Laporan DSInnovate: Perkembangan dan Transformasi Digital di UMKM Indonesia 2022

DSInnovate baru merilis “MSME Empowerment Report 2022” yang bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif tentang perkembangan UMKM di Indonesia, termasuk upaya mereka dalam melakukan transformasi digital. Laporan ini sangat relevan untuk pengusaha UMKM yang ingin meningkatkan bisnis melalui penggunaan teknologi digital dan stakeholder terkait yang memiliki misi memajukan UMKM Indonesia.

Dalam penyusunan laporan ini, peneliti melakukan survei terhadap 1500 pelaku UMKM di berbagai kota di Indonesia untuk mendalami tantangan dan kesempatan transformasi digital dalam mengakselerasi bisnis mereka. Selain itu, juga dilakukan studi kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada stakeholder di industri ini, termasuk pemerintah dan penyedia layanan teknologi untuk UMKM.

Laporan ini terdiri dari 4 bagian utama. Bagian pertama berisi gambaran lanskap UMKM di Indonesia, termasuk seberapa besar kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional dan sektor-sektor yang dominan di mana UMKM beroperasi. Bagian kedua membahas kesempatan dan tantangan transformasi digital di UMKM Indonesia.

Bagian ketiga adalah tingkat adopsi digital di kalangan UMKM Indonesia, termasuk teknologi digital apa saja yang telah digunakan oleh UMKM dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam memperkenalkan teknologi baru. Bagian keempat membahas perspektif pengembang layanan teknologi terkait transformasi digital untuk UMKM, termasuk rekomendasi dan saran untuk pengusaha UMKM yang ingin memulai atau memperluas penggunaan teknologi digital dalam bisnis mereka.

Terdapat sejumlah temuan menarik dalam laporan, salah satunya terkait tantangan utama yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia dalam mengoperasikan bisnis mereka. Sebanyak 70,2% dari responden survei mengaku kesulitan dalam melakukan pemasaran produk; sementara 51,2% merasa kesulitan dalam mendapatkan dukungan modal; dan 46,3% kesulitan dalam menemukan pemasok bahan baku yang efisien.

Kesulitan tersebut ternyata juga ditangkap baik oleh inovator teknologi dengan menghadirkan berbagai layanan unik untuk membantu pengusaha mengatasi masalah tersebut. Di sisi pemasaran produk, pengembang platform digital enabler berusaha memudahkan di sisi pemasaran digital; sementara di sisi permodalan layanan fintech lending untuk UMKM juga semakin banyak dan beragam model bisnisnya; dan untuk pemenuhan bahan baku, model B2B commerce juga mulai berkembang beberapa waktu terakhir.

Adanya perpaduan perspektif dari pelaku UMKM dan pengemang teknologi di laporan ini diharapkan bisa memberikan sebuah gambaran yang menyuguhkan “konektivitas” sebagai upaya untuk mempersempit gap yang ada.

Selain itu terdapat sejumlah temuan lainnya, termasuk tingkat awareness penggunaan teknologi oleh pelaku UMKM, layanan teknologi populer yang digunakan, hingga strategi utilisasi platform digital populer seperti media sosial untuk mendongkrak bisnis UMKM.

Selengkapnya unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: MSME Empowerment Report 2022.

Disclosure: TikTok mendukung pengembangan dan penerbitan laporan ini

Laporan DSInnovate: Digitalisasi Logistik di Indonesia 2022

Makanan yang kita santap setiap hari akan melalui proses logistik, dimulai dari petani, ke pengepul, ke pasar, hingga sampai ke dapur kita. Pun demikian dengan barang-barang lain, termasuk barang yang dibeli dari online marketplace. Sistem logistik berperan krusial dalam sistem ekonomi di sebuah negara, bahkan menjadi penopang utama industri seperti ritel, manufaktur, sampai dengan pertanian.

Faktanya, permasalahan di lini logistik juga pelik, mengakibatkan inefisiensi secara sistemis dari proses di hulu hingga ke hilir. Contoh paling sederhana pada sistem transportasi. Di Indonesia, moda logistik utamanya adalah truk. Kebanyakan truk hanya memiliki muatan saat berangkat melakukan pengantaran saja, sementara saat balik ke gudang kondisinya kosong. Padahal sebenarnya banyak pihak yang mau atau bisa memanfaatkannya, sehingga bisa menekan biaya dan waktu tempuh dengan lebih baik.

Selain itu masih banyak lagi isu-isu lainnya, termasuk terkait konektivitas antarstakeholder di sistem logistik itu sendiri.

Melihat permasalahan tersebut, inovator teknologi mencoba menghadirkan sebuah transformasi di sistem logistik. Mengedepankan pendekatan berbasis digital, diharapkan bisa memberikan model bisnis yang lebih efisien. Digitalisasi ini sudah dilangsungkan sejak beberapa tahun ke belakang.

Untuk melihat sejauh mana digitalisasi logistik di Indonesia, DSInnovate meluncurkan sebuah laporan bertajuk “Indonesia’s Digital Logistics Landscape 2022”. Merangkum data dan tren terkait transformasi digital di industri logistik lokal.

Dalam laporan tersebut ditemukan sejumlah data, seperti minat investor terhadap startup yang bergerak di bidang logistik. Sepanjang tahun 2022 ini 14 transaksi pendanaan yang diberikan, membukukan $169,6 juta atau setara 2,6 triliun Rupiah. Selain itu turut dibahas tahapan transformasi digital yang umum diterapkan oleh pelaku industri dan tren dari digitalisasi logistik di masa mendatang.

Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Indonesia’s Digital Logistics Landscape 2022.

LOGEE (part of Leap by Telkom Group) mendukung pembuatan laporan ini

Pentingnya Manajemen Talenta di Tengah Gejolak Industri Teknologi

Industri teknologi Indonesia sedang mengalami gejolak, terlihat dari pemberitaan layoff oleh sejumlah startup. Hal ini sering dikaitkan dengan proyeksi resesi global yang akan terjadi di tahun 2023. Perusahaan gencar melakukan efisiensi dan restrukturisasi demi menghindari dampak yang lebih besar serta memperpanjang runway.

Dalam tindak efisiensi ini, karyawan kerap menjadi salah satu yang paling terdampak. Sementara itu, people atau karyawan  sendiri merupakan aset,  bagian esensial dari operasional bisnis dari sebuah perusahaan. Manajemen karyawan yang baik dapat menentukan bagaimana karier perusahaan ke depannya.

Pada awal bulan ini, Alpha JWC Ventures, bekerja sama dengan Kearney dan GRIT, meluncurkan sebuah laporan bertajuk “ASEAN Growth & Scale Talent Playbook”. Survei dilakukan selama Agustus hingga September 2022, melibatkan lebih dari 600 karyawan di 34 perusahaan dari Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

Laporan ini bertujuan untuk mengedukasi dan membantu para founder atau manajemen startup digital dalam menarik, mengelola, dan mengembangkan sumber daya manusia secara efektif dan berkelanjutan. Dengan persaingan yang ketat, pergeseran mindset, serta tantangan ekonomi yang berlangsung, penting bagi para pemangku kepentingan untuk memahami lanskap SDM ini.

Salah satu temuan yang menarik dari riset ini adalah, 9 dari 10 perusahaan teknologi mengalami kesulitan dalam merekrut karyawan berkualitas terutama yang memiliki kemampuan teknis dan non-teknis. Sebaliknya, 91% karyawan mengaku  terbuka untuk meninggalkan perusahaan mereka bila ada kesempatan baru.

Tantangan yang dihadapi

Laporan ini juga memaparkan beberapa alasan karyawan ingin meninggalkan perusahaan untuk mencari kesempatan baru. Sebanyak 32% responden mengungkapkan bahwa kompensasi, termasuk gaji dan benefit sangat mempengaruhi keputusan mereka. Disebutkan bahwa rata-rata karyawan mempertimbangkan pergi demi 15%-30% kenaikan gaji.

Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi perusahaan rintisan, utamanya startup berskala kecil, jika harus bersaing dengan giant tech companies yang sudah melakukan ekspansi global dan menawarkan kompensasi yang sangat bersaing. Maka dari itu, perusahaan harus bisa menarik minat para talenta dengan hal lain, seperti kultur perusahaan.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Sebanyak 25% responden mempertimbangkan keluar dari perusahaan karena ketidaksamaan visi dan ketidakcocokan budaya. Maka dari itu, kultur atau budaya kerja dalam sebuah perusahaan menjadi esensial ketika dikaitkan dengan loyalitas karyawannya. Di sisi lain, fleksibilitas juga menjadi salah satu aspek yang juga memengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau pergi.

Selain itu, 24% responden merasa adanya kebutuhan akan kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam sebuah perusahaan. Tanpa hal itu, mereka akan merasa stagnan atau tidak berkembang, yang mendorong mereka untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar untuk mendukung pengembangan kemampuan mereka sendiri.

Manajemen talenta yang ideal

ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook ini diluncurkan sebagai buku panduan untuk membantu para startup dalam menghadapi isu di bidang manajemen tenaga kerja. Dalam laporan ini juga disebutkan enam pilar penting yang dapat digunakan perusahaan untuk menarik, membangun, dan mempertahankan tenaga kerja digital.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Partner & President Director Kearney Shirley Santoso mengungkapkan, “Mengembangkan sumber daya manusia yang solid adalah salah satu prioritas terpenting dan kunci utama bagi perusahaan agar visi digital mereka dapat berhasil. Tentunya hal ini baru dapat dicapai dengan adanya usaha bersama antara pimpinan perusahaan dan jajaran lainnya dalam upaya yang berkelanjutan, juga mencakup seluruh tingkat organisasi.”

Turut hadir dalam diskusi panel peluncuran laporan ini, Co-founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan. Ia mengungkapkan bahwa value perusahaan adalah sesuatu yang esensial untuk menjamin keberlangsungan bisnis. Di Bobobox sendiri, ada tiga value yang selalu dipegang erat, yaitu attitude, obsessive curiousity, serta overcommunicate. Menurutnya, tiga nilai ini  dapat menciptakan resistensi perusahaan terhadap berbagai pengaruh negatif yang mengancam.

Co-founder dan CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut ikut membagikan opininya. Ia mengaku masih berjibaku untuk bisa mendapatkan talenta berkualitas, bahkan ia harus merekrut teman atau relasi yang sudah dipercaya untuk membantu di masa awal perusahaan.

Tidak mudah menemukan orang yang memiliki visi yang sama dengan perusahaan yang menjual produk bercita rasa ‘sehat’ dengan harga yang relatif lebih mahal. Hingga kini, perusahaan telah memutuskan untuk mempertahankan jumlah yang relatif kecil sampai beberapa putaran pendanaan ke depan.

Dengan total karyawan sekitar 250 orang, strategi ini terbukti menguntungkan baik bagi perusahaan maupun karyawan. “Kami ingin menjaga agar jumlah kami tetap kecil sehingga setiap keuntungan atau apapun yang dihasilkan perusahaan, semuanya kembali ke sejumlah kecil orang dan kami dapat memberi [karyawan] lebih baik,” ujarnya.

Laporan DSInnovate: Open Finance di Indonesia 2022

Terminologi Open Finance muncul di tengah perkembangan pesat bisnis fintech. Kapabilitas yang ditawarkan mencoba menjembatani berbagai hambatan yang selama ini masih ditemui pelaku industri, terkait efisiensi proses bisnis dan pengembangan teknologi.

Open Finance sendiri didefinisikan sebagai sebuah mekanisme berbagi data keuangan oleh pengguna. Data tersebut bisa dari mana saja, bisa dari perbankan, layanan fintech, atau lainnya (seperti data transaksi belanja, data pembelian pulsa, dan sebagainya). Faktanya, banyak data alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan analisis keuangan.

Melihat perkembangan adopsi Open Finance di Indonesia, DSInnovate dan Brick meluncurkan hasil penelitian bertajuk “Open Finance Report 2022”. Laporan ini berisi mengenai ulasan konsep, model bisnis, hingga studi kasus pemanfaatan Open Finance di Indonesia. Dilengkapi dengan temuan dari studi kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan peneliti.

Laporan tersebut berisi empat bagian utama, sebagai berikut:

  • Pengenalan Open Finance; memberikan gambaran komprehensif tentang Open Fianance dan bagaimana teknologi ini bekerja dalam membantu industri keuangan untuk mendapatkan manfaat lebih.
  • Open Finance di Indonesia; mendalami perkembangan dan tantangan implementasi dari Open Finance di Indonesia, beserta regulasi yang saat ini memayungi konsep ini — mengingat sektor finansial diregulasi ketat oleh otoritas.
  • Pemahaman tentang Open Finance; melihat sejauh mana pelaku industri memahami tentang Open Finance dan layanan yang ditawarkan.
  • Masa Depan Open Finance; memproyeksikan bagaimana layanan Open Finance akan berkembang di Indonesia, termasuk terkait dukungan ekosistem bisnis dari sisi pelaku industri dan regulator.

Terdapat sejumlah temuan menarik dari hasil studi yang dirangkum dalam laporan tersebut. Salah satunya didasarkan pada hasil wawancara yang dilakukan kepada sejumlah pelaku industri. Dari platform We+ misalnya, di sisi industri memang ada tantangan dalam mendapatkan data yang lebih komplit untuk melakukan risk profiling guna membantu perusahaan asuransi menyesuaikan harga premi.

Pun demikian untuk industri lain seperti P2P Lending, adanya data yang lebih banyak dimungkinkan untuk menghasilkan produk yang lebih baik dan terpersonalisasi. Selain itu, juga ada pendapat dari sejumlah pelaku industri lain, termasuk dari perbankan, mengenai potensi dari implementasi Open Finance.

Untuk hasil temuan selengkapnya, unduh laporan tersebut secara gratis melalui tautan berikut ini: Open Finance Report 2022.

Disclosure: DSInnovate didukung Brick dalam penyusunan laporan ini

SYNC Asia Tenggara: Kepuasan Konsumen Terhadap Pengalaman Belanja Online Menurun

Dalam laporan tahunan yang dirilis oleh SYNC Asia Tenggara, Meta, dan Bain & Company terungkap adanya penurunan tingkat kepuasan belanja online dari kalangan masyarakat di Asia Tenggara khususnya Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Khususnya ketika pasca-pandemi, ketika keadaan sudah berangsur pulih dan kegiatan offline kembali dilakukan. Indonesia juga tercatat sebagai negara yang memiliki paling banyak konsumen yang melakukan pembelian secara digital di Asia Tenggara.

Pertumbuhan konsumen digital

Selama dua tahun terakhir terlihat pertumbuhan konsumen digital di Asia Tenggara dengan jumlah yang cukup signifikan. Pandemi telah mengakselerasi kegiatan belanja online. Bukan lagi hanya membeli produk seperti gadget dan fashion saja, namun juga groceries seperti sayur, daging, dan ikan.

Tercatat Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki sekitar 168 juta orang yang telah melakukan kegiatan belanja secara online. Jumlah ini cukup meningkat dari tahun lalu sekitar 154 juta. Rentang usia yang banyak melakukan kegiatan belanja online adalah 15 tahun ke atas.

“Adopsi digital di kota tier 3 dan tier 4 terus tumbuh. Hal ini, seiring dengan peningkatan akses ke berbagai opsi pembayaran dan perkembangan logistik infrastruktur, telah membantu untuk lebih memudahkan kegiatan perdagangan,” kata Group Chief Economist Sea Limited Dr. Santitarn Sathirathai.

Dalam laporan juga disebutkan, kontribusi rata-rata layanan e-commerce terhadap industri ritel terus tumbuh sepanjang tahun lalu, naik dari 9% pada tahun 2021 menjadi 11% pada tahun 2022 (mewakili pertumbuhan 16%).

Pertumbuhan penetrasi ritel online untuk masing-masing kategori juga diproyeksikan meningkat dari tahun lalu, dengan groceries menunjukkan pertumbuhan terkuat di Asia Tenggara sebesar 29%. Selama lima tahun ke depan, pertumbuhan kontribusi ritel online untuk setiap kategori di Asia Tenggara diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar minimal 16%.

Pada tahap evaluasi, online masih bertahan dengan 81% konsumen menyebutkannya sebagai saluran utama mereka untuk membandingkan produk, melihat ulasan, dan melakukan penelitian. Namun, pada tahap pembelian, pemisah antara online dan offline hampir merata, karena offline masih memainkan peran yang lebih relevan bahkan untuk pembeli digital. 80% konsumen memilih untuk belanja secara online.

Hal menarik lainnya yang juga dicatat dalam laporan ini adalah, tingkat kepuasan konsumen terhadap pengalaman belanja online telah menurun dibandingkan tahun sebelumnya, dengan Net Promoter Score (NPS) dari layanan e-commerce teratas.

Untuk Asia Tenggara secara keseluruhan, rata-rata skor NPS tahun ini mencapai 35%, turun dari 53% tahun lalu. Pada perincian negara per negara, setiap pasar mengalami penurunan NPS tertinggi—terutama di Indonesia (dari 74% di 2021 hingga 50% pada 2022), Vietnam (dari 65% menjadi 41%), dan Filipina (dari 64% menjadi 43%).24

Di sisi lain ada perubahan yang cukup signifikan terkait dengan kebiasaan masyarakat saat ini. Tahun ini ketika mulai banyak orang yang kembali melakukan kegiatan offline secara rutin, mulai terlihat adanya pergeseran. Dan ini berpengaruh kepada cara orang berbelanja di Asia Tenggara.

Semakin banyak konsumen menuntut aktivitas belanja terintegrasi dengan pengalaman yang berjalan secara seamless di berbagai kanal secara end-to-end. Media sosial dan layanan e-commerce menjadi pilihan bagi mereka untuk melakukan pencarian dan menemukan produk, sementara offline adalah masih vital pada tahap pembelian.

“Pelanggan beralih dari online ke offline untuk dua alasan kunci, mereka ingin mengalami atau melihat produk itu sendiri. Mereka juga menginginkan kenyamanan, dan tidak mau membayar biaya pengiriman. Pelanggan bergeser kembali online karena mereka mau promosi dan spesial ditawarkan,” kata Marketing Manager Cỏ Mềm Homelab Hanh Vu.

Menyimak tren teknologi masa depan

Hal menarik lainnya yang juga dibahas dalam laporan ini adalah, teknologi masa depan di berbagai level kedewasaan pasar di Asia Tenggara. Layanan fintech dan metaverse diprediksi akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Disusul dengan healthtech dan edtech.

Untuk produk dan layanan fintech yang akan mengalami peningkatan dalam penggunaan di antaranya adalah dompet digital, internet banking, layanan remitansi, Buy Now Pay Later (BNPL), bank digital dan neobank. Sementara untuk teknologi metaverse produk yang akan semakin dikenal oleh masyarakat di antaranya adalah, cryptocurrency, augmented reality (AR), NFT dan virtual reality (VR).

Sementara untuk layanan healthtech yang akan makin banyak diminati oleh pengguna di antaranya adalah, telemedis, farmasi atau toko kesehatan, health & wellness, dan layanan penyakit kronik. Untuk edtech ada beberapa produk atau layanan yang bakal menjadi popular, di antaranya adalah, course and management tools, skill-learning, study tools dan online courses.

Indonesia juga terdepan di kurva regional dalam hal adopsi teknologi baru. Meskipun masih dalam tahap awal, metaverse merupakan babak baru dari inovasi teknologi yang memberikan banyak harapan di berbagai negara termasuk Indonesia.

Teknologi terkait metaverse mendapatkan daya tarik di mana sekitar 72% responden Indonesia telah menggunakan teknologi tersebut dalam satu tahun terakhir. Variasi dalam jenis teknologi terkait Metaverse yang digunakan di negara ini termasuk cryptocurrency (46%), augmented reality (34%), dunia virtual (29%). Ini diikuti oleh NFT dan VR.

Studi ini juga menemukan bahwa Asia Tenggara melihat lebih banyak investasi asing langsung disalurkan ke wilayah ini. Investasi asing langsung menyumbang proporsi yang lebih besar dari total investasi pada tahun 2021, sebesar 17% berbanding dengan 15% di tahun 2015 dan hanya 9% di tahun 2009. Peningkatan investasi asing yang stabil ini merupakan bukti kepercayaan investor di Asia Tenggara dan mendorong pertumbuhan teknologi baru seperti fintech.

Singapura dan Indonesia menyumbang sebagian besar deal investasi di
Asia Tenggara, menguasai hampir 80% pangsa pasar pada H1 2022. Singapura
mewakili proporsi yang cukup besar, pada 60% dari total deal pada sebagian tahun ini.

Penambahan Jumlah Pasar dan Tren Pandemi Dorong Pertumbuhan Bisnis Titipku

Sebagai platform marketplace yang fokus menghubungkan pedagang di pasar dengan konsumennya secara online, Titipku mengklaim selama dua tahun terakhir terus mengalami peningkatan bisnis yang cukup positif hingga 10x lipat. Selain menambah jumlah pasar di kawasan Jabodetabek, mereka juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi di pulau Jawa dan Bali. Harapannya bisa menambah sekitar 250 pasar tradisional dalam waktu satu tahun ke depan.

Dalam laporan yang dirilis Titipku bertajuk “Indonesia Online Groceries Report 2022” terungkap, para pelaku UMKM di pasar tradisional yang telah bergabung  meningkatkan visibilitas mereka untuk melakukan promosi di media sosial. Selain menjangkau pedagang pasar yang sudah cukup familiar dengan penggunaan teknologi, Titipku juga menyasar pedagang yang masih melakukan cara-cara konvensional untuk kemudian mengadopsi teknologi guna membantu bisnis mereka lebih baik lagi.

Titipku juga membagikan contoh pasar tradisional mengalami peningkatan jumlah transaksi setelah bergabung dalam ekosistem platform. Di antaranya adalah Lapak Ayam Kampung Alin di Pasar Mandiri, Lapak Regi Sayur di Pasar Tomang Barat, dan Toko 5 Saudara di Pasar Modern Paramount.

“Saat pandemi kemudian menjadi momentum bagi kami untuk mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Namun hal tersebut berjalan seiring dengan kegiatan kami membuka pasar baru,” kata Co-Founder & CEO Titipku Henri Suhardja.

Turut masuk ke pasar modern

Selain pasar tradisional, Titipku juga menghadirkan layanan di pasar modern dan supermarket.

Terkait dengan produk yang banyak dibeli oleh pelanggan di antaranya adalah varian protein seperti ikan,  daging segar, hingga sayuran, sesuai dengan keunggulan dari pasar yang selalu menghadirkan produk segar. Hal ini yang kemudian membedakan Titipku dengan platform online groceries lainnya yang kebanyakan fokus kepada penyediaan bahan makan beku saja untuk pelanggan mereka.

Saat ini Titipku sudah melayani di sekitar 150 pasar tradisional di wilayah Jabodetabek dan ada sekitar 8 ribu pedagang pasar yang bergabung dengan mereka. Berawal dari Yogyakarta dengan jumlah pasar dan pedagang yang terbatas, kini Titipku ingin terus menambah jumlah pedagang dan jumlah pasar untuk memperkuat ekosistem mereka sebagai marketplace.

Titipku juga terus menambah jumlah Jatiper atau personal shopper yang kebanyakan mereka rekrut langsung di masing-masing pasar. Dengan memberikan pelatihan dan evaluasi kepada mereka secara rutin, diharapkan bisa mengubah mindset mereka dalam hal pelayanan kepada pelanggan.

“Kami ingin memberikan pengalaman layaknya pelanggan melakukan pembelian di pasar tradisional namun dilakukan secara online. Sehingga bisa memudahkan mereka mengatur waktu dan efisiensi memanfaatkan layanan dari Titipku,” kata Henri.

Potensi online groceries

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa pasar groceries di Indonesia bisa bernilai sekitar $169,4 miliar di tahun 2022. Meningkat jumlahnya dari sekitar $140,2 miliar di tahun 2019. Namun demikian pengecer tradisional diperkirakan kalah dengan convinience store, yang akan meningkatkan pangsa pasar mereka dari 8,6% di tahun 2020 menjadi 9,3% pada tahun 2022. Ritel grosir online juga akan berkembang dari 0,3% pada tahun 2020 menjadi 0,5% pada tahun 2021.

Di Indonesia, pasar e-grocery tumbuh lebih cepat selama pandemi COVID-19.
Menurut survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Redseer pada Agustus 2020, lebih dari separuh orang Indonesia melakukan kegiatan belanja secara online, dan lebih dari 60% akan terus melakukan kegiatan tersebut.

Namun demikian di Indonesia kegiatan belanja online sebagian besar masih banyak diterapkan di Jabodetabek. Namun, potensinya masih besar di daerah lain. Institute of Grocery Distribution (IGD) Asia menyebutkan nilai belanja online akan meningkat sebesar 198% dari $99 miliar pada 2019 menjadi $295 miliar pada 2023, dan Asia Tenggara diproyeksikan menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat.

Selain Titipku tercatat saat ini di Indonesia sudah ada beberapa platform yang menghadirkan layanan online groceries. Di antaranya adalah HappyFresh, Kedai Sayur, PasarNow, SayurBox, Segari, SeroyaMart, dan Tumbasin. Dengan makin banyaknya jumlah kompetitor yang ada ternyata tidak berpengaruh bagi Titipku untuk melancarkan bisnis.

Menurut Co-Founder & President Titipku Ong Tek Tjan, beberapa tahun sebelum pandemi jumlah konsumen yang melakukan pembelian groceries secara online sudah mengalami peningkatan yang positif, namun pandemi tentu saja mengakselerasi semua. Kini ketika kondisi sudah mulai pulih dan banyak orang kembali untuk melakukan kegiatan belanja di pasar tradisional secara offline, tidak menurunkan minat konsumen untuk melakukan online groceries.

“Bagi Titipku ke depannya bukan hanya meningkatkan kualitas layanan kepada pembeli saja namun juga daya saing para pedagang. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal kepada mereka.”

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSInnovate: Social Commerce Report 2022

Selama satu dekade terakhir, e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif industri yang mendorong berbagai inovasi digital di berbagai sektor. Sebut saja pembayaran digital, logistik pintar, sampai dengan platform pemberdayaan UMKM. Namun demikian, di balik gegap-gempita industri e-commerce masih terdapat gap yang cukup kentara di Indonesia, khususnya saat berbicara tentang pemerataan.

Berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang sudah terbiasa dengan layanan digital, kondisi di pedesaan —apalagi daerah rural—kondisinya masih jauh berbeda. Banyak faktor menjadi penyebab, mulai dari tingkat literasi digital sampai dengan keandalan infrastruktur. Terkait infrastruktur, contohnya, pengguna di pedesaan mendapati biaya kirim yang besar karena barang dikirim dari kota.

Adanya isu-isu tersebut mendorong para inovator melahirkan “Social Commerce”, versi e-commerce yang dimodifikasi dengan berbagai penyesuaian fitur. Model bisnisnya juga unik, seperti lewat kemitraan untuk menangani isu literasi digital, lewat group buying untuk menangani isu mahalnya ongkos kirim, sampai sistem hub-and-spoke untuk menangani sistem distribusi yang rumit.

Perlahan tapi pasti, model social commerce mulai diterima oleh masyarakat Indonesia, membuat bisnis ini kian banyak diminati oleh startup lokal.

Untuk melihat perkembangan bisnis ini, DSInnovate meluncurkan “Social Commerce Report 2022” dengan tema besar “Digitizing the Second-Tier Cities in Indonesia”. Laporan ini merangkum sejumlah hal, meliputi:

  1. Pembahasan konsep dan model bisnis social commerce
  2. Ekosistem social commerce di Indonesia
  3. Studi kasus social comerce di Indonesia
  4. Tren perkembangan social commerce di Indonesia

Terdapat beberapa temuan data menarik, salah satunya dari 16 startup social commerce yang ada di Indonesia, 14 di antaranya telah mengumumkan perolehan investasi. Menunjukkan bawah model bisnis yang diusung berhasil divalidasi oleh adopter awal dan hipotesis dari pemodal ventura. Selain itu, konsep bisnis berbasis syariah juga dipertimbangkan beberapa pemain di Indonesia.

Di sisi kematangan industri, peneliti juga melakukan analisis dan pengukuran terhadap beberapa variabel — yang menunjukkan bahwa social commerce masih memiliki ruang gerak yang luas untuk dieksplorasi. Selain itu, masih ada data dan temuan menarik lainnya. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut: Social Commerce Report 2022.


Disclosure: Dagangan mendukung peluncuran laporan ini

Laporan DSInnovate: Startup Report 2021 (dan Q1 2022)

Tahun 2021 digadang-gadang sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia, setelah satu tahun sebelumnya mendapat tekanan akibat pandemi Covid-19. Benar saja, di masa pemulihan ini justru banyak rekor baru yang terpecahkan — mulai hadirnya unicorn baru, transaksi pendanaan yang meningkat tajam secara kuantitas dan nilai, hingga model bisnis yang makin matang.

Startup Report 2021 mencoba merangkum dinamika industri yang terjadi, melalui kompilasi data, perspektif founder, dan preferensi konsumen dari apa yang terjadi sepanjang tahun. Secara spesifik laporan ini terdiri dari lima bahasan utama, meliputi:

  1. Gambaran ekosistem startup; menyajikan data-data terkait pertumbuhan pasar dan bisnis digital di Indonesia sepanjang tahun 2021.
  2. Pendanaan dan strategi exit; menyajikan data-data terkait tren pendanaan dan aksi korporasi berupa merger & acquisition yang melibatkan startup lokal.
  3. Perspektif konsumen; menyajikan data-data hasil survei konsumen terhadap layanan atau produk yang dihadirkan oleh pemain startup lokal.
  4. Investasi berdampak; memperkenalkan konsep investasi berdampak dan metrik startup dalam menghadirkan bisnis berkelanjutan sembari memberikan manfaat sosial lebih bagi masyarakat.
  5. Tren industri digital Indonesia; menyoroti beberapa model bisnis yang berpotensi menjadi sesuatu yang signifikan di masa mendatang.

Terdapat sejumlah temuan data menarik, di antaranya mengenai pendanaan startup. Tahun 2021 terjadi peningkatan hampir 2x lipat dari sisi jumlah transaksi dan nilai yang dibukukan. Bahkan sebanyak 22 putaran pendanaan memiliki nilai sekurangnya $50 juta. Kendati pendanaan awal masih mendominasi jumlahnya, pendanaan lanjutan juga memiliki tren yang meningkat — mengindikasikan adanya kepercayaan investor atas model bisnis startup yang kian matang.

Selain pendanaan, laporan ini juga menyajikan hasil survei mengenai aplikasi digital dari startup lokal yang paling banyak diminati. Dari statistik yang berhasil diolah, layanan online marketplace (78%) mendapati minat tertinggi, disusul fintech payment (69%), fintech lending (61%), layanan investasi (57%), aplikasi pendidikan (51%), hingga kesehatan (50%).

Untuk ulasan dan data-data selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Startup Report 2021 (dan Q1 2022).


Disclosure: Laporan ini didukung East Ventures, Bank Central Asia, dan LinkAja

Antler: Era Web3 Buka Kesempatan Kreator untuk Tingkatkan Sumber Monetisasi

VC tahap awal Antler baru saja merilis “The New Creator Economy Report” bersama Speedinvest. Laporan ini menyoroti tentang era teknologi Web3 dan dampaknya terhadap pertumbuhan industri creator economy dunia di sepanjang 2021.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini turut sejalan dengan meningkatnya keterlibatan investor terhadap creator economy. Antler mencatat investor global telah mengucurkan total sekitar $1,3 miliar ke platform creator economy di sepanjang 2021.

Dengan melihat angka pertumbuhan ini, Antler memperkirakan sebanyak 1 miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator dalam lima tahun ke depan. Selain itu, pertumbuhannya di masa depan tak lepas dari era baru teknologi Web3 yang mengubah definisi dan kekuatan kreator, dari asas kreator itu sendiri menjadi berbasis komunitas. Artinya, komunitas akan punya peran besar untuk mendukung upaya monetisasi kreator.

Menurut laporan ini, kreator di era Web3 tak lagi dilihat sebatas memberikan nilai ke platform, tetapi juga membentuk cara baru lewat hubungan interaktif antara kreator dan penggemar. Ada peluang bagi kreator untuk menawarkan lebih banyak, tak hanya kepada penggemar, tetapi juga untuk kreator sendiri dan komunitas.

Di era Web3, Antler memproyeksi generasi kreator berikutnya akan punya kesempatan untuk meningkatkan sumber monetisasi konten atau karyanya. Tentu ini menjadi perubahan signifikan mengingat sebelumnya kreator banyak mengandalkan iklan dan sponsor merek untuk mendapatkan pemasukan.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Teknologi Web3 memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator di masa depan. Ruang eksplorasi konten juga semakin berkembang dengan kemunculan kripto, NFT, dan metaverse. Saat ini bahkan banyak kreator bermigrasi ke metaverse di mana mereka dapat memonetisasi karyanya, seperti digital art dan game.

Founder dan CEO Antler Magnus Grimeland mengatakan, kreator menjadi lebih menarik secara finansial karena platform yang ada saat ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi karya berbasis komunitas. “Creator economy tidak hanya akan mengubah cara produksi konten, tetapi juga membuka dunia teknologi baru dan peluang monetisasi yang tidak mungkin dilakukan dengan di era Web2,” tambahnya.

Ia menyebutkan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan oleh platform Web3, terutama tools yang berkaitan dengan konten dan komunitas. Menurutnya, cara untuk menghubungkan kreator ke penggemar atau komunitas menjadi salah satu peluang investasi yang paling menarik.

Sementara Partner di Floodgate Ventures Ann Miura-Ko menilai perkembangan teknologi saat ini memberikan nilai positif terhadap para kreator karena mereka dapat terlibat langsung dengan audiensnya tanpa harus terus-menerus merasa seperti hamster yang berlari di roda putar.

“Seiring bertambahnya audiens, kreator akan merasa dituntut untuk memenuhi selera mereka yang tidak akan ada habiskan, dan saya pikir ini akan menghabiskan banyak waktu. Platform yang memungkinkan kreator ‘memonetisasi saat mereka tidur’ adalah sesuatu yang ingin saya lihat,” tutupnya.

Creator economy di Indonesia

Indonesia juga ikut mengecap pertumbuhan industri creator economy selama beberapa tahun terakhir. Pelaku startup semakin banyak mengeksplorasi cara inovatif untuk membantu kreator memonetisasi karyanya.

Sebagai contoh, KaryaKarsa dan Storial menghubungkan kreator dengan pengguna langsung untuk menikmati konten, seperti cerita fiksi, komik, foto, hingga ilustrasi dengan skema beli karya satuan dan sistem tipping. Per bab (chapter) dapat dibeli mulai dari Rp2.000-Rp10.000. Ada juga Saweria yang menggunakan model donasi atau tip bagi kreator yang melakukan livestreaming di platform pihak ketiga.

Seluruh upaya ini juga tak lepas dari semakin lengkap ekosistem pembayaran digital sehingga memudahkan penggemar untuk memberikan dukungan finansial dengan nominal beragam.

Di samping itu, VC, konglomerasi media, hingga publik figur juga menunjukkan minat besarnya untuk mengambil kue di pasar creator economy. Di antaranya adalah platform konten on-demand Noice yang memperoleh pendanaan strategis dari RANS Entertainment, dan Famous All Stars (FAS) yang didukung oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group.

Laporan DSInnovate: Fintech Report 2021

Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, digitalisasi dalam sektor keuangan masih berangsur meningkat. Produk-produk fintech terus mendapatkan antusias dari masyarakat, untuk memfasilitasi kebutuhan sehari-hari maupun dalam rangka mencapai tujuan finansial mereka.

Perkembangan ekosistem teknologi finansial turut didukung dengan regulasi yang cukup tanggap dengan dinamika perkembangan digital. Alhasil, kepercayaan masyarakat pun meningkat seiring adanya jaminan keamanan atas data-data dan transaksi yang akan dilakukan melalui layanan berbasis aplikasi.

DailySocial.id juga meyakini, bahwa perkembangan fintech menjadi aspek penting dalam misi mencapai ekonomi digital yang lebih baik. Karena produk dan layanan yang dihasilkan turut menjadi salah satu fondasi dari banyak model bisnis. Untuk itu, secara rutin setiap tahun kami merilis “Fintech Report”, sebuah laporan yang merangkum secara menyeluruh perkembangan industri fintech di tanah air.

Fintech Report 2021 mengusung tema besar “The Convergence of (Digital) Financial Services”, menyorot tentang variasi layanan fintech yang makin banyak, menyasar berbagai kebutuhan spesifik untuk pengguna personal dan bisnis. Dalam laporannya, turut diramu perspektif dari pelaku industri dan dilengkapi dengan survei terhadap masyarakat yang merepresentasikan kondisi konsumen fintech saat ini.

Terdapat lima pembahasan utama dalam Fintech Report 2021, meliputi:

  • Tren Fintech; membahas tren perkembangan fintech dari sisi model bisnis dan regulasi.
  • Ekosistem Fintech di Indonesia; melihat perkembangan industri fintech di Indonesia dalam satu tahun terakhir.
  • Perspektif Pelaku Bisnis; merangkum perspektif dari pelaku bisnis fintech di berbagai sub-sektor mengenai prospek pengembangan mendatang.
  • Perspektif Konsumen; mendalami perspektif pengguna layanan terhadap produk-produk fintech yang sudah ada di pasaran.
  • Inisiatif Strategis; mendata berbagai inisiatif strategis yang dilakukan stakeholder dalam rangka memajukan industri fintech di Indonesia.

Terdapat beberapa temuan menarik, di antaranya total pendanaan oleh investor ke bisnis fintech meningkat dari tahun ke tahun. Per 2021, total dana yang dikumpulkan mencapai $974 juta dari 68 transaksi; meningkat hampir 2x lipat dibanding tahun sebelumnya yakni $555 juta dalam 32 transaksi.

Dari sisi konsumen, e-money (80,2%) dan paylater (68,9%) kini menjadi dua varian produk fintech yang paling banyak digunakan. Beberapa produk lain dari kategori wealthtech dan insurtech pun mulai mendapatkan awareness yang meningkat. Hal ini menjadi salah satu indikasi dari peningkatan literasi dan inklusi finansial yang cukup baik dari masyarakat Indonesia.

Informasi selengkapnya bisa diakses dengan mengunduh laporan tersebut secara gratis melalui tautan berikut: Fintech Report 2021.


Disclosure: Laporan ini didukung oleh Kredivo dan Traveloka