mempercepat transisi energi di Indonesia,” tambahnya.

Solusi rendah karbon hingga panel surya

Ada tiga kriteria utama yang diincar Pertamina NRE—juga diselaraskan dengan pilar bisnisnya—antara lain solusi rendah karbon, energi terbarukan, dan bisnis baru (new and future business). Prioritasnya, startup di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dengan pengembangan ke pasar Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.

Terkait inovasi, Energy Fund akan diinvestasikan ke startup yang menggarap solusi/produk yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik (EV) dan baterai, teknologi clean hydrogen, konservasi energi, panel surya, waste dan EBT, hingga energy audit platform.

Sebetulnya, ungkap Dannif, saat ini Pertamina tengah mengembangkan produk baru untuk mengebut transisi energi. Beberapa di antaranya adalah perdagangan karbon kredit, hidrogen bersih, serta ekosistem baterai dan EV. Sementara, bisnis berbasis EBT yang sudah beroperasi saat ini adalah energi panas bumi (Pertamina Geothermal Energy) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)

Lewat dana kelolaan ini, pihaknya berharap dapat bersinergi dengan pelaku startup cleantech agar dapat mencapai efisiensi biaya operasi (cost efficiency), sumber pendapatan baru, hingga kolaborasi go-to-market. Sinergi ini dapat melengkapi kapabilitas masing-masing, baik pasar baru di lingkungan Pertamina maupun ekosistem BUMN.

“Perkembangan inovasi dan ekosistem EBT di Indonesia bisa dibilang cukup pesat meski startup yang berkecimpung di bidang masih di fase inkubasi dan tahap awal. Maka itu, sinergi dengan startup cleantech diperlukan untuk mengakses ke teknologi dan inovasi mereka,” ungkapnya.

Potensi energi terbarukan (EBT) di Indonesia tercatat mencapai lebih dari 3.000 GW. Dalam rangka transisi energi, Indonesia memerlukan teknologi dan inovasi baru untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi tersebut.

Kendati begitu, upaya transisi energi terhambat oleh sejumlah faktor, di antaranya akses ke pembiayaan yang kompetitif dan teknologi, pendanaan untuk pengembangan tahap awal, serta kapabilitas sumber daya manusia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran EBT baru mencapai 14,11% pada 2022, naik sedikit dari tingkat bauran di tahun sebelumnya yang sekitar 13,65%. Mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik masih berasal dari batu bara dengan persentase 67,21%.

Ekosistem cleantech

Isu lingkungan, kebutuhan terhadap praktik bisnis berkelanjutan, dan permintaan pasar ikut mendorong kebangkitan ekosistem startup teknologi bersih (cleantech) di Indonesia yang ingin terlibat dalam upaya transisi energi, pengelolaan sampah, hingga dekarbonisasi.

Berdasarkan laporan teranyar New Energy Nexus Indonesia berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”, terdapat sekitar 300 startup cleantech di Tanah Air. Dari survei terhadap 50 startup cleantech Indonesia, laporan ingin merangkum sejumlah kendala terkait pengembangan produk dan bisnis di sektor tersebut.

Kendala finansial menjadi salah satu batu sandungan besar yang cukup disoroti. Laporan ini menyebutkan kendaraan investasi milik negara, baik Corporate Venture Capital (CVC) maupun dana kelolaan, masih fokus berinvestasi di sektor besar, seperti fintech, e-commerce, dan logistik.

Dalam temuannya, tiga CVC besar yang beroperasi saat ini, yakni MDI Ventures, MCI Ventures, dan BRI Ventures, belum memiliki rekam jejak portofolio di sektor cleantech. Selain itu, dana kelolaan khusus di sektor energi yang akan diluncurkan juga dinilai belum memiliki komitmen investasi dan implementasi yang jelas.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Laporan ini merekomendasikan agar pemangku kepentingan terkait dapat menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage). Dukungan finansial dari pemerintah daerah juga diperlukan.

Xurya Berencana Masuk ke Instalasi PLTS Atap untuk Area Perumahan

Startup energi terbarukan Xurya mengungkapkan rencana untuk masuk ke area residensial. Ini dijadikan  langkah ekspansi memperluas adopsi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara lebih masif. Sebelumnya perusahaan menjangkau segmen bisnis di lintas industri untuk melakukan instalasi PLTS Atap, dengan total 86 proyek yang telah beroperasi.

“Xurya berkomitmen untuk terus berinovasi dalam mendukung industri dan ekonomi hijau di Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya Xurya berencana untuk ekspansi bisnis instalasi PLTS Atap di sektor residential,” terang VP Marketing Xurya George Hadi Santoso saat dihubungi DailySocial.id.

Sayangnya ia tidak bersedia merinci kapan rencana tersebut dapat terealisasikan. Namun secara terpisah dalam wawancara bersama media, Co-founder dan CEO Xurya Eka Himawan sudah memberikan sinyal positif terkait ekspansi perusahaan ke segmen di luar B2B.

“Sampai sekarang masih di perusahaan-perusahaan, tapi kami memang tidak menutup kemungkinan [..] dan kami pasti akan melebar ke sektor pemerintahan dan masyarakat,” kata Eka.

Kompetitor terdekatnya, sudah sudah masuk ke segmen residensial, misalnya SolarKita dan SUN Energy. SolarKita mengklaim 80% penggunanya adalah kaum residensial, tersebar di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali.

Menurut George, tidak hanya ekspansi ke segmen baru, pihaknya juga akan ekspansi pengguna B2B-nya ke luar Pulau Jawa agar semakin banyak industri yang menggunakan PLTS Atap. Dalam mendukung rencana tersebut, saat ini perusahaan telah membuka kantor cabang di Medan, Semarang, dan Surabaya.

Pencapaian Xurya

Dikutip secara terpisah dari keterangan resmi, Xurya memaparkan pencapaiannya sepanjang tahun lalu. Diklaim perusahaan berhasil memproduksi lebih dari 589,7 juta kWh energi bersih yang efektif menangkal sebanyak 548,4 juta kg CO2, serta membuka lapangan pekerjaan hijau untuk 1.792 orang.

Dalam rangka mendukung target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, disebutkan bahwa Xurya telah melakukan lebih dari 100 proyek instalasi PLTS Atap di Indonesia, dengan rincian 86 proyek yang telah beroperasi dan 32 proyek lainnya yang masih dalam tahap konstruksi.

Menurut Eka, kebijakan dan arahan pemerintah mengenai penggunaan PLTS Atap untuk industri menjadi salah satu faktor terjadinya kenaikan permintaan instalasi.

“[..] Apa yang telah dicapai Xurya selama ini merupakan wujud keberhasilan kerja sama antara berbagai pihak yang menjadi semangat perusahaan untuk terus berkembang. Ke depannya, Xurya berkomitmen untuk dapat terus hadir dalam mengakomodasi dan berkontribusi dalam perkembangan industri hijau di Indonesia,” tutup Eka.

Pada Oktober 2022, perusahaan mendapat tambahan pendanaan Seri A dari perusahaan raksasa asal Jepang Mitsui & Co. dan PT Surya Semesta Internusa Tbk sebesar $11,5 juta atau setara Rp172,6 miliar.

Sebelumnya, putaran ini pertama kali diumumkan pada Desember 2021 sebesar $21,5 juta dari East Ventures (Growth Fund), Saratoga, Schneider Electric, dan New Energy Nexus. Dengan demikian, total perolehan untuk putaran tersebut sebesar $33 juta atau setara Rp501 miliar.

Sebelum menggelar putaran seri A, Xurya memperoleh pendanaan tahap awal dari SEACEF, dana yang dikelola oleh Clime Capital). Dana tersebut didedikasikan untuk mempersiapkan bisnis energi bersih mendapatkan investasi skala besar.

Suryanesia Kantongi Pendanaan Awal 31 Miliar Rupiah Dipimpin Intudo Ventures

Startup penyedia solusi energi terbarukan Suryanesia mengantongi pendanaan awal sebesar $2 juta atau sekitar 31 miliar Rupiah yang dipimpin Intudo Ventures. Putaran ini juga disuntik oleh sejumlah angel investor, termasuk eksekutif di perusahaan consulting, private equity, dan sovereign wealth funds.

Suryanesia berdiri pada Agustus 2021, menawarkan akses terhadap energi terbarukan untuk sektor komersial dan industrial. Sekadar informasi, putaran awal ini merupakan pendanaan eksternal pertama yang diperoleh Suryanesia.

Founder dan CEO Suryanesia Rheza Adhihusada mengatakan, Indonesia berperan sebagai medan perang dalam melawan perubahan iklim. “Misi kami adalah memberdayakan konsumer, pelaku bisnis, dan pemerintah untuk memanfaatkan teknologi dan solusi baru untuk mengatasi perubahan iklim dan mempercepat transisi ke energi terbarukan,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Pengembangan Suryanesia dipimpin oleh tim berpengalaman yang antusias terhadap perubahan iklim. Diawali Rheza yang sebelumnya konsultan di Bain & Company, diikuti oleh Nikesh Shamdasani sebagai Head of Engineering dengan keahlian mendalam dan telah berpengalaman memasang sistem tenaga surya 17 MWp di Indonesia. Terakhir, Grant Adsit bergabung menjadi Head of Business Development, sebelumnya berkarier sebagai eksekutif marketing di Colliers.

Sebagai penyedia Solar-as-a-Service, Suryanesia memfasilitasi pembiayaan, pemasangan, pengoperasian, dan pengelolaan sistem tenaga solar pada area rooftop milik klien. Melalui solusinya, energi bersih yang dihasilkan dapat membantu pemilik bangunan menghemat biaya listrik dan mengurangi jejak karbon tanpa dikenakan biaya di depan (upfront).

Pihaknya menyasar segmen bangunan komersial, seperti mal, serta manufaktur di sektor FMCG, tekstil, farmasi, furnitur, hingga plastik dengan target penghematan berkisar $20.000-$50.000 per tahun. Solusi ini juga dapat dimanfaatkan perusahaan multinasional atau publik yang ingin mendorong keberlanjutan dengan pengurangan karbon.

Akselerasi proyek

Pendanaan ini akan digunakan untuk menambah SDM sehingga dapat mempercepat pemasaran dan pengerjaan proyek. Suryanesia juga berencana ekspansi jangka panjang untuk menawarkan solusinya ke segmen residensial dan produksi tenaga independen (battery storage, wind power) agar dapat mengakomodasi kebutuhan energi terbarukan (renewable energy) di Indonesia. 

Pihaknya berupaya memberikan pengalaman seamless dan end-to-end, mencakup pemahaman klien dan regulatory management agar klien dapat menikmati penghematan energi. Adapun, pihaknya melakukan analisis struktural yang ketat dengan memberikan rekomendasi kuat untuk memastikan bangunan milik klien aman terhadap instalasi panel surya.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menambahkan, “selama satu dekade ke depan, kami meyakini Indonesia dapat mendorong dekarbonisasi. Solusi Suryanesia dapat membantu pemangku kepentingan di sektor komersial dan industrial untuk mengarungi jejak karbon sambil meningkatkan profitabilitas mereka. Kami menantikan upaya mereka menciptakan masa depan lebih hijau untuk Indonesia.”

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah menetapkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Meski jejak startup energi belum panjang di Indonesia, hal ini justru memunculkan peluang bagi pemangku kepentingan untuk mengembangkan solusi menekan emisi karbon.

Salah satunya memanfaatkan panel surya sebagai opsi energi terbarukan paling populer. Di Indonesia, startup yang menawarkan solusi surya semakin berkembang, seperti Xurya, SUN Energy, Warung Energi, dan SolarKita. Namun, para pengembang tak jarang terhambat dalam memasarkan produknya. Selain butuh modal intensif dan waktu untuk bisa profit, masih banyak anggapan panel surya itu mahal dan butuh pemeliharaan yang berkelanjutan.

Maka itu, korporasi besar kini mengambil inisiatif untuk mendorong ekosistem startup energi di Tanah Air. Salah satunya adalah Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) yang mengalokasikan dana sebesar Rp7,7 triliun untuk investasi startup energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Tantangan dan Peluang Pertumbuhan “Green Startup” di Indonesia

Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.

Membangun ekosistem

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.

Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

“Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency,” kata Jonathan.

Tantangan menemukan talenta

Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.

Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.

Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science – MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.

“Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya,” kata Jonathan.

Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.

Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.

Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.

Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.

“Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar,” kata Jonathan.

Fokus Ecoxyztem

Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

“Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia,” kata Jonathan.

Fokus Powerbrain Dapatkan “Green Fund” dan Populerkan Teknologi Efisiensi Energi

Salah satu fakta yang masih terjadi di lapangan saat ini adalah masih kurangnya pemahaman dan cara yang lebih efektif untuk bisa menghemat energi. Dalam hal ini sebagai platform yang fokus kepada efisiensi energi, Powerbrain mencoba memberikan solusi untuk mampu memangkas biaya listrik menjadi lebih rendah, khususnya pada bangunan skala besar.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha mengungkapkan, jika awalnya mereka menargetkan gedung dengan skala yang beragam, kini fokusnya lebih banyak ke gedung besar seperti mal, perkantoran, hingga pabrik. Hal ini tidak terlepas dari revenue yang didapatkan dalam satu proyek jika mampu mengelola efisiensi energi.

Meskipun masih sulit untuk mempromosikan layanan dan teknologi mereka kepada target pengguna, namun tim di Powerbrain yakin, dengan konsep yang mereka tawarkan, bisa menarik perhatian lebih banyak pemiliki gedung hingga pabrik untuk bisa menerapkan SOP khusus untuk penghematan energi.

“Sebenernya dari pasar masih skeptik respons yang kami terima, terutama yang menjadi hambatan adalah harga listrik di Indonesia termasuk murah dibandingkan negara seperti Singapura. Dengan alasan itulah Powerbrain kemudian menyasar kepada bangunan besar, dan kita lihat sistem untuk cooling saat ini tidak terlalu sophisticated menjadi peluang bagi kita,” kata Irvan.

Potensi sektor energi di Indonesia

Meskipun saat ini di Indonesia belum terlalu banyak digaungkan penerapan renewable energy dan energy efficiency, namun jika dilihat dari tren yang sudah terjadi di negara lain, ke depannya akan semakin banyak inisiatif dari kalangan startup hingga pihak terkait lainnya untuk kemudian memberikan kontribusi kepada sektor energi.

Saat ini sedikitnya sudah ada beberapa platform yang fokus kepada renewable energy. Di antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

“Kami sebagai platform yang fokus kepada efisiensi energi melihat, meskipun pemain masih sedikit tapi internal rate of return (IRR) jauh lebih besar dalam kasus energi akan sedikit rendah IRR. Untuk renewable energy menjadi menarik karena jadi bisa cepat balik modal untuk investor. Itulah kenapa dalam waktu dua tahun terakhir makin banyak platform yang fokus kepada sektor ini,” kata Irvan.

Disinggung apakah produk dan layanan dari Powerbrain dan pemain serupa lainnya dapat mengganggu PLN sebagai perusahaan milik pemerintah yang menyediakan energi kepada seluruh lapisan masyarakat, menurut Irvan meskipun bersinggungan, namun apa yang mereka tawarkan tidak mengganggu bisnis dari PLN. Meskipun saat ini belum ada regulasi khusus untuk energy efficiency, namun kabarnya mereka telah mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Di Powerbrain kita lebih bermain di energy efficiency bukan di renewable energy. Solar panel salah satu yang kita kerjakan, tapi kebanyakan untuk efisiensi di bangunan. Misalnya efisiensi AC, heat pump, pemanas air, dan lainnya. Jadi tidak bersinggungan dengan PLN secara langsung,” kata Irvan.

Tercatat saat ini Powerbrain mampu memangkas pengeluaran di mal, pabrik dan lainnya hingga 20-30%. Selain memberikan konsultasi, Powerbrain juga membuat desain hingga melakukan konstruksi kepada pemilik gedung dan bangunan lainnya.

“Di awal kita menargetkan kepada bangunan small to medium, namun karena kebanyakan di gedung tersebut tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan, proses edukasi kemudian menjadi lama, di sisi lain pengeluaran juga kecil. Sekarang kita fokus kepada bangunan yang lebih besar sebulan satu proyek, namun bisa mendapatkan growth yang signifikan,” kata Irvan.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

Pendanaan “green fund”

Didirikan pada tahun 2020, inisiatif ini berawal dari kecemasan akan isu pemanasan global. Dengan menggabungkan teknologi dan solusi finansial melalui Smart Energy Management, Powerbrain fokus menjangkau bisnis efisiensi energy untuk menjawab kebutuhan manajemen energi pada suatu bangunan di Indonesia yang belum terpenuhi.

Karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk bisa melakukan satu proyek, fokus dari Powerbrain saat ini adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan mitra yang bisa menghubungkan mereka kepada pendanaan Green Fund. Menurut Irvan akan menjadi ideal jika mereka terlibat dalam pendanaan tersebut, meskipun investasi dari investor seperti venture capital juga masih menjadi peluang terbaik.

“Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang menawarkan pendanaan konsep tersebut, namun belum banyak di antara mereka yang bersedia memberikan pendanaan dalam jumlah besar. Mereka juga kebanyakan belum terlalu matang dalam hal pemahaman, dibandingkan dengan lembaga di luar negeri,” kata Irvan.

Karena masih belum banyak investor yang melirik sektor renewable energy dan energy efficiency seperti Powerbrain, sebagai entitas menjadi lebih ideal jika ke depannya bisa mendapatkan pendanaan dari lembaga atau impact fund hingga green fund dari luar negeri.

Bulan Juni tahun ini Powerbrain telah mengantongi pendanaan tahap awal dari Achmad Zaky Foundation (AZF). Tidak disebutkan berapa nilai pendanaan yang disalurkan, namun ini merupakan langkah awal organisasi non-profit yang didirikan Co-Founder Bukalapak Achmad Zaky untuk berinvestasi di sektor impact.

Ke depannya menurut Irvan akan semakin banyak startup yang bermain di sektor ini. Bukan hanya di renewable energy, namun juga layanan dan produk lainnya seperti penyediaan baterai untuk skala kecil hingga besar. Di sisi lain electric vehicle (EV) juga akan makin banyak dilirik oleh pengembangan teknologi lokal hingga asing. Dan sebagai perusahaan, Powerbrain pun tertarik untuk menghadirkan charging station untuk motor listrik.

“Ke depannya kita mempersiapkan bukan hanya energi efisiensi tapi energi transisi, menggabungkan software ke arah energi dari segi automation. Saat ini fokus kita energi efisiensi, ke depannya electric vehicle tapi lebih ke charging station. namun masih dalam tahapan perencanaan,” kata Irvan.

Solusi “End-to-End” SolarKita untuk Pemanfaatan Tenaga Surya

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap menjadi salah satu strategi pemerintah meningkatkan pengembangan energi terbarukan di tanah air. Hal ini terkait target yang ditetapkan pemerintah untuk bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Hingga Juni 2022, terhitung realisasi bauran EBT tersebut baru mencapai 12,8%.

Pada tahun 2018 silam, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait PLTS atap di Indonesia melalui Permen ESDM No. 49/2018. Hal ini terbukti berhasil meningkatkan adopsi PLTS atap dari hanya 592 pelanggan di bulan November 2018 menjadi 3.781 pelanggan di bulan Mei 2021. Lanskap yang ada mendorong kehadiran sejumlah layanan untuk mendukung pemanfaatan teknologi tersebut, salah satunya SolarKita.

SolarKita didirikan tiga orang yang melihat peluang di industri ini, yaitu Amarangga Lubis sebagai Co-Founder & CEO, Aldamanda A. Lubis sebagai Co-Founder & Chairman of The Board, dan Bambang S. Nugroho sebagai Co-Founder & Head of Technology.

Amarangga, yang lebih akrab disapa Rangga, mengungkapkan hasil kajiannya dari semua format energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya yang paling mudah diimplementasi adalah PLTS atap. Sebelum memulai SolarKita, ia telah mencoba menggunakan teknologi ini, namun merasa sisi layanannya masih kurang memuaskan.

“Saya melihat loophole-nya ada pada kebanyakan penyedia layanan yang fokus hanya sampai program instalasi. Padahal, dari sisi pengguna, pengalamannya baru dimulai ketika PLTS-nya dipasang. Di sinilah peran kita untuk memastikan penggunaan PLTS yang optimal. Kita kembangkan platform SolarKita untuk memonitor secara aktif dan memastikan semua performance solar panel dari pengguna berjalan dengan baik,” jelas Rangga.

SolarKita menawarkan layanan end-to-end atau menyeluruh, dimulai dari konsultasi dan edukasi terkait PLTS, diikuti survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS. Tidak berhenti di situ, timnya juga akan membantu proses transisi ke PLN. Untuk pengawasan dan pemeliharaan, perusahaan memiliki platform yang bisa digunakan para pengguna.

Gambaran cara kerja PLTS Atap. Sumber: SolarKita

“Sebenarnya tujuan kita ada untuk mempermudah pengalaman pengguna untuk transisi menggunakan PLTS. Salah satu yang ingin kita tekankan di sini adalah solusi end-to-end atau menyeluruh untuk pemanfaatan PLTS. Kita akan dampingi dari awal seiring penggunaan teknologinya,” tambah Rangga.

Sejauh ini, pemain yang berkompetisi langsung dengan SolarKita di industri adalah Xurya.

Model bisnis dan target ke depan

Secara global, pemanfaatan PLTS ini bukanlah hal baru. Meskipun demikian, di Indonesia, teknologi ini masih awam digunakan. Walau sudah mendapat dukungan dari pemerintah, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi edukasi, masih ada stigma bahwa teknologi ini mahal sehingga banyak yang enggan memulai.

Selain itu, masih banyak yang belum paham konsepnya. Di sinilah peran SolarKita untuk bisa memberi edukasi lebih dalam. Selain itu, Rangga  menggarisbawahi regulasi yang masih dinamis, yang mempengaruhi eksekusi di lapangan. Hal ini juga terus diupayakan dan dikomunikasikan melalui Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang fokus pada percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia.

Terkait model bisnis, Rangga mengungkapkan bahwa operasional bisnisnya cukup sederhana dengan mengambil margin dari penawaran produk dan layanan. Di samping itu, perusahaan juga menyediakan program referral bagi setiap individu yang memberikan rekomendasi. Ketika berjalan lancar, konsumen akan memperoleh success fee.

Selain memberikan dampak melalui energi baru terbarukan, panel  surya dan PLTS ini disebut telah membuka industri baru. SolarKita mengaku juga memiliki potensi sosial dengan membuka lapangan kerja bagi para pekerja lapangan. “Di sini kita ingin semua masyarakat bisa terlibat. Untuk tim instalasi di lapangan, kita bermitra dengan individu/PT yang sudah kita latih. Banyak tim yang dulunya tukang listrik atau buruh. Terkait upah, kita usahakan industri baru ini bisa menyejahterakan mereka lebih dari yang sebelumnya,” tutur Rangga.

SolarKita juga menawarkan program financing yang bekerja sama dengan lembaga keuangan dan non-perbankan, seperti Bank OCBC untuk kredit multiguna dan juga KoinWorks. Untuk menawarkan proses yang lebih sederhana, perusahaan juga menyediakan opsi rent-to-own dengan konsep serupa program cicilan untuk para pengguna yang ingin memanfaatkan PLTS.

Per tahun lalu, SolarKita telah menjadi bagian dari portfolio New Energy Nexus. Perusahaan ini bergerak dan membentuk ekosistem pendanaan, program dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Saat ini perusahaan juga telah tergabung dalam jaringan ANGIN, sebagai jembatan yang menghubungkan investor dan entrepreneur.

Hingga saat ini 80% pengguna SolarKita datang dari kaum residensial. Perusahaan memiliki tim perwakilan di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali. Ke depannya, Rangga mengungkapkan ingin ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Targetnya, perusahaan ingin mengakuisisi 1 megawatt melalui sekitar 330 rumah di tahun 2023.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.

Application Information Will Show Up Here

Startup Smart Energy Powerbrain Tutup Pendanaan Pra-Seed, Dipimpin Achmad Zaky Foundation

Perusahaan pengembang efisiensi energi memanfaatkan smart technology di Indonesia, Powerbrain, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awalnya dari Achmad Zaky Foundation (AZF). Tidak disebutkan berapa nilai pendanaan yang disalurkan, namun ini merupakan langkah awal organisasi non-profit yang didirikan Co-Founder Bukalapak Achmad Zaky untuk berinvestasi di sektor impact.

Pendanaan ini diharapkan akan semakin memperkuat fondasi bisnis dan memperluas pangsa pasar Powerbrain di bidang Smart Energy Management. Dana segar tersebut akan difokuskan pada penguatan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia untuk memperkuat bisnis sebagai pengembang efisiensi energi.

Didirikan pada tahun 2020, Founder dan CEO Powerbrain Irvan Farasatha mengungkapkan bahwa inisiatif ini berawal dari kecemasan akan isu pemanasan global. Dengan menggabungkan teknologi dan solusi finansial melalui Smart Energy Management, Powerbrain fokus menjangkau bisnis efisiensi energy untuk menjawab kebutuhan manajemen energi pada suatu bangunan di Indonesia yang belum terpenuhi.

Powerbrain menawarkan empat produk unggulan, yakni manajemen energi, energi terbarukan, manajemen aset, dan solusi pengisian kendaraan listrik. Secara keseluruhan, perusahaan membuat pemakaian listrik di tempat usaha mitra menjadi lebih efisien, bahkan mampu mengurangi tagihan listrik hingga 20%-30%. Mereka menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Powerbrain menjalankan usaha secara business to business (B2B). Hingga saat ini, perusahaan telah menjalin kemitraan dengan puluhan perusahaan ternama dan telah berpartisipasi di lebih dari 100 proyek bangunan. Beberapa nama yang sudah tidak asing di antaranya adalah Pertamina, Mitsubishi Motors, Bukalapak, Shopee, Net, Kimia Farma, DB Schenker, dan Suvarna Jakarta.

Dalam menjalankan startup yang bergerak di bidang impact, perusahaan memiliki misi untuk menghadirkan layanan efisiensi energi berbasis teknologi yang berdampak positif terhadap kelangsungan bisnis para mitra. Irvan turut mengungkapkan tantangan dari sisi belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Namun, perlahan tapi pasti, masyarakat semakin terdorong untuk mau belajar dan memahami.

Selain itu, melalui setiap solusi yang dihadirkan, Powerbrain juga ingin mendukung target Pemerintah Indonesia dalam menurunkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang, melalui efiensi energi dengan menggunakan teknologi yang dimiliki perusahaan.

Rilwanu Lukman Amrullah, Co-Founder dan Chief Marketing Officer Powerbrain, menambahkan, perusahaan juga akan melakukan pengembangan teknologi dengan menghadirkan produk dan layanan yang lebih inovatif untuk  semakin memudahkan efisiensi energi dan efisiensi finansial bagi para mitra. Untuk saat ini, dengan menggunakan teknologi Powerbrain, para mitra akan mendapatkan 3 manfaat utama, yakni menurunkan biaya operasional, meningkatkan nilai bangunan, dan meningkatkan kesejahteraan mitra.

Achmad Zaky, Founder AZF, mengungkapkan bahwa lini bisnis Powerbrain yang bergerak di bidang Smart Energy Management dengan tujuan membantu masyarakat untuk mengelola konsumsi energi memiliki keselarasan dengan misi dari AZF. Saat ini timnya juga tengah fokus terhadap perusahaan startup yang menghadirkan solusi terkait impact, baik dalam sektor pendidikan, green technology, maupun fintech yang mengarah kepada inklusi.

“Kami sudah melakukan kajian yang komprehensif terhadap Powerbrain dengan
mempertimbangkan kesamaan misi dalam menciptakan dampak sosial yang tinggi. Investasi Achmad Zaky Foundation kepada Powerbrain guna membantu pendanaan perusahaan startup teknologi yang memiliki value dan potensi untuk terus tumbuh secara berkelanjutan menjadi perusahaan yang kompetitif serta berdampak luas bagi kemajuan Indonesia,” tutur Achmad Zaky.

AZF bukanlah kendaraan satu-satunya dari Achmad Zaky dalam berinvestasi. Selain AZF, Ia juga menjalankan init-6, dana kelolaan yang fokus berinvestasi di startup teknologi tahap awal. Sebelumnya, melalui init-6, Zaky telah berinvestasi di platform edtech Eduka, penyedia layanan cloud lokal IDCloudHost, dan Komunitas Developer Showwcase.

Investasi berdampak pada lingkungan

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep investasi berdampak atau impact investment kian meraih atensi dari kalangan investor. Menurut Jaringan Investasi Dampak Global (GIIN), investasi dampak adalah investasi yang dilakukan untuk menghasilkan dampak sosial dan lingkungan yang positif dan terukur bersama pengembalian finansial.

Perkiraan terbaru dari International Finance Corporation (IFC) tentang pasar global untuk investasi dampak menunjukkan bahwa sebanyak $2,3 triliun telah  disalurkan untuk investasi berdampak pada tahun 2020, $636 miliar di antaranya memiliki sistem manajemen dampak yang tepat, menurut laporan ‘Investing for Impact: The Global Impact Investing Market 2020″.

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Dalam survei yang diadakan DSInnovate, sekitar 80% responden mengaku startup Indonesia berdampak positif terhadap lingkungan. Sekitar 45% responden memilih skala 3, yang berarti startup Indonesia memberi dampak yang cukup signifikan pada lingkungan.

Selain Powerbrain, startup yang juga bergerak di bidang impact di ranah lingkungan adalah Xurya, perusahaan ini menawarkan solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut termasuk Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain “Menghijaukan” Bangunan Lewat Manajemen Energi Berbasis IoT

DailySocial.id kembali mengeksplorasi jejak pelaku startup berdampak (impact) di Indonesia yang membawa misi terhadap peningkatan kualitas hidup dan lingkungan. Kali ini, kami berkesempatan berbincang dengan Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha.

Sekilas informasi, Powerbrain berdiri di awal 2020 dan menawarkan solusi smart energy management berbasis IoT dan aplikasi bagi segmen bangunan di Indonesia. Powerbrain juga terpilih sebagai salah satu finalis peserta program Startup Studio Indonesia oleh Kementerian Kominfo.

Berawal dari pengalamannya bekerja di perusahaan terdahulu di bidang energi, Irvan terinspirasi untuk berkontribusi terhadap penghematan energi di Indonesia demi mengurangi efek pemanasan global.

Seperti diketahui, penggunaan listrik dan panas lewat pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu faktor utama yang memicu global warming. Indonesia memang telah menerapkan penggunaan energi terbarukan, tetapi baurannya baru mencapai 11,5% menurut data Badan Pusat Statistik di 2020.

Sementara, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik di Tanah Air mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021 atau setara dengan 92,2% dari target 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita.

Bagaimana Powerbrain dapat mengoptimalkan operasional bisnis melalui sistem manajemen energi cerdas dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi?

Awal mula

Ketertarikan Irvan Farasatha untuk berkontribusi terhadap pengurangan efek pemanasan global bermula ketika ia bekerja di HydroSmart Srl, sebuah perusahaan di bidang energi terbarukan berbasis di Italia. Saat itu, ia menggarap proyek untuk memonitor, melacak, dan mengoptimalkan konsumsi energi.

Irvan terpikir untuk menerapkan proyek ini di Indonesia karena sesuai dengan visinya dalam mendukung upaya zero carbon emission. Melihat perkembangan kondisi pemanasan global, Indonesia berpotensi terdampak signifikan mengingat posisinya sebagai negara tropis dengan suhu panas dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

“Saya pikir [proyek] ini dapat diimplementasi di Indonesia. Along the way, saya bertemu dengan Rilwanu Lukman (Co-founder) untuk mendirikan bisnis [Powerbrain] ini,” ungkap Irvan.

Mengutip sebuah riset, ia mengatakan bahwa efek pemanasan global utamanya dipicu oleh aktivitas yang bersifat energy activation process, 30% disumbang dari industri manufaktur, 20% dari transportasi, dan 20% dari pemakaian listrik untuk barang elektronik.

Dengan terlibat dalam upaya mendukung zero carbon emission, ujarnya, ia bisa saja beralih ke pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, bukan berarti harus masuk ke produksi energi terbarukan (renewable). 

Menurutnya, di lingkup energi terbarukan, Irvan menilai masih ada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah intermitensi atau ketidakmampuan pembangkit listrik energi terbarukan untuk menghasilkan energi secara terus menerus.

Pain point

Di 2020, Irvan, Rilwanu, dan timnya mulai mengembangkan smart energy management sebagai solusi penghematan konsumsi energi pada bangunan.

Berdasarkan riset yang dilakukan, ia menemukan bahwa pemilik usaha atau bangunan kecil dan medium jarang menerapkan sistem manajemen energi. Pada bangunan berskala besar, sistem semacam ini memang terpasang, tetapi penerapannya kurang optimal karena mungkin pengetahuan pekerja terbatas.

Di samping itu, ia juga menemukan pemilik bangunan jarang mempekerjakan building manager dengan keahlian optimalisasi energi. Posisi ini istilahnya semacam versi digitasi dari energy manager untuk bangunan. Ada opsi lain, misalnya menyewa engineering team, tetapi biayanya tidak murah.

Menurutnya, manajemen energi identik dengan labor-intensive process dan capital-intensive process. Artinya, butuh proses kerja dan modal yang besar untuk mencapai sebuah hasil.

Sumber: Powerbrain

“Untuk itu, kami memulai dari kecil, mengumpulkan data terkait konsumsi energi. Di sini, kami dapat membantu pelaku bisnis untuk mengoptimalkan konsumsi energi mereka. Kami melihat banyak bangunan yang konsumsi energinya melebihi dari kemampuan optimal,” ujarnya.

Hipotesis Irvan adalah setiap pelaku bisnis ingin menghemat energi tanpa perlu mengganggu aktivitas di bangunan tersebut. Biayanya lebih terjangkau dan tidak lebih besar dibandingkan pengurangan energi yang bisa didapatkan oleh pemilik usaha atau gedung.

Produk yang ditawarkan

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

“Kami melihat kebutuhan data di sektor energi sangat besar. Ketika kita memutuskan untuk menuju zero emission carbon, data akan menjadi fundamental,” ucapnya.

Dari ketiga produk ini, hanya software dan backend yang digarap sendiri oleh Powerbrain untuk mendukung transfer data dan analitik. Sementara, perangkat IoT-nya diproduksi dan diimpor dari Tiongkok.

Solusi Powerbrain tidak dikembangkan secara kustom, kecuali untuk jumlah instalasi perangkat. Pengguna juga tidak dikenakan biaya instalasi perangkat, melainkan lewat model berlangganan per bulan dengan maksimal target penghematan energi sebesar 30%. Powerbrain menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Contoh penghematan energi oleh klien Powerbrain / Sumber: Powerbrain

Pada salah satu use case-nya, penggunaan Smart Relay (salah satu perangkat Powerbrain) yang terintegrasi dengan server dapat memampukan cooler untuk bekerja secara full-load selama jam operasional. Di luar jam operasional, Smart Relat bisa menjaga temperatur dalam suhu ruang dengan menyesuaikan compressor. Pemilik usaha dapat menghemat 40% atau Rp1,7 juta per tahun.

Saat ini, Powerbrain dijalankan oleh tujuh orang, termasuk di antaranya Irvan dan Rilwanu. Di sepanjang 2021, Powerbrain telah mendapatkan 60 proyek instalasi, di mana 90% berasal dari kawasan Jabodetabek.

Pendanaan dan scale up

Di tahun pertamanya mengembangkan Powerbrain, Irvan mengaku mengalami kesulitan untuk mengakselerasi bisnisnya. Hal ini disebabkan oleh belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Ini juga yang membuat sales process di Powerbrain cukup panjang karena perlu upaya edukasi pasar.

Kedua, sektor energi merupakan salah satu industri raksasa di dunia. Jika bicara soal peralihan ke energi terbarukan saja, misalnya, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu karena produknya tidak 100% digital. Adopsinya tidak akan bisa secepat disrupsi pada e-commerce yang platformnya mencakup one-for-all.

“Energi termasuk high-risk tolerance dalam konteks inovasi. Masyarakat pun memiliki risk tolerance yang tajam terhadap error di bidang energi. Bayangkan saja jika ada kesalahan sedikit terhadap transmisi energi, hal ini bisa berpotensi blackout. Dampaknya sangat signifikan terhadap bisnis, bisa rugi ratusan juta atau miliar rupiah dalam beberapa detik,” paparnya.

Ketiga adalah sumber permodalan. Venture Capital belum banyak yang tertarik berinvestasi ke sektor ini karena isu skalabilitas bisnis. Kendati begitu, Powerbrain mengandalkan bootstrapping serta berhasil memperoleh pendanaan dari program bootcamp Shell LiveWIRE dan angel investor untuk menggerakkan bisnisnya. “Malahan, baru-baru ini kami menutup pendanaan pre-seed. Namun, kami belum bisa sebutkan nilai dan investornya,” tuturnya.

Untuk mengukur pertumbuhan bisnis, Powerbrain menggunakan metrik pendapatan dari instalasi perangkat dan software di bangunan. Adapun, metrik dampak diukur dengan mengacu pada penghematan konsumsi energi yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap zero emission carbon.

Standardisasi produk

Mengingat model bisnis ini masih terbilang baru, Irvan menargetkan pendanaan ini difokuskan untuk standardisasi perangkat dan memperkuat lini produk. Terlebih, bisnis di bidang manajemen energi terbilang risiko tinggi sehingga membutuhkan SNI.

“Di 2022, kami akan memperkuat produk dan energy analytic karena kami ingin mengejar another milestone dengan target sales lebih dari Rp5 miliar. Tahun lalu, kami generate more than Rp1 miliar di 2021,” ujarnya.

Secara business nature, ungkapnya, kegiatan operasional Powerbrain tidak membakar uang untuk mengakuisisi pelanggan. Artinya, Powerbrain tidak perlu melakukan fundraising berkali-kali.

“Kami ingin coba menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki extensive product di energy analytic. Kami akan siapkan infrastrukturnya di tahun ini. Kalau berjalan dengan lancar, rencananya kami ingin masuk ke infrastruktur data untuk kendaraan listrik di tahun mendatang.”